NIM : 17103070060
PRODI : HTN B
Qawaid Fiqhiyyah atau kaidah fiqhiyyah adalah kata majemuk yang terbentuk dari
dua kata, yakni kata qawaid dan fiqhiyyah, kedua kata itu memiliki pengertian tersendiri.
Secara etimologi, kata qaidah ()قاعدة, jamaknya qawaid ()قواعد. berarti; asas, landasan, dasar
atau fondasi sesuatu, baik yang bersifat kongkret, materi, atau inderawi seperti fondasi
bangunan rumah, maupun yang bersifat abstrak, non materi dan non indrawi seperti
ushuluddin (dasar agama). Sedangkan فقهيةberasal dari kata فقهditambah ya nisbah yang
berfungsi sebagai makna penjenisan dan pembangsaan, sehingga berarti hal-hal yang terkait
dengan fikih.
Secara terminologi, kaidah fiqhiyyah adalah ketentuan hukum yang bersifat umum
yang mencakup hukum-hukum derifasinya karena sifat keumumannya dan atau totalitas nya.
Aturan-aturan yang bersifat umum dalam masalah fiqh, yang dapat diterapkan pada
beberapa masalah-masalah fiqh. (al-Wajiz fi Idhah Qawaid Fiqh)
4- الضرريزال
“Kemudharatan dihilangkan”
Mudharat secara etimologi adalah berasal dari kalimat "al-Dharar”. Dharar adalah
kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan
maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia. Kebolehan
berbuat atau meninggalkan sesuatu karena dharar adalah untuk memenuhi penolakan
terhadap bahaya, bukan yang selain yang demikian itu.
5- العادة محكمة
“Adat kebiasan ditetapkan sebagai hukum”
Qaidah ini mengisyaratkan adat dapat dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan
hukum Islam ketika nash tidak ada. Adat atau ‘urf berbentuk umum dapat berlaku dari
masa sahabat hingga masa kini yang diterima oleh para mujtahid dan mereka beramal
dengannya. Sementara ‘urf khusus hanya berlaku pada lingkungan masyarakat tertentu
yang terkait dengan ‘urf itu.
Dasar Qaidah dari Al-Qur’an
a. Al-Qur’an pada surah al-Baqarah ayat 228: “Dan para wanita mempunyai hak
yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma`ruf. Akan
tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya.
Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”
b. Al-Qur’an pada surah al-Baqarah ayat 233: “Dan jika kamu ingin anakmu
disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah
dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
c. Al-Qur’an pada surah al-Nisa ayat 19: “Dan bergaullah dengan mereka secara
patut”.
d. Al-Qur’an pada surah al-Maidah ayat 89: “Allah tidak menghukum kamu
disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah),
tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu
sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan
sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada
keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan
seorang budak.”
e. Al-Qur’an pada surah al-A’raf ayat 199: “Jadilah engkau pema`af dan
suruhlah orang mengerjakan yang ma`ruf (suatu kebiasaan yang baik), serta
berpalinglah daripada orangorang yang bodoh.”
Dasar Qaidah dari hadis Rasulullah SAW
a. Hadis riwayat dari banyak perawi Hadis antara lain imam Bukhari ra.:
“Ambillah secukupnya untuk kamu dan anakmu dengan cara yang ma’ruf
(kebiasaan yang baik).
b. Hadis riwayat al-Hakim dari Abdullah r.a.: “Apa yang dipandang baik oleh
kaum muslimin, maka baik pula disisi Allah. Apa yang dipandang tidak
baik oleh kaum muslimin, maka tidak baik pula disisi Allah”
Pada qaidah ini ada beberapa qaidah yang harus diperhatikan
a. (Hanyasanya adat dianggap sebagai dasar hukum adalah apabila telah
menjadi adat yang terus menerus atau lebih banyak dilakukan.
b. (Menentukan dengan dasar adat seperti menentukan dengan dasar nash).
c. (Setiapketentuan yang dikeluarkan oleh syarak secara mutlak dan tidak
ada pembatasannya dalam syarak dan dalam ketentuan bahasa
dikembalikan kepada adat). Misalnya, seseorang menjahitkan pakaian
kepada tukang jahit, maka siapakah yang membelikan benang, dikembalikan
kepada kebiasaan setempat.
d. (Adat kebiasaan yang diterapkan dalam satu segi tidak dapat menduduki
tempat syarat). Misalnya, jika menurut adat yang berlaku setiap orang yang
berutang ketika mengembalikan utangnya dengan menambah sedikit
kelebihan, maka penambahan kelebihan tersebut tidak dapat menduduki
tempat persyaratan, sehingga utang itu sendirimenjadi terlarang, karena
berubah menjadi riba nasiah.
Contoh penerapannya
Jual beli dianggap sah dengan setiap lafaz yang biasa berlaku di
kalangan manusia, atau yang mereka telah ketahui dan sudah menjadi adat
kebiasaan mereka meskipun tidak dengan akad ijab-kabul secara lisan. Karena
itu apa yang dipandang manusia sebagai jual beli, atau sewa menyewa, atau
hibah, maka dianggap sebagai jual beli, atau sewa menyewa, atau hibah, karena
nama-nama ini tidak ada batasnya dalam bahasa dan syarak. Oleh karena itu, setiap
nama yang tidak ada batasannya (qayyid) dalam bahasa dan syarak, maka
dikembalikan batasannya kepada adat kebiasaan.
REFERENSI