Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagaimana dengan firman Allah dalam surat Az-Zariyat ayat 49
yang menjelaskan bahwa Allah menciptapkan segala sesuatu berpasang-
pasangan supaya kita senantiasa mengingat akan kebesaran Allah SWT,
yang dapat kita wujudkan melalui sebuah pernikahan. Pernikahan
bertujuan untuk mewujudkan kehidupan berkeluarga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah sehingga menciptakan generasi penerus yang
shaleh, yang akan menjadi amal yang tidak terputus bagi orang tuanya.
Akan tetapi Allah tidak menjadikan manusia seperti makhluk hidup
lainnya yang hidup dan berhubungan dengan bebas tanpa aturan.
Perkawinan atau pernikahan memiliki aturan-aturan yang telah ditentukan
dalam Islam, termasuk diantaranya adalah faktor-faktor yang menghalangi
terjadinya perkawinan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja yang termasuk dalam mawani’ muabbad?
2. Apa saja yang termasuk dalam mawani’ ghairu muabbad?
3. Apa saja perkawinan yang dilarang?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui jenis-jenis dari mawani’ muabbad.
2. Untuk mengetahui jenis-jenis dari mawani’ ghairu muabbad.
3. Untuk memahami perkawinan-perkawinan yang dilarang.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Mawani’ Muabbad
Mawani’ muabbad adalah penghalang yang bersifat abadi atau
selamanya, yaitu wanita-wanita yang haram dinikahi untuk selamanya.
Diantara halangan-halangan abadi ada yang telah disepakati dan ada pula
yang masih diperselisihkan. Yang telah disepakati ada tiga, yaitu nasab
(keturunan), perbesanan dan sesusuan. Sedang yang diperselisihkan ialah
zina dan li’an.1
Berikut adalah macam-macam mawani’ muabbad:
1. Halangan Nasab
Halangan perkawinan karena pertalian nasab didasarkan pada firman
Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 23:
ۡ َ ‫علَ ۡيڪ ُۡم أ ُ َّم َه ٰـت ُ ُك ۡم َو َبنَات ُ ُك ۡم َوأَخ ََوٲتُڪ ُۡم َو‬
ِّ َ ‫ع َّم ٰـت ُ ُك ۡم َو َخ ٰـلَ ٰـت ُ ُك ۡم َوبَنَاتُ ٱۡل‬
‫خ‬ َ ‫ُح ِّر َم ۡت‬
...‫ت‬ ِّ ‫َو َبنَاتُ ۡٱۡل ُ ۡخ‬
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang
perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara
bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan,
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan ...
Berdasarkan ayat di atas, wanita-wanita yang haram untuk dinikahi
selamanya karena pertalian nasab adalah:
a. Ibu berikut orang tua diatasnya, yaitu para nenek
b. Anak perempuan
c. Saudara perempuan
d. Saudara perempuan ayah
e. Saudara perempuan ibu
f. Anak perempuannya saudara laki-laki
g. Anak perempuannya saudara perempuan

1
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Terj. Abdurrahman, (Semarang: Asy-Syifa’, 1990), hlm. 429.

2
2. Halangan Mushaharah atau Perbesanan
Wanita-wanita yang haram dinikahi karena hubungan pernikahan
(perbesanan) adalah:
a. Bekas istri ayah (ibu tiri). Dasar larangan tersebut adalah:

َ ِ‫َو ََل تَن ِك ُحواْ َما َن َك َح َءابَآؤُ ڪُم ِمنَ ٱلن‬


‫سا ٓ ِء‬
Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini
oleh ayahmu. (QS. An-Nisa’: 22)
b. Menantu, yakni istri anak, istri cucu, dan seterusnya ke bawah.

‫ڪ ُم ٱلَّذِينَ ِم ۡن أَصۡ لَ ٰـ ِبڪ ُۡم‬


ُ ‫َو َحلَ ٰـ ٓ ِٕٮ ُل أَ ۡبنَا ٓ ِٕٮ‬
(dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu).
(QS. An-Nisa’: 23)
c. Ibu istri (ibu mertua). Dasarnya adalah:

َ ِ‫َوأ ُ َّم َه ٰـتُ ن‬


‫سا ٓ ِٕٮ ُك ۡم‬
Dan ibu-ibu istrimu. (QS. An-Nisa’: 23)
d. Anak perempuan istri (anak tiri). Dasarnya adalah:

‫سا ٰٓ ِٕٮ ُك ُم ٱلَّ ٰـتِّى َدخ َۡلتُم ِّب ِّهن‬ ِّ ‫ڪ ُم ٱلَّ ٰـتِّى فِّى ُح ُج‬
َ ِّ‫ورڪُم ِّمن ن‬ ُ ُ‫َو َر َب ٰـٰٓ ِٕٮب‬
Dan anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri
yang telah kamu campuri. (QS. An-Nisa’:23)
3. Halangan Rada’ah atau Halangan Sesusuan
Hukum larangan perkawinan karena hubungan sesusuan didasarkan
pada surat An-Nisa’ ayat 23:

‫ض ٰـ َع ِّة‬ َّ َ‫ضعۡ َن ُك ۡم َوأَخ ََوٲتُڪُم ِّمن‬


َ ‫ٱلر‬ ُ ُ ‫َوأ ُ َّم َه ٰـت‬
َ ‫ڪ ُم ٱلَّ ٰـتِّ ٰٓى أ َ ۡر‬
(diharamkan atas kamu mengawini) ibu-ibumu yang menyusukan kamu,
dan saudara-saudara perempuan sepersusuan.
Keharaman karena sesusuan juga diterangkan dalam sebuah hadits berikut:

)‫يحرم من الرضاع ما يحرم من النسب ( متفق عليه‬


Diharamkan karena ada hubungan susuan apa yang diharamkan karena
ada hubungan nasab.
Berdasarkan pada ayat dan hadits diatas, wanita-wanita yang haram
dinikahi karena hubungan sesusuan adalah sebagai berikut:

3
a. Ibu susuan: yaitu ibu yang menyusui, maksudnya seorang wanita
yang pernah menyusui seorang anak dipandang sebagai ibu bagi
anak yang disusui itu, sehingga haram melakukan perkawinan.
b. Nenek susuan: yaitu ibu dari yang pernah menyusui atau ibu dari
suami yang menyusui itu, suami dari ibu yang menyusui itu
dipandang seperti ayah bagi anak susuan, sehingga haram
melakukan perkawinan.
c. Bibi susuan: yakni saudara perempuan ibu susuan atau saudara
perempuan suami ibu susuan dan seterusnya keatas.
d. Kemenakan susuan perempuan, yakni anak perempuan dari
saudara ibu sususan.
e. Saudara susuan perempuan.2

Para ulama bermufakat menerapkan bahwa: keharaman radla’ sama


dengan keharaman nasab dalam urusan pernikahan. Jadi apabila seorang
wanita menyusui seorang anak, haramlah atas anak tersebut dan atas anak-
anaknya terhadab kerabatnya ibu susu itu.3

Akan tetapi, tidak diharamkan ibu susu menikah dengan ayah dari
anak susunya dan saudara anak susunya. Juga tidak haram apabila ada
seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, dimana keduanya
memiliki ibu kandung sendiri-sendiri, tetapi sama-sama menyusu kepada
seorang wanita (ibu susu) yang bukan ibu kandung mereka, maka anak
laki-laki tadi boleh menikahi ibu kandung saudara perempuan
sepersusuannya.4

Mengenai kadar susu yang menyebabkan keharaman segolongan


fuqaha berpendapat bahwa mengenai hal ini tidak ada kadar batasannya
yang tertentu, demikian pendapat Imam Hanafi dan Imam Maliki.
Sedangkan menurut pendapat Imam Syafi’i adalah sekurang-kurangnya
lima kali susuan.

2
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 106-107.
3
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam Tinjauan Antar Mazhab,
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm. 237.
4
Ibid.

4
4. Halangan Zina
Fuqaha berselisih pendapat mengenai perkawinan orang perempuan
yang berzina. Jumhur fuqaha membolehkannya, sedang segolongan fuqaha
melarangnya. Silang pendapat ini disebabkan oleh adanya silang pendapat
mereka tentang mafhum firman Allah:

‫علَى ۡٱل ُم ۡؤ ِم ِنين‬


َ ‫ان أ َ ۡو ُم ۡش ِركۚ َو ُح ِر َم ذَٲ ِل َك‬
ٍ َ‫ٱلزانِ َيةُ ََل َين ِك ُح َها ٓ ِإ ََّل ز‬
َّ ‫َو‬
Dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang
berzina atau laki-laki yang musyrik, dan yang demikian itu diharamkan
atas orang-orang mukmin. (QS. An-Nur: 3)
Mereka berbeda pendapat apakah ayat di atas dikeluarkan sebagai
celaan atau sebagai pengharaman (tahrim)? Dan apakah isim isyarat (kata
petunjuk) dalam firman Allah: “...dan yang demikian itu diharamkan atas
orang-orang mukmin”, kembali kepada zina atau pernikahan.5
5. Halangan Li’an
Seorang suami yang menuduh istrinya berbuat zina tanpa
mendatangkan empat orang saksi, maka suami diharuskan bersumpah
empat kali yang kelima kali dilanjutkan dengan menyatakan bersedia
menerima laknat Allah apabila tindakannya itu dusta. Istri yang mendapat
tuduhan itu bebas dari hukuman zina kalau mau bersumpah seperti sumpah
suami di atas empat kali dan yang kelima kalinya diteruskan bersedia
mendapat laknat bila tuduhan suami itu benar. Sumpah demikian disebut
sumpah li’an. apabila terjadi sumpah li’an antara suami istri maka
putuslah hubungan perkawinan keduanya untuk selama-lamanya.
Keharaman ini didasarkan pada firman Allah dalam surat An-Nur ayat 6-9:

‫ش َه ٰـدَة ُ أ َ َح ِد ِه ۡم أ َ ۡر َب ُع‬ ُ ُ‫َل أَنف‬


َ َ‫س ُه ۡم ف‬ ُ ‫َوٱلَّذِينَ َي ۡر ُمونَ أ َ ۡز َوٲ َج ُه ۡم َولَ ۡم َي ُكن لَّ ُه ۡم‬
ٓ َّ ‫ش َہدَآ ُء ِإ‬
َ‫ع َل ۡي ِه ِإن َكان‬ َ ِ‫ٱَّلل‬َّ ‫َت‬ َ ‫سةُ أَ َّن َلعۡ ن‬ َ ‫) َو ۡٱل َخ ٰـ ِم‬٦( َ‫ص ٰـ ِدقِين‬ َّ ‫ٱَّللِ ِإنَّهُ ۥ َل ِمنَ ٱل‬
ۙ َّ ‫ت ِب‬ِ ِۭ ‫ش َہ ٰـدَٲ‬
َ
َ‫ٱَّللِ ِإنَّهُ ۥ لَ ِمن‬
ۙ َّ ‫ت ِب‬ َ ‫اب أَن ت َ ۡش َہدَ أ َ ۡر َب َع‬
ِ ِۭ ‫ش َہ ٰـدَٲ‬ َ َ‫ع ۡن َہا ۡٱل َعذ‬
َ ْ‫) َويَ ۡد َر ُؤا‬٧( َ‫ِمنَ ۡٱل َك ٰـ ِذ ِبين‬
)٩( َ‫ص ٰـ ِدقِين‬ َّ ‫علَ ۡي َہا ٓ ِإن َكانَ ِمنَ ٱل‬ َّ ‫ب‬
َ ِ‫ٱَّلل‬ َ ‫ض‬ َ ‫غ‬ َ ‫سةَ أَ َّن‬ َ ‫) َو ۡٱل َخ ٰـ ِم‬٨( َ‫ۡٱل َك ٰـ ِذ ِبين‬

5
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Terj. Abdurrahman, (Semarang: Asy-Syifa’, 1990), hlm. 432-
433.

5
Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak
mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka kesaksian masing-
masing orang itu ialah empat kali bersumpah dengan (nama) Allah,
bahwa sesungguhnya dia orang yang berkata benar. Dan (sumpah) yang
kelima bahwa laknat Allah akan menimpanya, jika dia termasuk orang
yang berdusta. Dan istri itu terhindar dari hukman apabila dia bersumpah
empat kali atas (nama) Allah bahwa dia (suaminya) benar-benra termasuk
orang-orang yang berdusta. Dan (sumpah) yang kelima bahwa
kemurkaan Allah akan menimpanya (istri), jika dia (suaminya) itu
termasuk orang yang berkata benar. (QS. An-Nur: 6-9)
Apabila dua suami istri dipisahkan hakim sesudah mereka berli’an
haramlah bagi lelaki menikahi kembali istri yang telah dili’ankan itu.
Menurut Imam Malik dan Imam Ahmad, mereka berpendapat bahwa
perceraian dengan jalan li’an ini dipandang fasakh. Tidak boleh menikah
kembali. Sama dengan radla’, tetap haramnya. Sedangkan sebagian ulama,
seperti Abu Hanifah, menetapkan bahwa perceraian dengan li’an dihukum
talak. Jadi apabila suatu ketika si lelaki mengaku dusta terhadap
tuduhannya, maka ia boleh menikah kembali dengan bekas istrinya itu.6
B. Mawani’ Ghairu Muabbad
Mawani’ ghairu muabbad berarti penghalang yang bersifat sementara,
yaitu wanita yang haram dinikah tidak untuk selamanya.
Berikut adalah yang termasuk halangan sementara:
1. Halangan Zaujiyyah
Halangan zaujiyyah yaitu larangan menikahi istri orang. Imam
empat dan imam-imam lainnya bermufakat dalam menetapkan hukum
ini.7

‫سا ٓ ِء‬ َ ‫َو ۡٱل ُم ۡح‬


َ ِ‫صنَ ٰـتُ ِمنَ ٱلن‬
Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami.
(QS. An-Nisa’: 24)

6
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam Tinjauan Antar Mazhab,
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm. 244-245.
7
Op. Cit., hlm. 244.

6
2. Halangan ‘Adad
Halangan ‘adad yaitu larangan seorang lelaki beristri lebih dari
empat. Seluruh mujtahidin bermufakat menetapkan hukum ini.
َ ‫سا ٓ ِء َم ۡثن َٰى َوثُلَ ٰـ‬
‫ث َو ُربَ ٰـ َع‬ َ ِ‫اب لَ ُكم ِمنَ ٱلن‬
َ ‫ط‬َ ‫فَٱن ِك ُحواْ َما‬
Maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi, dua, tiga, atau
empat. (QS. An-Nisa’: 3)
3. Halangan ‘Iddah
Fuqaha telah sependapat bahwa pernikahan pada masa ‘iddah itu
tidak boleh, baik ‘iddah haid, ‘iddah hamil, ataupun ‘iddah talak.8
4. Halangan Kafir
Fuqaha telah sependapat bahwa seorang Muslim tidak boleh
mengawini perempuan kafir, berdasarkan firman Allah:9

‫ص ِم ۡٱل َك َوا ِف ِر‬


َ ‫َو ََل ت ُ ۡم ِس ُكواْ ِب ِع‬
Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan
perempuan-perempuan kafir. (QS. Al-Mumtahanah: 10)
5. Halangan Ihram
Wanita yang sedang melakukan ihram, baik ihram umrah maupun
ihram haji, tidak boleh dikawini.10

‫ب‬ ُ ‫َلَ َي ْن ِك ُح ْال ُم ْح ِر ُم َوَلَ يُ ْن َك ُح َوَلَ َي ْخ‬


ُ ‫ط‬
Tidak boleh seseorang yang sedang ihram menikah, tidak boleh juga
menikahkan dan tidak boleh juga melamar. (HR. Muslim no. 1409)
6. Halangan Maradh
Fuqaha berselisih pendapat mengenai perkawinan orang yang
sedang sakit berat. Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i
membolehkannya. Sedang Imam Malik tidak membolehkannya.
7. Halangan Riqq (Budak)
Fuqaha berselisih pendapat mengenai halangan riqq atau halangan
kehambaan, mereka berselisih pendapat tentang perkawinan lelaki
merdeka dengan hamba perempuan. Segolongan Fuqaha

8
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Terj. Abdurrahman, (Semarang: Asy-Syifa’, 1990), hlm. 447.
9
Ibid, hlm. 440.
10
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 114.

7
membolehkannya secara mutlak. Sedang fuqaha lainnya berpendapat
bahwa perkawinan ini hanya dibolehkan dengan dua syarat, yaitu
karena tidak mampu dan takut menderita, ini adalah pendapat terkenal
dari Imam Malik serta Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i.11
C. Perkawinan Yang Dilarang
1. Nikah Syighar
Yang dimaksud dengan nikah syighar yaitu apabila seorang lelaki
mengawinkan seorang perempuan yang di bawah kekuasaannya dengan
seorang lelaki lain, bersyaratkan bahwa lelaki lain tersebut juga
mengawinkan seorang perempuan yang di bawah kekuasaannya dengan
lelaki pertama, tanpa ada mahar pada kedua perkawinan tersebut.12
Fuqaha telah sependapat pula bahwa pernikahan tersebut tidak
diperbolehkan, karena larangan yang berkenaan dengan pernikahan
tersebut diriwayatkan dengan shahih.

‫َار ا َ ْن‬
ُ ‫ َو ال ِشغ‬.‫َار‬
ِ ‫ع ِن ال ِشغ‬ ُ ‫ع َم َر ا َ َّن َر‬
َ ‫س ْو َل هللاِ ص َن َهى‬ َ ٍ‫ع ْن نَافِع‬
ُ ‫ع ِن اب ِْن‬ َ
،‫ (الخمسة‬.‫صدَاق‬ َ ‫علَى ا َ ْن يُزَ ِو َجهُ ا ْبنَتَهُ َو َلي‬
َ ‫ْس بَ ْي َن ُه َما‬ َ ُ‫الر ُج ُل ا ْب َنتَه‬
َّ ‫يُزَ ِو َج‬
‫ و هو كذلك‬.‫ و ابو داود جعله من كالم نافع‬.‫لكن الترمذى لم يذكر تفسير الشغار‬
)‫فى رواية احمد و البخارى و مسلم‬
Dari Nafi’ dari Ibnu Umar, sesungguhnya Rasulullah SAW melarang
nikah syighar. Sedang nikah syighar itu ialah seorang laki-laki
menikahkan anak perempuannya kepada seseorang dengan syarat
imbalan, ia harus dikawinkan dengan anak perempuan orang
tersebut, dan keduanya tanpa mahar. (HR. Jama’ah, tetapi Tirmidzi
tanpa menyebutkan penjelasan arti syighar dan Abu Dawud
menjadikan penjelasan arti syighar itu sebagai perkataan Nafi’. Dan
hadits seperti itu diriwayatkan juga oleh Ahmad, Bukhari danMuslim)
Pendapat diatas distujui oleh Imam Malik dan Imam Ahmad.
Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah syighar itu sah dengan
memberikan mahar mitsil (maskawin yang sepadan).

11
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Terj. Abdurrahman, (Semarang: Asy-Syifa’, 1990), hlm. 438.
12
Ibid, hlm. 469.

8
2. Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah berarti nikah yang dilakukan untuk sementara waktu
saja, apabila waktu yang ditentukan habis, terlepaslah si perempuan
dari ikatan pernikahan.13
Perkawinan mut’ah pernah diperbolehkan dalam keadaan darurat,
yakni pada waktu peperangan authas, dan pembukaan kota Mekkah, di
mana waktu itu tentara Islam telah lama pisah dengan keluarga, agar
mereka tidak melakukan perbuatan terlarang, maka diizinkan oleh
Nabi melakukan nikah mut’ah. Kemudian Nabi melarang untuk
selama-lamanya.

‫ع ْن ِن َكاحِ ْال ُمتْعَ ِة َي ْو َم‬


َ ‫ي صلى هللا عليه و سلم نَ َهى‬َّ ِ‫ أ َ َّن النَّب‬: ِ ‫ع ِلي‬
َ ‫ع ْن‬
َ
َ ْ ُ
‫ (رواه البخارى ومسلم ومالك‬.‫َخ ْي َب َر َو َع ْن ل ُح ْو ِم ال ُح ُم ِر اْأل ْه ِليَّ ِة‬
)‫وغيرهم‬
Dari Ali bin Abi Thalib: Sesungguhnya Nabi Saw. Telah melarang
nikah mut’ah pada hari (peperangan) Khaibar dan beliau pun
(melarang) memakan daging keledai-keledai kampung atau
peliharaan. (HR. Bukhari, Muslim, Malik, Tirmidzi, Nasa’i, Ahmad,
Darimi)

3. Nikah Muhallil
Nikah muhallil ialah nikah yang dilakukan oleh seseorang terhadap
wanita yang telah dicerai tiga kali oleh suaminya yang pertama, setelah
selesai iddahnya. Oleh suami kedua wanita itu dikumpuli dan
diceraikan agar dapat dikawin lagi oleh suami pertama. Jadi dalam
nikah muhallil itu ada unsur perencanaan dan niat bukan untuk
selamanya, tetapi hanya untuk sementara.14
Landasannya ialah hadits Nabi Saw. Riwayat Ahmad dari Abu
Hurairah:

:‫سلَّ َم قَا َل‬


َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫ص َّل هللا‬ ُ ‫ى هللاُ َع ْنهُ ا َ َّن َر‬
َ ِ‫س ْو َل هللا‬ ِ ‫ع ْن ا َ ِب ْى ُه َري َْرة َ َر‬
َ ‫ض‬ َ
‫ رواه احمد‬.ُ‫لَ َعنَ هللاُ اْل ُم َح ِل َل َواْل ُم َحلَّ َل َله‬
13
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam Tinjauan Antar Mazhab,
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm. 245.
14
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 40.

9
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Raslullah Saw. Bersabda:
Allah melaknati orang yang menghalalkan (muhallil) dan oran yang
dihalalkan baginya (muhallalah). (HR. Ahmad)
Imam Malik berpendapat bahwa nikah muhallil dapat difasakh. Sedang
Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i benpendapat bahwa nikah
muhallil adalah sah. Silang pendapat ini disebabkan adanya perbedaan
pendapat tentang pengertian sabda Nabi Saw.: Allah melaknat orang
yang nikah muhallil.
Bagi fuqaha yang memahami dari kutukan atau laknatan tersebut
hanyalah dosa semata, sedang bagi fuqaha yang memahami dari
kutukan atau laknatan tersebut adalah rusaknya akad nikah, karena
dipersamakan dengan larangan yang menunjukkan rusaknya perbuatan
yang dilarang, maka mereka mengatakan nikah muhallil tidak sah.15
4. Nikah Istibdha’
Nikah istibdha’ yaitu nikah untuk mencari bibit unggul, praktek
perkawinan seperti ini merupakan kebiasaan orang arab sebelum
datangnya Islam, yaitu seorang suami menyuruh atau mengizinkan
istrinya untuk bergaul dengan orang-orang yang terpandang
(bangsawan).16
Adapun tujuannya adalah untuk mencari bibit unggul atau
keturunan yang baik dari hubungan tersebut. Sementara pihak suami
berpisah dengan istrinya sampai si istri hamil. Dan mengumpulinya
kembali kalau suami mau. Adapun anak yang lahir dari hubungan
seksual dengan orang-orang ternama tersebut dinisbatkan pada suami
istri tersebut.17
5. Nikah Khidn
Nikah Khidn yaitu pergundikan yang dilakukan secara
bersembunyi. Dan menurut anggapan mereka asal tidak ketahuan tidak

15
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Terj. Abdurrahman, (Semarang: Asy-Syifa’, 1990), hlm. 472.
16
Sayyid Sabiq, Fikihsunnah, Alih Bahasa, LeliShofa, Moh. Abidun, Mujahidin Muhayan,
(Jakarta: PT. Pena aksara, 2009), hlm.479.
17
Ibid, hlm. 478.

10
apa-apa, akan tetapi kalau ketahuan dianggap tercela. Pernikahan ini
seperti halnya memelihara selir.18
6. Nikah Badal
Nikah badal, merupakan nikah yang dilakukan dengan cara seorang
laki-laki berkata kepada laki-laki lainnya “berikan istrimu kepada saya,
maka saya akan memberikan istriku kepadamu, serta memberikan
bonus lainnya”. Nikah dalam konteks ini adalah dengan menukar istri
yang satu dengan istri laki-laki lain. Setelah Islam datang jenis
pernikahan ini dilarang dan diharamkan.19

18
Ibid, hlm. 479.
19
Ahmad Arifuz Zaki, Skripsi: “Konsep Pra-Nikah Dalam Al-Qur’an (Kajian Tafsir Tematik)”
(Jakarta: UIN SH, 2017), hlm. 34.

11
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Mawani’ muabbad adalah penghalang yang bersifat abadi atau
selamanya, yaitu wanita-wanita yang haram dinikahi untuk selamanya.
Diantara halangan-halangan abadi ada yang telah disepakati dan ada pula
yang masih diperselisihkan. Yang telah disepakati ada tiga, yaitu nasab
(keturunan), perbesanan dan sesusuan. Sedang yang diperselisihkan ialah
zina dan li’an.
Mawani’ ghairu muabbad berarti penghalang yang bersifat sementara,
yaitu wanita yang haram dinikah tidak untuk selamanya. Diantaranya
adalah halangan zaujiyyah, ‘adad, ‘iddah, kafir, ihram, maradh, dan riqq
(budak).
Perkawinan yang dilarang, diantaranya adalah nikah syighar, nikah
mut’ah, nikah muhallil, nikah istibdla’, nikah khidn, dan nikah badal.
B. Penutup
Demikian makalah yang bisa kami uraikan, pasti banyak kekurangan
dari segi penulisan dan redaksi yang dikutip. Kami berharap makalah ini
dapat menambah pengetahuan pembaca. Kritik dan saran sangat kami
harapkan untuk memperbaiki kinerja kedepan. Karena kesempurnaan
hanya milik Allah sedangkan kekhilafan datangnya dari kami.
Terimakasih.

12
DAFTAR PUSTAKA

Ghozali, Abdul Rahman. 2008. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana.

Ibnu Rusyd. 1990. Bidayatul Mujtahid. Terjemahan oleh Abdurrahman.


Semarang: Asy-Syifa’.

Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2001. Hukum-Hukum Fiqh Islam


Tinjauan Antar Mazhab. Semarang: Pustaka Rizki Putra.

Ahmad Arifuz Zaki. 2017. Konsep Pra-Nikah Dalam Al-Qur’an (Kajian Tafsir
Tematik) [skripsi]. Jakarta (ID): UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

13

Anda mungkin juga menyukai