DALAM
HUKUM
ADAT
ISU GENDER DALAM
HUKUM ADAT
Hukum adat sebagai hukum asli rakyat Indonesia dijamin
keberadaannya dalam UUD NRI 1945. Hukum adat terdiri dari
kaidah-kaidah hukum yang sebagian besar tidak tertulis yang dibuat
dan ditaati oleh masyarakat dimana hukum adat itu berlaku. Hukum
adat terdiri dari berbagai lapangan hukum adat antara lain hukum
adat pidana, tata negara, kekeluargaan, perdata, perkawinan dan
waris. Hukum adat dalam kaitan dengan isu gender adalah hukum
kekeluargaan, perkawinan dan waris. Antara hukum keluarga, hukum
perkawinan dan hukum perkawinan mempunyai hubungan yang
sangat erat karena ketiga lapangan hukum tersebut merupakan bagian
dari hukum adat pada umumnya dan antara yang satu dengan yang
lainnya saling bertautan dan bahkan saling menentukan.
ISU GENDER DALAM
HUKUM ADAT
Sebuah adat dapat saja berfungsi sebagai wujud kearifan lokal yang memiliki
sanksi sosial bila dilihat ancaman kekerasan atas nama aturan adat. Sebagai
contoh wilayah Aceh, aturan adat menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari
yang menjaga nilai dan norma masyarakat menjadi bagian dari pola pikir dan
perilaku masyarakat yang dikuatkan dengan syariat Islam.
Kuatnya pengaruh ideology patriarki dalam masyarakat hukum adat lampung Sebatin telah menempatkan para perempuan
dalam posisi yang subordinasi. Antara lain:
1. Dalam hukum perkawinan, masyarakat hukum adat lampung Sebatin menggunakan sistem perkawinan jujur. Artinya
sistem perkawinan yang diawali dengan pembayaran uang jujur kepada pihak keluarga perempuan. Sebagai
konsekuensi dari perkawinan tersebut, isteri dan anak-anak masuk dalam kerabat suami.
2. Dalam hukum waris, masyarakat hukum adat Lampung menggunakan sistem kewarisan mayorat laki-laki. Sistem
kewarisan mayorat laki-laki adalah sistem pewarisan hanya diberikan kepada anak laki-laki tertua. Terutama untuk
harta pusaka, gelar adat dan termasuk harta pencaharian orang tua. Sedangkan untuk anak perempuan tidak
mendapatkan hak waris. Posisi anak perempuan dalam hukum adat yang tidak mendapatkan hak waris adalah sangat
bertentangan dengan prinsip kewarisan Islam.
3. Perempuan tidak diperkenankan menjadi pemimpin dalam segala sector.
KEI
Dalam hukum adat Larwul Ngabal : Perempuan yang sudah menikah atau yang masih
gadis harus dihormati dan tidak boleh diganggu . Larwul Ngabal merupakan aturan-aturan
untuk menjaga dan menjamin kesusilaan, kehormatan dan kemuliaan pergaulan antar
umat manusia dengan menempatkan kaum perempuan sebagai pihak yang sangat dan
paling patut dihargai
MAKASSAR
Dalam kebudayaan Bugis-Makassar, kedudukan dan fungsi
perempuan dapat dibandingkan sebagai sebuah tangga, dimana derajat
keluarga bisa naik-turun. Dalam bentuk masyarakat yang bertingkat-tingkat
itu, perempuan adalah anak tangganya. Sekeliling meraka, dan keluarga,
dapat naik atau turun derajat kebangsawanannya melalui anak tangga itu.
Jika perempuan sendiri dibolehkan turun atau kawin dengan sembarang
orang, maka perempuan tidak lagi merupakan anak tangga, semuanya
sudah tidak pasti karena jalan untuk naik, atau turun telah jadi licin.
SULAWESI SELATAN
Dalam delik adat Siri Ripoamateng/Siri Dipomate Tolake bahwa
seseorang yang melanggar norma adat kesusilaan (perzinahan),
Kepala Adat Tolake menetapkan suatu reaksi adat berupa sanksi adat
“Prohala” yaitu pihak laki-laki harus membayar seekor kerbau dan
satu piece kain kaci.
Di Minangkabau orang perempuan tidak berhak
menjadi Penghulu Andiko atau Mamak kepala
waris.
Di Pulau Sawu, NTT yang bersifat parental harta
peninggalan ibu diwarisi oleh anak-anak
perempuan dan harta peninggalan bapak diwarisi
anak laki-laki.
Mayorat Harta peninggalan di Bali diwariskan
keseluruhan atau sebagian besar jatuh pada laki-
laki tertua
Di Semendo Sumatra Selatan hak mayorat dimiliki
anak perempuan yang tertua.
TERIMAKASIH