Anda di halaman 1dari 3

TUGAS INDIVIDU ORGANIZATION, LEADERSHIP, AND MANAGEMENT

OF ALSA 2020

1. Peserta OLMA diwajibkan untuk membuat Legal Opinion sebagai penilaian ke-aktifan
selama OLMA berlangsung.
2. Format Umum Penulisan adalah sebagai berikut:
a. Ukuran kertas : A4 (210 mm x 297 mm);
b. Huruf : Times New Roman, Ukuran Font 12 dan Spasi 1,5;
c. Margin : Normal Ms Word;
d. Penempatan tulisan : rata kanan dan kiri (justify);
e. Alinea baru dimulai dari 1 cm dari marjin kiri.
3. Legal Opinion ditulis dalam Bahasa Indonesia.
Penyebutan istilah di luar Bahasa Indonesia ditulis dengan huruf cetak miring (italic);
4. Minimal menggunakan 700 kata dan maksimal 2000 kata (tidak termasuk footnotes).
5. Sistematika Penulisan Legal Opinion :
Penulisan harus memenuhi secara berurutan poin-poin berikut:
a. Judul
Ditulis menggunakan huruf cetak tebal dan penempatan rata tengah (center);
b. Nama Kelompok
Penempatan tulisan rata tengah (center);
c. Latar Belakang
Berisikan latar belakang (re: isu hukum) dan identifkasi fakta hukum;
d. Dasar Hukum
Pengumpulan Aturan Hukum yang berkaitan;
e. Analisis Hukum
Pengaplikasian peraturan terhadap permasalahan dan adanya argumentasi berisi
pembahasan permasalahan yang diangkat;
f. Kesimpulan
Memuat poin-poin penting dalam analisis serta jawaban dari isu hukum yang
diangkat secara singkat, padat dan jelas;
g. Saran
Memuat pendapat dalam mengatasi masalah yang dikemukakan;
h. Daftar Pustaka
6. Pembuatan Legal Opinion dimulai dari 14 Oktober 2020 hingga 17 Oktober 2020
7. Pengumpulan Legal Opinion dilakukan melalui Pendamping Kelompok, paling lambat
pada tanggal 17 Oktober 2020, sebelum acara OLMA 2020 berlangsung
8. Penilaian Legal Opinion akan dilakukan dengan melihat dari 4 (empat) unsur :
• StrukturPenulisan
Poin ini menilai cara penulis dalam memaparkan runtutan logika berpikir penulisan;
• AnalisisHukum
Poin ini menilai metode analisis hukum yang digunakan oleh penulis dalam
mengkaji isu hukum yang diangkat;
• PengetahuanHukum
Poin in menilai seperangkat konsep yang digunakan beserta penerapan dan
pemaparannya dalam menelaah isu pada karya ilmiah yang dibuat;
• Argumentasi
Poin ini menilai runtutan berpikir serta logika penulis dalam berpendapat atau
menyelesaikan rumusan masalah yang ada.

Legal Opinion

Istilah Legal Opinion dalam bahasa latin disebut dengan Ius Opinion, dimana Ius artinya
Hukum dan Opinion artinya pandangan atau pendapat. Legal opinion yang selanjutnya disebut LO,
pada hakikatnya dibuat untuk menjawab isu tertentu. Isu ini akan dimuat dalam kasus posisi yang
telah ditentukan. Suatu LO harus dibuat secara terfokus, sistematis, dan proporsional. LO harus
fokus hanya memuat persoalan yang ditanyakan, tidak mengulas hal-hal di luar itu. LO juga harus
sistematis agar uraiannya mudah dipahami. Adapun tujuan dibuatnya suatu Legal opinion adalah
untuk memberikan pendapat hukum atas suatu persoalan hukum agar didapat suatu keputusan atau
tindakan yang tepat atas persoalan hukum yang ada tersebut. Berikut adalah kasus posisi sebagai
acuan dalam pembuatan legal opinion.

Kasus Posisi:

I Gede Ari Astna alias Jerinx, Personel band Superman is Dead (SID) resmi menjadi
tersangka dalam kasus pencemaran nama baik dan ujaran kebencian ‘IDI Kacung WHO’ yang
diunggah di akun Instagram miliknya. Jerinx berdasar, sudah banyak bukti jika hasil tes sering
ngawur kenapa dipaksakan? Kalau hasil tesnya bikin stres dan menyebabkan kematian pada
bayi/ibu, siapa yang tanggung jawab?" Ia pun menulis caption dengan: "Bubarkan IDI! Saya
enggak akan berhenti menyerang kalian @ikatandokterindonesia sampai ada penjelasan perihal
ini! Rakyat sedang diadu domba dengan IDI/RS? tidak. IDI & RS yang mengadu diri mereka
sendiri dengan hak-hak rakyat."

Jerinx dicecar 13 pertanyaan oleh Penyidik Ditreskrimsus Polda Bali atas dugaan kasus
pencemaran nama baik IDI dan ujaran kebencian melalui media sosial. "Sementara, dari hasil
pemeriksaan ahli bahasa memang ada unsur yang mencemarkan nama baik. Lalu terkait dengan
postingan-postingan itu kita tetap berpedoman dengan ahli bahasa," kata Yuliar seperti dilansir
Antara. Dari hasil pemeriksaan itu, kata Yuliar, pihaknya mendapatkan tiga catatan mendasar.
Pertama, memang Jerinx yang memuat postingan itu. Kedua, lanjut Yuliar, Jerinx menggugah IDI
selaku organisasi profesional untuk mengambil tindakan atas ketidakadilan terhadap rakyat, rapid
test sebagai syarat layanan ke RS. Sementara yang ketiga, terkait dengan beberapa postingan yang
cukup banyak pada 16 Juni 2020 lalu. Yuliar mengatakan, dugaan kasus ini berkaitan dengan
Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) dan/atau Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3), tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik yang pada intinya berisikan pencemaran nama baik dan ujaran
kebencian (hate speech).

Dilain sisi, Jerinx menganggap dirinya tidak bersalah karena kebebasan berpendapat
(freedom of speech) dijamin dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya
dalam Pasal 28E ayat (3) yang menyebutkan “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Ditambah lagi menurutnya pendapat yang ia sampaikan
melalui sosial media, merupakan pendapat yang membela kepentingan banyak rakyat kecil yang
dirugikan dengan sistem wajib rapid test yang ditetapkan dalam berbagai kegiatan.

Permasalahan :

Apakah pendapat Jerinx memang seharusnya untuk dijerat dengan Pasal 28 ayat (2) jo.
Pasal 45A ayat (2) dan/atau Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2008
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena sudah memenuhi rumusan delik?
Atau pendapatnya justru harus dilindungi sesuai dengan Kebebasan Berpendapat (Freedom
of Speech) sesuai termaktub dalam Pasal 28E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945?

Anda mungkin juga menyukai