Anda di halaman 1dari 38

Mata Kuliah

Gender dan Keluarga

BAB 5
PANDANGAN BUDAYA DI INDONESIA TENTANG
GENDER DAN KEDUDUKAN PEREMPUAN
Oleh:
Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc., M.Sc

Departemen Ilmu Keluarga dan


Konsumen
Institut Pertanian Bogor

Kendala Budaya Patriaki Bagi


Perempuan
Adat dan budaya ini menjadi panduan bagi masyarakat untuk
berperilaku sehari-hari yang diturunkan dari generasi satu ke
generasi lainnya dan mendarah daging (internalized)
membentuk cara berpikir (mind set)
Sistem sosial
budaya di
Indonesia:
dominasi
sistem
patriarki,
variasi
perbedaan
peran gender
Masih ditemui adanya pembatasan adat dan norma masyarakat
pada perilaku perempuan, yang diawali dari pelabelan atau
stereotipe atau sub-ordinasi (penomorduaan) terhadap perempuan

Kendala Budaya Patriaki Bagi


Perempuan

Sejak berabad-abad perempuan di


Pulau Jawa hanya difungsikan
sebagai reproduksi dan pemuas
nafsu seksual, serta dianggap
sebaga pelengkap keberadaan
laki-laki.

Ungkapan di masyarakat bahwa


aktivitas perempuan hanya
seputar sumur, dapur dan
kasur.
Ungkapkan oleh masyarakat
Pantura Jawa Barat bahwa tong
luhur-luhur teuing sakola,
awewe mah da ka dapur oge

Kendala Budaya Patriaki Bagi


Perempuan

Subordinasi dan stereotipe menyebabkan posisi perempuan


tetap dipinggirkan meskipun sudah mulai terjadi peningkatan
pendapatan kaum perempuan yang melebihi suaminya,
namun tetap saja diberi label bahwa apa yang dihasilkan
oleh perempuan hanya sebagai sambilan atau tambahan
dalam memenuhi kebutuhan keluarganya. Akhirnya, peran
perempuan berada pada posisi yang sangat lemah sebagai
pengambil keputusan kecuali dikehendaki oleh suaminya.

Contoh Posisi Perempuan dalam


Konteks Budaya
Peran

perempuan
adalah di sektor
domestik; peran
laki-laki adalah
sebagai pemimpin
dan pelindung
keluarga, jadi
bertanggung
jawab dan
berperan di sektor
publik
Peran perempuan adalah di Dapur/ Masak,

Kasur/ Manak, Pupur/ Macak.


Posisi perempuan sebagai konco wingking
(orang belakang) dan orang nomor dua dalam
pengambilan keputusan dalam keluarga.

Contoh Posisi Perempuan dalam


Konteks Budaya
Pendidikan diutamakan
untuk laki-laki daripada
perempuan

Laki-laki tabu melakukan


pekerjaan domestik seperti
cuci piring, cuci baju dan
memasak, karena itu
pekerjaan perempuan.

Perempuan sering
dilekatkan pada profesi
tertentu seperti perawat,
sekretaris, guru TK dan
sejenisnya.

Peran laki-laki sebagai


pemimpin keluarga dan
tulang punggung keluarga

Laki-laki sering dilekatkan


pada profesi direktur, pilot,
dokter dan lain-lain.
Laki-laki tidak boleh
mempunyai istri yang
mempunyai pendidikan dan
kedudukan sosial yang lebih
tinggi dari dirinya

Contoh Posisi Perempuan dalam


Konteks Budaya
Perempuan adalah simbol dari eksistensi harmonisasi
rumahtangga, keterjaminan kualitas sumberdaya
manusia anak , dan keterjaminan pengaturan rumah
dan ketersediaan pangan keluarga
Posisi perempuan dalam pengambilan keputusan yang
berhubungan dengan kepemilikan aset, penentuan
pendidikan anak, peminjaman kredit dan hal-hal yang
berhubungan dengan pekerjaan suami adalah lemah
Posisi perempuan dalam pembagian kerja juga lemah.
Posisi perempuan dalam manajemen keuangan
keluarga (perencanaan, penggunaan dan pengendalian
keuangan) adalah lemah
Pada umumnya rata-rata lama pendidikan yang
ditempuh perempuan adalah lebih rendah
dibandingkan dengan rata-rata lama pendidikan yang
ditempuh laki-laki
Posisi perempuan dalam melindungi kesehatan

Konsekuensi dari Posisi


Perempuan dalam Konteks
Budaya

Posisi dan peran laki-laki dan


perempuan menurut konteks
budaya
NORMA DAN
BUDAYA
MASYARAKAT

FUNGSINYA
Sebagai
PSebagai
Panduan Hidup
bermasyarakat
enunjuk Arah
Berperilaku
sehari-hari dan
identitas
diri/kelompok
Sebagai
Pelindung dari
pengaruh luar
Sebagai Hukum
Adat baik
tertulis maupun
tidak tertulis

PROSES
PEMBENTUKA
N
Berdasarkan
komitmen
masyarakat
Ada reward dan
punishment
Sebagai bentuk
dari solidaritas
dan eksistensi
masyarakat

POSISI DAN PERAN PEREMPUAN


(DOMAIN PEREMPUAN)
Ibu rumahtangga atau orang
belakang
Peran dominan pada aspek
domestik
Posisi tawar dalam pengambilan
keputusan lemah
Kurang mempunyai kontrol
terhadap sumberdaya keluarga
(aset/
ADAmaterial)
TEMBOK PEMISAH
Peran
yangDAN
melelahkan
YANGganda
TEBAL
KOKOH

ANTARA PERAN DAN


POSISI LAKI-LAKI DAN
PEREMPUAN
POSISI DAN
PERAN LAKI-LAKI
(DOMAIN LAKI-LAKI)
Kepala keluarga atau orang
nomor satu
Peran dominan pada aspek publik
Penentu utama dalam
pengambilan keputusan keluarga
Mempunyai kontrol kuat terhadap
sumberdaya keluarga (aset/
material)
Terhindar dari peran ganda yang
melelahkan

Kondisi dan Pandangan Budaya


Masyarakat Pantai Utara (Pantura)
Jawa Barat Terhadap Perempuan
Pantai

utara (Pantura) Jawa Barat dihuni


oleh berbagai suku bangsa, utamanya
adalah Suku Jawa dan Sunda.
Tingkat pendidikan anak laki-laki yang lebih
diutamakan dari pada pendidikan anak
perempuan.
Pada umumnya perempuan bekerja di
bidang pertanian dengan fokus pekerjaan
sebatas menanam dan memanen atau
menangani tangkapan ikan untuk
perempuan nelayan. Namun demikian
semakin banyak perempuan yang bekerja
sebagai tenaga kerja wanita (TKW) di luar

Kondisi dan Pandangan Budaya


Masyarakat Pantai Utara (Pantura)
Jawa Barat Terhadap Perempuan
Di

Indramayu dikenal dengan tradisi kawin


muda.
Masyarakat Pantura Jawa Barat
memandang anak sebagai harta/aset
keluarga, terutama sangat berlaku bagi
anak perempuan.
Ungkapan:
Anak laki-laki merupakan kebanggaan
keluarga, sedangkan anak perempuan
merupakan sumber rezeki.

Sistem kekerabatan dan Gender


dalam Budaya Masyarakat Aceh
Bentuk

kekerabatan masyarakat Aceh


adalah keluarga inti dengan prinsip
keturunan laki-laki (patriarki).
Sistem perkawinan yang berlaku di
sebagian masyarakat Aceh adalah
eksogami merge, yaitu mencari jodoh dari
luar merge sendiri.
Setelah menikah, berlaku aturan virilokal,
yaitu pasangan menetap di kediaman
keluarga laki-laki.

Sistem kekerabatan dan Gender


dalam Budaya Masyarakat Aceh
Garis

keturunan diperhitungkan
berdasarkan prinsip bilateral, sedangkan
adat menetap sesudah nikah adalah
uxorilokal (tinggal dalam lingkungan
keluarga pihak perempuan).
Masyarakat Aceh Gayo, garis keturunan
ditarik berdasarkan prinsip patrilineal.
Masyarakat Aceh Tamiang digunakan
prinsip patrilineal, yaitu menarik garis
keturunan berdasarkan garis laki-laki. Adat
menetap sesudah menikah yang umum
dilakukan adalah adat matrilokal

Pandangan Gender dalam Budaya


Suku Batak Toba
Masyarakat

Batak Toba didasari atas garis


keturunan patriarkal.
Masyarakat Batak Toba sangat menjunjung
tinggi tradisi patriarkal dengan
menempatkan posisi perempuan sangat
dihargai apabila mampu melahirkan anak
laki-laki dan dianggap rendah apabila tidak
melahirkan anak laki-laki karena tidak
dapat mengabadikan marga.

Pandangan Gender dalam Budaya


Suku Batak Toba
Posisi

perempuan dalam masyarakat Batak


Toba sebagai pihak yang dibeli yang terlihat
pada upacara perkawinan.
Posisi perempuan dalam hak waris: bila
seseorang meninggal tanpa meninggalkan
anak laki-laki, maka hak waris jatuh ke tangan
saudara laki-laki yang meninggal. Namun
demikian dalam praktik kehidupan keluarga
Batak, anak perempuan memperoleh: tanah
(Hauma pauseang), nasi siang (Indahan Arian),
warisan dari kakek (Dondon Tua), dan tanah
sekadar (Hauma Punsu Tali). Apabila
perempuan tidak memiliki saudara laki-laki,
maka perempuan tersebut berhak untuk

Pandangan Gender dalam Budaya


Suku Batak Toba
Perempuan

dianggap lebih rendah daripada


laki-laki, dan perempuan bukan merupaka
individu yang bebas dan otonom, namun
sebagai sub-ordinat atau perpanjangan tangan
laki-laki.
Sistem patriarki yang ada di masyarakat Batak
tidak membuat peran perempuan di Suku
Batak tidak penting.

Pandangan Gender dalam Budaya


Suku Minangkabau
Masyarakat

Minangkabau menetapkan silsilah


keturunan berdasarkan garis ibu yang disebut
sistem matrilineal.
Klasifikasi peran dalam adat dan budaya
masyarakat Minangkabau: sosial
kemasyarakatan dan penentuan kepala
masyarakat hukum adat yang disebut
Penghulu dan Datuk didominasi oleh kaum
laki-laki.
Sistem matrilocal atau lazim disebut dengan
sistem uxorilocal yang menetapkan bahwa
suami bermukim atau menetap disekitar pusat
kediaman kaum kerabat istri, atau didalam
lingkungan kekerabatan istri

Pandangan Gender dalam Budaya


Suku Minangkabau
Apabila

terjadi perceraian, maka suami harus


pergi dari rumah istrinya, sedangkan istrinya
tetap tinggal dirumah kediamannya bersama
anak-anaknya sebagaimana telah diatur
hukum adat.
Apabila istrinya meninggal dunia, maka
kewajiban keluarga pihak suami untuk segera
menjemput suami yang sudah menjadi duda
untuk dibawa kembali ke dalam lingkungan
sukunya atau kembali ke kampung
halamannya.

Pandangan Gender dalam Budaya


Suku Minangkabau
Sistem

kekuasanya baik formal maupun non


formal masih didominasi oleh kelompok lakilaki. Sebagai contoh mamak memimpin dalam
rumahtangga saparuik (se-ibu). Sedangkan
Datuk memegang kekuasan dalam wilayah
satu kaumnya.

Pandangan Gender dalam Budaya


Suku Palembang
Pandangan

masyarakat suku Palembang


terhadap nilai gender dan keluarga sangat
terpengaruh oleh pandangan Islam yang
patriarkhi.
Suku Palembang menggunakan hukum waris
sesuai dengan syariat Islam.
Nilai anak: kehadiran anak laki-laki dalam
keluarga suku Palembang sedikit lebih
diharapkan dibandingkan dengan anak
perempuan

Pandangan Gender dalam Budaya


Suku Jawa
Masyarakat

Jawa berlandaskan tata kehidupan


sistem patriarkhi.
Istilah wanita berasal dari bahasa Jawa yang
berarti wani ditata (berani ditata).
Pandangan strereotipe terhadap perempuan
sejati adalah perempuan yang tetap tampak
lembut dan berperan dengan baik di rumah
sebagai ibu maupun istri, di dapur maupun di
tempat tidur, bersikap dan berperilaku halus,
rela menderita, dan selalu setia.
Laki-laki Jawa biasanya disarankan oleh
keluarganya untuk tidak memilih perempuan
yang memiliki status sosial dan ekonomi yang
lebih tinggi.

Pandangan Gender dalam Budaya


Suku Jawa
Posisi

perempuan dalam budaya Jawa disebut


sebagai kanca wingking, yakni bahwa tempat
perempuan adalah di dapur; swarga nunut,
neraka katut (ke surga ikut, ke neraka pun
turut).
Dalam praktik sehari-hari: Sebagian orang
menganggap perempuan Jawa memiliki
kekuasaan yang tinggi mengingat
sumbangannya yang umumnya cukup besar
dalam ekonomi keluarga.
Handayani dan Novianto: perempuan Jawa
selalu mencari cara agar kehendaknya
terpenuhi tanpa mengacaukan harmoni
tatanan budaya.

Pandangan Gender dalam Budaya


Suku Sunda
Masyarakat

Sunda umumnya bersifat


matrilokalitas yaitu pasangan setelah menikah
tinggal di keluarga pihak perempuan apabila
sudah menikah.
Tradisi merantau kurang berkembang:
Bengkung ngariung bongkok ngaronyok yang
artinya lebih baik kumpul bersama keluarga
daripada merantau ke daerah tetangga.
Peran perempuan sering termarjinalkan:
Aww mah dulang tinand , dan aww
mah tara cari ka Batawi, nya cari ngan ti lalaki
alias, nu geulis jadi werejit nu lenjang jadi
baruang.

Pandangan Gender dalam Budaya


Suku Madura
Suku

Madura didasari oleh sitem patriarki


dengan menempatkan peran perempuan yang
sudah menikah sebagai ibu rumahtangga,
sekaligus pengasuh dan pembimbing anakanaknya.
Posisi perempuan Madura tetap
menggantungkan psikologisnya kepada
keluarga: tidak diperbolehkan mengambil
keputusan penting dalam kehidupannya tanpa
berkonsultasi dengan orangtua dan orangorang penting dalam keluarga

Pandangan Gender dalam Budaya


Suku Banjar
Masyarakat

Suku Banjar menganut sistem

patrilineal.
Ajaran

agama Islam sangat mempengaruhi


pola hidup masyarakat Banjar. Salah satu
ajaran Islam yang banyak dianut oleh
masyarakat Banjar adalah, keutamaan
memilih pemimpin laki-laki dibanding
perempuan.

Pandangan Gender dalam Budaya


Suku Dayak
Keluarga

Suku Dayak mengenal sistem


parental/bilateral.
Tempat tinggal pasangan setelah perkawinan
pada umumnya adalah matrilokal (suami
mengikuti istri).
Peran perempuan Dayak lebih mendominasi
pekerjaan domestik, sedangkan laki-laki
mendominasi pekerjaan publik.
Kehadiran seorang laki-laki baru dalam
keluarga perempuan memiliki nilai positif
karena dapat menjadi tenaga kerja tambahan
dalam keluarga perempuan.

Pandangan Gender dalam Budaya


Suku Bugis-Makasar
Masyarakat

Bugis-Makassar di Sulawesi
Selatan didasari atas sistem patriarkhi.
Pembagian warisan, maka distribusi antara
anak laki-laki dan anak perempuan harus
sama.
Pasang mengajarkan jako parentai bilasang
bahinennu, bilasanga jintu nipeppeppi narie
erono (jangan diperintah istrimu seperti
menyadap aren, hanya aren yang mayangnya
dipukul-pukul, baru menetes niranya). Jako
parenta deppoki bahinennu, deppoa jinta
nitukduppi nahajik (jangan istrimu diperintah
seperti menginjak pematang sawah, karena
pematang itu diinjak baru baik).

Pandangan Gender dalam Budaya


Suku Manado
Dalam

keluarga Manado menganut sistem


patriarki, dengan menempatkan posisi laki-laki
untuk memegang peranan sentral di sektor
publik. Namun demikian, saat ini banyak juga
perempuan yang berperan di sektor publik.

Fam

adalah istilah dalam masyarakat


Minahasa/Manado yang mengacu kepada
nama keluarga atau marga yang dipakai di
belakang nama depan. Fam diambil dari nama
keluarga dari orangtua laki-laki.

Pandangan Gender dalam Budaya


Suku Timor
Budaya

Suku Timor didasarkan atas 2 (dua)


garis keturunan, sistem perkawinan patrilineal
dan sistem matrilineal. Sistem yang dominan
adalah sistem patrilineal.
Sistem perkawinan tersebut menjunjung tinggi
belis (mas kawin) yang diberikan oleh calon
suami kepada calon istri yang dimulai dari
proses meminang, memberikan belis, dan
pengesahan.
Posisi perempuan dalam sistem parilineal
masih terlihat terpinggirkan. Khususnya
dalam hal pengambilan keputusan pada
musyawarah suku, kaum perempuan tidak
memiliki hak atau tidak diberi kesempatan

Pandangan Gender dalam Budaya


Suku Timor
Sistem

patrilineal mengatur bahwa anak lakilakilah yang berhak menerima warisan,


sementara anak perempuan mendapat bagian
sejauh diberi kesempatan oleh anak laki-laki.
Berkaitan dengan pendidikan formal, maka
sering terjadi bahwa anak perempuan tidak
diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk
bersekolah dibandingkan dengan anak lakilaki.

Pandangan Gender dalam Budaya


Suku Sasak
Budaya

Suku Sasak didasari atas sistem


patriarki yang sangat kuat.
Proses melamar tidak dikenal dalam adat Suku
Sasak, karena justru jika seorang anak gadis
dilamar secara baik-baik, maka harga diri
keluarganya akan turun.
Pasangan muda-mudi yang berniat menikah
memang harus diawali proses pernikahan
kawin lari dengan diawali penyusunan strategi
penculikan pada malam hari yang disebut
Merari.
Proses membawa lari calon pengantin
perempuan paling lambat selama 3 hari, dan
pihak laki-laki harus segera memberitahu

Pandangan Gender dalam Budaya


Suku Sasak
Calon

pengantin perempuan yang dibawa lari


tidak boleh dibawa langsung ke rumah
pengantin laki-laki, namun harus dititipkan ke
kerabat laki-laki.

Puncak

acara adat perkawinan Suku Sasak


dikenal dengan istilah Sorong Serang Haji
Kerama, yaitu upacara penyerahan sejumlah
barang dan uang, sebagai perlambang
tanggung jawab seorang laki-laki menikahi
perempuan.

Pandangan Gender dalam Budaya


Suku Sumba
Suku

Sumba didasari oleh budaya patriarki


yang mengutamakan laki-laki sebagai pihak
yang menguasai dan perempuan sebagai
pihak yang dikuasai.

Sistem

paternalistik yang sangat kuat ini


ditunjukkan oleh adanya sistem pembagian
warisan harta benda, yaitu anak laki-laki
dapat menerima warisan harta benda
langsung dari kakeknya tanpa harus melalui
ayah dari anak laki-laki tersebut

Pandangan Gender dalam Budaya


Suku Sumba
Posisi

perempuan sangat lemah pada budaya


Suku Sumba yang dicerminkan bahwa anak
perempuan tidak perlu disekolahkan setinggitingginya apabila dalam sebuah keluarga ada
anak laki-laki.
Peran orangtua sangat besar dalam
menentukan jodoh anaknya, terutama anak
perempuan.
Posisi perempuan dalam musyawarah adat
adalah sangat lemah.
Berkaitan dengan nilai anak, maka ada
kepercayaan bahwa anak perempuan tidak
membawa rejeki, sedangkan anak laki-laki
pertama dianggap sebagai pembawa rejeki

Pandangan Gender dalam Budaya


Suku Bali
Budaya

suku Bali didasari atas sistem patriarki


dengan menempatkan posisi laki-laki yang
sangat strategis dalam kehidupan keluarga
patrilineal di Bali karena adanya legitimasi
otoritas yang bersifat dogmatis.
Anak laki-laki terbesar di keluarga Bali, masih
dianggap Putra Mahkota yang bisa
meneruskan generasi, sehingga kecil
kemungkinan anak laki-laki terbesar tersebut
bisa lepas dari lingkungan keluarganya.
Kata perempuan berasal dari kata empu
yang berarti merawat atau mendidik.

Pandangan Gender dalam Budaya


Suku Irian
Budaya

suku Irian didasari oleh budaya


patriarkhi yang dipimpin oleh kepala keluarga
seorang laki-laki.
Peran perempuan adalah dalam mengelola
ekonomi rumahtangga dan mengurus urusan
rumah tangga, seperti mengasuh anak,
membersihkan rumah, mencuci, menanak nasi
dan sebagainya.
Posisi

perempuan dalam hal pendidikan formal


masih mengalami diskriminasi.

Posisi

perempuan dalam seni juga masih


didiskriminasi.

Pandangan Gender dalam Budaya


Suku Irian
Budaya

suku Irian didasari oleh budaya


patriarkhi yang dipimpin oleh kepala keluarga
seorang laki-laki.
Peran perempuan adalah dalam mengelola
ekonomi rumahtangga dan mengurus urusan
rumah tangga, seperti mengasuh anak,
membersihkan rumah, mencuci, menanak nasi
dan sebagainya.
Posisi

perempuan dalam hal pendidikan formal


masih mengalami diskriminasi.

Posisi

perempuan dalam seni juga masih


didiskriminasi.

TERIM
A
KASIH

Anda mungkin juga menyukai