Anda di halaman 1dari 3

Nama : Gilang Febrian Valentino

NIM : 2004551022
No. Absen : 02
No. WA : 087766670467

TUGAS MATKUL GENDER DALAM HUKUM

“Kedudukan Anak Perempuan dalam Hukum Adat Bali”

Masyarakat Bali Hindu menjunjung tinggi hukum adat yang begitu kuat mengikat.
Hukum adat sebagai hukum lokal tidak searah dengan aturan yang lebih tinggi, yakni hukum
negara. Sehingga terdapat dualisme hukum yang ideologinya tidak senada yakni hukum adat
Bali yang cenderung bersifat patriarkhi dimana kekuasaan berada di tangan laki-laki
sedangkan hukum negara yang bertujuan mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender.

Walaupun masyarakat Bali adalah masyarakat yang terbuka, tetapi masuknya ideologi
atau dari luar tidak serta merta ditolak melainkan tetap diterima secara selektif. Dengan cara
demikian masyarakat Bali di satu sisi tetap mempertahankan adat dan budaya termasuk
hukum adatnya tetapi menerima secara selektif ideologi atau budaya luar. Masyarakat Bali
yang dimaksudkan adalah masyarakat Bali Hindu yang menganut sistem kekeluargaan
patrilineal (patriarchaat), yang lebih dikenal dengan istilah “kapurusa atau purusa”. Ciri-ciri
sistem kekerabatan patrilineal yang disampaikan oleh Holleman dan Koentjaraningrat dalam
Sudarta, 2006 [2] sebagai berikut: (1) Hubungan kekerabatan diperhitungkan melalui garis
keturunan ayah, anak-anak menjadi hak ayah; (2) Harta keluarga atau kekayaan orang tua
diwariskan melalui garis pria; (3) Pengantin baru hidup menetap pada pusat kediaman kerabat
suami (adat patrilokal); (4) Pria mempunyai kedudukan yang tinggi dalam kehidupan
masyarakat, dengan perkataan lain perempuan yang telah kawin (menikah) dianggap
memutuskan hubungan dengan keluarganya sendiri, tanpa hak berpindah ke dalam keluarga
suaminya dan tidak akan memiliki hak-hak dan harta benda. Pada sistem kekeluargaan ini
kedudukan laki-laki sangat tinggi dan memegang peran yang sangat kuat dalam segala aspek
kehidupan baik dalam keluarga, maupun masyarakat, yang paling ditekankan disini adalah
dalam hal membuat aturan sebagai pedoman kehidupan bermasyarakat. Aturan yang
dimaksud adalah hukum adat itu sendiri. Dalam membuat aturan hukum perempuan sebagai
warga adat tidak pernah dilibatkan, dengan demikian perempuan hanya melaksanakan apa
yang telah diputuskan oleh laki-laki.

Hukum adat sebagai hukum yang dikonstruksi oleh masyarakat yang secara normatif
masih sangat bias gender bahkan dapat dikatakan diskriminasi gender terutama dalam hukum
keluarga dan hukum waris. Ini mencerminkan bahwa budaya patriarkhi masih sangat kuat
mempengaruhinya bahkan dapat dikatakan ideologi patriarkhi yang begitu kuat mengikat
masyarakat Bali Hindu. Masyarakat Bali sangat taat pada hukum adatnya, walaupun
demikian tidak berarti masyarakat Bali anti akan perubahan atau perkembangan. Masyarakat
Bali sangat cepat mengalami perubahan dalam berbagai hal, akan tetapi dalam bidang hukum
adat dapat dikatakan sangat sulit untuk melakukan perubahan bahkan dapat dikatakan dalam
posisi stagnan.

Hukum Adat Bali tumbuh dan hidup dalam tatanan masyarakat agraris, demikian juga
lembaga-lembaga adat seperti desa adat sangat tergantung pada tanah (wilayah kerjanya) dan
peran-peran individu sesuai dengan kondisi pada saat itu. Dari sisi kekuasaan dalam
masyarakat yang mendominasi adalah para tuan tanah (feodalisme). Sampai masa tahun
60’an sangat dirasakan ketidakadilan gender, terutama pemaksaan kehendak terhadap
perempuan sangat tinggi, seperti: praktek kawin paksa, poligami, pemingitan gadis dalam
usia belia dengan alasan menjaga kesuciannya, kawin dalam usia muda, dan adanya strata
sosial kasta yang melarang perempuan kawin dengan orang lain, hanya dalam lapisan
kastanya saja, bila keluar maka ia dibuang dari keluarga, banyak terjadinya kekerasan fisik
dan mental terhadap perempuan. Sejalan dengan perkembangan ekonomi, terutama adanya
pergeseran kehidupan ekonomi pada sektor jasa, masuknya Keluarga Berencana
memungkinkan bagi perempuan memperoleh penghasilan sendiri. Berkaca pada berlakunya
UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang prinsipnya melarang poligami, kawin
paksa, dan kedudukan istri adalah sebagai mitra sejajar dan yang mewajibkan setiap
perceraian baru sah bila ada Putusan Hakim. Adanya perubahan hukum perkawinan
menyebabkan adanya perubahan prilaku dalam masyarakat. Jadi yang berubah adalah
peran/prilaku, sementara hukum kekeluargaan patrilineal tetap berlaku.

Sedangkan jikat dilihat dari sudut pandang agama yang mempengaruh hukum adat
Bali, yakni Hindu. Menurut Pandangan Hindu kedudukan laki-laki dan perempuan sama-
sama terhormat, yang membedakan adalah tugas dan tanggungjawabnya sebagai kodrat
manusia (guna karma). Sebagai kodrat manusia laki-laki dan perempuan memang berbeda,
hal ini dikarenakan manusia lahir tidak dapat menghindari hukum rwabhineda, dua hal yang
berbeda ada laki-laki dan perempuan, baik buruk, suka dan duka, gagal dan berhasil.

Dalam Hindu antara perempuan dan laki-laki memiliki kedudukan yang sama, saling
mendukung, dan saling melengkapai satu dengan yang lain. Dari konsepsi penciptaan ini
sudah tergambar bahwa laki dan perempuan secara azasi harkat dan martabat serta gendernya
adalah sejajar. Perbedaan laki dan perempuan itu adalah perbedaan yang komplementatif
artinya perbedaan yang saling lengkap melengkapi. Perempuan tanpa laki-laki tidak lengkap.
Demikian juga sebaliknya laki-laki tanpa kehadiran perempuan juga tidak lengkap. Tidak ada
perbedaan perlakuan sosial kehidupan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Budaya Patrilineal khususnya yang memengaruhi Hukum Adat Bali menjadi faktor
terjadinya diskriminasi terhadap kaum perempuan di Bali. Kekeliruan dalam merefleksikan
pemahaman akan konsep purusa dan pradana dalam wujud laki-laki dan perempuan dalam
kehidupan sosial di masyarakat telah menimbulkan adanya ketimpangan dan ketidakadilan
terhadap perempuan di Bali, terutama dalam adat perkawinan. Di mana perempuan (predana)
dianggap lebih rendah kedudukannya dari pada laki-laki (purusa). Perempuan Bali
memandang kerja sebagai suatu persembahan (yadnya) sehingga harus dilakukan secara tulus
ikhlas tanpa memandang adanya ketidakseimbangan peran antara laki-laki dan Perempuan.
Perempuan Bali tidak merasa mengalami ketidakadilan gender karena memaknai setiap
perannya sebagai suatu kewajiban, walaupun sebenarnya Perempuan Bali merasakan beban
kerja akibat ketimpangan peran yang diterimanya

Anda mungkin juga menyukai