Anda di halaman 1dari 8

CRITICAL BOOK

REPORT
ANTROPOLOGI GENDER
DAN SEKSUALITAS

Skor Nilai:

Ketertindasan Perempuan Dalam Tradisi Kawin Anom

Kelompok 2:

NAMA NIM
Dimas Erlangga 3203122033
Mulfi Budiman Nasution 3203122017
Mutiara Putri Sukma 3203122040
Najwa Afif Lubis 3201122022

Dosen Pengampu :

Dra. Rosramadhana, M, Si dan Purnama sari, S. Pd,M. Pd

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

MARET 2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

BAB I

PENDAHULUAN

Rasionalisasi Pentingnya cbr

Tujuan Penulisan CBR

Manfaat CBR

Identitas Buku Yang di Review

BAB II

RINGKASAN

Ketertindasan Perempuan Dalam Tradisi Kawin Anom

BAB III

PEMBAHASAN

KELEBIHAN

KEKURANGAN BUKU

BAB IV

PENUTUP

KESIMPULAN
BAB I

PENDAHULUAN

A. Rasionalisasi Pentingnya cbr


Sering sekali kita bingung memilih buku refrensi untuk kita baca dan pahami.
Terkadang kita memilih satu buku namun kurang memuaskan hati kita. Misalnya dari
segi analisis bahasa, pembahasan isi buku, oleh karena itu penulis membuat critical
book report ini untuk mempermudah pembaca dalam memilih refrensi,terkhusus pada
pokok pembahasan tentang gender dan seksualitas.

B. Tujuan Penulisan CBR


 Mengulas isi sebuah buku
 Mencari dan mengetahui informasi yang ada dalam buku
 Melatih diri untuk berfikir kritis dalam mencari informasi yang diberikan oleh
setiap bab dari buku
 Mengkritisi satu topik materi perkuliahan tentang gender dan seksualitas

C. Manfaat CBR
1. Untuk menambah wawasan tentang gender dan seksualitas
2. Untuk mengetahui lebih dalam mengenai isi buku yang di review

D. Identitas Buku
1. Judul : Ketertindasan Perempuan Dalam Tradisi Kawin Anom
2. Pengarang : Dr. Rosramadhana, M.Si.,
3. Tahun Terbit : 2016
4. Tempat Terbit : Jakarta
5. Jumlah Hal. : 218
6. ISBN : 9789794619414
BAB II

RINGKASAN

Ketertindasan Perempuan Dalam Tradisi Kawin Anom

Kawin anom dipahami masyarakat sebagai suatu tradisi yang sudah ada sejak dari
leluhur suku banjar yang berasal dari Kalimantan Selatan. Tradisi ini dapat dilihat dari
berbagai usur, yang pertama nilai budaya yang direproduksi melalui sistem perjodohan yang
berlaku kepada anak perempuan dan laki-laki. Kawin anom sendiri merupakan dasar tradisi
yang diwariskan melalui perjodohan dan filosofi orang banjar untuk anak perempuan dapat
memperkuat kekuasaan patriarki. Anak perempuan yang direalisasikan dalam ritual
perjodohan merupakan bentuk kekuasaan orang tua terhadap anak, dimana budaya yang
berperan dalam mempengaruhi pola pikir orang tua sehingga membelenggu hak-hak anak
perempuan. Kedua, nilai politik bahwa kawin anom sendiri menjadi sebuah simbol yang
digunakan untuk menguasai perempuan. Ruang gerak perempuan pun dibatasi dan menjadi
kelompok yang marginal agar tidak dapat mendominasi atau melawana laki-laki. Ketiga, nilai
ekonomi bahwa kawin anom sangat menguntungkan bagi kaum penjajah. Para pekerja yang
di datangkan jodohnya maka tidak keluar dari perkebunan, hal ini disebabkan agar gaji para
pekerja tetap masuk ke orang-orang Belanda. oleh kolonial untuk menguntungkan perusahaan
perkebunan mereka di tanah Deli, Sumatera Timur ke dalam nilai-nilai budaya, politik,
maupun ekonomi. Budaya patriarkhi yang diwariskan kolonial merupakan wujud kekuasaan
laki-laki terhadap perempuan.

Keempat, nilai-nilai sosial yang muncul dalam kehidupan perempuan Suku Banjar
selama kawin anom lebih didasarkan kepada kepasrahan perempuan terhadap rumah tangga,
sikap menerima diwariskan orang tua secara turun-temurun agar tidak terjadi perceraian. Hal-
hal yang diwariskan orang tua kepada anak perempuan yang kawin muda adalah sikap sabar
dalam menjalani rumah tangga, seperti melayani suami dengan baik, memasak, mengurus
anak, karena itu merupakan tanggung jawab istri.
Dalam fungsi budaya, kawin anom direproduksi melalui tradisi ritual, seperti mandi
badudus/bapapai. Sebelum melangsungkan perkawinan pasangan kawin anom melakukan
ritual. Ritual mandi badudus yang awal mulanya dilakukan oleh raja untuk menunjukkan
kekuasaannya, menjadi sebuah tradisi bagi Suku Banjar, termasuk yang masih
mempertahankannya. Dalam hal tradisi yang masih tetap berlangsung, menunjukkan bahwa
perempuan masih diposisikan sebagai subjek yang diam dan subaltern melalui simbol-simbol
prosesi perkawinan.

Dalam aspek ekonomi kawin anom direproduksi menjadi modal sosial untuk
memperoleh status dalam masyarakat. Posisi perempuan kawin anom menjadi subaltern di
mana status menjadi sebuah keinginan perempuan untuk menikah. Perempuan merasa
terpaksa melakukan kawin anom untuk menyelamatkan status keluarga juga untuk
mendapatkan status. Perempuan mendapatkan status baru sebagai istri dan sekaligus
dianggap sebagai anak yang berbakti kepada orang tua. Karena terpaksa kawin anom demi
mengurangi beban orang tua, namun semakin membuat perempuan mengalami subaltern.

Kelima, perempuan melakukan kawin anom karena orang tua takut anaknya terjebak
dalam pergaulan bebas. Sementara anak perempuan kawin anom karena ingin lepas dari
keinginan orang tua yang menjodohkannya, Kolonisasi baru dari faktor orangtua (luar
dirinya) dapat menciptakan subaltern baru dalam diri perempuan yang melakukan kawin
anom. Keenam, subaltern perempuan dalam konteks relasi kekuasaan suami menjadi nyata
dalam kehidupan perempuan kawin anom Suku Banjar. Dalam kehidupan rumah tangga
kekuasaan suami tidak hanya dalam ranah privat, Namun terjadi dalam ranah publik.

Ketujuh, kawin anom dimaknai sebagai kebebasan. Bahwa dalam masa remaja adanya
batasan-batasan dalam pergaulan yang diperoleh dari nasehat orang tua, bahkan kondisi
kehidupan orang tua yang kurang mampu, membuat mereka ingin melepaskan diri dari situasi
tersebut. Selain itu, bebas melakukan hubungan seks karena dianggap sudah tidak lagi terikat
kepada dosa.

Kedelapan, kondisi perempuan yang masih terjerat dalam ranah budaya dan
kepercayaan menjadikan perempuan tetap bungkam dan tidak mampu melakukan aksi secara
terang-terangan, karena perempuan kehilangan hak-hak sebagai perempuan (istri). Sehingga
simbol diam bagi perempuan Suku Banjar merupakan suatu bentuk perlawanan terhadap
kekuasaan orang tua dan suami dalam mengambil keputusan.
Kesembilan, subaltern oleh adat budaya lokal yang digambarkan dalam simbol-
simbol yang masih berlaku dalam tatanan sosial, budaya yang terlihat dari berbagai aspek.
Seperti arsitek tradisional bangunan rumah, dalam ritual keagamaan juga menunjukkan posisi
subaltern perempuan. Marginalisasi perempuan juga dilihat dalam rumah tangga, misalnya
dari cara-cara mereka berpakaian.

Kesepuluh, tradisi perjodohan yang dilakukan orang Banjar di desa ini dimaknai
sebagai warisan secara struktural dan kultural. Dalam konteks sepihak yang mengtakan tidak
ada ruang bagi kaum subaltern bisa berbicara.

Kesebelas, perempuan dalam hal menerima poligami tanpa dilandaskan ajaran agama
yang benar, merupakan bentuk suatu penindasan kepada perempuan diranah publik, dan
memunculkan kekerasan emosional terhadap diri perempuan itu sendiri.

Kedua belas, kawin anom menunjukkan bahwa perempuan mengalami penindasan


dalam memperoleh hak perempuan untuk mendapatkan kesehatan selama mengandung dan
melahirkan. Sikap egois laki-laki terhadap perempuan yang masih muda menunjukkan bahwa
subaltern perempuan juga berlaku dalam hak memperoleh keturunan.
BAB III

PEMBAHASAN

 KELEBIHAN
 Dalam buku ini, isi pembahasan yang diambil dan dituangkan di dalam nya dapat
dengan mudah di pahami, bahasa yang digunakan dapat dimengerti dengan cepat
tepat. Kosa kata atau pun pembendaharaan di dalam buku ini terlihat membangun.
 Di dalam buku ini terdapat kawin anom yang merupakan dasar tradisi yang
diwariskan melalui perjodohan dan filosofi orang banjar untuk anak perempuan dapat
memperkuat kekuasaan patriarki. Anak perempuan yang direalisasikan dalam ritual
perjodohan merupakan bentuk kekuasaan orang tua terhadap anak, dimana budaya
yang berperan dalam mempengaruhi pola pikir orang tua sehingga membelenggu
hak-hak anak perempuan.
 Terdapat juga banyak tokoh yang berpendapat tentang pembahasan, sehingga dapat
menambah wawasan atau pola ingatan atau kosa kata dari pembaca mengenai
pendapat-pendapat para tokoh maupun ahli.
 Struktur pembahasan di dalam buku ini juga sudah baik.
 Memiliki penulisan cukup baik, ditulis dengan bahasa yang mudah dimengerti namun
di selingi juga bahasa asing agar buku kelihatan menarik dan tentunya menambah rasa
keigintahuan kita bertambah.
 Pada buku ini melampirkan data yang cukup lengkap mengenai ketertindasan
perempuan dalam tradisi kawin anom.

 KEKURANGAN BUKU

 Buku ini menggunakan tata letak tulisan yang monoton sehingga membuat pembaca
cepat bosan melihat tulisan dan bentuk tulisannya.
 Gambar di dalam buku tidak berwarna, sehingga menjadi kurang jelas.
BAB IV

PENUTUP

 KESIMPULAN

Kawin anom dipahami masyarakat sebagai suatu tradisi yang sudah ada sejak dari leluhur
suku banjar yang berasal dari Kalimantan Selatan. Tradisi ini dapat dilihat dari berbagai usur,
yang pertama nilai budaya yang direproduksi melalui sistem perjodohan yang berlaku kepada
anak perempuan dan laki-laki. Dalam fungsi budaya, kawin anom direproduksi melalui
tradisi ritual, seperti mandi badudus/bapapai. Sebelum melangsungkan perkawinan pasangan
kawin anom melakukan ritual. Ritual mandi badudus yang awal mulanya dilakukan oleh raja
untuk menunjukkan kekuasaannya, menjadi sebuah tradisi bagi Suku Banjar, termasuk yang
masih mempertahankannya. Dalam hal tradisi yang masih tetap berlangsung, menunjukkan
bahwa perempuan masih diposisikan sebagai subjek yang diam dan subaltern melalui simbol-
simbol prosesi perkawinan.

Anda mungkin juga menyukai