A N
DPERSAMAAN GENDER
Tinjauan sosiologi agama Buddha
S. DHAMMASIRI
Buku ini pernah diterbitkan oleh:
Graha Metta Sejahtera pada tahun 2005
Editor:
Bhikkhu Indaratano, B.A. (Hons.)
S. Uggadhiro
Buku ini kupersembahkan untuk
Ibuku
Yang dengan penuh ketulusan dan kasih sayang
Telah merawat dan membesarkanku
Brahmāti mātāpitaro, pubbācariyāti vuccare
KATA PENGANTAR v
CARA MELAFALKAN ABJAD PĀḶI viii
WACANA 1
ANALISIS TERMINOLOGI 4
SEKADAR BAHASA KONVENSIONAL 9
SEJARAH MUNCULNYA WANITA 11
KONDISI WANITA PRA-AGAMA BUDDHA 15
REVOLUSI GENDER 24
KONDISI SANGHA PASCA TERBENTUKNYA SANGHA
BHIKKHUNI 49
PANDANGAN SANG BUDDHA TERHADAP WANITA 57
KONTRIBUSI WANITA DALAM PEMBABARAN
DHAMMA 71
KONDISI WANITA PASCA SANG BUDDHA
PARINIBBANA 85
KONDISI WANITA BUDDHIS DI ERA MODERN 90
WANITA BUDDHIS DI INDONESIA 98
BUKU-BUKU REFERENSI 107
iv
KATA PENGANTAR
v
mendedikasikan seluruh waktu saya untuk riset.
Terima kasih juga kepada Pak Simon Liu dan Bu Lina dari
Graha Metta Sejahtera yang bersedia menerbitkan buku ini. Semoga
kebajikan yang dilakukan memberikan manfaat dan kesejahteraan
yang maksimal bagi dunia ini.
vi
17 Juni 2004
Colombo, Sri Lanka
vii
CARA MELAFALKAN ABJAD PĀḶI
ā, ū, ī = diucapkan panjang
ṁ, ṅ = diucapkan “ng”
ñ = diucapkan “ny”
v = diucapkan “w”
ph, bh
viii
WACANA
Dewasa ini, ada suatu pergerakan yang sangat deras yang dilakukan
oleh kaum wanita untuk mendapatkan posisi yang setara dengan kaum
pria. Secara historis, wanita melakukan tindakan ini karena dipicu oleh
kondisi yang sangat memprihatinkan: DISKRIMINASI.
1
montir adalah contoh-contoh konkritnya. Hanya sayangnya, para
psikolog melihat fenomena ini lebih sebagai kelainan ketimbang
sebagai kemurnian sifat wanita. Para psikolog menyebut remaja putri
yang berprilaku mirip seperti pria sebagai tomboy, sedangkan bagi
mereka yang melakukan pekerjaan pria seperti menjadi montir dan
sebagainya disebut sebagai androgini.
2
mengakui adanya persamaan gender? Betulkah wanita Buddhis
diberikan posisi yang sama sebagaimana layaknya posisi yang
didapatkan oleh kaum pria? Baiklah untuk mengetahui hal ini secara
jelas, mari kita bahas masalah ini baik secara etimologis maupun
secara historis.
3
ANALISIS TERMINOLOGI
Kata yang secara khusus mengacu pada “pria” (man) dalam bahasa
4
Pāli adalah purisa atau puma. Banyak sarjana yang telah berusaha
untuk menelusuri asal mula kata purisa. Prof. Geiger berpendapat kata
ini berasal dari Veda puruśa. Ada pula yang berpendapat kata purisa
secara etimologis berasal dari kata pura (atas) dan sayati (tidur). Secara
semantik, purisa berarti orang yang tidur di atas. Definisi ini masih
meninggalkan sedikit keraguan sebab Dalam tradisi Brahmanisme
kuno, pada saat suami istri melakukan hubungan seksual pria memang
berada di posisi atas. Akan tetapi, dalam tradisi Brahmanisme kuno
hanya pria atau suami yang boleh tidur di ranjang. Sementara kaum
wanita atau istri harus tidur di lantai yang sudah barang tentu posisinya
lebih rendah dari kaum pria. Dari kedua kasus ini, tidak ada kejelasan
mana yang dimaksudkan. Apakah salah satunya atau kedua-duanya.
Itthi adalah kata dalam bahasa Pāli yang khusus digunakan untuk
mengacu pada wanita (woman). Sampai sejauh ini, penulis belum
mampu menemukan definisi yang jelas dari kata itthi. Penjelasan-
penjelasan yang ada dalam kamus pun tidak sebanyak penjelasan yang
ada dalam kata purisa. Kata vanitā juga digunakan untuk mengacu
pada wanita (woman). Namun sekali lagi perlu disayangkan, tidak
ada penjelasan yang lengkap terhadap kata ini. Bahkan Pāli-English
Dictionary, yang merupakan kamus Pāli-English yang terbesar di
dunia tidak memuat kata ini.
6
juga terjadi dalam bahasa Inggris. Di dalam bahasa Inggris kita juga
tidak bisa menemukan kata ganti orang ketiga tunggal yang bersifat
netral. Karena alasan ini, dalam bahasa Inggris Tuhan pun bergender
yaitu pria. Kata “he” (ia laki-laki) adalah kata ganti yang biasa
digunakan dalam hal ini. Adalah menarik untuk menyimak pendapat
Karen Armstrong seorang penulis yang terkenal lewat karyanya
History of God, dan Buddha (keduanya telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia). Ia mengatakan:
7
Negeri (PN) Surabaya. Menurut kelompok ini, PN belum mampu
menuntaskan kasus-kasus pelecehan seksual terhadap perempuan.5
Sekali lagi, kondisi sosial budaya, agama dan banyak faktor lainnya
memberikan kontribusi dalam hal ini.
9
Beliau menganalisis manusia ke dalam lima kelompok kehidupan
(pañcakkhandhā), yaitu perasaan (vedanā), persepsi (saññā), bentuk-
bentuk pikiran (sankhāra), kesadaran (viññāna), materi (rūpa). Kadang
pula Beliau menganalisis manusia beradasarkan landasan indria
(āyatana), dan tidak jarang pula analasis itu berdasarkan unsur (dhātu).
10
SEJARAH MUNCULNYA WANITA
11
ini adalah pertanyaan metafisik. Pertanyaan tersebut tidak akan
memberikan pengalaman spiritual dan hanya membuat manusia
terjebak dalam rimba perdebatan. Sang Buddha mengatakan:
“Tak dapat diketahui awal dari alam semesta ini, titik yang
paling awal tidak dapat dipikirkan asal mula makhluk-makhluk yang
karena diliputi oleh ketidaktahuan dan terbelenggu oleh kehausan
mengembara kesan kemari....”6
Dari narasi yang ada, kita bisa tahu bahwa Sang Buddha
menggunakan proses evolusi untuk menjelaskan kemunculan
manusia di bumi ini. Sang Buddha menggunakan proses evolusi
untuk menjelaskan kemunculan manusia semata-mata karena dalam
pandangan agama Buddha tidak ada sesuatu yang muncul tanpa sebab,
tidak ada sesuatu yang muncul secara spontanitas (ahetu apaccaya).
Sesuatu bisa muncul karena dikondisikan oleh kondisi yang lain
dan bila kita telusuri, kita akan menemukan suatu rangkaian yang
berkesinambungan.
12
dapat terbentuk dengan sempurna. Ketika bumi ini mulai menuju
kesempurnaan, awalnya bumi ini tertutup oleh air, tidak ada daratan.
Dalam kondisi yang seperti itu, ada makhluk-makhluk dari alam lain—
baik yang dari surga dan belakangan dari alam yang lebih rendah—
yang bertumimbal lahir di bumi. Makhluk-makhluk itu tidak dapat
diidentifikasi jenis kelaminnya dan hanya dikenal sebagai makhluk-
makhluk saja. Dengan sedikit berbau mitos, makhluk-makhluk itu
dikatakan beterbangan di atas air dengan cahaya mereka yang gilang
gemilang.
Waktu yang terus bergulir tanpa henti, membuat sari tanah muncul
ke permukaan air. Sari tanah ini bentuknya tidak langsung padat
seperti yang kita saksikan sekarang ini tapi seperti dadih susu (curd).
Karena rasa ingin tahu, makhluk-makhluk itu berusaha mencicipi
tanah tersebut. Bersamaan dengan itu, cahaya tubuh mereka yang
gilang gemilang menjadi lenyap. Rasa nikmat yang muncul karena
memakan sari tanah membuat makhluk-makhluk itu terus memakan
sari tanah tersebut.
13
1. tidak ada perbedaan seks ketika makhluk-makhluk pertama
kali muncul di bumi ini,
2. dibutuhkan waktu yang cukup lama dan kondisi yang cukup
demi terbentuknya organ seksual manusia,
3. yang jatuh cinta pertama kali bukan wanita juga bukan pria
tapi karena keduanya saling memperhatikan perbedaan di
antara keduanya, dan
4. proses penderitaan di bumi ini bukan pria atau wanita yang
memulainya, namun karena keduanya masih diliputi oleh
keserakahan dan nafsu seksual (rāga), kebencian (dosa), dan
kebodohan mental spiritual (moha).
14
KONDISI WANITA PRA-AGAMA BUDDHA
Salah satu fakta yang dapat kita temukan bahwa wanita lebih
dihormati adalah ditemukannya frase Jagan-mātā. Frase ini mengacu
pada dewi. Secara religius, dewi ini sangat dihormati oleh semua
orang yang ada di Kota Harappa dan Mahenjodharo. Bahkan, mereka
menganggapnya sebagai Tuhan Pencipta alam semesta. Tampaknya
dewi ini tidak ada bedanya dengan Dewi Sri yang begitu dihormati
dan dipuja dalam tradisi masyarakat Jawa. Secara agrikultural, Dewi
Sri adalah dewi yang membawa berkah dan keberuntungan bagi para
petani.
8. Alfred Lord Tennyson (1809–1892), British poet. The Princess: A Medley (1847)
15
Dalam peradaban Mahenjodharo dan Harappa, masyarakat
menekankan pentingnya pertanian dan perdagangan. Di bidang
pertanian dan perdagangan, wanita adalah relasi yang paling baik bagi
pria, mempunyai peranan yang tidak dapat disepelekan begitu saja.
Saat itu, wanita diberi kepercayaan sebagai komando atau pengendali
keluarga. Anak-anak akan menjadi besar, segera bisa membantu
ayahnya bila sang ibu merawat anak tersebut dengan baik. Inilah
alasan lain mengapa wanita dalam peradaban Hahenjodharo dan
Harappa tidak dapat disepelekan begitu saja.
Dam berarti istri dan pati berarti suami. Adanya frase dampati
mengindikasikan bahwa wanita ditempatkan dalam posisi yang setara
dengan pria bahkan boleh dibilang lebih dari itu karena kata istri
ditempatkan pada posisi pertama. Kasus yang sama seperti nanti kita
saksikan juga kita temukan di dalam bahasa Pāli.
16
Setelah lama menetap di Mahenjodharo dan Harappa, bangsa
Arya semakin kuat posisinya. Tradisi Brahmanisme berangsur-angsur
terbentuk. Dengan segala daya upaya, kaum Brahmana berusaha untuk
mendapatkan posisi yang paling tinggi di tengah-tengah masyarakat.
Rival utamanya adalah kasta Ksatriya. Pada masa inilah posisi wanita
mulai terlupakan dan pada akhirnya kehilangan supremasinya.
17
Kondisi semacam ini telah memberikan landasan yang cukup
kuat bagi kaum Bramana untuk memandang rendah kaum wanita.
Dalam perkembangan selanjutnya, kondisi wanita semakin parah.
Wanita yang pada awalnya adalah pengendali keluarga, dalam periode
Brahmanisme, tidak punya kekuasaan sama sekali dalam keluarga.
Ia tidak punya wewenang untuk menasehati anak, bahkan seorang
janda tua harus berada di bawah pengawasan anak. Salah satu sair
yang terdapat dalam kitab Manusmṛti yang dikarang belakangan
menyebutkan:
18
janda karena suaminya meninggal, pada saat suaminya dikremasi, sang
janda juga dikremasi hidup-hidup bersamaan dengan jasad suaminya.
Di zaman modern ini, praktik semacam ini dilarang oleh pemerintah,
tapi pada praktiknya, masih ada juga yang melakukan hal semacam ini
secara sembunyi-sembunyi. Setidaknya itulah informasi yang pernah
penulis dapatkan.
19
yang harus menanggung semua resiko yang akan terjadi terhadap
pohon tersebut dan bukan penabur benih. Demikian halnya, anak yang
dilahirkan dari istri kedua (bukan istri yang asli) adalah tanggung
jawab ibunya untuk merawat dan membesarkan anak tersebut.12
Persis seperti kaum sudra yang tidak memiliki hak apapun dalam
masyarakat selain menjadi pembantu dari ketiga kasta yang lebih
tinggi, wanita juga tidak memiliki hak apapun. Wanita tidak memiliki
hak di bidang pendidikan—dengan kata lain wanita tidak boleh
sekolah. Mereka tidak memiliki hak untuk mempelajari Veda.
20
terdapat di otak tapi pada dua jari.
21
Salah satu syarat yang harus mereka penuhi agar dapat terlahir
sebagai pria dalam kehidupan yang akan datang, adalah sang istri
harus memberikan kepuasan, kesenangan kepada suami. Singkatnya,
ia harus menjadi istri yang baik, jujur, setia dan menuruti semua yang
diinginkan suami. Oleh karena itu, istri yang ucapan, pikiran dan
fisiknya terkendali tidak menentang suami dianggap telah mencapai
kawasan pria (patiloka) dan disebut sebagai istri yang tersucikan
karena moralitas.14
22
budak, dapat dipastikan mereka tidak memiliki kebebasan. Hidupnya
tergantung pada sang majikan dan ia merupakan bagian dari harta
sang majikan. Seandainya tidak suka, ia dapat menjual budak tersebut
kepada orang yang menginginkannya.
15. Translated by I.B. Horner, The Book of the Discipline, vol. I (Suttavibhaṅga), Luzac
&Company, London, 1949, p. 27.
16. Translated by Bhikkhu Ñāṇamoli and Bhikkhu Bodhi, The Middle Length Discourses
of the Buddha (Majjhima Nikāya), B.P.S, 1995, p. 682.
23
REVOLUSI GENDER
24
terdapat beberapa aliran yang juga diajarkan oleh guru yang berbeda.
Di India pada abad keenam Sebelum Masehi ada enam guru yang
terkenal. Mereka adalah Makkhali Gosala, Pakkuda Kaccayana, Ajita
Kesakambalin, Sañjaya Belatthiputta, Purana Kassapa, dan Niganta
Nataputta. Sang Buddha juga termasuk dalam golongan kaum samana.
Namun memiliki sistem pengajaran dan ajaran yang berbeda dengan
guru-guru lainnya.
Dari keenam guru yang ada saat itu yang menentang secara
langsung ajaran Brahmanisme adalah Pakuda Kaccayana, Purana
Kassapa, dan Ajita Kesakambalin. Ketiga guru ini mengajarkan
penolakan terhadap nilai-nilai moral, adanya akibat dari perbuatan
yang telah dilakukan. Oleh karenanya, semua orang—menurut ajaran
ini—boleh menikmati kesenangan indriawi tanpa batas. Dengan kata
lain, mereka boleh membunuh makhluk lain, memperkosa wanita, dan
melakukan tindak kejahatan lainnya, tanpa perlu memikirkan dampak
dan akibatnya. Prinsip yang dipegang ketiga guru ini adalah: Kalau
kaum Brahmana boleh menikmati kesenangan indriawi, mengapa
yang lain tidak.
17. Translated by I.B. Horner, The Book of the Discipline, vol. V (Culavagga), Luzac
&Company, London, 1963, p. 352
27
Analisis yang mendalam terhadap kalimat ini menunjukkan
bahwa Sang Buddha dengan sangat hati-hati menjawab pertanyaan
Mahāpajāpatī Gotami. Kita tidak menemukan bahwa Sang
Buddha menolak atau menerima. Kalimat tersebut lebih cenderung
mengingatkan. Kata “alaṁ” berarti “cukup” “mā” berarti “jangan”
dan “rucci” berarti “suka”, “senang”. Oleh karena itu, kata “alaṁ …
mā … rucci…” dapat dipahami atau diterjemahkan seba-gai “Jangan
gegabah”, atau “Berhati-hatilah”.
29
adalah pembuka jalan bagi Y.M. Ānanda untuk melanjutkan pada
pertanyaan selanjutnya. Dengan menunjukkan jasa, pengabdian dan
kebaikan Mahāpajāpatī Gotami, Y.M. Ānanda mengatakan bahwa
Sang Buddha seharusnya mau menerima Mahāpajāpatī Gotami dalam
sāsana. Atas saran ini dan segala pertimbangan, Sang Buddha akhirnya
mengatakan, jika Mahāpajāpatī Gotamī mau menerima delapan
peraturan keras (aṭṭhagarudhammā) wanita dapat di-upasampada
untuk menjalani kehidupan kebhikkhunīan. Delapan peraturan keras
tersebut adalah sebagai berikut:
30
bulan di hadapan kedua Saṅgha.
6. Seorang wanita bisa mendapatkan upasampada setelah ia
menjalani latihan sebagai biarawati selama dua tahun dengan
menjalankan enam latihan moralitas.
7. Bhikkhunī tidak boleh mencela, merendahkan atau menghina
bhikkhu dengan alasan apa pun.
8. Seorang bhikkhunī tidak boleh menasihati bhikkhu tapi
bhikkhu boleh menasehati bhikkhunī.
dengan cara ia melakukan pengakuan di hadapan Saṅgha yang jumlah bhikkhu atau
bhikkhunīnya sekurang-kurangnya ada 20.
31
saja situasi politik, sosial, budaya, dan keamanan India saat itu,
kondisinya seperti di Indonesia sekarang ini. Namun, kita seharusnya
tidak gegabah begitu saja untuk mengatakan bahwa Sang Buddha
mendiskri-minasikan wanita. Tanpa melihat situasi dan kondisi sosial,
budaya, keamanan dan politik saat itu, pandangan kita akan sangat
jauh dari kenyataan.
19. G.P. Malalasekera, Dictionary of Pāli Proper Names, Vol. I, Munshiram Manoharlal,
India, 2002, p. 408
33
yang pertama kali mengajukan permohonan untuk menjadi bhikkhunī
adalah wanita-wanita dari kasta tinggi, Sang Buddha dengan segala
pertimbangan menurunkan peraturan ini.
20. Edited by The Editorial Committee, The Dhammapada, Burma Pitaka Association,
Burma, 1986, p. 215-216.
34
Channa sendirian untuk menyampaikan keputusan Saṅgha atas dasar
perintah Sang Buddha karena sikap Y.M. Channa yang begitu kasar
terhadap bhikkhu-bhikkhu yang lain. Y.M. Ānanda pada akhirnya mau
menemui Y.M. Channa dengan ditemani oleh banyak bhikkhu.21
21. Translated by I.B. Horner, The Book of the Discipline, vol. V (Culavagga), Luzac
&Company, London, 1963, p.402
35
seksual, diperkosa. Banyak juga wanita yang telah menjadi ibu,
dibunuh. Dengan dibunuhnya ibu dan ayah, tamatlah riwayat keluarga,
kepada siapa anak-anak yang masih belum tahu apa-apa bergantug?
Dapatkah mereka melanjutkan hidup tanpa bantuan ibu dan ayah?
Oleh sebab itu, ditinjau dari kondisi politik dan keamanan, India saat
itu bukanlah surga terutama bagi anak-anak dan kaum wanita.
36
hasil yaitu mampu membentuk janin dalam rahim sang bhikkhunī?
Dan bagaimanakah nasib sang anak kelak?
Ada kisah lain lagi yang dialami oleh seorang bhikkhunī bernama
Uppalavaṇṇā. Berdasarkan catatan-catatan yang ada, ia adalah anak
seorang konglomerat di Sāvatthi. Karena kecantikannya, parasnya yang
rupawan, ia disebut Uppalavaṇṇā. Bahkan Dhammapada Aṭṭhakathā
(kitab komentar terhadap Dhammapada) menggambarkannya seperti
bunga lotus biru. Ia tersohor di seluruh negeri karena kecantikannya.
Banyak putra-putra bangsawan, anak-anak konglomerat dan banyak
yang lainnya tergila-gila padanya. Mereka mengirim utusan untuk
meminangnya. Tapi tak satu pun lamaran itu yang ia terima. Ia lebih
22. Translated by K.R. Norman, The Elders’ Verses (Therīgathā), PTS, London, p. 38-
40.
38
memilih menjadi bhikkhunī. Setelah menjadi bhikkhunī, ia mampu
mencapai tingkat kesucian tertinggi (arahant).
23. Edited by The Editorial Committee, The Dhammapada, Burma Pitaka Association,
Burma, 1986, p. 205
24. Translated by I.B. Horner, The Book of the Discipline, vol. I (Suttavibhaṅga), Luzac
&Company, London, 1949, p. 53-54
39
mencapai kesucian tertinggi di mana tidak ada lagi tempat di batinnya
bagi kesenangan seksual. Namun, paling tidak kasus ini masih
menimbulkan kontroversi.
40
melakukan dua hal kepada bhikkhu Saṅgha yaitu (1) menanyakan
tanggal hari uposatha, (2) datang untuk mendapatkan nasehat.
Peraturan ini berkaitan juga dengan peraturan keempat dan kelima.
42
alasan apapun Ika tetap harus memanggil kakak kepada Aditya yang
baru lahir. Demikian seterusnya, semua keturunan dari Kumārī harus
menganggap lebih tua semua keturunan dari Pratama berdasarkan
urutannya. Sebaliknya, seandainya Kumārī adalah anak pertama dan
Pratama adalah anak kedua, semua keturunan dari Pratama harus
menganggap semua keturunan Kumārī sebagai saudara tua atas dasar
urutan yang benar.
Sekali lagi, perlu kita ketahui bahwa India di masa Sang Buddha
hidup kondisinya berbeda dengan sekarang. Indonesia sekalipun saat
itu kondisinya masih gelap. Tanda-tanda kemunculan dunia skolatisme
belum begitu jelas, baru belakangan muncul filsuf-filsuf yang terkenal
meski tidak sampai mendunia.
43
Penetapan peraturan, seorang wanita yang ingin mendapatkan
upasampada harus menjalani latihan kehidupan kevihāraan selama
dua tahun, adalah peraturan yang bersifat antisipatif. Peraturan ini
bertujuan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Misalnya,
setelah ia mendapatkan upasampada, baru ketahuan bahwa dia sedang
hamil. Tentu kondisi semacam ini akan menjadi beban tersendiri baik
bagi bhikkhunī itu sendiri maupun bagi Saṅgha. Lebih jauh lagi,
masyarakat akan memandang hal ini sebagai aib yang sangat serius.
Dalam sejarah Saṅgha bhikkhunī di masa Sang Buddha hidup, memang
tercatat ada bhikkhunī yang hamil. Hanya sayangnya, tidak banyak
informasi yang bisa didapatkan tentang kondisinya setelah itu.26
26. Translated by I.B. Horner, The Book of the Discipline, vol. II (Suttavibhaṅga),
Luzac &Company, London, 1969, p.30
44
Segera setelah mendapatkan informasi di atas, penulis
mendiskusikan masalah ini dengan seorang sarjana yang cukup
popular dan banyak mengusai Dhamma. Ia mengatakan, dalam
Tipiṭaka tidak ada fakta yang cukup untuk mendukung pendapat ini.
Memang seperti dituturkan Jotiya Dhirasekera, bahwa ada sedikit
perbedaan antara vinaya Theravāda dan vinaya sekte lain. Namun
demikian secara umum, semua sekte setuju untuk mengatakan bahwa
delapan peraturan keras itu ditetapkan oleh Sang Buddha sendiri.27
45
dihindari. Singkatnya, mereka harus mendedikasikan waktu untuk
mempraktikkan Dhamma dan Vinaya secara intensif.
46
Sang Buddha berkomitmen untuk menjaga nama baik, reputasi
Saṅgha di tengah-tengah masyarakat. Vinaya ditetapkan juga karena
tujuan agar anggota Saṅgha menjaga diri, membawa nama baik Saṅgha
di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, bukankah reputasi
Saṅgha akan menurun jika benar kritik semacam di atas muncul?
47
Dan, dengan demikian, Anda bisa menghakimi Sang Buddha apakah
Beliau mendiskriminasikan wanita atau tidak.
48
KONDISI SANGHA PASCA
TERBENTUKNYA SANGHA BHIKKHUNI
49
sangat terpaksa harus dihadapi karena bukti-bukti yang ada tidak
menyebutkan dengan jelas kapan waktu masalah itu terjadi. Yang
lebih sering kita temukan hanyalah catatan tempat. Bahkan di dalam
konsili Buddhis pertama yang diselenggarakan di Rājagaha sekali pun,
waktu suatu pelanggalaran terjadi tidak menjadi subjek pertanyaan.
Yang menjadi subjek pertanyaan hanya pelaku, tempat, dan subjek
pelanggaran.31
31. Translated by I.B. Horner, The Book of the Discipline, vol. V (Culavagga), Luzac
&Company, London, 1963, p. 396.
32. Idem, Vol. I (Suttavibhaṅga),1949, p. 18-19
50
yang berhubungan dengan bhikkhunī untuk para bhikkhu, hal itu
menandakan bahwa bhikkhulah yang melakukan kesalahan bukan
bhikkhunī. Kita bisa mengambil contoh kasus yang dialami oleh Y.M.
Udāyī. Y.M. Udāyī adalah bhikkhu yang banyak melakukan kesalahan
dan membuat Sang Buddha menetapkan peraturan.
51
muncul hanya karena imajinasi atau karena kita sering berhubungan
atau bertemu dengan lawan jenis kita.
34. Idem, p. 31
52
demikian telah membuat mereka melakukan hubungan seksual.35
Sulit untuk menentukan kapan kasus ini terjadi; apakah setelah Sang
Buddha menetapkan peraturan Pārājika atau sebelumnya. Kasus ini
tidak terdapat dalam Vinaya Piṭaka, dan juga ketika mengomentari
kasus ini, Sang Buddha tidak menyinggung soal vinaya. Yang Beliau
bahas hanya masalah psikologis.
35. Translated by E. M. Hare, The Book of the Gradual Sayings (Aṅguttara Nikāya) Vol.
III, P.T.S, London, 1973, p. 55.
36. Translated by Bhikkhu Ñāṇamoli and Bhikkhu Bodhi, The Middle Length Discourses
of the Buddha, B.P.S, 1995, p.217.
53
Belakangan karena tidak puas dengan kehidupan kebhikkhuan,
Y.M. Moliya Phagguna lepas jubah dan kembali manjalani kehidupan
sebagai perumah tangga.37 Bisa jadi Y.M. Moliya Phagguna lepas
jubah karena ia terlalu bebas berhubungan dengan wanita khususnya
bhikkhunī sehingga nafsu seksualnya bukannya tereliminasi tapi
malah semakin berkembang. Selain, mungkin ia memiliki pandangan
hidup yang berbeda dengan Sang Buddha.
37. Translated by Bhikkhu Bodhi, The Connected Discourses of the Buddha, A New
Translation of Saṁyutta Nikāya, Wisdom Publication, Boston, 2000, p. 568
54
Masalah-masalah yang muncul sebenarnya bukan disebabkan
oleh keberadaan bhikkhunī, tapi karena sifat alamiah manusia yang
masih belum mampu mengikis kekotoran batinnya. Orang-orang yang
belum mampu mengikis secara total kekotoran batinnya tindakannya
dengan sangat mudah didasari oleh keserakahan dan nafsu seksual
(rāga), kebencian (dosa), dan kebodohan batin (moha).
38. Translated by Maurice Walshe, The Long Discourses of the Buddha (Dīgha Nikāya),
Wisdom Publication, London, 1987, p. 264.
55
56
PANDANGAN SANG BUDDHA TERHADAP
WANITA
57
kepada Sang Tiratana, mempraktikkan ajaran Sang Buddha secara
intensif sebagai biarawati Buddhis.
59
Dalam tradisi Brahmanisme, seorang ibu tidak memiliki kekuasaan
apa pun dalam mendidik anak. Hanya sang ayah yang mempunyai
kekuasaan untuk mendidik anak. Sebaliknya, agama Buddha
memandang bahwa seorang ibu mempunyai pengaruh dan peranan
yang cukup signifikan dalam mendidik anak. Ia juga memiliki posisi
yang setara, mempunyai hak yang sama dalam mendidik, membina,
membesarkan anak. Kesetaraan ibu dan ayah dapat kita lihat dan kita
jumpai dalam banyak sutta. Sang Buddha bahkan menggambarkan ibu
dan ayah sebagai “brahmā”, “dewa awal” (pubbadevatā), “guru awal”
(pubbācariyā), “mereka yang patut mendapatkan penghormatan”
(āhuneyyā).40
Ibu dan ayah disebut sebagai dewa awal atau dewa pertama.
Dewa awal dalam pengertian ini adalah orang yang menjaga, merawat
dan membesarkan mereka dengan penuh kasih sayang. Mereka
disebut sebagai guru awal karena alasan bahwa mereka adalah
yang pertama kali mengajarkan hal-hal yang sangat dasariah dalam
kehidupan seseorang. Mereka mengajarkan kita bagaimana berjalan,
40. Translated by John D. Ireland, The Udana & The Itttivuttaka, B.P.S, Sri Lanka,
1997, p.231.
60
bagaimana makan, dan lain sebagainya. Karena jasa mereka yang amat
luhur terhadap anak, mereka adalah orang yang layak mendapatkan
penghormatan (āhu-neyyā).
62
Dalam menganalisis emosi manusia, Sang Buddha juga tidak
membedakan antara pria dan wanita. Semuanya memiliki keserakahan,
semuanya memiliki kebencian dan semuanya memiliki kebodohan
batin. Dalam kitab Aṅguttara Nikāya, Sang Buddha menganalisis
bahwa pria dan wanita memiliki kecendrungan yang sama. Menurut
Beliau, bagi seorang pria tidak ada yang paling indah selain sentuhan,
rasa, suara, bau, dan bentuk dari seorang wanita. Hal-hal inilah
yang akan selalu mengobsesi pikirannya siang dan malam. Dalam
pandangan Sang Buddha, wanita juga mengalami hal yang sama. Bagi
seorang wanita, tidak ada yang paling indah selain suara, bentuk, rasa,
sentuhan dan bau dari seorang pria.43
63
sempurna. Oleh karenanya, wanita dan pria selalu menjaga bentuk
tubuhnya penampilannya agar lawan jenisnya selalu tertarik padanya.
2. Senyuman
3. Ucapan
4. Nyanyian
64
suaranya taksemerdu burung kenari. Orang-orang yang pandai akan
menggunakan lagu untuk menarik lawan jenisnya. Melalui lagu itu, ia
memuji keindahan tubuh, suara, rambut, mata lawan jenisnya.
5. Tangisan
6. Gerakan
65
7. Hadiah
8. Sentuhan
66
pertimbangan sosio-etik, Beliau menegaskan bahwa suatu negara akan
menjadi makmur, tenang dan tentram sepanjang wanita dihormati dan
tidak sekedar dijadikan ladang pemuasan nafsu seksual.45
1. menghormatinya,
2. tidak memandang rendah sang istri,
3. mencintainya,
4. memberikan kekuasan kepadanya,
5. memberikan hadiah seperti perhiasan dan sebagainya.
45. Translated by Maurice Walshe, The Long Discourses of the Buddha (Dīgha Nikāya),
Wisdom Publication, London, 1987, p. 232.
46. Idem.
67
Bila kita analisis secara seksama, lima kewajiban suami kepada
istrinya yang diajarkan oleh Sang Buddha, tampak ada kontradiksi
yang sangat jelas bila kita membandingkannya dengan ajaran kaum
brahmana. Dalam tradisi Brahmanisme, istri tidak begitu dihormati;
Sang Buddha mengajarkan agar suami menghormati sang istri. Tidak
diragukan lagi bahwa sang istri dipandang rendah dalam ajaran
Brahmanisme. Sang Buddha menganjurkan agar suami menghargai
sang istri dan mencintainya. Wanita sudah selayaknya mendapatkan
kekuasaan di dalam kehidupan rumah tangga, sebagaimana terdapat
dalam ajaran agama Buddha, adalah sebagai bentuk ketidakpuasan
Sang Buddha terhadap sistem yang dianut oleh kaum brahmana.
68
mengibaratkan suami atau istri sebagai arah barat. Arah barat adalah
arah di mana matahari terbenam. Demikian pula suami atau istri
seharusnya membenamkan perhatiannya pada arah barat. Artinya
mereka harus memperhatikan pasangan hidupnya dengan baik. Tapi
sudah barang tentu, kita juga harus mau menengok kebelakangan,
menoleh ke kanan dan kiri, menegadah ke atas dan melihat ke bawah.
Menengok kebelakang artinya mengingat orangtua, menoleh ke kanan
berarti mengingat teman, kiri berarti guru, atas berarti guru religius
dan bawah adalah pekerja dan pembantu.
69
Ajaran ini memberikan pengaruh yang cukup kuat kepada
masyarakat Buddhis. Masyarakat Buddhis yang memiliki karyawan
mempraktikkan ajaran ini dengan baik. Kita bisa melihat praktik ini
dalam keluarga-keluarga milioner. Dhanañjaya ayah Visākhā, sebagai
contohnya, ketika menunjuk para pembantu untuk menemani Visākhā
hidup di Kota Sāvatthi, menyediakan berbagai kebutuhan bagi
mereka.49
49. G.P. Malalasekera, Dictionary of Pāli Proper Names, Vol. II, Munshiram Manoharlal,
India, 2002, p. 901.
50. Idem, vol. I, p. 69.
51. Edited by E.W. Cowell, The Jātaka, vol. III, Asian Educational Services, India,
2003, p. 260-261.
70
KONTRIBUSI WANITA DALAM
PEMBABARAN DHAMMA
71
Sebelum pernikahan dilangsungkan, lima ratus pengrajin emas
bekerja keras membuat bros yang disebut Mahālatāpasādhana buat
Visākhā. Pembuatan bros ini memakan waktu hingga empat bulan atau
molor satu bulan dari waktu yang telah ditentukan. Mahālatāpasādhana
tersebut terbuat dari campuran berlian, mutiara, koral, rabi dan emas.
Bros ini Sangat berat dan menurut catatan yang ada hanya wanita yang
memiliki kekuatan setara dengan kekuatan lima gajah yang dapat
memakainya. Di India saat itu hanya ada tiga orang yang memiliki
perhiasan semacam ini, yaitu Mallikā istri Bandhula, Visākhā dan
Devadāniyacora.52
72
Migāramātā yang berarti ibu Migāra kepada Visākhā. Semenjak saat
itu, Visākhā aktif memberikan sokongan kepada Saṅgha dan karena
kedermawanannya ini, Sang Buddha di hadapan para bhikkhu dan
bhikkhunī mengumumkan bahwa Visākhā adalah wanita yang paling
loyal memberikan dukungan kepada Saṅgha (dāyikānaṁ aggā). Gelar
yang sama juga diberikan kepada Anāthapiṇḍika di pihak pria.
Lebih dari itu, Visākhā mohon kepada Sang Buddha agar selama
hidupnya ia diizinkan untuk melakukan delapan hal kepada para
bhikkhu dan bhikkhunī. Delapan hal itu adalah sebagai berikut:
73
1. Memberikan jubah untuk masa vassa,
2. Memberikanan makanan kepada anggota Saṅgha yang datang
ke Sāvatthi,
3. Memberikan makanan kepada mereka yang hendak pergi ke
luar Sāvatthi,
4. Memberikan makanan kepada yang sakit,
5. Memberikan makanan kepada mereka yang menunggu
anggota Saṅgha yang sakit,
6. Memberikan obat kepada yang sakit,
7. Memberikan suplai makanan kapan pun dibutuhkan, dan
8. Memberikan jubah mandi kepada para bhikkhunī.55
74
pelacur sembarangan, juga bukan pelacur murahan yang akan tunduk
kepada siapa saja.
75
Sang Buddha bersama para bhikkhu menerima undangannya. Dalam
perjalanannya menuju rumah, mereka berpasasan dengan rombongan
putra bangsawan suku Licchavi dari Vesāli. Mereka tidak bisa bergerak
maju karena rombongan Ambapālī mengha-langinya.
Dari kasus ini kita bisa melihat bahwa Ambapālī bukanlah pelacur
sembarangan yang mudah menyerah, pasrah dan tunduk meskipun
kepada putra bangsawan. Bukanlah hal yang umum terjadi di India
saat itu seorang wanita berani menentang orang-orang yang berkasta
tinggi. Karenanya, bila Ambapālī berani menghalangi dan menentang
putra bangsawan, itu menunjukkan bahwa Ambapālī memiliki status
yang tidak dapat diremehkan begitu saja. Sang Buddha sekalipun tidak
membatalkan undangan tersebut kendati putra-putra bangsawan suku
Licchavi dari Vesāli memohon kepada Sang Buddha untuk menerima
dana makanan dari mereka pada hari yang sama.
59. Translated by Maurice Walshe, The Long Discourses of the Buddha (Dīgha Nikāya),
Wisdom Publication, London, 1987, p. 242-244.
60. Translated by K.R. Norman, The Elders’ Verses II, PTS, London, 1971, p. 28-29.
61. Encyclopaedia Britanica Deluxe Edition 2004 CD-ROM.
77
keunikannya.
78
dengan anolog rumah (tiga latihan) tidak berada dalam perabot rumah
tangga (Jalan Mulia Berunsur Delapan), tapi perabot rumah tangga
berada dalam rumah.
Kitab Itivuttaka terdiri dari 112 sutta. Setiap sutta dimulai dengan
ungkapan “vuttañhetaṁ bhagavatā” yang berarti “Demi-kianlah
yang dikatakan oleh Sang Buddha”, dan diakhiri dengan ungkapan
“iti me sutanti” yang dapat diterjemahkan sebagai “Begitulah yang
telah saya dengar”. Tujuan dari kedua ungkapan tersebut adalah untuk
menekankan bahwa sutta itu benar-benar di babarkan oleh Sang
Buddha dan bukan ucapan dari Khujjuttarā sendiri.
65. G.P. Malalasekera, Dictionary of Pāli Proper Names, Vol. I, Munshiram Manoharlal,
India, 2002, p. 719.
80
pembukaan dan penutupannya.66 Pada umumnya semua sutta yang
ada dalam Sutta Piṭaka selalu dimulai dengan kalimat evaṁ me suttaṁ
(demikian yang telah saya dengar). Setelah dibuka dengan kalimat ini,
biasanya dilanjutkan dengan menye-butkan tempat. Namun Itivuttaka
tidak menyebutkan tempat. Salah satu alasan mengapa demikian
adalah karena tempatnya sudah pasti: Kosambī.
5. Saṅghamittā—pembawa budaya
81
berdasarkan nilai-nilai moral religius.
Apakah harta yang paling berharga yang dimiliki oleh negara Sri
Lanka? Harta itu tidak dan tidak bukan adalah relik Gigi Sang Buddha.
Relik ini sekarang disimpan di sebuah bangunan khusus beratapkan
82
emas. Keamanannya, diusahakan semaksimal mungkin. Relik ini oleh
masyarakat Sri Lanka tidak diizinkan untuk dibawa ke luar wilayah
Sri Lanka. Bahkan pernah pemerintah ingin memindahkannya ke
Colombo, dekat gedung parlemen namun tak satu pun rakyat yang
mengizinkannya.
Semenjak relik itu sampai di Sri Lanka, relik ini telah menjadi
warisan yang tak ternilai harganya secara turun temurun. Relik itu
menjadi warisan bagi raja-raja. Hanya mereka yang bisa menguasai
relik tersebut yang layak untuk menjadi raja. Mereka yang bisa
menguasai relik tersebut akan mendapatkan penghormatan dan
kepercayaan yang amat besar dari rakyat. Oleh karenanya, raja-raja
yang mengusai relik ini memberikan penghormatan tertinggi kepada
relik ini. Mereka membangun bangunan khusus yang amat megah
untuk menempatkan relik tersebut. Bahkan, Raja Nissaṅkamalla
(1187-1196) mempersembahkan putranya Vīrabāhu dan putrinya
Sarvāṅgasundarī. Raja kemudian menebus putra dan putrinya dengan
83
membangun stupa dari emas.69
84
KONDISI WANITA PASCA SANG BUDDHA
PARINIBBANA
Berdasarkan fakta yang ada dan juga atas dasar catatan sejarah
ternyata aktivitas wanita khususnya bhikkhunī boleh dibilang sirna
dari peredaran semenjak Sang Buddha wafat. Tidak banyak buku
yang mencatat aktifitas mereka. Padahal keberadaan bhikkhunī sekte
Theravāda bertahan hingga abad kesebelas Masehi. Ini tentunya
menimbulkan pertanyaan tersendiri bagi kita. Apakah bhikkhunī
setelah Sang Buddha wafat mendapatkan diskriminasi atau memang
mereka tidak memiliki aktifitas yang memberikan kontribusi cukup
berarti bagi masyarakat.
85
Rājagaha dipilih sebagai tempat konsili karena di sekitar tempat
itu lebih mudah mendapatkan makanan selama konsili berlangsung.
Selain itu, Raja Ajātasattu adalah salah seorang raja yang memiliki
keyakinan sangat kuat pada Sang Tiratana: Buddha, Dhamma, Saṅgha.
Tentu tidak semua sekte setuju dengan pendapat ini. Ada juga
sekte yang menentang, dan berpendapat bahwa wanita juga dapat
terlahir kembali sebagai seorang Buddha. Sekte Sarvāstivāda adalah
70. D.J. Kalupahana, Buddhist Thought and Ritual, Motilal Banarsidass, India, 2001,
p.111.
87
sebagai contohnya. Cheng-Mei Ku yang telah melakukan penelitian di
bidang gender menegaskan:
88
sangat berbeda dengan Mahāvamsa yang menyebutkan dengan jelas
nama pengarangnya. Dalam hal ini, apakah ada sabotase atau tidak
dibutuhkan penelitian lebih lanjut.
89
KONDISI WANITA BUDDHIS DI ERA
MODERN
“Tetapi, Aku mau, supaya kamu mengetahui hal ini, yaitu kepala
dari tiap laki-laki adalah Kristus, kepala dari perempuan adalah laki-
laki, dan kepala dari Kristus adalah Allah…sebab laki-laki perlu
melindungi kepalanya, ia menyinarkan gambaran dan kemuliaan
Allah. Tetapi perempuan menyinarkan kemuliaan laki-laki.”72
90
Gambar 1. Adam dan Hawa di Taman Eden, oleh Titian, dilukis
pada tahun1550.73
91
membuat wanita semakin terpuruk kondisinya. Selain lukisan, kita
juga bisa menggunakan karya sastra sebagai media untuk mengetahui
bagaimana kondisi sosial suatu masyarakat.
Kita bisa mengambil salah satu syair dari Alfred Lord Tennyson
(1809–1892) salah seorang sastrawan Inggris. Ia menulis:
92
Tercatat bahwa Inggris pertama kali memilih wanita menjadi
Perdana Menteri pada tahun 1979 atau sembilan belas tahun setelah
Sri Lanka memilih wanita sebagai Perdana Menteri. Wanita yang
dipilih menjadi Perdana Menteri saat itu adalah Margaret Thatcher.
Ia sempat memimpin Inggris hingga tahun 1990. Hingga sekarang,
Margaret Thatcher adalah satu-satunya Perdana Menteri wanita
di Inggris. Menyikapi kondisi semacam ini, Catharina Halkes
berpendapat bahwa agama memberikan pengaruh yang sangat kuat
terhadap didiskriminasikannya wanita. Lebih lanjut, ia mengatakan
bahwa karena adanya pernyataan dalam Alkitab yang bersifat
diskriminatif, selama berabad-abad wanita berada dalam kekuasaan
lelaki. Sistem kekuasaan tersebut juga mempengaruhi kehidupan
agama kristiani, misalnya jabatan imamat dalam tradisi gereja Katolik
Roma dikhususkan bagi laki-laki saja.76
76. Catharina Halkes, The Themes in Feminist Theology Against God The Father,
Concilium 143, 1981, p. 103.
93
Bandaranaike Kumaratunga kembali memilih ibunya sebagai Perdana
Menteri. Ia menjadi Perdana Menteri hingga menjelang akhir hayatnya,
yaitu pada tahun 2000.
Aung San Suu Kyi bukanlah nama yang asing di mata kita
maupun di mata dunia. Ia berasal dari Burma. Ia adalah alumni Oxford
University, dan kemudian tinggal bersama suaminya. Ia kembali ke
Burma pada tahun 1988 ketika ibunya meninggal. Sesampainya di
Burma, ia menyaksikan demonstrasi massa menentang pemerintahan
militer yang dipimpin oleh Ne Win. Kondisi ini membuatnya prihatin
dan ia memutuskan untuk memulai perjuangan tanpa kekerasan demi
terciptanya demokrasi yang murni dan penghargaan secara utuh
terhadap hak asasi manusia.
94
pemilu tersebut. Bahkan sebaliknya, pemerintah menetapkan Aung
San Suu Kyi sebagai tahanan rumah dan mengisolasinya dari segala
komunikasi dengan massa. Pemerintah akan membebaskannya bila ia
mau meninggalkan Myanmar. Aung San Suu Kyi menolak tawaran
tersebut dan tetap mengharapkan agar negara kembali ke dalam
pemerintahan sipil.
Dalam kasus yang di alami Aung San Suu Kyi, tidak ada tanda-
tanda diskriminasi. Apa yang ia alami adalah murni urusan politik.
Keenganan pemerintah Myanmar menerima aspirasinya bukan karena
alasan gender melainkan keinginan pemerintah Myanmar untuk terus
mempertahankan sistem pemerintahan militer di negara tersebut.78
78. Idem
95
mempraktikkan sepuluh peraturan moralitas. Mereka menge-nakan
jubah yang warnanya tidak berbeda dengan jubah para bhikkhu.
Hanya saja bentuknya berbeda dengan jubah para bhikkhu atau
bhikkhunī. Jubah mereka polos, tidak ada jahitan yang memotong
agar jubah tersebut tampak seperti sawah Magadha di India kuno.
Sepanjang sejarah perkembangan agama Buddha di Sri Lanka, wanita
yang menjalani kehidupan selibat tidak sebanyak kaum pria. Ini bisa
dibuktikan dari catatan-catatan yang ada dan vihāra yang dibangun
untuk wanita juga jumlahnya relatif sedikit.79
96
kendati pada dasarnya mereka menganut paham yang umum terjadi
di mana-mana—father-oriented. Seperti program berapa anak yang
harus mereka miliki, yang menentukan adalah istri bukan suami.
97
WANITA BUDDHIS DI INDONESIA
98
pemerintahannya yang sangat jujur, semaksimal mungkin menegakkan
hukum dan berorientasi pada kesejahteraan rakyatnya.
100
maupun manca negara datang ke candi tersebut untuk menyaksikan
keagungan karya seorang penguasa. Adanya turis yang berdatangan
ke Candi tersebut telah memberikan kontribusi bagi perkembangan
ekonomi negara. Rakyat yang ada di sekitar candi juga turut
mendapatkan keuntungan dengan cara menjajakan hasil karya mereka.
101
dosen, penulis mendapatkan nama Lilavati. Tapi dari Encyclopaedia
of Britanica penulis mendapatkan nama Sivali. Ia berbeda dengan Ratu
Anula yang sangat bijak. Konon ia menjadi penguasa melalui jalur
kekerasan. Dua kali ia memberontak untuk merebut tahta kerajaan. Ia
dibantu oleh seorang menteri dan akhirnya menteri tersebut menjadi
suaminya. Yang ketiga adalah Ratu Sugala. Tidak banyak informasi
yang penulis dapatkan tentang ratu yang satu ini. Hanya saja, dikatakan
sistem pemerintahannya sangat baik sama seperti pemerintahan Ratu
Anula.81
102
kedudukan sementara wanita-wanita di belahan dunia lain merasakan
pahit getirnya diskriminasi.
103
WANDANI juga telah berusaha meningkatkan kesejahteraan
umat Buddha di daerah-daerah yang belum maju dengan cara
memberikan bantuan berupa alat-alat yang menunjang perkembangan
ekonomi keluarga. Mereka memberikan bantuan berupa mesin jahit,
gilingan tepung, gilingan kopi, mesin perontok padi dan masih banyak
lagi yang lainnya. Alat-alat tersebut diberikan tergantung dari kondisi
dan kebutuhan masyarakat setempat. Beberapa tempat yang telah
penulis kunjungi memanfaatkan bantuan ini. Sebagai hasilnya, kondisi
ekonomi keluarga mereka berkembang ke arah yang lebih baik.
104
organisasi Buddhis bahkan boleh dibilang mereka berada di bawah
naungan Saṅgha Theravāda Indonesia. Namun, Saṅgha Theravāda
Indonesia dan organisasi-organisasi Buddhis lainnya engan mengakui
mereka sebagai bhikkhunī setelah mereka mendapatkan upasampada
di India. Alasannya adalah bahwa Saṅgha Bhikkhunī dalam tradisi
Theravāda sudah lenyap sejak abad kesebelas Masehi. Yang tidak
mau mengakui mereka sebagai bhikkhunī Theravāda bukan hanya
organisasi Theravāda Buddhis di Indonesia. Seluruh Saṅgha Bhikkhu
Theravāda di dunia secara resmi berpendapat sama: Saṅgha Bhikkhunī
Theravāda sudah lenyap sejak lama.
106
BUKU-BUKU REFERENSI
a. Referensi utama
107
BPS, Sri Lanka, 1997
13. Translated by K.R. Norman, The Elders’ Verses (Therīgathā),
PTS, London
14. Translated by Maurice Walshe, The Long Discourses of the
Buddha (Dīgha Nikāya), Wisdom Publication, London, 1987
15. Translated by, N. A. Jayawickrama, Suttanipāta, University
of Kelaniya, Sri Lanka, 2001
b. Referensi tambahan
108
Sanskrit Series Office, Vanarasi, 1979
109