Anda di halaman 1dari 38

Oleh Kelompok 3

Dyah Ristanti
Hafida Yumna Huwaida
Febriani Nurul Kholifah
Rizka Khawari Aulia
Rudi Arifin
Sigit Hendriawan Eko P.
Muhimatul Ummah
Nur Risca Azizah
 patriarki berasal dari kata
patriarkat, berarti struktur yang
menempatkan peran laki-laki
sebagai penguasa tunggal, sentral,
dan segala-galanya.

 Sistem patriarki yang mendominasi


kebudayaan masyarakat
menyebabkan adanya kesenjangan
dan ketidakadilan gender yang
mempengaruhi hingga ke berbagai
aspek kegiatan manusia
Sistem sosial
budaya di
Indonesia:
dominasi sistem
patriarki,

variasi
perbedaan
peran gender

Masih ditemui adanya pembatasan adat dan norma masyarakat pada perilaku
perempuan, yang diawali dari pelabelan atau stereotipe atau sub-ordinasi
(penomorduaan) terhadap perempuan
 Laki-laki memiliki peran sebagai kontrol utama di dalam
masyarakat
 Sejak masa lampau, budaya masyarakat di dunia telah
menempatkan laki-laki pada hierarki teratas
 Sistem masyarakat Jawa
yang patrilineal, yaitu
hubungan keluarga yang
didasarkan pada garis
ayah/laki-laki.

 Anak laki-laki dalam


masyarakat Jawa adalah
segalanya, ada kebanggan
tersendiri ketika memiliki
anak laki-laki.
 Perempuan Jawa yang terbatasi dengan nilai-

nilai patriarkhi yang harus menurut nasehat

 Perempuan dianggap konco wingking yang

kerjanya di dapur, sumur, dan kasur yang

bisanya hanya masak (memasak),

macak (dandan), manak (melahirkan).

 Jarang diikutkan dalam membuat keputusan

besar dalam keluarganya, dianggap tidak

memiliki hak dan kecakapan dalam hal

tersebut.

 Jika pun perempuan mengeluarkan

pendapatnya, bisa-bisa balik dicela kamu itu

tidak tahu apa-apa, perempuan tidak usah

ikut campur
 Segala keputusan yang berkait
dengan diri perempuan seakan-
akan diputuskan oleh laki-laki
entah ayahnya, pamanya,
suaminya, ataupun saudara laki-
lakinya.
 hubungan antara suami dan istri
yang tergambar dalam nilai-nilai
patriarkhi budaya Jawa  Swarga
manut, neraka tumut(surga dan
neraka ikut suami)
 Suami bisa dianggap wakil dari
dewa, jadi apa yang dikatakan
harus dituruti
Kondisi dan Pandangan Budaya Masyarakat
Pantai Utara (Pantura) Jawa Barat Terhadap
Perempuan

 Di Indramayu dikenal dengan tradisi kawin muda.


 Masyarakat Pantura Jawa Barat memandang anak
sebagai harta/aset keluarga, terutama sangat berlaku
bagi anak perempuan.
 Ungkapan:
“Anak laki-laki merupakan kebanggaan keluarga,
sedangkan anak perempuan merupakan sumber
rezeki.”
Sistem kekerabatan dan Gender dalam Budaya
Masyarakat Aceh

 Bentuk kekerabatan masyarakat Aceh adalah keluarga


inti dengan prinsip keturunan laki-laki (patriarki).
 Sistem perkawinan yang berlaku di sebagian
masyarakat Aceh adalah eksogami merge, yaitu
mencari jodoh dari luar merge sendiri.
 Setelah menikah, berlaku aturan virilokal, yaitu
pasangan menetap di kediaman keluarga laki-laki.
Sistem kekerabatan dan Gender dalam Budaya
Masyarakat Aceh

 Garis keturunan diperhitungkan berdasarkan prinsip


bilateral, sedangkan adat menetap sesudah nikah
adalah uxorilokal (tinggal dalam lingkungan keluarga
pihak perempuan).
 Masyarakat Aceh Gayo, garis keturunan ditarik
berdasarkan prinsip patrilineal.
 Masyarakat Aceh Tamiang digunakan prinsip patrilineal,
yaitu menarik garis keturunan berdasarkan garis laki-
laki. Adat menetap sesudah menikah yang umum
dilakukan adalah adat matrilokal
Pandangan Gender dalam Budaya Suku Batak
Toba

 Masyarakat Batak Toba didasari atas garis keturunan


patriarkal.
 Masyarakat Batak Toba sangat menjunjung tinggi tradisi
patriarkal dengan menempatkan posisi perempuan
sangat dihargai apabila mampu melahirkan anak laki-
laki dan dianggap rendah apabila tidak melahirkan anak
laki-laki karena tidak dapat mengabadikan marga.
Pandangan Gender dalam Budaya Suku Batak
Toba

 Posisi perempuan dalam masyarakat Batak Toba sebagai pihak yang dibeli yang
terlihat pada upacara perkawinan.
 Posisi perempuan dalam hak waris: bila seseorang meninggal tanpa
meninggalkan anak laki-laki, maka hak waris jatuh ke tangan saudara laki-laki
yang meninggal. Namun demikian dalam praktik kehidupan keluarga Batak,
anak perempuan memperoleh: tanah (Hauma pauseang), nasi siang (Indahan
Arian), warisan dari kakek (Dondon Tua), dan tanah sekadar (Hauma Punsu
Tali). Apabila perempuan tidak memiliki saudara laki-laki, maka perempuan
tersebut berhak untuk mendapat harta warisan dari orangtuanya, kecuali
terhadap barang-barang pusaka yang diterima dari kakeknya.
Pandangan Gender dalam Budaya Suku Batak
Toba

 Perempuan dianggap lebih rendah daripada laki-laki, dan perempuan bukan


merupaka individu yang bebas dan otonom, namun sebagai sub-ordinat atau
perpanjangan tangan laki-laki.
 Sistem patriarki yang ada di masyarakat Batak tidak membuat peran
perempuan di Suku Batak tidak penting.
Pandangan Gender dalam Budaya Suku
Minangkabau

 Masyarakat Minangkabau menetapkan silsilah keturunan berdasarkan garis ibu


yang disebut sistem matrilineal.
 Klasifikasi peran dalam adat dan budaya masyarakat Minangkabau: sosial
kemasyarakatan dan penentuan kepala masyarakat hukum adat yang disebut
Penghulu dan Datuk didominasi oleh kaum laki-laki.
 Sistem “matrilocal” atau lazim disebut dengan sistem “uxorilocal” yang
menetapkan bahwa suami bermukim atau menetap disekitar pusat kediaman
kaum kerabat istri, atau didalam lingkungan kekerabatan istri
Pandangan Gender dalam Budaya Suku
Minangkabau

 Apabila terjadi perceraian, maka suami harus pergi dari rumah istrinya,
sedangkan istrinya tetap tinggal dirumah kediamannya bersama anak-anaknya
sebagaimana telah diatur hukum adat.
 Apabila istrinya meninggal dunia, maka kewajiban keluarga pihak suami untuk
segera menjemput suami yang sudah menjadi duda untuk dibawa kembali ke
dalam lingkungan sukunya atau kembali ke kampung halamannya.
Pandangan Gender dalam Budaya Suku
Minangkabau

 Sistem kekuasanya baik formal maupun non formal masih didominasi oleh
kelompok laki-laki. Sebagai contoh mamak memimpin dalam rumahtangga
saparuik (se-ibu). Sedangkan Datuk memegang kekuasan dalam wilayah satu
kaumnya.
Contoh Posisi Perempuan dalam Konteks Budaya

Pendidikan diutamakan untuk Laki-laki tabu melakukan pekerjaan


laki-laki daripada perempuan domestik seperti cuci piring, cuci
baju dan memasak, karena itu
“pekerjaan perempuan”.
Perempuan sering dilekatkan Peran laki-laki sebagai pemimpin
pada profesi tertentu seperti keluarga dan tulang punggung
perawat, sekretaris, guru TK keluarga
dan sejenisnya.
Laki-laki sering dilekatkan pada
profesi direktur, pilot, dokter dan
lain-lain.
Laki-laki tidak boleh mempunyai istri
yang mempunyai pendidikan dan
kedudukan sosial yang lebih tinggi
dari dirinya
Contoh Posisi Perempuan dalam Konteks Budaya
Perempuan adalah simbol dari eksistensi harmonisasi rumahtangga,
keterjaminan kualitas sumberdaya manusia anak , dan keterjaminan
pengaturan rumah dan ketersediaan pangan keluarga
Posisi perempuan dalam pengambilan keputusan yang berhubungan
dengan kepemilikan aset, penentuan pendidikan anak, peminjaman
kredit dan hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan suami adalah
lemah
Posisi perempuan dalam pembagian kerja juga lemah.
Posisi perempuan dalam manajemen keuangan keluarga
(perencanaan, penggunaan dan pengendalian keuangan) adalah
lemah
Pada umumnya rata-rata lama pendidikan yang ditempuh
perempuan adalah lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata lama
pendidikan yang ditempuh laki-laki
Posisi perempuan dalam melindungi kesehatan reproduksi juga
lemah
Pandangan Gender dalam Budaya Suku Sunda

Masyarakat Sunda umumnya bersifat matrilokalitas


yaitu pasangan setelah menikah tinggal di keluarga
pihak perempuan apabila sudah menikah.
Tradisi merantau kurang berkembang: Bengkung
ngariung bongkok ngaronyok yang artinya ”lebih
baik kumpul bersama keluarga daripada merantau
ke daerah tetangga”.
Peran perempuan sering termarjinalkan: “Awéwé
mah dulang tinandé” , dan “awéwé mah tara cari
ka Batawi, nya cari ngan ti lalaki alias”, “nu geulis
jadi werejit nu lenjang jadi baruang”.
Pandangan Gender dalam Budaya Suku Madura

Suku Madura didasari oleh sitem patriarki dengan


menempatkan peran perempuan yang sudah
menikah sebagai ibu rumahtangga, sekaligus
pengasuh dan pembimbing anak-anaknya.
Posisi perempuan Madura tetap menggantungkan
psikologisnya kepada keluarga: tidak diperbolehkan
mengambil keputusan penting dalam
kehidupannya tanpa berkonsultasi dengan
orangtua dan orang-orang penting dalam keluarga
Pandangan Gender dalam Budaya Suku Banjar

 Masyarakat Suku Banjar menganut sistem patrilineal.


 Ajaran agama Islam sangat mempengaruhi pola hidup masyarakat Banjar. Salah
satu ajaran Islam yang banyak dianut oleh masyarakat Banjar adalah,
keutamaan memilih pemimpin laki-laki dibanding perempuan.
Pandangan Gender dalam Budaya Suku Dayak

 Keluarga Suku Dayak mengenal sistem parental/bilateral.


 Tempat tinggal pasangan setelah perkawinan pada umumnya
adalah matrilokal (suami mengikuti istri).
 Peran perempuan Dayak lebih mendominasi pekerjaan
domestik, sedangkan laki-laki mendominasi pekerjaan
publik.
 Kehadiran seorang laki-laki baru dalam keluarga perempuan
memiliki nilai positif karena dapat menjadi tenaga kerja
tambahan dalam keluarga perempuan.
Pandangan Gender dalam Budaya Suku Bugis-
Makasar

 Masyarakat Bugis-Makassar di Sulawesi Selatan didasari


atas sistem patriarkhi.
 Pembagian warisan, maka distribusi antara anak laki-laki
dan anak perempuan harus sama.
 Pasang mengajarkan jako parentai bilasang bahinennu,
bilasanga jintu nipeppeppi narie erono (jangan diperintah
istrimu seperti menyadap aren, hanya aren yang
mayangnya dipukul-pukul, baru menetes niranya). Jako
parenta deppoki bahinennu, deppoa jinta nitukduppi
nahajik (jangan istrimu diperintah seperti menginjak
pematang sawah, karena pematang itu diinjak baru baik).
Pandangan Gender dalam Budaya Suku Manado

 Dalam keluarga Manado menganut sistem patriarki, dengan


menempatkan posisi laki-laki untuk memegang peranan
sentral di sektor publik. Namun demikian, saat ini banyak
juga perempuan yang berperan di sektor publik.
 Fam adalah istilah dalam masyarakat Minahasa/Manado
yang mengacu kepada nama keluarga atau marga yang
dipakai di belakang nama depan. Fam diambil dari nama
keluarga dari orangtua laki-laki.
Pandangan Gender dalam Budaya Suku Timor

 Budaya Suku Timor didasarkan atas 2 (dua) garis keturunan,


sistem perkawinan patrilineal dan sistem matrilineal.
Sistem yang dominan adalah sistem patrilineal.
 Sistem perkawinan tersebut menjunjung tinggi belis (mas
kawin) yang diberikan oleh calon suami kepada calon istri
yang dimulai dari proses meminang, memberikan belis, dan
pengesahan.
 Posisi perempuan dalam sistem parilineal masih terlihat
terpinggirkan. Khususnya dalam hal pengambilan
keputusan pada musyawarah suku, kaum perempuan tidak
memiliki hak atau tidak diberi kesempatan untuk hadir
apalagi berpendapat
Pandangan Gender dalam Budaya Suku Timor

 Sistem patrilineal mengatur bahwa anak laki-lakilah yang


berhak menerima warisan, sementara anak perempuan
mendapat bagian sejauh diberi kesempatan oleh anak laki-
laki.
 Berkaitan dengan pendidikan formal, maka sering terjadi
bahwa anak perempuan tidak diberi kesempatan yang
seluas-luasnya untuk bersekolah dibandingkan dengan anak
laki-laki.
Pandangan Gender dalam Budaya Suku Sasak

 Budaya Suku Sasak didasari atas sistem patriarki yang


sangat kuat.
 Proses melamar tidak dikenal dalam adat Suku Sasak,
karena justru jika seorang anak gadis dilamar secara baik-
baik, maka harga diri keluarganya akan turun.
 Pasangan muda-mudi yang berniat menikah memang harus
diawali proses pernikahan kawin lari dengan diawali
penyusunan strategi penculikan pada malam hari yang
disebut Merari.
 Proses membawa lari calon pengantin perempuan paling
lambat selama 3 hari, dan pihak laki-laki harus segera
memberitahu keluarga pihak perempuan.
Pandangan Gender dalam Budaya Suku Sasak

 Calon pengantin perempuan yang dibawa lari tidak boleh


dibawa langsung ke rumah pengantin laki-laki, namun harus
dititipkan ke kerabat laki-laki.

 Puncak acara adat perkawinan Suku Sasak dikenal dengan


istilah Sorong Serang Haji Kerama, yaitu upacara
penyerahan sejumlah barang dan uang, sebagai
perlambang tanggung jawab seorang laki-laki menikahi
perempuan.
Pandangan Gender dalam Budaya Suku Sumba

 Suku Sumba didasari oleh budaya patriarki yang


mengutamakan laki-laki sebagai pihak yang menguasai dan
perempuan sebagai pihak yang dikuasai.
 Sistem paternalistik yang sangat kuat ini ditunjukkan oleh
adanya sistem pembagian warisan harta benda, yaitu anak
laki-laki dapat menerima warisan harta benda langsung dari
kakeknya tanpa harus melalui ayah dari anak laki-laki
tersebut
Pandangan Gender dalam Budaya Suku Sumba

 Posisi perempuan sangat lemah pada budaya Suku Sumba


yang dicerminkan bahwa anak perempuan tidak perlu
disekolahkan setinggi-tingginya apabila dalam sebuah
keluarga ada anak laki-laki.
 Peran orangtua sangat besar dalam menentukan jodoh
anaknya, terutama anak perempuan.
 Posisi perempuan dalam musyawarah adat adalah sangat
lemah.
 Berkaitan dengan nilai anak, maka ada kepercayaan bahwa
anak perempuan tidak membawa rejeki, sedangkan anak
laki-laki pertama dianggap sebagai pembawa rejeki dan
generasi penerus adat.
Pandangan Gender dalam Budaya Suku Bali

 Budaya suku Bali didasari atas sistem patriarki dengan


menempatkan posisi laki-laki yang sangat strategis dalam
kehidupan keluarga patrilineal di Bali karena adanya
legitimasi otoritas yang bersifat dogmatis.
 Anak laki-laki terbesar di keluarga Bali, masih dianggap
”Putra Mahkota” yang bisa meneruskan generasi, sehingga
kecil kemungkinan anak laki-laki terbesar tersebut bisa
”lepas” dari lingkungan keluarganya.
 Kata ‘perempuan’ berasal dari kata ‘empu’ yang berarti
merawat atau mendidik.
Pandangan Gender dalam Budaya Suku Irian

 Budaya suku Irian didasari oleh budaya patriarkhi yang


dipimpin oleh kepala keluarga seorang laki-laki.
 Peran perempuan adalah dalam mengelola ekonomi
rumahtangga dan mengurus urusan rumah tangga, seperti
mengasuh anak, membersihkan rumah, mencuci, menanak
nasi dan sebagainya.
 Posisi perempuan dalam hal pendidikan formal masih
mengalami diskriminasi.
 Posisi perempuan dalam seni juga masih didiskriminasi.
Pandangan Gender dalam Budaya Suku Irian

 Budaya suku Irian didasari oleh budaya patriarkhi yang


dipimpin oleh kepala keluarga seorang laki-laki.
 Peran perempuan adalah dalam mengelola ekonomi
rumahtangga dan mengurus urusan rumah tangga, seperti
mengasuh anak, membersihkan rumah, mencuci, menanak
nasi dan sebagainya.
 Posisi perempuan dalam hal pendidikan formal masih
mengalami diskriminasi.
 Posisi perempuan dalam seni juga masih didiskriminasi.
 Budaya ini akan membuat pria
sadar bahwa dirinya harus
bertanggung jawab penuh
 seorang pria itu harus mapan dan
juga mampu menjadi tulang
punggung keluarganya ketika
membutuhkan sesuatu.
 Hal ini lah yang membuat sistem
patriarki masih diakui oleh banyak
orang dan dilakukan sampai
sekarang.
Shg pihak perempuan
bisa meluangkan
waktunya lebih
banyak untuk anaknya
yang mungkin
membutuhkan kasih
sayang lebih dari
orang tuanya.
Alhasil pihak
perempuan bisa
mendidik anaknya
dengan baik dan si
anak akan menjadi
anak yang penurut
pada orang tuanya.
 Pro dan Kontra Budaya
Patriarki Di Indonesia.
http://missdk.blogdetik.co
m/2012/11/07/pro-dan-
kontra-budaya-patriarki-
di-indonesia
 Pandangan Budaya Di
Indonesia Tentang Gender
Dan Kedudukan
Perempuan. Herien.
Puspitawati.2014. Institut
Pertanian Bogor

Anda mungkin juga menyukai