Anda di halaman 1dari 33

Persepsi Seksualitas dalam Kajian Agama Islam:

Studi Kualitatif di Kecamatan Kejawan Lor, Surabaya


By: Darundiyo Pandupitoyo, S. Sos. and Friends

Bab I
Pendahuluan

I.1. Latar belakang penelitian


Kajian-kajian mengenai hubungan seks yang baik mulai banyak
diperbincangkan dimana-mana, karena seks bisa dibilang sebagai salah satu
pilar terpenting dari rumah tangga. Seks sekarang bukan hanya saja sebagai
ajang pelampiasan hasrat biologis, namun juga sebagai ajang pembultian
dalam berbagai hal, seks juga dianggap sebagai aplikasi dari perasaan cinta
tertinggi seseorang kepada orang lain, maka dari itu seks harus diatur
sedemikian rupa sehingga mampu memberi kepuasan bagi pasangan yang
melakukannya.
Aturan-aturan mengenai hubungan seks yang selama ini dibuat
khusus untuk mengatur suatu hubungan seks banyak terdapat di dunia medis
atau kedokteran (ginekologi1 dan seksiologi2), namun jangan salah dulu, ada
beberapa kitab dari masa lalu yang mengatur tentang hubungan seks yang
baik, seperti misalnya Kama Sutra dan Kama Tantra dari India atau serat
Centani dari Jawa. Kitab-kitab tersebut mewakili pemikiran-pemikiran kuno
(local wisdom) mengenai bagaimana cara berhubungan seks yang baik. Lalu
bagaimana dengan agama? Selama ini kajian seks mempunyai porsi yang
relatif sedikit untuk dibicarakan di dalam forum agama. Kama Sutra dan
Kama Tantra sendiri bisa dibilang merupakan perwakilan dari agama Hindu,
walau memang pengaruh hindunya tidak begitu kental. Di kalangan Islam
sendiri tedapat berbagai macam kitab yang membicarakan masalah
hubungan seks yang baik baik secara general maupun detail, seperti misal
kitab Uqudullujain dan Qurratul Uyyun, sangat menarik memahami isi kedua

1
Ilmu tentang kandungan
2
Ilmu yang mengkaji tentang hubungan seks

1
Laporan PKL Mata Kuliah
Seksualitas

kitab tersebut, karena selama ini kita tahu bahwa Islam adalah agama yang
paling disiplin menerapkan aturan mengenai hal-hal yang berhubungan
tentang seks, pornoaksi, dan pornografi. Kitab Qurratul Uyyun berisi
mengenai penjelasan tentang hubungan seks secara detail dan bukan
sebagai konsumsi umum, melainkan lebih sering diajarkan di pondok-pondok
pesantren. Sedangkan kitab uqdullujen biasanya dipelajari di kajian-kajian
umum Islam, bahkan sekarang masyarakat bisa membaca dan
memelajarinya sendiri karena sudah tersedia kitab terjemahannya dalam
bahasa Indonesia di toko-toko buku.
Dalam kasus ini, kampung Kejawan Lor yang kami teliti adalah sebuah
kampung nelayan yang sebagian besar memeluk agama Islam dan memiliki
tradisi Islam yang fundamental kaum Nahdiyin. Kajian-kajian Islam sering
diadakan secara rutin di masjid-masjid atau Musholla, tak terkecuali kajian
mengenai kitab uqudullujain yang memang mendapat porsi tersendiri untuk
diajarkan ke pada para pemuda maupun pemudi disana.
Seks, gender dan seksualitas adalah isu-isu yang sangat dekat
dengan ranah power atau kekuasaan. Hal ini yang mendorong kaum
perempuan untuk bisa melepaskan diri dari jeratan kultural kaum laki-laki
telah memasuki tahapan sangat menentukan. Tuntutan tradisional yang
sebelumnya hanya sebatas menuntut kesetaraan dalam status sosial
ekonomi, telah berubah menjadi tuntutan yang lebih modern. Dalam
kehidupan rumah tangga, tuntutan modern ini dimanifestasikan ke dalam
bentuk kesetaraan dalam hal pengambilan keputusan yang bersifat strategis
dalam pola hubungan suami-istri. Hal inilah yang merupakan salah satu
dasar atas ketertarikan kaum perempuan untuk aktif dalam pembelajaran
budaya seksualitas yang ”benar”. Secara implisit, hal ini memiliki makna
bahwa perempuan harus merubah tatanan kehidupan rumah tangga yang
cenderung mendeskreditkan perempuan melalui partisipasi aktif dalam
pembuatan kebijakan ”kepala keluarga”.

2
Laporan PKL Mata Kuliah
Seksualitas

Perlakuan terhadap kaum perempuan yang bersifat diskriminatif dan


bermuara kepada ketidakadilan dikhawatirkan akan mematikan kreatifitas
kaum hawa. Namun harus diakui bahwa justru dengan perlakuan yang
diskriminatif tersebut kemudian menggugah semangat kaum perempuan
untuk bangkit dari keterpurukan budaya patriarki. Beberapa produk hukum di
Indonesia yang secara langsung mendukung adanya kesetaraan gender bisa
dilihat dari UU No.7 Th 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan; UU No. 12
Th 2003 tentang Pemilu dan UU No. 23 Th 2004 tentang Kekerasan dalam
Rumah Tangga (KDRT) (Lihat Soedjendro 2005).
Berangkat dari pemahaman tersebut, dalam kaitannya dengan
problema seksualitas, kaum wanita seakan berkewajiban dalam menuntut
ilmu dan menerapkannya dikelak nanti. Salah satu pembelajaran budaya
seksualitas yang dilakukan oleh masyarakat dalam “lingkungan” agamis
adalah dengan mengacu pada sang pembawa ajaran tersebut. Tak terkecuali
dalam ajaran Islam, salah satu pedoman yang digunakan dalam
pembelajarannya adalah dengan memahami kitab-kitab karangan para ulama
terdahulu, yang merupakan pencerminan dari sang Nabi, Muhammad.
Konsep mengenai budaya seksualitas diatas itulah yang dapat
digunakan sebagai alat atau kacamata untuk mendatang dan mengkaji serta
memahami seksualitas yang berdasar pada dogma agama. Bila seksualitas
dilihat dengan menggunakan kacamata agama, maka agama diperlakukan
sebagai kebudayaan; yaitu: sebagai sebuah pedoman bagi kehidupan
masyarakat yang diyakini kebenarannya oleh para warga masyarakat
tersebut. Agama dilihat dan diperlakukan sebagai pengetahuan dan
keyakinan yang dipunyai oleh sebuah masyarakat; yaitu, pengetahuan dan
keyakinan yang kudus dan sakral yang dapat dibedakan dari pengetahuan
dan keyakinan sakral dan yang profan yang menjadi ciri dari kebudayaan.

3
Laporan PKL Mata Kuliah
Seksualitas

Pada waktu seorang ahli antropologi melihat dan memperlakukan


perilaku seks yang “benar” menurut agama sebagai kebudayaan, maka yang
dilihatnya adalah perilaku seks sebagai keyakinan yang hidup yang ada
dalam masyarakat manusia, dan bukan agama yang ada dalam teks suci,
yaitu dalam kitab suci Al Qur'an dan Hadits Nabi. Sebagai sebuah keyakinan
yang hidup dalam masyarakat, maka agama menjadi bercorak lokal; yaitu,
lokal sesuai dengan kebudayaan dari masyarakat tersebut. Mengapa
demikian? untuk dapat menjadi pengetahuan dan keyakinan dari masyarakat
yang bersangkutan, maka agama harus melakukan berbagai proses
perjuangan dalam meniadakan nilai-nilai budaya yang bertentangan dengan
keyakinan hakiki dari agama tersebut dan untuk itu juga harus dapat
mensesuaikan nilai-nilai hakikinya dengan nilai-nilai budaya serta unsur-
unsur kebudayaan yang ada, sehingga agama tersebut dapat menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari berbagai unsur dan nilai-nilai budaya dari
kebudayaan tersebut. Dengan demikian maka agama akan dapat menjadi
nilai-nilai budaya dari kebudayaan tersebut.

I.2. Perumusan masalah


Dengan realitas yang telah diuraikan dalam latar belakang di atas,
untuk mempermudah dan memperjelas arah penelitian ini, akan dibagi
menjadi beberapa pertanyaan, yaitu :
Bagaimana pola, peran dan eksistensi pembelajaran seksualitas yang
dipercaya sebagai cara “benar” berdasarkan ajaran agama Islam?

I.3. Tujuan penelitian


Selain memang untuk memenuhi tuntutan akademis dari dosen
pengajar mata kuliah seksualitas, kelompok kami juga mempunyai rasa
keingintahuan untuk menelusuri bagaimana proses pembelajaran hubungan
seks sebelum menikah melalui media agama, yang dalam hal ini adalah

4
Laporan PKL Mata Kuliah
Seksualitas

agama Islam yang faktanya adalah agama terbesar yang dipeluk oleh
penduduk Kejawan Lor. Kelompok kami melihat bahwa pembelajaran
mengenai hubungan seks yang baik lewat jalur agama sudah cukup lama
ada di Indonesia, namun belum ada penelitian yang khusus meneliti
mengenai hal tersebut, mengingat hal tersebut sangatlah unik karena masih
ada beberapa golongan yang menganggap berbicara masalah hubungan
seks dalam suatu forum agama adalah suatu hal yang tabu. Sehingga kami
berpikir bahwa perlu adanya suatu penelitian yang membahas detail
mengenai hal tersebut, dan disitulah kami memulainya. Kelompok kami
berharap bahwa hasil dari penelitian kami ini bisa dijadikan kerangka acuan
dalam memeperdalam kajian mengenai seks yang didasarkan oleh agama.
Penelitian ini mempunyai beberapa tujuan yang diantaranya adalah:
secara ilmiah bertujuan untuk menjawab pertanyaan yang terdapat pada
perumusan masalah di atas secara sistematis. Dengan penelitian yang
sistematis diharapkan masalah yang sudah terurai dapat digambarkan
jawabannya.
Tujuan umum dari penelitian ini adalah meramaikan kembali wacana
dalam bentuk karya tulis bertajuk budaya seksualitas, khususnya pokok
masalah perilaku seks dalam kajian antropologi sosial yang dibahas secara
holistik3.
Sedang tujuan khusus dari penelitian ini adalah memberikan sebuah
thick description dalam fenomena tentang: pola, peran dan eksistensi
pembelajaran seksualitas yang dipercaya sebagai cara “benar” berdasarkan
ajaran agama. Dengan demikian penelitian deskriptif ini selain menjelaskan
pola-pola keteraturan, juga berusaha memberikan gambaran pola pikir dan
perilaku masyarakat dalam kehidupan keseharian, terkait dengan sistem

3 Holistik merupakan pendekatan dalam ilmu antropologi untuk melukiskan (suatu) kebudayaan sebagai suatu
kesatuan yang terintegrasi. Atau jaringan yang terkait untuk unsur-unsur kebudayaan itu secara fungsional
(Sudikan, 2001:56).

5
Laporan PKL Mata Kuliah
Seksualitas

intepretasi mereka terhadap makna simbol–simbol agama yang tercermin


dalam budaya seksualitas tersebut.

I.4. Kerangka teori


Seperti telah diungkapkan pada latar belakang permasalahan, bahwa
isu-isu seksualitas sangat erat kaitannya dengan ranah gender dan
feminisme, maka untuk memahami konsep gender dan feminisme harus
dibedakan kata gender dengan kata seks (jenis kelamin). Sebagaimana
dikatakan oleh Maria Mies (dalam Abdullah 1997) bahwa seks ataupun
seksualitas manusia tidak bisa dilihat hanya sebagai masalah biologis.
Fisiologi manusia sepanjang sejarah telah dipengaruhi dan dibentuk oleh
dimensi sosial budaya hubungan manusia. Kaum feminis radikal mengatakan
bahwa pemisahan istilah seks dan gender melahirkan klasifikasi yang seolah-
olah bisa memberi batasan tajam antara apa yang biologis dan apa yang
sosio kultural (Abdullah 1997:32). Menurut Linda L. Lindsey (1990), dalam
bukunya yang berjudul “Gender Roles”, mengatakan:
”Sex is considered in light of the biological aspects of a person,
involving characteristics which differentiate females and males by
chromosomal, anatomical, reproduktive, hormonal, and other
physiological characteristics. Gender involves those social, cultural and
psychological aspects linked to males and females through particular
social contexts” (Lindsey, 1990:2).
Pengertian jenis kelamin (sex) merupakan pensifatan atau pembagian
dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat
pada jenis kelamin tertentu. Misalnya bahwa manusia jenis laki-laki adalah
manusia yang memiliki atau bersifat seperti daftar berikut ini: laki-laki adalah
manusia yang memiliki penis, memiliki jakala (kala menjing) dan

6
Laporan PKL Mata Kuliah
Seksualitas

memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi


seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki
vagina, dan mempunyai alat menyusui. Alat-alat tersebut secara biologis
melekat pada manusia jenis perempuan dan manusia jenis laki-laki. Artinya
secara biologis alat-alat tersebut tidak bisa dipertukarkan antara yang
melekat pada laki-laki dan perempuan. Secara permanent tidak berubah dan
merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagai ketentuan tuhan
atau kodrat (Fakih, 1999:8).
Sedangkan konsep gender, yaitu suatu sifat yang melekat pada kaum
laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural.
Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional,
atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap: kuat, rasional, jantan, perkasa.
Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan.
Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut,keibuan, sementara juga
ada perempuan yang kuat, rasional, perkasa. Perubahan ciri dan sifat-sifat itu
dapat terjadi dari waktu ke waktu dari dari satu tempat ke tempat yang lain.
Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah
sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities).
Namun yang menjadi persoalan, ternyata perbedaan gender telah melahirkan
berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama bagi kaum
perempuan dalam masalah pola pembelajaran hubungan seksual.
Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur dimana baik kaum laki-
laki maupun kaum perempuan menjadi korban dari sistem tersebut.
Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan,
yakni: pemuas seksual kaum Adam, marginalisasi atau proses pemiskinan
ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik,
pembentuksn stereotip atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence),
beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (lihat Fakih, 1999:12-13).
Untuk memperjelas peran analisis gender dalam pola pembelajaran

7
Laporan PKL Mata Kuliah
Seksualitas

budaya seks (baik masyarakat agamis ataupun tidak), perlu kiranya dipahami
paradigma di balik gerakan dan teori feminisme. Dalam arti luas, kesadaran
feminis berkaitan dengan pemahaman bahwa perempuan telah mengalami
diskriminasi atas dasar seksualitas, maka perubahan sosial yang mendasar
kemudian diperlukan agar kepentingan-kepentingan perempuan dan
“kebutuhan”-nya terpenuhi.
Rosemarie Tong (1989 dalam Fakih 1999) dalam feminist thought,
menjelaskan ragam feminisme ke berbagai aliran feminisme, seperti:
feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme Marxis, dan feminisme
sosialis. Sedangkan Linda L. Lindsey membagi feminisme ke dalam tiga
kelompok, yaitu feminisme liberal, feminisme sosialis, dan feminisme radikal.
Dari pembagian tersebut dimaksudkan untuk mempermudah analisis, bahwa
pola budaya pembelajaran seksualitas yang ”benar” bagi kaum hawa dalam
kepercayaan suatu masyarakat akan menunjukkan kecenderungan pada
salah satu aliran feminisme (lihat Fakih, 1999:10-12).
Teori-teori tentang strukturasi:
Fenomena atau keberadaan antara guru ngaji dan santri (pemuda-
pemudi kampung) dapat dikiaskan sebagai bentuk strukturasi yang berada di
dalam lembaga. Sebagai awal pemaparan dari teori strukturasi, Anthony
Giddens (2003) memulai pembahasan tentang pembagian-pembagian yang
telah memisahkan fungsionalisme (termasuk teori sistem) dan strkturalisme di
satu sisi dengan hermeneutika dengan berbagai bentuk ‘sosiologi
interpretatif’. Fungsionalisme dan strukturalisme memiliki beberapa kemiripan
yang jelas terlihat, meski ada pertentangan yang mencolok di antara kedua
faham itu. Strukturalisme dan fungsionalisme benar-benar menekankan
keunggukan keutuhan sosial atas bagian-bagian individualnya.
Jika sosio-interpretatif didasarkan pada imperialisme subyek,
fungsionalime dan strukturalisme mengusulkan digunakannya imperialisme
obyek sosial. Salah satu tujuan utama dalam merumuskan teori strukturasi

8
Laporan PKL Mata Kuliah
Seksualitas

adalah meletakkan suatu dasar pada masing-masing usaha pembangunan


kekaisaran tersebut. Menurut teori strukturasi, domain dasar kajian ilmu-ilmu
sosial bukanlah pengalaman aktor individu, maupun keberadaan bentuk apa
pun totalitas kemasyarakatan, namun merupakan praktek-praktek sosial yang
ditata menurut ruang dan waktu. Aktifitas-aktifitas sosial manusia bersifat
rekursif. Tujuannya adalah aktifitas-aktifitas sosial itu tidak dilaksanakan oleh
aktor-aktor sosial melainkan secara terus menerus mereka ciptakan melalui
alat-alat yang mereka gunakan mengekspresikan dirinya sendiri sebagai
aktor-aktor.
Pada dan melalui aktifitas-aktifitasnya (pengajian-pengajian), agen-
agen (ulama-ulama) memproduksi kondisi yang memungkinkan dilakukannya
aktifitas-aktifitas itu. Dalam teori strukturasi, titik awal hemeneutika sampai
kini diterima karena diakui bahwa uraian atas aktifitas-aktifitas manusia
menuntut adanya pengenalan terhadap bentuk-bentuk kehidupan yang
dungkapkan dalam aktifitas-aktifitas tersebut. Menjadi manusia berarti
menjadi agen bertujuan, yang keduanya memiliki alasan-alasan atas aktifitas-
aktifitasnya dan mampu menguraikannya secara berulang alasan-alasan itu
(Giddens, 2003:1-33).
 “Allah mewajibkan kepada kita agar berpegang teguh kepada kitabnya
(Alqur’an) dan Sunnah nabinya (As Sunnah), serta merujuk kepada
keduanya ketika terjadi perselisihan. Ia (juga) memrintahkan kepada kita
agar bersatu di atas Al Qur’an dan As Sunnah secara keyakinan dan
amalan…” (tafsir Al Qurthubi).
 “Dalam hubungan ini tinjauan pembahasan kitab uquddulujjain terkait
dengan ketaatan istri kepada suami di luar kemaksiatan, kewajiban istri
selalu beada di rumah suami, menjaga diri dari perbuatan mesum,
menutup aurat, dan mengenai masalah haid” (Nawawi, 2000).
 Selain itu hubungan seks sehat menurut Islam adalah hubungan
seksual yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan dalam ikatan

9
Laporan PKL Mata Kuliah
Seksualitas

pernikahan (bukan perzinahan), dan dengan cara-cara yang halal (antar


penis dan vagina) yang bisa mendatangkan kasih sayang dan
kebahagiaan bagi keduanya.

Menurut konsep Islam, hubungan seks bukanlah ajang


pelampiasan hawa nafsu, tetapi merupakan bagian mu’asyarah yang
prinsipnya berlandaskan pada mawaddah dan rahmah. Karena itu
mu’asyarah-nya harus bil ma’ruf yakni: kenikmatan yang dihasilkan
harus dirasakan bersama-sama (bukan sepihak, yang mengecewakan
bahkan menyakitkan pihak lain). Jadi suami harus menggauli istrinya
dengan cara yang baik dan menyenangkan, sebagaimana hadits
Rasulullah saw:
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang baik terhadap keluarganya, dan
saya adalah orang yang paling baik pada keluargaku, tidaklah
menghormati pada wanita kecuali orang yang mulia dan tidaklah
menghinakannya kecuali orang yang tercela.”
 “Dorongan seks. Satu yang jelas bahwa doronghan ini timbul pada
tiap individu yang normal tanpa pengaruh ilmu pengratahuan dan
memang dorongan ini mempunyai landasan biologi yang mendorong
makluk manusia untuk membentuk keturunan yang melanjutkan jenisnya”
(MacDougall, 1908)
semua aktivitas manusia yangbersangkutan dengan religi brdasarkan
atas suatu getaran jiwa yang biasanya disebut emosi keagamaan (religious
emotion). Emosi keagamaan ini biasanya pernah dialami oleh setiap
manusia, walaupun getaran emosi tersebut hanya berlangsung dalam
beberapa detik saja, untuk kemudian menghilang lagi. Emosi keagamaan
itulah yang mendorong manusia untuk berbuat tindakan religius.

10
Laporan PKL Mata Kuliah
Seksualitas

I.5. Metode penelitian


Metode penelitian ini dipilih dengan mempertimbangkan kesesuaian
antara obyek yang diteliti serta studi ilmu yang bersangkutan. Untuk
mendeskripsikan secara mendalam fenomena budaya pembelajaran
seksualitas, maka penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Dengan
metode ini diharapkan temuan-temuan empiris dapat dideskripsikan secara
lebih rinci, lebih jelas dan lebih akurat, terutama berbagai hal yang berkaitan
dengan prosesi ritual ruqyah.
Salah satu pendekatan dari metode kualitatif yang tepat digunakan
pada penelitian ini adalah etnometodologi yang menghasilkan karya
etnografi. Pendekatan ini pada awalnya diperkenalkan oleh Harorld Garfinkel
(Pendit, 2003:281). Seperti yang disarankan oleh Bogdan dan Biklen
(1982:37 dalam Dyson, 2001:117), bahwa etnometodologi tidaklah mengacu
kepada suatu model atau teknik pengumpulan data ketika seseorang sedang
melakukan suatu penelitian, tetapi lebih memberikan arah mengenai masalah
apa yang akan diteliti. Moleong (1988) mendefinisikan sebagai berikut:
“Studi tentang bagaimana individu menciptakan dan memahami
kehidupannya sehari–hari. Subyek etnometodologi adalah orang–orang
dalam pelbagai macam situasi dalam masyarakat kita. Etnometodologi
berusaha memahami berbagai orang–orang mulai melihat, menerangkan
dan menguraikan keteraturan dunia tempat mereka hidup” (Moleong,
1988:15).
Dengan menggunakan pendekatan ini, lebih banyak dipelajari suatu
fenomena dengan pendukung kebudayaan tersebut, sehingga peneliti dapat
memahami dan mendeskripsikannya. Salah satu antropolog kenamaan
Clifford Geertz yang mendorong para ilmuwan sosial (khususnya para
antropolog) agar mementingkan sisi pandang yang diteliti. Itu sebabnya
antropologi memerlukan pendekatan yang mampu menghasilkan thick
description, yaitu gambaran yang sangat kental atau padat dan terinci. Dalam

11
Laporan PKL Mata Kuliah
Seksualitas

hal ini maka dalam sebuah laporan penelitian etnografi dapat dikatakan
sebuah “fiksi antropologis” (meminjam istilah Pendit, 2003) yang berupaya
keras mengungkapkan sebuah obyek penelitian dari sisi pandang peneliti.
Dalam hal ini dapat dikategorikan pula sebagai penelitian eksplorasi yang
bersifat emic. Jadi bukan menurut konsep dan tafsir peneliti.
Salah satu kritik terhadap etnometodologi (yang ditulis kembali oleh Pendit
2003:284-285) adalah pada keengganan peneliti menggunakan banyak
analisis teori dengan alasan ingin mengungkapkan sisi pandang obyek
penelitian sebagaimana adanya. Dengan kata lain etnometodologi lebih
mengutamakan bukti-bukti empiris daripada teori. Perdebatan tentang hal ini
sampai menimbulkan tuduhan bahwa karya etnografi adalah empirisme gaya
baru saja dan memicu perdebatan baru tentang hubungan atau pertentangan
antara pengetahuan berdasarkan teori dan pengalaman.
Terlepas dari kritik-kritik di atas, etnometodologi telah berkembang
dan diterima sebagai salah satu upaya untuk mengurangi “pengaruh ilmu
eksak” terhadap ilmu sosial. Sebagai sebuah pendekatan dalam metode
penelitian ilmiah, etnometodologi dianggap sudah dapat membantu para
ilmuwan sosial-budaya dalam memahami fenomena di masyarakat, --
khususnya dalam hal ini fenomena pola budaya pembelajaran seksualitas--
bukan sebagai benda-benda mati yang tidak berjiwa.

I.6. Lokasi penelitian


Pemilihan lokasi ini dilakukan secara purposive atau sengaja. Karena
secara langsung penelitian ini berlokasi di suatu tempat yaitu di RT 3 RW 2,
Kampung Kejawan Lor, Kelurahan Kenjeran, Kecamatan Bulak, Kota
Surabaya.

12
Laporan PKL Mata Kuliah
Seksualitas

I.7. Teknik penentuan informan


Untuk memperolah kedalaman materi yang disajikan serta validitas
data yang diperoleh, maka pemilihan informan menjadi sesuatu yang sangat
penting mengingat dari merekalah awal mula data diperoleh dan
dikembangkan dalam proses selanjutnya.

Informan adalah orang-orang yang pengetahuannya luas dan mendalam


mengenai masalah ruqyah, sehingga ikut memberikan informasi yang
bermanfaat (Bungin, 2001:208). Informan dipilih berdasarkan beberapa
kriteria tertentu, dan pemilihan ini juga dilakukan secara purposive (sengaja)
berdasarkan informasi awal yang diperoleh peneliti. Sedangkan kriteria
pemilihan informan sebagaimana dikemukakan oleh Spreadley (1995:61-70)
adalah sebagai berikut:
1. Enkulturasi penuh
Enkulturasi merupakan proses yang ada dan pasti dalam setiap studi
tentang suatu budaya tertentu. Informan yang baik adalah bagaimana ia
mengetahui dengan jelas baik secara perilaku maupun kognisi budaya
mereka tanpa harus memikirkannya. Kriteria ini merujuk pada para informan
yang (pernah) secara intens mengikuti pola kajian sebagai pembelajaran
budaya seksualitas. Sehingga informan tersebut bersedia memberikan
informasi segala sesuatu yang berhubungan dengan peran dan eksistensi
budaya pembelajaran seksualitas melalui media agama Islam.
2. Keterlibatan langsung
Keterlibatan langsung serta aktif seseorang informan dalam setiap
perkembangan budaya juga merupakan hal yang cukup penting. Untuk hal ini
peneliti merujuk pada santri yang mengikuti kajian tersebut.

3. Suasana budaya yang tidak dikenal

13
Laporan PKL Mata Kuliah
Seksualitas

Dalam kondisi ini jika seorang peneliti mempelajari suatu budaya tertentu,
dimana budaya tersebut tidak dikenalnya, maka seorang peneliti diharuskan
menciptakan sebuah hubungan yang sinergis dan produktif dengan informan.
Sementra itu seorang peneliti juga diharuskan mempunyai sensitifitas yang
tinggi terhadap kemampuan membaca fenomena sosial yang sedang ia
amati.

4. Cukup waktu
Dalam pemilihan seorang informan, maka hal – hal yang harus mendapat
perhatian khusus adalah informan – informan yang mempunyai cukup waktu
luang dan bersedia meluangkan waktunya untuk penelitian ini. Kemudian
dalam melakukan wawancara dengan informan, idealnya waktu-waktu yang
dipilih adalah siang dan sore hari atau waktu-waktu lain yang telah disepakati
antara peneliti dengan informan.
5. Non analitik
Informan yang bagus adalah ketika ia dapat memberikan sebuah respon
yang cukup positif terhadap setiap pertanyaan–pertanyaan yang diajukan
oleh peneliti, tanpa ia harus memberikan sebuah analisa yang rumit terhadap
pertanyaan tersebut. Sehingga informasi yang didapat bersifat polos apa
adanya. Dan akhirnya informan – informan yang dipilih adalah informan yang
memenuhi kriteria – kriteria di atas.
I.8. Strategi pengumpulan data
Agar memperoleh informasi yang akurat mengenai terapi pola pembelajaran
hubungan seks, penelitian ini dilakukan dengan cara pengamatan langsung
dan wawancara yang disertai dengan catatan lapangan. Dimana dengan
teknik tersebut dapat menghasilkan data ilmiah yang autentik dan
validitasnya dapat dipertanggung jawabkan.

I.8.1. Data Primer

14
Laporan PKL Mata Kuliah
Seksualitas

I.8.1.1.Pengamatan langsung (observasi)


Dalam penelitian ini digunakan pengamatan langsung (observasi) dan
terlibat terhadap fenomena yang terjadi pada wilayah observasi, baik berupa
budaya fisik, situasi, kondisi maupun perilaku. Sehingga dapat diatikan
bahwa pengamatan langsung dan terlibat adalah suatu pengamatan yang
dibarengi interaksi antara peneliti dengan informan.

Sudikan (2001:59) menyarankan dalam pengamatan langsung diperlukan


pendekatan antropologi visual, yaitu berupa penggunaan alat bantu seperti
alat pemotret (kamera) untuk mengambil foto atau gambar hidup (sebagai
dokumentasi) pada obyek-obyek yang relevan dengan tema yang hendak
diteliti, serta berhubungan dengan latar belakang etnografisnya.

I.8.1.2. Wawancara mendalam


Dalam penelitian kualitatif, untuk mendapatkan sebuah gambaran
yang jelas mengenai pola budaya dalam suatu komunitas tertentu, Sevilla
(1992:71) menuliskan bahwa salah satu ciri penting dalam penelitian adalah
komunikasi langsung antara peneliti dengan informan yang telah ditentukan.
Bentuk komunikasi langsung tersebut berupa wawancara terbuka
(open interview) dan mendalam (in depth interview). Maksud dari wawancara
ini adalah untuk mengumpulkan seluruh keterangan dari pengamatan
pembelajaran, sampai dengan peran dan eksistensi pola pembelajaran
seksualitas.
Pelaksanaan wawancara tidak hanya sekali atau dua kali, melainkan
berulang-ulang dengan intensitas yang tinggi. Sudikan (2001:64)
menambahkan, untuk memfokuskan wawancara, diperlukan catatan daftar

15
Laporan PKL Mata Kuliah
Seksualitas

pokok-pokok pertanyaan yang disebut pedoaman wawancara (interview


guide).
berikut adalah biodata dari informan kami;

1. Nama : Ani
Pekerjaan : Ibu rumah tangga dan Ketua RT
Umur : 42 tahun
Jenis kelamin : Wanita
2. Nama : Maisaroh
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Umur : 40 tahun
Jenis Kelamin : Wanita
3. Nama : Thariq Hamdan Fawaid
Pekerjaan : pelajar
Umur : 17 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
4. Nama : Ghanim
Pekerjaan : guru les privat
Umur : 20 tahun
Jenis Kelamin : Wanita
5. Nama : Siti Arifah
Pekerjaan : Guru fisika MTS
Umur : 27 tahun
Jenis Kelamin : Wanita

Dengan pedoman wawancara yang digunakan sebagai penuntun,


kondisi ini memungkinkan proses wawancara berlangsung dangan santai dan
tekesan akrab. Sehingga ketika proses wawancara telah menciptakan kondisi
yang intens, maka informasi yang dihasilkan akan lebih detail.

16
Laporan PKL Mata Kuliah
Seksualitas

I.8.2. Data-data sekunder


Pemanfaatan data–data sekunder adalah untuk mendapatkan
informasi yang bersifat tetap, biasanya yang berhubungan dengan keadaan
fisik lokasi penelitian. Dan juga akan pemanfaatan buku – buku referensi
yang terdapat di tempat tertentu (ruang rujukan, perpustakaan) atau atas
saran informan dimana dapat memperoleh buku tersebut; makalah–makalah
yang menunjang dan relevan, serta majalah dan tabloid yang memuat tema
besar penelitian kali ini. Teknik pengumpulan data ini dapat juga dilakukan
dengan cara mengutip, mencatat arsip–arsip, dokumen resmi, hasil penelitian
terdahulu, maupun data yang belaku sekarang dan yang berkaitan dan
diperlukan dalam penelitian ini.

I.9. Analisis data


Penelitian tentang pembelajaran seksualitas ini menggunakan strategi
analisis kualitatif. Strategi ini dimaksudkan bahwa analisis bertolak dari data
dan bermuara pada simpulan-simpulan umum. Di dalam penelitian ini,
kesimpulan umum itu bisa berupa kategorisasi maupun proposisi. Untuk
membangun proposisi ayau teori dapat dilakukan dengan analisis induktif.
“Berdasarkan strategi analisis data yang digunakan, dalam rangka
membentuk kategorisasi, maupun proposisi-proposisi, maka di dalam
penelitian (kualitatif), analisis data dilakukan secara induktif” (Bungin,
2001:209).
Maka dalam penelitian ini, akan digunakan analisis induktif melalui
beberapa tahap. Setidaknya Taylor dan Bogdan (1984:127 dalam Bungin,
2001:209) adalah sebagai berikut: (a) membuat definisi umum atau
kategorisasi yang bersifat sementara tentang ruqyah, gangguan jin dan sihir,
(b) merumuskan suatu hipotesis untuk menguji kategorisasi tersebut secara
triangulasi, hal mana didasarkan pada hasil wawancara mendalam,

17
Laporan PKL Mata Kuliah
Seksualitas

pengamatan terlibat dan dokumentasi dari berbagai sumber (informan, waktu


dan tempat) yang berbeda, (c) mempelajari satu kasus untuk melihat
kecocokan antara kategorisasi dan hipotesis, (d) bila ditemui kasus negatif,
diformulasikan kembali hipotesis atau didefinisikan kategorisasi, (e)
dilanjutkan sampai hipotesis benar-benar dapat dijelaskan dengan cara
menguji kategorisasi yang bervariasi.
Dari rumusan tersebut di atas, dapatlah kita menarik garis, bahwa
analisis data pada penelitian kualitatif berfungsi untuk mengorganisasikan
data. Data yang tekumpul banyak sekali dan terdiri dari catatan lapangan,
foto dokumentasi, biografi, artikel dan sebagainya. Strategi analisis data
dalam hal ini ialah mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, dan
mengkategorikannya.
Dalam analisis, data tersebut dikaitkan dengan acuan teoritik yang
relevan dan sesuai dengan masalah yang dibahas dan sesuai dengan
perkembangan di lapangan. Yaitu dengan menggambarkan, menjelaskan
dan menguraikan secara detail atau mendalam dan sistematis tentang
keadaan yang sebenarnya, yang kemudian akan ditarik suatu kesimpulan
sehingga diperoleh suatu penyelesaian masalah penelitian yang memuaskan.
Untuk menghindari kesalahan-kesalahan analisis data, maka peneliti
menggunakan tahap-tahap analisis induktif tersebut di atas dengan cara
silang (Bungin, 2001:210). Maksudnya data yang diperoleh dari responden,
disilang dengan teori-teori seks, teori-teori gender, feminisme dan
seksualitas, maupun teori-teori tentang strukturalitas. Akhirnya perlu
dikemukakan bahwa analisis data itu dilakukan dalam suatu proses. Proses
berarti pelaksanaannya sudah mulai dilakukan sejak pengumpulan data
dilakukan dan dikerjakan secara intensif, yaitu sesudah meninggalkan lokasi
penelitian.
Dari data primer yang diperoleh kemudian dideskripsikan sebagai
penjelasan secara terperinci tentang budaya pola pembelajaran seksualitas.

18
Laporan PKL Mata Kuliah
Seksualitas

Sedangkan data sekunder yang diperoleh sebagai pendukung penjelasan


dari data primer.

19
Laporan PKL Mata Kuliah
Seksualitas

BAB II
Sejarah desa

II.1. Sejarah lokasi


Pada awalnya asal kata Kejawan Lor bukan berasal dari daerah
dimana saat ini berada kampung Kejawan berada. Tetapi terdapat di daerah
tetangga, yang berdekatan dengan daerah sekarang. Jadi daerah ini pada
awalnya merupakan tempat mendarat atau merapatnya perahu-perahu
tradisional nelayan.
Sebelumnya daerah ini, merupakan hutan bakau yang tidak terdapat
penghuni. Namun seiring waktu hanya terdapat beberapa gubug-gubug
nelayan. Gubug-gubug tersebut dihuni baik dari etnis Jawa manupun Madura
dari seberang. Karena lambat laun gubug –gubug tersebut menjadi banyak,
dan tak jarang yang membangun rumah sekaligus, maka daerah ini sengaja
dibuat sebuah perkampungan. Perkampungan nelayan yang tak hanya dihuni
oleh penduduk lokal saja. Maka nama yang diinginkan oleh penduduk
setempat adalah nama yang netral, tidak Jawa dan tidak Madura, hingga
akhirnya disepakati nama “Kejawan”. Sedang kata “Lor” yang mengikuti kata
Kejawan, dalam bahasa Jawa berarti arah utara, karena lokasinya yang
terletak di ujung utara (tepi laut).

II.2. Lokasi Secara Administratif


Secara administratif, kampung Kejawan Lor berada di wilayah
kelurahan Kenjeran, kecamatan Bulak, kota Surabaya. Dimana Surabaya
merupakan ibukota propinsi Jawa Timur yang memiliki letak geografis 07o 12’
LS – 07o 21’ LS, dengan luas wilayah 280,44 km2 dan berpenduduk lebih dari
tiga juta jiwa. Hal inilah yang menjadikan Surabaya sebagai kota terbesar
kedua di Indonesia (Surabaya & Perkembangan, 2004).

20
Laporan PKL Mata Kuliah
Seksualitas

Kelurahan Kenjeran terletak kurang lebih 12 km dari pusat kota Surabaya.


Kondisi Demografinya adalah berada di ketinggian 0,50 m di atas
permukaan air laut, dengan kondisi topografi yaitu merupakan daerah pantai
dengan suhu udara rata – rata 36o C. Sedang batas-batas wilayah kelurahan
yaitu, sebelah utara, Selat Madura dan kelurahan Bulak; selatan, kelurahan
Komplek Kenjeran; barat, kelurahan Bulak dan kelurahan Gading; dan bagian
timur, Selat Madura (Surabaya & Perkembangan, 2004).

II.3. Potensi sumber daya masyarakat


Potensi sumber daya yang dimiliki di daerah Kejawan Lor, kelurahan
Kenjeran, kecamatan Bulak ialah sebagian besar pada berbagai macam hasil
laut, diantaranya berbagai jenis ikan, kerang dan udang Jumlah keluarga
menurut ketua RT 3/02 (Kampung Kejawan Lor) sampai dengan tahun 2006,
lebih kurang terdiri dari 70 kepala keluarga yang keseluruhannya beragama
Islam.
Karena fasilitas pendidikan formal yang beragam, penduduk kampung
Kejawan Lor rata-rata telah mengenyam pendidikan umum, mulai SD, SMP,
SLTA hingga sarjana. Sedangkan pada pendidikan khusus berbasis agama,
beberapa diantara penduduk setempat juga mengenyam pendidikan informal
di pondok pesantren.
Mata pencaharian mayoritas penduduk kampung Kejawan Lor,
kecamatan Bulak ini adalah sebagai nelayan, meskipun ada juga yang
bermata pencaharian di bidang jasa, petani tambak, guru atau pegawai
lainnya.
Maka tak salah jika kampung Kejawan Lor disebut “kampung
nelayan”, karena pada umumnya atau secara mayoritas pekerjaan utama
mereka adalah sebagai nelayan, yang merupakan warisan dari nenek
moyang mereka. Dalam mencari hasil laut mereka tidak terlalu bergantung
pada waktu dan musim, karena mayoritas nelayan di tempat tersebut

21
Laporan PKL Mata Kuliah
Seksualitas

merupakan nelayan pantai, yang mana daerah tangkapan hanya sekitar


pantai, dan kalaupun tangkapannya lebih dari 50 km, itupun tidak jauh dari
garis pantai. Perahu yang digunakan nelayan untuk melaut dibedakan juga
pada jenis mesin yang digunakannya, yaitu: perahu dengan mesin bensin;
perahu dengan mesin diesel; dan perahu bermesin bensin dan diesel.

II.4. Kognisi masyarakat


Anak-anak muda yang sudah memasuki tahap pubertas hingga yang
sudah dewasa namun belum menikah antara usia 16-25 tahun di kampung
Kejawan Lor diberi bahasan khusus yang sudah diatur dalam setiap
pengajian islam harian, mengenai hubungan seks yang baik saat mereka
menikah kelak. Pembelajaran itu berdasarkan salah satu kitab yang terkenal
dalam dunia Islam yaitu kitab Uqudullujen. Kitab tersebut membahas
masalah bagaimana membangun hubungan rumah tangga yang
islami,termasuk di dalamnya terdapat ajaran-ajaran mengenai hubungan
seks yang baik. Bahasan mengenai kitab uqudullujen tersebut diadakan rata-
rata dua kali dalam seminggu di suatu masjid yang diajarkan oleh kyai Sholeh
yang memang dikenal sebagai pemuka agama Islam di kampung Kejawan
lor. Masalah hubungan seks yang biasanya dibahas adalah hari-hari yang
baik untuk berhubungan seks, hari-hari yang dilarang untuk berhubungan
seks, cara mengajak yang baik dsb.
Pengajian tersebut diikuti oleh murid-murid baik wanita maupun laki-
laki, mereka berkumpul dalam satu ruang dan dibatasi oleh kain pembatas
seperti yang umum kita lihat di masjid-masjid. Adapun hari-hari yang dilarang
untuk melakukan hubungan seks adalah
1) hari raya Idul Fitri,
2) hari raya Idul Adha,
3) saat ada tetangga meninggal namun belum dikuburkan.
dan hari-hari yang dianjurkan untuk berhubungan seks adalah hari

22
Laporan PKL Mata Kuliah
Seksualitas

1) senin
2) rabu
3) dan jum’at.
Dalam “mengajak”pun pria maupun wanita haruslah saling pengertian satu
sama lainnya, tidak bolah ada dominasi dari satu pihak saja, namun seperti
dalam kajian Islam lainnya Istri ditempatkan di pihak yang harus menurut apa
kemauan suami, termasuk saat meminta jatah berhubungan seks. Bahkan
menurut ajaran agama Islam, Istri yang menolak diajak untuk berhubungan
seks (selain pada saat menstruasi) mereka akan mendapat laknat Allah
sampai si suami memaafkannya. Hadistnya adalah:
“wanita mana saja yang diajak suaminya ke tempat tidurnya lalu ia
menunda-nunda hingga suaminya tidur, maka ia dilaknat Allah “ ( H.R.
Karena tingkat ke-religiusitas-an mereka tergolong tinggi, maka aturan-aturan
tersebut sangat efektif untuk diterapkan kepada mereka, sehingga di
kampung ini media pembelajaran seks melalui agama masih eksis dan
sangat digemari.

23
Laporan PKL Mata Kuliah
Seksualitas

Bab III
Analisa Data

Hal yang sebenarnya perlu diperhatikan disini adalah bagaimana


agama bisa menjadi suatu media pembelajaran seks yang sangat efektif.
Emosi keagamaan yang timbul di dalam jiwa masyarakat Kejawan lor adalah
menjadi faktor pendukung yang sangat kuat, karena memang emosi
keagamaan sendiri adalah pondasi awal berdirinya suatu agama menurut
Emile Durkheim. Emosi keagamaan ini menjadi beckground penyemangat
masyarakat Kejawan untuk menaati setiap tatanan yang ditawarkan oleh
agama pada setiap persoalan hidup tidak terkecuali pada permasalahan
hubungan seks, dalam kasus ini adalah Islam sebagai agama mayoritas di
kampung Kejawan. Hubungan seks yang diatur oleh agama disini tidak terlalu
detail seperti apa yang dituliskan dalam Kama Sutra dengan gaya-gaya
seksnya, namun lebih pada aturan-aturan berhubungan seks diluar gaya-
gaya dalam berhubungan seks, aturan-aturan pra hubungan seks, aturan
hubungan seks yang benar dan aturan pasca berhubungan seks.
Aturan-aturan dalam berhubungan seks ini menyangkut hari-hari yang
disarankan oleh Islam untuk berhubungan seks, hari-hari yang dilarang oleh
Islam dalam berhubungan seks, cara mengajak behubungan seks baik dan
sopan. Aturan-aturan pra berhubungan seks menyangkut do’a-do’a sebelum
berhubungan seks, labih baik mandi terlebih dahulu sebelum melakukan
hubungan dan wudhlu. Aturan hubungan seks yang benar menyangkut
bagaimana kita seharusnya melakukan hubungan seks yang sesuai dengan
apa yang sudah digariskan olah Tuhan. Seperti misal hubungan seks tidak
diperbolehkan penetrasi melalui anus atau yang sering disebut dengan istilah
anal seks. Hal tersebut tertulis dalam hadist nabi Muhammad SAW yang

24
Laporan PKL Mata Kuliah
Seksualitas

berbunyi: atau agama Islam melarang pasangan suami istri melakukan


hubungan seks pada saat istri mengalami menstruasi.
Sedangkan hubungan yang mengatur pasca berhubungan seks yaitu
berdoa dan diharuskan langsung mandi junub atau mandi besar dimana
berarti badan dibersihkan dari segala noda-noda jasmaniah setelah
berhubungan seks.
Sebenarnya bila aturan-aturan tersebut dikorelasikan dengan
seksiologi, memang banyak benarnya, contohnya saja hari yang ditawarkan
untuk berhubungan seks hanya tiga kali dalam seminggu. Di dunia
seksiologipun hubungan seks yang sehat berkisar antara dua sampai tiga kali
dalam seminggu, karena sekali berhubungan seks tubuh kita mengeluarkan
energi yang banyak, sehingga bila dilakukan terlalu sering dikhawatirkan
stamina kita akan terkuras habis disaat-saat penting lainnya. Aturan
mengenai pangajakan hubungan seks yang baik ditujukan agar lelaki
maupun wanita yang mengajak memilki kesopanan dan tidak kasar ataupun
terjadi pemaksaan, karena pemaksaaan yang dilakukan untuk berhubungan
seks tidak akan menghasilkan seks yang baik dan cenderung terjadi hal yang
tidak diinginkan pada organ vital wanita seperti contohnya wanita yang
dipaksa untuk melakukan hubungan seks saat dirinya enggan untuk
melakukannya, si wanita tentunya sangat tidak bergairah saat melakukan,
akhirnya vagina tidak mengalami lubrikasi (proses keluarnya cairan pelicin
yang membahasi dinding vagina) dan mengakibatkan iritasi pada dinding
vagina dan terjadi luka. Hal tersebut juga bisa mengakibatkan sakit yang
sering kita dengar dengan istilah “cengger ayam” dimana labia minora vagina
mengalami pembengkakan sebab iritasi akibat gesekan dengan penis tanpa
adanya lubricrant yang cukup. Iritasi juga bisa terjadi pada penis pria bila saat
penetrasi ke vagina yang tidak mengalami lubrikasi. Membaca do’a sebelum
melakukan hubungan seks merupakan salah satu gerbang menuju kesiapan
psikis dan fisik dalam berhubungan seks. Kita tahu bersama bahwa

25
Laporan PKL Mata Kuliah
Seksualitas

ketidaksiapan fisik dan psikis akan membawa dampak yang mengerikan


pada wanita terutama. Dinding vagina bisa tiba-tiba mengalami pengerutan
dan penegangan yang luar biasa sebagai konsekuensi dari ketidaksiapan
psikis yang berujung pada ketidaksiapan fisik wanita, sehingga sering kita
dengar tentang pasangan (biasanya belum menikah) sedang melakukan
hubungan seks, tiba-tiba saat penetrasi penis si lelaki tidak dapat dikeluarkan
lagi dari liang vagina perempuan dan fenomena ini sering dihubungkan
dengan hal-hal yang gaib semisal hubungan yang tidak direstui oleh “penjaga
gaib” tempat dimana hubungan seks dilakukan. Dengan melihat hal tersebut
kesiapan mental (psikis) yang berujung pada kesiapan secara fisik perlu
ditunjang dengan suatu ritual khusus yaitu dengan berdo’a, karena ritual
khusus dari suatu kepercayan dapat membantu kesiapan psikis sekaligus
fisik.
Dianjurkan untuk mandi dan wudhlu sebelum berhubungan seks, agar
badan kita tidak menimbulkan bau dan membuat pasangan enggan
melakukan hubungan seks. Mandi juga menghilangkan kuman-kuman serta
bakteri yang menempel di sekitar organ vital, sehingga tidak menimbulkan
penyakit. Dalam Islam kita tidak boleh melakukan penetrasi (saat melakukan
hubungan seks) melalui anus atau dubur. Mungkin bagi kita yang beragama
Islam atau Kristen pernah mendengar cerita mengenai kota Sodom dan
Gommorah yang dihancurkan oleh Tuhan karena rakyatnya banyak berbuat
maksiat seperti berzina (melakukan hubungan seks atau bentuk interaksi fisik
yang menjurus pada hubungan badan dengan pasangan yang bukan
semestinya), lalu kelainan seks seperti sodomi (anal seks), homoseks
(pasangan sejenis, lesbi dan gay). Jadi dalam hal ini Islam sangatlah
melaknat hubungan-hubungan seks diluar kewajaran. Dalam dunia
seksiologipun melakukan penetrasi melalui anus atau dubur dianjurkan untuk
dijauhi. Pertama, dinding anus sangatlah tipis dan banyak pembuluh darah di
dalamnya. Sehingga bila pelaku anal seks mempunyai suatu penyakit

26
Laporan PKL Mata Kuliah
Seksualitas

menular akan sangat medah menulari pasangannya. Apalagi anus tidak bisa
mengalami lubrikasi, sehingga sangat mudah pada dua alat kelamin baik itu
penis atau dinding anus terjadi luka akibat gesekan denga penis, dan bila
terjadi luka, maka penyakit akan cepat menular. Kedua dalam anus banyak
sekali terdapat bakteri yang merugikan sehingga bila kulit penis bergesekan
timbul luka lalu terkena bakteri dalam anus, maka akan beresiko terkena
penyakit akibat infeksi bakteri.
Agama Islam juga melarang umatnya untuk berhubungan seks saat
sang istri mengalami menstruasi. Menstruasi adalah peristiwa saat sel-sel
telur yang tidak terbuahi keluar dalam bentuk gumpalan-gumpalan darah. Bila
dalam keadaan ini wanita dipaksa untuk berhubungan seks, maka
kemungkinan akan terkena kanker rahim. Mandi junub atau disebut mandi
besar adalah mandi…. Saat berhubungan seks manusia membakar kalori
sebanyak mungkin untuk menghasilkan tenaga, sehingga suhu tubuhpun
meningkat dan tubuh mengeluarkan keringat. Bila keringat ini bercampur
dengan bakteri, maka akan menimbulkan bau yang tidak sedap serta
endapan keringat pada tubuh akan terasa lengket dan tidak nyaman ketika
akan beranjak tidur. Sehingga alangkah baiknya bila sesudah melakukan
hubungan seks, pasangan suami istri mandi junub.
Islam memang menempatkan posisi wanita dibawah lelaki dalam hal
seksualitas. Dengan adanya ayat-ayat yang kami tuliskan diatas bahwa,
wanita seakan diarahkan olah Islam agar menjadi individu yang penurut
disertai dengan “ancaman-ancaman” bila tidak melakukan apa yang suami
linginkan. Dalam seksualitas Islam, istri hanya diberi dua kesempatan
menolak suami saat mengajak berhubungan seks, yaitu: pada saat istri
sedang menstruasi dan pada saat suami mengajak istri untuk berhubungan
seks lewat anus. Hal ini sebenarnya cukup berbahaya, bila istri melakukan
hubungan seks tidak atas dasar ketulusikhlasan, maka akan terjadi hal-hal
yang tidak diinginkan seperti yang kami tulis diatas. Bila terus menerus suami

27
Laporan PKL Mata Kuliah
Seksualitas

yang aktif meminta, maka istri akan cenderung menunggu terus tanpa mau
berinisiatif terlebih dahulu, karena memang sudah terbiasa “dimintai”,
bukannya “meminta”. Hal ini akan membuat perempuan terus menerus
impulsif dan pasif dalam berhubungan seks. Karena istri sudah terbiasa
sebagai posisi penerima, dan ditempatkan pada posisi penurut.

28
Laporan PKL Mata Kuliah
Seksualitas

Bab IV
Kesimpulan

. Hal-hal yang seperti kami ungkap di bab analisa data membuat kami
sedikit berpikir bagaimana agama bisa menjalankan perannya hingga begitu
detail, sampai ke mengatur hubungan seks yang baik pasangan suami istri.
Mungkin jawabannya terletak pada fungsi agama bagi manusia itu sendiri.
Agama sebagai pattern for behaviour mengatur tingkah laku manusia dan
berusaha mengarahkan manusia ke arah yang baik. Karena pada dasarnya
agama adalah media bagi umat manusia yang ingin hidup damai di bumi dan
di alam lainnya nanti. Aturan-aturan yang mengatur tingkah laku manusia ini
terkadang dianggap tidak bisa sejalan dengan ilmu pengetahuan modern.
Namun disini kami bisa membuktikan bahwa sebenarnya, dalam masalah
hubungan seks, agama dan ilmu pengetahuan modern bisa berjalan
beriringan dan mempunyai korelasi satu sama lain. Banyak aturan-aturan
agama mengenai hubungan seks yang ternyata bisa dijelaskan dan benar
menurut seksiologi modern. Mungkin bila kita lihat sepintas lalu, aturan-
aturan agama yang berkaitan dengan berhubungan seks tersebut hanya
menyentuh sisi luar,yang artinya hanya menyentuh pada sisi norma-norma,
filosofi, dan religinya saja. Namun bila kita selidiki lebih dalam lagi
sebenarnya aturan-aturan tersebut juga ikut menyangkut kesehatan alat
reproduksi, dan juga kesehatan tubuh kita sendiri. Kajian-kajian mengenai
kesehatan alat reproduksi ini tidaklah nampak diluaran, karena memang tidak
pernah dibahas dalam pengajarannya. Namun karena emosi keagamaan
yang kuat dari masyarakat Kejawan Lor, maka hal tersebut tidak pernah
dipertanyakan secara mendetail, Di kampung Kejawan lor mungkin sosialisasi
seksiologi tidak akan efektif, bila dibandingkan dengan sosialisasi hubungan
seks yang baik melalui media agama seperti misalnya di pengajian-pengajian

29
Laporan PKL Mata Kuliah
Seksualitas

rutin yang biasa diselenggarakan di langgar atau masjid. mereka hanya


menerima ajaran dari tokoh agama disana dan benar-benar meyakini kalau
apa yang diajarkan oleh Islam adalah yang terbaik untuk umatnya.
Mungkin saran dari kelompok kami adalah bagaimana membuat kajian
ini bisa lebih meluas lagi daya jangkaunya. Jadi, pengajian yang
mengajarkan tentang hubungan seks yang ideal tidak hanya diberikan
kepada pemuda dan pemudi saja, namu juga pada pasangan suami dan istri
yang terkadang masih butuh pengajaran lagi. Suami istri belum tentu
mengerti apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya tidak
dilakukan menurut agama Islam. Atau mungkin pihak masjid bekerjasama
dengan lembaga-lembaga seperti PKK atau Karang Taruna untuk
mengadakan pengajian tentang hubungan seks yang Islami sehingga lebih
mudah dalam prosedur mengumpulkan jamaah, dan juga yang diajari tidak
hanya santri dan santriwati yang khusus mengaji, namu juga orang umum.
Karena memang pendidikan dalam bidang apapun adalah bukan milik satu
golongan, namunmilik kita bersama. Mari kita bentuk tata dunia baru
masyarakat Indonesia yang sadar akan pentingnya kesehatan dan sadar
akan pentingnya pendidikan di bawah satu mata yang melihat segalanya.
Novus Ordo Seclorum.

30
Laporan PKL Mata Kuliah
Seksualitas

Daftar Pustaka

Abdullah, Irwan
1997 Sangkan Paran Gender, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Bungin, Burhan.
2001 ‘Strategi Multi Farious-Method di Dalam Penelitian Media
Massa’ dalam Burhan Bungin, ed. Metode Penelitian Kualitatif.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hlm. 199-214.

Dyson, L.
2001 ‘Peran Etnometodologi dalam Penelitian Sosial’ dalam Burhan
Bungin, ed. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, hlm. 117-121.

Fakih, Mansour
1999 Analisis Gender Dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar

Giddens, Anthony
2003 Teori Strukturasi Untuk Analisis Sosial, Pasuruan: Penerbit
Pedati

Lindsey, Linda L.

31
Laporan PKL Mata Kuliah
Seksualitas

1990 Gender Role (A Sociological Perspective), New Jersey: Prentice


Hall Inc

Moleong, Lexy J.
1988 Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya

Pendit, Putu Laxman


2003 Penelitian Ilmu Perpustakaan dan Informasi: Sebuah Pengantar
Diskusi Epistemologi & Metodologi. Jakarta: Kumandang

Sevilla, Consuello G.
1992 Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: Universitas Indonesia
Press

Soedjendro, J. Kartini
2005 Pilkada Berperspektif Gender, dalam http://www.suara-
merdeka.com/artikel/17Juni2005

Spreadley, James P.
1995 Metode Penelitian Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacara

Sudikan, Setya Yuwana


2001 ‘Ragam Metode Pengumpulan Data. Mengulas Kembali;
Pengamatan, Wawancara, Analisis Life History, Analisis Folklor’
dalam Burhan Bungin, ed. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, hlm. 53-81.

32
Laporan PKL Mata Kuliah
Seksualitas

Surabaya & Perkembangan


2004 Surabaya & Perkembangan Skala 1:26.000. Surabaya: Karya
Pembina Swajaya

33

Anda mungkin juga menyukai