ANALIS HUKUM
PELATIHAN DASAR
Penulis :
DEPOK, 2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pegawai Negeri Sipil (PNS) memiliki peranan yang menentukan dalam
pembangunan nergara kesatuan Republik Indonesia. Sejumlah keputusan strategis
mulai dari merumuskan kebijakan sampai pada implementasi kebijakan dalam
berbagai sektor pembangunan dilaksanakan oleh PNS. Untuk memainkan peranan
tersebut, diperlukan sosok PNS yang profesional, yaitu PNS yang mampu
memenuhi standar kompetensi jabatannya sehingga mampu melaksanakan tugas
jabatannya secara efektif dan efisien. Untuk dapat membentuk sosok PNS
profesional tersebut perlu dilaksanakan pembinaan melalui jalur pelatihan.
Sebagai calon aparatur sipil negara maka Calon Pegawai Negeri Sipil dituntut
untuk menjalankan tugas dan perannya secara profesional sebagai pelayan
masyarakat. Profesionalisme Calon Pegawai Negeri Sipil diperoleh melalui
pembentukan karakter dan penguatan kompetensi teknis sesuai dengan bidang
tugas melalui Pelatihan Dasar Calon Pegawai Negeri Sipil
Selama ini pelatihan pembentukan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS)
dilakukan melalui Pendidikan dan Pelatihan Prajabatan (Diklat Prajabatan), dimana
praktik penyelenggaraan Pelatihan yang pembelajarannya didominasi oleh ceramah
sulit membentuk karakter PNS yang kuat dan profesional. Sejalan dengan telah
ditetapkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
(UU ASN) dan merujuk Pasal 63 ayat (3) dan ayat (4); CPNS wajib menjalani masa
percobaan yang dilaksanakan melalui proses Diklat terintegrasi untuk membangun
integritas moral, kejujuran, semangat dan motivasi nasionalisme dan kebangsaan,
karakter kepribadian yang unggul dan bertanggungjawab, dan memperkuat
profesionalisme serta kompetensi bidang.
Kurikulum Penguatan Kompetensi Teknis Bidang Tugas itu sendiri terdiri dari:
a. Kompetensi Teknis Umum/Administrasi; dan
b. Kompetensi Teknis Substantif.
3
B. Deskripsi Singkat
Mata pelatihan ini membekali peserta dengan kemampuan menganalisis
kebijakan di bidang hukum melalui pembelajaran asas-asas dan landasan teori
hukum, metodologi penelitian hukum, analisis dan perumusan rekomendasi di
bidang hukum
C. Hasil Belajar
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta pelatihan diharapkan mampu
menganalisis kebijakan di bidang hukum dan menyusun rekomendasinya
BAB II
Indikator Keberhasilan:
Setelah mempelajari modul ini peserta diharapkan mampu menjelaskan tentang:
1. Landasan Teori
2. Teori Hukum
3. Norma Hukum
4. Ilmu Perundang-undangan dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan
dalam sistem Hukum Indonesia
1. Landasan Teori
Landasan Teori sangat penting dalam sebuah analisis terutama dalam
penulisan ilmiah, analisis ataupun peneliti tidak bisa mengembangkan masalah yang
mungkin di temui di tempat penelitian jika tidak memiliki acuan landasan teori yang
mendukungnya. Dalam landasan teori layaknya fondasi pada sebuah bangunan.
Bangunan akan terlihat kokoh bila fondasinya kuat, begitu pula dengan penulisan
menyangkut analis hukum, tanpa landasan teori penelitian dan metode yang
digunakan tidak akan berjalan lancar. Analis atau Peneliti juga tidak bisa membuat
pengukuran atau tidak memiliki standar alat ukur jika tidak ada landasan teori.
Seperti yang diungkapkan oleh Sugiyono (2012:52), bahwa landasan teori
perlu ditegakkan agar seorang analis maupun penelitian itu mempunyai dasar yang
kokoh, dan bukan sekedar perbuatan coba-coba (trial and error).
Landasan teori adalah seperangkat definisi, konsep serta proposisi yang telah
disusun rapi serta sistematis tentang variable-variabel dalam sebuah penganalis.
Landasan teori ini akan menjadi dasar yang kuat dalam sebuah penulisan yang akan
dilakukan. Pembuatan landasan teori yang baik dan benar dalam sebuah penulisan
menjadi hal yang penting karena landasan teori ini menjadi sebuah pondasi serta
landasan dalam penulisan tersebut. Yang dibahas pada bagian ini adalah teori-teori
tentang ilmu-ilmu yang diteliti. Penyajian teori dalam landasan teori dianggap tidak
terlalu sulit karena bersumber dari bacaan-bacaan. Akibatnya terjadilah penyajian
7
materi yang tidak proporsional, yaitu mengambil banyak teori walaupun tidak
mendasari bidang yang diteliti. Jadi seharusnya teori yang dikemukakan harus
benar-benar menjadi dasar bidang yang diteiti. Selain itu, pada bagian ini juga
dibahas temuan-temuan penelitian sebelumnya yang terkait langsung dengan
penelitian.1 Teori yang ditulis orang lain atau temuan penelitian orang lain yang
dikutip harus disebut sumbernya untuk menghindari tuduhan sebagai pencuri karya
orang lain tanpa menyebut sumbernya.
Etika ilmiah tidak membenarkan seseorang melakukan pencurian karya orang
lain. Menurut Jonathan Turner (dalam babbie, 1992) menyatakan bahwa teori dalam
ilmu sosial adalah penjelasan sistematis tentang hukum-hukum dan kenyataan-
kenyataan yang dapat diamati, yang berkaitan dengan aspek khusus dari kehidupan
manusia.2
Menurut Neuman 2003 (dalam Sugiyono, 2012) teori adalah seperangkat
konstruk (konsep), definisi, dan proposisi yang berfungsi untuk melihat fenomena
secara sistematis melalui spesifikasi hubungan antar variabel, sehingga dapat
berguna untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena.
Selanjutnya pengertian teori menurut Djojosuroto Kinayati & M.L.A Sumaryati,
Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstruk, dan proposisi untuk
menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan
hubungan antar konsep. Kata teori sendiri memiliki arti yang berbeda-beda pada
setiap bidang pengetahuan, hal itu tergantung pada metodologi dan konteks diskusi.
Secara umum, teori merupakan analisis hubungan antara fakta/fenomena yang satu
dengan fakta yang lain pada sekumpulan fakta-fakta.3
Berdasarkan beberapa pengertian diatas secara umum dapat ditarik
kesimpulan bahwa suatu teori adalah suatu konseptualitas antara asumsi, konstruk,
dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena yang diperoleh melalui proses
sistematis, dan harus dapat diuji kebenarannya, bila tidak maka itu bukan teori. Teori
1
. Sugiyono. 2010, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, danR&D.
Bandung: Alfabeta.
2
. Ibid
3
. Kinayati,Djojosuroto& M.L.A Sumaryati.2004.Prinsip-prinsip Penelitian Bahasa dan Sastra.B
andung: Yayasan Nuansa Cendekia.
8
semacam ini mempunyai dasar empiris, dimana harus melalui proses eksperimen,
penelitian atau observasi, sehingga teori dapat dikatakan berhasil.
Adapun pengertian dari Asumsi, konsep, konstruk dan proposisi dalam
sebuah teori (menurut Djojosuroto kinayati & M.L.A Sumayati:2004) adalah sebagai
berikut:
a. Asumsi adalah suatu anggapan dasar tentang realita, harus diverivikasi
secara empiris. Asumsi dasar ini bisa memengaruhi cara pandang peneliti
terhadap sebuah fenomena dan juga proses penelitian secara keseluruhan,
karena setiap penelitian pasti menggunakan pendekatan yang berbeda
sehingga asumsia dasarnya pun berbeda pada setiap penelitian.
b. Konsep adalah istilah, terdiri dari satu kata atau lebih yang menggambarkan
suatu gejala atau menyatakan suatu ide (gagasan ) tertentu.
c. Konstruk adalah konsep yang ciri-cirinya dapat diam langsung seperti
pemecahan masalah.
d. Proposisi adalah hubungan yang logis antara dua konsep.
Mark 1963, dalam (Sugiyono, 2012) membedakan adanya tiga macam teori.
Ketiga teori yang dimaksud ini berhubungan dengan data empiris, teori ini antara
lain:
a. Teori yang Deduktif: memberi keterangan yang dimulai dari suatu
perkiraan, atau pikiran spekulatis tertentu kearah data akan
diterangkan.
b. Teori Induktif: cara menerangkan adalah dari data ke arah teori. Dalam
bentuk ekstrim titik pandang yang positivistik ini dijumpai pada kaum
behaviorist
c. Teori fungsional: disini nampak suatu interaksi pengaruh antara data
dan perkiraan teoritis, yaitu data mempengaruhi pembentukan teori dan
pembentukan teori kembali mempengaruhi data.4
Teori adalah alur logika atau penalaran, yang merupakan seperangkat
konsep, definisi, dan proposisi yang disusun secara sistematis. Menurut Sugiyono
fungsi teori secara umum adalah:
4
Sugiyono, Op. Cit
9
a. Pertama;
Menentukan tema sejarah atau budaya apa, sejarah politik, sejarah ekonomi,
sejarah sosial, sejarah intelektual, budaya lokal, kesenian, upacara keagamaan
dan lain-lain.
b. Kedua;
Menentukan ilmu bantu yang dibutuhkan untuk mendukung analisis maupun
penelitian, seperti sosiologi, antropologi, ilmu politik, ekonomi, hukum dan
sebagainya, sesuai dengan tema dan topik penelitian. Ilmu-ilmu bantu kemudian
menjadi pendekatan penelitian.
Pendekatan (approach), selain bagian dari metodologi, juga merupakan bagian
dari metode, oleh karena itu dalam hal ini harus melihat cara apa yang terdekat
untuk menjelaskan topik yang dipilih.
Hal ini juga harus sesuai dengan kebutuhan dari tema dan topik penelitian dalam
melakukan suatu analis. Apakah pendekatan hukum, politis, ekonomis,
sosiologis, arkeologis, psikologis, dan sebagainya.
c. Ketiga;
Menjelaskan konsep-konsep diperlukan untuk menjelaskan permasalahan
penelitian. Konsep yang dipakai harus dipahami. Biasakan diri untuk
membuka berbagai macam kamus, terutama yang sesuai untuk kebutuhan anda
untuk memahami konsep atau istilah tertentu, jangan membuat pengertian
dengan pengertian kira-kira. Jika tiga hal ini sudah ditemukan, tinggal
5
Neuman, Dalam artikel Prof. Dr. Mudjia Rahardjo. Teori Hukum.
12
6
Moleong, Lexy.J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
13
jelas berakibat pada data yang diperoleh juga tidak jelas, sehingga antara
masalah yang hendak dijawab dan data yang ada tidak sambung.
Ujungnya kesimpulannya tidak berangkat dari data, tetapi pendapat
pribadi peneliti. Tentu ini tidak bisa dibenarkan. Hal demikian bisa
dihindari melalui kajian pustaka dengan serius.
e. Kajian pustaka tidak saja untuk mempelajari apa yang telah dilakukan
orang lain, tetapi juga melihat apa yang terlewatkan dan belum dikaji oleh
peneliti sebelumnya.Untuk melihat bahwa pendekatan penelitian yang
kita lakukan steril dari pendekatan-pendekatan lain. Sebab, pada
umumnya kajian pustaka justru menyebabkan peneliti meniru
pendekatan-pendekatan yang sudah lama dipakai orang lain, sehingga
tidak menghasilkan temuan yang berarti. Mencoba pendekatan baru —
walau mungkin salah — lebih baik daripada mengulang hal yang sama
berkali-kali walau benar. Pengulangan justru menunjukkan peneliti tidak
cukup melakukan pembacaan literatur secara memadai. Kesalahan
metodologis akan disusul dan dikoreksi oleh peneliti selanjutnya,
sehingga menyebabkan ilmu pengetahuan berkembang. Karena itu,
dalam ilmu pengetahuan kesalahan bukan sesuatu yang aib. Proses
demikian oleh Polanyi disebut sebagai falsifikasi.
f. Memperoleh pengetahuan (insights) mengenai metode, ukuran, subjek,
dan pendekatan yang dipakai orang lain dan bisa dipakai untuk
memperbaiki rancangan penelitian yang kita lakukan. Rancangan
penelitian, lebih-lebih untuk penelitian kualitatif, bukan sesuatu yang
sekali jadi, melainkan terus diperbaiki agar diperoleh metode yang tepat
untuk memperoleh data dan menganalisisnya. Kenyataan di lapangan
ditemukan racangan penelitian kualitatif seragam dari satu proyek
penelitian ke yang lain. Padahal, walaupun berangkat dari paradigma
yang sama rancangan penelitian kualitatif bisa berbeda dari penelitian ke
penelitian lainnya, karena penelitian kualitatif berangkat dari kasus atau
fenomena tertentu.
g. Melalui kajian pustaka, bisa diperoleh pengetahuan berupa rekomendasi
atau saran-saran bagi peneliti selanjutnya. Informasi ini tentu sangat
14
2. Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir merupakan inti sari dari teori yang telah dikembangkan
yang dapat mendasari perumusan hipotesis. Teori yang telah dikembangkan dalam
rangka memberi jawaban terhadap pendekatan pemecahan masalah yang
menyatakan hubungan antar variabel berdasarkan pembahasan teoritis. Perlu
dijelaskan bahwa tidak semua penelitian memiliki kerangka pikir. Kerangka pikir
pada umumnya hanya diperuntukkan pada jenis penelitian kuantatif.
Untuk penelitian kualitatif kerangka berpikirnya terletak pada kasus yang
selama ini dilihat atau diamati secara langsung oleh penulis. Sedangkan untuk
penelitian tindakan kerangka berpikirnya terletak pada refleksi, baik pada peneliti
maupun pada partisipan. Hanya dengan kerangka berpikir yang tajam yang dapat
digunakan untuk menurunkan hipotesis. Kerangka pemikiran adalah narasi (uraian)
atau pernyataan (proposisi) tentang kerangka konsep pemecahan masalah yang
telah diidentifikasi atau dirumuskan.
15
3. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual penelitian adalah suatu hubungan atau kaitan antara
konsep satu terhadap konsep yang lainya dari masalah yang ingin diteliti. Kerangka
konsep ini gunanya untuk menghubungkan atau menjelaskan secara panjang lebar
18
tentang suatu topik yang akan dibahas. Kerangka ini didapatkan dari konsep ilmu /
teori yang dipakai sebagai landasan penelitian yang didapatkan dibab tinjauan
pustaka atau kalau boleh dikatakan oleh penulis merupakan ringkasan dari tinjauan
pustaka yang dihubungkan dengan garis sesuai variabel yang diteliti.
Tinjauan pustaka berisi semua pengetahuan (teori, konsep, prinsip, hukum
maupun proposisi) yang nantinya bisa membantu untuk menyusun kerangka konsep
dan operasional penelitian. Temuan hasil peneliti yang telah ada sangat membantu
dan mempermudah peneliti membuat kerangka konseptual. Kerangka konseptual
diharapkan akan memberikan gambaran dan mengarahkan asumsi mengenai
variabel-variabel yang akan diteliti.
Kerangka konseptual memberikan petunjuk kepada peneliti di dalam
merumuskan masalah penelitian. Peneliti akan menggunakan kerangka konseptual
yang telah disusun untuk menentukan pertanyaan- pertanyaan mana yang harus
dijawab oleh penelitian dan bagaimana prosedur empiris yang digunakan sebagai
alat untuk menemukan jawaban terhadap pertanyaan tersebut.
Kerangka konseptual diperoleh dari hasil sintesis dari proses berpikir deduktif
(aplikasi teori) dan induktif (fakta yang ada, empiris), kemudian dengan kemampuan
kreatif-inovatif, diakhiri dengan konsep atau ide baru yang disebut kerangka
konseptual.
Jadi Konsepsi adalah hasil tangkapan seseorang atau gambaran tentang objek
atau ide terhadap rangsangan (stimulus) objek yang merupakan proses mental
untuk berpikir kreatif. Pertemuan telur dan sperma adalah contoh suatu konsepsi.
Bagaimana supaya telur dan sperma bertemu (konsepsi) pada tempat yang bisa
membuahkan bayi yang sehat, maka proses ini merupakan konseptualisasi.
Konseptualisasi adalah suatu proses mental di mana seorang ilmuwan menyusun
konsep yang didasarkan pengalaman, berpikir deduktif dan induktif. Konsep adalah
hasil akhir dari proses konseptualisasi.
Hasil dari proses kegiatan ini menghasilkan sebuah konsep atau bayi sehat.
Pemilihan kerangka konsepsual yang tepat pada sebagian besar penelitian
ditentukan oleh beberapa landasan, yaitu :
1. Landasan pertama berpikir deduktif; analisis teori, konsep, prinsip, premis
yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti. Oleh karena itu
19
peneliti harus membuat analisis secara hati-hati dan kritis serta menelaah
semua kepustakaan yang berhubungan dengan subyek penelitian secara
cermat, sebelum memformulasikan hipotesis yang bertujuan untuk menjawab
pertanyaan penelitian tersebut.
2. Landasan kedua berpikir induktif; analisis penelusuran hasil penelitian orang
lain yang mendahului yang terkait dengan masalah dan tujuan penelitian.
3. Landasan ketiga adalah merumuskan permasalahan dan penetapan
tujuan penelitian atas dasar sintesis dari analisis landasan pertama dan ke-
empat dengan cara berpikir kreatif-inovatif; sintesis pengalaman, teori, fakta,
tujuan penelitan dan logika berpikir kreatif disusun menjadikerangka
konseptual penelitian. Ada semacam asas dalam pembuatan kerangka pikir
atau kerangka konseptual, yaitu: Untuk pendidikan sarjana, kerangka konsep
mengacu pada suatu konsep yang telah ada (cukup satu). Variabel yang
membentuk kerangka konsep disesuaikan dengan variabel yang relevan
dengan permasalahan yang ada (tujuan penelitian). Jadi mencoba
mencocokkan teori, konsep dengan realita permasalahan di lapangan. Untuk
pendidikan magister, selain berdasarkan kerangka konsep yang ada (bisa
lebih dari satu), juga diminta ada masukan ide atau gagasan baru. Paling
tidak ada modifikasi variable yang disesuaikan realita di lapangan.
Satu contoh dapat dilihat tujuan akhir penelitian program magister lebih
diutamakan dalam bentuk ide dan atau teknologi pemecahan masalah. Untuk
pendidikan doktor, maka konsep yang ada harus dimodifikasi, artinya seorang
program doktor juga ada ide, gagasan inovatif dalam mengembangan
konsep. Ide inovatif yang disesuaikan dengan kondisi dan situasi di mana
penelitian tersebut diadakan, sehingga menghasilkan pengetahuan baru.
Tahap penyusunan kerangka konseptual. Kerangka konsep penelitian pada
dasarnya adalah kerangka hubungan antara konsep-konsep yang ingin diamati atau
diukur melalui penelitian. Untuk itu langkah-langkah yang dilakukan sebelum
membuat kerangka konseptual ini adalah :
1. Seleksi dan definisi konsep (logika berpikir untuk mencoba menjelaskan atau
atribut dari masalah yang akan diteliti)
2. Mengembangkan pernyataan hubungan.
20
C. TEORI HUKUM
Teori ilmu hukum bertujuan untuk menjelaskan kejadian-kejadian dalam bidang
hukum dan mencoba untuk memberikan penilaian. Menurut Radburch tugas dari
teori hukum adalah membikin jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai
kepada dasar-dasar filsafat yang paling dalam.
Teori hukum dipelajari sudah sejak zaman dahulu oleh para ahli hukum Yunani
maupun Romawi dengan membuat berbagai pemikiran tentang hukum sampai
kepada akar-akar filsafatnya.
Sebelum abad ke-19, teori hukum merupakan produk sampingan yang
terpenting dari filsafat agama, etika, dan politik. Para ahli fikir hukum terbesar pada
awalnya adalah ahli-ahli filsafat, ahli-ahli agama, ahli-ahli politik. Perubahan
terpenting filsafat hukum dari para pakar filsafat atau ahli politik kepada filsafat
hukum dari para ahli hukum barulah terjadi pada akhir-akhir ini yaitu setelah adanya
perkembangan yang hebat dalam penelitian, studi teknik dan penelitian hukum.
Teori-teori hukum pada zaman dahulu dilandasi oleh teori filsafat dan politik umum,
sedangkan teori-teori hukum modern dibahas dalam bahasa dan sistem pemikiran
para ahli hukum sendiri. Perbedaannya terletak dalam metode dan penekanannya.
Teori hukum dari ahli hukum modern didasarkan atas keyakinan tertinggi yang
diilhamnya datang dari luar bidang hukum itu sendiri.
Teori hukum merupakan kelanjutan dari usaha untuk mempelajari hukum
positif. Teori hukum menggunakan hukum positif sebagai bahan kajian dengan
21
telaah filosofis sebagai salah satu sarana bantuan untuk menjelaskan tentang
hukum.
Para ahli fikir hukum terbesar pada awalnya adalah ahli-ahli filsafat, ahli-ahli
agama, ahli-ahli politik. Perubahan terpenting filsafat hukum dari para pakar filsafat
atau ahli politik ke filsafat hukum dari para ahli hukum, barulah terjadi pada akhir-
akhir ini. Yaitu setelah adanya perkembangan yang hebat dalam penelitian, studi
teknik dan penelitian hukum.
Teori-teori hukum pada zaman dahulu dilandasi oleh teori filsafat dan politik
umum. Sedangkan teori-teori hukum modern dibahas dalam bahasa dan sistem
pemikiran para ahli hukum sendiri.
Perbedaannya terletak dalam metode dan penekanannya. Teori hukum para
ahli hukum modern seperti teori hukum para filosof ajaran skolastik, didasarkan atas
keyakinan tertinggi yang ilhamnya datang dari luar bidang hukum itu sendiri.Teori-
Teori Hukum Pada Zaman Yunani-RomawI
Plato (427-347 sebelum Masehi) beranggapan bahwa hukum itu suatu
keharusan dan penting bagi masyarakat. Sebagaimana yang dituliskannya dalam
“The Republik”, hukum adalah sistem peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun
baik yang mengikat masyarakat. Pelaksanaan keadilan dipercayakan kepada para
pengatur pemerintahan yang pendidikan serta kearifannya bersumber pada ilham
merupakan jaminan untuk terciptanya pemerintahan yang baik.3) Dan pada
karyanya yang telah diperbaharui Plato mulai mengusulkan “negara hukum” sebagai
alternatif suatu sistem pemerintahan yang lebih baik, dengan konsepnya mengenai
negara keadilan yang dijalankan atas dasar norma-norma tertulis atau undang-
undang.
Aristoteles (384-322 sebelum Masehi) adalah murid Plato yang paling
termasyur. Ia adalah seorang pendidik putra raja yang bernama Alexander Agung.
Menurut Aristoteles hukum harus ditaati demi keadilan, dan ini dibagi menjadi hukum
alam dan hukum positif. Hukum alam menurut Aristoteles merupakan aturan
semesta alam dan sekaligus aturan hidup bersama melalui undang-undang. Pada
Aristoteles hukum alam ditanggapi sebagai suatu hukum yang berlaku selalu dan
dimana-mana karena hubungannya dengan aturan alam. Hukum positif adalah
semua hukum yang ditentukan oleh penguasa negara. Hukum itu harus selalu
22
ditaati, sekalipun ada hukum yang tidak adil. Aristoteles juga membedakan antara
keadilan “distributif” dan keadilan “korektif” atau “remedial”. Keadilan distributif
mengacu kepada pembagian barang dan jasa kepada setiap orang sesuai dengan
kedudukannya didalam masyarakat, dan perlakuan yang sama terhadap
kesederajatan dihadapan hukum (equality before the law). Keadilan jenis ini
menitikberatkan kepada kenyataan fundamental dan selalu benar, walaupun selalu
dikesampingkan oleh hasrat para filsuf hukum untuk membuktikan kebenaran
pendirian politiknya, sehingga cita keadilan secara teoritis tidak dapat memiliki isi
yang tertentu sekaligus sah. Keadilan yang kedua pada dasarnya merupakan ukuran
teknik dari prinsip-prinsip yang mengatur penerapan hukum. 7
Dalam mengatur hubungan hukum harus ditemukan suatu standar yang
umum untuk memperbaiki setiap akibat dari setiap tindakan, tanpa memperhatikan
pelakunya dan tujuan dari perilaku-perilaku dan obyek-obyek tersebut harus diukur
melalui suatu ukuran yang obyektif.
Selanjutnya Aristoteles memberikan pembedaan terhadap keadilan abstrak
dan kepatutan. Hukum harus menyamaratakan dan banyak memerlukan kekerasan
didalam penerapannya terhadap masalah individu. Kepatutan mengurangi dan
menguji kekerasan tersebut, dengan mempertimbangkan hal yang bersifat
individual.
Pada Abad Pertengahan Thomas Aquinas (1225-1275) adalah seorang
rohaniawan Gereja Katolik yang lahir di Italia, belajar di Paris dan Kolin dibawah
bimbingan Albertus Magnus.
Didalam membahas arti hukum, Thomas Aquinas mulai dengan membedakan
antara hukum-hukum yang berasal dari wahyu dan hukum-hukum yang dijangkau
oleh akal budi manusia sendiri. Hukum yang didapati dari wahyu disebut hukum Ilahi
(ius divinum positivum). Hukum yang diketahui berdasarkan kegiatan akal budi ada
beberapa macam. Pertama-tama ada hukum alam (ius nature), kemudian juga
hukum bangsa-banga (ius gentium), akhirnya hukum positif manusiawi (ius
positivum humanum).
7
Eddy O.S Hiareij, Hand Out Mata Kuliah Teori Hukum Semester Ganjil 2010/2011, Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
23
Tentang hukum yang berasal dari wahyu dapat dikatakan, bahwa hukum
mendapat bentuknya dalam norma-norma moral agama. Seringkali norma-norma itu
sama isinya dengan norma-norma yang umumnya berlaku dalam hidup manusia.
Untuk dapat menjelaskan hukum alam, Thomas Aquinas bertolak dari ide-ide dasar
Aristoteles. Aturan alam semesta tergantung dari Tuhan yang menciptakannya. Oleh
karena itu aturan alam ini harus berakar dalam suatu aturan abadi (lex aeterna),
yang terletak dalam hakekat Allah sendiri. Hakekat Allah itu adalah pertama-tama
Budi Ilahi yang mempunyai ide mengenai segala ciptaan. Budi Ilahi praktis
membimbing segala-galanya kearah tujuannya.
Semesta alam diciptakan dan dibimbing oleh Allah, tetapi lebih-lebih manusia
beserta kemampuannya untuk memahami apa yang baik dan apa yang jahat dan
kecenderungan untuk membangun hidupnya sesuai dengan aturan alam itu. Oleh
karena itu untuk hukum alam, Thomas Aquinas pertama-tama memaksudkan aturan
hidup manusia , sejauh didiktekan oleh akal budinya.
Hukum alam yang terletak dalam akal budi manusia itu (lex naturalis) tidak
lain daripada suatu pertisipasi aturan abadi dalam ciptaan rasional.
Hukum alam yang oleh akal budi manusia ditimba dari aturan alam, dapat
dibagi dalam dua golongan yaitu: hukum alam primer dan hukum alam sekunder.
Hukum alam primer dapat dirumuskan dalam norma-norma yang karena bersifat
umum berlaku bagi semua manusia. Hukum alam sekunder dapat diartikan dalam
norma-norma yang selalu berlaku in abstracto, oleh karena langsung dapat
disimpulkan dari norma-norma hukum alam primer, tetapi dapat terjadi juga adanya
kekecualian berhubung adanya situasi tertentu. Thomas Aquinas membedakan
antara keadilan distributif, keadilan tukar-menukar dan keadilan legal. Keadilan
distributif menyangkut hal-hal umum. Keadilan tukar-menukar menyangkut barang
yang ditukar antara pribadi seperti misalnya jual beli. Keadilan legal menyangkut
keseluruhan hukum, sehingga dapat dikatakan bahwa kedua keadilan tadi
terkandung keadilan legal.
Friederich Stahl (Jerman). dengan Teori Theokrasi menganggap bahwa
hukum itu adalah kemauan Tuhan, jadi yang menjadi dasar dari kekuatan hukum
adalah kepercayaan kepada Tuhan. Tinjauan tentang hukum dikaitkan dengan
kepercayaan dan agama, dimana perintah-perintah Tuhan tersebut ditulis di dalam
24
kitab-kitab suci. Teori Theokrasi ini di Barat diterima sampai zaman Renaissance
(abad ke-9).
Selanjutnya dalam Teori Perjanjian Masyarakat (Contract Social)/ Teori
Kedaulatan Rakyat. Pada abad ke-18, Jean Jacques Rousseau memperkenalkan
teorinya yang disebut Perjanjian Masyarakat (Contract Social) atau Kedaulatan
Rakyat. Teori ini menganggap bahwa dasar terjadinya suatu negara adalah
perjanjian yang diadakan oleh dan antara anggota masyarakat untuk mendirikan
suatu negara. Dalam bukunya yang berjudul “Le contract social” (1972), Rosseau
mengemukakan bahwa negara bersandar atas kemauan rakyat, demikian pula
halnya semua peraturan perundang-undangan adalah penjelmaan kemauan rakyat.
Orang menaati hukum karena orang sudah berjanji menaati hukum.
Penganut dari teori ini diantaranya Thomas Hobbes, Montesquieu, dan John
Locke. Hobbes menambahkan bahwa keadaan alamiah sama sekali bukanlah
keadaan yang aman, adil dan makmur. Namun sebaliknya, keadaan alamiah
merupakan suatu keadaan sosial yang kacau, tanpa hukum yang dibuat manusia
secara sukarela, tanpa pemerintah, dan tanpa ikatan-ikatan sosial antar individu.
Dalam keadaan yang demikian, yang berlaku adalah hukum rimba dimana yang
terkuat adalah yang menang. Manusia seakan-akan merupakan binatang yang
senantiasa berada dalam keadaan bermusuhan, terancam oleh sesamanya dan
menjadi mangsa bagi manusia yang mempunyai fisik yang lebih kuat dari padanya.
Keadaan tersebut dilukiskan dalam peribahasa latin “homo homini lupus” (= manusia
yang satu merupakan binatang buas bagi manusia yang lain).
Dalam kepustakaan ilmu politik, dikenal ada 2 (dua) macam perjanjian
masyarakat, yaitu:
– Perjanjian masyarakat yang sebenarnya (pactum uniois / pacte d’ association
/ social contract proper), adalah perjanjian masyarakat dengan membentuk
badan kolektif bersama yang akan menampung individu-individu yang
selanjutnya bersama-sama mengadakan perjanjian. Dengan perjanjian inilah
maka terbentuklah societas atau masyarakat manusia.
– Perjanjian pemerintahan (pactum subjectionis / pacte de gouverment /
contract of government). Bersamaan atau setelah pembentukan societas
tersebut, diadakan pula perjanjian antara manusia dengan seorang atau
25
– Hukum hanya apa yang memenuhi rasa keadilan dari orang terbanyak;
– Peraturan yang tidak sesuai dengan rasa keadilan orang terbanyak tidak
dapat mengikat. Peraturan seperti itu bukan merupakan hukum, meskipun
masih ditaati orang atau dipaksakan;
– Masyarakat mempunyai perasaan bagaimana hukum itu seharusnya, dan
karena itulah hukum itu ada. Dan hanya kaidah yang timbul dari perasaan
hukum yang mempunyai kewibawaan.
Teori-Teori Hukum abad XIX dan Selanjutnya menganut teori Positivisme dan
Utilitarianisme. Selama abad XIX manusia semakin sadar akan kemampuannya
untuk mengubah keadaan dalam segala bidang. Dalam abad ini pula muncul
gerakan teori positivisme dalam ilmu hukum.
Oleh H.L.A Hart (lahir tahun 1907), seorang pengikut positivisme diajukan
berbagai arti dari positivisme sebagai berikut :
1. Hukum adalah perintah.
2. Analisis terhadap konsep-konsep hukum adalah usaha yang berharga untuk
dilakukan. Analisis yang demikian ini berbeda dari studi sosiologis dan historis
serta berlainan pula dari suatu penilaian kritis.
3. Keputusan-keputusan dapat dideduksikan secara logis dari peraturan-
peraturan yang sudah ada terlebih dahulu, tanpa perlu menunjuk kepada
tujuan-tujuan sosial, kebijakan serta moralitas.
4. Penghukuman (judgement) secara moral tidak dapat ditegakkan dan
dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian.
5. Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantiasa
dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan. Inilah
yang sekarang sering kita terima sebagai pemberian arti terhadap positivisme
ini.
Berbeda dengan John Austin (1790-1859), yang menyatakan bahwa hukum
adalah sejumlah perintah yang keluar dari seorang yang berkuasa didalam negara
secara memaksakan, dan biasanya ditaati. Satu-satunya sumber hukum adalah
kekuasaan tertinggi didalam suatu negara. Sumber-sumber yang lain disebutnya
sebagai sumber yang lebih rendah (subordinate sources).
27
John Austin mengartikan ilmu hukum sebagai teori hukum positif yang otonom
dan dapat mencukupi dirinya sendiri. Menurutnya, tugas dari ilmu hukum hanyalah
untuk menganalisa unsur-unsur yang secara nyata ada dari sistem hukum modern.
Sekalipun diakui ada unsur-unsur yang bersifat histeris didalamnya, namun unsur-
unsur tersebut telah diabaikan dari perhatian. Hukum adalah perintah dari
kekuasaan politik yang berdaulat didalam suatu negara.
Jeremy Bentham (1748-1832) adalah seorang penganut teori utilitarian yang
menggunakan pendekatan tersebut kedalam kawasan hukum. Dalilnya adalah
bahwa manusia itu akan berbuat dengan cara sedemikian rupa sehingga ia
mendapatkan kenikmatan yang sebesar-besarnya dan menekan serendah-
rendahnya penderitaan. Tujuan akhir dari perundang-undangan adalah untuk
melayani kebahagiaan paling besar dari sejumlah terbesar rakyat.
Rudolph von Jhering sering disebut sebagai “social utilitarianism”. Ia
mengembangkan segi-segi positivisme dari John Austin dan menggabungkannya
dengan prinsip-prinsip utilitarianisme dari Jeremy Bentham dan John Stuart Mill.
Rudolph von Jhering memusatkan perhatian filsafat hukumnya kepada konsep
tentang “tujuan”, seperti dikatakannya didalam salah satu bukunya yaitu bahwa
tujuan adalah pencipta dari seluruh hukum, tidak ada suatu peraturan hukum yang
tidak memiliki asal-usulnya pada tujuan ini, yaitu pada motif yang praktis.
Jhering memusatkan perhatian filsafat hukumnya kepada konsep tentang
“tujuan”, yaitu sebagai berikut:
1. Tujuan adalah pencipta dari seluruh hukum, tidak ada suatu peraturan hukum
yang tidak memiliki asal-usulnya pada tujuan ini, yaitu pada motif yang
praktis. Menurutnya hukum dibuat dengan sengaja oleh manusia untuk
mencapai hasil-hasil tertentu yang diinginkan;
2. Diakui bahwa hukum itu mengalami suatu perkembangan sejarah, namun
menolak pendapat para teoritisi aliran sejarah yang menyatakan bahwa
hukum itu tidak lain merupakan hasil dari kekuatan-kekuatan historis murni
yang tidak direncanakan dan tidak disadari;
3. Hukum dibuat dengan penuh kesadaran oleh negara dan ditujukan kepada
tujuan tertentu.
28
Dalam hal ini, kaum utilitaris mengusung konsep keadilan sebagai suatu
keadaan dimana masyarakat dapat memperoleh kebaikan dan kebahagiaan secara
sama-rata. Rawls berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari
hadirnya institusi-institusi sosial (social institutions). Akan tetapi, menurutnya,
kebaikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau menggangu
rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan, khususnya
masyarakat lemah. Oleh karena itu, sebagian kalangan menilai cara pandang Rawls
sebagai perspektif “liberal-egalitarian of social justice”.
Rawls menjelaskan bahwa para pihak di dalam posisi asal masing-masing
akan mengadopsi dua prinsip keadilan utama. Pertama, setiap orang memiliki hak
yang sama atas kebebasan-kebebasan dasar yang paling luas dan kompatibel
dengan kebebasan-kebebasan sejenis bagi orang lain. Kedua, ketidaksamaan sosial
dan ekonomi diatur sedemikian rupa, sehingga: (a) diperoleh manfaat sebesar-
besarnya bagi anggota masyarakat yang paling tidak diuntungkan, dan (b) jabatan-
jabatan dan posisi-posisi harus dibuka bagi semua orang dalam keadaan dimana
adanya persamaan kesempatan yang adil.
Hans Kelsen (1881-1973), dengan Teori Hukum Murni, adalah pelopor aliran
ini. Bukunya yang terkenal adalah Reine Rechslehre (ajaran hukum murni).Teori
hukum murni ini lazim dikaitkan dengan Mazhab Wina. Mazhab Wina
mengetengahkan dalam teori hukum pencarian pengetahuan yang murni, dalam arti
yang paling tidak mengenal kompromi, yaitu pengetahuan yang bebas dari naluri,
kekerasan, keinginan-keinginan dan sebagainya. Teori hukum murni juga tidak boleh
dicemari oleh ilmu-ilmu politik, sosiologi, sejarah dan pembicaraan tentang etika.
Dasar-dasar pokok teori Hans Kelsen adalah sebagai berikut :8
1. Tujuan teori tentang hukum, seperti juga setiap ilmu, adalah untuk
mengurangi kekalutan dan meningkatkan kesatuan (unity)
2. Teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak, keinginan. Ia adalah
pengetahuan tentang hukum yang ada, bukan tentang hukum yang
seharusnya ada
3. Ilmu hukum adalah normatif, bukan ilmu alam
8
. Hans Kelsen,, Pengantar Teori Hukum Murni, Nusa Media, Bandung, 2010, hlm. 38
30
sedangkan kebenaran hukum adalah sesuatu yag dianggap benar oleh para teoritisi
tentang hukum berdasarkan aliran-aliran ilmu hukum yang mereka anut tentang
hukum itu sendiri.
Menurut pandangan aliran positivisme hokum, konsep hukum yang hendak
diketengahkan adalah hukum sebagai perintah manusia yang dibuat oleh badan
yang berwenang. Ada dua bentuk positivisme hukum, yakni Pertama positivisme
yuridis, yang berarti hukum dipandang sebagai suatu gejala tersendiri yang perlu
diolah secara ilmiah. Tujuannya adalah pembentukan struktur rasional sistem
yurudis yang berlaku. Dalam positivisme yuridis, berlaku closed logical system, yang
berarti bahwa peraturan direduksikan daru undang-undang yang berlaku tanpa perlu
meminta bimbingan dari norma sosial, politik dan moral, dengan tokoh von Jhering
dan Austin. Kedua, positivisme sosiologis, hukum ditanggapi terbuka bagi
kehidupan masyarakat, yang harus diselidiki melalui metode-metode alamiah
Namun pandangan ini ditentang oleh aliran-aliran hukum lain diantaranya
realisme hukum. Aliran ini berpendapat bahwa hukum itu dibentuk tidak dari
penguasa, melainkan berasal hukum yang hidup dan tumbuh bersama masyarakat.
Hukum tidak dapat dipisahkan dari anasir-anasir sosiologis, dan lebih mementingkan
keadilan dalam masyarakat.
9
. Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja,S.H.,LL.M., Penerbit PT.Alumni, Bandung, 2002, hlm. 5.
33
C. NORMA HUKUM
Pengertian norma hukum adalah undang-undang, peraturan, ketentuan, dan
sebagainya yang dibuat oleh negara. Norma hukum biasanya bersifat tertulis yang
dapat dijadikan pegangan dan rujukan konkret bagi setiap anggota masyarakat baik
dalam berprilaku maupun dalam menjatuhkan sanksi bagi pelanggarnya. Norma
hukum dibuat oleh badan yang berwenang untuk mengatur hubungan antarwarga
suatu masyarakat, antarwarga Negara, dan antara warga Negara dengan
pemerintahnya. Norma hukum bersifat mengatur dan memaksa, jika dilanggar,
sanksinya adalah berupa hukuman. Itu sebabnya keberlakuan norma sifatnya tegas
dan pasti, karena ditunjang dan dijamin oleh hukuman atau sanksi bagi
pelanggarnya.
Norma hukum ada berbagai macam jenisnya. Ada banyak macam hukum yang
kita kenal dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hukum ini antara lain
adalah hukum acara, hukum pidana, hukum perdata, hukum agama, hukum
internasional, dan lain sebagainya. Dari berbagai macam hukum tersebut, hukum
34
pidana dan perdata adalah yang paling banyak kita temui dalam kehidupan sehari-
hari. Di bawah ini adalah beberapa jenis hukum yang penting untuk diketahui.
Hukum Acara: Hukum Acara adalah hukum yang mengatur tentang
penuntutan, pemeriksaan, dan pemutusan suatu perkara. Hukum acara
terbagi dua, yaitu hukum acara pidana dan hukum acara perdata.
Hukum Pidana: Hukum pidana adalah hukum mengenai kejahatan,
pelanggaran, atau tindakan kriminal beserta sanksi-sanksinya. Contohnya
KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang mengatur tentang hukum
pidana.
Hukum Perdata: Hukum perdata adalah hukum yang mengatur tentang hak
harta benda dan hubungan antarindividu dalam masyarakat. Hukum ini biasa
disebut hukum privat atau hukum public. Hukum perdata diatur dalam KUH
Perdata.
Norma hukum disusun oleh badan yang berhak untuk mengatur hubungan
sesama warga, antarwarga Negara, dan antara warga Negara dengan
pemerintahnya. Selain itupun norma hukum mempunyai ciri-ciri yang sering
ditemukan dalam kehiidupan bernegara dan berkemasyarakat :
1. Bersumber dari lembaga resmi pemerintah,
2. Bersifat memaksa dan tegas melarang,
3. Terdapat sanksi hukum yang berupa denda, hukuman fisik atau pidana
Contoh :
- Kepala keluarga wajib memiliki kartu keluarga
- Setiap warga wajib memilik Kartu Tanda Penduduk jika sudah berumur 17
tahun
- Menjaga keamanan di lingkungan seperti ikut melaksanakan sisikamling
- Setiap anak wajib mengikuti pendidikan atau sekolah
- Orang yang melakukan kesalahan harus dihukum seperti korupsi
- Orang yang menggunakan jalan raya harus menaati aturan lalu lintas, contoh
memakai helm, menyalakan lampu dan berhenti pada saat lampu merah.
Pada umumnya norma hanya berlaku dalam suatu lingkungan masyarakat
tertentu atau dalam suatu lingkungan etnis tertentu atau dalam suatu wilayah negara
tertentu. Namun demikian ada pula norma yang bersifat universal, yang berlaku di
35
semua wilayah dan semua umat manusia, seperti misalnya larangan mencuri,
membunuh, menganiaya, memperkosa, dan lain-lain.
Di dalam masyarakat terdapat bermacam-macam atau jenis-jenis norma. Jenis-
jenis norma antara lain:
1. Norma susila, yaitu peraturan hidup yang berasal dari hati nurani manusia.
Norma susila menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Norma
susila yang mendorong manusia untuk kebaikan akhlak pribadinya. Norma
susila melarang manusia untuk berbuat tidak baik, karena bertentangan
dengan hati nurani setiap manusia yang normal. Contoh-contoh norma
susila antara lain:
a. Jangan mencuri barang milik orang lain.
b. Jangan membunuh sesama manusia.
c. Hormatilah sesamamu.
d. Bersikaplah jujur.
Norma susila memiliki sanksi atau ancaman hukuman bagi yang melanggar
norma tersebut dan sanksinya adalah perasaan manusia itu sendiri, yang
akibatnya adalah penyesalan.
2. Norma kesopanan, yaitu ketentuan hidup yang berasal dari pergaulan dalam
masyarakat. Dasar dari norma kesopanan adalah kepantasan, kebiasaan dan
kepatutan yang berlaku dalam masyarakat. Norma kesopanan sering
dinamakan norma sopan santun, tata krama atau adat istiadat. Norma sopan
santun yang aktual dan khas berbeda antara masyarakat yang satu dengan
masyarakat yang lain. Contoh-contoh norma kesopanan, antara lain:
a. Yang muda harus menghormati yang lebih tua usianya.
b. Berangkat ke sekolah harus berpamitan dengan orang tua terlebih
dahulu.
c. Memakai pakaian yang pantas dan rapi dalam mengikuti pelajaran di
sekolah.
d. Janganlah meludah di dalam kelas.
Bagi mereka yang melanggar norma kesopanan, sanksi yang dijatuhkan akan
menimbulkan celaan dari sesamanya, dan celaan itu dapat berwujud kata-
36
kata, sikap kebencian, pandangan rendah dari orang sekelilingnya, dijauhi dari
pergaulan, sehingga akan menimbulkan rasa malu, rasa hina, rasa dikucilkan
yang dirasakan sebagai penderitaan batin.
3. Norma agama, yaitu ketentuan hidup yang berasal dari Tuhan Yang Maha
Esa, yang isinya berupa larangan, perintah-perintah, dan ajaran. Norma
agama berasal dari wahyu Tuhan dan mempunyai nilai yang fundamental
yang mewarnai berbagai norma yang lain, seperti norma susila, norma
kesopanan, dan norma hukum.
Contoh-contoh norma agama, antara lain:
a. Tiak boleh membunuh sesama manusia.
b. Tidak boleh merampok harta orang lain.
c. Tidak boleh berbuat cabul.
d. Hormatilah bapak ibumu.
Terhadap pelanggar norma agama akan dikenakan sanksi oleh Tuhan kelak
di akhirat nanti, yang dapat berupa dimasukkan dalam neraka.
4. Norma hukum, yaitu ketentuan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang
yang mempunyai sifat memaksa untuk melindungi kepentingan manusia
dalam pergaulan hidup di masyarakat dan mengatur tata tertib kehidupan
bermasyarakat.
Contoh beberapa norma hukum, antara lain:
a. Pasal 362 KUHP yang menyatakan bahwa barang siapa mengambil
sesuatu barang yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan
maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian
dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak
enam puluh rupiah.
b. Pasal 1234 BW menyatakan bahwa tiap-tiap perikatan adalah untuk
memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat
sesuatu.
c. Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 (Undang-
Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang) menyatakan bahwa
37
1. Ilmu Perundang-undangan
Ilmu Perundang-Undangan adalah ilmu yang berkembang di negara-negara
yang menganut sistem hukum civil law, terutama di Jerman sebagai negara yang
pertama kali mengembangkan. Secara konsepsional Ilmu Perundang-Undangan
menurut Burkhardt Krems adalah ilmu pengetahuan yang interdisipliner tentang
pembentukan hukum negara (die interdisziplinare wissenschaft vonder staatlichen
rechtssetzung). Lebih lanjut Burkhardt Krems membagi Ilmu Perundang-Undangan
dalam tiga wilayah:10
1. proses perundang-undangan.
2. metode perundang-undangan.
3. teknik perundang-undangan.
Burkhardt Krems mengatakan perundang-undangan mempunyai dua pengertian:11
1. teori perundang-undangan yang berorientasi pada mencari kejelasan dan
kejernihan makna atau pengertian-pengertian dan bersifat kognitif.
2. Ilmu perundang-undangan yang berorientasi melakukan perbuatan dalam hal
pembentukan peraturan perundang-undangan dan bersifat normatif.
Dalam hal ini Ilmu perundang-undangan memberikan pengertian sebagai berikut:12
a. norma hukum dan tata urutan atau hirarki.
b. lembaga-lembaga negara yang berwenang membuat peraturan perundang-
undangan.
c. lembaga-lembaga pemerintah yang mempunyai wewenang di bidang peraturan
perundang-undangan.
d. tata susunan norma-norma hukum negara.
e. jenis-Jenis perundang-undangan beserta dasar hukumnya.
f. asas-asas dan syarat-syarat serta landasan-landasannya.
g. pengundangan dan pengumumannya.
h. teknik perundang-undangan dan proses pembentukannya.
Menurut Hans Nawiasky memperinci urutan norma hukum yang terdiri dari: 13
1. Grundnorm.
2. Aturan-aturan dasar negara.
3. Aturan formal, undang-undang.
4. Peraturan di bawah undang-undang.
11
. Ibid
12
Ibid
13
. Ibid
14
. Bagir Manan, 1992. Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind-Hill.Co, Jakarta. Hal.
39.
39
norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif, yaitu
norma dasar (Grundnorm). Norma dasar yang merupakan norma tertinggi dalam
sistem norma tersebut, tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi
tetapi norma itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai norma dasar
yang merupakan gantungan bagi norma yang berada dibawahnya.15
Masih menurut Kelsen, hukum merupakan norma yang dinamik, dimana
hukum merupakan sesuatu yang dibuat suatu prosedur tertentu dan segala sesuatu
yang dibuat melalui cara ini adalah hukum. Lebih jauh Kelsen menjelaskan tentang
karakter khas dan dinamis dari hukum, yakni :
“Hukum mengatur pembentukannya sendiri karena suatu norma hukum menentukan
cara untuk membuat suatu norma hukum lainnya, dan juga sampai derajat tertentu
menentukan isi norma lainnnya tersebut....hubungan antara norma yang mengatur
pembentukan norma dari norma lainnya digambarkan sebagai hubungan
“superordinasi” ....kesatuan norma-norma ini ditunjukkan oleh fakta bahwa
pembentukan norma yang lebih rendah ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi,
dan bahwa regressus ini diakhiri oleh suatu norma dasar, oleh karena menjadi dasar
tertinggi validitas keseluruhan tata hukum, membentuk kesatuan tata hukum"16
Salah seorang murid Kelsen bernama Hans Nawiasky mengembangkan teori
yang dikedepankan Kelsen. Nawiasky dalam bukunya berjudul Algemeine
Rechtlehre mengemukakan bahwa sesuai dengan teori Hans Kelsen suatu norma
hukum dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, dimana
norma yang dibawah berlaku, berdasar dan bersumber pada norma yang lebih
tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, berdasar dan bersumber pada norma yang
lebih tinggi lagi, sampai pada norma yang lebih tertinggi yang disebut norma dasar.
Tetapi Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan
berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok.
15
. Jimly Assiddiqie & M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum (Jakarta: Konstitusi Press, 2006),
hlm. 109; Maria Farida Indrati Soeprapto, Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan Dasar-
dasar dan Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 1998 hlm. 25
16
. Hans Kelsen, 1995, Teori Hukum Murni : Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif-Deskriftif, Rimdi Press,
Jakarta, hlm. 110-125
42
17
. Marsillam Simanjuntak, 1997, Pandangan Negara Integralistik, Garfiti, Jakarta, hal. 30-32
43
18
. Bagir Manan, 2004. Teori dan Politik Konstitusi, (Yogyakarta: FH-UII Press), hal. 201-202
44
19
. Jimly Asshiddiqie. 2000. “Tata Urut Perundang-Undangan dan Problematika Peraturan Daerah”
Makalah yang disampaikan dalam rangka Lokakarya Anggota DPRD Se-Indonesia, di selenggarakan di Jakarta
oleh LP3HET, Jum’at 22 Oktober 2000.
46
E. LATIHAN/DISKUSI
BAB III
ASAS-ASAS HUKUM
Indikator Keberhasilan:
Setelah mempelajari modul ini peserta diharapkan mampu menjelaskan:
1. Asas-asas hukum
2. Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik
A. ASAS-ASAS HUKUM
20
Theo Huijbers, Filsafat Hukum (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 90
21
Herman Bakir, Asas Hukum dan Aspek Galiannya (Jakarta: Magister Ilmu Hukum Universitas
Tarumanegara), 2004, hal.59
49
norma hukum. Sedangkan norma hukum adalah hukum positif atau aturan itu
sendiri yang dibentuk sesuai dengan asas-asas hukum.
Pembentukan hukum praktis perlu berorientasi pada asas-asas hukum
tersebut. Dengan kata lain asas hukum ialah dasar-dasar atau petunjuk arah
dalam pembentukan hukum positif.22 Menurut Sudikno Mertokusumo23 asas
hukum atau prinsip hukum bukanlah peraturan hukum kongkrit, melainkan
merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau atau merupakan latar
belakang dari peraturan kongkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap
sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan
hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari
sifat-sifat umum dari peraturan yang kongkrit tersebut. Sehubungan dengan sifat
dan fungsinya yang berbeda tersebut, asas hukum dan norma hukum
memberikan pengaruh yang berlainan terhadap peraturan perundang-undangan.
Jadi asas hukum bukanlah kaidah hukum yang kongkrit, melainkan
merupakan latar belakang peraturan yang kongkrit dan bersifat umum dan
abstrak. Kalau peraturan hukum yang kongkrit itu dapat diterapkan secara
langsung pada peristiwanya, maka asas hukum diterapkan secara tidak
langsung. Untuk menemukan asas hukum dicarilah sifat-sifat umum dalam
kaidah atau peraturan yang kongkrit. 24
Dari uraian para pakar mengenai asas dan norma hukum, maka dapat
disimpulkan bahwa keduanya merupakan sisi yang berbeda namun memiliki
kaitan yang erat. Asas merupakan hal yang harus tercermin dalam sebuah
norma hukum sebagai penjabarannya, karena asas hukum merupakan ruh dari
norma hukum. Suatu norma hukum akan kehilangan esensinya sebagai sebuah
aturan jika norma hukum tidak sesuai dengan asas hukum.
22
Ni’matul Huda dan R.Nazriyah, Teori dan Pengujian Peraturan Perundang-undangan, (Bandung:
Nusa Media, 2011), hal. 20.
23
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum (sebuah pengantar), (Yogyakarta: Liberty, 2006), hal. 11
24
Ni’matul Huda dan R.Nazriyah, Op. Cit., hal. 21
50
25
Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-undangan. Jenis, Fungsi dan Materi Muatan , (Kanisius:
Yogyakarta) 2011, hal 252
26
I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, Dinamika Hukum dan Imu Perundang-undangan (Bandung:
PT. Alumni), 2008, hlm. 81
27
A.Hamid Atamimi, Peranan Keputusan Presiden RI Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara
(Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I –
Pelita VI), Disertasi Doktor, Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hal. 302
28
Pasal 5 dan Penjelasan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
51
29
Pasal 6 dan Penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan
53
yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang
berdasarkan Pancasila.
(6) Asas Bhineka Tunggal Ika.
Asas bhineka tunggal ika adalah bahwa materi muatan Peraturan
Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk,
agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya
khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
(7) Asas keadilan
Asas keadilan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-
undangan harus mencerminkan keadilan secara proposional bagi setiap
warganegara.
(8) Asas Kesamaan Kedudukan Dalam Hukum dan Pemerintahan.
Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan adalah
bahwa materi muatan peeraturan perundang-undangan tidak boleh berisi
hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang antara lain
agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
(9) Asas Ketertiban dan Kepastian Hukum.
Asas ketertiban dan kepastian hukum adalah bahwa setiap materi muatan
Peraturan Perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban
dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.
(10) Asas Keseimbangan, Keserasian, dan Keselarasan.
Asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan adalah bahwa materi
muatan setiap peraturan perundang-undangan harus mencerminkan
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan antara kepentingan individu
dan masyarakat dengan kepentingan dan negara.
dasar dalam pengaturan norma yang akan diatur dalm peraturan perundang-
undangan. Asas-asas khusus itu diantaranya : 30
a) dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa
kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah;
b) dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain,
asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.
30
Penjelasan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
55
ringan itu boleh digunakan, jika pada waktu mengadili perbuatan tidak
diancam tindak pidana lagi, maka boleh tidak dikenakan pidana.31
8. Asas ne bis in idem (pasal 76 KUHP) orang tidak dapat dituntut kedua kalinya
karena perbuatan2 yang terhadap dirinya oleh hakim indonesia telah diputus
dengan putusan yang telah menjadi tetap (in kracht van gewijsde).
9. Geen straf zonder schuld Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan, Orang
tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau ia tidak
melakukan perbuatan pidana.
Tetapi meskipun melakukan perbuatan pidana, tidak selalu ia dapat dipidana,
contoh anak2 main korek api terus membakar rumah tetangga, orang gila
yang memukuli orang lewat, dokter yang ditodong pistol dan disuruh
membuat keterangan palsu supaya tidak masuk wajib militer. Jadi dengan
demikian ternyata bahwa untuk adanya kesalahan terdakwa harus: 32
a. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum)
b. Diatas umur tertentu mampu bertanggung jawab
c. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan (dolus)
atau kealpaan (culpa)
d. Tidak adanya alasan pemaaf (alasan yang menghapuskan kesalahan
terdakwa. Perbuatan yang dilakukan terdakwa tetap bersifat melawan
hukum jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi dia tidak dipidana,
karena tidak ada kesalahan)
10. Asas Presumption of Innocence ( Praduga tak bersalah ). Seseorang harus
dianggap tidak bersalah sebelum dinyatakan bersalah oleh putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
11. Indubio pro reo Dalam keragu-raguan diberlakukan ketentuan yang paling
menguntungkan bagi si terdakwa.
12. Unus Testis Nullus Testis. Satu saksi bukan saksi, maksudnya keterangan
seorang saksi harus dilengkapi dengan bukti-bukti lain.
13. Audi et alteram partem atau audiatur et altera pars Bahwa para pihak harus
didengar. Contohnya apabila persidangan sudah dimulai, maka hakim harus
31
Prof. Moeljatno, S.H. Asas-asas hukum pidana, (Jakarta: Rineka Cipta), 1993, hal. 23
32
Ibid. Hal. 164
56
mendengar dari keduabelah pihak yang bersengketa, bukan hanya dari satu
pihak saja
14. Freedom of conctract / beginsel der contractsvrijheid ). Asas Kebebasan
berkontrak Para pihak berhak secara bebas membuat kontrak dan mengatur
sendiri isinya sepanjang memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku.
15. Pacta Sunt Servanda ( janji itu mengikat ). Suatu perjanjian berlaku sebagai
undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.
16. Asas Konsensualitas. Suatu perjanjian sudah sah dan mengikat ketika telah
tercapai kesepakatan para pihak dan sudah memenuhi syarat sahnya kontrak
17. Actio pauliana adalah upaya hukum untuk membatalkan transaksi yang
dilakukan oleh debitur untuk kepentingan debitur tersebut yang dapat
merugikan kepentingan para krediturnya
18. Clausula rebus sic stantibus Suatu syarat dalam hukum internasional bahwa
suatu perjanjian antara Negara masih tetap berlaku, apbila situasi dan
kondisinya tetap sama
19. Ius Sanguinis. Bahwa untuk menentukan kewarga negaraan seseorang
berdasarkan pertalian darah atau keturunan dari orang yang bersangkutan.
20. Ius Soli. Bahwa untuk menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan
tempat / negara dimana orang tersebut dilahirkan.
21. Bipatride. Asas dimana seseorang dimungkinkan mempunyai
kewarganegaraan rangkap.
22. Apatride. Seseorang sama sekali tidak memiliki kewarga negararaan.
23. Desentralisasi. Asas dimana urusan Pemerintahan yang telah diserahkan
oleh pemerintah pusat kepada daerah, sepenuhnya menjadi tanggung jawab
dan wewenang pemerintah daerah yang bersangkutan.
24. Dekonsentralisasi. Asas dimana Urusan Pemerintah Pusat yang tidak dapat
diserahkan kepada pemerintah daerah dilakukan oleh perangkat pemerintah
pusat didaerah yang bersangkutan.
25. Medebewind (Tugas Pembantuan). Penentuan kebijaksanaan, perencanaan
dan pembiayaan tetap ditangan pemerintah pusat tetapi pelaksanaannya ada
pada pemerintah daerah.
57
33
I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, Op.Cit., hal. 83
58
2. Asas Kemanfaatan
adalah manfaat yang harus diperhatikan secara seimbang antara: (1)
kepentingan individu yang satu dengan kepentingan individu yang lain; (2)
kepentingan individu dengan masyarakat; (3) kepentingan Warga
Masyarakat dan masyarakat asing; (4) kepentingan kelompok
masyarakat yang satu dan kepentingan kelompok masyarakat yang lain; (5)
kepentingan pemerintah dengan Warga Masyarakat; (6) kepentingan
generasi yang sekarang dan kepentingan generasi mendatang; (7)
kepentingan manusia dan ekosistemnya; (8) kepentingan pria dan wanita
3. Asas Ketidakberpihakan
adalah asas yang mewajibkan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan
dengan mempertimbangkan kepentingan para pihak secara keseluruhan dan
tidak diskriminatif.
4. Asas Kecermatan
adalah asas yang mengandung arti bahwa suatu Keputusan dan/atau
Tindakan harus didasarkan pada informasi dan dokumen yang lengkap untuk
mendukung legalitas penetapan dan/atau pelaksanaan Keputusan dan/atau
Tindakan sehingga Keputusan dan/atau Tindakan yang bersangkutan
dipersiapkan dengan cermat sebelum Keputusan dan/atau Tindakan tersebut
ditetapkan dan/atau dilakukan.
5. Asas Tidak Menyalahgunakan Kewenangan
adalah asas yang mewajibkan setiap Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan tidak menggunakan kewenangannya untuk kepentingan
pribadi atau kepentingan yang lain dan tidak sesuai dengan tujuan pemberian
kewenangan tersebut, tidak melampaui, tidak menyalahgunakan, dan/atau
tidak mencampuradukkan kewenangan.
6. Asas Keterbukaan
adalah asas yang melayani masyarakat untuk mendapatkan akses dan
memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif dalam
penyelenggaraan pemerintahan dengan tetap memperhatikan perlindungan
atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara
60
C. Diskusi/Latihan
1. Peserta mendiskusikan manfaat pengetahuan mengenai asas-asas hukum
dalam menganalisis hukum dengan mencari contoh kasusnya.
2. Peserta menganalisis suatu kebijakan (pemecahan kasus) untuk ditunjau dari
asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).
61
BAB IV
Indikator keberhasilan:
Setelah mempelajari modul ini peserta diharapkan mampu menerapkan metodologi
penelitian hukum.
A. PENELITIAN HUKUM
Untuk menggunakan pendekatan berbasis analis hukum, terlebih dahulu
dilakukan identifikasi Penelitian Hukum yang mendasari pelaksanaan analis hukum
untuk dapat diterima sebagai bahan pengkajian atas bidang penyelenggaraan
negara. Penelitian Hukum ini menjadi penting karena akan membawa pada
pemahaman tentang kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematik, dan
pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala
hukum tertentu, dengan jalan menganalisisnya. Selain itu, juga diadakan
pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian
mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan yang timbul dalam gejala
yang bersangkutan. Berdasarkan pengertian ini, dapat dinyatakan bahwa penelitian
hukum di anggap sebagai penelitian ilmiah apabila memenuhi kriteria berikut :
a. Didasarkan pada metode, sistematik, dan logika berpikir tertentu;
b. Bertujuan untuk mempelajari gejala hukum tertentu (data primer);dan
c. Guna mencari solusi atas permasalahan yang timbul dari gejala yang
diteliti tersebut.
62
Tujuan yang dicapai dalam penelitian hukum merupakan solusi atas masalah
yang di teliti.
Dilihat dari segi fokus kajiannya, penelitian hukum dapat dibedakan menjadi 3
(tiga) tipe, yaitu :
- Penelitian hukum normatif (normative law research);
- Penelitian hukum normatif-empiris, yang dapat disebut juga penelitian
hukum normatif-terapan (applied law research); dan
- Penelitian hukum empiris (empirical law research).
65
34
Jhony Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing),
2006
35
Ibid
70
jawaban atas pertanyaan apakah ilmu yang dikuasai saat ini telah mencakup
segenap pengetahuan yang ada, pada batasan manakah ilmu itu dimulai dan pada
batasan mana ia berhenti, dan apakah kelebihan dan kekurangan ilmu itu.
Berdasarkan ciri filsafat tersebut, dibantu dengan pendekatan (approach)
yang tepat, seyogyanya dapat dilakukan apa yang dinamakan oleh Ziegler
sebagai Fundamental Research, yaitu suatu penelitian yang memperoleh
pemahaman yang lebih mendalam terhadap imlikasi sosial dan efek penerapan
suatu aturan perundang-undangan terhadap masyarakat atau kelompok masyarakat
yang melibatkan penelitian terhadap sejarah, filsafat, ilmu bahasa, ekonomi serta
implikasi sosial, dan politik terhadap pemberlakuan suatu aturan hukum.
Sumber-sumber Dalam Penelitian hukum
Setiap penelitian ilmiah mempunyai sumber-sumber sebagai bahan rujukan
guna mendukung argumentasi peneliti. Berbeda dengan sumber-sumber rujukan
yang ada pada penelitian di bidang ilmu lain, dalam penelitian hukum yang bersifat
normatif tidak mengenal adanya data
Sumber rujukan penelitian hukum normatif sendiri berasal dari bahan hukum
yang digunakan sebagai berikut:
1. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya
mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-
catatan resmi atau risalah dalam pembuatan undang-undang dan putusan-putusan
hakim. Untuk bahan hukum primer yang memiliki otoritas tertinggi adalah Undang-
Undang Dasar (UUD) karena semua peraturan di bawahnya baik isi maupun jiwanya
tidak boleh bertentangan dengan UUD. Bahan hukum primer yang selanjutnya
adalah undang-undang. Undang-undang merupakan kesepakatan antara
pemerintah dan rakyat sehingga mempunyai kekuatan hukum mengikat untuk
penyelenggaraan kehidupan bernegara. Sejalan dengan undang-undang, untuk
tingkat daerah adalah Peraturan Daerah (Perda) yang mempunyai otoritas tertinggi
untuk tingkat daerahnya karena dibuat oleh Pemerintah Daerah dan Dewan
Perwakilan daerah. Bahan hukum primer yang dibawah otoritas undang-undang
adalah Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden atau peraturan suatu Badan atau
Lembaga Negara. Bahan hukum primer disamping perundang-undangan yang
71
Sedangkan bahan hukum tersier merupakan bahan informasi hukum yang baik yang
terdokumentasi maupun tersaji melalui media.
Jika penelitian hukum difokuskan pada menguji kepatuhan masyarakat
terhadap suatu norma hukum dengan tujuan mengukur efektif atau tidak suatu
pengaturan/materi hukum yang berlaku, maka obyek atau sasaran data yaitu data
primer. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung oleh peneliti di lapangan
melalui responden dengan cara observasi, wawancara dan penyebaran angket.
Dalam penelitian jenis ini, penentuan tempat. penentuan tempat atau wilayah
dan objek penelitian.38
38
. Haranan. Vol. V No..I Maret 2006 93 Me ray Hendrik Mezuk: Jenis, Metudc dan Pendekatan Dalani
Penelitian Hukum
39
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti.2004.hal. 131.
73
ketentuan hukum normatif, apakah itu berarti dilarang atau dibolehkan? Atau
bagaimana halnya apabila perilaku warga masyarakat itu tidak sesuai dengan
ketentuan hukum normatif, apakah itu sudah pasti dikatakan suatu pelanggaran
hukum. Hal ini menjadi alasan pangkal tolak pengembangan penelitian hukum
normatif-empiris yang memerlukan kajian secara empiris dengan mempertimbangan
kebutuhan dan kepentigan yang berkembang dalam masyarakat serta manfaat yang
akan diperoleh.
Penelitian hukum normatif-emperik difokuskan pada :
1. Penerapan atau Implementasi
Fokus penelitian hukum normatif-empiris adalah pada “penerapan atau
implementasi” ketentuan hukum normatif (in abstracto) pada peristiwa hukum
tertentu (in concreto) dan hasilnya. Jadi, hal yang diteliti itu adalah proses
penerapan untuk mencapai tujuan dan tujuan sebagai hasil akhir. Ketentuan hukum
normatif yang menjadi tolok ukur terapan sudah dirumuskan lebih dahulu dalam
kodifikasi, undang-undang, atau kontrak, misalnya ketetuan Pasal 1457 BW
mengenai jual beli, ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992
mengenai pengangkutan niaga dengan kendaraan bermotor, dan ketentuan Pasal
362 KUHP mengenai pencurian.
2. Penerapan dan Hasil
Focus penelitan hukum normatif-empiris selalu diarahkan pada 2 (dua) hal, yaitu
pertama penerapan ketentuan hukum normatif dan kedua hasil yang dicapai.
Penerapan ketentuan hukum normatif merupakan proses perilaku nyata (in action)
menuju pada hasil yang akan dicapai. Hail yang dicapai merupakan tujuan yang
dikehendaki, yaitu terpenuhi kewajiban dan diperolehnya hak secara timbal balik
antara Negara dan warga Negara ataupun antara pihak-pihak dalam perjanjian
(kontrak). Pada hukum positif tertulis, biasanya penerapan dan hasil yang
diharapkan itu sudah tersurat dan tersirat dalam rumusan ketentuan undang-undang
atau kontrak.
Penelitian Normatif-Emperik/Terapan juga mengunakan tipe-tipe yakni :
Dalam kaitannya dengan penelitian hukum normatif-empiris ada 3 (tiga) tipe
pendekatan normatif-terpan, yaitu:
75
1. Nonjudical Case Study, yaitu pendekatan studi kasus hukum tanpa konflik.
Kalaupun ada konflik, diselesaikan oleh pihak-pihak sendiri secara damai,
tanpa campur tangan pengadilan.
2. Judical Case Study, yaitu pendekatan studi kasus hukum karena konflik yang
diselesaikan melalui putusan pengadilan (yurisprudensi).
3. Live-Case Study, yaitu pendekatan studi kasus pada peristiwa hukum yang
dalam keadaan berlangsung atau belum berakhir, misalnya peristiwa
pengangkutan niaga sejak pemberangkatan hingga tiba ditempat tujuan.
Ad. 1. Nonjudicial Case Study
Fokus penelitian pada tipe pendekatan nonjudical case study adalah penerapan
hukum normatif pada peristiwa hukum tertentu (contohnya kasus kontrak) samapi
berakhir tanpa terjadi konflik. Pemenuhan kewajiban dan hak (kontrak) telah
dilakukan sebagaimana mestinya. Walaupun terjadi konflik, pihak-pihak dapat
menyelesaikan sendiri secara baik, patut, atau layak. Dalam hal ini, tanggung jawab
kontarak (contact liability) sudah dipenuhi sesuai dengan ketentuan hukum normatif
yang tercantum dalam kontrak. Ini berarti hukum normatif telah diterapkan
sebagaimana mestinya dan tujuan telah dicapai oleh pihak-pihak.
Ad.2. Judical Case Sudy
Fokus penelitian pada tipe pendekatan judical case study adalah penerapan
hukum normatif pada peristiwa hukum tertentu yang menimbulkan konflik
kepentingan (cobflict of interest, namun tidak dapat diselesaikan oleh pihak-pihak
sendiri, tetapi penyelesaian melalui pengadilan (judical decision). Konflik
kepentingan terjadi dalam pelaksanaan ketentuan hukum normatif atau kontrak
karena wabprestasi (breach of contract), perbuatan melanggar hukum
(onrecfhtmatige daad, illegal act), dan keadaan memaksa (ovemacht, force majeur)
yang tidak dapat diseleasikan sendiri olrh pihak-pihak.
Untuk mengakhiri konflik kepentingan tersebut, satah satu atau kedua pihak
minta penyelesaian melalui pengadilan. Atas dasar permohonan, pengadilan
mengambil alih dan menerapkan hukum normatif secara benar dan adil bagi kedua
pihak. Dengan cara demikian, akan terjadi hukum buatan hakim melalui putusannya
(judge made law) sebagai terapan yang benar dan adil dari ketentuan hukum
normatif yang tercantum dalam kontrak atau dalam undang-undang.
76
Perilaku berpola ini umumnya terdapat dalam adat istiadat, kebiasaan, dan
kepatutan masyarakat berbagai etnis di Indonesia. Contohnya, antara lain :
1) Upacara kehamilan, kelahiran,perkawinan, dan kematian;
2) Pembagian harta waris menurut sistem waris masyarakat patrilineal;
3) Sistem bagi hasil penggarapan tanah dan sisitem gadai tanah;
4) Tawar-menawar dalam perdagangan dipasar tradisional;
5) Angkutan dengan angkot tanpa karcis/tiket; dan
6) Pembuatan perjanjian secara lisan.
Dengan kata lain, penelitian hukum empiris mengungkapan hukum yang
hidup (living law) dalam masyarakat melalui perbuatan yang dilakukan oleh
masyarakat. Perbuatan itu berfungsi ganda, yaitu sebagai pola terapan sekaligus
menjadi bentuk normative hukum yang hidup dan berlaku dalam masyarakat. 40
Bentuk-bentuk norma hukum positif tidak tertulis yang hidup dan berlaku
dalam masyarakat dapat diketahui melalu observasi dan pengkajian terhadap pola
perilaku yang terjadi dalam masyarakat. Dalam masyarakat semacam ini, hukum
kebiasaan (customary law) dan kepatutan (equity) yang sifatnya tidak tertulis
berfungsi dengan baik dan hidup serta berkembang seirama dengan perkembangan
kebutuhan masyarakat. Keadaan ini berlangsung terus secara turun menurun,
sehingga dihayati benar-benar oleh setiap anggota masyarakat yang bersangkutan .
Penelitian emperik berfokus pada :
40
. Ibid
78
bersamaan dengan terjadinya perilaku itu. Apabila peneliti ingin mengetahui hukum
yang berlaku, observasi dan lakukan pengkajian terhadap peristiwa hukum yang
menimbulkan perilaku itu, seperti peristiwa hukum jual beli, sewa-menyewa, dan
keagenan. Perilaku itu berfungsi ganda, yaitu sebagai hukum normatif dan sekaligus
sebagai terapannya. Dalam hal ini, ketentuan hukum normatif dan terapannya
menyatu dalam bentuk perilaku itu.
Pada penelitian hukum empiris yang berkembang dinegara-negara penganut
system hukum tidak tertulis (common law system, customary law system), prosedur
yang ditempuh mengikuti langkah-langkah sebagai berikut :
a. Menginventarisasi perilaku (behavior) yang terjadi;
b. Mengidentifikasi peristiwa hukum (legal fact) yang menjadi sumber perilaku;
dan
c. Menetapkan ketentuan normatif perilaku.
Berdasarkan langkah-langkah tersebut, dikemukakan contoh sebagai berikut;
perilaku hasil inventarisasi adalah penyerahan hak milik atas barang dan
pembayaran harga barang. Peristiwa hukum hasil identifikasi adalah “jual-beli”
karena intinya perbuatan penyerahan hak milik atas barang dan pembayaran harga
barang. Jadi, ketentuan normatif perilaku adalah setiap penjual wajib menyerahkan
hak milik atas barang dan setiap pembeli harus wajib membayar harga barang.
Secara skematis; perilaku peristiwa hukum ketentuan normatif.
Akan tetapi, pada penelitian hukum normatif-empiris adalah kebalikannya, prosedur
yang ditempuh adalah langkah-langkah sebagai berikut:
a. Menetapkan ketentuan normatif yang menjadi tolok ukur terapan;
b. Mengidentifikasi peristiwa hukum dan menerapkan ketentuan normatif; dan
c. Menginventarisasi perilaku hasil terapan atas peristiwa hukum.
Sama seperti contoh diatas, ketentuan normatif tolok ukur terapan adalah: “setiap
penjual wajib menyerahkan hak milik atas barang dan setiap pembeli wajib
membayar harga barang.” Ketentuan normatif ini diterapkan pada peristiwa hukum
jual beli seperti contoh diatas. Perilaku hasil terapan yang dapat diinventarisasi
adalah penyerahan hak milik atas barang dan pembayaran harga barang. Perilaku
hasil terapan ternyata sama dengan gambaran perilaku yang terdapat dalam
79
maka setiap peristiwa hukum yang terjadi dalam masyarakat selalu dicari dasar
hukumnya dalam kodifikasi (undang-undang) termasuk sewa beli. Pihak yang
menyerahkan barang mengatakan peristiwa hukum sewa beli adalah perjanjian jual
beli, sedangkan pihak yang membayar harga angsuran mengatakan peristiwa
hukum sewa beli adalah perjanjian sewa.
Sebelum angsuran dibayar lunas, terjadi force majeur yang mengakibatkan
barang objek perjanjian musnah. Pihak yang menyerahkan barang menuntut agar
harga angsuran dibayar lunas sampai angsuran terakhir. Alasannya menurut
ketentuan perjanjian jual beli sudah terjadi penyerahan, yakni hak milik sudah
berpindah kepada pembeli. Jika terjadi force majeur, risiko ditanggung pemilik
(pembeli). Konsenkuesinya, harga wajib dilunasi sampai angsuran terakhir.
Akan tetapi, pihak yang membayar harga angsuran tidak mau melunasi
angsuran yang masih tersisa. Alasannya menurut ketentuan perjanjian sewa, yang
berpindah itu bukan hak milik, melaikan hak menguasai (bezit) untuk menikmati
barang, sedangkan hak milik masih pada pihak yang menyewakan. Jika force
majeur, risiko tanggung jawab pihak yang menyewakan selaku pemilik barang.
Konsekuensinya pembayaran harga angsuran tidak wajib melunasi angsuran yang
masih tersisa. Peristiwa hukum sewa beli tidak diatur dalam BW atau undang-
undang lain, tetapi sebagai hukum tidak tertulis yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat. Peristiwa yang diatur dalam BW adalah perjanjian jual beli dan
perjanjian sewa, tetapi dalam BW tidak diatur jual sewa atau sewa beli (huurkoop).
Untuk menyelesaikan sengketa peristiwa hukum ini, kemudian diajukan
gugutan ke Pengadilan Negeri Surabaya dengan dasar gugatan perjanjian jual beli.
Pengadilan Negeri Surabaya dengan putusannya Nomor 263 Tahun 1950 pada
tanggal 5 Februari 1951 menyatakan bahwa perjanjian yang terjadi antara
penggugat dan tergugat itu adalah perjanjian sewa. Karena itu, permohonan
penggugat tidak berdasar sehingga tidak dapat diterima.
Karena tidak puas dengan putusan Pengadilan Negeri Surabaya tersebut,
penggugat naik banding ke Pengadilan Negeri Surabaya dengan dasar bahwa
Pengadilan Negeri Surabaya salah menerapkan hukum. Pengadilan Tinggi
Surabaya dengan putusan nomor 174 tahun 1951 pada tanggal 30 Agustus 1956
menyatakan bahwa perjanjian yang terjadi antara penggugat dan tergugat bukan
81
41
Sumardjono (1989)). Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan.
82
D. Latihan/Diskusi
1. Peserta menjelaskan perbedaan antara metode penelitian normatif, normatif-
empirik dan empirik
2. Peserta menyusun sebuah rencana penelitian dan menetukan metodologinya
83
BAB V
Indikator Keberhasilan:
Setelah mempelajari modul ini peserta diharapkan mampu melakukan analisis
hukum.
pada jenjang yang semakin ke atas, seharusnya semakin abstrak, begitu juga
sebaliknya. Norma dalam peraturan perundang-undangan pada jenjang yang
semakin ke bawah bersifat aplikatif untuk langsung dilaksanakan, begitu juga
sebaliknya.
Dimensi penilaian ini ingin mereduksi peraturan perundang-undangan yang
norma aturannya tidak sesuai dengan jenis dan hierarkinya. Dengan kata lain,
dimensi penilaian ini ingin mengevaluasi kelayakan suatu pengaturan yang
dituangkan dalam suatu jenis peraturan perundang-undangan tertentu.
Hasilnya dituangkan dalam bentuk narasi, data, dan hasil analisis hukum dalam
dimensi kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan peraturan
perundang-undangan.
42
. Pusat Analisa dan Evaluasi Hukum, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan
HAM. 2017
86
a. Identifikasi Masalah :
Pada intinya merujuk pada kegiatan umtuk mengeksplorasi berbagai issu
atau masalah yang timbul, kemudian diangkat menjadi fokus analis. Pemilihan
masalah ini didasari beberapa pertimbangan karena bersifat aktual (sedang
menjadi perhatian masyarakat saat ini), berdampak luas dalam masyarakat yang
akan berdampak pada bergeraknya masyarakat. Dengan demikian identifikasi
masalah ini di katagorikan dalam 4 (empat) parameter yakni :
1. Adanya Faktor :
Apakah masalah yang akan diangkat merupakan faktor-faktor penentu dalam
mengatasi masalah lain yang lebih luas ataukah masalah yang ada tersebut
bersifat kausal yang dapat diperhitungkan
2. Adanya Dampak
Apakah masalah tersebut yang ditanggani membawa respon ah hukum
kalebijakan atau akan membawa manfaat kepada masyarakat luas dalam
peningkatan kesejateraan masyarakat. Selanjutnya apakah juga memberi
keuntungan masyarakat secara ekonomi dan sosial.
3. Adanya Kecenderungan
Apakah masalah yang ada sejalan dengan kecenderungan global dan
nasional yang sedang menjadi perhatian masyarakat.
4. adanya Nilai
Apakah masalah yang ada sesuai dengan nilai-nilai dan harapan-harapan
kultural yang berkembang pada masyarakat lokal dan apakah masalah
tersebut dapat diterima dan diakui keberadaannya dalam masyarakat.
c. Mengkaji Permasalahan
Para analis dapat mengidentifikasi penyebab atau faktor yang memberi
kontribusi terhadap masyarakat Mengatasi sebuah masalah membutuhkan
pengkajian yang mendalam dan aneka ragam sumber, sehingga dapat memperkaya
data dan informasi guna mendukung kebutuhan analisis. Memudahkan kita
menemukan alternatif solusi dengan pendekatan pembandingan semua variabel
agar dapat diukur pengaruh positif dan pengaruh negatifnya sebagai akibat dari
tindakan yang kita kerjakan atau fenomena yang terjadi.
Masalah telah membuat manusia terdorong untuk melakukan penelitian,
pengkajian atau analisis dalam rangka mengetahui fakta kebenaran atas sesuatu.
Dalam hal pengkajian, sumber-sumber valid dari hasil sebuah penelitian atau
pendapat seseorang, atau berupa buku-buku menjadi data dan informasi penting
yang dapat memperkaya kesimpulan dalam pengambilan keputusan.
Permasalahannya adalah keterbatasan sumber kajian atau teori yang mendukung,
sehingga berpengaruh pada kualitas kesimpulan dan akan melahirkan sebuah
keputusan yang sangat lemah.
e. Mengindentifikasi Manfaat
Manfaat adalah konsekuensi-konsekuensi kebijakan yang baik bagi
masyarakat atau sebagian besar anggota masyarakat. Konsekkuensi manfaat harus
bersifat kelihatan dan tidak kelihatan. Yang kelihatan mudah dapat diukur dalam
rupiah atau jumlah. Yang tidak kelihatan akan sulit untuk dapat diukur (misalnya
sebuah kebijakan dalam menerapkan kedisiplinan)
88
43
. Edi Suharto, Analis Kebijakan Publik, Penerbit CV. Alfabetha Bandung, Thn.2012. hal 80.
89
Untuk itulah sebagai seorang analis hukum akan melakukan analisis terhadap
bidang-bidang hukum, yang antara lain :
1. Analisis Bidang Politik, Hukum, Keamanan dan Pemerintahan
2. Analisis Bidang Ekonomi, Keuangan, Industri, Perdagangan dan Infrastruktur
3. Analisis Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup
4. Analisis Bidang Sosial Budaya
Dalam menganalis hukum diberbagai bidang akan didasarkan pada petunjuk
lima demensi sebagaimana yang dikatakan diatas sebagai parameter analisnya.
BAB VI
Indikator Keberhasilan:
Setelah mempelajari modul ini peserta diharapkan mampu menyusun rekomendasi.
Hasil akhir dari pelaksanaan analis bidang hukum adalah membuat rekomendasi
sebagai pertanggung jawaban dalam rangka membangun pembangunan hukum
yang lebih baik terutama pada regulasi yang dikeluarkan oleh para inisiator.
Rekomendasi tersebut dibuat dalam bentuk tabel instrument analis hukum yang
digambarkan sesuai lima dimensi bidang hukum sebagai berikut :
Tabel 1
1. HAM
5. Kewarganegaraan dan
kependudukan
6. Keuangan Negara
2 Perintah Undang-Undang
untuk diatur dengan
Undang-Undang
3 Pengaturan mengenai
kewenangan absolut
Pemerintah Pusat
4 Tindak lanjut Putusan MK
Peraturan Pemerintah
1 Melaksanakan ketentuan
Undang-undang
(diperintahkan secara
tegas)
2 Melaksanakan ketentuan
Undang-Undang sepanjang
diperlukan (tidak
diperintahkan secara tegas)
3 Tindak lanjut Putusan MA
Peraturan Presiden
Peraturan Daerah
95
1 Penyelenggaraan otonomi
daerah (kewenangan
atributif)
2 Penyelenggaraan tugas
pembantuan (kewenangan
delegatif)
3 Penjabaran lebih lanjut dari
PERATURAN
PERUNDANGAN-
UNDANGAN yang lebih
tinggi (kewenangan
delegatif)
4 Tindak lanjut Putusan MA
dan Keputusan Menteri
Petunjuk pengisian:
Tabel 2
Kejelasan Rumusan
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Dst
Petunjuk pengisian:
Tabel 3
Kejelasan Rumusan 1. Kesesuaian dengan sistematika dan teknik penyusunan Peraturan Perundangan-
undangan
Tabel 4
Materi Muatan
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Dst
Petunjuk pengisian:
Tabel 5
Keterangan:
- Indikator dapat ditambahkan atau disesuaikan dengan konteks Peraturan Perundangan -
undangan yang dianalisis;
- Dapat ditambahkan Asas Materiil khusus (sebagaimana Pasal 6 ayat (2)), disesuaikan
dengan konteks PERATURAN PERUNDANGAN - UNDANGAN yang dianalisis.
101
Tabel 6
Isu : (diisi dengan isu yang sedang dianalisis, contoh: illegal fishing)
PERUNDANG
AN-
UNDANGAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kewenangan 1
dst
Hak 1
dst
Kewajiban 1
dst
Perlindungan 1
2
102
PERUNDANG
AN-
UNDANGAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9
dst
Penegakan 1
hukum
dst
Petunjuk pengisian:
- Kolom 1 diisi dengan aspek yang akan dianalisis, yaitu kewenangan, hak, kewajiban,
perlindungan dan penegakan hukum;
- Kolom 4 diisi dengan jenis, nomor, nama dan tahun Peraturan Perundangan-undangan
lain, yang terkait dengan aspek dan Pasal PERATURAN PERUNDANGAN-UNDANGAN yang
sedang dianalisis;
- Kolom 7 diisi dengan tanda (√) jika Pasal tersebut direkomendasikan untuk tetap
dipertahankan;
- Kolom 8 diisi dengan tanda (√) jika Pasal tersebut direkomendasikan untuk diUBAH;
- Kolom 9 diisi dengan tanda (√) jika Pasal tersebut direkomendasikan untuk dicabut.
103
Tabel 7
Analisis
1 2 3 4 5
Materi Hukum
Tidak operasional
Masalah I Menimbulkan
beban/kewajiban yang
………
berlebihan ;
DLL…
Masalah 2 Dst… … …
Kelembagaan dan
Aparatur
Analisis
1 2 3 4 5
Dll.
Masalah 2 Dst … …
Budaya Hukum
Masyarakat
Aspek Pemahaman
Masyarakat
Masalah I
Aspek Kepatuhan
Masyarakat
Aspek Partisipasi
Masyarakat
Dll…
Masalah 2 Dst… …
Pelayanan Hukum
Aspek Standar
Operasional Pelaksana
Masalah I
Aspek Teknologi
Penunjang Pelayanan
Analisis
1 2 3 4 5
Aspek Pengawasan
Internal;
Dll…
Masalah 2 Dst… …
Petunjuk Pengisian:
- Kolom 1 diisi dengan uraian masalah (masing-masing aspek dapat berisi lebih dari
satu masalah);
- Kolom 2 diisi dengan tanda (√) terhadap penilaian (justifikasi) yang dipilih;
- Kolom 3 diisi dengan penilaian (justifikasi) terhadap masalah (list pernyataan dapat
ditambahkan jika diperukan);
- Kolom 4 diisi dengan ringkasan analisis dan catatan-catatan penting;
- Kolom 5 diisi dengan rekomendasi terhadap ketentuan yang dianalisis.
106
BAB VII
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Modul ini telah menyajikan beberapa konsep dasar mengenai analis
hukum, analis hukum ini dilakukan dengan melakukan beberapa proses
tahapan-tahapan berpikir untuk dapat mencari solusi atas adanya kebijakan
yang bermasalah adanya tumpang tindih kebijakan, disharmonisasi aturan,
adanya kebutuhan yang dipaksakan kepada masyarakat, ataupun elemen-
elemen lainnya yang mempunyai kelemahan dalam kebijakan yang
dikeluarkan dan merugikan masyarakat.
Dari modul ini sebuah ringkasan dapat dilakukan untuk menelaah
kebutuhan dalam merumuskan kebijakan dibidang hukum, pemikiran analis
sangat penting untuk memperbaharui suatu kebijakan yang dianggap belum
bermanfaat kepada banyak orang yang kemudian dapat mencari suatu
rumusan untuk menjadi suatu hasil yang bermanfaat dan berguna bagi
masyarakat maupun lembaga.
Analis hukum membutuhkan rumusan-rumusan yang akan dikaji dalam
penataan sistem hukum yakni subtansi, struktur dan budaya dalam rangka
membagun hukum yang pasti kepada masyarakat
Rumusan untuk melakukan analisis terhadap bidang-bidang hukum
tidak akan terpisahkan dari adanya strategi perbaikan dalam merumuskan
kebijakan seperti merumuskan norma, asas-asas, teori hukum dari para
pakar yang dipakai sebagai telahaan analis atas berjalannya hukum, metode
penelitian untuk mengukur variable capaian yang berupa data untuk
mengidentifikasi masalah yang ada serta proses pelaksanan melakukan
penganalisis.
107
B. Tindak Lanjut
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku:
Assiddiqie, Jimly & M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta:
Konstitusi Press, 2006
Bakir, Herman, Asas Hukum dan Aspek Galiannya , Jakarta: Magister Ilmu Hukum
Universitas Tarumanegara, 2004
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Pedoman Analisis dan Evaluasi Hukum, 2017
Hiareij, Eddy O.S., Hand Out Mata Kuliah Teori Hukum Semester Ganjil 2010/2011,
Yogyakarta: Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada.
Muhammad, Abdulkdir, Hukum dan Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Citra Aditya
Bakti.2004.
Pantje Astawa, I Gde dan Suprin Na’a, Dinamika Hukum dan Imu Perundang-
undangan, Bandung: PT. Alumni, 2008
Peraturan Perundang-undangan