Anda di halaman 1dari 110

1

ANALIS HUKUM
PELATIHAN DASAR

CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL

Penulis :

1. Dr. Dra. Maria Alfons, S.H.,M.H.

2. Elis Widyaningsih, S.H.,C.N.,M.H.

BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA


KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
2

DEPOK, 2017

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pegawai Negeri Sipil (PNS) memiliki peranan yang menentukan dalam
pembangunan nergara kesatuan Republik Indonesia. Sejumlah keputusan strategis
mulai dari merumuskan kebijakan sampai pada implementasi kebijakan dalam
berbagai sektor pembangunan dilaksanakan oleh PNS. Untuk memainkan peranan
tersebut, diperlukan sosok PNS yang profesional, yaitu PNS yang mampu
memenuhi standar kompetensi jabatannya sehingga mampu melaksanakan tugas
jabatannya secara efektif dan efisien. Untuk dapat membentuk sosok PNS
profesional tersebut perlu dilaksanakan pembinaan melalui jalur pelatihan.
Sebagai calon aparatur sipil negara maka Calon Pegawai Negeri Sipil dituntut
untuk menjalankan tugas dan perannya secara profesional sebagai pelayan
masyarakat. Profesionalisme Calon Pegawai Negeri Sipil diperoleh melalui
pembentukan karakter dan penguatan kompetensi teknis sesuai dengan bidang
tugas melalui Pelatihan Dasar Calon Pegawai Negeri Sipil
Selama ini pelatihan pembentukan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS)
dilakukan melalui Pendidikan dan Pelatihan Prajabatan (Diklat Prajabatan), dimana
praktik penyelenggaraan Pelatihan yang pembelajarannya didominasi oleh ceramah
sulit membentuk karakter PNS yang kuat dan profesional. Sejalan dengan telah
ditetapkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
(UU ASN) dan merujuk Pasal 63 ayat (3) dan ayat (4); CPNS wajib menjalani masa
percobaan yang dilaksanakan melalui proses Diklat terintegrasi untuk membangun
integritas moral, kejujuran, semangat dan motivasi nasionalisme dan kebangsaan,
karakter kepribadian yang unggul dan bertanggungjawab, dan memperkuat
profesionalisme serta kompetensi bidang.
Kurikulum Penguatan Kompetensi Teknis Bidang Tugas itu sendiri terdiri dari:
a. Kompetensi Teknis Umum/Administrasi; dan
b. Kompetensi Teknis Substantif.
3

Dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Negara dan Reformasi Birokrasi


Nomor 25 Tahun 2016 tentang Nomenklatur jabatan bagi PNS di lingkungan instansi
pemerintah disebutkan bahwa seorang analis hukum dituntut untuk mampu
melakukan kegiatan yang meliputi, pengumpulan, pengklasifikasian dan penelaahan
untuk menyimpulkan dan menyusun rekomendasi di bidang hukum. Dan untuk
mencapai kompetensi bidang tersebut maka disusun kurikulum kompetensi bidang
tugas analis hukum yang meliputi kemampuan kompetensi teknis umum dan teknis
substantif.
Oleh karena itu perlu disusun modul penguatan kompetensi bidang tugas
analis hukum yang terbagi dalam dua modul, dimana modul pertama berjudul
Gambaran kementerian hukum dan HAM RI bagi analis hukum yang dalam
pembelajarannya akan menjadi pengantar untuk mempelajari modul kedua yang
berjudul Analis Hukum.
Pada modul Analis Hukum ini peserta akan mendapatkan penguatan
kompetensi bidang teknis substantif dengan sequen dimulai dari penguatan sampai
dengan penguasaan terhadap asas-asas hukum, asas-asas umum pemerintahan
yang baik, metodologi penelitian hukum, teknik analisis hukum sampai dengan
penyusunan rekomendasi di bidang hukum.

B. Deskripsi Singkat
Mata pelatihan ini membekali peserta dengan kemampuan menganalisis
kebijakan di bidang hukum melalui pembelajaran asas-asas dan landasan teori
hukum, metodologi penelitian hukum, analisis dan perumusan rekomendasi di
bidang hukum

C. Hasil Belajar
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta pelatihan diharapkan mampu
menganalisis kebijakan di bidang hukum dan menyusun rekomendasinya

D. Indikator Hasil Belajar


Setelah mempelajari modul ini peserta diharapkan mampu:
1. menjelaskan tentang landasan teori, teori hukum dan norma hukum
4

2. menjelaskan asas-asas hukum dan asas-asas umum pemerintahan yang baik


3. menerapkan metodologi penelitian hukum
4. melakukan analisis hukum.
5. menyusun rekomendasi di bidang hukum

E. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok


1. Landasan Teori, Teori Hukum dan Norma Hukum
a. Landasan Teori, Kerangka Berpikir dan Kerangka Konseptual
b. Teori Hukum
c. Norma Hukum
d. Ilmu Perundang-undangan dan Tata Urutan Peraturan Perundang-
undangan dalam Sistem Hukum Indonesia
2. Asas-asas Hukum :
a. Asas-asas hukum
1) Pengertian Asas-asas Hukum
2) Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
3) Asas-asas lain yang bersifat khusus
b. Asas-asas Umum Pemerintahan yang baik (AUPB)
3. Metodologi Penelitian Hukum :
a. Penelitian Hukum
b. Penelitian hukum normatif
c. Penelitian hukum normatif empiris (Terapan)
d. Penelitian hukum empiris
4. Proses Pelaksanaan Analisis Hukum :
a. Lima Dimensi Dalam Pelaksanaan Analisis Hukum
1) Ketepatan jenis peraturan perundang-undangan
2) Potensi disharmoni pengaturan
3) Kejelasan rumusan
4) Penilaian kesesuaian norma
5) Efektivitas pelaksanaan peraturan perundang-undangan
b. Proses Analis Hukum
c. Analisis bidang Hukum
5

1) Analisis Bidang Politik, Hukum, Keamanan dan Pemerintahan


2) Analisis Bidang Ekonomi, Keuangan, Industri, Perdagangan dan
Infrastruktur
3) Analisis Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup
4) Analisis Bidang Sosial Budaya
d. Sistematika Penulisan Analis Hukum
5. Rekomendasi Hasil Analisis Hukum
6

BAB II

LANDASAN TEORI, TEORI HUKUM DAN NORMA HUKUM

Indikator Keberhasilan:
Setelah mempelajari modul ini peserta diharapkan mampu menjelaskan tentang:
1. Landasan Teori
2. Teori Hukum
3. Norma Hukum
4. Ilmu Perundang-undangan dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan
dalam sistem Hukum Indonesia

A. LANDASAN TEORI, KERANGKA PIKIR DAN KERANGKA KONSEPTUAL

1. Landasan Teori
Landasan Teori sangat penting dalam sebuah analisis terutama dalam
penulisan ilmiah, analisis ataupun peneliti tidak bisa mengembangkan masalah yang
mungkin di temui di tempat penelitian jika tidak memiliki acuan landasan teori yang
mendukungnya. Dalam landasan teori layaknya fondasi pada sebuah bangunan.
Bangunan akan terlihat kokoh bila fondasinya kuat, begitu pula dengan penulisan
menyangkut analis hukum, tanpa landasan teori penelitian dan metode yang
digunakan tidak akan berjalan lancar. Analis atau Peneliti juga tidak bisa membuat
pengukuran atau tidak memiliki standar alat ukur jika tidak ada landasan teori.
Seperti yang diungkapkan oleh Sugiyono (2012:52), bahwa landasan teori
perlu ditegakkan agar seorang analis maupun penelitian itu mempunyai dasar yang
kokoh, dan bukan sekedar perbuatan coba-coba (trial and error).
Landasan teori adalah seperangkat definisi, konsep serta proposisi yang telah
disusun rapi serta sistematis tentang variable-variabel dalam sebuah penganalis.
Landasan teori ini akan menjadi dasar yang kuat dalam sebuah penulisan yang akan
dilakukan. Pembuatan landasan teori yang baik dan benar dalam sebuah penulisan
menjadi hal yang penting karena landasan teori ini menjadi sebuah pondasi serta
landasan dalam penulisan tersebut. Yang dibahas pada bagian ini adalah teori-teori
tentang ilmu-ilmu yang diteliti. Penyajian teori dalam landasan teori dianggap tidak
terlalu sulit karena bersumber dari bacaan-bacaan. Akibatnya terjadilah penyajian
7

materi yang tidak proporsional, yaitu mengambil banyak teori walaupun tidak
mendasari bidang yang diteliti. Jadi seharusnya teori yang dikemukakan harus
benar-benar menjadi dasar bidang yang diteiti. Selain itu, pada bagian ini juga
dibahas temuan-temuan penelitian sebelumnya yang terkait langsung dengan
penelitian.1 Teori yang ditulis orang lain atau temuan penelitian orang lain yang
dikutip harus disebut sumbernya untuk menghindari tuduhan sebagai pencuri karya
orang lain tanpa menyebut sumbernya.
Etika ilmiah tidak membenarkan seseorang melakukan pencurian karya orang
lain. Menurut Jonathan Turner (dalam babbie, 1992) menyatakan bahwa teori dalam
ilmu sosial adalah penjelasan sistematis tentang hukum-hukum dan kenyataan-
kenyataan yang dapat diamati, yang berkaitan dengan aspek khusus dari kehidupan
manusia.2
Menurut Neuman 2003 (dalam Sugiyono, 2012) teori adalah seperangkat
konstruk (konsep), definisi, dan proposisi yang berfungsi untuk melihat fenomena
secara sistematis melalui spesifikasi hubungan antar variabel, sehingga dapat
berguna untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena.
Selanjutnya pengertian teori menurut Djojosuroto Kinayati & M.L.A Sumaryati,
Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstruk, dan proposisi untuk
menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan
hubungan antar konsep. Kata teori sendiri memiliki arti yang berbeda-beda pada
setiap bidang pengetahuan, hal itu tergantung pada metodologi dan konteks diskusi.
Secara umum, teori merupakan analisis hubungan antara fakta/fenomena yang satu
dengan fakta yang lain pada sekumpulan fakta-fakta.3
Berdasarkan beberapa pengertian diatas secara umum dapat ditarik
kesimpulan bahwa suatu teori adalah suatu konseptualitas antara asumsi, konstruk,
dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena yang diperoleh melalui proses
sistematis, dan harus dapat diuji kebenarannya, bila tidak maka itu bukan teori. Teori

1
. Sugiyono. 2010, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, danR&D.
Bandung: Alfabeta.
2
. Ibid
3
. Kinayati,Djojosuroto& M.L.A Sumaryati.2004.Prinsip-prinsip Penelitian Bahasa dan Sastra.B
andung: Yayasan Nuansa Cendekia.
8

semacam ini mempunyai dasar empiris, dimana harus melalui proses eksperimen,
penelitian atau observasi, sehingga teori dapat dikatakan berhasil.
Adapun pengertian dari Asumsi, konsep, konstruk dan proposisi dalam
sebuah teori (menurut Djojosuroto kinayati & M.L.A Sumayati:2004) adalah sebagai
berikut:
a. Asumsi adalah suatu anggapan dasar tentang realita, harus diverivikasi
secara empiris. Asumsi dasar ini bisa memengaruhi cara pandang peneliti
terhadap sebuah fenomena dan juga proses penelitian secara keseluruhan,
karena setiap penelitian pasti menggunakan pendekatan yang berbeda
sehingga asumsia dasarnya pun berbeda pada setiap penelitian.
b. Konsep adalah istilah, terdiri dari satu kata atau lebih yang menggambarkan
suatu gejala atau menyatakan suatu ide (gagasan ) tertentu.
c. Konstruk adalah konsep yang ciri-cirinya dapat diam langsung seperti
pemecahan masalah.
d. Proposisi adalah hubungan yang logis antara dua konsep.
Mark 1963, dalam (Sugiyono, 2012) membedakan adanya tiga macam teori.
Ketiga teori yang dimaksud ini berhubungan dengan data empiris, teori ini antara
lain:
a. Teori yang Deduktif: memberi keterangan yang dimulai dari suatu
perkiraan, atau pikiran spekulatis tertentu kearah data akan
diterangkan.
b. Teori Induktif: cara menerangkan adalah dari data ke arah teori. Dalam
bentuk ekstrim titik pandang yang positivistik ini dijumpai pada kaum
behaviorist
c. Teori fungsional: disini nampak suatu interaksi pengaruh antara data
dan perkiraan teoritis, yaitu data mempengaruhi pembentukan teori dan
pembentukan teori kembali mempengaruhi data.4
Teori adalah alur logika atau penalaran, yang merupakan seperangkat
konsep, definisi, dan proposisi yang disusun secara sistematis. Menurut Sugiyono
fungsi teori secara umum adalah:

4
Sugiyono, Op. Cit
9

a. Menjelaskan (explanation). Misalnya, Mengapa air yang mendidih pada


suhu 100°C bisa menguap, dapat dijawab dengan teori yang berfungsi
menjelaskan.
b. Meramalkan (prediction). Misalnya, bila air didihkan pada suhu 100°C
berapa besar penguapannya, dapat dijawab dengan teori yang berfungsi
meramalkan/memperkirakan.
c. Pengendali (control). Misalnya, berapa jarak sambungan rel kereta api
yang paling sesuai dengan kondisi iklim indonesia, sehingga kereta api
jalannya tidak terganggu, dapat dijawab dengan teori yang berfugsi
mengendalikan.
Deskripsi teori adalah suatu rangkaian penjelasan yang mengungkapkan
suatu fenomena atau realitas tertentu yang dirangkum menjadi suatu konsep
gagasan, pandangan, sikap dan atau cara-cara yang pada dasarnya menguraikan
nilai-nilai serta maksud dan tujuan tertentu yang teraktualisasi dalam proses
hubungan situasional, hubungan kondisional, atau hubungan fungsional di antara
hal-hal yang terekam dari fenomena atau realitas tertentu.
Dengan menyelam jauh ke dalam deskripsi teori, akan diketahui kekuatan dan
kelemahan suatu teori. Dalam suatu penelitian, deskripsi teori merupakan uraian
sistematis tentang teori dan hasil penelitian yang relevan dengan variabel yang
diteliti. Berapa jumlah teori yang perlu dikemukakan/dideskripsikan, akan tergantung
pada luasnya permasalahan dan jumlah variabel yang diteliti. Deskripsi teori paling
tidak berisi tentang penjelasan terhadap variabel-variabel yang diteliti, melalui
pendefisian, dan uraian yang lengkap dan mendalam dari berbagai referensi,
sehingga ruang lingkup, kedudukan dan prediksi terhadap hubungan antar variabel
yang akan diteliti menjadi lebih jelas dan terarah.
Teori yang dideskripsikan dalam sebuah analisis maupun laporan penelitian
dapat digunakan sebagai indikator apakah peneliti menguasai teori dan konteks
yang diteliti atau tidak.
Berikut langkah-langkah untuk dapat melakukan pendeskripsian teori adalah:
1. Tetapkan nama variabel yang diteliti, dan jumlah variabelnya.
10

2. Mencari sumber-sumber bacaan (buku, kamus, ensiklopedia, jurnal ilmia,


laporan penelitian, sekripsi, tesis, disertasi) yang sebanyak-banyaknya
dan relevan
3. Lihatlah daftar isi setiap buku, dan pilih topik yang relevan dengan setiap
variabel yang akan diteliti.
4. Cari definisi setiap variabel yang akan diteliti pada setiap sumber bacaan,
bandingkan antara satu sumber dengan umber yang lain, dan pilih definisi
yang sesuai dengan penelitian yang akan diadakan.
5. Baca seluruh isi topik buku yang sesuai dengan variabel yang akan
diteliti, lakukan analisa, renungkan, dan buatlah rumusan dengan bahasa
sendiri tentang isi setiap sumber data yang dibaca.
6. Deskripsikan teori-teori yang telah dibaca dari berbagai sumber ke dalam
bentuk tulisan dengan bahasa sendiri.
Sumber-sumber bacaan yang dikutip atau yang digunakan sebagai landasan
untuk mendeskripsikan teori harus dicantumkan. Menurut Neuman (Dalam artikel
Prof. Dr. Mudjia Rahardjo) mengemukakan tentang teori berdasarkan tingkatannya
yaitu:
a. Teori tingkat Mikro Level. Dalam tingkat ini memberi penjelasan hanya
terbatas pada peristiwa yang berskala kecil, baik dari sisi waktu, ruang,
maupun jumlah orang. Seperti dalam sosiologi dikenal dengan teori Face
Work‖ Erving Goffman yang mengkaji kegiatan ritual dua orang yang
saling berhadapan atau bertatap muka.
b. Teori Meso Level. Teori ini menghubungkan tingkat mikro dan makro,
misalnya teori organisasi, gerakan sosial, atau komunitas teori Collin
tentang kontrol organisasi.
c. Teori Makro Level. Teori ini menjelaskan objek yang lebih luas seperti
lembaga sosial, sistem budaya,dan masyarakat secara keseluruhan.
Misalnya, teori makro Lenski tentang stratafikasi social. Cara yang paling
mudah dan tepat untuk belajar membuat sebuah landasan teori adalah
11

dengan membaca sebanyak mungkin tentang karya-karya sejarah dan


budaya yang sudah ditulis. 5
Membuat landasan teori/kerangka penelitian dalam melakukan analis pada
dasarnya adalah menunjukkan sistimatika berfikir ketika akan memulai sebuah
penelitian dengan menggunakan konsep-konsep yang selama ini berkembang
dalam ilmu pengetahuan sosial dan humaniora. Dalam mengemukakan landasan
teori, yang perlu diperhatikan adalah hal-hal sebagai berikut:

a. Pertama;
Menentukan tema sejarah atau budaya apa, sejarah politik, sejarah ekonomi,
sejarah sosial, sejarah intelektual, budaya lokal, kesenian, upacara keagamaan
dan lain-lain.
b. Kedua;
Menentukan ilmu bantu yang dibutuhkan untuk mendukung analisis maupun
penelitian, seperti sosiologi, antropologi, ilmu politik, ekonomi, hukum dan
sebagainya, sesuai dengan tema dan topik penelitian. Ilmu-ilmu bantu kemudian
menjadi pendekatan penelitian.
Pendekatan (approach), selain bagian dari metodologi, juga merupakan bagian
dari metode, oleh karena itu dalam hal ini harus melihat cara apa yang terdekat
untuk menjelaskan topik yang dipilih.
Hal ini juga harus sesuai dengan kebutuhan dari tema dan topik penelitian dalam
melakukan suatu analis. Apakah pendekatan hukum, politis, ekonomis,
sosiologis, arkeologis, psikologis, dan sebagainya.
c. Ketiga;
Menjelaskan konsep-konsep diperlukan untuk menjelaskan permasalahan
penelitian. Konsep yang dipakai harus dipahami. Biasakan diri untuk
membuka berbagai macam kamus, terutama yang sesuai untuk kebutuhan anda
untuk memahami konsep atau istilah tertentu, jangan membuat pengertian
dengan pengertian kira-kira. Jika tiga hal ini sudah ditemukan, tinggal

5
Neuman, Dalam artikel Prof. Dr. Mudjia Rahardjo. Teori Hukum.
12

menjelaskan sistematika berpikir dengan meminjam beberapa paradigma atau


konsep ilmu lain yang cocok untuk menjelaskan.
Selanjutnya fokus teori menurut (Moleong,2002) yaitu teori substantif dan
teori formal. (Gleser dan Strauss dalam Maleong, 2002:37-38) mengemukakan Teori
substantif adalah teori yang dikembangkan untuk keperluan substantif atau empiris
dalam ingkuiri dalam suatu ilmu pengetahuan, misanya antropologi, sosiologi, dan
psikologi. Sedangkan teori formal adalah teori untuk keperluan formal atau yang
disusun secara konseptual dalam bidang ingkuiri suatu ilmu pengetahuan, misalnya
sosiologi, contohnya prilaku agresif, organisasi formal, sosialisasi. Semua penelitian
bersifat ilmiah, oleh karena itu semua analis atau peneliti harus berbekal teori. 6
Dalam sebuah penelitian teori yang digunakan harus sudah jelas karena
fungsi teori dalam sebuah penelitian menurut (Sugiyono, 2012:57) adalah sebagai
berikut:
a. Teori digunakan untuk memperjelas dan mempertajam ruang lingkup,
atau konstruk variabel yang akan diteliti.
b. Untuk merumuskan hipotesis dan menyusun instrumen penelitian
c. Memprediksi dan membantu menemukan fakta tentang sesuatu hal yang
hendak diteliti.
d. Secara ringkas, menurut Borg dan Gall (1989: 114-119), dan Latief (2012:
43-50) dalam Website Prof. Dr. Mudjia Raharjo,M.Si menjelaskan
setidaknya ada enam (6) alasan mengapa kajian pustaka / Teori harus
dilakukan, sebagaimana uraian berikut: Sangat bermanfaat untuk
menajamkan rumusan masalah penelitian yang diajukan, sehingga besar
kemungkinan rumusan masalah yang sudah dibuat berubah setelah
peneliti membaca pustaka karena telah memiliki wawasan tentang tema
yang diteliti lebih luas daripada sebelumnya. Dengan demikian, rumusan
masalah, terutama dalam penelitian kualitatif, bersifat tentatif. Tidak
sedikit penelitian gagal karena masalah yang diteliti terlalu luas. Rumusan
masalah yang spesifik dan dalam lingkup yang kecil jauh lebih baik
daripada yang luas dan umum. Umumnya, rumusan masalah yang tidak

6
Moleong, Lexy.J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
13

jelas berakibat pada data yang diperoleh juga tidak jelas, sehingga antara
masalah yang hendak dijawab dan data yang ada tidak sambung.
Ujungnya kesimpulannya tidak berangkat dari data, tetapi pendapat
pribadi peneliti. Tentu ini tidak bisa dibenarkan. Hal demikian bisa
dihindari melalui kajian pustaka dengan serius.
e. Kajian pustaka tidak saja untuk mempelajari apa yang telah dilakukan
orang lain, tetapi juga melihat apa yang terlewatkan dan belum dikaji oleh
peneliti sebelumnya.Untuk melihat bahwa pendekatan penelitian yang
kita lakukan steril dari pendekatan-pendekatan lain. Sebab, pada
umumnya kajian pustaka justru menyebabkan peneliti meniru
pendekatan-pendekatan yang sudah lama dipakai orang lain, sehingga
tidak menghasilkan temuan yang berarti. Mencoba pendekatan baru —
walau mungkin salah — lebih baik daripada mengulang hal yang sama
berkali-kali walau benar. Pengulangan justru menunjukkan peneliti tidak
cukup melakukan pembacaan literatur secara memadai. Kesalahan
metodologis akan disusul dan dikoreksi oleh peneliti selanjutnya,
sehingga menyebabkan ilmu pengetahuan berkembang. Karena itu,
dalam ilmu pengetahuan kesalahan bukan sesuatu yang aib. Proses
demikian oleh Polanyi disebut sebagai falsifikasi.
f. Memperoleh pengetahuan (insights) mengenai metode, ukuran, subjek,
dan pendekatan yang dipakai orang lain dan bisa dipakai untuk
memperbaiki rancangan penelitian yang kita lakukan. Rancangan
penelitian, lebih-lebih untuk penelitian kualitatif, bukan sesuatu yang
sekali jadi, melainkan terus diperbaiki agar diperoleh metode yang tepat
untuk memperoleh data dan menganalisisnya. Kenyataan di lapangan
ditemukan racangan penelitian kualitatif seragam dari satu proyek
penelitian ke yang lain. Padahal, walaupun berangkat dari paradigma
yang sama rancangan penelitian kualitatif bisa berbeda dari penelitian ke
penelitian lainnya, karena penelitian kualitatif berangkat dari kasus atau
fenomena tertentu.
g. Melalui kajian pustaka, bisa diperoleh pengetahuan berupa rekomendasi
atau saran-saran bagi peneliti selanjutnya. Informasi ini tentu sangat
14

penting karena rekomendasi atau saran merupakan rangkuman pendapat


peneliti setelah melakukan penelitian. Usai penelitian, kita juga
diharapkan bisa memberikan rekomendasi atau saran bagi peneliti
selanjutnya, sebagaimana kita telah mengambil manfaat dari peneliti
sebelumnya. Karena itu, rekomendasi atau saran yang baik bukan
sembarang saran, melainkan usulan yang secara spesifik bisa diteliti.
Untuk mengetahui siapa saja yang pernah meneliti bidang yang sama
dengan yang akan kita lakukan. Orang yang sudah lebih dahulu meneliti bisa
dijadikan teman diskusi mengenai tema yang kita lakukan, termasuk
membahas hal-hal yang menjadi kekurangan atau kelemahan penelitian,
sehingga kita bisa memperbaiki, karena dia telah memperoleh pengalaman
lebih dahulu.
Oleh karena itu untuk dapat membuat sebuah landasan teori yang baik
harus tahu banyak tentang metodologi. Jangan berharap paham tentang
landasan teori, apalagi untuk membuat sebuah landasan teori atau kerangka
penelitian yang baik, jika tidak tahu tentang metodologi.

2. Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir merupakan inti sari dari teori yang telah dikembangkan
yang dapat mendasari perumusan hipotesis. Teori yang telah dikembangkan dalam
rangka memberi jawaban terhadap pendekatan pemecahan masalah yang
menyatakan hubungan antar variabel berdasarkan pembahasan teoritis. Perlu
dijelaskan bahwa tidak semua penelitian memiliki kerangka pikir. Kerangka pikir
pada umumnya hanya diperuntukkan pada jenis penelitian kuantatif.
Untuk penelitian kualitatif kerangka berpikirnya terletak pada kasus yang
selama ini dilihat atau diamati secara langsung oleh penulis. Sedangkan untuk
penelitian tindakan kerangka berpikirnya terletak pada refleksi, baik pada peneliti
maupun pada partisipan. Hanya dengan kerangka berpikir yang tajam yang dapat
digunakan untuk menurunkan hipotesis. Kerangka pemikiran adalah narasi (uraian)
atau pernyataan (proposisi) tentang kerangka konsep pemecahan masalah yang
telah diidentifikasi atau dirumuskan.
15

Kerangka berpikir atau kerangka pemikiran dalam sebuah penelitian


kuantitatif, sangat menentukan kejelasan dan validitas proses penelitian secara
keseluruhan. Melalui uraian dalam kerangka berpikir, peneliti dapat menjelaskan
secara komprehensif variabel-variabel apa saja yang diteliti dan dari teori apa
variabel-variabel itu diturunkan, serta mengapa variabel-variabel itu saja yang diteliti.
Uraian dalam kerangka berpikir harus mampu menjelaskan dan menegaskan
secara komprehensif asal-usul variabel yang diteliti, sehingga variabel-variabel yang
tercatum di dalam rumusan masalah dan identifikasi masalah semakin jelas asal-
usulnya. Pada dasarnya esensi kerangka pemikiran berisi:
(1) Alur jalan pikiran secara logis dalam menjawab masalah yang didasarkan
pada landasan teoretik dan atau hasil penelitian yang relevan.
(2) Kerangka logika (logical construct) yang mampu menunjukan dan
menjelaskan masalah yang telah dirumuskan dalam kerangka teori.
(3) Model penelitian yang dapat disajikan secara skematis dalam bentuk
gambar atau model matematis yang menyatakan hubungan-hubungan
variabel penelitian atau merupakan rangkuman dari kerangka pemikiran
yang digambarkan dalam suatu model. Sehingga pada akhir kerangka
pemikiran ini terbentuklah hipotesis.
Dengan demikian, uraian atau paparan yang harus dilakukan dalam kerangka
berpikir adalah perpaduan antara asumsi-asumsi teoretis dan asumsi-asumsi logika
dalam menjelaskan atau memunculkan variabel-variabel yang diteliti serta
bagaimana kaitan di antara variabel-variabel tersebut, ketika dihadapkan pada
kepentingan untuk mengungkapkan fenomena atau masalah yang diteliti.
Di dalam menulis kerangka berpikir, ada tiga kerangka yang perlu dijelaskan,
yakni: kerangka teoritis, kerangka konseptual, dan kerangka operasional.
Kerangka teoritis atau paradigma adalah uraian yang menegaskan tentang
teori apa yang dijadikan landasan (grand theory) yang akan digunakan untuk
menjelaskan fenomena yang diteliti.
Kerangka konseptual merupakan uraian yang menjelaskan konsep-konsep
apa saja yang terkandung di dalam asumsi teoretis yang akan digunakan untuk
mengabstraksikan (mengistilahkan) unsur-unsur yang terkandung di dalam
16

fenomena yang akan diteliti dan bagaimana hubungan di antara konsep-konsep


tersebut.
Kerangka operasional adalah penjelasan tentang variabel-variabel apa saja
yang diturunkan dari konsep-konsep terpilih tadi dan bagaimana hubungan di antara
variabel-variabel tersebut, serta hal-hal apa saja yang dijadikan indikator untuk
mengukur variabel-variabel yang bersangkutan.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka dalam
menyusun kerangka berpikir kita harus memulainya dengan menegaskan teori apa
yang dijadikan landasan dan akan diuji atau digambarkan dalam penelitian kita. Lalu
dilanjutkan dengan penegasan tentang asumsi teoretis apa yang akan diambil dari
teori tersebut sehingga konsep-konsep dan variabel-variabel yang diteliti menjadi
jelas. Selanjutnya, kita menjelaskan bagaimana cara mengoperasionalisasikan
konsep atau variabel-variabel tersebut sehingga siap untuk diukur. Walaupun dalam
kerangka berpikir itu harus terkandung kerangka teoretis, kerangka konseptual, dan
kerangka operasional, tetapi cara penguraian atau cara pemaparannya tidak perlu
kaku dibuat per sub bab masing-masing. Hal yang penting adalah bahwa isi
pemaparan kerangka berpikir merupakan alur logika berpikir kita mulai dari
penegasan teori serta asumsinya hingga munculnya konsep dan variabel-variabel
yang diteliti.
Agar analis benar-benar dapat menyusun kerangka berpikir secara ilmiah
(memadukan antara asumsi teoretis dan asumsi logika dalam memunculkan
variabel) dengan benar, maka peneliti harus intens dan eksten menelurusi literatur-
literarur yang relevan serta melakukan kajian terhadap hasil penelitian-penelitian
terdahulu yang relevan, sehingga uraian yang dibuatnya tidak semata-mata
berdasarkan pada pertimbangan logika. Untuk itu dalam menjelaskan kerangka
teoretisnya, analis mesti merujuk pada literatur atau referensi serta laporan-laporan
penelitian terdahulu. Selanjutnya secara sederhana penyusunan kerangka berpikir
dapat dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah berikut:
1. Menentukan paradigma atau kerangka teoretis yang akan digunakan,
kerangka konseptual dan kerangka operasional variabel yang akan diteliti.
2. Memberikan penjelasan secara deduktif mengenai hubungan antar
variabel penelitian. Tahapan berpikir deduktif meliputi tiga hal yaitu:
17

(a) Tahap penelaahan konsep (conceptioning), yaitu tahapan menyusun


konsepsi-konsepsi (mencari konsep-konsep atau variabel dari
proposisi yang telah ada, yang telah dinyatakan benar).
(b) Tahap pertimbangan atau putusan (judgement), yaitu tahapan
penyusunan ketentuan-ketentuan (mendukung atau menentukan
masalah akibat pada konsep atau variabel dependen).
(c) Tahapan penyimpulan (reasoning), yaitu pemikiran yang menyatakan
hal-hal yang berlaku pada teori, berlaku pula bagi hal-hal yang
khusus.
3. Memberikan argumen teoritis mengenai hubungan antar variabel yang
diteliti. Argumen teoritis dalam kerangka pemikiran merupakan sebuah
upaya untuk memperoleh jawaban atas rumusan masalah. Dalam
prakteknya, membuat argumen teoritis memerlukan kajian teoretis atau
hasil-hasil penelitian yang relavan. Hal ini dilakukan sebagai petunjuk
atau arah bagi pelaksanaan penelitian. Hal lain yang perlu diperhatikan
adalah, oleh karena argumen teoritis sebagai upaya untuk memperoleh
jawaban atas rumusan masalah, maka hasil dari argumen teoritis ini
adalah sebuah jawaban sementara atas rumusan masalah penelitian.
Sehingga pada akhirnya produk dari kerangka pemikiran adalah sebuah
jawaban sementara atas rumusan masalah (hipotesis).
4. Merumuskan model penelitian. Model adalah konstruksi kerangka
pemikiran atau konstruksi kerangka teoretis yang diragakan dalam bentuk
diagram dan atau persamaan-persamaan matematik tertentu. Esensinya
menyatakan hipotesis penelitian. Sebagai suatu kontruksi kerangka
pemikiran, suatu model akan menampilkan: (a) jumlah variabel yang
diteliti, (b) prediksi tentang pola hubungan antar variabel, (c) dekomposisi
hubungan antar variabel, dan (d) jumlah parameter yang diestimasi.

3. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual penelitian adalah suatu hubungan atau kaitan antara
konsep satu terhadap konsep yang lainya dari masalah yang ingin diteliti. Kerangka
konsep ini gunanya untuk menghubungkan atau menjelaskan secara panjang lebar
18

tentang suatu topik yang akan dibahas. Kerangka ini didapatkan dari konsep ilmu /
teori yang dipakai sebagai landasan penelitian yang didapatkan dibab tinjauan
pustaka atau kalau boleh dikatakan oleh penulis merupakan ringkasan dari tinjauan
pustaka yang dihubungkan dengan garis sesuai variabel yang diteliti.
Tinjauan pustaka berisi semua pengetahuan (teori, konsep, prinsip, hukum
maupun proposisi) yang nantinya bisa membantu untuk menyusun kerangka konsep
dan operasional penelitian. Temuan hasil peneliti yang telah ada sangat membantu
dan mempermudah peneliti membuat kerangka konseptual. Kerangka konseptual
diharapkan akan memberikan gambaran dan mengarahkan asumsi mengenai
variabel-variabel yang akan diteliti.
Kerangka konseptual memberikan petunjuk kepada peneliti di dalam
merumuskan masalah penelitian. Peneliti akan menggunakan kerangka konseptual
yang telah disusun untuk menentukan pertanyaan- pertanyaan mana yang harus
dijawab oleh penelitian dan bagaimana prosedur empiris yang digunakan sebagai
alat untuk menemukan jawaban terhadap pertanyaan tersebut.
Kerangka konseptual diperoleh dari hasil sintesis dari proses berpikir deduktif
(aplikasi teori) dan induktif (fakta yang ada, empiris), kemudian dengan kemampuan
kreatif-inovatif, diakhiri dengan konsep atau ide baru yang disebut kerangka
konseptual.
Jadi Konsepsi adalah hasil tangkapan seseorang atau gambaran tentang objek
atau ide terhadap rangsangan (stimulus) objek yang merupakan proses mental
untuk berpikir kreatif. Pertemuan telur dan sperma adalah contoh suatu konsepsi.
Bagaimana supaya telur dan sperma bertemu (konsepsi) pada tempat yang bisa
membuahkan bayi yang sehat, maka proses ini merupakan konseptualisasi.
Konseptualisasi adalah suatu proses mental di mana seorang ilmuwan menyusun
konsep yang didasarkan pengalaman, berpikir deduktif dan induktif. Konsep adalah
hasil akhir dari proses konseptualisasi.
Hasil dari proses kegiatan ini menghasilkan sebuah konsep atau bayi sehat.
Pemilihan kerangka konsepsual yang tepat pada sebagian besar penelitian
ditentukan oleh beberapa landasan, yaitu :
1. Landasan pertama berpikir deduktif; analisis teori, konsep, prinsip, premis
yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti. Oleh karena itu
19

peneliti harus membuat analisis secara hati-hati dan kritis serta menelaah
semua kepustakaan yang berhubungan dengan subyek penelitian secara
cermat, sebelum memformulasikan hipotesis yang bertujuan untuk menjawab
pertanyaan penelitian tersebut.
2. Landasan kedua berpikir induktif; analisis penelusuran hasil penelitian orang
lain yang mendahului yang terkait dengan masalah dan tujuan penelitian.
3. Landasan ketiga adalah merumuskan permasalahan dan penetapan
tujuan penelitian atas dasar sintesis dari analisis landasan pertama dan ke-
empat dengan cara berpikir kreatif-inovatif; sintesis pengalaman, teori, fakta,
tujuan penelitan dan logika berpikir kreatif disusun menjadikerangka
konseptual penelitian. Ada semacam asas dalam pembuatan kerangka pikir
atau kerangka konseptual, yaitu: Untuk pendidikan sarjana, kerangka konsep
mengacu pada suatu konsep yang telah ada (cukup satu). Variabel yang
membentuk kerangka konsep disesuaikan dengan variabel yang relevan
dengan permasalahan yang ada (tujuan penelitian). Jadi mencoba
mencocokkan teori, konsep dengan realita permasalahan di lapangan. Untuk
pendidikan magister, selain berdasarkan kerangka konsep yang ada (bisa
lebih dari satu), juga diminta ada masukan ide atau gagasan baru. Paling
tidak ada modifikasi variable yang disesuaikan realita di lapangan.
Satu contoh dapat dilihat tujuan akhir penelitian program magister lebih
diutamakan dalam bentuk ide dan atau teknologi pemecahan masalah. Untuk
pendidikan doktor, maka konsep yang ada harus dimodifikasi, artinya seorang
program doktor juga ada ide, gagasan inovatif dalam mengembangan
konsep. Ide inovatif yang disesuaikan dengan kondisi dan situasi di mana
penelitian tersebut diadakan, sehingga menghasilkan pengetahuan baru.
Tahap penyusunan kerangka konseptual. Kerangka konsep penelitian pada
dasarnya adalah kerangka hubungan antara konsep-konsep yang ingin diamati atau
diukur melalui penelitian. Untuk itu langkah-langkah yang dilakukan sebelum
membuat kerangka konseptual ini adalah :
1. Seleksi dan definisi konsep (logika berpikir untuk mencoba menjelaskan atau
atribut dari masalah yang akan diteliti)
2. Mengembangkan pernyataan hubungan.
20

3. Mengembangkan konsep dalam gambar / kerangka. Yang meliputi :


(a) Disesuaikan dengan pernyataan masalah,
(b) Penjelasan bagaimana hubungan masalah dengan variabel yang lain,
yang diduga sebagai penyebab timbulnya masalah. Arah kerangka
sesuaikan dengan variable yang akan diteliti dengan mengembangkan
konsep dalam gambar / kerangka dengan membuat garis mana yang
diteliti dan tidak dengan menggunakan garis sambung atau terputus,
serta buat panah untuk bagian yang ada pengaruhnya dan tidak untuk
bagian yang tidak ada pengaruh,
(c) Identifikasi dan analisa teori yang diaplikasikan

C. TEORI HUKUM
Teori ilmu hukum bertujuan untuk menjelaskan kejadian-kejadian dalam bidang
hukum dan mencoba untuk memberikan penilaian. Menurut Radburch tugas dari
teori hukum adalah membikin jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai
kepada dasar-dasar filsafat yang paling dalam.
Teori hukum dipelajari sudah sejak zaman dahulu oleh para ahli hukum Yunani
maupun Romawi dengan membuat berbagai pemikiran tentang hukum sampai
kepada akar-akar filsafatnya.
Sebelum abad ke-19, teori hukum merupakan produk sampingan yang
terpenting dari filsafat agama, etika, dan politik. Para ahli fikir hukum terbesar pada
awalnya adalah ahli-ahli filsafat, ahli-ahli agama, ahli-ahli politik. Perubahan
terpenting filsafat hukum dari para pakar filsafat atau ahli politik kepada filsafat
hukum dari para ahli hukum barulah terjadi pada akhir-akhir ini yaitu setelah adanya
perkembangan yang hebat dalam penelitian, studi teknik dan penelitian hukum.
Teori-teori hukum pada zaman dahulu dilandasi oleh teori filsafat dan politik umum,
sedangkan teori-teori hukum modern dibahas dalam bahasa dan sistem pemikiran
para ahli hukum sendiri. Perbedaannya terletak dalam metode dan penekanannya.
Teori hukum dari ahli hukum modern didasarkan atas keyakinan tertinggi yang
diilhamnya datang dari luar bidang hukum itu sendiri.
Teori hukum merupakan kelanjutan dari usaha untuk mempelajari hukum
positif. Teori hukum menggunakan hukum positif sebagai bahan kajian dengan
21

telaah filosofis sebagai salah satu sarana bantuan untuk menjelaskan tentang
hukum.
Para ahli fikir hukum terbesar pada awalnya adalah ahli-ahli filsafat, ahli-ahli
agama, ahli-ahli politik. Perubahan terpenting filsafat hukum dari para pakar filsafat
atau ahli politik ke filsafat hukum dari para ahli hukum, barulah terjadi pada akhir-
akhir ini. Yaitu setelah adanya perkembangan yang hebat dalam penelitian, studi
teknik dan penelitian hukum.
Teori-teori hukum pada zaman dahulu dilandasi oleh teori filsafat dan politik
umum. Sedangkan teori-teori hukum modern dibahas dalam bahasa dan sistem
pemikiran para ahli hukum sendiri.
Perbedaannya terletak dalam metode dan penekanannya. Teori hukum para
ahli hukum modern seperti teori hukum para filosof ajaran skolastik, didasarkan atas
keyakinan tertinggi yang ilhamnya datang dari luar bidang hukum itu sendiri.Teori-
Teori Hukum Pada Zaman Yunani-RomawI
Plato (427-347 sebelum Masehi) beranggapan bahwa hukum itu suatu
keharusan dan penting bagi masyarakat. Sebagaimana yang dituliskannya dalam
“The Republik”, hukum adalah sistem peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun
baik yang mengikat masyarakat. Pelaksanaan keadilan dipercayakan kepada para
pengatur pemerintahan yang pendidikan serta kearifannya bersumber pada ilham
merupakan jaminan untuk terciptanya pemerintahan yang baik.3) Dan pada
karyanya yang telah diperbaharui Plato mulai mengusulkan “negara hukum” sebagai
alternatif suatu sistem pemerintahan yang lebih baik, dengan konsepnya mengenai
negara keadilan yang dijalankan atas dasar norma-norma tertulis atau undang-
undang.
Aristoteles (384-322 sebelum Masehi) adalah murid Plato yang paling
termasyur. Ia adalah seorang pendidik putra raja yang bernama Alexander Agung.
Menurut Aristoteles hukum harus ditaati demi keadilan, dan ini dibagi menjadi hukum
alam dan hukum positif. Hukum alam menurut Aristoteles merupakan aturan
semesta alam dan sekaligus aturan hidup bersama melalui undang-undang. Pada
Aristoteles hukum alam ditanggapi sebagai suatu hukum yang berlaku selalu dan
dimana-mana karena hubungannya dengan aturan alam. Hukum positif adalah
semua hukum yang ditentukan oleh penguasa negara. Hukum itu harus selalu
22

ditaati, sekalipun ada hukum yang tidak adil. Aristoteles juga membedakan antara
keadilan “distributif” dan keadilan “korektif” atau “remedial”. Keadilan distributif
mengacu kepada pembagian barang dan jasa kepada setiap orang sesuai dengan
kedudukannya didalam masyarakat, dan perlakuan yang sama terhadap
kesederajatan dihadapan hukum (equality before the law). Keadilan jenis ini
menitikberatkan kepada kenyataan fundamental dan selalu benar, walaupun selalu
dikesampingkan oleh hasrat para filsuf hukum untuk membuktikan kebenaran
pendirian politiknya, sehingga cita keadilan secara teoritis tidak dapat memiliki isi
yang tertentu sekaligus sah. Keadilan yang kedua pada dasarnya merupakan ukuran
teknik dari prinsip-prinsip yang mengatur penerapan hukum. 7
Dalam mengatur hubungan hukum harus ditemukan suatu standar yang
umum untuk memperbaiki setiap akibat dari setiap tindakan, tanpa memperhatikan
pelakunya dan tujuan dari perilaku-perilaku dan obyek-obyek tersebut harus diukur
melalui suatu ukuran yang obyektif.
Selanjutnya Aristoteles memberikan pembedaan terhadap keadilan abstrak
dan kepatutan. Hukum harus menyamaratakan dan banyak memerlukan kekerasan
didalam penerapannya terhadap masalah individu. Kepatutan mengurangi dan
menguji kekerasan tersebut, dengan mempertimbangkan hal yang bersifat
individual.
Pada Abad Pertengahan Thomas Aquinas (1225-1275) adalah seorang
rohaniawan Gereja Katolik yang lahir di Italia, belajar di Paris dan Kolin dibawah
bimbingan Albertus Magnus.
Didalam membahas arti hukum, Thomas Aquinas mulai dengan membedakan
antara hukum-hukum yang berasal dari wahyu dan hukum-hukum yang dijangkau
oleh akal budi manusia sendiri. Hukum yang didapati dari wahyu disebut hukum Ilahi
(ius divinum positivum). Hukum yang diketahui berdasarkan kegiatan akal budi ada
beberapa macam. Pertama-tama ada hukum alam (ius nature), kemudian juga
hukum bangsa-banga (ius gentium), akhirnya hukum positif manusiawi (ius
positivum humanum).

7
Eddy O.S Hiareij, Hand Out Mata Kuliah Teori Hukum Semester Ganjil 2010/2011, Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
23

Tentang hukum yang berasal dari wahyu dapat dikatakan, bahwa hukum
mendapat bentuknya dalam norma-norma moral agama. Seringkali norma-norma itu
sama isinya dengan norma-norma yang umumnya berlaku dalam hidup manusia.
Untuk dapat menjelaskan hukum alam, Thomas Aquinas bertolak dari ide-ide dasar
Aristoteles. Aturan alam semesta tergantung dari Tuhan yang menciptakannya. Oleh
karena itu aturan alam ini harus berakar dalam suatu aturan abadi (lex aeterna),
yang terletak dalam hakekat Allah sendiri. Hakekat Allah itu adalah pertama-tama
Budi Ilahi yang mempunyai ide mengenai segala ciptaan. Budi Ilahi praktis
membimbing segala-galanya kearah tujuannya.
Semesta alam diciptakan dan dibimbing oleh Allah, tetapi lebih-lebih manusia
beserta kemampuannya untuk memahami apa yang baik dan apa yang jahat dan
kecenderungan untuk membangun hidupnya sesuai dengan aturan alam itu. Oleh
karena itu untuk hukum alam, Thomas Aquinas pertama-tama memaksudkan aturan
hidup manusia , sejauh didiktekan oleh akal budinya.
Hukum alam yang terletak dalam akal budi manusia itu (lex naturalis) tidak
lain daripada suatu pertisipasi aturan abadi dalam ciptaan rasional.
Hukum alam yang oleh akal budi manusia ditimba dari aturan alam, dapat
dibagi dalam dua golongan yaitu: hukum alam primer dan hukum alam sekunder.
Hukum alam primer dapat dirumuskan dalam norma-norma yang karena bersifat
umum berlaku bagi semua manusia. Hukum alam sekunder dapat diartikan dalam
norma-norma yang selalu berlaku in abstracto, oleh karena langsung dapat
disimpulkan dari norma-norma hukum alam primer, tetapi dapat terjadi juga adanya
kekecualian berhubung adanya situasi tertentu. Thomas Aquinas membedakan
antara keadilan distributif, keadilan tukar-menukar dan keadilan legal. Keadilan
distributif menyangkut hal-hal umum. Keadilan tukar-menukar menyangkut barang
yang ditukar antara pribadi seperti misalnya jual beli. Keadilan legal menyangkut
keseluruhan hukum, sehingga dapat dikatakan bahwa kedua keadilan tadi
terkandung keadilan legal.
Friederich Stahl (Jerman). dengan Teori Theokrasi menganggap bahwa
hukum itu adalah kemauan Tuhan, jadi yang menjadi dasar dari kekuatan hukum
adalah kepercayaan kepada Tuhan. Tinjauan tentang hukum dikaitkan dengan
kepercayaan dan agama, dimana perintah-perintah Tuhan tersebut ditulis di dalam
24

kitab-kitab suci. Teori Theokrasi ini di Barat diterima sampai zaman Renaissance
(abad ke-9).
Selanjutnya dalam Teori Perjanjian Masyarakat (Contract Social)/ Teori
Kedaulatan Rakyat. Pada abad ke-18, Jean Jacques Rousseau memperkenalkan
teorinya yang disebut Perjanjian Masyarakat (Contract Social) atau Kedaulatan
Rakyat. Teori ini menganggap bahwa dasar terjadinya suatu negara adalah
perjanjian yang diadakan oleh dan antara anggota masyarakat untuk mendirikan
suatu negara. Dalam bukunya yang berjudul “Le contract social” (1972), Rosseau
mengemukakan bahwa negara bersandar atas kemauan rakyat, demikian pula
halnya semua peraturan perundang-undangan adalah penjelmaan kemauan rakyat.
Orang menaati hukum karena orang sudah berjanji menaati hukum.
Penganut dari teori ini diantaranya Thomas Hobbes, Montesquieu, dan John
Locke. Hobbes menambahkan bahwa keadaan alamiah sama sekali bukanlah
keadaan yang aman, adil dan makmur. Namun sebaliknya, keadaan alamiah
merupakan suatu keadaan sosial yang kacau, tanpa hukum yang dibuat manusia
secara sukarela, tanpa pemerintah, dan tanpa ikatan-ikatan sosial antar individu.
Dalam keadaan yang demikian, yang berlaku adalah hukum rimba dimana yang
terkuat adalah yang menang. Manusia seakan-akan merupakan binatang yang
senantiasa berada dalam keadaan bermusuhan, terancam oleh sesamanya dan
menjadi mangsa bagi manusia yang mempunyai fisik yang lebih kuat dari padanya.
Keadaan tersebut dilukiskan dalam peribahasa latin “homo homini lupus” (= manusia
yang satu merupakan binatang buas bagi manusia yang lain).
Dalam kepustakaan ilmu politik, dikenal ada 2 (dua) macam perjanjian
masyarakat, yaitu:
– Perjanjian masyarakat yang sebenarnya (pactum uniois / pacte d’ association
/ social contract proper), adalah perjanjian masyarakat dengan membentuk
badan kolektif bersama yang akan menampung individu-individu yang
selanjutnya bersama-sama mengadakan perjanjian. Dengan perjanjian inilah
maka terbentuklah societas atau masyarakat manusia.
– Perjanjian pemerintahan (pactum subjectionis / pacte de gouverment /
contract of government). Bersamaan atau setelah pembentukan societas
tersebut, diadakan pula perjanjian antara manusia dengan seorang atau
25

sekelompok orang yang dengan syarat-syarat tertentu, yang harus dihormati


dan ditaati oleh kedua belah pihak.
Selanjutnya berdasarkan perjanjian ini, seseorang atau kelompok orang
tersebut diberi mandat untuk menjalankan kekuasaan atas
masyarakat/rakyat. Perjanjian ini melahirkan Pemerintahan atau Negara.
Menurut Thomas Hobbes (1588-1679), dalam pactum subjectionis rakyat
telah menyerahkan seluruh haknya pada raja dan hak yang telah diserahkan
tersebut tidak dapat ditarik kembali. Jadi menurut Hobbes, negara itu seharusnya
berbentuk Kerajaan Mutlak.
Sedangkan menurut John Locke (1632-1704), dalam pactum subjectionis
tidak seluruh hak manusia yang diserahkan kepada penguasa, melainkan ada hak-
hak yang diberikan oleh hukum alam yang tetap melekat pada diri setiap manusia.
Hak tersebut adalah hak asasi manusia yang terdiri dari hak hidup, hak
kemerdekaan, dan hak milik, dimana hak-hak tersebut harus dilindungi oleh raja dan
dijamin dalam Undang-Undang Dasar. Dengan demikian, menurut John Locke,
negara itu seharusnya berbentuk Kerajaan yang berundang-undang dasar.
Beberapa tokoh teori Kedaulatan Negara adalah Jellineck (Jerman), Paul
Laband (Jerman), dan Hans Kelsen (Austria). Teori ini muncul pada abad ke-19 dan
menentang teori Perjanjian Rakyat. Teori Kedaulatan Negara menganggap bahwa:
– Hukum adalah kehendak negara. Hukum bukan kemauan bersama anggota
masyarakat, dan negara mempunyai kekuatan tak terbatas;
– Hukum ditaati orang karena negara menghendakinya.
Teori Kedaulatan Hukum mucul pada abad ke-20 dan menentang teori
Kedaulatan Negara. Tokoh-tokohnya adalah Cruot (Perancis), Duguit (Perancis),
dan Krabbe (Belanda). Teori ini berpendapat bahwa:
– Hukum berasal dari perasaan hukum yang ada pada sebagian besar
anggota masyarakat;
– Hukum mewujudkan perasaan hukum sebagian besar anggota masyarakat;
– Oleh karenanya hukum ditaati oleh anggota masyarakat.
Dalam bukunya yang berjudul “Die Lehre der Rechtssouvereinteit”, Krabbe
menyebutkan bahwa:
– Rasa keadilanlah yang merupakan sumber hukum;
26

– Hukum hanya apa yang memenuhi rasa keadilan dari orang terbanyak;
– Peraturan yang tidak sesuai dengan rasa keadilan orang terbanyak tidak
dapat mengikat. Peraturan seperti itu bukan merupakan hukum, meskipun
masih ditaati orang atau dipaksakan;
– Masyarakat mempunyai perasaan bagaimana hukum itu seharusnya, dan
karena itulah hukum itu ada. Dan hanya kaidah yang timbul dari perasaan
hukum yang mempunyai kewibawaan.
Teori-Teori Hukum abad XIX dan Selanjutnya menganut teori Positivisme dan
Utilitarianisme. Selama abad XIX manusia semakin sadar akan kemampuannya
untuk mengubah keadaan dalam segala bidang. Dalam abad ini pula muncul
gerakan teori positivisme dalam ilmu hukum.
Oleh H.L.A Hart (lahir tahun 1907), seorang pengikut positivisme diajukan
berbagai arti dari positivisme sebagai berikut :
1. Hukum adalah perintah.
2. Analisis terhadap konsep-konsep hukum adalah usaha yang berharga untuk
dilakukan. Analisis yang demikian ini berbeda dari studi sosiologis dan historis
serta berlainan pula dari suatu penilaian kritis.
3. Keputusan-keputusan dapat dideduksikan secara logis dari peraturan-
peraturan yang sudah ada terlebih dahulu, tanpa perlu menunjuk kepada
tujuan-tujuan sosial, kebijakan serta moralitas.
4. Penghukuman (judgement) secara moral tidak dapat ditegakkan dan
dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian.
5. Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantiasa
dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan. Inilah
yang sekarang sering kita terima sebagai pemberian arti terhadap positivisme
ini.
Berbeda dengan John Austin (1790-1859), yang menyatakan bahwa hukum
adalah sejumlah perintah yang keluar dari seorang yang berkuasa didalam negara
secara memaksakan, dan biasanya ditaati. Satu-satunya sumber hukum adalah
kekuasaan tertinggi didalam suatu negara. Sumber-sumber yang lain disebutnya
sebagai sumber yang lebih rendah (subordinate sources).
27

John Austin mengartikan ilmu hukum sebagai teori hukum positif yang otonom
dan dapat mencukupi dirinya sendiri. Menurutnya, tugas dari ilmu hukum hanyalah
untuk menganalisa unsur-unsur yang secara nyata ada dari sistem hukum modern.
Sekalipun diakui ada unsur-unsur yang bersifat histeris didalamnya, namun unsur-
unsur tersebut telah diabaikan dari perhatian. Hukum adalah perintah dari
kekuasaan politik yang berdaulat didalam suatu negara.
Jeremy Bentham (1748-1832) adalah seorang penganut teori utilitarian yang
menggunakan pendekatan tersebut kedalam kawasan hukum. Dalilnya adalah
bahwa manusia itu akan berbuat dengan cara sedemikian rupa sehingga ia
mendapatkan kenikmatan yang sebesar-besarnya dan menekan serendah-
rendahnya penderitaan. Tujuan akhir dari perundang-undangan adalah untuk
melayani kebahagiaan paling besar dari sejumlah terbesar rakyat.
Rudolph von Jhering sering disebut sebagai “social utilitarianism”. Ia
mengembangkan segi-segi positivisme dari John Austin dan menggabungkannya
dengan prinsip-prinsip utilitarianisme dari Jeremy Bentham dan John Stuart Mill.
Rudolph von Jhering memusatkan perhatian filsafat hukumnya kepada konsep
tentang “tujuan”, seperti dikatakannya didalam salah satu bukunya yaitu bahwa
tujuan adalah pencipta dari seluruh hukum, tidak ada suatu peraturan hukum yang
tidak memiliki asal-usulnya pada tujuan ini, yaitu pada motif yang praktis.
Jhering memusatkan perhatian filsafat hukumnya kepada konsep tentang
“tujuan”, yaitu sebagai berikut:
1. Tujuan adalah pencipta dari seluruh hukum, tidak ada suatu peraturan hukum
yang tidak memiliki asal-usulnya pada tujuan ini, yaitu pada motif yang
praktis. Menurutnya hukum dibuat dengan sengaja oleh manusia untuk
mencapai hasil-hasil tertentu yang diinginkan;
2. Diakui bahwa hukum itu mengalami suatu perkembangan sejarah, namun
menolak pendapat para teoritisi aliran sejarah yang menyatakan bahwa
hukum itu tidak lain merupakan hasil dari kekuatan-kekuatan historis murni
yang tidak direncanakan dan tidak disadari;
3. Hukum dibuat dengan penuh kesadaran oleh negara dan ditujukan kepada
tujuan tertentu.
28

Menurutnya hukum dibuat dengan sengaja oleh manusia untuk mencapai


hasil-hasil tertentu yang diinginkan. Ia mengakui bahwa hukum itu mengalami suatu
perkembangan sejarah, tetapi menolak pendapat para teoritisi aliran sejarah, bahwa
hukum itu tidak lain merupakan hasil dari kekuatan-kekuatan historis murni yang
tidak direncanakan dan tidak disadari. Hukum terutama dibuat dengan penuh
kesadaran oleh negara dan ditujukan kepada tujuan tertentu.
John Stuart Mill berpendapat hampir sama dengan Jeremy Bentham, yaitu
bahwa tindakan itu hendaklah ditujukan kepada tercapainya kebahagiaan. Standar
keadilan hendaknya didasarkan kepada kegunaannya. Akan tetapi Ia berpendapat,
bahwa asal usul kesadaran akan keadilan itu tidak ditemukan pada kegunaan,
melainkan pada dua sentimen, yaitu rangsangan untuk mempertahankan diri dan
perasaan simpati. Menurut John Stuart Mill, keadilan bersumber pada naluri
manusia untuk menolak dan membalas kerusakan yang diderita, baik oleh diri
sendiri, maupun oleh siapa saja yang mendapatkan simpati dari kita. Perasaan
keadilan akan memberontak terhadap kerusakan, penderitaan, tidak hanya atas
dasar kepentingan individual, melainkan lebih luas dari itu, sampai kepada orang-
orang lainyang kita samakan dengan diri kita sendiri.
Hakikat keadilan dengan demikian, mencakup semua persyaratan moral yang
sangat hakiki bagi kesejahteraan umat manusia.
Teori Keadilan (John Rawls, 2006:15) menyebutkan salah satu bentuk keadilan
sebagai fairness, yaitu memandang netral kepada semua pihak yang melanggar
hukum. Dapat dipahami bahwa aparat penegak hukum harus bersikap netral kepada
semuanya tanpa memandang atribut sosial yang melekat dalam diri individu baik
jabatan, nama baik ataupun yang lainnya. Di dalam buku “TJ”, John Rawls mencoba
untuk menganalisa kembali permasalahan mendasar dari kajian filsafat politik
dengan merekonsiliasikan antara prinsip kebebasan dan prinsip persamaan. Rawls
mengakui bahwa karyanya tersebut sejalan dengan tradisi kontrak sosial (social
contract) yang pada awalnya diusung oleh pelbagai pemikir kenamaan, seperti John
Locke, Jean Jacques Rousseau, dan Immanuel Kant. Namun demikian, gagasan
sosial kontrak yang dibawa oleh Rawls sedikit berbeda dengan para pendahulunya,
bahkan cenderung untuk merevitalisasi kembali teori-teori kontrak klasik yang
bersifat utilitarianistik dan intuisionistik.
29

Dalam hal ini, kaum utilitaris mengusung konsep keadilan sebagai suatu
keadaan dimana masyarakat dapat memperoleh kebaikan dan kebahagiaan secara
sama-rata. Rawls berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari
hadirnya institusi-institusi sosial (social institutions). Akan tetapi, menurutnya,
kebaikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau menggangu
rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan, khususnya
masyarakat lemah. Oleh karena itu, sebagian kalangan menilai cara pandang Rawls
sebagai perspektif “liberal-egalitarian of social justice”.
Rawls menjelaskan bahwa para pihak di dalam posisi asal masing-masing
akan mengadopsi dua prinsip keadilan utama. Pertama, setiap orang memiliki hak
yang sama atas kebebasan-kebebasan dasar yang paling luas dan kompatibel
dengan kebebasan-kebebasan sejenis bagi orang lain. Kedua, ketidaksamaan sosial
dan ekonomi diatur sedemikian rupa, sehingga: (a) diperoleh manfaat sebesar-
besarnya bagi anggota masyarakat yang paling tidak diuntungkan, dan (b) jabatan-
jabatan dan posisi-posisi harus dibuka bagi semua orang dalam keadaan dimana
adanya persamaan kesempatan yang adil.
Hans Kelsen (1881-1973), dengan Teori Hukum Murni, adalah pelopor aliran
ini. Bukunya yang terkenal adalah Reine Rechslehre (ajaran hukum murni).Teori
hukum murni ini lazim dikaitkan dengan Mazhab Wina. Mazhab Wina
mengetengahkan dalam teori hukum pencarian pengetahuan yang murni, dalam arti
yang paling tidak mengenal kompromi, yaitu pengetahuan yang bebas dari naluri,
kekerasan, keinginan-keinginan dan sebagainya. Teori hukum murni juga tidak boleh
dicemari oleh ilmu-ilmu politik, sosiologi, sejarah dan pembicaraan tentang etika.
Dasar-dasar pokok teori Hans Kelsen adalah sebagai berikut :8
1. Tujuan teori tentang hukum, seperti juga setiap ilmu, adalah untuk
mengurangi kekalutan dan meningkatkan kesatuan (unity)
2. Teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak, keinginan. Ia adalah
pengetahuan tentang hukum yang ada, bukan tentang hukum yang
seharusnya ada
3. Ilmu hukum adalah normatif, bukan ilmu alam

8
. Hans Kelsen,, Pengantar Teori Hukum Murni, Nusa Media, Bandung, 2010, hlm. 38
30

4. Sebagai suatu teori tentang norma-norma, teori hukum tidak berurusan


dengan persoalan efektifitas norma-norma hukum
5. Suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara
pengaturan dari isi yang berubah-ubah menurut jalan atau pola yang
spesifik
6. Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif tertentu
adalah seperti antara hukum yang mungkin dan hukum yang ada.
Salah satu ciri yang menonjol pada teori hukum murni adalah adanya suatu
paksaan. Setiap hukum harus mempunyai alat atau perlengkapan untuk memaksa.
Negara dan hukum dinyatakan identik, sebab negara hanya suatu sistem perilaku
manusia dan pengaturan terhadap tatanan sosial. Kekuasaan memaksa ini tidak
berbeda dengan tata hukum, dengan alasan bahwa didalam suatu masyarakat
hanya satu dan bukan dua kekuasaan yang memaksa pada saat yang sama.
Bagian lain dari teori Hans Kelsen yang bersifat dasar adalah konsepsinya
mengenai Grundnorm, yaitu suatu dalil yang akbar yang tidak dapat ditiadakan yang
menjadi tujuan dari semua jalan hukum bagaimanapun berputar-putarnya jalan itu.
Grundnorm merupakan induk untuk melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam
suatu tatanan sistem tertentu.

Kebenaran Teoritik dan Kebenaran Hukum


Kebenaran teoritik dan kebenaran hukum berkaitan dengan banyaknya teori-
teori hukum dengan berbagai alirannya. Makna dari kebenaran teori dengan
kebenaran hokum tidaklah sama. Kebenaran teori merupakan dari hasil ujian dalam
sintesa-sintesa yang sudah dibuat dalam teori tersebut. Pengertian teori dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah (1) pendapat yang dikemukakan sebagai
keterangan mengenai suatu peristiwa; asas dan hukum umum yang menjadi dasar
suatu kesenian atau ilmu pengetahuan; (3) pendapat, cara, dan aturan untuk
melakukan sesuatu. Sedangkan teoretik atau teoretis yang sering kita sebut dengan
teoritik/teoritis, adalah berdasarkan pada teori, mengenai atau menurut teori. Arti
dari kebenaran menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah keadaan yang
sesungguhnya. Kebenaran teoritik adalah kebenaran yang sesuangguhnya atau
sesuatu yang dianggap benar yang dilihat dari sudut pandang pendapat para ahli,
31

sedangkan kebenaran hukum adalah sesuatu yag dianggap benar oleh para teoritisi
tentang hukum berdasarkan aliran-aliran ilmu hukum yang mereka anut tentang
hukum itu sendiri.
Menurut pandangan aliran positivisme hokum, konsep hukum yang hendak
diketengahkan adalah hukum sebagai perintah manusia yang dibuat oleh badan
yang berwenang. Ada dua bentuk positivisme hukum, yakni Pertama positivisme
yuridis, yang berarti hukum dipandang sebagai suatu gejala tersendiri yang perlu
diolah secara ilmiah. Tujuannya adalah pembentukan struktur rasional sistem
yurudis yang berlaku. Dalam positivisme yuridis, berlaku closed logical system, yang
berarti bahwa peraturan direduksikan daru undang-undang yang berlaku tanpa perlu
meminta bimbingan dari norma sosial, politik dan moral, dengan tokoh von Jhering
dan Austin. Kedua, positivisme sosiologis, hukum ditanggapi terbuka bagi
kehidupan masyarakat, yang harus diselidiki melalui metode-metode alamiah
Namun pandangan ini ditentang oleh aliran-aliran hukum lain diantaranya
realisme hukum. Aliran ini berpendapat bahwa hukum itu dibentuk tidak dari
penguasa, melainkan berasal hukum yang hidup dan tumbuh bersama masyarakat.
Hukum tidak dapat dipisahkan dari anasir-anasir sosiologis, dan lebih mementingkan
keadilan dalam masyarakat.

Urgensi Teori Hukum


Teori hukum merupakan ilmu disiplin tersendiri diantara dogmatik hukum dan
filsafat hukum, yang mempunyai perspektif interdisipliner dan eksternal secara kritis
menganalisis berbagai aspek gejala hukum, baik tersendiri maupun dalam kaitan
keseluruhan, baik dalam konsepsi teoritisnya maupun dalam kaitan keseluruhan,
baik dalam konsepsi teoretisnya maupun dalam penerapan praktisnya, dengan
tujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan memberikan penjelasan
sejernih mungkin tentang hukum dalam kenyataan kemasyarakatan.
Yang menjadi urgensi teori hukum adalah teori hukum memiliki kegunaan
diantaranya, (1) menjelaskan hukum dengan cara menafsirkan sesuatu
arti/pengertian, sesuatu syarat atau unsur sahnya suatu peristiwa hukum, dan
hirarkhi kekuatan peraturan hukum, (2) menilai suatu peristiwa hukum, dan (3)
memprediksi tentang sesuatu yang akan terjadi. Menurut Radbruch, teori hukum
32

memiliki tugas: membikin jelas nilai-nilai serta postulat-postulat hukum sampai


kepada landasan filosifisnya yang tertinggi. Sedangkan Kelsen menyatakan bahwa
teori hukum berfungsi untuk mengurangi kekacauan dan kemajemukan menjadi
kesatuan. Teori hukum merupakan ilmu pengetahuan mengenai hukum yang
berlaku, bukan mengenai hukum yang seharusnya.
Kegunaan yang lain, teori hukum menurut Mochtar Kusumaatmadja, teori
hukum pembangunan, adalah mengundang banyak atensi, yang apabila dijabarkan
aspek tersebut secara global adalah sebagai berikut: 9
Pertama, Teori Hukum Pembangunan sampai saat ini adalah teori hukum
yang diciptakan oleh orang Indonesia dengan melihat dimensi dan kultur masyarakat
Indonesia. Oleh karena itu, dengan tolok ukur dimensi teori hukum pembangunan
tersebut lahir, tumbuh dan berkembang sesuai dengan kondisi Indonesia.
Hakikatnya jikalau diterapkan dalam aplikasinya akan sesuai dengan kondisi dan
situasi masyarakat Indonesia yang pluralistik.
Kedua, secara dimensional maka Teori Hukum Pembangunan memakai
kerangka acuan pada pandangan hidup (way of live) masyarakat serta bangsa
Indonesia berdasarkan asas Pancasila yang bersifat kekeluargaan maka terhadap
norma, asas, lembaga dan kaidah yang terdapat dalam Teori Hukum Pembangunan
tersebut relatif sudah merupakan dimensi yang meliputi structure (struktur), culture
(kultur) dan substance (substansi) Ketiga, pada dasarnya Teori Hukum
Pembangunan memberikan dasar fungsi hukum sebagai “sarana pembaharuan
masyarakat” (law as a tool social engeneering) dan hukum sebagai suatu sistem
sangat diperlukan bagi bangsa Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang .

Sumber-Sumber Teori Hukum


Berkaitan dengan sumber-sumber teori hukum, teori hukum ini bersumber
pada pedapat para sarjana hukum tentang hukum, dan bagaimana mereka
memaknai hukum tergantung kepada aliran yang mereka anut untuk menjelaskan
apa itu hukum. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Radbruch, bahwa teori hukum

9
. Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja,S.H.,LL.M., Penerbit PT.Alumni, Bandung, 2002, hlm. 5.
33

membikin jelas nilai-nilai serta postulat-postulat hukum sampai kepada landasan


filosofisnya yang tertinggi Contohnya, Hans Kelsen mengajarkan teori hukum murni,
yang mengatakan bahwa teori hukum murni adalah teori hukum umum yang
berusaha menjawab bagaimana hukum itu dibuat, dan bukan menjawab pertanyaan
bagaimana seharusnya hukum itu dibuat. Ia mengatakan murni karena teori tersebut
mengarahkan kognisi (pengetahuan) pada hukum itu sendiri, karena teori tersebut
menghilangkan semua yang tidak menjadi objek kognisi yang sebenarnya ditetapkan
sebagai hukum tersebut, yakni dengan membebaskan ilmu hukum dari semua
elemen asing.
Karl Marx yang hidup pada masa revolusi industri, mengatakan bahwa hukum
itu alat legitimasi dari kelas ekonomi tertentu. Hukum itu hanya melayani
kepentingan ‘orang yang berpunya’, yang dimaksud disini adalah pemilik modal.
Teori Karl Max yang terkenal adalah hukum ada dalam bingkai infra-struktur, supra-
struktur. Infra-stuktur adalah fakta hubungan-hubungan ekonomi masyarakat.
Sedangkan supra-struktur adalah kelembagaan-kelembagaan sosial non ekonomi,
seperti hukum, agama, sistem politik, corak budaya dan sebagainya.

C. NORMA HUKUM
Pengertian norma hukum adalah undang-undang, peraturan, ketentuan, dan
sebagainya yang dibuat oleh negara. Norma hukum biasanya bersifat tertulis yang
dapat dijadikan pegangan dan rujukan konkret bagi setiap anggota masyarakat baik
dalam berprilaku maupun dalam menjatuhkan sanksi bagi pelanggarnya. Norma
hukum dibuat oleh badan yang berwenang untuk mengatur hubungan antarwarga
suatu masyarakat, antarwarga Negara, dan antara warga Negara dengan
pemerintahnya. Norma hukum bersifat mengatur dan memaksa, jika dilanggar,
sanksinya adalah berupa hukuman. Itu sebabnya keberlakuan norma sifatnya tegas
dan pasti, karena ditunjang dan dijamin oleh hukuman atau sanksi bagi
pelanggarnya.
Norma hukum ada berbagai macam jenisnya. Ada banyak macam hukum yang
kita kenal dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hukum ini antara lain
adalah hukum acara, hukum pidana, hukum perdata, hukum agama, hukum
internasional, dan lain sebagainya. Dari berbagai macam hukum tersebut, hukum
34

pidana dan perdata adalah yang paling banyak kita temui dalam kehidupan sehari-
hari. Di bawah ini adalah beberapa jenis hukum yang penting untuk diketahui.
 Hukum Acara: Hukum Acara adalah hukum yang mengatur tentang
penuntutan, pemeriksaan, dan pemutusan suatu perkara. Hukum acara
terbagi dua, yaitu hukum acara pidana dan hukum acara perdata.
 Hukum Pidana: Hukum pidana adalah hukum mengenai kejahatan,
pelanggaran, atau tindakan kriminal beserta sanksi-sanksinya. Contohnya
KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang mengatur tentang hukum
pidana.
 Hukum Perdata: Hukum perdata adalah hukum yang mengatur tentang hak
harta benda dan hubungan antarindividu dalam masyarakat. Hukum ini biasa
disebut hukum privat atau hukum public. Hukum perdata diatur dalam KUH
Perdata.
Norma hukum disusun oleh badan yang berhak untuk mengatur hubungan
sesama warga, antarwarga Negara, dan antara warga Negara dengan
pemerintahnya. Selain itupun norma hukum mempunyai ciri-ciri yang sering
ditemukan dalam kehiidupan bernegara dan berkemasyarakat :
1. Bersumber dari lembaga resmi pemerintah,
2. Bersifat memaksa dan tegas melarang,
3. Terdapat sanksi hukum yang berupa denda, hukuman fisik atau pidana
Contoh :
- Kepala keluarga wajib memiliki kartu keluarga
- Setiap warga wajib memilik Kartu Tanda Penduduk jika sudah berumur 17
tahun
- Menjaga keamanan di lingkungan seperti ikut melaksanakan sisikamling
- Setiap anak wajib mengikuti pendidikan atau sekolah
- Orang yang melakukan kesalahan harus dihukum seperti korupsi
- Orang yang menggunakan jalan raya harus menaati aturan lalu lintas, contoh
memakai helm, menyalakan lampu dan berhenti pada saat lampu merah.
Pada umumnya norma hanya berlaku dalam suatu lingkungan masyarakat
tertentu atau dalam suatu lingkungan etnis tertentu atau dalam suatu wilayah negara
tertentu. Namun demikian ada pula norma yang bersifat universal, yang berlaku di
35

semua wilayah dan semua umat manusia, seperti misalnya larangan mencuri,
membunuh, menganiaya, memperkosa, dan lain-lain.
Di dalam masyarakat terdapat bermacam-macam atau jenis-jenis norma. Jenis-
jenis norma antara lain:
1. Norma susila, yaitu peraturan hidup yang berasal dari hati nurani manusia.
Norma susila menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Norma
susila yang mendorong manusia untuk kebaikan akhlak pribadinya. Norma
susila melarang manusia untuk berbuat tidak baik, karena bertentangan
dengan hati nurani setiap manusia yang normal. Contoh-contoh norma
susila antara lain:
a. Jangan mencuri barang milik orang lain.
b. Jangan membunuh sesama manusia.
c. Hormatilah sesamamu.
d. Bersikaplah jujur.
Norma susila memiliki sanksi atau ancaman hukuman bagi yang melanggar
norma tersebut dan sanksinya adalah perasaan manusia itu sendiri, yang
akibatnya adalah penyesalan.

2. Norma kesopanan, yaitu ketentuan hidup yang berasal dari pergaulan dalam
masyarakat. Dasar dari norma kesopanan adalah kepantasan, kebiasaan dan
kepatutan yang berlaku dalam masyarakat. Norma kesopanan sering
dinamakan norma sopan santun, tata krama atau adat istiadat. Norma sopan
santun yang aktual dan khas berbeda antara masyarakat yang satu dengan
masyarakat yang lain. Contoh-contoh norma kesopanan, antara lain:
a. Yang muda harus menghormati yang lebih tua usianya.
b. Berangkat ke sekolah harus berpamitan dengan orang tua terlebih
dahulu.
c. Memakai pakaian yang pantas dan rapi dalam mengikuti pelajaran di
sekolah.
d. Janganlah meludah di dalam kelas.
Bagi mereka yang melanggar norma kesopanan, sanksi yang dijatuhkan akan
menimbulkan celaan dari sesamanya, dan celaan itu dapat berwujud kata-
36

kata, sikap kebencian, pandangan rendah dari orang sekelilingnya, dijauhi dari
pergaulan, sehingga akan menimbulkan rasa malu, rasa hina, rasa dikucilkan
yang dirasakan sebagai penderitaan batin.

3. Norma agama, yaitu ketentuan hidup yang berasal dari Tuhan Yang Maha
Esa, yang isinya berupa larangan, perintah-perintah, dan ajaran. Norma
agama berasal dari wahyu Tuhan dan mempunyai nilai yang fundamental
yang mewarnai berbagai norma yang lain, seperti norma susila, norma
kesopanan, dan norma hukum.
Contoh-contoh norma agama, antara lain:
a. Tiak boleh membunuh sesama manusia.
b. Tidak boleh merampok harta orang lain.
c. Tidak boleh berbuat cabul.
d. Hormatilah bapak ibumu.
Terhadap pelanggar norma agama akan dikenakan sanksi oleh Tuhan kelak
di akhirat nanti, yang dapat berupa dimasukkan dalam neraka.

4. Norma hukum, yaitu ketentuan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang
yang mempunyai sifat memaksa untuk melindungi kepentingan manusia
dalam pergaulan hidup di masyarakat dan mengatur tata tertib kehidupan
bermasyarakat.
Contoh beberapa norma hukum, antara lain:
a. Pasal 362 KUHP yang menyatakan bahwa barang siapa mengambil
sesuatu barang yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan
maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian
dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak
enam puluh rupiah.
b. Pasal 1234 BW menyatakan bahwa tiap-tiap perikatan adalah untuk
memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat
sesuatu.
c. Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 (Undang-
Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang) menyatakan bahwa
37

setiap orang yang melaporkan terjadinya dugaan tindak pidana pencucian


uang, wajib diberi perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinan
ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan atau hartanya, termasuk
keluarganya.
d. Pasal 51 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 (Undang-Undang
tentang Pemerintahan Daerah) menyatakan bahwa Kepala Daerah
diberhentikan oleh Presiden tanpa melalui Keputusan DPRD apabila
terbukti melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan
hukuman lima tahun atau lebih atau diancam dengan hukuman mati
sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Bagi pelanggar norma hukum dapat dikenakan sanksi berupa pidana penjara
ataupun denda maupun pembatalan atau pernyataan tidak sahnya suatu kegiatan
atau perbuatan, dan sanksi tersebut dapat dipaksakan oleh penguasa atau lembaga
yang berwenang.

D. ILMU PERUNDANG-UNDANGAN DAN TATA URUTAN PERATURAN


PERUNDANG-UNDANGAN DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA

1. Ilmu Perundang-undangan
Ilmu Perundang-Undangan adalah ilmu yang berkembang di negara-negara
yang menganut sistem hukum civil law, terutama di Jerman sebagai negara yang
pertama kali mengembangkan. Secara konsepsional Ilmu Perundang-Undangan
menurut Burkhardt Krems adalah ilmu pengetahuan yang interdisipliner tentang
pembentukan hukum negara (die interdisziplinare wissenschaft vonder staatlichen
rechtssetzung). Lebih lanjut Burkhardt Krems membagi Ilmu Perundang-Undangan
dalam tiga wilayah:10
1. proses perundang-undangan.

. Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998, “Ilmu Perundang-Undangan Dasar-dasar Dan


10

Pembentukannya”, Kanisius, Yogyakarta, hal. 3.


38

2. metode perundang-undangan.
3. teknik perundang-undangan.
Burkhardt Krems mengatakan perundang-undangan mempunyai dua pengertian:11
1. teori perundang-undangan yang berorientasi pada mencari kejelasan dan
kejernihan makna atau pengertian-pengertian dan bersifat kognitif.
2. Ilmu perundang-undangan yang berorientasi melakukan perbuatan dalam hal
pembentukan peraturan perundang-undangan dan bersifat normatif.
Dalam hal ini Ilmu perundang-undangan memberikan pengertian sebagai berikut:12
a. norma hukum dan tata urutan atau hirarki.
b. lembaga-lembaga negara yang berwenang membuat peraturan perundang-
undangan.
c. lembaga-lembaga pemerintah yang mempunyai wewenang di bidang peraturan
perundang-undangan.
d. tata susunan norma-norma hukum negara.
e. jenis-Jenis perundang-undangan beserta dasar hukumnya.
f. asas-asas dan syarat-syarat serta landasan-landasannya.
g. pengundangan dan pengumumannya.
h. teknik perundang-undangan dan proses pembentukannya.
Menurut Hans Nawiasky memperinci urutan norma hukum yang terdiri dari: 13
1. Grundnorm.
2. Aturan-aturan dasar negara.
3. Aturan formal, undang-undang.
4. Peraturan di bawah undang-undang.

Menurut Bagir Manan, suatu Peraturan Perundang-undangan yang baik


setidaknya didasari pada 3 (tiga) hal, yakni:14

11
. Ibid
12
Ibid
13
. Ibid

14
. Bagir Manan, 1992. Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind-Hill.Co, Jakarta. Hal.
39.
39

1. Dasar Yuridis (juridishe gelding), yakni pertama, keharusan adanya


kewenangan dari pembuat Peraturan Perundang-undangan. Setiap Peraturan
Perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang.
Kalau tidak, Peraturan Perundang-undangan itu batal demi hukum (van
rechtswegenietig). Dianggap tidak pernah ada dan segala akibatnya batal
secara hukum. Misalnya, undang-undang dalam arti formal (wet in formelezin)
dibuat oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Setiap undang-undang yang
tidak merupakan produk besama antara Presiden dan DPR adalah batal demi
hukum. Begitu pula Keputusan Menteri, Peraturan Daserhdan sebagainya
harus pula menunjukkan kewenangan pembuatnya. Kedua, keharusan
adanya kesesuaian bentuk atau jenis Peraturan Perundang-undangan
dengan materi yang diatur, terutama kalau diperintahkan oleh Peraturan
Perundang-undangan tingkat lebih tinggi atau sederajat. Ketidak sesuaian
bentuk ini dapat menjadi alasan untuk membatalkan Peraturan Perundang-
undangan tersebut. Misalnya kalau UUD 1945 atau undang-undang terdahulu
menyatakan bahwa sesuatu diatur dengan undang-undang, maka hanya
dalam bentuk undang-undan ha itu diatur. Kalau diatur dalam bentuk lain
misalnya Keputusan Presiden, maka Keputusan Presiden tersebut dapat
dibatalkan (vernietigbaar). Ketiga, keharusan mengikuti tata cara tertentu.
Apabila tata cara tersebut tidak diikuti, Peraturan Perundang-undangan
mungkin batal demi hukum atau tidak/belum mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Peraturan Daerah dibuat oleh Kepala Daerah dengan persetujuan
DPRD. Kalau ada Peraturan Daerah tanpa (mencantumkan) persetujuan
DPRD maka batal demi hukum. Dalam undang-undang tentang
pengundangan (pengumuman) bahwa setiap undang-undang harus
diundangkan dalam Lembaran Negara sebagai satu-satunya cara untuk
mempunyai kekuatan mengikat. Selama pengundangan belum dilakukan,
maka undang-undang tersebut belum mengikat. Keempat, keharusan tidak
bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi
tingkatannya. Suatu undang-undang tidak boleh mengandung kaidah yang
bertentangan dengan UUD. Demikian pula seterusnya sampai pada peraturan
perndang-undangan tingkat lebih bawah.
40

2. Dasar Sosiologis (sociologische gelding), yakni mencerminkan kenyataan


yang hidup dalam masyarakat. Dalam satu masyarakat industri, hukumnya
(baca: Peraturan Perundang-undangannya) harus sesuai dengan kenyataan-
kenyataan yang ada dalam masyarakat industri tersebut. Kenyataan itu dapat
berupa kebutuhan atau tuntutan atau masalah-masalah yang dihadapi seperti
masalah perburuhan, hubungan majikan-buruh, dan lain sebagainya.
3. Dasar Filosofis, bahwa setiap masyarakat selalu mempunyai cita hukum
(rechtsidee) yaitu apa yang mereka harapkan dari hukum (baca: Peraturan
Perundang-undangan), misalnya untuk menjamin keadilan, ketertiban,
kesejahteraan dan sebagainya. Rechtidee tersebut tumbuh dari sistem nilai
mereka mengenai baik dan buruk, pandangan mereka mengenai hubungan
individual dan kemasyarakatan, tentang kebendaan, tentang kedudukan
wanita, tentang dunia gaib dan lain sebagainya Semuanya ini bersifat
filosofis, artinya menyangkut pandangan mengenai inti atau hakekat sesuatu.
Hukum diharapkan mencerminkan sistem nilai tersebut baik sebagai sarana
yan melindungi nilai-nilai maupun sebagai sarana mewujudkannya dalam
tingkah laku masyarakat. Nilai-nilai ini ada yang dibiarkan dalam masyarakat,
sehingga setiap pembentukan hukum atau Peraturan Perundang-undangan
harus dapat menangkapnya setiap kali akan membentuk hukum atau
Peraturan Perundang-undangan. Tetapi ada kalanya sistem nilai tersebut
telah terangkum secara sistematik dalam satu rangkuman baik berupa teori-
teori filsafat maupun dalam doktrin-doktrin filsafat resmi seperti Pancasila.
Dengan demikian, setiap pembentukan hukum atau Peraturan Perundang-
undangan sudah semestinya memperhatikan sungguh-sungguh rechtsidee
yang terkandung dalam Pancasila.

2. Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan dalam Sistem Hukum di


Indonesia
Teori hierarki norma hukum dikemukakan oleh Hans Kelsen. Kelsen
berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis
dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku,
bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya
41

norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif, yaitu
norma dasar (Grundnorm). Norma dasar yang merupakan norma tertinggi dalam
sistem norma tersebut, tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi
tetapi norma itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai norma dasar
yang merupakan gantungan bagi norma yang berada dibawahnya.15
Masih menurut Kelsen, hukum merupakan norma yang dinamik, dimana
hukum merupakan sesuatu yang dibuat suatu prosedur tertentu dan segala sesuatu
yang dibuat melalui cara ini adalah hukum. Lebih jauh Kelsen menjelaskan tentang
karakter khas dan dinamis dari hukum, yakni :
“Hukum mengatur pembentukannya sendiri karena suatu norma hukum menentukan
cara untuk membuat suatu norma hukum lainnya, dan juga sampai derajat tertentu
menentukan isi norma lainnnya tersebut....hubungan antara norma yang mengatur
pembentukan norma dari norma lainnya digambarkan sebagai hubungan
“superordinasi” ....kesatuan norma-norma ini ditunjukkan oleh fakta bahwa
pembentukan norma yang lebih rendah ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi,
dan bahwa regressus ini diakhiri oleh suatu norma dasar, oleh karena menjadi dasar
tertinggi validitas keseluruhan tata hukum, membentuk kesatuan tata hukum"16
Salah seorang murid Kelsen bernama Hans Nawiasky mengembangkan teori
yang dikedepankan Kelsen. Nawiasky dalam bukunya berjudul Algemeine
Rechtlehre mengemukakan bahwa sesuai dengan teori Hans Kelsen suatu norma
hukum dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, dimana
norma yang dibawah berlaku, berdasar dan bersumber pada norma yang lebih
tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, berdasar dan bersumber pada norma yang
lebih tinggi lagi, sampai pada norma yang lebih tertinggi yang disebut norma dasar.
Tetapi Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan
berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok.

15
. Jimly Assiddiqie & M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum (Jakarta: Konstitusi Press, 2006),
hlm. 109; Maria Farida Indrati Soeprapto, Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan Dasar-
dasar dan Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 1998 hlm. 25

16
. Hans Kelsen, 1995, Teori Hukum Murni : Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif-Deskriftif, Rimdi Press,
Jakarta, hlm. 110-125
42

Nawiasky mengelompokkan norma-norma hukum dalam suatu negara itu menjadi 4


(empat) kelompok besar yang terdiri dari 17:
 Kelompok I : Staatfundamentalnorm (norma fundamental negara)
 Kelompok II : Staatgrundgesetz (aturan dasar/pokok negara)
 Kelompok III : Formell Gesetz (Undang-undang formal)
 Kelompok IV : Verordnung & Autonome Satzung (aturan pelaksana & aturan
ortonom)
Peraturan perundang-undangan, dalam konteks negara Indonesia, adalah
peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang
mengikat secara umum. Sebelum menuju pada poin utama Tata Urutan Perundang-
undangan Indonesia menurut UU No. 12 Tahun 2011, tak ada salahnya kita juga
mengetahui perubahan-perubahan yang telah terjadi sebelumnya.
Jika kita teliti secara seksama Indonesia sebetulnya menganut teori jenjang
norma hukum Kelsen-Nawiasky. Hal ini dapat dirujuk dari Undang Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan peraturan
yang sebelumnya, yakni Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan serta Ketetapan MPR No.
III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-undangan.
Menurut Pasal 2 UU No. 12 Tahun 2011 Pancasila merupakan sumber dari
segala sumber hukum negara. Hal ini tak pelak identik dengan norma fundamental
negara (staatfundamentalnorm) atau norma dasar (grundnorm, basic norm) yang
menempati urutan tertinggi di puncak piramida norma hukum, kemudian diikuti oleh
UUD 1945, serta hukum dasar tidak tertulis atau konvensi ketatanegaran sebagai
aturan dasar negara (staatgrundgesetz), dilanjutkan dengan Undang-Undang/Perpu
(formell gesetz), serta peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung
und autonome satzung) yang dimulai dari Peraturan Pemerintah, Peraturan, dan
Peraturan Daerah.
Ada juga ahli yang tidak sepakat menempatkan UUD 1945 yang terdiri dari
pembukaan dan batang tubuhnya dan TAP MPR yang berisi garis-garis pokok
kebijakan negara sifat dan norma hukumnya masih secara garis besar dan

17
. Marsillam Simanjuntak, 1997, Pandangan Negara Integralistik, Garfiti, Jakarta, hal. 30-32
43

merupakan norma hukum tunggal tidak termasuk dalam peraturan perundang-


undangan, tetapi termasuk dalam staatfundamental norm dan staatgrundgesetz
sehingga menempatkan keduanya kedalam jenis peraturan perundang-undangan
sama dengan menempatkannya terlalu rendah.18
Penempatan hirarki peraturan dalam peraturan perundang-undangan
sebagaimana dianut di Indonesia sejak Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966
hingga Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 terbilang cukup unik, karena tidak
ada suatu sistem hukum positif di dunia ini yang secara khusus mengatur tata urutan
peraturan perundang-undangan. Kalaupun ada pengaturan hanya sebatas pada
asas yang menyebutkan misalnya: Peraturan daerah tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya” atau dalam
UUD ada ungkapan “the supreme law of the land”. Mengapa tidak diatur? Antara lain
karena tata urutan mempunyai konsekuensi. Bahkan setiap peraturan perundang-
undangan harus memiliki dasar hukum pada peraturan yang lebih tinggi
tingkatannya. Peraturan perundang-undangan tingkatan lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Apabila
ternyata peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya, peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah dapat dituntut untuk dibatalkan, bahkan
batal demi hukum. Konsekuensi ini telah dianggap ada walaupun tidak diatur,
kecuali ada ketentuan sebaliknya, misalnya dalam UUD (UUDS 1950 dan KRIS)
disebutkan “undang-undang tidak dapat diganggu gugat” bertalian dengan ajaran
“supremasi parlemen”. Disini UUD lebih dipandang sebagai “asas-asas umum”
daripada sebagai kaidah hukum.
Faktor lain yang menyebabkan tidak ada kelaziman mengatur tata urutan
peraturan perundang-undangan, karena sistem hukum positif tidak hanya berupa
peraturan perundang-undangan, melainkan meliputi juga hukum tidak tertulis
(yurisprudensi, hukum adat, hukum kebiasaan). Kaidah-kaidah hukum tidak tertulis
ini dapat juga digunakan untuk menguji peraturan perundang-undangan atau

18
. Bagir Manan, 2004. Teori dan Politik Konstitusi, (Yogyakarta: FH-UII Press), hal. 201-202
44

sebaliknya, walaupun tidak bertalian dengan tata urutan peraturan perundang-


undangan. Di Inggris, peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang
(delegated legislation) dapat diuji dengan common law dan prinsip-prinsip umum
seperti “bias, ultra vires” dan lain-lain. Di Belanda peraturan atau keputusan
administrasi dapat diuji terhadap asas-asas umum penyelenggaraan administrasi
negara yang baik.
Didalam Undang Undang Nomor 10 tahun 2004 Ketetapan MPRS/MPR
dihapuskan dari hirarki peraturan perundang-undangan dan mengembalikan
kedudukan Perpu setingkat dengan Undang-undang. Penghapusan Ketetapan MPR
dari tata urutan dari peraturan perundang-undangan dinilai tepat karena setelah
UUD 1945 mengalami perubahan makin berkembang pengertian bahwa format
peraturan dasar ini terutama menyangkut kedudukan ketetapan MPR yang sejak
lama mendapat kritik dari ahli hukum tata negara, mengalami perubahan.
Kedudukan Ketetapan MPR sebagai salah satu bentuk peraturan tidak dapat
dipertahankan, format peraturan dasar yang dapat dipertahankan secara akademis
hanya Naskah UUD dan Naskah Perubahan UUD, yang keduanya sama-sama
merupakan produk MPR.
Disamping itu, Undang Undang Nomor 10 tahun 2004 dapat membawa
perubahan positif di masa depan karena telah mengganti nomenklatur keputusan
presiden dengan peraturan presiden, karena selama ini presiden menerbitkan
produk hukum yang berisi peraturan (regeling) dengan yang bersubstansi keputusan
(Beschikking) sama-sama dinamakan keputusan presiden sehingga mempersulit
orang awam untuk membedakan mana yang termasuk peraturan (regeling) dengan
mana yang termasuk keputusan (Beschikking).
Namun demikian, Konstruksi hukum tata urutan peraturan perundang-
undangan sebagaimana diatur dalam UU No. 10 tahun 2004 tetap saja mengandung
beberapa kelemahan. Jimly Asshiddiqie Pakar Hukum Tata Negara UI misalnya
menyebutkan ada beberapa kelemahan, diantaranya: (1) karena naskah UUD 1945
sekarang dibuat terpisah maka seharusnya penyebutan UUD 1945 tersebut
dilengkapi dengan “….dan Perubahan UUD”; (2) hanya kerena pertimbangan bahwa
Tata urutan peraturan cukup ke tingkat peraturan yang ditetapkan oleh Presiden,
maka bentuk peraturan menteri tidak disebut dalam tata urutan tersebut, padahal
45

Peraturan Menteri penting ditempatkan di atas Peraturan Daerah, karena peraturan


tingkat menteri itu dalam praktek banyak sekali ditetapkan dalam penyelenggaraan
pemerintahan sehari-hari dan memerlukan penertiban sebagaimana mestinya.19
Jauh sebelum berlangsung pembahasan dan pengesahan UU No. 10 tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Jimly Asshiddiqie
merekomendasikan agar pengaturan mengenai tata urutan peraturan perundang-
undangan dalam Ketetapan MPR sebaiknya ditiadakan, sebaiknya ketentuan
mengenai bentuk peraturan dan mengenai hirarkinya diatur dalam UUD bukan
hanya dalam bentuk undang-undang.
Pada tanggal 12 Agustus 2011, pemerintah mengundangkan UU yang
sebelumnya telah dibahas dan disetujui bersama dengan DPR yakni Undang
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan menggantikan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.

Piramida Tata Urutan Perundang-undangan Indonesia

19
. Jimly Asshiddiqie. 2000. “Tata Urut Perundang-Undangan dan Problematika Peraturan Daerah”
Makalah yang disampaikan dalam rangka Lokakarya Anggota DPRD Se-Indonesia, di selenggarakan di Jakarta
oleh LP3HET, Jum’at 22 Oktober 2000.
46

Menelisik substansi Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011, maka ada


beberapa perubahan, antara lain :
pertama, Ketetapan MPR yang didalam UU No. 10 Tahun 2004 dihapuskan
dari hirarki peraturan perundang-undangan, dalam UU No. 12 Tahun 2011
dimunculkan kembali dan berada di bawah UUD 1945 seperti yang pernah diatur
dalam Ketetapan MPR No. III/MPR/2000. Di dalam Penjelasan Pasal 7 Ayat (2)
huruf b dijelaskan yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis Permusaywaratan
Rakyat” adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan
Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun
2001 tanggal 7 Agustus 2003.
Kedua, Peraturan Desa yang dahulu masuk dalam hirarki peraturan
perundang-undangan, sekarang di UU No. 12 Tahun 2011 dihapuskan dari hirarki
peraturan perundang-undangan. Tetapi keberadaannya tetap diakui dan masih
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan
berdasarkan Pasal 8 ayat (1 dan 2) Undang-Undang No 12 Tahun 2011
Ketiga, materi muatan undang-undang lebih diperluas, selain berisi
pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 dan perintah suatu Undang-Undang untuk diatur
dengan Undang-Undang, juga sudah diakomodir mengenai pengesahan perjanjian
internasional tertentu, tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Keempat, dalam pembentukan
peraturan daerah harus dilakukan pengkajian dan penyelarasan yang dituangkan
dalam Naskah Akademik.
Di dalam Penjelasan Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 juga ditegaskan
bahwa yang termasuk dalam Peraturan Daerah Provinsi adalah Qanun yang berlaku
di Provinsi Aceh dan Peraturan daerah Khusus (Perdasus) serta Peraturan Daerah
Provinsi (Perdasi) yang berlaku di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
47

Termasuk dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Qanun yang berlaku di


Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh.
Jenis peraturan perundang-undanga selain yang telah disebutkan dalam
Pasal 7 Ayat (1) di atas, diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan, yakni: peraturan yang ditetapkan
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat , Dewan
Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa
Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, Badan, Lembaga atau Komisi
yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah
undang-undang, DPRD Provinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota,
Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Isi ketentuan Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011 ini sesungguhnya sama dengan
Penjelasan Pasal 7 Ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004. Tetapi patut disayangkan UU
No. 12 Tahun 2011 juga tidak menentukan secara pasti apa saja materi muatan dari
pelbagai jenis peraturan tersebut, serta bagaimana penjenjangan atau hirarki dari
peraturan-peraturan tersebut dan bagaimana kedudukan dari peraturan-peraturan
tersebut terhadap peraturan yang telah ditetapkan penjenjangannya dalam Pasal 7
Ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011.

E. LATIHAN/DISKUSI

1. Peserta diminta menjelaskan perbedaan anatara landasan teori dengan


kerangka konseptual
2. Peserta diminta menjelaskan fungsi dari teori hukum.
3. Peserta menyebutkan jenis-jenis norma yang berlaku di masyarakat dan apa
yang membedakannya dengan norma hukum.
4. Jelaskan mengenai hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia saat ini.
48

BAB III

ASAS-ASAS HUKUM

Indikator Keberhasilan:
Setelah mempelajari modul ini peserta diharapkan mampu menjelaskan:
1. Asas-asas hukum
2. Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik

A. ASAS-ASAS HUKUM

1. Pengertian Asas-asas Hukum

Asas-asas hukum ialah prinsip-prinsip yang dianggap dasar atau


fundamen hukum. Asas-asas itu dapat disebut juga pengertian-pengertian dan
nilai-nilai yang menjadi titik tolak tentang hukum. Dengan demikian ia menjadi
titik tolak bagi pembentukan undang-undang dan interpertasi undang-undang
tersebut.20
Asas-asas hukum dapat disebut sebagai konsep pertama dari segala aturan
hukum yang didalamnya termuat proposisi-proposisi atau asumsi-asumsi abstrak
tentang nilai-nilai kebenaran (moral), yang diarahkan sebagai tumpuan berpikir
para legislasi di aktus pembentukan kaidah hukum positif atau para hakim di
putusan-putusan (vonis) individual.21
Menurut Bellefroid, asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan
dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-
aturan yang lebih umum. Asas hukum itu merupakan pengendapan hukum positif
dalam suatu masyarakat. Menurut van Eikema Hommes, asas hukum itu tidak
boleh dianggap sebagai norma-norma hukum yang kongkrit, akan tetapi perlu
dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang
berlaku. Sehingga jelaslah bahwa asas hukum dan norma hukum merupakan hal
yang berbeda. Asas hukum merupakan hal yang dipedomani dalam pembuatan
norma hukum yang dapat dikembangkan dan dijabarkan untuk pembentukan

20
Theo Huijbers, Filsafat Hukum (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 90
21
Herman Bakir, Asas Hukum dan Aspek Galiannya (Jakarta: Magister Ilmu Hukum Universitas
Tarumanegara), 2004, hal.59
49

norma hukum. Sedangkan norma hukum adalah hukum positif atau aturan itu
sendiri yang dibentuk sesuai dengan asas-asas hukum.
Pembentukan hukum praktis perlu berorientasi pada asas-asas hukum
tersebut. Dengan kata lain asas hukum ialah dasar-dasar atau petunjuk arah
dalam pembentukan hukum positif.22 Menurut Sudikno Mertokusumo23 asas
hukum atau prinsip hukum bukanlah peraturan hukum kongkrit, melainkan
merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau atau merupakan latar
belakang dari peraturan kongkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap
sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan
hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari
sifat-sifat umum dari peraturan yang kongkrit tersebut. Sehubungan dengan sifat
dan fungsinya yang berbeda tersebut, asas hukum dan norma hukum
memberikan pengaruh yang berlainan terhadap peraturan perundang-undangan.
Jadi asas hukum bukanlah kaidah hukum yang kongkrit, melainkan
merupakan latar belakang peraturan yang kongkrit dan bersifat umum dan
abstrak. Kalau peraturan hukum yang kongkrit itu dapat diterapkan secara
langsung pada peristiwanya, maka asas hukum diterapkan secara tidak
langsung. Untuk menemukan asas hukum dicarilah sifat-sifat umum dalam
kaidah atau peraturan yang kongkrit. 24
Dari uraian para pakar mengenai asas dan norma hukum, maka dapat
disimpulkan bahwa keduanya merupakan sisi yang berbeda namun memiliki
kaitan yang erat. Asas merupakan hal yang harus tercermin dalam sebuah
norma hukum sebagai penjabarannya, karena asas hukum merupakan ruh dari
norma hukum. Suatu norma hukum akan kehilangan esensinya sebagai sebuah
aturan jika norma hukum tidak sesuai dengan asas hukum.

2. Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan


Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan adalah suatu
pedoman atau rambu-rambu dalam pembentukan peraturan perundang-

22
Ni’matul Huda dan R.Nazriyah, Teori dan Pengujian Peraturan Perundang-undangan, (Bandung:
Nusa Media, 2011), hal. 20.
23
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum (sebuah pengantar), (Yogyakarta: Liberty, 2006), hal. 11
24
Ni’matul Huda dan R.Nazriyah, Op. Cit., hal. 21
50

undangan.25 Selanjutnya dijelaskan bahwa asas-asas hukum dalam


pembentukan peraturan perundang-undangan adalah nilai-nilai yang dijadikan
pedoman dalam penuangan norma atau isi peraturan ke dalam bentuk dan
susunan peraturan perundang-undangan yang diinginkan dengan menggunakan
metode yang tepat dan mengikuti prosedur yang ditentukan.26
Paul scholten melihat pentingnya asas-asas hukum dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan ialah untuk dapat melihat benang merah dari
sistem hukum positif yang ditelusuri dan diteliti. Asas-asas hukum ini juga dapat
dijadikan sebagai patokan bagi pembentuk peraturan perundang-undangan agar
tidak melenceng dari cita hukum yang telah disepakati bersama. Namun secara
teoritikal asas-asas hukum bukanlah aturan hukum, sebab asas-asas hukum
tidak dapat diterapkan secara langsung terhadap suatu peristiwa konkret dengan
menganggapnya sebagai bagian dari norma hukum. Meskipun demikian, asas-
asas hukum tetap diperlukan dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan, karena hukum tidak dapat dimengerti tanpa asas-asas hukum.27
Asas pembentukan peraturan perundang-undangan dalam hukum positif
terdiri dari dua asas, yaitu (a) asas pembentukan peraturan perundang-
undangan dan (b) asas materi muatan perundang-undangan.
Untuk asas pembentukan peraturan perundang-undangan dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-
undangan, meliputi: 28
(1) Asas Kejelasan Tujuan.
Yang dimaksud dengan “asas kejelasan tujuan” adalah bahwa setiap
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan
yang jelas yang hendak dicapai.
(2) Asas Kelembagaan Atau Pejabat Pembentuk Yang Tepat.

25
Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-undangan. Jenis, Fungsi dan Materi Muatan , (Kanisius:
Yogyakarta) 2011, hal 252
26
I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, Dinamika Hukum dan Imu Perundang-undangan (Bandung:
PT. Alumni), 2008, hlm. 81
27
A.Hamid Atamimi, Peranan Keputusan Presiden RI Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara
(Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I –
Pelita VI), Disertasi Doktor, Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hal. 302
28
Pasal 5 dan Penjelasan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
51

Yang dimaksud dengan “asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang


tepat” adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus
dibuat oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk Peraturan
Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan
tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh
lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang.
(3) Asas Kesesuaian Antara jenis, Hierarkhi, dan Magteri Muatan.
Yang dimaksud dengan “asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan
materi muatan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan harus benarbenar memperhatikan materi muatan yang tepat
sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.
(4) Asas Dapat Dilaksanakan.
Yang dimaksud dengan “asas dapat dilaksanakan” adalah bahwa setiap
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan
efektivitas Peraturan Perundangundangan tersebut di dalam masyarakat,
baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
(5) Asas Kedayagunaan dan Kehasilgunaan.
Yang dimaksud dengan “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan” adalah
bahwa setiap Peraturan Perundangundangan dibuat karena memang
benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(6) Asas Kejelasan Rumusan
Yang dimaksud dengan “asas kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap
Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis
penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata
atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti
sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam
pelaksanaannya.
(7) Asas Keterbukaan.
Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah bahwa dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan,
penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan
52

pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh


lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk
memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.
Dan untuk asas Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-
undangan, meliputi: 29
(1) Asas Pengayoman
Asas pengayoman adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan
harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan
ketentraman masyarakat.
(2) Asas Kemanusiaan
Asas kemanusiaan adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan
penghormatan hakhak asasi manusia seerta harkat dan martabat setiap
warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
(3) Asas Kebangsaan
Asas kebangsaan adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan
Perundangundangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa
Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip
negara kesatuan Republik Indonesia.
(4) Asas Kekeluargaan.
Asas kekeluargaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-uundangan harus menceerminkan musyawarah untuk
mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keeputusan.
(5) Asas Kenusantaraan.
Asas kenusantaraan adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan
Perundangundangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh
wilayah Indonesia dan materi muatan Peraturan Perundang-undangan

29
Pasal 6 dan Penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan
53

yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang
berdasarkan Pancasila.
(6) Asas Bhineka Tunggal Ika.
Asas bhineka tunggal ika adalah bahwa materi muatan Peraturan
Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk,
agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya
khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
(7) Asas keadilan
Asas keadilan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-
undangan harus mencerminkan keadilan secara proposional bagi setiap
warganegara.
(8) Asas Kesamaan Kedudukan Dalam Hukum dan Pemerintahan.
Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan adalah
bahwa materi muatan peeraturan perundang-undangan tidak boleh berisi
hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang antara lain
agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
(9) Asas Ketertiban dan Kepastian Hukum.
Asas ketertiban dan kepastian hukum adalah bahwa setiap materi muatan
Peraturan Perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban
dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.
(10) Asas Keseimbangan, Keserasian, dan Keselarasan.
Asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan adalah bahwa materi
muatan setiap peraturan perundang-undangan harus mencerminkan
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan antara kepentingan individu
dan masyarakat dengan kepentingan dan negara.

3. Asas-asas Lain Yang Bersifat Khusus


Selain asas-asas yang telah diutarakan pada bagian sebelumnya, dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan khususnya berkaitan dengan
penyusunan materi muatan perlu memperhatikan asas-asas lainnya sebagai
54

dasar dalam pengaturan norma yang akan diatur dalm peraturan perundang-
undangan. Asas-asas khusus itu diantaranya : 30
a) dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa
kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah;
b) dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain,
asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.

Asas umum lainnya yang perlu diperhatikan yaitu :


1. Asas Non Retroaktif. Suatu undang-undang tidak boleh berlaku surut
2. Lex spesialis derogat lex generalis. Undang-undang yang bersifat khusus
mengesampingkan undang-undang yang bersifat umum.
3. Lex posteriori derogat legi priori. Undang-undang yang baru menyampingkan
undang-undang yang lama.
4. Lex Superior derogat legi inforiori. Undang-undang yang dibuat oleh
penguasa yang lebih tinggi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.
5. Welvaarstaat. Undang-undang sebagai sarana semaksimal mungkin dapat
mencapai kesejahteraan spirituil dan materiil bagi masyarakat maupun
individu melalui pembaharuan dan pelestarian.
6. Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali Tiada suatu perbuatan
dapat dihukum, kecuali atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-
undang yang telah ada lebih dahulu daripada perbuatan itu. (dikenal sebagai
asas legalitas Pasal 1 ayat (1) KUHP)
7. Asas retroactive des lois plius douces yaitu berlaku surut aturan yang ringan.
Di Jerman, aturan mengenai perubahan menurut undang-undang ini (kuhuk
peralihan) adalah lebih jelas: Hal dapat dipidananya suatu perbuatan dan
pidana apa yang dapat dijatuhkan, ditentukan oleh hukum yang berlaku pada
waktu perbuatan dilakukan. Jika pada waktu mengadili berlaku suatu aturan
yang lebih ringan daripada waktu perbuatan dilakukan, maka aturan yang

30
Penjelasan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
55

ringan itu boleh digunakan, jika pada waktu mengadili perbuatan tidak
diancam tindak pidana lagi, maka boleh tidak dikenakan pidana.31
8. Asas ne bis in idem (pasal 76 KUHP) orang tidak dapat dituntut kedua kalinya
karena perbuatan2 yang terhadap dirinya oleh hakim indonesia telah diputus
dengan putusan yang telah menjadi tetap (in kracht van gewijsde).
9. Geen straf zonder schuld Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan, Orang
tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau ia tidak
melakukan perbuatan pidana.
Tetapi meskipun melakukan perbuatan pidana, tidak selalu ia dapat dipidana,
contoh anak2 main korek api terus membakar rumah tetangga, orang gila
yang memukuli orang lewat, dokter yang ditodong pistol dan disuruh
membuat keterangan palsu supaya tidak masuk wajib militer. Jadi dengan
demikian ternyata bahwa untuk adanya kesalahan terdakwa harus: 32
a. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum)
b. Diatas umur tertentu mampu bertanggung jawab
c. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan (dolus)
atau kealpaan (culpa)
d. Tidak adanya alasan pemaaf (alasan yang menghapuskan kesalahan
terdakwa. Perbuatan yang dilakukan terdakwa tetap bersifat melawan
hukum jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi dia tidak dipidana,
karena tidak ada kesalahan)
10. Asas Presumption of Innocence ( Praduga tak bersalah ). Seseorang harus
dianggap tidak bersalah sebelum dinyatakan bersalah oleh putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
11. Indubio pro reo Dalam keragu-raguan diberlakukan ketentuan yang paling
menguntungkan bagi si terdakwa.
12. Unus Testis Nullus Testis. Satu saksi bukan saksi, maksudnya keterangan
seorang saksi harus dilengkapi dengan bukti-bukti lain.
13. Audi et alteram partem atau audiatur et altera pars Bahwa para pihak harus
didengar. Contohnya apabila persidangan sudah dimulai, maka hakim harus

31
Prof. Moeljatno, S.H. Asas-asas hukum pidana, (Jakarta: Rineka Cipta), 1993, hal. 23
32
Ibid. Hal. 164
56

mendengar dari keduabelah pihak yang bersengketa, bukan hanya dari satu
pihak saja
14. Freedom of conctract / beginsel der contractsvrijheid ). Asas Kebebasan
berkontrak Para pihak berhak secara bebas membuat kontrak dan mengatur
sendiri isinya sepanjang memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku.
15. Pacta Sunt Servanda ( janji itu mengikat ). Suatu perjanjian berlaku sebagai
undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.
16. Asas Konsensualitas. Suatu perjanjian sudah sah dan mengikat ketika telah
tercapai kesepakatan para pihak dan sudah memenuhi syarat sahnya kontrak
17. Actio pauliana adalah upaya hukum untuk membatalkan transaksi yang
dilakukan oleh debitur untuk kepentingan debitur tersebut yang dapat
merugikan kepentingan para krediturnya
18. Clausula rebus sic stantibus Suatu syarat dalam hukum internasional bahwa
suatu perjanjian antara Negara masih tetap berlaku, apbila situasi dan
kondisinya tetap sama
19. Ius Sanguinis. Bahwa untuk menentukan kewarga negaraan seseorang
berdasarkan pertalian darah atau keturunan dari orang yang bersangkutan.
20. Ius Soli. Bahwa untuk menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan
tempat / negara dimana orang tersebut dilahirkan.
21. Bipatride. Asas dimana seseorang dimungkinkan mempunyai
kewarganegaraan rangkap.
22. Apatride. Seseorang sama sekali tidak memiliki kewarga negararaan.
23. Desentralisasi. Asas dimana urusan Pemerintahan yang telah diserahkan
oleh pemerintah pusat kepada daerah, sepenuhnya menjadi tanggung jawab
dan wewenang pemerintah daerah yang bersangkutan.
24. Dekonsentralisasi. Asas dimana Urusan Pemerintah Pusat yang tidak dapat
diserahkan kepada pemerintah daerah dilakukan oleh perangkat pemerintah
pusat didaerah yang bersangkutan.
25. Medebewind (Tugas Pembantuan). Penentuan kebijaksanaan, perencanaan
dan pembiayaan tetap ditangan pemerintah pusat tetapi pelaksanaannya ada
pada pemerintah daerah.
57

Berdasarkan pentingnya asas-asas hukum, maka fungsi asas hukum yaitu:33


1. Sebagai patokan dalam Pembentukan dan pengujian norma hukum
2. Untuk memudahkan kedekatan pemahaman terhadap hukum
3. Sebagai cermin dari peradaban masyarakat atau bangsa tertentu dalam
memandang perilaku.

B. ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK (AUPB)


Sejak tanggal 17 Oktober 2014, Indonesia telah memiliki Undang-undang
tentang Administrasi Pemerintahan yaitu Undang-undang nomor 30 tahun 2014.
Melalui Undang-undang ini maka asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB)
menjadi diakui secara yuridis formal dan jadi memiliki kekuatan hukum formal.
Undang-undang Administrasi pemerintahan itu sendiri dimaksudkan sebagai
salah satu dasar hukum bagi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan, Warga
Masyarakat, dan pihak-pihak lain yang terkait dengan Administrasi Pemerintahan
dalam upaya meningkatkan kualitas penyelenggaraan Pemerintahan, Dengan tujuan
sebagai berikut :
a. menciptakan tertib penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan;
b. menciptakan kepastian hukum;
c. mencegah terjadinya penyalahgunaan Wewenang;
d. menjamin akuntabilitas Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan;
e. memberikan pelindungan hukum kepada Warga Masyarakat dan aparatur
pemerintahan;
f. melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menerapkan Asas-
asas Umum Pemerintahan Yang Baik; dan
g. memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada Warga Masyarakat.
Dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan disebutkan bahwa penyelenggaraan administrasi pemerintahan
berdasarkan:
1. Asas Legalitas
2. Asas perlindungan terhadap hak asasi manusia; dan

33
I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, Op.Cit., hal. 83
58

3. Asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB)


Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagaimana tercantum dalam Pasal 1
butir 17 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 adalah prinsip yang digunakan
sebagai acuan penggunaan Wewenang bagi Pejabat Pemerintahan dalam
mengeluarkan Keputusan dan/atau Tindakan dalam penyelenggaraan
pemerintahan.
Sehingga undang-undang administrasi pemerintahan ini menjadi sandaran hukum
dalam proses peradilan administrasi di Indonesia, karena dalam undang-undang
tersebut antara lain menyebutkan bahwa:
- Pejabat pemerintahan melaksanakan Kewenangan yang dimiliki berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB;
- Pejabat Pemerintahan berkewajiban untuk menyelenggarakan Administrasi
Pemerintahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
kebijakan pemerintahan, dan AUPB.
- Pejabat Pemerintahan memiliki kewajiban untuk mematuhi AUPB dan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
- Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menggunakan Wewenang
wajib berdasarkan: (a) peraturan perundang-undangan; dan (b) AUPB.
- Setiap Keputusan dan/atau Tindakan wajib berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan AUPB.
- Ketiadaan atau ketidakjelasan peraturan perundang-undangan sebagaimana
yang menjadi dasar dalam menetapkan dan/atau melakukan keputusan
dan/atau tindakan, tidak menghalangi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
yang berwenang untuk menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau
Tindakan sepanjang memberikan kemanfaatan umum dan sesuai dengan
AUPB.
Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB) yang dimaksud dalam Undang-
Undang nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan meliputi asas:
1. Asas Kepastian Hukum
adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan
ketentuan peraturan perundang-undangan, kepatutan, keajegan, dan
keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan.
59

2. Asas Kemanfaatan
adalah manfaat yang harus diperhatikan secara seimbang antara: (1)
kepentingan individu yang satu dengan kepentingan individu yang lain; (2)
kepentingan individu dengan masyarakat; (3) kepentingan Warga
Masyarakat dan masyarakat asing; (4) kepentingan kelompok
masyarakat yang satu dan kepentingan kelompok masyarakat yang lain; (5)
kepentingan pemerintah dengan Warga Masyarakat; (6) kepentingan
generasi yang sekarang dan kepentingan generasi mendatang; (7)
kepentingan manusia dan ekosistemnya; (8) kepentingan pria dan wanita
3. Asas Ketidakberpihakan
adalah asas yang mewajibkan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan
dengan mempertimbangkan kepentingan para pihak secara keseluruhan dan
tidak diskriminatif.
4. Asas Kecermatan
adalah asas yang mengandung arti bahwa suatu Keputusan dan/atau
Tindakan harus didasarkan pada informasi dan dokumen yang lengkap untuk
mendukung legalitas penetapan dan/atau pelaksanaan Keputusan dan/atau
Tindakan sehingga Keputusan dan/atau Tindakan yang bersangkutan
dipersiapkan dengan cermat sebelum Keputusan dan/atau Tindakan tersebut
ditetapkan dan/atau dilakukan.
5. Asas Tidak Menyalahgunakan Kewenangan
adalah asas yang mewajibkan setiap Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan tidak menggunakan kewenangannya untuk kepentingan
pribadi atau kepentingan yang lain dan tidak sesuai dengan tujuan pemberian
kewenangan tersebut, tidak melampaui, tidak menyalahgunakan, dan/atau
tidak mencampuradukkan kewenangan.
6. Asas Keterbukaan
adalah asas yang melayani masyarakat untuk mendapatkan akses dan
memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif dalam
penyelenggaraan pemerintahan dengan tetap memperhatikan perlindungan
atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara
60

7. Asas Kepentingan Umum


adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan dan kemanfaatan
umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, selektif, dan tidak
diskriminatif.
8. Asas Pelayanan Yang Baik
adalah asas yang memberikan pelayanan yang tepat waktu, prosedur dan
biaya yang jelas, sesuai dengan standar pelayanan, dan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Asas-asas umum lainnya di luar AUPB diatas dapat diterapkan sepanjang
dijadikan dasar penilaian hakim yang tertuang dalam putusan Pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap

C. Diskusi/Latihan
1. Peserta mendiskusikan manfaat pengetahuan mengenai asas-asas hukum
dalam menganalisis hukum dengan mencari contoh kasusnya.
2. Peserta menganalisis suatu kebijakan (pemecahan kasus) untuk ditunjau dari
asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).
61

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN HUKUM

Indikator keberhasilan:
Setelah mempelajari modul ini peserta diharapkan mampu menerapkan metodologi
penelitian hukum.

Dalam melaksanakan kegiatan berlandaskan pada suatu analis permasalahan maka


akan berdampak pada bagaimana permasalahan tersebut dikaji yang kemudian
diladaskan pada suatu penelitian. Hal ini dimaksud untuk melihat gejala apa yang
terjadi dalam masyarakat dan dapat dicari solusi atas permasalahan yang terjadi.
Penelitian ini akan membawa pemahaman kepada sekelompok orang atau
masyarakat dalam mendalami atau menganalis suatu kejadian berdasarkan fakta
yang terjadi atau gejolak yang ada dalam masyarakat.

A. PENELITIAN HUKUM
Untuk menggunakan pendekatan berbasis analis hukum, terlebih dahulu
dilakukan identifikasi Penelitian Hukum yang mendasari pelaksanaan analis hukum
untuk dapat diterima sebagai bahan pengkajian atas bidang penyelenggaraan
negara. Penelitian Hukum ini menjadi penting karena akan membawa pada
pemahaman tentang kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematik, dan
pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala
hukum tertentu, dengan jalan menganalisisnya. Selain itu, juga diadakan
pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian
mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan yang timbul dalam gejala
yang bersangkutan. Berdasarkan pengertian ini, dapat dinyatakan bahwa penelitian
hukum di anggap sebagai penelitian ilmiah apabila memenuhi kriteria berikut :
a. Didasarkan pada metode, sistematik, dan logika berpikir tertentu;
b. Bertujuan untuk mempelajari gejala hukum tertentu (data primer);dan
c. Guna mencari solusi atas permasalahan yang timbul dari gejala yang
diteliti tersebut.
62

Penelitian hukum didasarkan pada metode, artinya semua kegiatan yang


meliputi persiapan penelitian, proses penelitian, dan hasil penelitian menggunakan
cara-cara yang secara umum diakui dan berlaku pada ilmu pengetahuan. Kegiatan
persiapan penelitian umumnya didahului dengan studi pustaka untuk menemukan
konsep-konsep hukum, teori-teori hukum, dan diteruskan observasi dilapangan
untuk menjajagi gejala-gejala yuridis yang akan dijadikan dasar perumusan masalah
dan tujuan serta strategi penelitian. Semuanya ini kemudian dituangkan dalam
bentuk usul atau proposal penelitian.
Proses penelitian merupakan kegiatan pelaksanaan penelitian berdasarkan
jadwal yang telah ditetapkan dalam kurun waktu tertentu, meliputi pengumpulan data
sekunder dari perpustakaan (buku-buku literatur), dari perkantoran (arsip, dokumen
hukum), dan pengumpulan data primer dari lapangan (lokasi penelitian). Setelah
data terkumpul, diteruskan dengan kegiatan pengolahan data dan analisis data.
Hasil penelitian tersebut kemudian ditulis dalam bentuk laporan penelitian sesuai
dengan kaidah penulisan karya ilmiah yang siap untuk dipublikasikan. Laporan
penelitian berupa karya ilmiah tersebut dapat berbentuk laporan jurnal penelitian,
skripsi, tesis, atau disertasi.
Penelitian selalu didasarkan pada sistem, yang memiliki unsur-unsur sistem,
yaitu subjek penelitian, objek penelitian, perilaku (kegiatan) penelitian, hasil
penelitian, dan publikasi hasil penelitian. Setiap unsur sistem tersebut dikerjakan
berdasarkan sistematika tertentu, baik format maupun substansi, seperti klasifikasi,
penggolongan, penandaan, urutan penyajian, analisis, dan interprestasi. Penelitian
hukum didasarkan pada logika berfikir tertentu, yakni logika berpikir dedukatif atau
induktif dalam pengambilan kesimpulan.
Penelitian hukum selalu mempunyai tujuan tertentu, baik tujuan proses
maupun tujuan akhir. Tujuan proses misalnya menganalisis data yang diperoleh
guna membuktikan suatu peristiwa hukum sudah dilakukan atau tidak dilakukan,
sedangkan tujuan akhir adalah hasil yang diperoleh berdasarkan tujuan proses.
Tujuan akhir misalnya diperoleh gambaran lengkap tentang hukum yang berlaku
disuatu wilayah dalam kurun waktu tertentu, pembeli memiliki barang yang dibelinya
dan penjual memperoleh pembayaran atas harga barang yang dijualnya, ataupun
perkosaan anak di bawah umur yang dimasalahkan itu terbukti dilakukan oleh B.
63

Tujuan yang dicapai dalam penelitian hukum merupakan solusi atas masalah
yang di teliti.

Tujuan Penelitian Hukum :

 untuk mendapatkan pengetahuan tentang gejala hukum sehingga dapat


dirumuskan masalah secara tepat ;
 untuk memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam mengenai suatu
gejala hukum, sehingga dapat dirumuskan hipotesa ;
 untuk menggambarkan secara lengkap aspek-aspek hukum dari suatu
keadaan, perilaku individu atau perilaku kelompok tanpa didahului
hipotesa;
 untuk mendapatkan keterangan tentang frekwensi peristiwa hukum ;
 untuk memperoleh data mengenai hubungan antara satu gejala hukum
dengan gejala yang lain ;
 untuk menguji hipotesa yang berisikan hubungan sebab akibat.

Disamping tujuan tersebut diatas, penelitian hukum mempunyai sejumlah


tujuan tertentu yang membedakannya dengan penelitian sosial, antara lain :
 untuk mendapatkan asas-asas hukum dari hukum positif yang tertulis atau
dari rasa susila warga masyarakat ;
 untuk mengetahui sistematika dari suatu perangkat kaidah-kaidah hukum,
yang terhimpun dalam suatu kodifikasi atau peraturan perundang-
undangan tertentu ;
 untuk mengetahui taraf sinkronisasi peraturan perundang-undangan baik
secara vertikal maupun horisontal ;
 untuk mengetahui perbandingan hukum tentang sesuatu hal dari sejumlah
sistim atau tata hukum yang berbeda ;
 untuk mengetahui perkembangan hukum dari perspektif sejarah ;
 untuk mengidentifikasi hukum-hukum tidak tertulis, seperti hukum adapt
ataupun kebiasaan ;
 untuk mengetahui efektifitas dari hukum tertulis maupun tidak tertulis
64

Kegunaan Penelitian hukum :


 untuk mengetahui dan mengenal apakah dan bagaimanakah hukum
positifnya mengenai suatu masalah yang tertentu dan ini merupakan tugas
semua sarjana hukum ;
 untuk dapat menyusun dokumen-dokumen hukum (seperti gugatan,
tuduhan, pembelaan, putusan pengadilan, akta notaries, sertifikat, kontrak,
dan sebagainya) yang diperlukan oleh masyarakat. Hal ini menyangkut
pekerjaan notaries, pengacara, jaksa, hakim dan para pejabat pemerintah ;
 untuk dapat menjelaskan atau menerangkan kepada orang lain apakah dan
bagaimanakah hukumnya mengenai peristiwa atau masalah yang tertentu.
Hal ini merupakan tugas utama para dosen dan penyuluh ;
 untuk menulis ceramah, makalah, atau buku-buku hukum ;
 untuk melakukan penelitian dasar (basic research) di bidang hukum,
khususnya dalam mencari asas hukum, teori hukum, dan system hukum,
terutama dalam hal penemuan dan pembentukan asas-asas hukum baru,
pendekatan hukum yang baru, dan sistim nasional yang baru ;
 untuk menyusun rancangan undang-undang, atau peraturan perundang-
undangan lainnya (legislative drafting) ;
 untuk menyusun rancangan pembangunan hukum, baik rencana jangka
pendek dan jangka menengah, terlebih untuk jangka panjang

Berdasarkan Fokus Penelitian Hukum

Dilihat dari segi fokus kajiannya, penelitian hukum dapat dibedakan menjadi 3
(tiga) tipe, yaitu :
- Penelitian hukum normatif (normative law research);
- Penelitian hukum normatif-empiris, yang dapat disebut juga penelitian
hukum normatif-terapan (applied law research); dan
- Penelitian hukum empiris (empirical law research).
65

B. PENELITIAN HUKUM NORMATIF


Penelitian hukum normatif mengkajikan hukum yang dikonsepkan sebagai
norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat, dan menjadi acuan perilaku
setiap orang. Norma hukum yang berlaku itu berupa norma hukum positif tertulis
bentukan lembaga perundang-undangan (undang-undang dasar), kondifikasi,
undang-undang, peraturan pemerintah, dan seterusnya) dan norma hukum tertulis
bentukan lembaga peradilan (judge made law), serta norma hukum tertulis buatan
pihak-pihak yang berkepentingan (kontra, dokumen hukum, laporan hukum, catatan
hukum, dan rancangan undang-undang). Penelitian hukum normatif disebut juga
penelitian hukum teoretis/dogmatik karena tidak mengkaji pelaksanaan atau
implementasi hukum. Penelitian hukum normatif hanya menelaah data sekunder.
Fokus kajian hukum normatif adalah inventarisasi hukum positif, asas-asas dan
doktrin hukum, penemuan hukum dalam perkara inconcreto, sistematik hukum,taraf
sinkronisasi hukum, pertandingan hukum, dan sejarah hukum.
Metode penelitian hukum jenis normatif ini, juga biasa disebut sebagai
penelitian hukum doktriner atau penelitian perpustakaan. Dinamakan penelitian
hukum doktriner dikarenakan penelitian ini hanya ditujukan pada peraturan-
peraturan tertulis sehingga penelitian ini sangat erat hubungannya pada pada
perpustakaan karena akan membutuhkan data-data yang bersifat sekunder pada
perpustakaan. Hal ini disebabkan pada penelitian normatif fokus pada studi
kepustakaan dengan menggunakan berbagai sumber data sekunder seperti pasal-
pasal perundangan, berbagai teori hukum, hasil karya ilmiah para sarjana.
Dalam penelitian hukum normatif hukum yang tertulis dikaji dari berbagai
aspek seperti aspek teori, filosofi, perbandingan, struktur/ komposisi, konsistensi,
penjelasan umum dan penjelasan pada tiap pasal, formalitas dan kekuatan mengikat
suatu undang-undang serta bahasa yang digunakan adalah bahasa
hukum. Sehingga dapat kita simpulkan pada penelitian hukum normatif mempunyai
cakupan yang luas.
Penelitian hukum normatif mengenal beberapa pendekatan yang digunakan
untuk mengkaji setiap permasalahan. jenis-jenis pendekatan tersebut adalah
sebagai berikut :
1. Pendekatan Undang-undang (statute approach)
66

Pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah semua undang-


undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang
ditangani. Pendekatan perundang-undangan dalam penelitian hukum normatif
memiliki kegunaan baik secara praktis maupun akademis.
Bagi penelitian untuk kegiatan praktis, pendekatan undang-undang ini akan
membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan
kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-undang lainnya atau
antara undang-undang dengan Undang-Undang Dasar atau regulasi dan undang-
undang. Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk memecahkan
isu yang dihadapi.
Bagi penelitian untuk kegiatan akademis, peneliti perlu mencari ratio legis dan
dasar ontologis lahirnya undang-undang tersebut.
Dengan mempelajari ratio legis dan dasar ontologis suatu undang-undang,
peneliti sebenarnya mampu mengungkap kandungan filosofis yang ada di belakang
undang-undang itu. Memahami kandungan filosofis yang ada di belakang undang-
undang itu, peneliti tersebut akan dapat menyimpulkan mengenai ada tidaknya
benturan filosofis antara undang-undang dengan isu yang dihadapi.

2. Pendekatan Kasus (Case Approach)


Pendekatan kasus dilakukan dengan cara menelaah kasus-kasus terkait
dengan isu yang sedang dihadapi, dan telah menjadi putusan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap. Kasus ini dapat berupa kasus yang terjadi di Indonesia
maupun di negara lain. Yang menjadi kajian pokok di dalam pendekatan kasus
adalah rasio decidendi atau reasoning yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai
kepada suatu putusan.
Secara praktis ataupun akademis, pendekatan kasus mempunyai kegunaan
dalam mengkaji rasio decidendi atau reasoning tersebut merupakan referensi bagi
penyusunan argumentasi dalam pemecahan isu hukum. Perlu pula dikemukakan
bahwa pendekatan kasus tidak sama dengan studi kasus (case study). Di dalam
pendekatan kasus (case approach), beberapa kasus ditelaah untuk referensi bagi
suatu isu hukum. Sedangkan Studi kasus merupakan suatu studi dari berbagai
aspek hukum.
67

3. Pendekatan Historis (Historical Approach)


Pendekatan historis dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang
dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai isu hukum yang dihadapi.
Telaah demikian diperlukan oleh peneliti untuk mengungkap filosofi dan pola pikir
yang melahirkan sesuatu yang sedang dipelajari. Pendekatan historis ini diperlukan
kalau memang peneliti menganggap bahwa pengungkapan filosofis dan pola pikir
ketika sesuatu yang dipelajari itu dilahirkan, dan memang mempunyai relevansi
dengan masa kini.

4. Pendekatan Komparatif (Comparative Approach)


Pendekatan komparatif dilakukan dengan membandingkan undang-undang
suatu negara, dengan undang-undang dari satu atau lebih negara lain mengenai hal
yang sama. Selain itu, dapat juga diperbandingkan di samping undang-undang yaitu
putusan pengadilan di beberapa negara untuk kasus yang sama.
Kegunaan dalam pendekatan ini adalah untuk memperoleh persamaan dan
perbedaan di antara undang-undang tersebut. Hal ini untuk menjawab mengenai isu
hukum antara ketentuan undang-undang dengan filosofi yang melahirkan undang-
undang itu. Dengan demikian perbandingan tersebut, peneliti akan memperoleh
gambaran mengenai konsistensi antara filosofi dan undang-undang di beberapa
negara. Hal ini sama juga dapat dilakukan dengan memperbandingkan putusan
pengadilan antara suatu negara dengan negara lain untuk kasus serupa.

5. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)


Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-
doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. dengan mempelajari pandang-
pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-
ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan
asas-asas hukum relevan dengan isu yang dihadapi. Pemahaman akan pandangan-
pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam
membangun suatu argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi.
68

Berkaitan dengan uraian mengenai pendekatan-pendekatan yang digunakan


dalam melakukan penelitian hukum, penulis sedikit tertarik dengan dua macam
pendekatan, yaitu pendekatan historis (sejarah) dan pendekatan komparatif
(perbandingan). Peter de Cruz mempunyai pendapat lain terhadap kedua macam
pendekatan tersebut. Dalam bukunya yang berjudul Comperative Law in a Changing
World yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Perbandingan
Sistem Hukum Common Law, Civil Law, dan Socialist Law” (2010 : 14), menjelaskan
bahwa sejarah hukum adalah sebuah kondisi yang sangat vital bagi sebuah evolusi
kritis terhadap hukum dan sebuah pemahaman tentang pengoperasian konsep-
konsep hukum yang merupakan tujuan utama dari hukum komparatif. Seperti itu
yang telah ditemukan oleh sejumlah ahli hukum, sejarah hukum komparatif adalah
hukum komparatif vertikal, dan perbandingan dari sistem-sistem hukum modern
adalah hukum komparatif horizontal.
Berdasarkan pendapat Peter de Cruz di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
pendekatan historis merupakan pendekatan perbandingan yang bersifat horizontal,
yaitu mempelajari sejarah terciptanya suatu norma yang tertuang di dalam suatu
perundang-undangan. Sedangkan pendekatan komparatif itu sendiri bersifat vertikal,
yaitu pendekatan yang mempelajari perbandingan norma dalam undang-undang
antara sistem hukum di beberapa negara. Oleh karena itu pendekatan historis dan
komparatif merupakan satu kesatuan dari perbandingan sistem hukum.
Selain pendekatan-pendekatan dalam melakukan penelitian hukum tersebut
di atas, menurut Johnny Ibrahim (2012) pendekatan lainnya yang digunakan dalam
melakukan penelitian hukum selain yang disebutkan oleh Peter Mahmud Marzuki
yaitu Pendekatan Analitis (analytical approach) dan Pendekatan Filsafat
(Philosophical Approach).
Maksud utama dari Pendekatan analisis terhadap bahan hukum adalah
mengetahui makna yang dikandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam aturan
perundang-undangan secara konsepsional, sekaligus mengetahui penerapan dalam
praktik dan putusan-putusan hukum. hal ini dilakukan melalui dua pemeriksaan.
pertama, sang peneliti berusaha memperoleh makna baru yang terkandung dalam
aturan hukum yang bersangkutan. kedua, mengkaji istilah-istilah hukum tersebut
69

dalam praktek melalui analisis terhadap putusan-putusan hukum.34 (Johnny Ibrahim,


2012 : 310)
Pengertian hukum (rechtsbegrip) menduduki tempat penting, baik yang
tersimbolkan dalam kata yang digunakan maupun yang tersusun dalam sebuah
aturan hukum, tidak jarang sebuah kata atau definisi yang terdapat dalam sebuah
rumusan aturan hukum tidak jelas maknanya. kemungkinan, makna yang pernah
diberikan kepada suata kata atau definisi tersebut sudah tidak memadai, baik oleh
perkembangan zaman atau untuk memenuhi kepentingan sifat sebuah system
yang all-inclusive sehingga diperlukan pemberian makna yang baru pada kata atau
definisi yang ada, karena ketepatan makna diperlukan demi kepastian hukum
sementara itu menemukan makna (begrip) pada kata atau sefinisi hukum
merupakan kegiatan keilmuan hukum aspek normatif. 35
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya tugas analisis
hukum adalah menganalisis pengertian hukum, asas hukum, kaidah hukum, sistem
hukum, dan berbagai konsep yuridis. Misalnya, konsep yuridis tentang subyek
hukum, obyek hukum, hak milik, perkawinan, perjanjian, perikatan, hubungan kerja,
jual beli, wanprestasi, perbuatan melanggar hukum, delik dan sebagainya.
Pendekatan yang selanjutnya digunakan dalam penelitian adalah pedekatan
filsafat. Dengan sifat filsafat yang menyeluruh, mendasar, dan spekulatif, penjelajah
filsafat akan mengupas isu hukum (legal issue) dalam penelitian normatif secara
radikal dan mengupas secara mendalam. Socrates pernah mengatakan bahwa
tugas filsafat sebenarnya bukan menjawap pertanyaan yang diajukan, tetapi
mempersoalkan jawaban yang diberikan. dengan demikian penjelajahan dalam
filsafat meliputi ajaran ontologis, ajaran tentang hakikat, aksiologis (ajaran tentang
nilai), epistimolois (ajaran tentang pengetahuan), telelogis (ajaran tentang tujuan)
untuk menjelaskan secara mendalam sejauh dimungkinkan oleh pencapaian
pengetahuan manusia.
Pengetahuan filsafat dimulai dengan sikap ilmuan yang rendah hati, berani
mengoreksi diri, berterus terang dalam memberikan dasar pembenaran terhadap

34
Jhony Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing),
2006
35
Ibid
70

jawaban atas pertanyaan apakah ilmu yang dikuasai saat ini telah mencakup
segenap pengetahuan yang ada, pada batasan manakah ilmu itu dimulai dan pada
batasan mana ia berhenti, dan apakah kelebihan dan kekurangan ilmu itu.
Berdasarkan ciri filsafat tersebut, dibantu dengan pendekatan (approach)
yang tepat, seyogyanya dapat dilakukan apa yang dinamakan oleh Ziegler
sebagai Fundamental Research, yaitu suatu penelitian yang memperoleh
pemahaman yang lebih mendalam terhadap imlikasi sosial dan efek penerapan
suatu aturan perundang-undangan terhadap masyarakat atau kelompok masyarakat
yang melibatkan penelitian terhadap sejarah, filsafat, ilmu bahasa, ekonomi serta
implikasi sosial, dan politik terhadap pemberlakuan suatu aturan hukum.
Sumber-sumber Dalam Penelitian hukum
Setiap penelitian ilmiah mempunyai sumber-sumber sebagai bahan rujukan
guna mendukung argumentasi peneliti. Berbeda dengan sumber-sumber rujukan
yang ada pada penelitian di bidang ilmu lain, dalam penelitian hukum yang bersifat
normatif tidak mengenal adanya data
Sumber rujukan penelitian hukum normatif sendiri berasal dari bahan hukum
yang digunakan sebagai berikut:
1. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya
mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-
catatan resmi atau risalah dalam pembuatan undang-undang dan putusan-putusan
hakim. Untuk bahan hukum primer yang memiliki otoritas tertinggi adalah Undang-
Undang Dasar (UUD) karena semua peraturan di bawahnya baik isi maupun jiwanya
tidak boleh bertentangan dengan UUD. Bahan hukum primer yang selanjutnya
adalah undang-undang. Undang-undang merupakan kesepakatan antara
pemerintah dan rakyat sehingga mempunyai kekuatan hukum mengikat untuk
penyelenggaraan kehidupan bernegara. Sejalan dengan undang-undang, untuk
tingkat daerah adalah Peraturan Daerah (Perda) yang mempunyai otoritas tertinggi
untuk tingkat daerahnya karena dibuat oleh Pemerintah Daerah dan Dewan
Perwakilan daerah. Bahan hukum primer yang dibawah otoritas undang-undang
adalah Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden atau peraturan suatu Badan atau
Lembaga Negara. Bahan hukum primer disamping perundang-undangan yang
71

memiliki otoritas adalah putusan pengadilan. Putusan pengadilan merupakan


konkretisasi dari perundang-undangan. Putusan pengadilan inilah sebenarnya
merupakan law ini action. 36
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah semua publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku
teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas
putusan pengadilan.
Bahan hukum sekunder memiliki tingkatan yang didasarkan pada jenisnya.
Hal tersebut dapat diketahui bahwa bahan hukum sekunder yang utama adalah
buku teks karena buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan
pandangan-pandangan klasik para sarjana yang mempunyai kualifikasi tinggi.
Disamping buku teks, bahan hukum sekunder dapat berupa tulisan-tulisan baik
tentang hukum dalam buku atau-pun jurnal-jurnal. Tulisan-tulisan hukum tersebut
berisi tentang perkembangan atau isu-isu aktual mengenai hukum bidang tertentu
Selain kedua jenis bahan hukum tersebut di atas, untuk keperluan penelitian
seorang peneliti dapat pula merujuk beberapa rujukan yang berasal dari bahan-
bahan non-hukum. Menurut Peter Mahmud Marzuki 37 bahan-bahan non hukum
dapat berupa buku-buku mengenai Ilmu Politik, Ekonomi, Sosiologi, Filsafat,
Kebudayaan, atau pun laporan penelitian non-hukum dan jurnal-jurnal non-hukum
sepanjang mempunyai relevansi dengan topik penelitian. Relevan atau tidaknya
bahan-bahan non-hukum bergantung dari peneliti terhadap bahan-bahan itu.
Jika penelitian hukum difokuskan pada menguji kualitas materi hukum
normatif, maka sasaran data/materi pada data sekunder yaitu data yang sudah
tersedia dan tidak dibatasi oleh tempat dan waktu. Data yang dimaksud yaitu bahan
hukum primer atau bahan hukum positif artinya suatu norma hukum yang
mempunyai kekuatan mengikat.
Kemudian bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang melengkapi
bahan hukum primer seperti rancangan undang-undang dan naskah akademik.
36
. Ibid.
72

Sedangkan bahan hukum tersier merupakan bahan informasi hukum yang baik yang
terdokumentasi maupun tersaji melalui media.
Jika penelitian hukum difokuskan pada menguji kepatuhan masyarakat
terhadap suatu norma hukum dengan tujuan mengukur efektif atau tidak suatu
pengaturan/materi hukum yang berlaku, maka obyek atau sasaran data yaitu data
primer. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung oleh peneliti di lapangan
melalui responden dengan cara observasi, wawancara dan penyebaran angket.
Dalam penelitian jenis ini, penentuan tempat. penentuan tempat atau wilayah
dan objek penelitian.38

C. PENELITIAN HUKUM NORMATIF-EMPIRIS (TERAPAN)


Peneliti hukum normatif-empiris (terapan) mengkaji pelaksanaan atau
implementasi ketentuan hukum positif (perundangan-undangan) dan kontrak secara
faktual pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam mayarakat guna
mencapai tujuan yang telah ditentukan. Pengkajian tersebut bertujuan untuk
memastikan apakah hasil penerapan pada peristiwa hukum in concreto itu sesuai
atau tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang atau ketentuan kontrak telah
dilaksanakan sebagaimana patutnya atau tidak, sehingga pihak-pihak yang
berkepentingan mencapai tujuannya atau tidak.
Penelitian hukum normatif-empiris (terapan) bermula dari ketentuan hukum
positif tertulis (perundang-undangan) yang diberlakukan pada peristiwa hukum in
concreto dalam masyarakat, seperti jual beli, pengalihan hak cipta bberdasarkan
kontrak, serta cara memperoleh dan melunasi kredit pada bank. Dalam penelitian
hukum normatif-empiris (terapan) selalu terdapat gabungan 2 (dua) tahap kajian.
Tahap pertama, kajian mengenai hukum normatif (perundang-undangan, kontrak)
yang berlaku, dan tahap kedua kajian hukum empiris berupa penerapan
(implementasi) pada peristiwa hukum in concreto guna mencapai tujuan yang telah
ditentukan. Oleh karena itu, penelitian hukum ini disebut penelitian hukum normatif-
empiris atau penelitian hukum normatif-terapan (applied law research). 39

38
. Haranan. Vol. V No..I Maret 2006 93 Me ray Hendrik Mezuk: Jenis, Metudc dan Pendekatan Dalani
Penelitian Hukum
39
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti.2004.hal. 131.
73

Penelitian hukum normatif-empiris membutuhkan data sekunder dan data primer.


Pelaksanaan atau implementasi itu diwujudkan melalui :
1) Perbuatan nyata (real action)
Contohnya pada peristiwa hukum jual beli berupa perbuatan penyerahan
barang dan pembayaran harga barang. Perbuatan ini dapat dilihat secara empiris
bahwa norma hukum jual beli sudah diterapkan. Tujuannya penjual memperoleh
sejumlah uang dan pembeli memiliki barang tertentu.
2) Dokumen hukum (legal document)
Contohnya pada pengangkutan penumpang/barang berupa surat angkutan
barang (surat muatan) dan tiket penumpang. Dokumen hukum tersebut merupakan
bukti nyata bahwa ketentuan normatif pengangkutan sudah diterapkan. Tujuannya
adalah pengangkut memperoleh sejumlah uang biaya angkutan dan pemilik barang
penumpang berhak diangkut sampai ditempat tujuan dengan selamat.
Berdasarkan hasil penerapan (pelaksanaan atau implementasi) tersebut dapat
dipahami, apakah ketentuan undang-undang atau ketentuan kontrak telah
dilaksanakan sebagaimana patutnya atau tidak. Hal ini dapat diketahui dari hasil
penerapan. Apabila hasil yang telah ditentukan itu tercapai, berarti ketentuan itu
sudah dilaksanakan sebagaimana patutnya. Apabila hasilnya tidak tercapai atau
walaupun tercapai tetapi tidak sebagaimana patutnya , berarti ketentuan itu tidak
dilaksanakan sebagaimana layaknya. Dengan kata lain, ketentuan normatif tidak
sesuai dengan pelaksanaannya.
Penelitian hukum normatif-empiris (applied law reseach) adalah penelitian
hukum mengeai pemberlakuan atau implementasi ketentuan hokum normatif
(kodifikasi, undang-undang, atau kontrak) secara in action pada setiap peristiwa
hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat. Implementasi secara in action
tersebut merupakan fakta empiris dan berguna untuk mencapai tujuan yang telah
ditentukan oleh Negara atau oleh pihak-pihak dalam kontrak. Implementasi secara
in action diharapkan berlangsung sempurna apabila rumusan ketentuan hukum
normatifnya jelas dan tegas serta lengkap.
Apabila perilaku sudah diatur dalam ketentuan hukum normatif, maka warga
masyarakat akan menyesuaikan diri dengan perilaku yang telah ditentukan itu.
Masalahnya adalah bagaimana halnya dengan perilaku yang belum diatur dalam
74

ketentuan hukum normatif, apakah itu berarti dilarang atau dibolehkan? Atau
bagaimana halnya apabila perilaku warga masyarakat itu tidak sesuai dengan
ketentuan hukum normatif, apakah itu sudah pasti dikatakan suatu pelanggaran
hukum. Hal ini menjadi alasan pangkal tolak pengembangan penelitian hukum
normatif-empiris yang memerlukan kajian secara empiris dengan mempertimbangan
kebutuhan dan kepentigan yang berkembang dalam masyarakat serta manfaat yang
akan diperoleh.
Penelitian hukum normatif-emperik difokuskan pada :
1. Penerapan atau Implementasi
Fokus penelitian hukum normatif-empiris adalah pada “penerapan atau
implementasi” ketentuan hukum normatif (in abstracto) pada peristiwa hukum
tertentu (in concreto) dan hasilnya. Jadi, hal yang diteliti itu adalah proses
penerapan untuk mencapai tujuan dan tujuan sebagai hasil akhir. Ketentuan hukum
normatif yang menjadi tolok ukur terapan sudah dirumuskan lebih dahulu dalam
kodifikasi, undang-undang, atau kontrak, misalnya ketetuan Pasal 1457 BW
mengenai jual beli, ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992
mengenai pengangkutan niaga dengan kendaraan bermotor, dan ketentuan Pasal
362 KUHP mengenai pencurian.
2. Penerapan dan Hasil
Focus penelitan hukum normatif-empiris selalu diarahkan pada 2 (dua) hal, yaitu
pertama penerapan ketentuan hukum normatif dan kedua hasil yang dicapai.
Penerapan ketentuan hukum normatif merupakan proses perilaku nyata (in action)
menuju pada hasil yang akan dicapai. Hail yang dicapai merupakan tujuan yang
dikehendaki, yaitu terpenuhi kewajiban dan diperolehnya hak secara timbal balik
antara Negara dan warga Negara ataupun antara pihak-pihak dalam perjanjian
(kontrak). Pada hukum positif tertulis, biasanya penerapan dan hasil yang
diharapkan itu sudah tersurat dan tersirat dalam rumusan ketentuan undang-undang
atau kontrak.
Penelitian Normatif-Emperik/Terapan juga mengunakan tipe-tipe yakni :
Dalam kaitannya dengan penelitian hukum normatif-empiris ada 3 (tiga) tipe
pendekatan normatif-terpan, yaitu:
75

1. Nonjudical Case Study, yaitu pendekatan studi kasus hukum tanpa konflik.
Kalaupun ada konflik, diselesaikan oleh pihak-pihak sendiri secara damai,
tanpa campur tangan pengadilan.
2. Judical Case Study, yaitu pendekatan studi kasus hukum karena konflik yang
diselesaikan melalui putusan pengadilan (yurisprudensi).
3. Live-Case Study, yaitu pendekatan studi kasus pada peristiwa hukum yang
dalam keadaan berlangsung atau belum berakhir, misalnya peristiwa
pengangkutan niaga sejak pemberangkatan hingga tiba ditempat tujuan.
Ad. 1. Nonjudicial Case Study
Fokus penelitian pada tipe pendekatan nonjudical case study adalah penerapan
hukum normatif pada peristiwa hukum tertentu (contohnya kasus kontrak) samapi
berakhir tanpa terjadi konflik. Pemenuhan kewajiban dan hak (kontrak) telah
dilakukan sebagaimana mestinya. Walaupun terjadi konflik, pihak-pihak dapat
menyelesaikan sendiri secara baik, patut, atau layak. Dalam hal ini, tanggung jawab
kontarak (contact liability) sudah dipenuhi sesuai dengan ketentuan hukum normatif
yang tercantum dalam kontrak. Ini berarti hukum normatif telah diterapkan
sebagaimana mestinya dan tujuan telah dicapai oleh pihak-pihak.
Ad.2. Judical Case Sudy
Fokus penelitian pada tipe pendekatan judical case study adalah penerapan
hukum normatif pada peristiwa hukum tertentu yang menimbulkan konflik
kepentingan (cobflict of interest, namun tidak dapat diselesaikan oleh pihak-pihak
sendiri, tetapi penyelesaian melalui pengadilan (judical decision). Konflik
kepentingan terjadi dalam pelaksanaan ketentuan hukum normatif atau kontrak
karena wabprestasi (breach of contract), perbuatan melanggar hukum
(onrecfhtmatige daad, illegal act), dan keadaan memaksa (ovemacht, force majeur)
yang tidak dapat diseleasikan sendiri olrh pihak-pihak.
Untuk mengakhiri konflik kepentingan tersebut, satah satu atau kedua pihak
minta penyelesaian melalui pengadilan. Atas dasar permohonan, pengadilan
mengambil alih dan menerapkan hukum normatif secara benar dan adil bagi kedua
pihak. Dengan cara demikian, akan terjadi hukum buatan hakim melalui putusannya
(judge made law) sebagai terapan yang benar dan adil dari ketentuan hukum
normatif yang tercantum dalam kontrak atau dalam undang-undang.
76

Ad.3. Live Case Study


Fokus penelitian pada tipe pendekatan live case study adalah penerapan
ketentuan hukum normatif pada peristiwa hukum yang masih berlangsung atau
beluk selesai atau belum berakhir. Pada tipe pengekatan ini, peneliti melakukian
pengamatan (observation) langsung terhadap proses berlakunya hukum normatif
pada peristiwa tertentu, misalnya pada peristiwa pengakutan niaga yang sedang
berlangsung. Bahkan, pada tipe pendekatan ini, peneliti sendiri dapat menjadi
partisipan dalam proses pengangkutan niaga, sehingga penelitin dapat
mengumpulkan data berlakunya ketebtuan hukum normatif pada peristiwa
pengangkutan niaga sampai berakhir di tempat tujuan. Analisis yang dilakukan dapat
lebih akurat karena peneliti mengikuti langsung penerapan ketentuan normatif pada
peristiwa hukum itu.

D. PENELITIAN HUKUM EMPIRIS


Penelitian hukum empiris mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai
perilaku nyata (actual behavior), sebagai gejala sosial yang sifatnya tidak tertulis,
yang dialami setiap orang dalam hubungan hiduo bermasyarakat. Oleh karena itu,
penelitian hukum empiris disebut juga penelitian hukum sosiologis. Penelitian hukum
empiris tidak bertolak dari hukum positif tertulis (perundang-undangan) sebagai data
sekunder, tetapi dari perilaku nyata sebagai data primer yang diperoleh dari lokasi
penelitian lapanggan (field research). Perilaku nyata tersebut hidup dan berkembang
bebas seirama dengan kebutuhan masyarakata, ada yang sudah dipolakan melalui
putusan pengadilan (judge made law) dan ada pula yang dipolakan menurut adat
istiadat atau kebiasaan setempat.
Penelitian hukum empiris menggali pola perilaku yang hidup dalam
masyarakat sebagai gejala yuridis melalui ungkapan perilaku nyata (actual behavior)
yang dialami oleh anggota masyarakat. Perilaku nyata itu berfungsi ganda, yaitu
sebagai pola perbuatan yang dibenarkan, diterima, dan dihargai oleh masyarakat,
serta sekaligus menjadi bentuk normatif yang hidup dalam masyarakat. Perilaku itu
dibenarkan, diterima, dan dihargai oleh masyarakat karena tidak dilarang undang-
undang (statute law), tidak bertentangan dengan ketertiban umum (public order),
dan tidak pula bertentangan dengan tata susila masyarakat (social ethics).
77

Perilaku berpola ini umumnya terdapat dalam adat istiadat, kebiasaan, dan
kepatutan masyarakat berbagai etnis di Indonesia. Contohnya, antara lain :
1) Upacara kehamilan, kelahiran,perkawinan, dan kematian;
2) Pembagian harta waris menurut sistem waris masyarakat patrilineal;
3) Sistem bagi hasil penggarapan tanah dan sisitem gadai tanah;
4) Tawar-menawar dalam perdagangan dipasar tradisional;
5) Angkutan dengan angkot tanpa karcis/tiket; dan
6) Pembuatan perjanjian secara lisan.
Dengan kata lain, penelitian hukum empiris mengungkapan hukum yang
hidup (living law) dalam masyarakat melalui perbuatan yang dilakukan oleh
masyarakat. Perbuatan itu berfungsi ganda, yaitu sebagai pola terapan sekaligus
menjadi bentuk normative hukum yang hidup dan berlaku dalam masyarakat. 40
Bentuk-bentuk norma hukum positif tidak tertulis yang hidup dan berlaku
dalam masyarakat dapat diketahui melalu observasi dan pengkajian terhadap pola
perilaku yang terjadi dalam masyarakat. Dalam masyarakat semacam ini, hukum
kebiasaan (customary law) dan kepatutan (equity) yang sifatnya tidak tertulis
berfungsi dengan baik dan hidup serta berkembang seirama dengan perkembangan
kebutuhan masyarakat. Keadaan ini berlangsung terus secara turun menurun,
sehingga dihayati benar-benar oleh setiap anggota masyarakat yang bersangkutan .
Penelitian emperik berfokus pada :

Penelitian hukum empiris memfokus pada perilaku (behavior) yang dianut


dan/atau berkebang dalam masyarakat. Perilaku tersebut diterima dan dihargai oleh
masyarakat karena tiding dilarang undang-undang (statute law), tidak bertentangan
dengan ketertiban umum (public order), dan tidak pula bertentangan dengan moral
masyarakat (social ethics). Pada penelitian hukum empiris, hukumdikonsepkan
sebagai perilaku nyata (actual behavior) yang meliputi perbuatan dan akibatnya
dalam hubungan hidup bermasyarakat.
1. Hukum Adalah Perilaku
Dalam masyarakat yang menganut system hukum tidak tertulis (common law
system, customary law system), hukum adalah perilaku, berfungsinya hukum

40
. Ibid
78

bersamaan dengan terjadinya perilaku itu. Apabila peneliti ingin mengetahui hukum
yang berlaku, observasi dan lakukan pengkajian terhadap peristiwa hukum yang
menimbulkan perilaku itu, seperti peristiwa hukum jual beli, sewa-menyewa, dan
keagenan. Perilaku itu berfungsi ganda, yaitu sebagai hukum normatif dan sekaligus
sebagai terapannya. Dalam hal ini, ketentuan hukum normatif dan terapannya
menyatu dalam bentuk perilaku itu.
Pada penelitian hukum empiris yang berkembang dinegara-negara penganut
system hukum tidak tertulis (common law system, customary law system), prosedur
yang ditempuh mengikuti langkah-langkah sebagai berikut :
a. Menginventarisasi perilaku (behavior) yang terjadi;
b. Mengidentifikasi peristiwa hukum (legal fact) yang menjadi sumber perilaku;
dan
c. Menetapkan ketentuan normatif perilaku.
Berdasarkan langkah-langkah tersebut, dikemukakan contoh sebagai berikut;
perilaku hasil inventarisasi adalah penyerahan hak milik atas barang dan
pembayaran harga barang. Peristiwa hukum hasil identifikasi adalah “jual-beli”
karena intinya perbuatan penyerahan hak milik atas barang dan pembayaran harga
barang. Jadi, ketentuan normatif perilaku adalah setiap penjual wajib menyerahkan
hak milik atas barang dan setiap pembeli harus wajib membayar harga barang.
Secara skematis; perilaku  peristiwa hukum  ketentuan normatif.
Akan tetapi, pada penelitian hukum normatif-empiris adalah kebalikannya, prosedur
yang ditempuh adalah langkah-langkah sebagai berikut:
a. Menetapkan ketentuan normatif yang menjadi tolok ukur terapan;
b. Mengidentifikasi peristiwa hukum dan menerapkan ketentuan normatif; dan
c. Menginventarisasi perilaku hasil terapan atas peristiwa hukum.
Sama seperti contoh diatas, ketentuan normatif tolok ukur terapan adalah: “setiap
penjual wajib menyerahkan hak milik atas barang dan setiap pembeli wajib
membayar harga barang.” Ketentuan normatif ini diterapkan pada peristiwa hukum
jual beli seperti contoh diatas. Perilaku hasil terapan yang dapat diinventarisasi
adalah penyerahan hak milik atas barang dan pembayaran harga barang. Perilaku
hasil terapan ternyata sama dengan gambaran perilaku yang terdapat dalam
79

ketentuan normatif. Ini berarti ketentuan normatif telah diterapkan sebagaimana


mestinya pada peristiwa hukum tersebut.
Secara skematis: ketentuan normatif  peristiwa hukum  perilaku terapan
2. Kalsifikasi Perilaku
Perilaku yang menjadi fokus penelitian hukum empiris diklasifikasikan menjadi 3
(tiga) tipe perilaku, yaitu :
a. Perilaku yudisial (judicial behavior);
b. Perilaku nonyudisial (nonjudicial behavior); dan
c. Perilaku gabungan (combined behavior).
Perilaku yudisial disebut juga perilaku baku (standartdized behavior) yang dikenal
oleh semua anggota masyarakat karena umumnya sudah ditetapkan oleh atau
dibakukan melalui putusan pengadilan (judicial decision, precedent). Semua orang
wajib mematuhi putusan pengadilan karena di anggap adil dan benar.
Perilaku nonyudisial merupakan perilaku yang hidup dan berkembang sesuai
dengan kebutuhan masyarakat. Kesadaran hukumnya bergantung pada pihak-pihak
yang terlibat dalam peristiwa hukum yang bersangkutan. Apabila terjadi konflik yang
tidak dapat diselesaikan oleh pihak-pihak sendiri, kemudian dimintakan
penyelesaian melalui pengadilan, barulah pengadilan memberikan putusan yang
benar dan adil bagi pihak-pihak yang bersengketa. Dengan cara demikian, perilaku
nonyudisial berubah status menjadi perilaku yudisial/baku yang dipatuhi semua
orang.
Perilaku gabungan merupakan 2 (dua) perilaku yudisial dan nonyudisial yang
digabung menjadi objek penelitian hukum empiris pada waktu yang bersamaan.
Perilaku yudisial menjadi alat kontrol bagi perilaku non yudisial, artinya perilaku
nonyudisial yang bebas berkembang dalam masyarakat mengenai peristiwa hukum
yang sama tidak boleh menyimpang dari standart perilaku yang telah ditetapkan oleh
pengadilan (judicial decision), yang sifatnya merugikan orang lain atau masyarakat
banyak.
3. Yurisprudensi Indonesia
Salah satu peristiwa hukum yang tidak diatur dalam BW, tetapi hidup dan
berkembang dalam masyrakat Indonesia adalah peristiwa hukum sewa beli
(huurkoop). Karena Indonesia menganut system kodifikasi (hukum positif tertulis),
80

maka setiap peristiwa hukum yang terjadi dalam masyarakat selalu dicari dasar
hukumnya dalam kodifikasi (undang-undang) termasuk sewa beli. Pihak yang
menyerahkan barang mengatakan peristiwa hukum sewa beli adalah perjanjian jual
beli, sedangkan pihak yang membayar harga angsuran mengatakan peristiwa
hukum sewa beli adalah perjanjian sewa.
Sebelum angsuran dibayar lunas, terjadi force majeur yang mengakibatkan
barang objek perjanjian musnah. Pihak yang menyerahkan barang menuntut agar
harga angsuran dibayar lunas sampai angsuran terakhir. Alasannya menurut
ketentuan perjanjian jual beli sudah terjadi penyerahan, yakni hak milik sudah
berpindah kepada pembeli. Jika terjadi force majeur, risiko ditanggung pemilik
(pembeli). Konsenkuesinya, harga wajib dilunasi sampai angsuran terakhir.
Akan tetapi, pihak yang membayar harga angsuran tidak mau melunasi
angsuran yang masih tersisa. Alasannya menurut ketentuan perjanjian sewa, yang
berpindah itu bukan hak milik, melaikan hak menguasai (bezit) untuk menikmati
barang, sedangkan hak milik masih pada pihak yang menyewakan. Jika force
majeur, risiko tanggung jawab pihak yang menyewakan selaku pemilik barang.
Konsekuensinya pembayaran harga angsuran tidak wajib melunasi angsuran yang
masih tersisa. Peristiwa hukum sewa beli tidak diatur dalam BW atau undang-
undang lain, tetapi sebagai hukum tidak tertulis yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat. Peristiwa yang diatur dalam BW adalah perjanjian jual beli dan
perjanjian sewa, tetapi dalam BW tidak diatur jual sewa atau sewa beli (huurkoop).
Untuk menyelesaikan sengketa peristiwa hukum ini, kemudian diajukan
gugutan ke Pengadilan Negeri Surabaya dengan dasar gugatan perjanjian jual beli.
Pengadilan Negeri Surabaya dengan putusannya Nomor 263 Tahun 1950 pada
tanggal 5 Februari 1951 menyatakan bahwa perjanjian yang terjadi antara
penggugat dan tergugat itu adalah perjanjian sewa. Karena itu, permohonan
penggugat tidak berdasar sehingga tidak dapat diterima.
Karena tidak puas dengan putusan Pengadilan Negeri Surabaya tersebut,
penggugat naik banding ke Pengadilan Negeri Surabaya dengan dasar bahwa
Pengadilan Negeri Surabaya salah menerapkan hukum. Pengadilan Tinggi
Surabaya dengan putusan nomor 174 tahun 1951 pada tanggal 30 Agustus 1956
menyatakan bahwa perjanjian yang terjadi antara penggugat dan tergugat bukan
81

perjanjian sewa. Karena itu, dengan mengadili sendiri membatalkan putusan


Pengadilan Negeri Surabaya dan memutuskan bahwa perjanjian yang terjadi antara
penggugat pembanding dan tergugat terbanding adalah perjanjian sewa beli
(huurkoop, hirepurchase).
Pada perjanjian sewa beli, hak milik baru berpindah setelah angsuran terakhir
dilunasi walupun penyerahan barang sudah terjadi lebih dahulu. Sejak angsuran
terakhir lunas, secara otomatis hak milik berpindah tanpa perlu pembuatan
penyerahan lagi. Oleh karena itu, dalam kasus peristiwa hukum diatas, hak milik
masih pada pihak yang menyerahkan barang.n jika barang objek perjanjian musnah
atau hilang karena force majeur, risiko ditanggung pemilik sendiri. Pihak yang
membayar angsuran tidak wajib melunasi angsuran yang masih tersisa.
Peristiwa hukum sewa beli merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat
yang dibakukan melalui yurisprudensi. Yurisprudensi tersebut memperkaya
ketentuan hukum positif tertulis dalam BW. Karakteristik sewa beli adalah pada
pelunasan angsuran terakhir. Walaupun barang objek perjanjian sudah diserahkan
lebih dahulu, hak milik baru berpindah kepada pembeli sewa pada saat angsuran
terakhir dibayar lunas. Kebalikannya pada jual beli, hak milik berpindah pada saat
terjadi penyerahan walaupun pembayaran angsuran belum lunas.
Bagi penelitian hukum empiris atau suatu penelitian yang menguji tingkat
kepatuhan masyarakat terhadap suatu norma hukum, paling sedikit diperlukan dua
variable. Untuk menguji hubungan antara satu variable dengan variable yang lain,
sangat perlu untuk merumuskan hipotesis. Kerlinger menyebutkan bahwa hipotesis
yang baik harus memenuhi syarat-syarat, sebagai berikut:41
1. Menyatakan hubungan antara dua variabel.
2. Menyatakan kemungkinan untuk dapat diuji secara empiris, artinya variable
tersebut dapat diukur dan dinyatakan bagaimana hubungan antara variable
tersebut.
Selanjutnya William J. Goode dan Paul K. Hatt mengemukakan kriteria hipotesis
yang baik, yakni harus:
1. Mengandung konsep yang jelas.

41
Sumardjono (1989)). Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan.
82

2. Dapat diuji secara empiris.


3. Spesifik/terinci.
4. Dapat ditunjang dengan tehnik-tehnik yang ada.
5. Dapat dihubungkan dengan teori

D. Latihan/Diskusi
1. Peserta menjelaskan perbedaan antara metode penelitian normatif, normatif-
empirik dan empirik
2. Peserta menyusun sebuah rencana penelitian dan menetukan metodologinya
83

BAB V

PROSES PELAKSANAAN ANALISIS HUKUM

Indikator Keberhasilan:
Setelah mempelajari modul ini peserta diharapkan mampu melakukan analisis
hukum.

A. LIMA DEMENSI DALAM PELAKSANAAN ANALISIS HUKUM

Dalam melakukan analis hukum atas suatu kebijakan akan membutuhkan


petunjuk sebagai dasar untuk menganalisis. Untuk itu maka terdapat lima demensi
yang dipakai sebagai pemberi tanggapan atas analis hukum yang antara lain :.
1. KESESUAIAN ANTARA JENIS, HIERARKI DAN MATERI MUATAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Penilaian terhadap dimensi ini dilakukan untuk memastikan bahwa peraturan
perundang-undangan dimaksud sudah sesuai dengan hierarki peraturan
perundang-undangan. Norma hukum itu berjenjang dalam suatu hierarki tata
susunan, sehingga norma yang lebih rendah bersumber dan berdasar pada
norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi bersumber dan berdasar pada
norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma
yang tidak dapat ditelusuri lagi lebih lanjut yang berupa norma dasar
(grundnorm). Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (lex
superiori derogat legi inferior). Dalam sistem hukum Indonesia peraturan
perundang-undangan juga disusun berjenjang sebagaimana diatur dalam
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Dimensi penilaian ini hendak menegaskan
bahwa materi muatan yang terdapat di dalam masing-masing jenis peraturan
perundang-undangan seharusnya dapat dibedakan. Perbedaan tersebut dapat
dilihat dari cara perumusan normanya pada masing-masing jenis peraturan
peraturan perundang-undangan. Norma dalam peraturan perundang-undangan
84

pada jenjang yang semakin ke atas, seharusnya semakin abstrak, begitu juga
sebaliknya. Norma dalam peraturan perundang-undangan pada jenjang yang
semakin ke bawah bersifat aplikatif untuk langsung dilaksanakan, begitu juga
sebaliknya.
Dimensi penilaian ini ingin mereduksi peraturan perundang-undangan yang
norma aturannya tidak sesuai dengan jenis dan hierarkinya. Dengan kata lain,
dimensi penilaian ini ingin mengevaluasi kelayakan suatu pengaturan yang
dituangkan dalam suatu jenis peraturan perundang-undangan tertentu.
Hasilnya dituangkan dalam bentuk narasi, data, dan hasil analisis hukum dalam
dimensi kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan peraturan
perundang-undangan.

2. KEJELASAN RUMUSAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-


UNDANGAN
Setiap peraturan perundang-undangan harus disusun sesuai dengan teknik
penyusunan peraturan perundang-undangan, yang memperhatikan:
- sistematika,
- pilihan kata atau istilah,
- teknik penulisan,
- penggunaan bahasa peraturan perundang-undangan yang lugas dan
pasti, hemat kata, objektif dan menekan rasa subjektif,
- pembakuan makna kata, ungkapan atau istilah yang digunakan secara
konsisten,
- pemberian definisi atau batasan artian secara cermat, sehingga tidak
menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
Hasilnya dituangkan dalam bentuk berisi narasi, data, dan hasil analisis
hukum dalam dimensi kejelasan rumusan ketentuan peraturan perundang-
undangan
3. PENILAIAN TERHADAP MATERI MUATAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN
Penilaian ini dilakukan untuk memastikan peraturan perundang-undangan
dimaksud sudah sesuai dengan asas materi muatan sebagaimana yang diatur
85

dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan


Peraturan Perundang-undangan.
Hasilnya dituangkan dalam bentuk narasi, data, dan hasil analisis hukum dalam
dimensi penilaian terhadap materi muatan peraturan perundang-undangan.

4. POTENSI DISHARMONI KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-


UNDANGAN
Penilaian ini dilakukan dengan pendekatan normatif, terutama untuk
mengetahui adanya disharmoni pengaturan mengenai: 1) kewenangan, 2) hak
dan kewajiban, 3) perlindungan, dan 4) penegakan hukum.
Hasilnya dituangkan dalam bentuk narasi, data, dan hasil analisis hukum dalam
dimensi potensi disharmoni ketentuan peraturan perundang-undangan.
5. EFEKTIVITAS IMPLEMENTASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai
kejelasan tujuan yang hendak dicapai serta berdayaguna dan berhasilguna
sebagaimana dimaksud dalam asas pembentukan peraturan perundang-
undangan yang baik yang tercantum dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011. Penilaian ini perlu dilakukan untuk melihat sejauh mana manfaat
dari pembentukan suatu peraturan perundang-undangan sesuai dengan yang
diharapkan. Pengujian ini perlu didukung dengan data empiris yang terkait
dengan implementasi peraturan perundang-undangan tersebut. Hasilnya
dituangkan dalam bentuk narasi, data, dan hasil analisis hukum dalam dimensi
efektivitas implementasi peraturan perundang-undangan.42

B. PROSES ANALIS HUKUM


Dalam melakukan proses analis akan dilakukan dengan metode pendekatan
untuk mendapatkan argumentasi atau informasi atas masalah social yang timbul dari
dari suatu kebijakan yang diterapkan. Untuk itu perlu adanya alur konsep yang
diterapkan dalam membuat analis yang adalah sebagai berikut :

42
. Pusat Analisa dan Evaluasi Hukum, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan
HAM. 2017
86

a. Identifikasi Masalah :
Pada intinya merujuk pada kegiatan umtuk mengeksplorasi berbagai issu
atau masalah yang timbul, kemudian diangkat menjadi fokus analis. Pemilihan
masalah ini didasari beberapa pertimbangan karena bersifat aktual (sedang
menjadi perhatian masyarakat saat ini), berdampak luas dalam masyarakat yang
akan berdampak pada bergeraknya masyarakat. Dengan demikian identifikasi
masalah ini di katagorikan dalam 4 (empat) parameter yakni :
1. Adanya Faktor :
Apakah masalah yang akan diangkat merupakan faktor-faktor penentu dalam
mengatasi masalah lain yang lebih luas ataukah masalah yang ada tersebut
bersifat kausal yang dapat diperhitungkan
2. Adanya Dampak
Apakah masalah tersebut yang ditanggani membawa respon ah hukum
kalebijakan atau akan membawa manfaat kepada masyarakat luas dalam
peningkatan kesejateraan masyarakat. Selanjutnya apakah juga memberi
keuntungan masyarakat secara ekonomi dan sosial.
3. Adanya Kecenderungan
Apakah masalah yang ada sejalan dengan kecenderungan global dan
nasional yang sedang menjadi perhatian masyarakat.
4. adanya Nilai
Apakah masalah yang ada sesuai dengan nilai-nilai dan harapan-harapan
kultural yang berkembang pada masyarakat lokal dan apakah masalah
tersebut dapat diterima dan diakui keberadaannya dalam masyarakat.

b. Mengumpulkan Bukti Masalah


Kebijakan adalah sepengkat pernyataan strategis yang didukun oleh fakta,
oleh karenanya merupakan suatu yang relevan, dan akurat. Dalam mengumpulkan
bukti tersebut maka harus menyertakannya hasil dari sebuah penelitian primer
(sumber data).
87

c. Mengkaji Permasalahan
Para analis dapat mengidentifikasi penyebab atau faktor yang memberi
kontribusi terhadap masyarakat Mengatasi sebuah masalah membutuhkan
pengkajian yang mendalam dan aneka ragam sumber, sehingga dapat memperkaya
data dan informasi guna mendukung kebutuhan analisis. Memudahkan kita
menemukan alternatif solusi dengan pendekatan pembandingan semua variabel
agar dapat diukur pengaruh positif dan pengaruh negatifnya sebagai akibat dari
tindakan yang kita kerjakan atau fenomena yang terjadi.
Masalah telah membuat manusia terdorong untuk melakukan penelitian,
pengkajian atau analisis dalam rangka mengetahui fakta kebenaran atas sesuatu.
Dalam hal pengkajian, sumber-sumber valid dari hasil sebuah penelitian atau
pendapat seseorang, atau berupa buku-buku menjadi data dan informasi penting
yang dapat memperkaya kesimpulan dalam pengambilan keputusan.
Permasalahannya adalah keterbatasan sumber kajian atau teori yang mendukung,
sehingga berpengaruh pada kualitas kesimpulan dan akan melahirkan sebuah
keputusan yang sangat lemah.

d. Mengembangkan Alternatif Terbaik


Melihat pada permasalahan hukum yang ada maka pertama-tama akan
melihat alternatif dalam rangka untuk mencari solusi untuk mengatasi masalah yang
ada dalam masyarakat. maka ia dituntut mengembangkan berbagai alternative
sebelum sampai pada pilihan yang tepat. Dengan mengembangkan alternatif
merupakan pemecahan faktor-faktor yang menyumbat masalah yang ada.

e. Mengindentifikasi Manfaat
Manfaat adalah konsekuensi-konsekuensi kebijakan yang baik bagi
masyarakat atau sebagian besar anggota masyarakat. Konsekkuensi manfaat harus
bersifat kelihatan dan tidak kelihatan. Yang kelihatan mudah dapat diukur dalam
rupiah atau jumlah. Yang tidak kelihatan akan sulit untuk dapat diukur (misalnya
sebuah kebijakan dalam menerapkan kedisiplinan)
88

Untuk mengidentifikasi manfaat ini harus dinyatakan dalam sebuah kebijakan


yang dibuat atau diharapkan sehingga kemudian masyarakat akan merasakan
manfaat dari kebijakan yang ada.

f. Mengidentifikasi Biaya dan Kerugian


Biaya atau kerugian adalah konsekuensi kebijakan yang bersifat buruk atau
negative yang akan berdampak kepada masyarakat atau sebagian besar anggota
masyarakat seperti adanya beban pajak atau menurunya tingkat kelulusan di
sekolah dan lain-lain. Untuk itu maka identifikasi ini diharapkan berbentuk positif
tidak membebankan pada masyarakat

g. Analisis Pemangku Kepentingan


Bagi seorang analis harus mampu menerapkan teknis analisnya dan
menyakinkan pemangku kepentingan atas kebijakan yang dikeluarkan tidak
mempunyai unsur-unsur tertentu atau unsur politik yang dapat mempengaruhi
kepercayaan masyarakat. Analis trhadap pemangku kepentingan ini dimaksudkan
untuk membangun hubungan baik dengan masyarakat dalam menerapkan kebijakan
sekaligus melibatkan masyarakat apabila ikut merancang suatu kebijakan yang akan
dikeluarkan.
Menurut Allen dan Kilvington, pemangku kepentingan dalam melaksanakan
sebuah kebijakan atau program mempunyai dua jenis kepentingan stakeholder yakni
stakeholder primer yaitu masyarakat yang memiliki kepentingan langsung dengan
kebijakan dan stakeholder sekunder yaitu lembaga perantara dan pelaksanaan
dalam proses perumusan kebijakan dan implementasinya.43
Dalam kaitan dengan analisis hukum atas kebijakan, maka sangat perlu
memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi Karakteristik/Pengaruhnya Kemasyarakat
Identifikasi masalah artinya suatu proses mencari dan menemukan masalah.
Identifikasi masalah merupakan tahap permulaan untuk menguasai masalah dimana
suatu objek dalam suatu jalinan situasi tertentu dapat dikenali sebagai suatu

43
. Edi Suharto, Analis Kebijakan Publik, Penerbit CV. Alfabetha Bandung, Thn.2012. hal 80.
89

masalah. Identifikasi masalah sering dilakukan dengan mengajukan sejumlah


pernyataan, yang sifatnya membatasi ruang lingkup masalah. Dalam penelitian
hukum bahkan penelitian pada umumnya berlaku asas : “bukan kuantitas jawaban
yang menetukan mutu penelitian, melainkan kualitas jawaban”. Dengan demikian,
pembatasan masalah menjadi penting dalam penelitian, yaitu dengan
mengindetifikasi fator-faktor apa saja yang termasuk dalam lingkup masalah. Dalam
pembatasan ini perlu juga ditentukan dimana dan kapan penelitian akan dilakukan.
Berikut ini disajikan contoh bidang hukum keluarga (perceraian) bagaimana
cara mengidentifikasi masalah pembagian harta perkawinan akibat perceraian
didaerah Lampung, sehingga fokus masalah dan ruang lingkupnya menjadi jelas,
lokasi penelitian juga ditentukan.
1) Masih banyak terjadi perceraian di daerah Lampung karena kehidupan
rumah tangga yangbtidak harmonis, yang mengakibatkan pembagian
harta bersama suami istri
2) Rendahnya tingkat pemahaman suami istri terhadap ketentuan undang-
undang perkawinan dapat menimbulkan dampak negatif dalam
penguasaan, pemilikan, dan pembagian harta bersama akibat perceraian.
3) Kenyataan dalam masyarakat menunjukan bahwa yang paling dominan
menguasai hata dalam perkawinan adalah suami karena suami adalah
kepala keluarga, yanga akan berpengaruh terhadap pembagian harta
bersama dalam hal terjadi perceraian.
4) Asas hukum agama yang menjadi dasar undang-undang perkawinan
akan menimbulkan kecenderungan pada suami untuk berpegang pada
asas hukum agama dari pada asas kesamaan hak (emansipasi) dalam
pembagian harta bersama akibat perceraian.
5) Keadaan yang masih berpengaruh dalam masyarakat mengenai
pembagian harta bersama akibat perceraian adalah sistem pembagian
berdasarkan kesamaan hak dan ketidaksamaan hak akibat berlakunya
sistem hukum perkawinan yang berbeda dalam masyarakat, yaitu
menurut BW, hukum islam, dan hukum adat.
90

2. Mengatasi Konflik Kepentingan, Relasi


Konflik yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan
sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok)
dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan
menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Menurut Taquiri dalam
Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang
boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan
ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak
secara berterusan. Konflik dalam organisasi sering terjadi tidak simetris terjadi hanya
satu pihak yang sadar dan memberikan respon terhadap konflik tersebut. Atau, satu
pihak mempersepsikan adanya pihak lain yang telah atau akan menyerang secara
negatif (Robbins, 1993). Sedang menurut Pace & Faules (1994), Konflik merupakan
ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok
lain karena beberapa alasan.
Dalam pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua
atau lebih individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami. Dapat disimplukan
bahwa konflik adalah situasi dalam obyektifitas individu mungkin berada dibawah
sadar pada satu titik yang memotivasi seseorang untuk bertindak sesuai
kepentingan orang lain yang bukan kepentingan dirinya.
Adapun penyebab konflik (identifikasi konflik) adalah :
1. Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan
2. Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi
yang berbeda
3. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok
4. Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat
Dari konflik ini dapat muncul sebuah hasil (cara menyelesaikan konflik) sebagai
berikut :
1. meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup) yang
mengalami konflik dengan kelompok lain.
2. keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai.
3. perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam,
benci, saling curiga dll.
91

4. kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia.


5. dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik

3. Mengembangkan Strategi Yang Tepat Untuk Mengurangi Permasalahan


Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan dalam melakukan penelitian atas
permasalahan yang ada, dapat pula ditentukan strategi pendekatan (metode
pendekatan masalah). Dalam penelitian hukum, metode pendekatan masalah yang
dapat digunakan bergantung juga dari jenis penelitian hukumnya (penelitian hukum
normatif, penelitian hukum normatif-empiris, dan penelitian hukum empiris). Artinya,
apakah penelitian hukum yang dilakukan itu menggunakan data sekunder dan data
primer. Pada penelitian hukum normatif, data yang digunakan hanya data sekunder
dan pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan kepustakaan atau
dokumenter,dengan teknik analisis umumnya adalah legal content analysis. Pada
penelitian hukum normatif Satjipto Rahardjo menyebut pendekatan masalahnya
dengan “pendekatan normatif-analitis” karena pembahasannya bersifat analitis.
Data sekunder terdiri dari :
a. Bahan hukum primer (primary law material), sumbernya perundang-undangan,
naskah kontrak, dokumen hukum, dan arsip hukum.
b. Bahan hukum sekunder (secondary law material), sumbernya adalah buku
literatur hukum, jurnal penelitian hukum, laporan penelitian hukum, laporan
hukum media cetak atau media elektronik.
c. Bahan hukum tertier (tertiary law material), sumbernya adalah rancangan
undang-undang, kasus hukum, dan ensiklopedia.

C. ANALISIS BIDANG HUKUM


Dalam melaksanakan tugas dan fungsi sebagai analis hukum maka yang
dilakukan adalah bagaimana melakukan analisis diberbagai bidang hukum. Hal ini
merupakan piranti penting terkait dengan adanya kebijakan-kebijakan hukum yang
akan mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat. Analis hukum juga menyentuh
tumpang tindih kebijakan yang satu dengan yang lain, juga membantu mempertegas
substansi kebijakan yang dikeluarkan oleh suatu lembaga.
92

Untuk itulah sebagai seorang analis hukum akan melakukan analisis terhadap
bidang-bidang hukum, yang antara lain :
1. Analisis Bidang Politik, Hukum, Keamanan dan Pemerintahan
2. Analisis Bidang Ekonomi, Keuangan, Industri, Perdagangan dan Infrastruktur
3. Analisis Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup
4. Analisis Bidang Sosial Budaya
Dalam menganalis hukum diberbagai bidang akan didasarkan pada petunjuk
lima demensi sebagaimana yang dikatakan diatas sebagai parameter analisnya.

D. SISTIMATIKA PENULISAN ANALIS HUKUM


Walaupun dalam melakukan analisis atas kebijakan hukum yang diembankan
seorarng analis hukum, haruslah dapat memperhatikan sistematika penulisan :
1.Bab I Pendahuluan:
Memuat latar belakang masalah, masalah dan ruang lingkup, dan tujuan dan
manfaat penelitian.
2.Bab II Tinjauan Pustaka:
Memuat uraian mendalam tentang teori dan konsep serta pemikiran yang
mengarahkan peneliti untuk memecahkan masalah.
3.Bab III Metode Penelitian:
Memuat jenis dan tipe penelitian, pendekatan masalah, data dan sumber data,
pengumpulan dan pengolahan data, serta penganalisisan data.
4.Bab IV Hasil Pembahasan atau hasil analisis:
Memuat sistematika hasil pembahasan atau hasil analisi berdasarkan urutan
yang tertuang dalam lima demensi
5. Bab V. Rekomendasi hasil analisis.
6.Bab VI Penutup:
Memuat kesimpulan dan saran.
7.Daftar Pustaka
8.Lampiran-lampiran.
93

BAB VI

REKOMENDASI HASIL ANALISIS HUKUM

Indikator Keberhasilan:
Setelah mempelajari modul ini peserta diharapkan mampu menyusun rekomendasi.

Hasil akhir dari pelaksanaan analis bidang hukum adalah membuat rekomendasi
sebagai pertanggung jawaban dalam rangka membangun pembangunan hukum
yang lebih baik terutama pada regulasi yang dikeluarkan oleh para inisiator.
Rekomendasi tersebut dibuat dalam bentuk tabel instrument analis hukum yang
digambarkan sesuai lima dimensi bidang hukum sebagai berikut :

Tabel 1

Kesesuaian Antara Jenis, Hierarki, dan Materi Muatan

Peraturan Perundangan-undangan: (diisi dengan jenis, nomor, tahun, dan


nama Peraturan Perundangan-undangan)

NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI


YA TIDAK TETAP UBAH CABU
T
1 2 3 4 5 6 7 8

Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

1 Mengatur lebih lanjut


ketentuan UUD NRI Tahun
1945, yang meliputi:

1. HAM

2. Hak dan kewajiban


warga Negara
3. Pelaksanaan dan
penegakan kedaulatan
Negara serta
pembagian kekuasaan
Negara
94

NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI


YA TIDAK TETAP UBAH CABU
T
1 2 3 4 5 6 7 8

4. Wilayah Negara dan


pembagian daerah

5. Kewarganegaraan dan
kependudukan
6. Keuangan Negara

2 Perintah Undang-Undang
untuk diatur dengan
Undang-Undang
3 Pengaturan mengenai
kewenangan absolut
Pemerintah Pusat
4 Tindak lanjut Putusan MK

Peraturan Pemerintah

1 Melaksanakan ketentuan
Undang-undang
(diperintahkan secara
tegas)
2 Melaksanakan ketentuan
Undang-Undang sepanjang
diperlukan (tidak
diperintahkan secara tegas)
3 Tindak lanjut Putusan MA

Peraturan Presiden

1 Melaksanakan lebih lanjut


perintah Undang-Undang

2 Melaksanakan lebih lanjut


perintah Peraturan
Pemerintah
3 Untuk melaksanakan
penyelenggaraan
kekuasaan pemerintahan
4 Tindak lanjut Putusan MA

Peraturan Daerah
95

NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI


YA TIDAK TETAP UBAH CABU
T
1 2 3 4 5 6 7 8

1 Penyelenggaraan otonomi
daerah (kewenangan
atributif)
2 Penyelenggaraan tugas
pembantuan (kewenangan
delegatif)
3 Penjabaran lebih lanjut dari
PERATURAN
PERUNDANGAN-
UNDANGAN yang lebih
tinggi (kewenangan
delegatif)
4 Tindak lanjut Putusan MA
dan Keputusan Menteri

Petunjuk pengisian:

- Formulir digunakan untuk semua jenis Peraturan Perundangan-undangan;


- Kolom 1 nomor urut;
- Kolom 2 indikator;
- Kolom 3 diisi dengan tanda baca centang (√) jika sesuai dengan indikator;
- Kolom 4 diisi dengan tanda baca centang (√) jika tidak sesuai dengan indikator;
- Kolom 5 diisi dengan uraian mengenai analisis terhadap pernyataan “ya/tidak” pada
kolom 3 dan 4;
- Kolom 6 diisi dengan tanda baca centang (√) jika ketentuan tersebut
direkomendasikan untuk tetap;
- Kolom 7 diisi dengan tanda baca centang (√) jika ketentuan tersebut
direkomendasikan untuk diubah;
- Kolom 8 diisi dengan tanda baca centang (√) jika ketentuan tersebut
direkomendasikan untuk dicabut.
96

Tabel 2

Kejelasan Rumusan

Peraturan Perundangan-undangan: (diisi dengan jenis, nomor, tahun, dan


nama Peraturan Perundangan-undangan)

NO PASAL KETERKAITAN DENGAN ANALISIS REKOMENDSI


ASAS INDIKATOR TETAP UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

Dst

Petunjuk pengisian:

- Formulir dipergunakan untuk setiap jenis Peraturan Perundangan-undangan;


- Kolom 1 diisi dengan nomor urut;
- Kolom 2 diisi dengan Pasal (secara berurutan);
- Kolom 3 diisi dengan asas yang dijiwai norma (lihat: tabel indicator asas). Khusus
untuk pengisian asas formil ttg kejelasan rumusan, cantumkan hanya Pasal yang
bermasalah;
- Kolom 4 diisi dengan indikator dengan melihat pada tabel indikator lampiran (lihat:
table indikator asas). Khusus untuk pengisian asas formil ttg kejelasan rumusan,
cantumkan hanya Pasal yang bermasalah;
- Kolom 5 diisi dengan analisis dan/atau catatan;
- Kolom 6 diisi dengan tanda (√) jika Pasal tersebut direkomendasikan untuk tetap
dipertahankan;
- Kolom 7 diisi dengan tanda (√) jika Pasal tersebut direkomendasikan untuk diUBAH;
- Kolom 8 diisi dengan tanda (√) jika Pasal tersebut direkomendasikan untuk dicabut.
97

Tabel 3

Indikator Kejelasan Rumusan

Peraturan Perundangan-undangan: (diisi dengan jenis, nomor, tahun, dan


nama Peraturan Perundangan-undangan)

ASAS No. INDIKATOR

Kejelasan Rumusan 1. Kesesuaian dengan sistematika dan teknik penyusunan Peraturan Perundangan-
undangan

2. Konsistensi (antar ketentuan)

3. Kesesuaian dengan tujuan penyusunan Peraturan Perundangan-undangan


98

Tabel 4

Materi Muatan

Peraturan Perundangan-undangan: (diisi dengan jenis, nomor, tahun, dan


nama Peraturan Perundangan-undangan)

NO PASAL KETERKAITAN DENGAN ANALISIS REKOMENDSI


ASAS INDIKATOR TETAP UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

Dst

Petunjuk pengisian:

- Formulir dipergunakan untuk setiap jenis Peraturan Perundangan-undangan;


- Kolom 1 diisi dengan nomor urut;
- Kolom 2 diisi dengan Pasal (secara berurutan);
- Kolom 3 diisi dengan asas yang dijiwai norma (lihat: tabel indicator asas). Khusus
untuk pengisian asas formil ttg kejelasan rumusan, cantumkan hanya Pasal yang
bermasalah;
- Kolom 4 diisi dengan indikator dengan melihat pada tabel indikator lampiran (lihat:
table indikator asas). Khusus untuk pengisian asas formil ttg kejelasan rumusan,
cantumkan hanya Pasal yang bermasalah;
- Kolom 5 diisi dengan analisis dan/atau catatan;
- Kolom 6 diisi dengan tanda (√) jika Pasal tersebut direkomendasikan untuk tetap
dipertahankan;
- Kolom 7 diisi dengan tanda (√) jika Pasal tersebut direkomendasikan untuk diUBAH;
- Kolom 8 diisi dengan tanda (√) jika Pasal tersebut direkomendasikan untuk dicabut.
99

Tabel 5

Indikator Materi Muatan

ASAS No. INDIKATOR


Pengayoman 1. Jaminan terhadap perlindungan masyarakat, misalnya kelompok
rentan, kelompok
2. Minoritas
Jaminan terhadap keberlanjutan generasi kini dan generasi yang
3. akan dating
Jaminan terhadap ketentraman masyarakat
Kemanusiaan 1. Perlindungan, Pemajuan, Penegakan, dan/atau Pemenuhan HAM
(UUD NRI Tahun
2. 1945)
Pengakuan pada hak minoritas
3. Jaminan terhadap keikutsertaan masyarakat lokal
Kebangsaan 1. Pembatasan keikutsertaan pihak asing
2. Peningkatan kemandirian bangsa
3. Peningkatan kesejahteraan bangsa
4. Pengutamaan kepemilikan dan peranan nasional
1. Jaminan terhadap akses informasi publik dalam rangka
Kekeluargaan 2. pengambilan keputusan
Jaminan terhadap pemberian peluang kepada masyarakat dalam
memberikan
3. pendapat
Kemerdekaanterhadap pengambilan
berserikat keputusan
dan berkumpul
4. Jaminan kepada masyarakat untuk memberikan penilaian proses
politik dan
5. Pemerintahan
Jaminan terhadap sistem kerja yang kooperatif dan kolaboratif
6. Jaminan terhadap pelaksanaan musyawarah untuk mencapai
mufakat dalam
Kenusantaraan pengambilan keputusan
1. Pengedepanan Kepentingan nasional
100

ASAS No. INDIKATOR


2. Pengedepanan kepemilikan dan keikutsertaan nasional
3. Pembagian kewenangan antar sector
4. Pembagian kewenangan Pusat dan Daerah
Bhineka Tunggal Ika 1. Pengakuan dan perlindungan nilai-nilai budaya lokal (kearifan
2. lokal)
Menjamin keterlibatan masyarakat hukum adat.
Keadilan 1. Peluang yang sama bagi setiap warga negara terhadap akses
pemanfaatan sumber
2. Daya
Adanya penggantian kerugian kepada masyarakat terkena
dampak negative
3. Menjamin keterlibatan masyarakat marginal lainnya.
4. Adanya kebijakan yang berpihak pada masyarakat daerah
Kesamaan Kedudukan 1. terpencil.
Jaminan keterlibatan masyarakat (termasuk masyarakat hukum
Dalam Hukum Dan adat) dalam
Pemerintahan 2. mengambil kebijakan
Tidak ditujukan kepada suatu kelompok tertentu
3. Tidak ada diskriminasi, baik secara eksplisit, maupun implisit
4. (dampak/efek)
Menjamin keterlibatan perempuan.
Ketertiban Dan Kepastian 1. Kejelasan aturan mengenai koordinasi
Hukum 2. Kejelasan aturan dalam penyelesaian konflik
3. Kejelasan sanksi terhadap pelanggaran
4. Kejelasan aturan mengenai pihak yang melakukan pengawasan
5. dan penegakan
Aturan hokumberdasarkan kajian ilmiah.
dan kebijakan
6. Tindakan atas peraturan-peraturan yang bertentangan atau
7. tumpang tindih.
Memberikan pedoman hubungan tata kerja.
8. Transparansi/ keterbukaan.
9. Akuntabilitas pengelolaan.
Keseimbangan, 1. Mengedepankan fungsi kepentingan umum
Keserasian, Dan 2. Mengedepankan prinsip kehati-hatian
Keselarasan Pembatasan kepemilikan individu dan korporasi
3.
4. Pembatasan kepentingan individu dan korporasi.

Keterangan:
- Indikator dapat ditambahkan atau disesuaikan dengan konteks Peraturan Perundangan -
undangan yang dianalisis;
- Dapat ditambahkan Asas Materiil khusus (sebagaimana Pasal 6 ayat (2)), disesuaikan
dengan konteks PERATURAN PERUNDANGAN - UNDANGAN yang dianalisis.
101

Tabel 6

Potensi Disharmoni Pengaturan

Peraturan Perundangan-undangan : (diisi dengan jenis, nomor, tahun, dan


nama Peraturan Perundangan-undangan)

Isu : (diisi dengan isu yang sedang dianalisis, contoh: illegal fishing)

ASPEK NO. PASAL TEMUAN ANALISIS REKOMENDASI

PERATURAN PASAL TETAP UBAH CABUT

PERUNDANG
AN-
UNDANGAN

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Kewenangan 1

dst

Hak 1

dst

Kewajiban 1

dst

Perlindungan 1

2
102

ASPEK NO. PASAL TEMUAN ANALISIS REKOMENDASI

PERATURAN PASAL TETAP UBAH CABUT

PERUNDANG
AN-
UNDANGAN

1 2 3 4 5 6 7 8 9

dst

Penegakan 1
hukum

dst

Petunjuk pengisian:

- Kolom 1 diisi dengan aspek yang akan dianalisis, yaitu kewenangan, hak, kewajiban,
perlindungan dan penegakan hukum;

- Kolom 2 diisi dengan nomor urut Pasal-Pasal yang dianalisis;

- Kolom 3 diisi dengan Pasal yang dianalisis;

- Kolom 4 diisi dengan jenis, nomor, nama dan tahun Peraturan Perundangan-undangan
lain, yang terkait dengan aspek dan Pasal PERATURAN PERUNDANGAN-UNDANGAN yang
sedang dianalisis;

- Kolom 5 diisi dengan Pasal dari PERATURAN PERUNDANGAN-UNDANGAN pada kolom 4


yang terkait dengan aspek yang dianalisis;

- Kolom 6 diisi dengan analisis terhadap ketentuan-ketentuan yang disebutkan dalam


kolom 3 dan 5;

- Kolom 7 diisi dengan tanda (√) jika Pasal tersebut direkomendasikan untuk tetap
dipertahankan;
- Kolom 8 diisi dengan tanda (√) jika Pasal tersebut direkomendasikan untuk diUBAH;
- Kolom 9 diisi dengan tanda (√) jika Pasal tersebut direkomendasikan untuk dicabut.
103

Tabel 7

Implementasi Peraturan Perundang-undangan

Peraturan Perundangan-undangan: (diisi dengan jenis, no, tahun, dan nama


Peraturan Perundangan-undangan)

Permasalahan Penyebab Permasalahan Rekomendasi

Analisis

1 2 3 4 5

Materi Hukum

Tidak operasional

Masalah I Menimbulkan
beban/kewajiban yang
………
berlebihan ;

tidak relevan dengan


situasi saat ini.

Tidak ada pengaturan


(kekosongan hukum);

DLL…

Masalah 2 Dst… … …

Kelembagaan dan
Aparatur

Aspek Tumpang Tindih


Kewenangan ;
Masalah I
Aspek Koordinasi
..............................
Lembaga ;

Aspek Sumber Daya


Manusia ;

Aspek Sarana Prasarana ;


dan/atau
104

Permasalahan Penyebab Permasalahan Rekomendasi

Analisis

1 2 3 4 5

Aspek Tata Organisasi ;

Dll.

Masalah 2 Dst … …

Budaya Hukum
Masyarakat

Aspek Pemahaman
Masyarakat
Masalah I
Aspek Kepatuhan
Masyarakat

Aspek Akses Informasi


Masyarakat

Aspek Penegakan hukum

Aspek Partisipasi
Masyarakat

Dll…

Masalah 2 Dst… …

Pelayanan Hukum

Aspek Standar
Operasional Pelaksana
Masalah I
Aspek Teknologi
Penunjang Pelayanan

Aspek SDM (kualitas dan


kuantitas)

Aspek Etika Pelayanan

Aspek Informasi Publik


105

Permasalahan Penyebab Permasalahan Rekomendasi

Analisis

1 2 3 4 5

Aspek Publik Complain

Aspek Pengawasan
Internal;

Aspek Biaya dan Waktu

Dll…

Masalah 2 Dst… …

Petunjuk Pengisian:
- Kolom 1 diisi dengan uraian masalah (masing-masing aspek dapat berisi lebih dari
satu masalah);
- Kolom 2 diisi dengan tanda (√) terhadap penilaian (justifikasi) yang dipilih;
- Kolom 3 diisi dengan penilaian (justifikasi) terhadap masalah (list pernyataan dapat
ditambahkan jika diperukan);
- Kolom 4 diisi dengan ringkasan analisis dan catatan-catatan penting;
- Kolom 5 diisi dengan rekomendasi terhadap ketentuan yang dianalisis.
106

BAB VII

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Modul ini telah menyajikan beberapa konsep dasar mengenai analis
hukum, analis hukum ini dilakukan dengan melakukan beberapa proses
tahapan-tahapan berpikir untuk dapat mencari solusi atas adanya kebijakan
yang bermasalah adanya tumpang tindih kebijakan, disharmonisasi aturan,
adanya kebutuhan yang dipaksakan kepada masyarakat, ataupun elemen-
elemen lainnya yang mempunyai kelemahan dalam kebijakan yang
dikeluarkan dan merugikan masyarakat.
Dari modul ini sebuah ringkasan dapat dilakukan untuk menelaah
kebutuhan dalam merumuskan kebijakan dibidang hukum, pemikiran analis
sangat penting untuk memperbaharui suatu kebijakan yang dianggap belum
bermanfaat kepada banyak orang yang kemudian dapat mencari suatu
rumusan untuk menjadi suatu hasil yang bermanfaat dan berguna bagi
masyarakat maupun lembaga.
Analis hukum membutuhkan rumusan-rumusan yang akan dikaji dalam
penataan sistem hukum yakni subtansi, struktur dan budaya dalam rangka
membagun hukum yang pasti kepada masyarakat
Rumusan untuk melakukan analisis terhadap bidang-bidang hukum
tidak akan terpisahkan dari adanya strategi perbaikan dalam merumuskan
kebijakan seperti merumuskan norma, asas-asas, teori hukum dari para
pakar yang dipakai sebagai telahaan analis atas berjalannya hukum, metode
penelitian untuk mengukur variable capaian yang berupa data untuk
mengidentifikasi masalah yang ada serta proses pelaksanan melakukan
penganalisis.
107

B. Tindak Lanjut

Untuk dapat memahami modul Analis Hukum secara komprehensif, pengajar


diminta untuk menyampaikan materi secara interaktif dan mampu mengajak
peserta untuk berdiskusi dalam kelompok-kelompok diskusi, sehingga peserta
diharapkan mampu menganalisis kebijakan di bidang hukum dan menyusun
rekomendasinya untuk diimplementasikan di tempat tugas. Untuk menunjang
pemahaman, peserta dapat mempelajari referensi pembelajaran di luar modul
terkait dengan permasalahan terkait tugas dan fungsi di lapangan selaku analis
hukum.
Peserta diharapkan secara aktif membaca isi modul Analis Hukum,
berdiskusi, mengerjakan latihan, dan melaksanakan kegiatan pembelajaran,
baik dengan dukungan belajar oleh Widyaiswara/Pengajar atau pembelajaran
mandiri yang dilakukan oleh Peserta, baik secara mandiri maupun berkelompok
(peer group study).
108

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku:

Assiddiqie, Jimly & M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta:
Konstitusi Press, 2006

____________, “Tata Urut Perundang-Undangan dan Problematika Peraturan


Daerah” Makalah yang disampaikan dalam rangka Lokakarya Anggota
DPRD Se-Indonesia, di selenggarakan di Jakarta oleh LP3HET, Jum’at 22
Oktober 2000.

Attamimi, A.Hamid, Peranan Keputusan Presiden RI Dalam Penyelenggaraan


Pemerintahan Negara (Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden
Yang berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita VI),
Disertasi Doktor, Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990

Bakir, Herman, Asas Hukum dan Aspek Galiannya , Jakarta: Magister Ilmu Hukum
Universitas Tarumanegara, 2004

Badan Pembinaan Hukum Nasional, Pedoman Analisis dan Evaluasi Hukum, 2017

Djojosuroto, Kinayati, & M.L.A Sumaryati., Prinsip-prinsip Penelitian Bahasa dan


Sastra. Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia, 2004

Hiareij, Eddy O.S., Hand Out Mata Kuliah Teori Hukum Semester Ganjil 2010/2011,
Yogyakarta: Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada.

Huda, Ni’matul dan R.Nazriyah, Teori dan Pengujian Peraturan Perundang-


undangan, Bandung: Nusa Media, 2011

Huijbers, Theo, Filsafat Hukum , Yogyakarta: Kanisius, 1990

Ibrahim, Jhony, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang:


Bayumedia Publishing, 2006

Kelsen, Hans, Pengantar Teori Hukum Murni, Bandung:Nusa Media, 2010

__________, Teori Hukum Murni : Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif-Deskriftif,


Jakarta: Rimdi Press, 1995
109

Kusumaatmadja,Mochtar, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit PT.Alumni,


Bandung, 2002

Manan, Bagir, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Jakarta: Ind-Hill.Co,


Jakarta, 1992

___________, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta: FH-UII Press, 2004

Mertokusumo, Sudikno, Penemuan Hukum (sebuah pengantar), Yogyakarta: Liberty,


2006

Moleong, Lexy.J.. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja


Rosdakarya, 2002

Muhammad, Abdulkdir, Hukum dan Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Citra Aditya
Bakti.2004.

Pantje Astawa, I Gde dan Suprin Na’a, Dinamika Hukum dan Imu Perundang-
undangan, Bandung: PT. Alumni, 2008

Simanjuntak, Marsillam, Pandangan Negara Integralistik, Jakarta:Garfiti,1997

Soeprapto, Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan Dasar-dasar dan


Pembentukannya, Kanisius:Yogyakarta, 1998

____________., Ilmu Perundang-undangan. Jenis, Fungsi dan Materi Muatan ,


(Kanisius: Yogyakarta) 2011

Sumardjono, Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, 1989

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, danR&D.


Bandung: Alfabeta, 2009

Peraturan Perundang-undangan

Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


(sebelum dan sesudah amandemen).

_____________, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi


Pemerintahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5601).

_____________, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan


Peraturan Perundang-undangan, Lembaran Negara Republik
110

Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara


Republik Indonesia Nomor 5234.

_____________, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan


Peraturan Perundang-undangan Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4389.

______________, Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan


Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 199.

______________, Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 29 Tahun 2015


tentang Organisasi dan tata Kerja Kementerian Hukum dan HAM
Republik Indonesia Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 1473.

______________, Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 7 Tahun 2015


tentang Rencana Strategis Kementerian Hukum dan HAM Reppublik
Indonesia Tahun 2015-2019, Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 653.

______________, Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 28 Tahun 2014


tentang Organisasi dan tata Kerja Kantor Wilayah Kementerian Hukum
dan HAM, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
1698.

Anda mungkin juga menyukai