BAB I
PENDAHULUAN
Sebagai umat Islam, kita mengakui bahwa banyak masalah baru yang tidak terdapat
penyelesaiannya di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah sehingga para pakar hokum Islam harus
berijtihad untuk memecahkannya. Meskipun demikian, perlu diingat bahwa mereka itu dalam
berijtihad tidaklah secara acak, tetapi selalu berpegang kepada dasar-dasar umum yang terdapat
dalam kitab suci itu sehingga hukum-hukum yang mereka rumuskan melalui ijtihad itu tidak
boleh menyimpang dari dasar-dasar umum tersebut.
Untuk menjawab masalah-masalah baru yang belum ada penegasan hokum-hukumnya di
dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, maka para pakar hokum Islam (fuqaha) berupaya memecahkan
dan mencari hukum-hukumnya dengan menggunakan ijtihad. Namun ijtihad itu tidak boleh lepas
dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Dikatakan demikian, karena ijtihad tersebut dilaksanakan dengan
cara mengkiaskan kepada yang sudah ada di dalam al-Qur’an dan as-sunnah, menggalinya dari
aturan-aturan umum (al-qawanin al-‘ammah) dan prinsip-prinsip yang universal (al mabadi’ al-
kulliyah) yang terdapat dalam al-Qur’an dan as-sunnah dan menyesuaikannya dengan maksud
dan tujuan syariat (al-maqashid al-syari’ah) yang juga terkandung dalam al-Qur’an dan as-
Sunnah.
Aturan-aturan umum dan prinsip-prinsip yang universal itulah yamg disebut dengan al-
qawanin al-fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqh). Dalam pembahasan kaidah-kaidah fiqh banyak
terdapat macam-macam kaidah salah satunya tentang kaidah-kaidah asasi ( al-Qawaid al-
Khamsah). Dalam kaidah-kaidah asasi terdapat 5 macam kaidah, sehingga untuk lebih
mengetahui macam-macam kaidah dalam al-Qawaid al-Khamsah akan dibahas dalam bab selan
jutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
c. Klasifikasi kesulitan
Dr. Wahbah az-Zuhaili mengklasifikasikan kesulitan dalam 2 kategori, yaitu:
1. Kesulitan Mu’tadah
Kesulitan mu’tadah adalah kesulitan yang alami, dimana manusia mampu mencari jalan
keluarnya sehingga ia belum masuk pada keterpaksaan. Kesulitan model ini tidak dapat di
hilangkan taklif dan tidak menyulitkan untuk melakukan ibadah. Misalnya seseorang kesulitan
mencari pekerjaan, ia dapat pekerjaan yang sangat berat, keberatan ini bukan berarti
diperbolehkan keringanan dalam melakukan shalat atau puasa dan sebagainya, atau karena
kesulitan mencari ma’isah ittu menggugurkan hukum qishas.
2. Kesulitan Qhairu Mu’tadah
Kesulitan qhairu mu’tadah adalah kesulitan yang tidak pada kebiasaan, dimana manusia
tidak mampu memikul kesulitan itu. Karena jika ia melakukannya niscaya akan merusak diri dan
memberatkan kehidupannya, dan kesulitan-kesulitan ini dapat diukur oleh criteria akal sehat.
Syariat sendiri serta kepentingan yang dicapainya, kesulitan semacam ini diperbolehkan
menggunakan dispensasi (rukhsah).
d. Tingkatan kesulitan dalam ibadah
Dr. Wahbah az-Zuhaili membagi tingkatan kesulitan dalam ibadah menjadi 3 macam,
yaitu:
1. Kesulitan Adhimah
Yaitu kesulitan yang dikhawatirkan akan rusaknya jiwa ataupun jasad manusia.
2. Kesulitan Khofifah
Yaitu kesulitan karena sebab yang ringan, seperti kebolehan menggunakan muza jika
sangat dingin menyentuh air.
3. Kesulitan Mutawasithah
Yaitu kesulitan yang tengah-tengah antara yang berat dan yang ringan. Berat ringannya
kesulitan tergantung pada persangkaan manusia, sehingga tidak diwajibkan memilih rukhshah
juga tidak dilarang memilihnya.[6]
e. Bentuk-bentuk keringanan dalam kesulitan
Syekh Izzudin bin Abdis salam menyatakan bahwa bentuk-bentuk keringanan dalam
kesulitan itu ada 6 macam, yaitu:
1. Tahfitul isqoth (meringankan dengan menggugurkan)
Misalnya menggugurkan kewajiban shalat jum’at, ibadah haji dan umrah serta jihad jika
ada uzur.
2. Tahfitul tanqish (meringankan dengan mengurangi)
Misalnya bolehnya menggashar shalat dari 4 rakaat menjadi 2 rakaat.
3. Tahfitul ibdal (meringankan dengan mengganti)
Misalnya dengan mengganti wudhu dengan tayamum, mengganti berdiri dengan duduk
atau berbaring ketika shalat.
4. Tahfitul taqdim (meringankan dengan mendahulukan waktunya)
Misalnya kebolehan jamak taqdim, yakni shalat ashar dilakukan shalat zuhur,
mendahulukan zakat sebelum setahun, mendahulukan zakat fitrah sebelum akhir ramadhan.
5. Tahfitul ta’khir (meringankan dengan mengakhirkan waktu)
Misalnya jamak takhir, yakni shalat zuhur dapat dilakukan pada waktu shalat ashar,
mengakhiri puasa ramadhan bagi yang bepergian dan yang sakit.
6. Tahfitul tarkhsih (meringankan dengan kemurahan)
Misalnya kebolehan menggunakan benda najis atau khomr untuk keperluan berobat.
4. Kaidah yang berkenaan dengan kondisi membahayakan
a. Teks kaidahnya
ض َر ُريُزَ ا ُل
َ ال
Artinya: “Kemudaratan harus dihilangkan”.
Seperti dikatakan oleh Izzuddin Ibn Abd al-Salam bahwa tujuan syariah itu adalah untuk
meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan. Kaidah tersebut di atas kembali kepada tujuan
untuk merealisasikan maqashid al-syari’ah dengan menolak yang mafsadah, dengan cara
menghilanhkan kemudaratan atau setidaknya meringankannya.
Simpulan:
Kaidah asasi dinamakan kaidah ushul, yaitu kaidah pokok dari segala kaidah fiqhiyah
yang ada. Lima kaidah asasi yaitu:
1. Kaidah yang berkaitan dengan niat
a. Teks kaidahnya
ِ األُ ُمو ُر بِ ِمقَا
ص َد هَا
“Segala perkara tergantung kepada niatnya”
b. Dasar-dasar nash kaidahnya yaitu al-Qur’an surah al-Bayyinah ayat 5 dan Hadits Nabi SAW.
2. Kaidah yang berkenaan dengan keyakinan
a. Teks kaidahnya
ِ اَ ْليَقِيْنُ الَيُزَ ا ُل بِا ل َش
ك
“Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan kerugian”.
b. Dasar-dasar nash kaidahnya yaitu Hadits Nabi
3. Kaidah yang berkenaan dengan kondisi menyulitkan
a. Teks kaidahnya
ال َم َشقَةُ تَجْ لِبُ التَي ِْس ْي ُر
“Kesulitan mendatangkan kemudahan”.
b. Dasar-dasar nash kaidahnya yaitu al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 185 dan Hadits Nabi SAW.
DAFTAR PUSTAKA