Anda di halaman 1dari 118

WANITA

A N
DPERSAMAAN GENDER
Tinjauan sosiologi agama Buddha

S. DHAMMASIRI
Buku ini pernah diterbitkan oleh:
Graha Metta Sejahtera pada tahun 2005
Editor:
Bhikkhu Indaratano, B.A. (Hons.)
S. Uggadhiro
Buku ini kupersembahkan untuk
Ibuku
Yang dengan penuh ketulusan dan kasih sayang
Telah merawat dan membesarkanku
Brahmāti mātāpitaro, pubbācariyāti vuccare

‘Ibu dan ayah disebut sebagai brahma, guru-guru awal’


(Itivuttaka, sutta 106)
Daftar Isi

KATA PENGANTAR v
CARA MELAFALKAN ABJAD PĀḶI viii
WACANA 1
ANALISIS TERMINOLOGI 4
SEKADAR BAHASA KONVENSIONAL 9
SEJARAH MUNCULNYA WANITA 11
KONDISI WANITA PRA-AGAMA BUDDHA 15
REVOLUSI GENDER 24
KONDISI SANGHA PASCA TERBENTUKNYA SANGHA
BHIKKHUNI 49
PANDANGAN SANG BUDDHA TERHADAP WANITA 57
KONTRIBUSI WANITA DALAM PEMBABARAN
DHAMMA 71
KONDISI WANITA PASCA SANG BUDDHA
PARINIBBANA 85
KONDISI WANITA BUDDHIS DI ERA MODERN 90
WANITA BUDDHIS DI INDONESIA 98
BUKU-BUKU REFERENSI 107

iv
KATA PENGANTAR

Ketika masih bertugas di Indonesia, saya sempat mendapatkan


kesempatan untuk memberikan pelajaran Sosiologi agama Buddha.
Di dalam kesempatan tersebut, saya membahas tentang stratifikasi
sosial berdasarkan pandangan masyarakat India kuno.

Tidak lupa pula saya juga menghubungkan pelajaran tersebut


dengan isu gender yang sempat mencuat kepermukaan bahkan hingga
sekarang ini. Salah satu peserta sempat mendebat saya dan mengatakan,
“Ah apa sih beratnya mengakui bahwa Sang Buddha tidak mengakui
adanya persamaan gender?”

Sebelum itu, saya memang sempat mengadakan riset di bidang


gender walaupun dalam skala yang sangat kecil, tetapi saya tidak
mempunyai waktu yang cukup untuk menulis, meskipun untuk sebuah
artikel. Sebenarnya, saya sama sekali tidak ada niat untuk menulis
sebuah buku yang membahas tentang gender, namun mengingat
banyak di antara kita yang tidak mengetahui dengan sesungguhnya
bagaimana panda-ngan Sang Buddha tentang gender, di tengah-tengah
kesibukan belajar dan juga mengerjakan tugas-tugas dari dosen, saya
menyempatkan diri untuk menulis buku ini. Selain itu, sangat sedikit
buku-buku yang membahas tentang gender menurut agama Buddha
dalam bahasa Indonesia.

Setelah sekitar satu bulan duduk di bangku kuliah, penulis sempat


mendapatkan pelajaran yang ada hubungannya dengan gender baik
di India kuno maupun di negara-negara Buddhis modern. Karenanya,
jangan terkejut kalau Anda menemukan beberapa poin yang tidak saya
sebutkan sumbernya karena saya tidak memiliki kesempatan untuk

v
mendedikasikan seluruh waktu saya untuk riset.

Tujuan utama buku ini adalah untuk menunjukkan secara sosio-


historis bagaimana masyarakat India—terutama masyarakat India
kuno—memandang wanita. Oleh karena itu, Anda akan menemukan
pembahasan bagaimana panda-ngan masyarakat India kuno tepatnya
di saat kebudayaan Harappa dan Mahenjodharo sedang mencapai titik
kulminasi. Kemudian evolusi secara bertahap bagaimana wanita mulai
“dilupakan” oleh masyarakat dan ketika revolusi gender dilakukan.

Saya juga membahas tentang kiprah wanita Buddhis di Indonesia


dan hal ini bisa Anda baca di bagian terakhir. Semoga buku ini mampu
membuka cakrawala baru bagi kita semua bahwa tidak semudah
membalikkan telapak tangan untuk mengatakan Sang Buddha tidak
mengakui adanya persamaan gender.

Penulis tentu dengan perasaan antusias dan dengan segala


kerendahan hati, merasa senang bila ada yang mau memberikan kritik
dan saran demi kemajuan kita bersama.

Saya juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Bhante


Indaratano yang selalu memberikan motivasi dan juga koreksinya,
S. Uggadhiro yang ikut membantu mengedit, Reverend Dhammacarī
yang telah banyak memberikan informasi dan diskusinya dengan
penuh rasa kekeluargaan, juga kepada teman-teman yang sedang
duduk di bangku Diploma tahun pertama University of Kelaniya, Sri
Lanka.

Terima kasih juga kepada Pak Simon Liu dan Bu Lina dari
Graha Metta Sejahtera yang bersedia menerbitkan buku ini. Semoga
kebajikan yang dilakukan memberikan manfaat dan kesejahteraan
yang maksimal bagi dunia ini.
vi
17 Juni 2004
Colombo, Sri Lanka

vii
CARA MELAFALKAN ABJAD PĀḶI

ā, ū, ī = diucapkan panjang

ṭ, ḍ, ṇ = diucapkan dengan lidah menyentuh langit-langit

ṁ, ṅ = diucapkan “ng”

ñ = diucapkan “ny”

v = diucapkan “w”

kh, gh, jh, ch,

dh, th, ṭh, ḍh, diucapkan dengan menghembuskan napas

ph, bh

viii
WACANA

Dewasa ini, ada suatu pergerakan yang sangat deras yang dilakukan
oleh kaum wanita untuk mendapatkan posisi yang setara dengan kaum
pria. Secara historis, wanita melakukan tindakan ini karena dipicu oleh
kondisi yang sangat memprihatinkan: DISKRIMINASI.

Sebagai imbas dari diskriminasi, baik dari dunia Barat maupun


di dunia Timur, tidak banyak kita temukan wanita sebagai pelaku
sejarah. Yang lebih banyak dipampang adalah nama-nama kaum
pria. Di Indonesia kita juga hanya menemukan beberapa nama kaum
wanita yang turut berperan serta dalam membebaskan negeri ini dari
kolonialisme. Sebagai contohnya, Cut Nyak Dien dan Martin Tiahahu
adalah mereka yang turut berkiprah dalam mengusir penjajah dari
negeri ini.

Dalam kaitannya dengan emansipasi dan penghapusan


diskriminasi gender, kita menemukan nama Dewi Sartika dan R.A.
Kartini. Dari keduanya, R.A. Kartini adalah tokoh yang lebih terkenal.
Bahkan, hari kelahirannya, 21 April, diabadikan dan dijadikan sebagai
hari besar nasional. Hanya saja, perjuangannya untuk membebaskan
wanita dari diskriminasi gender menimbulkan kontroversi. Salah satu
poin yang diajukan R.A. Kartini adalah penolakan terhadap poligami.
Namun, pada kenyataannya, ia sendiri menikah dengan Bupati
Rembang yang konon memiliki beberapa istri.

Dalam abad-abad yang silam, wanita tidak diberi kebebasan,


kekuasaan bahkan melakukan aktifitas sebagaimana dilakukan oleh
kaum pria. Tak pelak sekarang banyak wanita yang melakukan
pekerjaan yang juga dilakukan oleh kaum pria. Tinju, sepakbola,

1
montir adalah contoh-contoh konkritnya. Hanya sayangnya, para
psikolog melihat fenomena ini lebih sebagai kelainan ketimbang
sebagai kemurnian sifat wanita. Para psikolog menyebut remaja putri
yang berprilaku mirip seperti pria sebagai tomboy, sedangkan bagi
mereka yang melakukan pekerjaan pria seperti menjadi montir dan
sebagainya disebut sebagai androgini.

Entah karena pengaruh pergerakan wanita Barat atau bukan,


tidak ada indikasi yang begitu jelas, kini banyak wanita Buddhis
menuntut adanya persamaan gender. Untuk merealisasikan ide ini,
mereka menuntut agar Saṅgha bhikkhunī sekte Theravāda didirikan
kembali. Banyak orang, tentunya, yang tidak menerima hal ini karena
alasan bahwa Saṅgha Bhikkhunī dalam tradisi Theravāda sudah lenyap
semenjak abad ke XI masehi.

Di pihak lain, ada juga yang mendukung pendirian kembali


Saṅgha Bhikkhunī Theravāda. Mereka yang mendukung, tidak hanya
dari pihak umat awam tapi juga ada dari pihak bhikkhu Theravāda
yang secara pribadi mendukung pendirian kembali Saṅgha Bhikkhunī
tersebut. Namun sejauh ini, tidak ada Saṅgha Theravāda yang
mendukung pendirian kembali Saṅgha Bhikkhunī Theravāda tersebut.

Tuntutan yang paling deras terjadi di Sri Lanka. Namun,


pemerintah Sri Lanka sendiri sampai saat ini juga tidak mengakui
terbentuknya kembali Saṅgha Bhikkhunī Theravāda. Beberapa sumber
menyebutkan, pemerintah Sri Lanka akan mengakui secara resmi
keberadaan Saṅgha Bhikkhunī Theravāda jika ketiga Saṅgha berbasis
Theravāda yang ada di Sri Lanka mengakui secara resmi keberadaan
Saṅgha Bhikkhunī Theravāda.

Dengan adanya kenyataan tersebut, betulkah agama Buddha

2
mengakui adanya persamaan gender? Betulkah wanita Buddhis
diberikan posisi yang sama sebagaimana layaknya posisi yang
didapatkan oleh kaum pria? Baiklah untuk mengetahui hal ini secara
jelas, mari kita bahas masalah ini baik secara etimologis maupun
secara historis.

3
ANALISIS TERMINOLOGI

Kata yang digunakan Sang Buddha untuk mengacu pada manusia


(human being) adalah manussa. Terminologi manussa berasal dari kata
mana dan ussa. Mana berarti pikiran sedangkan ussa adalah tinggi.
Dengan demikian, manussa adalah makhluk yang memiliki kualitas
pikiran yang lebih tinggi. Dalam pandangan pujangga kuno, manusia
dan binatang hanya dibedakan karena Dharma. Dharma dapat berarti
inteletualitas, moralitas, adat istiadat dan norma-norma masyarakat.
Oleh karena itu, manusia yang kekurangan Dharma, menurut kitab ini,
adalah sama seperti binatang.1

Kata manussa dalam tata bahasa Pāli bergender maskulin, namun


dapat diaplikasikan untuk semua gender. Kata ini setara dengan kata
nara dalam penggunaannya. Mungkin karena dipicu oleh keadaan
bahwa kata manussa bergender maskulin, banyak sarjana Barat maupun
sarjana Buddhis sendiri menerjemahkan kata manussa sebagai “pria”
(man). Secara tekstual, hal ini tidak bersesuaian dengan konsep ajaran
agama Buddha yang sesungguhnya.

Konsep manusia—sebagaimana terdapat dalam bahasa Pāli,


kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia. Di dalam bahasa
Indonesia, kata manusia tidak mengacu pada pihak mana pun.
Kata ini berdiri secara netral. Kamus Besar Bahasa Indonesia
mendefinisikannya sebagai “makhluk yang berakal budi (mampu
menguasai makhluk lain); insan; orang.2

Kata yang secara khusus mengacu pada “pria” (man) dalam bahasa

1. Hiopadeśa, syair 25, Hardāsa Saṁskṛta Granthamālā, Varansi, 1946, p. 169


2. KBBI, hal. 714.

4
Pāli adalah purisa atau puma. Banyak sarjana yang telah berusaha
untuk menelusuri asal mula kata purisa. Prof. Geiger berpendapat kata
ini berasal dari Veda puruśa. Ada pula yang berpendapat kata purisa
secara etimologis berasal dari kata pura (atas) dan sayati (tidur). Secara
semantik, purisa berarti orang yang tidur di atas. Definisi ini masih
meninggalkan sedikit keraguan sebab Dalam tradisi Brahmanisme
kuno, pada saat suami istri melakukan hubungan seksual pria memang
berada di posisi atas. Akan tetapi, dalam tradisi Brahmanisme kuno
hanya pria atau suami yang boleh tidur di ranjang. Sementara kaum
wanita atau istri harus tidur di lantai yang sudah barang tentu posisinya
lebih rendah dari kaum pria. Dari kedua kasus ini, tidak ada kejelasan
mana yang dimaksudkan. Apakah salah satunya atau kedua-duanya.

Itthi adalah kata dalam bahasa Pāli yang khusus digunakan untuk
mengacu pada wanita (woman). Sampai sejauh ini, penulis belum
mampu menemukan definisi yang jelas dari kata itthi. Penjelasan-
penjelasan yang ada dalam kamus pun tidak sebanyak penjelasan yang
ada dalam kata purisa. Kata vanitā juga digunakan untuk mengacu
pada wanita (woman). Namun sekali lagi perlu disayangkan, tidak
ada penjelasan yang lengkap terhadap kata ini. Bahkan Pāli-English
Dictionary, yang merupakan kamus Pāli-English yang terbesar di
dunia tidak memuat kata ini.

Kata vanitā kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia.


KBBI mendefinisikan kata ini sebagai “perempuan dewasa; kaum
putri (dewasa)”.3

Bahasa Pāli adalah bahasa yang kuasai dan digunakan oleh


semua orang di India pada saat Sang Buddha hidup. Bahasa ini adalah
sebagai media komunikasi bagi banyak orang. Oleh karena itu, Sang
3. KBBI, hal. 1268
5
Buddha menggunakan bahasa ini agar ajaran-Nya dapat dipahami dan
dimengerti oleh banyak orang. Saat itu, juga ada bahasa lainnya yaitu
Prakrit dan Sansekerta. Bahasa Sansekerta adalah bahasa kaum elit
dan orang-orang kelas bawah tidak memahaminya.

Saat ini, agama Buddha sekte Theravāda menggunakan bahasa


Pāli sebagai bahasa Kitab Suci. Setiap kata benda dalam bahasa Pāli
digolongkan menurut gendernya. Kata deva, vihāra, aja (kambing),
vāṇija (pedagang) adalah contoh kata-kata yang digolongkan ke
dalam kelompok maskulin. Sedangkan, contoh kata yang digolongkan
ke dalam kelompok feminine adalah paññā (kebijaksanaan), nāvā
(perahu), disā (arah), senā (tentara) dan masih banyak lagi yang
lainnya. Selain digolongkan ke dalam bentuk maskulin dan feminine,
juga ada kata yang digolongkan ke dalam kelompok netral.

Bila kita kumpulkan semua kata berdasarkan gendernya, kita


akan mengetahui bahwa tidak ada keseimbangan dalam jumlahnya.
Kata bergender maskulin adalah yang paling banyak jumlahnya.
Mungkin juga hal ini terjadi karena pengaruh situasi sosial budaya
saat itu, di mana wanita dipandang rendah, tidak berharga dan sebagai
makhluk yang kotor (lihat pembahasan selanjutnya).

Di dalam Bahasa Indonesia kita bisa menemukan kata ganti


orang ketiga tunggal, yaitu “ia” dan “dia”. Baik kata “ia” ataupun
“dia” sifatnya netral, tidak memihak pada pria atau wanita dan dapat
digunakan untuk mengacu pada manusia atau binatang, pria atau
wanita. Sedangkan di dalam bahasa Pāli, kita tidak dapat menemukan
hal semacam ini. Oleh karena itu, kalau kita ingin menunjuk orang
ketiga tunggal harus jelas gendernya, pria atau wanita.

Kasus yang sama sebagaimana yang dialami dalam bahasa Pāli,

6
juga terjadi dalam bahasa Inggris. Di dalam bahasa Inggris kita juga
tidak bisa menemukan kata ganti orang ketiga tunggal yang bersifat
netral. Karena alasan ini, dalam bahasa Inggris Tuhan pun bergender
yaitu pria. Kata “he” (ia laki-laki) adalah kata ganti yang biasa
digunakan dalam hal ini. Adalah menarik untuk menyimak pendapat
Karen Armstrong seorang penulis yang terkenal lewat karyanya
History of God, dan Buddha (keduanya telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia). Ia mengatakan:

“... kaum mistik melihat bahwa Tuhan berinkarnasi dalam


tubuh seorang wanita. Sementara yang lain secara khidmat
memperbandingkan seksualitas Tuhan dan memasukkan unsur
feminine kepada Tuhan. Ini membawa saya ke titik yang sulit karena
Tuhan telah terlanjur secara khusus dikenal sebagai berjenis “laki-
laki”, dan dalam bahasa Inggris kaum monotheis lazim merujuknya
dengan kata ganti “he”. Pada masa sekarang, kaum feminis dengan
sangat sadar menaruh keberatan terhadap hal ini. Penggunaan kata
ganti maskulin untuk Tuhan ini telah menimbulkan persoalan dalam
sebagian bahasa bergender.”4

Ditinjau dari segi bahasa, orang Indonesia adalah orang yang


tidak terlalu mementingkan gender. Artinya, pria dan wanita dianggap
memiliki posisi yang sama. Namun, sangat disayangkan dalam praktik
dan kenyataannya, banyak wanita yang didiskriminasikan, dipandang
rendah dan tidak berharga. Mungkin sebagian orang akan menganggap
hal ini tidak benar. Tapi kalau tidak benar, mengapa R.A. Kartini
dan Dewi Sartika bangkit menuntut adanya emansipasi? Kemudian
lagi, Kelompok Perempuan Pro-Demokrasi (KPPD) melakukan
demonstrasi dengan mengusung keranda mayat ke Pengadilan

4. Karen Armstrong, Sejarah Tuhan, Mizan, Bandung, 2001, hal. 24-25.

7
Negeri (PN) Surabaya. Menurut kelompok ini, PN belum mampu
menuntaskan kasus-kasus pelecehan seksual terhadap perempuan.5
Sekali lagi, kondisi sosial budaya, agama dan banyak faktor lainnya
memberikan kontribusi dalam hal ini.

5. Harian Surya, Selasa, 15 April 2003, hal. 25


8
SEKADAR BAHASA KONVENSIONAL

Bahasa adalah sarana yang sangat baik dalam hubungan kita


dengan orang lain. Kita membutuhkannya agar apa yang ada dalam
benak kita bisa kita ekspresikan dengan ucapan sehingga orang lain
memahami pemikiran kita. Di dalam agama Buddha pasca-sektarian
(later Buddhism), bahasa dibedakan menjadi dua yaitu bahasa
konvensional (samutti) dan bahasa realitas (paramatha).

Bahasa konvensional adalah bahasa kesepakatan bersama.


Bahasa ini dibentuk dengan tujuan agar komunikasi lebih lancar, tidak
terjadi kesalah-pahaman. Sebagai contohnya, orang yang bekerja
menggarap ladang kita sebut sebagai petani. Orang yang sibuk di
bidang perdagangan kita sebut pedagang. Kita menyebut orang yang
melahirkan kita sebagai ibu, dan orang yang membuat ibu menjadi
hamil sehingga kita lahir adalah ayah.

Bahasa realitas adalah bahasa yang sesungguhnya atau boleh


dibilang bahasa filsafat. Di dalam realitas yang sesungguhnya ayah,
ibu, petani, pedagang, rumah itu tidak ada. Dapatkah seseorang
disebut sebagai ayah, ibu atau orangtua, kalau tidak ada anak? Sudah
pasti tidak bisa. Dapatkah orang yang sibuk dengan dagangan disebut
sebagai pedagang kalau tidak ada pembeli? Tentu tidak bisa bukan?
Dapatkah seseorang disebut sebagai adik kalau tidak ada kakak?
Tentu tidak bisa. Singkatnya, kita memberikan sebutan kepada sesuatu
karena ada hubungan, ada kondisi. Bila kondisi itu tidak ada, kita pun
tidak akan bisa menidentifikasi sesuatu.

Sang Buddha, sebagaimana bisa kita temukan dalam kitab


Tipitaka, menganalisis manusia dalam cara yang berbeda-beda. Sering

9
Beliau menganalisis manusia ke dalam lima kelompok kehidupan
(pañcakkhandhā), yaitu perasaan (vedanā), persepsi (saññā), bentuk-
bentuk pikiran (sankhāra), kesadaran (viññāna), materi (rūpa). Kadang
pula Beliau menganalisis manusia beradasarkan landasan indria
(āyatana), dan tidak jarang pula analasis itu berdasarkan unsur (dhātu).

Tatkala analisis semacam itu digunakan, manusia atau makhluk


hidup apa pun tidak dapat diidentifikasi gendernya. Yang ada hanyalah
manusia atau makhluk hidup yang terdiri dari unsur-unsur batin dan
jasmani, tidak lebih dari itu. Sang Buddha mengidentifikasi manusia
sebagai pria dan wanita sesungguhnya hanyalah untuk mempermudah
komunikasi. Singkatnya, semua itu sekedar bahasa konvensional. Tapi
sungguh, kekonven-sionalan itu, telah banyak digunakan orang untuk
memperbesar arti gender, melupakan fakta bahwa keduanya memiliki
potensi yang sama baik dalam lingkungan sosial maupun dalam
pencapaian spiritual. Ketika arti gender sudah sampai pada puncaknya,
kita pun menutup mata rapat-rapat bahwa keduanya memiliki sifat
yang baik dan buruk, keduanya bisa melakukan tindak kejahatan dan
juga meningkatkan kualitas mental spiritualnya.

Dalam analisis yang lebih jauh, kita mengidentisifikasi manusia


sebagai wanita karena ada pria, dan sebaliknya sebutan pria diberikan
karena ada wanita. Bila makhluk yang disebut wanita itu tidak ada,
kita pun tidak bisa menidentifikasi pria. Seandainya pria tidak ada,
sebutan wanita juga tak akan pernah ada. Kasus ini sama seperti kita
menyebut sesuatu sebagai lembut karena kita mengenali adanya benda
yang disebut kasar, terang karena ada gelap.

10
SEJARAH MUNCULNYA WANITA

Setiap agama selalu berusaha untuk menjawab pertanyaan


manusia yang sifatnya sangat fundamental. Kapan manusia pertama
kali diciptakan? Dari materi apa manusia diciptakan? Siapakah yang
diciptakan lebih dahulu, pria atau wanita? Itulah beberapa pertanyaan
yang mungkin muncul, dan sudah pasti masih banyak lagi pertanyaan-
pertanyaan lainnya seputar keberadaan manusia. Lalu adakah jawaban
yang diberikan oleh agama Buddha tentang siapa yang muncul lebih
dahulu di bumi ini, pria atau wanita?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pertama-tama kita harus


mengklarifikasi dan memperjelas status bumi dan dunia. Menurut
padangan agama Buddha, antara bumi dan dunia adalah dua hal yang
berbeda. Bumi adalah tempat yang sekarang kita tempati ini dan
juga dihuni oleh makhluk-makhluk lainnya. Bumi merupakan bagian
dari tata surya dan salah satu planet yang mengelilingi matahari.
Karenanya, ruang lingkupnya jelas batasannya. Sementara dunia
meliputi semua yang ada. Tata surya, galaksi-galaksi yang ada, klaster
adalah bagian dari dunia. Sekarang ini, riset terus dilakukan untuk
mengetahui apakah di galaksi-galaksi yang lain juga ada kehidupan
atau tidak. Hasil terakhir dari penelitian tersebut adalah belum ada
jawaban yang jelas. Artinya, masih sulit untuk mengetahui apakah ada
makhluk hidup di galaksi-galaksi yang lain.

Atas dasar pertimbangan tersebut di atas bahwa dunia sangat


luas, Sang Buddha tidak pernah memberikan jawaban kapan manusia
pertama kali muncul di dunia ini dan siapa yang pertama kali muncul
di dunia ini apakah wanita atau pria. Bagi Sang Buddha pertanyaan

11
ini adalah pertanyaan metafisik. Pertanyaan tersebut tidak akan
memberikan pengalaman spiritual dan hanya membuat manusia
terjebak dalam rimba perdebatan. Sang Buddha mengatakan:

“Tak dapat diketahui awal dari alam semesta ini, titik yang
paling awal tidak dapat dipikirkan asal mula makhluk-makhluk yang
karena diliputi oleh ketidaktahuan dan terbelenggu oleh kehausan
mengembara kesan kemari....”6

Asal usul manusia di dunia ini memang sulit diketahui. Akan


tetapi, di dalam Nikāya kita masih dapat menemukan penjelasan
bagaimana proses kemunculan manusia di bumi ini. Dengan demikian,
kita dapat berasumsi bahwa kemunculan manusia di bumi ini masih
dapat diketahui. Salah satu sutta yang memberikan penjelasan paling
rinci terhadap kemunculan manusia di bumi ini adalah Agaññasutta.

Dari narasi yang ada, kita bisa tahu bahwa Sang Buddha
menggunakan proses evolusi untuk menjelaskan kemunculan
manusia di bumi ini. Sang Buddha menggunakan proses evolusi
untuk menjelaskan kemunculan manusia semata-mata karena dalam
pandangan agama Buddha tidak ada sesuatu yang muncul tanpa sebab,
tidak ada sesuatu yang muncul secara spontanitas (ahetu apaccaya).
Sesuatu bisa muncul karena dikondisikan oleh kondisi yang lain
dan bila kita telusuri, kita akan menemukan suatu rangkaian yang
berkesinambungan.

Agaññasutta menjelaskan bahwa setelah bumi mengalami


kehancuran dan selang waktu yang cukup lama, bumi ini terbentuk
kembali. Dibutuhkan waktu yang cukup lama agar bumi ini

6. Translated by Bhikkhu Bodhi, The Connected Discourses of the Buddha, A New


Translation of Saṁyutta Nikāya, Wisdom Publication, Boston, 2000, p. 658

12
dapat terbentuk dengan sempurna. Ketika bumi ini mulai menuju
kesempurnaan, awalnya bumi ini tertutup oleh air, tidak ada daratan.
Dalam kondisi yang seperti itu, ada makhluk-makhluk dari alam lain—
baik yang dari surga dan belakangan dari alam yang lebih rendah—
yang bertumimbal lahir di bumi. Makhluk-makhluk itu tidak dapat
diidentifikasi jenis kelaminnya dan hanya dikenal sebagai makhluk-
makhluk saja. Dengan sedikit berbau mitos, makhluk-makhluk itu
dikatakan beterbangan di atas air dengan cahaya mereka yang gilang
gemilang.

Waktu yang terus bergulir tanpa henti, membuat sari tanah muncul
ke permukaan air. Sari tanah ini bentuknya tidak langsung padat
seperti yang kita saksikan sekarang ini tapi seperti dadih susu (curd).
Karena rasa ingin tahu, makhluk-makhluk itu berusaha mencicipi
tanah tersebut. Bersamaan dengan itu, cahaya tubuh mereka yang
gilang gemilang menjadi lenyap. Rasa nikmat yang muncul karena
memakan sari tanah membuat makhluk-makhluk itu terus memakan
sari tanah tersebut.

Sari tanah yang mereka makan membuat tubuh mereka menjadi


padat dan bertambah padat. Perlahan-lahan wujud manusia semakin
tampak. Perbedaan-perbedaan antara satu makhluk dengan makhluk
yang lainnya semakin jelas. Di sinilah mulai terlihat wujud manusia
yang disebut pria dan wanita. Laki-laki yang tumbuh dengan organnya
membuat wanita menjadi tertarik, dan sebaliknya melihat adanya
perbedaan yang ada pada tubuh wanita, pria jatuh cinta kepada wanita.
Sejak saat itu, kisah cinta antara pria dan wanita dimulai di bumi ini.7

Dari ringkasan sutta di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa:


7. Translated by Maurice Walshe, The Long Discourses of the Buddha, (Dīgha Nikaya)
Wisdom Publication, 1987, p.409-411

13
1. tidak ada perbedaan seks ketika makhluk-makhluk pertama
kali muncul di bumi ini,
2. dibutuhkan waktu yang cukup lama dan kondisi yang cukup
demi terbentuknya organ seksual manusia,
3. yang jatuh cinta pertama kali bukan wanita juga bukan pria
tapi karena keduanya saling memperhatikan perbedaan di
antara keduanya, dan
4. proses penderitaan di bumi ini bukan pria atau wanita yang
memulainya, namun karena keduanya masih diliputi oleh
keserakahan dan nafsu seksual (rāga), kebencian (dosa), dan
kebodohan mental spiritual (moha).

Jelaslah bagi kita bahwa secara historis kemanusiaan tidak


ditemukan adanya diskriminasi di dalam ajaran agama Buddha pra-
sektarian (early Buddhism) meskipun sutta ini mungkin masih sulit
untuk diuji secara ilmiah bahkan boleh dibilang bersifat mitos. Antara
pria dan wanita—menurut sutta di atas—muncul secara bersama-
sama, dan saling menjadi kondisi bagi yang lain dalam pengembangan
cinta dan nafsu seksual.

14
KONDISI WANITA PRA-AGAMA BUDDHA

Man is the hunter; woman is his game:


The sleek and shining creatures of the chase,
We hunt them for the beauty of their skins.8

Dari berbagai literatur yang ada, kita bisa mengetahui bahwa


wanita pada masa India kuno atau tepatnya sebelum agama Buddha
muncul kondisinya sangat memprihatinkan. Mereka tidak diberikan
kebebasan baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat maupun
dalam agama bahkan dalam berkomunikasi. Hinaan, celaan dan posisi
yang setara dengan kaum Sudra, itulah yang mereka dapatkan.

Kalau kita mau menengok kembali sejarah masa lalu sebelum


bangsa Arya datang ke India tepatnya ketika peradaban Mahenjodharo
dan Harappa mencapai titik kulminasi, tidak ada perbedaan gender.
Antara pria dan wanita, keduanya saling menghirup dan menikmati
udara kebebasan. Tidak ada diskrimasi, bahkan berdasarkan sumber-
sumber yang ada, wanita lebih berkuasa, lebih dihormati.

Salah satu fakta yang dapat kita temukan bahwa wanita lebih
dihormati adalah ditemukannya frase Jagan-mātā. Frase ini mengacu
pada dewi. Secara religius, dewi ini sangat dihormati oleh semua
orang yang ada di Kota Harappa dan Mahenjodharo. Bahkan, mereka
menganggapnya sebagai Tuhan Pencipta alam semesta. Tampaknya
dewi ini tidak ada bedanya dengan Dewi Sri yang begitu dihormati
dan dipuja dalam tradisi masyarakat Jawa. Secara agrikultural, Dewi
Sri adalah dewi yang membawa berkah dan keberuntungan bagi para
petani.
8. Alfred Lord Tennyson (1809–1892), British poet. The Princess: A Medley (1847)

15
Dalam peradaban Mahenjodharo dan Harappa, masyarakat
menekankan pentingnya pertanian dan perdagangan. Di bidang
pertanian dan perdagangan, wanita adalah relasi yang paling baik bagi
pria, mempunyai peranan yang tidak dapat disepelekan begitu saja.
Saat itu, wanita diberi kepercayaan sebagai komando atau pengendali
keluarga. Anak-anak akan menjadi besar, segera bisa membantu
ayahnya bila sang ibu merawat anak tersebut dengan baik. Inilah
alasan lain mengapa wanita dalam peradaban Hahenjodharo dan
Harappa tidak dapat disepelekan begitu saja.

Peradaban Mahenjodharo dan Harappa tidak dapat bertahan


lama. Hal ini disebabkan oleh penjajahan bangsa Arya. Mereka
marah kepada masyarakat Mahenjodharo dan Harappa karena mereka
menganggap masyarakat Mahenjodharo dan Harappa telah mencuri
ternak mereka. Mereka kemudian menghancurkan kedua kota tersebut,
membunuh penghuninya dan menjadi-kannya sebagai tempat tinggal
hingga sekarang.

Pada masa-masa awal kedatangan bangsa Arya, posisi wanita


masih belum tergoyahkan. Mereka tetap menduduki posisi yang
paling atas. Di dalam teks-teks awal Ṛigveda, kita juga masih bisa
menemukan nama-nama dewi yang dipuja saat itu. Beberapa nama
di antaranya adalah Vijjulatā, Savitri dan Usas. Lebih dari itu, kita
juga menemukan wanita ditempatkan dalam posisi yang setara dengan
pria. Sebagai contohnya, kita menemukan frase dampati.

Dam berarti istri dan pati berarti suami. Adanya frase dampati
mengindikasikan bahwa wanita ditempatkan dalam posisi yang setara
dengan pria bahkan boleh dibilang lebih dari itu karena kata istri
ditempatkan pada posisi pertama. Kasus yang sama seperti nanti kita
saksikan juga kita temukan di dalam bahasa Pāli.
16
Setelah lama menetap di Mahenjodharo dan Harappa, bangsa
Arya semakin kuat posisinya. Tradisi Brahmanisme berangsur-angsur
terbentuk. Dengan segala daya upaya, kaum Brahmana berusaha untuk
mendapatkan posisi yang paling tinggi di tengah-tengah masyarakat.
Rival utamanya adalah kasta Ksatriya. Pada masa inilah posisi wanita
mulai terlupakan dan pada akhirnya kehilangan supremasinya.

Salah satu faktor yang membuat wanita tidak dihargai dalam


tradisi Brahmanisme yang merupakan kaum Arya adalah fakta
bahwa wanita tidak banyak memiliki peran dalam kehidupan mereka.
Seseorang akan dikenang, diingat karena jasanya, perjuangannya serta
pengaruhnya terhadap kehidupan orang lain.

Bangsa Arya sebelum menetap di India adalah kaum nomad.


Mereka hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain.
Mereka selalu berpindah-pindah untuk mencari daerah yang subur dan
banyak ditumbuhi rumput. Perkerjaan utama meraka adalah berternak.
Dalam sistem peternakan bangsa Arya, wanita tidak memiliki peranan
apa-apa. Kaum prialah yang menggembalakan ternak-ternak itu,
berjuang melawan perampok yang bermaksud merampas ternaknya,
binatang buas yang akan memangsa piaraannya.

Anak-anak lelaki semenjak dianggap mampu, berada dalam


asuhan sang ayah, turut mengembalakan ternak. Tujuannya adalah
agar mereka tahu bagaimana merawat ternak tersebut, melindunginya
dari serangan binatang buas maupun perampok, mencari tempat yang
cocok untuk mengembala dan sebagainya. Sementara kaum wanita
hanya tinggal di rumah, memasak dan mengurus kondisi rumah.
Dengan kata lain saat itu, wanita hanya sebagai sarana pemuas nafsu
seksual dan pemproduksi anak.

17
Kondisi semacam ini telah memberikan landasan yang cukup
kuat bagi kaum Bramana untuk memandang rendah kaum wanita.
Dalam perkembangan selanjutnya, kondisi wanita semakin parah.
Wanita yang pada awalnya adalah pengendali keluarga, dalam periode
Brahmanisme, tidak punya kekuasaan sama sekali dalam keluarga.
Ia tidak punya wewenang untuk menasehati anak, bahkan seorang
janda tua harus berada di bawah pengawasan anak. Salah satu sair
yang terdapat dalam kitab Manusmṛti yang dikarang belakangan
menyebutkan:

Pita rakșati kaumare


Bharta rakșati youvene
Rakșanti sthavise putrah
Na srti svatantra marthasi

Terjemahan syair di atas adalah sebagai berikut:


Wanita ketika masih muda, berada dalam naungan ayah
Setelah menikah, berada dalam naungan suami
Setelah menjadi janda, berada dalam lindungan anak
Wanita sudah sepantasnya tidak diberikan kebebasan.9

Syair ini menunjukkan bahwa wanita benar-benar tidak memiliki


kebebasan sama sekali. Adalah masih beruntung bagi wanita yang
ditinggal suaminya kemudian putranya mau merawat. Kalau tidak ada
yang mau merawat, dunia benar-benar jadi neraka. Seperti kita ketahui,
dalam perkembangan selanjutnya janda dianggap pembawa sial baik
dalam masyarakat maupun dalam keluarga. Oleh karena itu, praktik satī
menjadi popular di kemudian hari. Dalam praktik ini, setelah menjadi

9. Translated by Manmatha Nath Dutt, Manusmṛti, Chowkhamba Sanskrit Series Office,


Vanarasi, 1979, p. 315

18
janda karena suaminya meninggal, pada saat suaminya dikremasi, sang
janda juga dikremasi hidup-hidup bersamaan dengan jasad suaminya.
Di zaman modern ini, praktik semacam ini dilarang oleh pemerintah,
tapi pada praktiknya, masih ada juga yang melakukan hal semacam ini
secara sembunyi-sembunyi. Setidaknya itulah informasi yang pernah
penulis dapatkan.

Kitab Manusmṛti—sebuah kitab milik kaum Brahmanisme—


memberikan gambaran yang jelas kepada kita bagaimana kondisi
wanita yang sesungguhnya di India kuno. Wanita benar-benar tidak
memiliki kebebasan dan tidak dapat menikmati hak asasi yang layak.
Sebagai contohnya, salah satu syair dari kitab tersebut mengatakan
bahwa wanita sudah selayaknya tidak menghias diri demi dirinya
sendiri. Apakah wanita berparas jelek atau menarik, mereka semata-
mata diciptakan hanya untuk melakukan hubungan seksual dengan laki-
laki.10 Secara singkat, kita bisa menarik kesimpulan bahwa wanita saat
itu hanya dijadikan ladang pemuasan nafsu seksual. Pendapat ini akan
semakin jelas bila kita membaca syair-syair selanjutnya. Sebuah syair
selanjutnya mengatakan bahwa wanita diciptakan untuk mengandung,
hamil. Sementara laki-laki diciptakan untuk menghamilinya.11

Seorang wanita dari kasta rendah mungkin saja memiliki wajah


yang lebih cantik bila dibandingkan dengan wanita-wanita dari kasta
yang lebih tinggi. Brahmana, dalam hal ini, boleh menikahi wanita
tersebut, tetapi anak yang dilahirkan dari hubungan mereka tidak
memiliki hak warisan apa pun dari ayahnya. Manusmṛti menggambarkan
seandainya ada biji yang terbawa angin atau terbawa oleh arus air, dan
biji tersebut tumbuh di tempat yang jauh dari pohonnya, tanah itulah

10. Idem, p.316-317


11. Idem, 328.

19
yang harus menanggung semua resiko yang akan terjadi terhadap
pohon tersebut dan bukan penabur benih. Demikian halnya, anak yang
dilahirkan dari istri kedua (bukan istri yang asli) adalah tanggung
jawab ibunya untuk merawat dan membesarkan anak tersebut.12

Persis seperti kaum sudra yang tidak memiliki hak apapun dalam
masyarakat selain menjadi pembantu dari ketiga kasta yang lebih
tinggi, wanita juga tidak memiliki hak apapun. Wanita tidak memiliki
hak di bidang pendidikan—dengan kata lain wanita tidak boleh
sekolah. Mereka tidak memiliki hak untuk mempelajari Veda.

Salah satu alasan mengapa wanita tidak diizinkan untuk belajar


adalah karena orang-orang India saat itu—terutama kaum Brahmana—
menganggap bahwa intelegensi wanita sangat rendah, terbatas. Pikiran
wanita mudah berubah dan mengembara tanpa arah yang pasti.
Bahkan mereka menganggap intelegensi wanita hanya sebatas “dua
jari” (dvaṅgulipaññā). Namun kata dvaṅgulipaññā di abad modern
ini diiterpretasikan ke dalam beberapa arti. Ada yang berpandangan
bahwa kata dvaṅgulipaññā mengacu pada ukuran otak wanita. Dalam
hal ini, otak wanita dianggap hanya sebatas “dua jari”.

Di pihak lain, ada juga yang menginterpretasikan bahwa prase


tersebut mengacu pada kebiasaan wanita. Merupakan kebiasaan bagi
wanita India kuno saat itu untuk memasukkan sendok ke dalam panci
guna mengambil beberapa butir nasi dan mengambil nasi itu dengan
menggunakan dua jari untuk kemudian dicicipi. Atau, memencet nasi
tersebut dengan menggunakan dua jari. Semua ini dilakukan untuk
mengetahui apakah nasi yang mereka masak sudah benar-benar
masak atau belum. Sebagai dampaknya, banyak orang saat itu yang
beranggapan bahwa kebijaksanaan atau pengetahuan wanita tidak
12. Idem, p. 322.

20
terdapat di otak tapi pada dua jari.

Di dalam rumah sekalipun, wanita tidak diizinkan berbicara


menggunakan bahasa Sansekerta. Wanita saat itu berkomunikasi
menggunakan bahasa Pāli atau bahasa lain yang merupakan bahasa
kasta rendah dan bahasa masyarakat pada umumnya. Mereka tidak
diizinkan berbicara menggunakan bahasa Sansekerta karena kalau
mereka berbicara suara mereka seperti suara kambing. Selain itu,
bahasa Sansekerta dianggap sebagai bahasa suci, bahasa rahasia kaum
elit dan bahasa transmisi antara dewa dan utusan dewa. Sedangkan
wanita dianggap sebagai makhluk yang penuh dengan kotoran.
Karenanya, kalau mereka berbicara menggunakan bahasa Sansekerta,
timah panas harus dituangkan ke mulutnya.

Wanita juga tidak memiliki hak di bidang ekonomi, juga tidak


mendapatkan hak dalam hal keadilan hukum. Oleh karena itu, kalau
wanita melakukan kesalahan, brahmana dapat membunuhnya tanpa
perasaan bersalah atau sekedar menggantinya dengan uang yang ia
anggap pantas.

Di bidang religius, wanita juga tidak mendapatkan kebebasan


beragama. Kitab Satapatha Brahmana misalnya, menyebutkan
bahwa wanita secara ritual keagamaan adalah tidak suci, tidak bersih
(ceremonially is impure).13 Karenanya, wanita tak mungkin akan
mampu mencapai kebebasan (moksa). Seandainya mereka ingin
mencapai moksa, mereka harus menjadi lelaki dalam kehidupan di
masa yang akan datang. Lebih ekstrim lagi menurut pandangan kaum
Brahmanisme, wanita tidak mungkin akan terlahir kembali sebagai
pria kalau tidak mendapatkan restu dari sang suami.

13. Satapatha Brahmana XIV: I: I: 31.

21
Salah satu syarat yang harus mereka penuhi agar dapat terlahir
sebagai pria dalam kehidupan yang akan datang, adalah sang istri
harus memberikan kepuasan, kesenangan kepada suami. Singkatnya,
ia harus menjadi istri yang baik, jujur, setia dan menuruti semua yang
diinginkan suami. Oleh karena itu, istri yang ucapan, pikiran dan
fisiknya terkendali tidak menentang suami dianggap telah mencapai
kawasan pria (patiloka) dan disebut sebagai istri yang tersucikan
karena moralitas.14

Di dalam tatanan kehidupan rumah tangga, wanita seperti


telah disebutkan di atas, tidak memiliki hak apapun. Bahkan dalam
hubungan suami istri juga tidak ada kebebasan dan kesetaraan. Dalam
tradisi Brahmanisme, wanita adalah orang yang tidur setelah yang
lain tidur dan mereka harus bangun terlebih dahulu sebelum yang lain
bangun. Pada saat tidur, sang suami tidur diranjang, sementara sang
istri tidur di lantai.

Ironis memang kalau kita pikirkan dengan seksama. Wanita


dianggap tidak berharga, rendah, kotor dan sebagainya. Hinaan, caci
maki, celaan serta kata-kata kotor diberikan dan dilabelkan kepadanya,
tetapi kaum pria berharap mendapatkan kepuasan seksual darinya.
Ini tidak ada bedanya dengan pria ingin mendapatkan kepuasan,
kesenangan dan kenikmatan dari ludah yang telah ia ludahkan.

Pada abad keenam Sebelum Masehi, perbudakan adalah hal


yang umum terjadi di India. Banyak catatan-catatan yang dapat kita
temukan untuk membuktikan hal ini. Seperti dapat kita jumpai di
berbagai sumber, budak wanita adalah yang paling sering disebutkan.
Perbudakan ini terutama dilakukan oleh kaum brahmana. Sebagai
14. Translated by Manmatha Nath Dutt, Manusmṛti, Chowkhamba Sanskrit Series
Office, Vanarasi, 1979, p. 318

22
budak, dapat dipastikan mereka tidak memiliki kebebasan. Hidupnya
tergantung pada sang majikan dan ia merupakan bagian dari harta
sang majikan. Seandainya tidak suka, ia dapat menjual budak tersebut
kepada orang yang menginginkannya.

Salah satu bagian dari Vinaya Piṭaka menginformasikan kepada


kita tentang kondisi budak saat itu. Ibu Sudinna yang merupakan
kasta Vaisya mengatakan, “Jika ucapanmu benar, Aku akan
membuatmu sebagai wanita yang bebas,” kepada budak wanitanya.15
Raṭṭhapālasutta dari Majjhima Nikāya juga memberikan keterangan
yang sama. Dalam sutta ini, ibu Raṭṭhapāla juga mengatakan hal yang
sama kepada budak wanitanya.16

15. Translated by I.B. Horner, The Book of the Discipline, vol. I (Suttavibhaṅga), Luzac
&Company, London, 1949, p. 27.
16. Translated by Bhikkhu Ñāṇamoli and Bhikkhu Bodhi, The Middle Length Discourses
of the Buddha (Majjhima Nikāya), B.P.S, 1995, p. 682.

23
REVOLUSI GENDER

Di India kuno dikenal dua jenis kelompok agama. Kedua


kelompok agama tersebut adalah Brahmanisme dan Samanaisme.
Brahmanisme dianut dan diajarkan oleh orang-orang berkasta tinggi
yaitu kasta Brahmana. Agama ini lebih menekankan ritual daripada
pertapaan. Seperti telah kita ketahui, ajaran dari kaum Brahmana
hanya menguntungkan bagi penganutnya dan membawa penderitaan
bagi mereka yang tidak menganut ajaran ini. Namun demikian, orang-
orang berkasta rendah tidak dapat menganut agama ini.

Dalam pandangan kaum Brahmana, agama dan kasta ditentukan


oleh kelahiran. Karenanya, orang yang terlahir di dalam kasta tertentu
atau agama tertentu tidak mungkin bisa mengubah kondisi semacam
ini.

Tokoh-tokoh kaum Brahmana hidup berumah tangga, menikmati


kesenangan duniawi, dan hidup dengan bergelimang harta. Mereka
menjalani kehidupan selibat hanya pada saat mereka mempelari Veda.
Pada umumnya, kaum Brahmana akan mulai mempelajari Veda pada
usia lima atau delapan tahun dan akan berakhir setelah mereka mampu
menguasai ketiga Veda. Setelah menguasai Veda mereka akan kembali
ke rumah untuk selanjutnya menjalani kehidupan rumah tangga.
Mereka akan kembali menjalani kehidupan selibat jika mereka telah
merasa tua, dan hal ini dilakukan hingga akhir hayatnya.

Orang-orang yang tidak puas terhadap sistem yang diajarkan


oleh kaum Brahmana, mengadakan reformasi dengan cara membentuk
agama baru. Agama mereka ini disebut agama Samanaisme (Pāli)
atau Sramanaisme (Sansekerta). Di dalam agama Samanaisme,

24
terdapat beberapa aliran yang juga diajarkan oleh guru yang berbeda.
Di India pada abad keenam Sebelum Masehi ada enam guru yang
terkenal. Mereka adalah Makkhali Gosala, Pakkuda Kaccayana, Ajita
Kesakambalin, Sañjaya Belatthiputta, Purana Kassapa, dan Niganta
Nataputta. Sang Buddha juga termasuk dalam golongan kaum samana.
Namun memiliki sistem pengajaran dan ajaran yang berbeda dengan
guru-guru lainnya.

Pada umumnya, ajaran kaum Samana bertentangan dengan


ajaran kaum Brahmana. Kaum Brahmana adalah kemlompok yang
dapat menikmati kesenangan duniawi. Mereka dapat memiliki istri
lebih dari satu, mengumpulkan harta sesuka mereka dan mendapatkan
pendidikan intelektual yang cukup.

Dari keenam guru yang ada saat itu yang menentang secara
langsung ajaran Brahmanisme adalah Pakuda Kaccayana, Purana
Kassapa, dan Ajita Kesakambalin. Ketiga guru ini mengajarkan
penolakan terhadap nilai-nilai moral, adanya akibat dari perbuatan
yang telah dilakukan. Oleh karenanya, semua orang—menurut ajaran
ini—boleh menikmati kesenangan indriawi tanpa batas. Dengan kata
lain, mereka boleh membunuh makhluk lain, memperkosa wanita, dan
melakukan tindak kejahatan lainnya, tanpa perlu memikirkan dampak
dan akibatnya. Prinsip yang dipegang ketiga guru ini adalah: Kalau
kaum Brahmana boleh menikmati kesenangan indriawi, mengapa
yang lain tidak.

Kita telah melihat kenyataan yang memilukan sekaligus ironis,


bahwa kaum Brahmana memandang rendah wanita, tidak berharga,
dan tidak diberi kesempatan untuk turut serta berpartisipasi dalam
kegiatan sosial, keagamaan, pendidikan bahkan di lingkungan
keluarga sekalipun. Semenjak periode Aranyaka (pertapaan)—yang
25
merupakan manifestasi dari penen-tangan sistem monopoli ritualisme
kaum Brahmana—dimulai, wanita mendapatkan kebebasan untuk
mempraktikkan ritual keagamaan. Tentu ini adalah suatu sistem
keagamaan yang memberikan nilai tersendiri bagi kaum wanita. Di
sinilah dimulainya revolusi gender dalam masyarakat India kuno.

Revolusi gender tersebut diprakarsai oleh kaum Ksatriya yang


memang merupakan rival utama bagi kaum Brahmana. Memang pada
awalnya, hanya wanita-wanita dari kasta rendah yang menikmati
udara kebebasan, udara tanpa diskriminasi. Meskipun demikian,
keadaan ini sedikit demi sedikit dalam perkembangan selanjutnya
akan memberikan pengaruh terhadap sistem kaum Brahmana.

Tidak ada informasi yang jelas bahwa di masa lampau ada


komunitas petapa wanita. Yang kita temukan hanya fakta bahwa
Niganta Nataputta, guru bagi Jainisme, adalah orang yang pertama
kali menentang sistem kediktatoran kaum Brahmana terhadap kaum
wanita khususnya di bidang petapaan. Ia adalah orang yang pertama
kali menerima wanita masuk dalam Saṅgha untuk menjalani kehidupan
selibat. Dengan kata lain, ia adalah orang yang pertama kali berusaha
membebaskan wanita dari keterbelakangan aktifitas agama. Tak dapat
dipungkiri lagi, banyak wanita yang kemudian memasuki sistem baru
ini dan mendapatkan kebebasan beragama.

Tidak diragukan lagi, Sang Buddha adalah reformator terhadap


kekakuan sistem yang ada di zaman-Nya. Ia mereformasi semua bentuk
ajaran yang sekiranya menimbulkan penderitaan bagi penganutnya.
Tidak hanya ajaran-ajaran Brahmanisme yang ia reformasi. Ia juga
mereformasi ajaran-ajaran Sramanaisme yang membawa penderitaan
fisik maupun mental, pengondisi tumimbal lahir yang tiada habis-
habisnya.
26
Sudah barang tentu wanita yang saat itu dalam kondisi yang
memprihatinkan tidak luput dari perhatiannya. Dengan segala
pertimbangan, Beliau menerima wanita memasuki Saṅgha, guna
menjalankan ajaran-Nya secara intensif.

Sampai saat ini, penulis belum bisa menemukan referensi


bagaimana proses penerimaan wanita ke dalam Saṅgha dalam
tradisi Jaina. Yang dapat ditemukan hanyalah fakta bahwa saat itu,
Niganta Nataputta sudah menerima wanita untuk mendapatkan status
bhikkhunī. Beberapa bhikkhunī murid Niganta Nataputta, bahkan ada
yang meninggalkan Saṅgha Jaina dan bergabung dengan Saṅgha di
bawah naungan Sang Buddha.

Proses penerimaan bhikkhunī dalam Buddha sāsana dapat kita


lihat dengan jelas dalam Cullavagga yang merupakan bagian dari
Vinaya Piṭaka. Tercatat bahwa setelah Raja Suddhodana parinibbāna,
Mahāpajāpatī Gotami bertanya apakah memung-kinkan bagi wanita
untuk memasuki Saṅgha di bawah naungan Sang Buddha. Atas
pertanyaan ini, Sang Buddha mengatakan:

“Alaṁ, gotami, mā te rucci mātugāmassa tathāgatappa-vedite


dhammavinaye agārasmā anagāriyaṁ pabbajjā’ti.”

Kalimat ini dapat diterjemahkan sebagai berikut:

“Jangan gegabah, Gotami, terhadap keinginan wanita untuk


meninggalkan kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tak
berumah tangga dalam Dhamma dan Vinaya ini yang dibabarkan oleh
Penemu Kebenaran.”17

17. Translated by I.B. Horner, The Book of the Discipline, vol. V (Culavagga), Luzac
&Company, London, 1963, p. 352

27
Analisis yang mendalam terhadap kalimat ini menunjukkan
bahwa Sang Buddha dengan sangat hati-hati menjawab pertanyaan
Mahāpajāpatī Gotami. Kita tidak menemukan bahwa Sang
Buddha menolak atau menerima. Kalimat tersebut lebih cenderung
mengingatkan. Kata “alaṁ” berarti “cukup” “mā” berarti “jangan”
dan “rucci” berarti “suka”, “senang”. Oleh karena itu, kata “alaṁ …
mā … rucci…” dapat dipahami atau diterjemahkan seba-gai “Jangan
gegabah”, atau “Berhati-hatilah”.

Mahāpajāpatī Gotami mengulangi pertanyaan tersebut hingga


tiga kali, namun jawaban Sang Buddha tetap sama. Jawaban dan sikap
dari Sang Buddha tersebut akhirnya membuat Mahāpajāpatī Gotami
berpendapat bahwa Sang Buddha tidak mengizinkan wanita menjalani
kehidupan selibat, mempraktikkan Dhamma dan Vinaya secara
serius di bawah naungan-Nya. Mahāpajāpatī Gotami menjadi sedih,
menangis karena ketidakmampuannya menghadapi kenyataan ini.

Pertanyaan tersebut diajukan Mahāpajāpatī Gotami di


Kapilavatthu. Tak berselang lama kemudian, Sang Buddha
melakukan perjalanan ke Vesālī dan tinggal di sana untuk beberapa
lama. Mahāpajāpatī Gotami dengan rambut yang telah dicukur dan
mengenakan jubah, bersama wanita-wanita dari suku Sakya mengikuti
Sang Buddha ke Vesālī. Kaki mereka penuh debu dan menjadi
bengkak karena mereka tidak biasa menempuh perjalanan semacam
itu. Dengan kondisi semacam itu sambil menangis, mereka berdiri di
depan pintu gerbang vihāra.

Y.M. Ānanda, yang dikemudian hari menjadi pembantu pribadi


Sang Buddha, merasa iba melihat Mahāpajāpatī Gotami bersama
wanita yang lainnya dalam kondisi yang begitu memprihatinkan.
Setelah mengetahui persoalannya, akhirnya ia menemui Sang Buddha
28
dan menanyakan apakah memungkinkan bagi wanita untuk bisa
memasuki Saṅgha. Jawaban yang didapatkan oleh Y.M. Ānanda tidak
ada bedanya dengan jawaban yang didapatkan oleh Mahāpajāpatī
Gotami. Kendati Y.M. Ānanda mengulang pertanyaan tersebut hingga
tiga kali, jawaban dari Sang Buddha tetap sama seperti semula.

Menyadari hal ini, Y.M. Ānanda kemudian mencoba menggunakan


metode lain. Pertanyaan yang diajukan oleh Y.M. Ānanda membuat
Sang Buddha berada dalam posisi yang sulit. Bila Sang Buddha
menjawab “tidak” berarti Beliau mendis-kriminasikan wanita, namun
bila menjawab “ya” berarti Beliau harus menerima wanita ke dalam
Saṅgha. Pertanyaan Y.M. Ānanda adalah sebagai berikut:

“Bhante, apakah wanita setelah meninggalkan kehidupan


berumah tangga menuju kehidupan tak berumah tangga di dalam
Dhamma dan Vinaya yang diajarkan oleh Penemu Kebenaran, dapat
merealisasi buah dari pemenang arus (sotāpattiphala), yang kembali
sekali lagi (sakadāgāmiphala), tak kembali lagi (anāgāmiphala), arahat
(arahattaphala)?”

Sangat jelas bahwa pertanyaan ini adalah pertanyaan yang


mengarah pada diskriminasi bila dijawab secara negatif. Sang Buddha
mau tidak mau harus memberikan jawaban dalam bentuk kalimat
yang positif. Selain itu, Mahāpajāpatī Gotami telah merealisasi tingkat
kesucian pertama. Oleh karenanya, tidak ada alasan sedikit pun bagi
Sang Buddha untuk menjawab dalam bentuk negatif karena fakta
membuktikan bahwa wanita meskipun tidak menjalani kehidupan
kebhikkhunīan, tidak mejalani kehidupan kevihāraan dapat mencapai
tingkat kesucian.

Jawaban dalam bentuk positif yang diberikan oleh Sang Buddha

29
adalah pembuka jalan bagi Y.M. Ānanda untuk melanjutkan pada
pertanyaan selanjutnya. Dengan menunjukkan jasa, pengabdian dan
kebaikan Mahāpajāpatī Gotami, Y.M. Ānanda mengatakan bahwa
Sang Buddha seharusnya mau menerima Mahāpajāpatī Gotami dalam
sāsana. Atas saran ini dan segala pertimbangan, Sang Buddha akhirnya
mengatakan, jika Mahāpajāpatī Gotamī mau menerima delapan
peraturan keras (aṭṭhagarudhammā) wanita dapat di-upasampada
untuk menjalani kehidupan kebhikkhunīan. Delapan peraturan keras
tersebut adalah sebagai berikut:

1. Seorang bhikkhuni meskipun telah menjalani kehidupan


sebagai bhikkhunī selama seratus tahun, ia harus menghormat,
bangkit dari tempat duduknya, ber-añjali kepada bhikkhu
yang meskipun baru menjalani kehidupan kebhikkhuan
selama satu hari.
2. Bhikkhunī tidak boleh menjalani vassa di tempat yang tidak
ada bhikkhunya.
3. Setiap uposatha—dua minggu sekali, bhikkhunī harus
melakukan dua hal kepada bhikkhu Saṅgha yaitu (1)
menanyakan tanggal hari uposatha, (2) datang untuk
mendapatkan nasehat.
4. Setelah selesai menjalani vassa, bhikkhunī harus mengundang
atau memberikan kesempatan (pavārana) kepada kedua
Saṅgha untuk memberikan kritikan terhadap apa yang mereka
lihat, dengar, dan apa yang mereka duga terhadap dirinya.
5. Bhikkhunī, setelah melanggar peraturan penting
(garudhamma), harus menjalani mānatta18 selama setengah
18. Mānatta adalah hukuman yang diberikan karena bhikkhu atau bhikkhunī melanggar
peraturan sanghadisesa. Seorang bhikkhu atau bhikkhunī yang melanggar peraturan
sanghadisesa kariernya sebagai bhikkhu atau bhikkhunī masih dapat diteruskan

30
bulan di hadapan kedua Saṅgha.
6. Seorang wanita bisa mendapatkan upasampada setelah ia
menjalani latihan sebagai biarawati selama dua tahun dengan
menjalankan enam latihan moralitas.
7. Bhikkhunī tidak boleh mencela, merendahkan atau menghina
bhikkhu dengan alasan apa pun.
8. Seorang bhikkhunī tidak boleh menasihati bhikkhu tapi
bhikkhu boleh menasehati bhikkhunī.

Itulah peraturan keras yang harus diterima oleh Mahāpajāpatī


Gotamī bila ia dan wanita–wanita yang lain ingin mendapatkan
upasampada. Dengan senang hati dan penuh antusias, tentunya,
Mahāpajāpatī Gotamī dan wanita-wanita yang lain menerima delapan
peraturan ini. Mahāpajāpatī Gotamī adalah bhikkhunī pertama dalam
sejarah kebhikkhunīan. Ia tidak harus menunggu dua tahun untuk
menjadi bhikkhunī tapi secara spontan begitu ia mengakui menerima
delapan peraturan keras itu, saat itu pula ia menjadi bhikkhunī. Kasus
yang sama juga terjadi dengan lima ratus wanita lainnya. Khusus
peraturan keenam diterapkan bagi wanita-wanita yang ingin menjadi
bhikkhunī di kemudian hari.

Tanpa analisis yang mendalam, tanpa melihat kondisi sosial,


budaya, keamanan dan politik India saat itu, sudah barang tentu dengan
sangat mudah kita dapat mengatakan bahwa delapan peraturan keras
itu diterapkan oleh Sang Buddha sebagai wujud lain dari diskriminasi.
Dengan kata lain, Sang Buddha mendiskriminasikan wanita dengan
cara yang lebih halus. Penulis pun setuju dan tidak keberatan untuk
mengatakan bahwa Sang Buddha mendiskriminasikan wanita kalau

dengan cara ia melakukan pengakuan di hadapan Saṅgha yang jumlah bhikkhu atau
bhikkhunīnya sekurang-kurangnya ada 20.

31
saja situasi politik, sosial, budaya, dan keamanan India saat itu,
kondisinya seperti di Indonesia sekarang ini. Namun, kita seharusnya
tidak gegabah begitu saja untuk mengatakan bahwa Sang Buddha
mendiskri-minasikan wanita. Tanpa melihat situasi dan kondisi sosial,
budaya, keamanan dan politik saat itu, pandangan kita akan sangat
jauh dari kenyataan.

Kondisi dan situasi politik, budaya, keamanan dan sosial India


saat itu sungguh sangat berbeda dengan kondisi di Indonesia sekarang
ini atau dengan India modern sekali pun. Oleh sebab itu, akan sangat
jelas apa alasan utama Sang Buddha mengapa Beliau menerapkan
delapan aturan keras (aṭṭhagarudhammā) kepada wanita yang ingin
mendapatkan upasampada jika kita menganalisisnya dengan lebih
mendetail.

Pertama, Sang Buddha menerapkan peraturan bahwa seorang


bhikkhunī meskipun ia telah menjalani kehidupan kebhikkhunīan
selama seratus tahun, ia harus menghormat, bangkit dari tempat
duduknya jika ada bhikkhu yang datang, ber-añjali kepada bhikkhu
meskipun bhikkhu tersebut baru menjalani kehidupan kebhikkhuan
selama satu hari. Peraturan ini juga memiliki korelasi yang kuat dengan
peraturan nomor tujuh dan delapan. Dalam hal ini, kita perlu melihat
bagaimana status sosial dan kedudukan baik wanita-wanita yang ingin
menjadi bhikkhunī dan juga bhikkhu-bhikkhu yang telah ada.

Wanita-wanita yang pertama kali ingin menjadi bhikkhunī adalah


wanita-wanita dari kasta Ksatriya. Mahāpajāpatī Gotamī sendiri tidak
perlu diragukan adalah seorang ratu, permaisuri Raja Suddhodana.
Sedangkan lima ratus wanita lainnya adalah wanita-wanita berkasta
Ksatriya yang telah ditinggal suaminya menjadi bhikkhu. Kasta
Ksatriya adalah kasta yang paling tinggi di masyarakat India bagian
32
Timur saat itu sedangkan kasta Brahmana menduduki posisi kedua.
Kondisi ini cukup berbeda dengan India bagian Barat di mana kasta
Brahmana menduduki posisi pertama dalam hirarki kasta. Posisi Kasta
Ksatriya di India bagian Timur saat itu tidak ada bedanya dengan
posisi kaum ningrat, kaum bangsawan dalam strata masyarakat Jawa.
Mereka memiliki posisi yang sangat tinggi dan dihormati oleh semua
lapisan masyarakat.

Bhikkhu-bhikkhu yang ada saat itu tidak semuanya dari


masyarakat berkasta tinggi. Sebagian ada yang dari kasta tinggi, dan
ada juga yang dari kasta rendah bahkan lebih rendah daripada kasta
Sudra. Seperti kita ketahui, Y.M. Upāli sebelum menjadi bhikkhu
adalah seorang tukang cukur. Dalam kepercayaan masyarakat India
saat itu, tukang cukur memiliki status sosial yang lebih rendah
bila dibandingkan dengan kasta Sudra. Bahkan untuk mengikis
kesombongan Anuruddha, Bhaddhiya, Ānanda, Bhagu, Kimbila dan
Devadatta yang merupakan putra-putra bangsawan, Upāli ditahbiskan
lebih dahulu sehingga statusnya di dalam Saṅgha lebih senior daripada
yang lain. Mau tidak mau putra-putra bangsawan yang di-upasampada
belakangan harus menghormati Upāli.19

Adalah karena status sosial dan budaya sehingga Sang Buddha


menetapkan peraturan, wanita meskipun telah menjalani kehidupan
sebagai bhikkhunī harus menghormat kepada bhikkhu yang walaupun
baru di-upasampada pada hari itu. Seandainya, wanita yang pertama
kali mengajukan permohonan untuk menjalani kehidupan kevihāraan
adalah wanita dari kasta rendah, mungkin juga peraturan yang akan
ditetapkan oleh Sang Buddha akan lain bentuknya. Akan tetapi, karena

19. G.P. Malalasekera, Dictionary of Pāli Proper Names, Vol. I, Munshiram Manoharlal,
India, 2002, p. 408

33
yang pertama kali mengajukan permohonan untuk menjadi bhikkhunī
adalah wanita-wanita dari kasta tinggi, Sang Buddha dengan segala
pertimbangan menurunkan peraturan ini.

Pada umumnya, orang-orang yang memiliki status sosial lebih


tinggi merasa dirinya lebih terhormat, lebih terpandang dan sebagainya.
Dengan segala kesombongan dan kecongkakan, mereka memandang
rendah orang-orang yang memiliki status sosial lebih rendah darinya.
Sebagaimana pernah terjadi di dalam Saṅgha bhikkhu, status sosial
telah menjadi landasan yang cukup kuat untuk memunculkan
kesombongan. Y.M. Channa, sebagai contohnya, sangat sombong,
ia tidak mau menghormat bhikkhu-bhikkhu yang lebih senior, tidak
melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh bhikkhu-bhikkhu yang
lain. Alasan mengapa Y.M. Channa melakukan hal itu adalah karena
ia merasa bahwa dirinya adalah kusir Pangeran Siddhattha. Ia adalah
orang yang menemani dan mengantarkan Pangeran Siddhattha menuju
Pelepasan Agung. Ia adalah teman Pangeran Siddhattha ke mana pun
sang pangeran pergi. Ia bahkan menganggap Y.M. Mogallāna dan
Y.M. Sāriputta telah merebut posisinya.

Sang Buddha selama hidup-Nya tidak berbuat banyak atas sikap


Y.M. Channa, berulang kali Beliau menasehatinya tapi nasehat itu
tidak pernah dilaksanakan. Oleh karena itu, menjelang parinibbāna
(wafat), Beliau berpesan kepada Y.M. Ānanda untuk memberikan
brahmadaṇḍa (hukuman berat) kepada Y.M. Channa.20 Pelaksanaan
brahmadaṇḍa dilakukan setelah Saṅgha selesai melaksanakan konsili
pertama di Rājagaha. Y.M. Ānanda sekalipun yang telah mencapai
tingkat kesucian tertinggi (arahant) enggan untuk menemui Y.M.

20. Edited by The Editorial Committee, The Dhammapada, Burma Pitaka Association,
Burma, 1986, p. 215-216.

34
Channa sendirian untuk menyampaikan keputusan Saṅgha atas dasar
perintah Sang Buddha karena sikap Y.M. Channa yang begitu kasar
terhadap bhikkhu-bhikkhu yang lain. Y.M. Ānanda pada akhirnya mau
menemui Y.M. Channa dengan ditemani oleh banyak bhikkhu.21

Karena memiliki status sosial yang lebih tinggi, tentu dengan


mudah wanita-wanita dari kaum bangsawan yang menjadi bhikkhunī
mencela para bhikkhu yang berasal dari berbagai kasta, tinggi maupun
rendah. Inilah yang tampaknya menjadi pertimbangan Sang Buddha
mengapa Beliau menetapkan peraturan ini. Selain itu, hal ini juga
bertujuan untuk mengantisipasi kemungkinan-kumungkinan yang
akan terjadi di masa yang akan datang.

Kedua, bhikkhunī tidak boleh bervassa di tempat yang tidak


ada bhikkhunya. Sang Buddha menetapkan peraturan ini karena
alasan politik, keamanan dan pandangan ajaran agama lain. Ketiga
alasan ini adalah yang sangat kuat memberikan kontribusi terhadap
ditetapkannya peraturan ini.

Berdasarkan catatan-catatan yang ada dalam sutta, situasi politik


India saat itu cukup panas baik di dalam negeri yang menyangkut urusan
keluarga maupun antar negara. Kerajaan-kerajaan dan juga negara-
negara yang ada saat itu, berusaha memperluas daerah teritorialnya.
Perang antara satu negara dengan negara lain adalah hal yang wajar
terjadi. Di mana pun perang terjadi, apakah di zaman kuno atau di
zaman modern wanita dan anak-anak yang paling menderita. Banyak
istri yang kehilangan suami, dan banyak anak yang kehilangan ayah.

Dalam perang, banyak wanita yang menjadi korban pelecehan

21. Translated by I.B. Horner, The Book of the Discipline, vol. V (Culavagga), Luzac
&Company, London, 1963, p.402

35
seksual, diperkosa. Banyak juga wanita yang telah menjadi ibu,
dibunuh. Dengan dibunuhnya ibu dan ayah, tamatlah riwayat keluarga,
kepada siapa anak-anak yang masih belum tahu apa-apa bergantug?
Dapatkah mereka melanjutkan hidup tanpa bantuan ibu dan ayah?
Oleh sebab itu, ditinjau dari kondisi politik dan keamanan, India saat
itu bukanlah surga terutama bagi anak-anak dan kaum wanita.

Seperti telah disebutkan di atas, Pakuda Kaccayana, Purana


Kassapa, dan Ajita Kesakambalin adalah guru-guru spiritual yang
mengajarkan penolakan hukum moral. Mereka mengajarkan bahwa
melakukan tindak kejahatan atau kebajikan tidak akan ada buah atau
hasil yang akan didapat. Menurut ajaran mereka, meskipun manusia
dikumpulkan menjadi satu, kemudian dibunuh atau dibakar seperti
daging, tidak ada kesalahan yang telah dilakukan. Demikian pula,
memperkosa, melakukan tindakan asusila juga bukan merupakan
tindakan amoral. Mengapa demikian? Karena menurut pandangan
mereka, tidak ada akibat dari perbuatan baik maupun perbuatan buruk.
Dengan kata lain, berbuatan bermoral atau tidak bermoral adalah sama
saja.

Situasi politik, keamanan dan pandangan ajaran agama lain


adalah hal yang membuat Sang Buddha tampak enggan untuk meng-
upasamsapa wanita. Bila banyak orang yang menganut ajaran-ajaran
yang diajarkan oleh Pakuda Kaccayana, Purana Kassapa, dan Ajita
Kesakambalin, kemudian mereka memperkosa bhikkhunī, siapakah
yang harus bertanggung jawab? Apakah bhikkhunī tersebut akan
dianggap melakukan pelanggaran Pārājika karena telah melakukan
hubungan seksual? Andaikata hubungan seksual tersebut dianggap
tidak melanggar peraturan Pārājika dengan alasan dipaksa, siapakah
yang akan bertanggung jawab bila pemerkosaan tersebut membuahkan

36
hasil yaitu mampu membentuk janin dalam rahim sang bhikkhunī?
Dan bagaimanakah nasib sang anak kelak?

Sang Buddha adalah orang yang telah memahami kondisi


semacam ini dengan baik. Oleh karena itu, kita seharusnya tidak
gegabah mengambil kesimpulan bahwa delapan peraturan berat
diturunkan adalah sebagai wujud diskriminasi. Atau, Sang Buddha
tidak benar-benar ingin memberikan kebebasan kepada kaum wanita
di bidang religius. Berikut ini dihadirkan dua kasus yang sangat
relevan dengan diturunkannya peraturan ini. Memang kasus ini terjadi
setelah Saṅgha bhikkhunī terbentuk. Tapi paling tidak kasus ini telah
menjadi bahan pertimbangan bagi Sang Buddha.

Subhā Jīvakambavanikā adalah putri seorang brahmana. Ia


disebut Subhā karena memang orangnya sangat cantik, parasnya
menawan. Setelah memahami bahwa kesenangan seksual sifatnya
hanya sementara, ia kemudian menjadi bhikkhunī di bawah bimbingan
Mahāpajāpatī Gotamī. Walau rambut yang dianggap sebagai mahkota
telah dicukur habis dan mengenakan jubah kuning, parasnya yang
menawan, wajah yang cantik tetap dapat didentifikasi.

Suatu hari Subhā Jīvikambavanikā dalam perjalanan menuju


hutan untuk bermeditasi. Di tengah perjalanan ia dihadang oleh seorang
pria. Bhikkhunī Subhā menanyakan apa kesalahannya sehingga lelaki
itu menghadangnya. Lelaki ini tidak menjawab pertanyaan tersebut. Ia
justru dengan segala rayuan gombalnya, dengan kata-kata yang ditata
seindah mungkin, memuji kecantikan bhikkhunī Subhā, mengatakan
bahwa bhikkhunī Subhā masih muda dan cantik bukan wanita yang
berparas buruk. Lebih dari itu, pria tersebut mengajak bhikkhunī
Subhā untuk menikmati kesenangan duniawi, bersama indahnya
bunga yang bermekaran. Ia menawarkan segala bentuk kesenangan,
37
istana yang megah, pembantu, perhiasan yang tak ternilai. Pria ini
pun berjanji akan melakukan dan menuruti apa permintaan bhikkhunī
Subhā seandainya ia mau menjadi istrinya.

Bhikkhunī Subhā bukanlah tipe wanita yang mudah digombal


dengan segudang rayuan. Kondisi pikirannya kokoh, tak tergoyahkan.
Pada akhirnya, ia menyongkel matanya sendiri yang dianggap indah
bak bunga teratai tanpa noda bermekaran di taman dan memberikannya
kepada pria tersebut.22

Kasus semacam ini dan juga kasus-kasus yang serupa setidaknya


telah dipikirkan oleh Sang Buddha. Andaikata bhikkhunī Subhā tidak
melakukan tindakan yang begitu berani yakni menyongkel mata
sendiri dan memberikannya pada pria tersebut, dan pria tersebut nekad
melakukan pemerkosaan terhadap bhikkhunī Subhā, siapakah yang
akan bertanggung jawab atas perbuatan tersebut? Haruskah bhikkhunī
Subhā dikeluarkan dari Saṅgha? Lalu bagaimanakah reputasinya di
dalam Saṅgha? Lalu apakah pengadilan yang akan diberikan kepada
bhikkhunī Subhā dan juga pria tersebut oleh masyarakat?

Ada kisah lain lagi yang dialami oleh seorang bhikkhunī bernama
Uppalavaṇṇā. Berdasarkan catatan-catatan yang ada, ia adalah anak
seorang konglomerat di Sāvatthi. Karena kecantikannya, parasnya yang
rupawan, ia disebut Uppalavaṇṇā. Bahkan Dhammapada Aṭṭhakathā
(kitab komentar terhadap Dhammapada) menggambarkannya seperti
bunga lotus biru. Ia tersohor di seluruh negeri karena kecantikannya.
Banyak putra-putra bangsawan, anak-anak konglomerat dan banyak
yang lainnya tergila-gila padanya. Mereka mengirim utusan untuk
meminangnya. Tapi tak satu pun lamaran itu yang ia terima. Ia lebih
22. Translated by K.R. Norman, The Elders’ Verses (Therīgathā), PTS, London, p. 38-
40.

38
memilih menjadi bhikkhunī. Setelah menjadi bhikkhunī, ia mampu
mencapai tingkat kesucian tertinggi (arahant).

Selang beberapa lama kemudian, Y.M. Uppalavaṇṇā pindah ke


suatu hutan yang disebut Andhavanna yang secara literatur berarti
hutan yang gelap. Ketika ia pergi pindapatta, Nanda sepupunya sendiri
yang tergila-gila pada Uppalavaṇṇā semenjak ia masih menjadi umat
awam, datang ke tempat tinggalnya dan bersembunyi di tempat yang
agak aman. Setelah Uppalavaṇṇā kembali, Nanda langsung menyerang
dan memperkosa Uppalavaṇṇā. Uppalavaṇṇā telah berusaha melawan
sekuat tenaga, tapi apalah daya Nanda lebih kuat darinya.

Kasus yang dialami Uppalavaṇṇā benar-benar membuat Sang


Buddha jadi prihatin terhadap kondisi bhikkhunī. Beliau akhirnya
melaporkan tragedi memilukan ini kepada Raja Pasenadi. Sang Buddha
mengatakan bahwa sangat berbahaya bagi para bhikkhunī untuk
tinggal di hutan terutama dalam menghadapi orang-orang yang tidak
bertanggung jawab, hanya memikirkan kepuasan nafsu seksualnya
sendiri. Sang raja kemudian membangun vihāra bagi bhikkhunī yang
letaknya tidak jauh dari kota dan keamanannya terjamin.23 Sebelum
kasus itu terjadi, adalah tradisi bagi para bhikkhu dan bhikkhunī untuk
tinggal di hutan.

Terhadap kasus yang menimpa bhikkhunī Uppalavaṇṇā, Sang


Buddha menganggapnya bukan sebagai pelanggaran pārājika karena
di pihak Uppalavaṇṇā tidak ada niat untuk menikmati hubungan
seksual.24 Terlebih lagi Uppalavaṇṇā adalah seorang yang telah

23. Edited by The Editorial Committee, The Dhammapada, Burma Pitaka Association,
Burma, 1986, p. 205
24. Translated by I.B. Horner, The Book of the Discipline, vol. I (Suttavibhaṅga), Luzac
&Company, London, 1949, p. 53-54

39
mencapai kesucian tertinggi di mana tidak ada lagi tempat di batinnya
bagi kesenangan seksual. Namun, paling tidak kasus ini masih
menimbulkan kontroversi.

Sang Buddha mendeklarasikan bahwa Uppalavaṇṇā adalah


bhikkhunī yang paling hebat di antara para bhikkhunī dalam menguasai
kemampuan supra-natural. Berdasarkan keyakinan agama Buddha,
orang yang menguasai enam kemampuan spiritual (calabhiññā), mampu
mengubah diri menjadi binatang yang paling menakutkan, mengubah
diri menjadi ribuan, terbang, berjalan di atas air dan sebagainya.
Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa ia tidak menggunakan
kemampuan supra-naturalnya paling tidak untuk menghindari kasus
itu? Apakah mereka yang memiliki kemampuan supra-natural tidak
mampu mendemonstrasikan kemampuan supra-naturalnya setiap saat?
Selain itu Dhammapada Aṭṭhakathā, memunculkan pertanyaan apakah
mereka yang telah merealisasi kesucian tertinggi masih menikmati
kesenangan seksual? Mengapa tidak? Karena mereka bukan pohon
atau sarang semut (ant-hill), tapi makhluk hidup dengan kumpulan
daging basah. Dalam prinsip yang ditekankan oleh Sang Buddha,
pemikiran-pemikiran nafsu indrawi sudah tidak lagi mencengkeram
batin meraka.25

Kalau saja mereka yang terhebat dalam menguasai kemampuan


supra-natural, masih bisa diperkosa bahkan Dhammapada Aṭṭhakathā
mengatakan “Sampai Nanda puas,” lalu bagaimanakah mereka yang
tidak menguasai kemampuan supra-natural sama sekali? Bukankah
pintu gerbang terbuka lebar-lebar?

Ketiga, Setiap uposatha—dua minggu sekali, bhikkhunī harus


25. G.P. Malalasekera, Dictionary of Pāli Proper Names, Vol. I, Munshiram Manoharlal,
India, 2002, p. 419.

40
melakukan dua hal kepada bhikkhu Saṅgha yaitu (1) menanyakan
tanggal hari uposatha, (2) datang untuk mendapatkan nasehat.
Peraturan ini berkaitan juga dengan peraturan keempat dan kelima.

Senioritas di dalam Saṅgha tidak ditentukan oleh usia kelahiran


sebagai manusia, tetapi ditentukan oleh seberapa lama ia telah menjalani
kehidupan kebhikkhuan, dan seberapa jauh ia mampu mengendalikan
diri setiap tahunnya, tidak gagal menjalankan vassa. Dengan kata lain,
senioritas di dalam Saṅgha ditentukan oleh usia kelahirannya sebagai
bhikkhu maupun bhikkhunī. Meskipun perbedaan upasampada
hanya satu detik, hal itu tetap akan dihitung. Oleh karena itu, pada
umumnya, setiap bhikkhu di zaman modern ini tahu kapan persisnya
ia di-upasampada, tahun, bulan, tanggal, jam, menit bahkan hingga
detik-detik penahbisan.

Seperti kasus yang telah kita lihat di atas, Upāli di-upasampada


lebih dahulu dengan tujuan untuk menciptakan kesenioritasannya.
Belum tentu dia adalah orang yang paling tua di antara mereka. Meskipun
seseorang di-upasampada pada usia 60 tahun atau lebih lanjut lagi,
ia tetap harus menghormat mereka yang mendapat upasampada lebih
dahulu walaupun usianya masih sangat muda. Demikian pula, dalam
kasus bhikkhunī mengapa ia harus melaksanakan peraturan ketiga,
keempat dan kelima adalah alasan kesenioritasan. Saṅgha bhikkhu
lahir lebih dahulu, sedangkan Saṅgha bhikkhunī lahir belakangan.

Menghormati kesenioritasan bukanlah hal yang baru ditetapkan


setelah Saṅgha bhikkhunī terbentuk. Tradisi semacam ini sudah
berlangsung semenjak Saṅgha bhikkhu didirikan. Jika saja yang
menjadi Buddha adalah wanita atau meskipun yang menjadi Buddha
adalah pria tetapi yang pertama kali Mereka bentuk adalah Saṅgha
bhikkhunī dan Saṅgha bhikkhu dibentuk belakangan, Saṅgha bhikkhu
41
tetap harus menghormati kesenioritasan Saṅgha bhikkhunī. Namun
sekali lagi, perlu kita renungkan, pikirkan, camkan dan perlu kita
ketahui bahwa Saṅgha bhikkhu dibentuk lebih dahulu.

Kesenioritasan dalam Saṅgha bhikkhu dan Saṅgha bhikkhunī


akan sangat jelas kita lihat dalam tradisi masyarakat Jawa. Penulis
mengambil contoh ini karena budaya yang banyak penulis ketahui
adalah budaya Jawa. Mungkin juga dalam budaya suku atau etnis lain
ada yang sama; namun penulis tidak mengetahuinya.

Di dalam masyarakat Jawa kesenioritasan ditentutan oleh


kelahiran keluarganya, dan bukan oleh kelahirannya sendiri. Ambil
saja sebagai contohnya, seorang suami istri mempunyai dua anak.
Untuk memudahkan pembahasan, kita identifikasi anak pertama
sebagai pria, namanya Pratama dan anak kedua adalah wanita, Kumārī.
Dalam tingkatan ini sudah sangat jelas anak kedua harus memanggil
anak pertama sebagai kakak.

Ketika mereka telah tumbuh dewasa dan sudah cukup umur


untuk menikah, Kumārī mendapatkan jodohnya lebih dahulu. Pada
tingkatan ini, sang suami dari Kumārī tetap harus memanggil kakak
kepada Pratama meskipun usianya jauh lebih tua daripada Pratama.
Tak berselang lama kemudian, anak pertama dari pasangan ini lahir.
Namanya Ika.

Pada saat Ika berusia dua tahun, Pratama menikah dengan


seorang wanita dari keluarga yang cukup sederhana. Karena alasan
ekonomi belum mapan, pasangan ini enggan memiliki anak lebih
awal dan mereka mengikuti program KB. Anak dari pasanghan ini
akhirnya lahir setelah Ika berusia sepuluh tahun. Aditya adalah nama
yang diberikan kepada anak pertama mereka. Dalam hal ini, dengan

42
alasan apapun Ika tetap harus memanggil kakak kepada Aditya yang
baru lahir. Demikian seterusnya, semua keturunan dari Kumārī harus
menganggap lebih tua semua keturunan dari Pratama berdasarkan
urutannya. Sebaliknya, seandainya Kumārī adalah anak pertama dan
Pratama adalah anak kedua, semua keturunan dari Pratama harus
menganggap semua keturunan Kumārī sebagai saudara tua atas dasar
urutan yang benar.

Kemudian masalah yang terakhir, adalah untuk menjadi bhikkhunī


seorang wanita meskipun sudah cukup umur harus menjalani latihan
kehidupan kevihāraan terlebih dahulu selama dua tahun. Peraturan
ini tentu cukup berbeda dengan peraturan yang diterapkan kepada
pria. Seorang lelaki yang ingin menjadi bhikkhu dapat langsung di-
upasampada sepanjang dia sudah cukup umur, dan bila berasal dari
sekte lain ia pertama-tama harus menjalani latihan selama empat
bulan. Benar-benar diskriminasi? Untuk mengetahui jawabannya,
marilah kita analisis hal ini.

Sekali lagi, perlu kita ketahui bahwa India di masa Sang Buddha
hidup kondisinya berbeda dengan sekarang. Indonesia sekalipun saat
itu kondisinya masih gelap. Tanda-tanda kemunculan dunia skolatisme
belum begitu jelas, baru belakangan muncul filsuf-filsuf yang terkenal
meski tidak sampai mendunia.

Di zaman itu, dunia kedokteran di India belum begitu canggih


seperti sekarang ini. Operasi dan bedah memang sudah dikenal tapi
masih menggunakan cara yang sangat tradisional. Untuk mendeteksi
kehamilan, caranya juga masih menggunakan cara manual. Tidak
seperti sekarang, hanya beberapa saat kita sudah bisa mendeteksi
apakah ada embrio di dalam janin atau tidak.

43
Penetapan peraturan, seorang wanita yang ingin mendapatkan
upasampada harus menjalani latihan kehidupan kevihāraan selama
dua tahun, adalah peraturan yang bersifat antisipatif. Peraturan ini
bertujuan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Misalnya,
setelah ia mendapatkan upasampada, baru ketahuan bahwa dia sedang
hamil. Tentu kondisi semacam ini akan menjadi beban tersendiri baik
bagi bhikkhunī itu sendiri maupun bagi Saṅgha. Lebih jauh lagi,
masyarakat akan memandang hal ini sebagai aib yang sangat serius.
Dalam sejarah Saṅgha bhikkhunī di masa Sang Buddha hidup, memang
tercatat ada bhikkhunī yang hamil. Hanya sayangnya, tidak banyak
informasi yang bisa didapatkan tentang kondisinya setelah itu.26

Itulah alasan-alasan mengapa Sang Buddha menerapkan delapan


peraturan keras. Beradasarkan informasi yang penulis dapatkan
dari seorang bhikkhunī Taiwan, Dhammacarī—yang kebetulan juga
menjadi teman sekelas penulis di Universitas Kelaniya, Sri Lanka, di
Taiwan delapan peraturan keras ini tidak lagi begitu menjadi masalah
besar. Artinya, delapan peraturan keras ini tidak terlalu ditekankan dan
juga tidak terlalu dipraktikkan. Yang ada adalah saling menghormati
antara bhikkhu dan bhikkhunī. Menurut dia, semakin kita terdidik kita
akan semakin mengerti akan arti kebebasan, hak asasi setiap manusia.

Beberapa waktu yang silam, di Taiwan ada seorang bhikkhunī


yang menulis bahwa delapan peraturan keras itu ditulis belakangan oleh
para bhikkhu bukan asli dari Sang Buddha. Penulis sebenarnya telah
meminta bantuan Bhikkhunī Dhammacarī untuk bisa mendapatkan
artikel ini. Namun sangat disayangkan sampai penulis selesai menulis
buku ini artikel itu belum sampai ke tangan penulis.

26. Translated by I.B. Horner, The Book of the Discipline, vol. II (Suttavibhaṅga),
Luzac &Company, London, 1969, p.30

44
Segera setelah mendapatkan informasi di atas, penulis
mendiskusikan masalah ini dengan seorang sarjana yang cukup
popular dan banyak mengusai Dhamma. Ia mengatakan, dalam
Tipiṭaka tidak ada fakta yang cukup untuk mendukung pendapat ini.
Memang seperti dituturkan Jotiya Dhirasekera, bahwa ada sedikit
perbedaan antara vinaya Theravāda dan vinaya sekte lain. Namun
demikian secara umum, semua sekte setuju untuk mengatakan bahwa
delapan peraturan keras itu ditetapkan oleh Sang Buddha sendiri.27

Selain alasan-alasan yang disebutkan di atas, ada alasan lain


yang membuat Sang Buddha berpikir dan mempertimbangkan dengan
penuh kesungguhan untuk menerima wanita menjadi bhikkhunī.
Alasan itu tidak lain adalah alasan sosial.

Bhikkhu adalah orang yang menjalani kehidupan selibat,


mendedikasikan seluruh waktunya untuk pengembangan mental
spiritual. Sebelum mampu mencapai puncak spiritual, kebebasan
tertinggi (Nibbāna), tugas utamanya adalah melatih diri dalam
kebijaksanaan (paññā), moralitas (sīla), dan meditasi (samādhi).
Namun demikian, ia juga bisa melayani masyarakat, membantu
mereka meningkatkan nilai-nilai moral, pencapaian spiritual.

Seorang bhikkhu sepenuhnya hidup terpisah dari keluarga,


ia harus tinggal di vihāra. Kalau pun ingin menjenguk keluarga,
ada batasan waktu yang harus dipatuhi. Ia tidak bisa dengan
seenaknya tinggal di rumah keluarganya tanpa ada batasan. Alasan
mengapa harus demikian adalah karena mereka telah bertekad untuk
menjalani kehidupan selibat, berusaha mengikis semua bentuk
kesenangan duniawi, kesenangan seksual dalam bentuk apa pun harus
27. Jotiya Dhirasekera, Buddhist Monastic Discipline, Government of Sri Lanka, Sri
Lanka, 1982, p. 145-146.

45
dihindari. Singkatnya, mereka harus mendedikasikan waktu untuk
mempraktikkan Dhamma dan Vinaya secara intensif.

Konsep brahmacariya (kehidupan selibat) tidak hanya dianut oleh


Saṅgha yang dibentuk Sang Buddha, tapi dianut oleh semua agama
sramanaisme. Lalu apakah yang akan dikatakan oleh masyarakat baik
mereka yang menjalani kehidupan rumah tangga maupun mereka
yang menjalani kehidupan selibat bila Sang Buddha menerima
Mahāpajāpatī Gotamī bersama lima ratus wanita Sakya lainnya?

Seperti telah kita ketahui, Mahāpajāpatī Gotamī adalah bibi, ibu


asuh sekaligus ibu tiri Pangeran Siddhattha. Lima ratus wanita lainnya
adalah wanita-wanita yang telah ditinggal suaminya menjadi bhikkhu
di bawah bimbingan Sang Buddha. Di antara lima ratus wanita ini
ada Yasodharā yang merupakan istri Pangeran Siddhattha, dan
Janapadakalyāṇī yang merupakan istri Nandā. Tidakkah masyarakat
akan mengatakan Petapa Gotama adalah petapa yang munafik
mereka hidup membiara tapi bersama istri-istri mereka? Mereka
bertekad menjalani kehidupan selibat tapi masih mencari kesenangan
duniawi dengan cara menerima istri-istri mereka menjalani kehidupan
kevihāraan.

Sang Buddha adalah orang yang sangat sensitif dan responsif.


Beliau merespon semua komentar yang sekiranya membawa manfaat
bagi perkembangan Saṅgha dan juga kesejahteraan masyarakat.
Sebagai contohnya, ketika Raja Suddhodana memohon agar semanjak
Rāhula ditahbiskan menjadi samanera tidak ada lagi yang ditahbiskan
menjadi samanera atau bhikkhu tanpa seizin orangtuanya, Sang Buddha
menerima saran ini. Dan, semenjak hari itu ditetapkan peraturan untuk
tidak menahbiskan seseorang tanpa seizin orangtuanya.28
28. Translated by I.B. Horner, The Book of the Discipline, vol. IV (Mahāvagga), Luzac

46
Sang Buddha berkomitmen untuk menjaga nama baik, reputasi
Saṅgha di tengah-tengah masyarakat. Vinaya ditetapkan juga karena
tujuan agar anggota Saṅgha menjaga diri, membawa nama baik Saṅgha
di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, bukankah reputasi
Saṅgha akan menurun jika benar kritik semacam di atas muncul?

Adanya sistem kasta yang pada hakekatnya merugikan kaum


wanita, setidaknya menjadi bahan pertimbangan tersendiri. Seperti
telah dibahas dalam pembahasan terdahulu, wanita khususnya di
dalam tradisi Brahmanisme ditelantarkan, dilecehkan, tidak dihormati
dan sebagainya. Sedikit banyak ajaran yang demikian memberikan
pengaruh pada masyarakat banyak. Wanita yang menjalani kehidupan
kevihāraan akan menghadapi kesulitan dalam hal ini.

Dalam kasus-kasus yang terjadi belakangan, bhikkhu dan


bhikkhunī cukup berbeda dalam mendapatkan kesejahteraan materi.
Uppalavaṇṇā, misalnya, melaporkan bahwa bukanlah hal yang mudah
bagi bhikkhunī untuk mendapatkan jubah dan materi yang lainnya.29
Sementara para bhikkhu mendapatkan dukungan materi dengan cara
yang lebih mudah. Seperti dilaporkan oleh Udāyī bahwa mendapatkan
dukungan materi seperti jubah, makanan, obat-obatan bukanlah hal
yang sulit bagi para bhikkhu.30

Itulah beberapa alasan mengapa Sang Buddha tampak enggan


untuk meng-upasampada wanita menjadi bhikkhunī; bahkan Beliau
menurunkan delapan peraturan keras (aṭṭhagarudhammā). Dengan
melihat kondisi sosial, politik, keamanan dan pandangan agama lain
kita bisa memahami sikap kehati-hatian yang ditempuh Sang Buddha.

&Company, London, 1971, p.104


29. Idem, vol. II (Suttavibhaṅga), 1969, p. 38.
30. Idem, vol. I (Suttavibhaṅga)1949, p. 222

47
Dan, dengan demikian, Anda bisa menghakimi Sang Buddha apakah
Beliau mendiskriminasikan wanita atau tidak.

Seorang hakim yang bijak tidak akan langsung memutuskan


masalah dan mengetukkan palu, “Demikian keputasan akhir sidang
ini.” Ia pertama-tama akan mengumpulkan data, menganalisis
masalah untuk mencari tahu apa motif yang melatarbelakangi suatu
kejahatan, apakah kejahatan itu terencana atau kejahatan yang sifatnya
spontanitas. Singkatnya, ia akan mempelajari terlebih dahulu sejarah
terjadinya kasus tersebut. Setelah semuanya diketahui dengan jelas,
barulah keputusan dapat diambil, dan semoga Anda pun menjadi
hakim yang bijak dalam kasus ini.

48
KONDISI SANGHA PASCA
TERBENTUKNYA SANGHA BHIKKHUNI

Sama sekali penulis tidak bermaksud untuk mengatakan baik


secara tersirat maupan secara terus terang bahwa dengan dibentuknya
Saṅgha bhikkhunī, kondisi Saṅgha menjadi runyam, masalah
bertambah banyak. Tujuan utama pembahasan topik ini adalah agar
kita semua bisa melihat gambaran yang jelas bagaimana situasi Saṅgha
setelah Saṅgha bhikkhunī terbentuk. Dan, sekurang-kurangnya kita
akan bisa melihat siapa penyebab kerunyaman itu.

Saṅgha bhikkhunī dibentuk setelah Raja Suddhodana wafat


tepatnya pada tahun kelima setelah petapa Siddhattha mencapai
Pencerahan Agung, menjadi Buddha. Pada awal terbentuknya Saṅgha
bhikkhu, masalah memang tidak terlalu kompleks. Belakangan, setelah
bhikkhu jumlahnya semakin banyak, banyak masalah yang mucul.
Beberapa masalah yang muncul dapat dengan mudah kita identifikasi
bahwa masalah itu muncul setelah Saṅgha bhikkhunī terbentuk.
Sebagai contohnya, antara bhikkhu yang ahli dalam Dhamma
(dhammadhara) dan bhikkhu yang ahli dalam peraturan kedisiplinan
(vinayadhara) saling berdebat dan mereka tidak mengindahkan
nasehat Sang Buddha, terjadi lima tahun setelah bhikkhunī Saṅgha
terbentuk. Kemudian lagi, Y.M. Devadatta yang berambisi untuk
menjadi pemimpin Saṅgha, menggantikan Sang Buddha, terjadi
setelah Saṅgha bhikkhunī terbentuk.

Di pihak lain, bukanlah hal yang mudah bagi kita untuk


menentukan apakah masalah-masalah yang muncul terjadi setelah
Saṅgha bhikkhunī terbentuk atau sebelumnya. Kesulitan ini dengan

49
sangat terpaksa harus dihadapi karena bukti-bukti yang ada tidak
menyebutkan dengan jelas kapan waktu masalah itu terjadi. Yang
lebih sering kita temukan hanyalah catatan tempat. Bahkan di dalam
konsili Buddhis pertama yang diselenggarakan di Rājagaha sekali pun,
waktu suatu pelanggalaran terjadi tidak menjadi subjek pertanyaan.
Yang menjadi subjek pertanyaan hanya pelaku, tempat, dan subjek
pelanggaran.31

Banyak yang percaya bahwa vinaya, peraturan kevihāraan bagi


para bhikkhu dan bhikkhunī, diturunkan satu persatu setelah Sang
Buddha selesai manjalankan masa vassa kesepuluh. Sang Buddha
tidak begitu saja menurunkan peraturan tapi peraturan-peraturan
itu ditetapkan atas dasar kasus yang terjadi. Langkah ini ditempuh
agar ada alasan yang kuat dan tepat mengapa peraturan semacam itu
ditetapkan. Ketika diminta oleh Sāriputta untuk menetapkan vinaya
demi kelangsungan Saṅgha, Sang Buddha menolaknya karena tidak
ada alasan yang cukup kuat.32

Kalau kita meneliti dengan penuh seksama, banyak peraturan


yang diturunkan karena kasus yang terjadi melibatkan bhikkhu dan
bhikkhunī. Dalam peraturan para bhikkhu sendiri, ada lima belas
peraturan yang mempunyai koneksi dengan bhikkhunī. Sejauh ini
penulis hanya mampu menemukan dua peraturan bagi para bhikkhunī
yang melibatkan para bhikkhu.

Ketika Sang Buddha menetapkan peraturan untuk para bhikkhu


dengan jelas ada bhikkhu yang melakukan suatu tindakan yang kurang
pantas. Dengan demikian, apabila Sang Buddha menetapkan peraturan

31. Translated by I.B. Horner, The Book of the Discipline, vol. V (Culavagga), Luzac
&Company, London, 1963, p. 396.
32. Idem, Vol. I (Suttavibhaṅga),1949, p. 18-19

50
yang berhubungan dengan bhikkhunī untuk para bhikkhu, hal itu
menandakan bahwa bhikkhulah yang melakukan kesalahan bukan
bhikkhunī. Kita bisa mengambil contoh kasus yang dialami oleh Y.M.
Udāyī. Y.M. Udāyī adalah bhikkhu yang banyak melakukan kesalahan
dan membuat Sang Buddha menetapkan peraturan.

Pada suatu ketika Y.M. Uppalavaṇṇā ingin berdana makanan


kepada Sang Buddha. Ia kemudian membawa makanan itu ke tempat
di mana Sang Buddha tinggal. Namun, sesampainya di tempat itu, ia
mendapati Sang Buddha sedang berpindapata dan yang ada di vihāra
tersebut adalah Y.M. Udāyī. Ia menitipkan makanan itu kepada Y.M.
Udāyī dan mohon bantuannya agar menyampaikannya kepada Sang
Buddha. Y.M. Udāyī bersedia membantunya tapi ia meminta jubah
dalam yang dikenankan Y.M. Uppalavaṇṇā sebagai imbalannya. Y.M.
Uppalavaṇṇā tentu tidak memberikannya karena itu adalah jubah
dalam satu-satunya yang ia miliki. Akhirnya Y.M. Uppalavaṇṇā
memberikan jubah itu karena Y.M. Udāyī terus mendesaknya. Kasus
ini membuat Sang Buddha menurunkan peraturan:

Apabila seorang bhikkhu menerima jubah dari seorang bhikkhunī


yang bukan keluarganya, ini adalah pelanggaran nissagiyapacittiya.33

Nafsu seksual adalah sifat alami manusia. Sifatnya sangat


halus dan sulit diditeksi kemunculan dan lenyapnya. Nasfu seksual
dengan mudah dapat muncul walaupun ransangan yang ada sangat
kecil. Karenanya, sepanjang seseorang belum mampu melenyapkan
kemelekatan terhadap nafsu seksual, sepanjang itu pula pikirannya
akan dipenuhi dengan nafsu seksual. Apakah pria atau wanita,
bhikkhu atau bhikkhunī semuanya sama saja. Nafsu seksual akan
muncul karena kita terobsesi oleh lawan jenis kita. Bisa saja nafsu itu
33. Idem, vol. II (Suttavibhaṅga), 1969, p.38-39

51
muncul hanya karena imajinasi atau karena kita sering berhubungan
atau bertemu dengan lawan jenis kita.

Sebelum peraturan pelarangan terhadap mereka yang secara


seksual tidak sehat memasuki Saṅgha ditetapkan, semua bhikkhu
yang ada adalah bhikkhu-bhikkhu yang normal secara seksual. Oleh
sebab itu, adalah hal yang wajar bila sebelum terbentuknya Saṅgha
bhikkhunī, para bhikkhu yang belum mampu mengikis secara total
kemelekatannya terhadap nafsu seksual memiliki ketertarikan pada
wanita walaupun mereka jarang bertemu dengan wanita.

Setelah Saṅgha bhikkhunī terbentuk, objek semakin dekat.


Seringnya bhikkhu dan bhikkhunī bertemu akan memudahkan
munculnya nafsu seksual. Seperti kasus yang telah dikutip di atas, Y.M.
Udāyī meminta jubah dalam milik Y.M. Uppalavaṇṇā juga didasari
oleh nafsu seksual. Di dalam Saṅgha bhikkhunī, Y.M. Uppalavaṇṇā
termasuk salah satu bhikkhunī yang paling cantik. Dalam kesempatan
yang lain, sperma Y.M. Udāyī keluar karena ia berada di dekat seorang
bhikkhunī yang juga mantan istrinya. Dikatakan, spermanya bisa
keluar karena ia memandangi bhikkhunī itu dengan penuh nafsu dan
membayangkan bagian privasi bhikkhunī tersebut.34

Aṅguttara Nikāya menyebutkan cerita yang agak berbeda.


Dikatakan bahwa ada seorang ibu dan anak yang menjadi bhikkhunī
dan bhikkhu. Pada mulanya, mereka menjalani kehidupan pertapaan
di tempat yang berjauhan. Sebagai ibu dan anak, tentunya adalah wajar
jika mereka saling merindukan. Karena saling merindukan, mereka
sering bertemu. Pertemuan tersebut pada akhirnya menimbulkan
perasaan cinta dalam arti eros di kedua belah pihak. Kondisi yang

34. Idem, p. 31

52
demikian telah membuat mereka melakukan hubungan seksual.35
Sulit untuk menentukan kapan kasus ini terjadi; apakah setelah Sang
Buddha menetapkan peraturan Pārājika atau sebelumnya. Kasus ini
tidak terdapat dalam Vinaya Piṭaka, dan juga ketika mengomentari
kasus ini, Sang Buddha tidak menyinggung soal vinaya. Yang Beliau
bahas hanya masalah psikologis.

Kakacūpamasutta dari Majjhima Nikāya juga memberikan


gambaran bagaimana kondisi hubungan bhikkhu dan bhikkhunī.
Sutta ini menceritakan bahwa Y.M. Moliya Phagguna mempunyai
hubungan yang cukup erat dengan para bhikkhunī. Singkatnya ada
hubungan spesial di antara mereka. Jika ada bhikkhu yang mencela
dan menjelek-jelekkan bhikkhunī di hadapan Y.M. Moliya Phagguna,
Y.M. Phagguna menjadi marah, jengkel dan mencela bhikkhu tersebut.
Begitu juga ketika ada bhikkhu yang mencela dan merendahkan Y.M.
Moliya Phagguna di hadapan para bhikkhunī, para bhikkhunī tersebut
menjadi marah, dan tidak suka pada bhikkhu tersebut.36

Kasus yang di alami oleh Y.M. Moliya Phagguna dan para


bhikkhunī adalah salah satu kasus yang melibatkan hubungan antara
bhikkhu dan bhikkhunī. Akan tetapi dalam hal ini, Sang Buddha tidak
menetapkan peraturan apapun selain sebuah nasehat agar Y.M. Moliya
Phagguna dan para bhikkhunī bisa menahan diri tatkala orang lain
mencela mereka. Mereka seha-rusnya bersabar walaupun orang lain
mencela dan menghina kita karena di dalam kesabaran itu kita bisa
melihat dengan jelas apakah celaan dan hinaan itu benar atau tidak.

35. Translated by E. M. Hare, The Book of the Gradual Sayings (Aṅguttara Nikāya) Vol.
III, P.T.S, London, 1973, p. 55.
36. Translated by Bhikkhu Ñāṇamoli and Bhikkhu Bodhi, The Middle Length Discourses
of the Buddha, B.P.S, 1995, p.217.

53
Belakangan karena tidak puas dengan kehidupan kebhikkhuan,
Y.M. Moliya Phagguna lepas jubah dan kembali manjalani kehidupan
sebagai perumah tangga.37 Bisa jadi Y.M. Moliya Phagguna lepas
jubah karena ia terlalu bebas berhubungan dengan wanita khususnya
bhikkhunī sehingga nafsu seksualnya bukannya tereliminasi tapi
malah semakin berkembang. Selain, mungkin ia memiliki pandangan
hidup yang berbeda dengan Sang Buddha.

Itulah masalah-masalah yang muncul setelah Saṅgha bhikkhunī


terbentuk. Bila kita gabungkan, setelah Saṅgha bhikkhunī terbentuk
dan selama Sang Buddha masih hidup, sekurang-kurangnya ada
tujuh belas peraturan ditetapkan untuk ditaati oleh para bhikkhu dan
bhikkhunī. Selain masalah yang membuat Sang Buddha menetapan
peraturan tersebut, ada dua masalah lainnya yang muncul. Dengan
adanya fakta ini, kita dapat menyimpulkan bahwa setidaknya ada
sembilan belas masalah khususnya yang melibatkan hubungan
bhikkhu dan bhikkhunī muncul di dalam Saṅgha selama Sang Buddha
hidup dan setelah Saṅgha bhikkhunī dibentuk.

Sang Buddha menjalani karier-Nya sebagai Buddha selama 45


tahun, dan Saṅgha bhikkhunī dibentuk pada tahun kelima setelah
Beliau mencapai Penerangan Agung, bodhi. Oleh sebab itu, bila benar
masalah yang muncul yang melibatkan bhikkhu dan bhikkhunī hanya
sembilan belas kasus, berarti selama Sang Buddha hidup muncul 0,475
masalah kasus setiap tahunnya. Namun dalam hal ini, penulis sangat
yakin masih ada masalah yang melibatkan bhikkhu dan bhikkhunī
yang terjadi saat itu dan tertulis di dalam Tipiṭaka. Hanya saja, penulis
tidak bisa menemukannya.

37. Translated by Bhikkhu Bodhi, The Connected Discourses of the Buddha, A New
Translation of Saṁyutta Nikāya, Wisdom Publication, Boston, 2000, p. 568

54
Masalah-masalah yang muncul sebenarnya bukan disebabkan
oleh keberadaan bhikkhunī, tapi karena sifat alamiah manusia yang
masih belum mampu mengikis kekotoran batinnya. Orang-orang yang
belum mampu mengikis secara total kekotoran batinnya tindakannya
dengan sangat mudah didasari oleh keserakahan dan nafsu seksual
(rāga), kebencian (dosa), dan kebodohan batin (moha).

Menyadari betapa bahayanya nafsu seksual bagi seorang bhikkhu


maupun bhikkhunī, Y.M. Ānanda pada saat-saat terakhir menanyakan
kepada Sang Buddha bagaimana sikap yang seharusnya diambil dalam
menghadapi lawan jenis. Sang Buddha menasehatkan agar bhikkhu
dan bhikkhunī tidak melihat lawan jenisnya. Bila melihatnya, jangan
bicara dan jika terpaksa harus bicara, Sang Buddha mengatakan
hendaknya bhikkhu atau bhikkhunī tersebut memiliki sikap selalu
waspada (sati).38 Tujuan dari sikap selalu waspada adalah agar mereka
tidak terjebak dalam kesenangan duniawi yang sifatnya rendah
menurut kode etik kevihāraan.

38. Translated by Maurice Walshe, The Long Discourses of the Buddha (Dīgha Nikāya),
Wisdom Publication, London, 1987, p. 264.

55
56
PANDANGAN SANG BUDDHA TERHADAP
WANITA

Kita telah menyaksikan bahwa Sang Buddha tidak langsung


membuka pintu lebar-lebar bagi wanita untuk menjalani kehidupan
selibat. Diperlukan suatu perjuangan dan taktik agar Sang Buddha
mau membuka pintu bagi wanita untuk menjalani kehidupan selibat
sebagai bhikkhunī. Lalu bagaimanakah Sang Buddha memandang
wanita secara keseluruhan?

Telah kita saksikan bahwa secara historis kemanusiaan meskipun


bersifat mitologis, Sang Buddha menjelaskan tidak ada yang lebih
dulu muncul di bumi ini baik pria maupun wanita. Juga tidak ada
yang menjadi sebab pertama bagi perjalanan kisah cinta di bumi
ini. Keduanya saling menjadi kondisi, saling mendukung dan saling
membutuhkan. Dalam analisis yang lebih mendalam baik secara
emosional maupun motifasional, Sang Buddha memberikan analisis
secara seimbang terhadap pria dan wanita sebagaimana kondisi itu
terefleksi dalam diri masing-masing. Tidak ada satu pihak pun yang
kondisinya dibesar-besarkan sementara yang lain direduksi semaksimal
mungkin. Semuanya mendapatkan proporsi yang seimbang sesuai
dengan fakta.

Sang Buddha mengklasifikasikan pengikutnya ke dalam empat


kelompok. Keempat kelompok itu adalah bhikkhu, bhikkhunī,
upāsaka, upāsīka. Bhikkhu adalah lelaki yang menjalani kehidupan
kevihāraan. Kariernya dimulai dari menjalani kehidupan sebagai
samanera dan bila telah mencapai usia 20 tahun dapat di-upasampada
menjadi bhikkhu. Bhikkhunī adalah wanita yang memiliki keyakinan

57
kepada Sang Tiratana, mempraktikkan ajaran Sang Buddha secara
intensif sebagai biarawati Buddhis.

Dalam mempraktikkan moralitas kebiaraan, memang bhikkhunī


menjalankan peraturan lebih banyak bila dibandingkan dengan
peraturan yang dijalankan oleh para bhikkhu. Bhikkhunī dalam tradisi
Theravāda menjalankan 84 peraturan lebih banyak ketimbang para
bhikkhu. Namun demikian, perlu kita ketahui bahwa Sang Buddha akan
menetapkan suatu peraturan bilamana Beliau menemukan kasus yang
sekiranya kurang pantas, dan menimbulkan protes baik di kalangan
para bhikkhu dan bhikkhunī maupun di kalangan masyarakat pada
umumnya. Bila vinaya (peraturan kebhikkhuan) yang ada jumlahnya
lebih banyak pada bhikkhunī, itu menandakan bahwa di masa Sang
Buddha hidup para bhikkhunī lebih banyak melakukan hal-hal yang
tampak kurang pantas, menimbulkan kerugian baik bagi bhikkhunī itu
sendiri maupun bagi masyarakat sekitarnya, mengganggu ketentraman
dan sebagainya. Lebih dari itu, hal-hal yang membuat peraturan begitu
membengkak adalah hal-hal yang menyangkut privasi wanita yang
tentu saja, pasti tidak mungkin dialami oleh para bhikkhu. Sebagai
contohnya, menstruasi telah membuat Sang Buddha menetapkan
beberapa peraturan yang berhubungan dengan hal ini.

Upāsaka adalah pria yang memiliki keyakinan kepada Buddha,


Dhamma, dan Saṅgha, menjalani kehidupan sebagai perumah tangga.
Upāsīka adalah wanita yang menjalani kehidupan rumah tangga,
mempraktikkan ajaran Sang Buddha dalam kehidupan sehari-hari yang
secara dasariah berdasarkan pañcasīla Buddhis. Dalam praktiknya,
upāsaka dan upāsīka mempraktikkan peraturan moralitas yang sama,
dan ajaran-ajaran yang membawa kebahagiaan yang sama pula.

Sang Buddha dalam menyapa pengikut-Nya sering menggunakan


58
status sosialnya atau langsung menggunakan namanya. Ketika
menyapa menggunakan status sosial yang Sang Buddha mengatakan:
“O, para bhikkhu,” “O, para bhikkhunī,” kepada mereka yang
menjalani kehidupan selibat atau “O, perumah tangga” (householder)
kepada mereka yang menjalani kehidupan rumah tangga.

Dalam sutta-sutta yang ada, kita menemukan frase mātāpitu.


Frase ini dapat diinterpretasikan dan diterjemahkan sebagai “ibu dan
ayah.”39 Frase semacam ini akan banyak kita jumpai dalam Tipiṭaka.
Dengan demikian “ibu” yang berarti wanita oleh Sang Buddha
ditempatkan dalam posisi yang lebih dulu. Ada beberapa alasan
mengapa Sang Buddha menyebutkan kata “ibu” lebih dahulu dalam
setiap khotbah Beliau.

Pertama, seorang ibu memang memiliki jasa yang amat besar


terhadap keberadaan anak. Ia rela mempertaruhkan nyawanya ketika
ia melahirkan sang anak. Kedua, adalah reformasi terhadap hirarki
gender di mana wanita saat itu mendapatkan tekanan yang sangat
hebat. Selain itu, mungkin saja Sang Buddha menggunakan frase ini
karena mendapat pengaruh dari literatur-literatur kuno. Seperti telah
kita ketahui sendiri, Beliau mempelajari Veda dan juga semua ajaran
agama dan pandangan yang ada saat itu yang jumlahnya mencapai 62.

Frase “dampati” adalah frase yang digunakan masyarakat


India kuno jauh sebelum Sang Buddha muncul di mana wanita dan
pria saat itu menikmati udara kebebasan, tidak ada diskriminasi
gender. Tampaknya Sang Buddha telah menyadari betul akan hal ini.
Karenanya, dengan menggunakan bahasa yang popular saat itu, Sang
Buddha mentransformasi kata dampati menjadi mātāpitu.
39. Translated by, N. A. Jayawickrama, Suttanipāta, University of Kelaniya, Sri Lanka,
2001, 105.

59
Dalam tradisi Brahmanisme, seorang ibu tidak memiliki kekuasaan
apa pun dalam mendidik anak. Hanya sang ayah yang mempunyai
kekuasaan untuk mendidik anak. Sebaliknya, agama Buddha
memandang bahwa seorang ibu mempunyai pengaruh dan peranan
yang cukup signifikan dalam mendidik anak. Ia juga memiliki posisi
yang setara, mempunyai hak yang sama dalam mendidik, membina,
membesarkan anak. Kesetaraan ibu dan ayah dapat kita lihat dan kita
jumpai dalam banyak sutta. Sang Buddha bahkan menggambarkan ibu
dan ayah sebagai “brahmā”, “dewa awal” (pubbadevatā), “guru awal”
(pubbācariyā), “mereka yang patut mendapatkan penghormatan”
(āhuneyyā).40

Brahmā—dalam mitologi India kuno bahkan sekarang—


dianggap sebagai dewa yang paling tinggi, paling luhur. Dewa Brahmā
mempraktikkan empat kualitas mental yang luhur, yaitu cinta kasih
(mettā), kasih sayang (karuna), simpati (mudita) dan keseimbangan
(upekhā). Ibu dan ayah, menurut Sang Buddha, mempunyai empat
kualitas ini terhadap anak-anaknya. Oleh karena itu, Sang Buddha
mengatakan bahwa anak-anak yang tinggal di rumah serta selalu
menghormati ibu dan ayahnya, sama artinya mereka tinggal bersama
Brahmā.

Ibu dan ayah disebut sebagai dewa awal atau dewa pertama.
Dewa awal dalam pengertian ini adalah orang yang menjaga, merawat
dan membesarkan mereka dengan penuh kasih sayang. Mereka
disebut sebagai guru awal karena alasan bahwa mereka adalah
yang pertama kali mengajarkan hal-hal yang sangat dasariah dalam
kehidupan seseorang. Mereka mengajarkan kita bagaimana berjalan,

40. Translated by John D. Ireland, The Udana & The Itttivuttaka, B.P.S, Sri Lanka,
1997, p.231.

60
bagaimana makan, dan lain sebagainya. Karena jasa mereka yang amat
luhur terhadap anak, mereka adalah orang yang layak mendapatkan
penghormatan (āhu-neyyā).

Jelaslah bahwa Sang Buddha memandang ibu dan ayah memiliki


kesetaraan, hak dan kewajiban dalam mendidik, merawat dan
membesarkan anak. Tak satu pun dari mereka yang dianggap paling
berkuasa, paling bertanggungjawab terhadap keberadaan anak.

Banyak orang yang menganggap bahwa wanita adalah makhluk


yang lemah, tidak membawa keberuntungan. Kasus yang benar-benar
terjadi di abad modern ini yang dapat kita ambil sebagai contoh adalah
kasus yang terjadi di China. Disebabkan oleh populasi penduduk yang
terlalu padat, pemerintah hanya mengizinkan sepasang suami istri
memiliki satu anak. Banyak pasangan yang hanya menghendaki anak
laki-laki dan menolak anak perempuan. Banyak cara yang mereka
lakukan dalam menolak keberadaan anak perempuan, misalnya setelah
diketahui bahwa janin yang ada adalah perempuan mereka melakukan
aborsi; atau mereka memberikan anak perempuan itu kepada orang lain
setelah anak itu lahir. Sikap semacam ini memberikan dampak yang
sangat fatal. Berdasarkan harian yang pernah penulis baca, sekarang
ini terdapat sekitar 70 juta pria China kesulitan mendapatkan jodoh.

Sama sekali Sang Buddha tidak pernah memandang bahwa


anak perempuan adalah anak yang tidak berharga, tidak memberikan
manfaat. Anak perempuan sekalipun akan mampu menjadi pemimpin
yang handal bila diberi kesempatan. Suatu hari, Raja Pasenadi menemui
Sang Buddha. Pada saat ia sedang berada di hadapan Sang Buddha,
pembantunya memberitahukan bahwa Ratu Mallikā telah melahirkan
seorang anak dan anak itu adalah perempuan. Seketika itu, sang raja
menjadi sedih. Sang Buddha kemudian megutarakan syair ini:
61
“Seorang wanita, o baginda raja
Dapat menjadi lebih baik daripada pria
Ia dapat menjadi orang bijak dan bermoral
Menjadi istri yang setia, patuh pada mertua

Anak yang ia lahirkan


Dapat menjadi pahlawan, o baginda raja
Anak dari wanita mulia tersebut
Dapat menjadi penguasa dunia.”41

Bagi Sang Buddha, kelahiran bukanlah yang menentukan


derajat manusia. Yang menentukan derajat manusia di tengah-tengah
masyarakat adalah pandangan hidup dan prilakunya.42 Dalam hal ini,
bukan karena dilahirkan sebagai wanita seseorang menjadi hina, dan
bukan karena dilahirkan sebagai pria manusia menjadi mulia. Tidak
ada orang yang bisa menjamin bahwa terlahir sebagai wanita akan
menjadi hina dan juga tidak ada jaminan yang pasti bahwa terlahir
sebagai pria akan menjadi mulia. Terhormat atau hina semata-mata
ditentukan oleh sikap, prilaku dan pandangan hidup kita. Sudah barang
tentu masyarakat akan menganggap kita sebagai manusia rendahan,
tidak bermoral apabila prilaku kita tidak sesuai dengan norma-norma
yang ada di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat akan menghormati
siapa pun apakah dia adalah wanita atau pria, sepanjang mereka
memiliki moral, prilaku yang sesuai yang dapat membawa kesejah-
teraan, ketenangan dan ketentraman lingkungan sekitarnya.
41. Translated by Bhikkhu Bodhi, The Connected Discourses of the Buddha, A New
Translation of Saṁyutta Nikāya, Wisdom Publication, Boston, 2000, p. 179
42. Na jaccā vassalo hoti, na jaccā hoti brāhmaṇo; kammanā vassalo hoti, kammanā
hoti brāhmaṇo: bukan karena kelahiran seseorang menjadi hina, bukan karena kelahiran
seseorang menjadi mulia; karena perbuatanlah manusia menjadi hina, hanya karena
pebuatanlah manusia menjadi mulia, Sn. 136

62
Dalam menganalisis emosi manusia, Sang Buddha juga tidak
membedakan antara pria dan wanita. Semuanya memiliki keserakahan,
semuanya memiliki kebencian dan semuanya memiliki kebodohan
batin. Dalam kitab Aṅguttara Nikāya, Sang Buddha menganalisis
bahwa pria dan wanita memiliki kecendrungan yang sama. Menurut
Beliau, bagi seorang pria tidak ada yang paling indah selain sentuhan,
rasa, suara, bau, dan bentuk dari seorang wanita. Hal-hal inilah
yang akan selalu mengobsesi pikirannya siang dan malam. Dalam
pandangan Sang Buddha, wanita juga mengalami hal yang sama. Bagi
seorang wanita, tidak ada yang paling indah selain suara, bentuk, rasa,
sentuhan dan bau dari seorang pria.43

Banyak orang beranggapan wanita adalah makhluk yang


cengeng, mudah menangis dan lemah. Di mata Sang Buddha, bukan
hanya wanita yang cengeng dan mudah menangis. Pria juga sama.
Bahkan menurut analisis psikologis Sang Buddha, baik pria maupun
wanita akan menggunakan tangisan sebagai cara untuk memikat lawan
jenisnya. Sekali lagi, Aṅguttara Nikāya menyebutkan bahwa ada
delapan sarana yang digunakan oleh pria dan wanita dalam menarik,
mengikat, dan menjerat lawan jenisnya.44 Delapan sarana itu adalah
melalui:

1. Bentuk tubuh, penampilan

Semua laki-laki, semua wanita berharap bisa mendapatkan


pasangan dengan bentuk tubuh yang ideal—menurut selera
masing-masing tentunya. Tidak satu pun wanita atau pria berharap
mendapatkan pasangan yang memiliki tubuh cacat, jelek, tidak
43. Translated by F.L. Woodward, The Book of the Gradual Saying (Aṅguttara Nikāya),
vol. I, P.T.S, London, 1970, p. 1-2.
44. Translated by E.M. Hare, idem, vol. IV, 1965, p. 135.

63
sempurna. Oleh karenanya, wanita dan pria selalu menjaga bentuk
tubuhnya penampilannya agar lawan jenisnya selalu tertarik padanya.

2. Senyuman

Semua orang akan merasa senang bila ia melihat orang lain


meskipun orang itu tidak dikenal tersenyum ramah kepadanya.
Sebaliknya, pikiran kita akan dipenuhi oleh segudang pertanyaan tatkala
kita menyaksikan orang yang kita kenal atau tidak, selalu cemberut.
Sang Buddha sendiri dikatakan selalu tersenyum menghadapi audiens-
Nya. Hal ini membuat banyak orang merasa tertarik dan senang pada
Sang Buddha. Pria dan wanita juga akan menggunakan metode ini
untuk terus mempertahankan dan menarik lawan jenisnya. Para
customer service selalu tersenyum pada pelanggannya dengan tujuan
agar pelanggannya merasa senang, dan membeli dagangannya.

3. Ucapan

Melalui ucapan dunia ini bisa dihancurkan; tapi melalui ucapan


pula dunia ini bisa menjadi tenang, damai tanpa pertengkaran dan
perpecahan. Dengan tujuan supaya lawan jenisnya menjadi tertarik,
seseorang akan mengatur ucapannya sebaik mungkin agar suaranya
terasa merdu, enak didengar. Orang-orang yang ingin menarik
perhatian lawan jenisnya akan menggunakan kata-kata yang baik
walaupun sesungguhnya dia adalah orang yang suka berbicara kasar,
tidak enak didengar.

4. Nyanyian

Sebuah lagu akan terasa berbeda bila yang menyanyikan adalah


orang yang kita idolakan. Kita akan berusaha menikmatinya meskipun

64
suaranya taksemerdu burung kenari. Orang-orang yang pandai akan
menggunakan lagu untuk menarik lawan jenisnya. Melalui lagu itu, ia
memuji keindahan tubuh, suara, rambut, mata lawan jenisnya.

5. Tangisan

Banyak orang yang batinnya menjadi luluh, tak berdaya manakala


ia mendengar tangisan lawan jenisnya. Rasa simpati dan kasih sayang
menjadi muncul, rasa iba menjadi timbul karena tangisan. Kita bisa
memperhatikan bagaimana seorang anak kecil menangis, merengek-
rengek guna menarik perhatian ibunya. Ibu menjadi tidak tega melihat
anaknya menangis, dan sering kali dengan perasaan terpaksa menuruti
apa yang diharapkan anaknya. Tangisan tidak hanya menjadi harta
milik wanita, tetapi juga menjadi senjata bagi pria untuk menaklukkan
seorang wanita.

6. Gerakan

Upatissa yang dikemudian hari menjadi Y.M. Sāriputta tertarik


mempelajari agama Buddha karena ia melihat sikap Y.M. Asajji yang
begitu luhur. Gerakan fisiknya tampak terkendali dengan baik. Hal
ini juga bersesuain dengan filsafat etika orang Jawa. Di dalam tradisi
orang Jawa kuno dikatakan “harga diri ditentukan oleh busana, kualitas
pikiran ditentukan oleh ucapan.” Busana dalam hal ini termasuk
pakaian dan prilaku kita. Kita berusaha semaksimal mungkin untuk
mengendalikan diri kalau kita ingin membuat tertarik orang yan kita
sukai meskipun pada praktiknya dalam kehidupan sehari-hari kita
adalah orang yang brutal, tak dapat mengendalikan indra kita.

65
7. Hadiah

Apakah tujuan bank memberikan hadiah bagi para penabung?


Semua itu tidak lain dan tidak bukan bertujuan untuk menarik
orang sebanyak-banyaknya agar mereka mau menabung di bank
tersebut. Demikian pula untuk menimbulkan kesan bahwa kita selalu
memperhatian lawan jenis kita, kita tidak segan-segan mengorbankan
milik kita untuk dihadiahkan kepada orang yang kita sukai meskipun
barang tersebut adalah barang yang paling berharga dalam hidup kita.
Kita sendiri akan merasa bahagia ketika kita akan mendapatkan
hadiah, penghargaan dari orang lain.

8. Sentuhan

Apakah Anda pernah menyaksikan sepasang kekasih yang sedang


dimabuk cinta bergandengan tangan? Kalau Anda pernah melihatnya,
itu adalah contoh yang baik dalam hal ini. Ketika sedang digandeng,
perasaan bahwa dikasihi oleh orang lain akan muncul. Paling tidak
rasa aman juga akan timbul dalam kondisi yang demikian.

Itulah delapan hal yang biasa digunakan untuk mengikat lawan


jenis dan ini adalah cara alami yang dimiliki oleh manusia. Cara-
cara semacam itu akan selalu digunakan oleh manusia yang ingin
mendapatkan perhatian, kasih sayang dan simpati dari orang lain atau
dari lawan jenisnya.

Sang Buddha adalah orang yang berpengalaman baik di bidang


sosial kemasyarakatan maupun di bidang religius. Beliau dengan
jelas menyaksikan kondisi wanita yang ada saat itu: benar-benar
memprihatinkan. Seperti telah disebutkan di atas, dalam tradisi kaum
Brahmana wanita hanya dijadikan objek pemuasan nafsu seksual. Atas

66
pertimbangan sosio-etik, Beliau menegaskan bahwa suatu negara akan
menjadi makmur, tenang dan tentram sepanjang wanita dihormati dan
tidak sekedar dijadikan ladang pemuasan nafsu seksual.45

Dalam dialog-Nya dengan Ānanda di hadapan Vassakāra seorang


utusan Raja Ajātasattu, Sang Buddha menempatkan penghargaan
terhadap wanita sebagai penjamin kelangsungan negara di urutan
kelima. Sedangkan enam kondisi yang menjamin keselamatan dan
kesejahteraan negara adalah pertemuan reguler para petinggi negara,
pertemuan tersebut dilangsungkan dengan penuh rasa kekeluargaan,
tidak sesukanya mengubah undang-undang yang telah ada dan
menggantinya dengan yang baru, menghormati orang lebih tua,
menyokong tempat ibadah dan menghormati tokoh-tokoh agama.46

Dalam kehidupan rumah tangga suami dan istri mempunyai hak


dan kewajiban yang sama. Tidak ada pihak yang harus menanggung
beban yang paling berat sementara yang lain bersantai-santai,
melepaskan tanggung jawab. Dalam nasehat-Nya kepada Sigālaka,
seorang perumah tangga, Sang Buddha menurunkan lima kewajiban
yang sudah selayaknya dilakukan oleh suami kepada istri dan
sebaliknya. Lima kewajiban suami kepada istri adalah sebagai berikut:

1. menghormatinya,
2. tidak memandang rendah sang istri,
3. mencintainya,
4. memberikan kekuasan kepadanya,
5. memberikan hadiah seperti perhiasan dan sebagainya.

45. Translated by Maurice Walshe, The Long Discourses of the Buddha (Dīgha Nikāya),
Wisdom Publication, London, 1987, p. 232.
46. Idem.

67
Bila kita analisis secara seksama, lima kewajiban suami kepada
istrinya yang diajarkan oleh Sang Buddha, tampak ada kontradiksi
yang sangat jelas bila kita membandingkannya dengan ajaran kaum
brahmana. Dalam tradisi Brahmanisme, istri tidak begitu dihormati;
Sang Buddha mengajarkan agar suami menghormati sang istri. Tidak
diragukan lagi bahwa sang istri dipandang rendah dalam ajaran
Brahmanisme. Sang Buddha menganjurkan agar suami menghargai
sang istri dan mencintainya. Wanita sudah selayaknya mendapatkan
kekuasaan di dalam kehidupan rumah tangga, sebagaimana terdapat
dalam ajaran agama Buddha, adalah sebagai bentuk ketidakpuasan
Sang Buddha terhadap sistem yang dianut oleh kaum brahmana.

Agar tercipta simbiosis mutualisme dalam kehidupan rumah


tangga, Sang Buddha mengajarkan lima kewajiban yang sudah
selayaknya dilakukan oleh seorang istri terhadap suaminya. Lima
kewajiban itu adalah:

1. mengorganisasi dengan baik semua pekerjaan rumah tangga,


2. bersikap ramah dan mengomando dengan baik pembantu
ruamah tangga,
3. mencintai suaminya,
4. menjga dengan baik harta yang telah diperoleh oleh suami,
dan
5. cakap dan cekatan terhadap apa yang selayaknya dilakukan.47

Sang Buddha mengibaratkan orangtua sebagai arah Timur


(pubba). Arah timur adalah arah matahari berasal (terbit) kemudian
menerangi bumi ini. Karena orangtua ada, kita pun menjadi ada di
bumi ini, bisa menjalani dan menikmati kehidupan ini. Sang Buddha

47. Idem, p. 467.

68
mengibaratkan suami atau istri sebagai arah barat. Arah barat adalah
arah di mana matahari terbenam. Demikian pula suami atau istri
seharusnya membenamkan perhatiannya pada arah barat. Artinya
mereka harus memperhatikan pasangan hidupnya dengan baik. Tapi
sudah barang tentu, kita juga harus mau menengok kebelakangan,
menoleh ke kanan dan kiri, menegadah ke atas dan melihat ke bawah.
Menengok kebelakang artinya mengingat orangtua, menoleh ke kanan
berarti mengingat teman, kiri berarti guru, atas berarti guru religius
dan bawah adalah pekerja dan pembantu.

Karena pengaruh budaya setempat, perbudakan juga dikenal di


lingkungan masyarakat Buddhis di India saat itu. Namun kuatnya
pengaruh ajaran Sang Buddha yang menitikberatkan pada spiritualitas
bukan pada gender, membuat budak yang hidup di kalangan masyarakat
Buddhis kesejahteraannya terjamin. Mereka tidak dipekerjakan begitu
saja tanpa diperhatikan kesejahteraannya. Khusus untuk pekerja
dan pembantu rumah tangga—seperti telah kita saksikan, berada di
bawah pengawasan sang istri. Dan, pekerja di luar itu berada di bawah
pengawasan sang suami. Sang Buddha juga mengajarkan adanya
kewajiban yang harus dilakukan oleh majikan kepada pembantunya.
Kewajiban tersebut jumlahnya juga sama, lima, yaitu:

1. memberikan pekerjaan sesuai dengan kemampuannya


2. memberikan makanan dan gaji yang layak
3. merawat mereka ketika sakit
4. ketika majikan menikmati makanan yang lezat, sudah
selayaknya membagikan makanan tersebut kepada mereka,
dan
5. meliburkan mereka pada saat yang tepat.48
48. Idem, p. 468.

69
Ajaran ini memberikan pengaruh yang cukup kuat kepada
masyarakat Buddhis. Masyarakat Buddhis yang memiliki karyawan
mempraktikkan ajaran ini dengan baik. Kita bisa melihat praktik ini
dalam keluarga-keluarga milioner. Dhanañjaya ayah Visākhā, sebagai
contohnya, ketika menunjuk para pembantu untuk menemani Visākhā
hidup di Kota Sāvatthi, menyediakan berbagai kebutuhan bagi
mereka.49

Anāthapiṇḍika adalah contoh yang baik dalam memperlakukan


karyawannya. Ia mengaggap karyawannya sebagai anak-anaknya
sendiri. Bahkan ia mengadopsi Puññā seorang pembantu wanita
menjadi anak angkatnya karena ia mampu membuat Sang Buddha
mau menerima dana makanan di rumah Anāthapiṇḍika.50 Jātaka
menceritakan bahwa seorang pembantu wanitanya meminjam
perhiasan dari istrinya dan pergi menikmati keindahan taman
bersama teman-temannya. Istri Anāthapiṇḍika dengan senang hati
meminjamkan perhiasannya sendiri kepada pembantu wanita tersebut.
51

49. G.P. Malalasekera, Dictionary of Pāli Proper Names, Vol. II, Munshiram Manoharlal,
India, 2002, p. 901.
50. Idem, vol. I, p. 69.
51. Edited by E.W. Cowell, The Jātaka, vol. III, Asian Educational Services, India,
2003, p. 260-261.

70
KONTRIBUSI WANITA DALAM
PEMBABARAN DHAMMA

Adakah kontribusi yang diberikan oleh kaum wanita terhadap


pembabaran Dhamma baik di masa Sang Buddha masih hidup dan
juga setelah Beliau wafat? Seberapa besarkah kontribusi mereka kalau
memang ada?

Bukanlah rahasia lagi bagi umat Buddha bahwa wanita-wanita


Buddhis juga memiliki kontribusi terhadap pembabaran Dhamma.
Kontribusi tersebut tidak hanya dilakukan semasa Sang Buddha hidup,
tapi tetap berlangsung hingga sekarang. Mereka memiliki kontribusi
yang sama pentingnya dengan kontribusi yang diberikan oleh kaum
pria. Turut membabarkan Dhamma, memberikan dukungan moral dan
material, menjaga kelestarian Dhamma, itulah yang mereka lakukan.
Berikut ini adalah sepenggal kisah beberapa wanita Buddhis yang
memiliki kontribusi terhadap pembabaran Dhamma.

1. Visākhā—konglomerat terpandang yang dermawan

Siapakah umat Buddha yang tidak mengenal Visākhā? Tentu pada


umumnya umat Buddha mengenal wanita yang satu ini. Ia terkenal
karena kedermawanannya, rasa bhaktinya terhadap Sang Tiratana, dan
juga kemuliaan pikirannya.

Visākhā adalah putri dari pasangan Dhanañjaya dan Sumanā. Ia


mencapai tingkat kesucian pertama (sotāpana) pada saat berusia tujuh
tahun setelah mendengar uraian Dhamma dari Sang Buddha. Setelah
usianya cukup dewasa ia bersama keluarganya menerima pinangan
dari Paññavaddhana putra Migāra.

71
Sebelum pernikahan dilangsungkan, lima ratus pengrajin emas
bekerja keras membuat bros yang disebut Mahālatāpasādhana buat
Visākhā. Pembuatan bros ini memakan waktu hingga empat bulan atau
molor satu bulan dari waktu yang telah ditentukan. Mahālatāpasādhana
tersebut terbuat dari campuran berlian, mutiara, koral, rabi dan emas.
Bros ini Sangat berat dan menurut catatan yang ada hanya wanita yang
memiliki kekuatan setara dengan kekuatan lima gajah yang dapat
memakainya. Di India saat itu hanya ada tiga orang yang memiliki
perhiasan semacam ini, yaitu Mallikā istri Bandhula, Visākhā dan
Devadāniyacora.52

Setelah pesta pernikahan dilangsungkan, Visākhā mengikuti


suaminya tinggal di Sāvatthi. Namun sebelum berangkat ayahnya
memberikan berbagai kebutuhan dalam jumlah yang cukup banyak
seperti uang, emas, perak, dan berbagai peralatan pertanian. Ayahnya
juga memberikan sapi dalam jumlah yang sangat banyak, tetapi
sebanyak 60 ribu sapi jantan dan 60 ribu sapi betina turut bergabung
bersama sapi-sapi itu dan tak seorang pun bisa menghalangi mereka.
53
Kekayaan yang didapatkannya dari ayahnya membuat Visākhā
menjadi seorang milioner. Selain itu ayahnya juga menunjuk delapan
orang terpelajar bersama keluarganya sebagai penasehat Visākhā.
Mereka turut pindah ke Sāvatthi.

Pada awalnya Visākhā tidak dapat berbuat banyak terhadap


Saṅgha yang dipimpin oleh Sang Buddha. Hal ini disebabkan oleh
kenyataan bahwa mertuanya adalah pengikut agama Jainisme. Setelah
berselang lama akhirnya mertuanya menjadi pengikut Sang Buddha
dan menganggap Visākhā sebagai ibunya. Migāra memberikan gelar
52. G.P. Malalasekera, Dictionary of Pāli Proper Names, Vol. II, Munshiram Manoharlal,
India, 2002, p. 550-551.
53. Idem, p. 901.

72
Migāramātā yang berarti ibu Migāra kepada Visākhā. Semenjak saat
itu, Visākhā aktif memberikan sokongan kepada Saṅgha dan karena
kedermawanannya ini, Sang Buddha di hadapan para bhikkhu dan
bhikkhunī mengumumkan bahwa Visākhā adalah wanita yang paling
loyal memberikan dukungan kepada Saṅgha (dāyikānaṁ aggā). Gelar
yang sama juga diberikan kepada Anāthapiṇḍika di pihak pria.

Sebagai rasa baktinya kepada Saṅgha, Visākhā setiap hari berdana


makanan kepada lima ratus bhikkhu di rumahnya. Pada sore harinya,
ia mengunjungi Sang Buddha dan mendengarkan uraian Dhamma dari
Beliau. Setelah selesai mendengarkan khotbah Dhamma, ia berkeliling
vihāra untuk menanyakan keperluan para bhikkhu dan bhikkhunī.

Suatu hari seperti biasa, Visākhā mendengarkan khotbah dan


berkeliling vihāra. Kebiasaannya adalah melepaskan brosnya dan
meninggalkannya di tempat tertentu. Ia dan juga pembantunya lupa
untuk mengambil kembali bros tersebut. Setelah sampai di rumah,
ia ingat brosnya tertinggal di vihāra. Ia kemudian kembali ke vihāra.
Sesampainya di vihara ia mendapati bahwa brosnya telah disimpan
oleh Y.M. Ānanda di tempat yang lebih aman. Visākhā enggan untuk
mengambilnya dan pada akhirnya ia berniat untuk menjual bros
tersebut. Tapi tak satu pun orang Sāvatthi yang mampu membeli bros
tersebut. Visākhā menebus sendiri perhiasan tersebut dan uangnya
digunakan untuk membangun vihāra di sebelah timur Kota Sāvatthi.
Vihāra ini disebut Migāra-mātupāsāda.54

Lebih dari itu, Visākhā mohon kepada Sang Buddha agar selama
hidupnya ia diizinkan untuk melakukan delapan hal kepada para
bhikkhu dan bhikkhunī. Delapan hal itu adalah sebagai berikut:

54. Idem, p. 628.

73
1. Memberikan jubah untuk masa vassa,
2. Memberikanan makanan kepada anggota Saṅgha yang datang
ke Sāvatthi,
3. Memberikan makanan kepada mereka yang hendak pergi ke
luar Sāvatthi,
4. Memberikan makanan kepada yang sakit,
5. Memberikan makanan kepada mereka yang menunggu
anggota Saṅgha yang sakit,
6. Memberikan obat kepada yang sakit,
7. Memberikan suplai makanan kapan pun dibutuhkan, dan
8. Memberikan jubah mandi kepada para bhikkhunī.55

Kontribusi yang diberikan oleh Visākhā sangat besar artinya


bagi perkembangan agama Buddha saat itu. Bahkan para sarjana
Buddhis mengidentifikasi, salah satu faktor eksternal yang membuat
agama Buddha berkembangan dengan pesat di saat Sang Buddha
masih hidup adalah dukungan dari para milioner (seṭṭhi). Mereka
juga memasukkan nama Visākhā sebagai salah satu milioner yang
membantu pembabaran Dhamma.

2. Ambapālī —bukan pelacur sembarangan

Bagaimanakah pandangan Anda terhadap pelacur? Apakah Anda


memandang mereka sebagai orang yang rendah, amoralis, dan tak
mungkin memberikan kontribusi bagi masyarakat? Sekali lagi pesan
penulis, jangan gegabah dalam mengambil kesimpulan, tanpa ada
analisis dan bukti yang jelas. Anda membutuhkan bukti yang kuat dan
akurat bila Anda berharap pendapat Anda dapat dihargai, didukung dan
diterima orang lain. Demikian halnya dengan Ambapālī, dia bukanlah

55. Idem, p. 903.

74
pelacur sembarangan, juga bukan pelacur murahan yang akan tunduk
kepada siapa saja.

Beradasarkan catatan yang ada, Ambapālī muncul secara spontan


di sebuah taman raja di Vesāli. Tukang kebun menemukannya di
bawah pohon mangga dan kemudian membawanya ke kota. Karena
ditemukan di bawah pohon mangga, ia diberi nama Ambapālī. Setelah
ia tumbuh dewasa, banyak pangeran dan putra bangsawan yang tergiur
melihat kecantikannya. Terjadi persaingan yang amat diserius di antara
putra bangsawan dalam memperebutkan Ambapālī. Akhirnya, untuk
mengakhiri persaingan tersebut Ambapālī ditunjuk sebagai pelacur.56

Meskipun ia sebagai pelacur, tidak semua orang bisa menikmati


kemolekan tubuhnya. Hanya orang-orang berduit yang bisa
menikmatinya. Ia mendapatkan 50 kahāpana57 atas pelayanannya
selama satu malam. Kota Vesāli menjadi makmur, kesejahteraan
rakyat menjadi terjamin atas keberadaannya. Karena alasan ini, Raja
Bimbisāra menunjuknya sebagai pelacur Kota Rājagaha dan ia juga
merupakan pelanggan Ambapālī. Dikatakan bahwa anak Ambapālī,
Vimala-Kondañña—yang pada akhirnya menjadi seorang bhikkhu
yang terpelajar dan terkenal, adalah hasil hubungan Ambapālī dengan
Raja Bimbisāra.58

Mahāparinibbānasutta mengatakan bahwa Ambapālī mengun-


dang Sang Buddha untuk menerima dana makanan di rumahnya
ketika Beliau berkunjung untuk terakhir kalinya ke kota Vesāli.

56. Idem, Vol. I, p. 155.


57. Ini merukan jenis uang di masa India kuno dan sulit bagi penulis untuk
membandingkannya dengan ukuran uang zaman sekarang.
58. G.P. Malalasekera, Dictionary of Pāli Proper Names, Vol. I, Munshiram Manoharlal,
India, 2002, p. 156.

75
Sang Buddha bersama para bhikkhu menerima undangannya. Dalam
perjalanannya menuju rumah, mereka berpasasan dengan rombongan
putra bangsawan suku Licchavi dari Vesāli. Mereka tidak bisa bergerak
maju karena rombongan Ambapālī mengha-langinya.

Ketika para putra bangsawan suku Licchavi mengetahui


bahwa Ambapālī telah mengundang Sang Buddha untuk menerima
dana makanan pada keesokan harinya, mereka meminta Ambapālī
melepaskan undangan itu dan memberi-kannya pada mereka. Mereka
akan memberikan imbalan seratus ribu keping koin (satasahassenā:
tidak pasti jumlahnya) sebagai gantinya. Ambapālī mengatakan
meskipun mereka memberikan kota Vesāli dan seluruh isinya, ia tidak
akan melepaskan undangan tersebut. Di mata Ambapālī, undangan
makan itu sangat penting artinya. Putra-putra bangsawan suku
Licchavi dari Vesāli merasa telah dikalahkan oleh wanita yang mereka
anggap hina.

Dari kasus ini kita bisa melihat bahwa Ambapālī bukanlah pelacur
sembarangan yang mudah menyerah, pasrah dan tunduk meskipun
kepada putra bangsawan. Bukanlah hal yang umum terjadi di India
saat itu seorang wanita berani menentang orang-orang yang berkasta
tinggi. Karenanya, bila Ambapālī berani menghalangi dan menentang
putra bangsawan, itu menunjukkan bahwa Ambapālī memiliki status
yang tidak dapat diremehkan begitu saja. Sang Buddha sekalipun tidak
membatalkan undangan tersebut kendati putra-putra bangsawan suku
Licchavi dari Vesāli memohon kepada Sang Buddha untuk menerima
dana makanan dari mereka pada hari yang sama.

Pada hari selanjutnya setelah mempersembahkan makanan


kepada Sang Buddha dan Saṅgha, Ambapālī mempersembahkan hutan
mangga miliknya dan membangun sebuah vihāra di hutan tersebut.
76
Sang Buddha bersama Saṅgha menerimanya dan sempat tinggal di
hutan tersebut untuk beberapa saat.59

Kesediaan Sang Buddha menerima dana makanan dan juga


persembahan hutan mangga menunjukkan bahwa Sang Buddha
tidak mendiskriminasikan wanita dalam melakukan kebajikan. Bagi
Beliau, kebajikan adalah kebajikan dan kejahatan adalah kejahatan.
Kebajikan siapa pun pelakunya akan membuahkah kebahagiaan.
Sebaliknya, kejahatan adalah tindakan yang akan membawa kerugian
dan penderitaan tidak hanya bagi pelakunya tapi juga bagi lingkungan
sekitarnya.

Pada akhirnya Ambapālī meninggalkan kehidupan keduniawian


dan menjadi bhikkhunī. Selama menjadi bhikkhunī, ia bekerja keras
siang dan malam untuk mencapai kebebasan tertinggi, Nibbāna.
Ia akhirnya mencapai apa yang ia harapkan setelah mempelajari,
menganalisis dan merenungkan hukum ketidakkekalan (aniccā)
sebagaimana terilustrasikan dalam fisiknya. Ia mengarang sembilan
belas syair yang menggambarkan kehidupannya sebagai pelacur dan
setelah mencapai kebebasan. Syair ini dapat kita temukan dalam
Therīgāthā.60

Satu-satunya wanita Buddhis India di zaman Sang Buddha hidup,


yang tercatat dalam Encyclopaedia of Britanica adalah Ambapālī.61
Tentu ini merupakan pengakuan tersendiri bagi Ambapālī. Meskipun
banyak wanita-wanita Buddhis yang terkenal saat itu, ia lebih dipilih
oleh penulis Encyclopaedia of Britanica. Mungkin ini terjadi karena

59. Translated by Maurice Walshe, The Long Discourses of the Buddha (Dīgha Nikāya),
Wisdom Publication, London, 1987, p. 242-244.
60. Translated by K.R. Norman, The Elders’ Verses II, PTS, London, 1971, p. 28-29.
61. Encyclopaedia Britanica Deluxe Edition 2004 CD-ROM.

77
keunikannya.

3. Dhammadinā—pengkhotbah yang handal

Sang Buddha selama hidup-Nya mempunyai murid-murid


yang handal tidak hanya dalam teori tapi mereka merealisasikannya
dalam praktik. Beliu tidak hanya mendeklarasikan bahwa yang
handal, bijaksana, berintelektual tinggi dan memiliki kemampuan
supra-natural hanya para bhikkhu. Dalam suatu kesempatan Beliau
mendeklarasikan murid-murid-Nya yang kompeten baik para bhikkhu
maupun bhikkhunī dan mereka yang menjalani kehidupan rumah
tangga.

Ada empat belas bhikkhunī yang handal dalam bidangnya masing-


masing, dan ada sepuluh perumah tangga wanita yang dianggap paling
berkualitas dalam bidangnya masing-masing. Setara dengan bhikkhu
Puñña, Dhammadinā adalah bhikkhunī penceramah (dhammakathikā)
yang paling handal.62

Salah satu judul sutta yang ia ceramahkan oleh Dhammadinā


adalah Cūlavedallasutta. Sutta ini, ia khotbahkan di Rājagaha kepada
mantan suaminya, Visākha. Salah satu poin terpenting dari sutta
ini adalah tiga latihan—moralitas (sīla), konsentrasi (samādhi),
kebijaksanaan (paññā) tidak termasuk dalam Jalan Mulia Berunsur
Delapan, tapi Jalan Mulia Berunsur Delapan termasuk dalam tiga
latihan.63 Tiga latihan adalah satu kesatuan yang takdapat dipisah-
pisahkan. Sementara Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah unsur-unsur
dari tiga latihan itu. Karenanya, hal ini akan lebih mudah dipahami
62. Translated by F.L. Woodward, The Book of the Gradual Saying (Aṅguttara Nikāya),
vol. I, P.T.S, London, 1970, p. 21.
63. Translated by Bhikkhu Ñāṇamoli and Bhikkhu Bodhi, The Middle Length Discourses
of the Buddha, B.P.S, 1995, p. 398

78
dengan anolog rumah (tiga latihan) tidak berada dalam perabot rumah
tangga (Jalan Mulia Berunsur Delapan), tapi perabot rumah tangga
berada dalam rumah.

Setelah selesai mendengarkan uraian Dhamma dari Dhammadinā,


Visākha melaporkan hal ini kepada Sang Buddha. Sang Buddha
memuji Dhammadinā sebagai bhikkhunī yang bijaksana dan memiliki
pengetahuan yang luas. Bila Visākha meminta Sang Buddha untuk
menjelaskannya, Beliau pun akan menjelaskannya dengan cara yang
sama sebagaimana telah dilakukan oleh Dhammadinā.64

4. Khujjuttarā—dayang-dayang yang tiada bandingnya

Khujjuttarā adalah dayang-dayang Ratu Sāmāvati. Atas izin sang


raja, setiap harinya sang ratu memberinya delapan keping koin untuk
membeli bunga. Ia membeli bunga dari Sumana dengan menggunakan
empat koin dan sisanya ia simpan. Suatu hari Sang Buddha mengunjungi
Sumana dan membabarkan Dhamma kepadanya. Khujjuttarā turut
mendengarkan uraian Dhamma dari Sang Buddha dan mencapai
tingkat kesucian pertama—sotāpana, saat itu juga.

Pada hari itu, ia menghabiskan semua uang yang diberikan untuk


membeli bunga. Sang ratu menanyakan mengapa ia bisa mendapatkan
begitu banyak bunga. Khujjuttarā menceritakan semua apa yang
terjadi. Peristiwa yang terbalik terjadi pada diri Khujjuttarā. Bila pada
hari-hari biasanya ia menghormat sang ratu, pada hari itu sang ratu
menghormatinya, memandikannya dengan air parfum. Semenjak Ratu
Sāmāvatī mendengarkan khotbah Dhamma dari Khujjuttarā, sang ratu
menganggap Khujjuttarā sebagai ibunya.

Selama Sang Buddha berada di Kosambī, Khujjuttarā selalu


64. Idem, p. 403.
79
mengunjungi Sang Buddha dan mendengarkan uraian Dhamma.
Setelah selesai, ia kembali ke istana dan membabarkan kembali
Dhamma yang telah ia dengar kepada sang ratu bersama lima ratus
dayang-dayangnya. Sang ratu bersama dayang-dayangnya mencapai
tingkat kesucian pertama—sotāpana, karena jasa dari Khujjuttarā.
Setelah Ratu Sāmāvatī meninggal, Khujjuttarā menghabiskan hari-
harinya untuk kegiatan spiritual, datang ke vihāra dan mendengarkan
uraian Dhamma.65

Berdasarkan catatan-catatan yang ada dalam kitab komentar,


seluruh sutta yang didengar oleh Khujjuttarā dari Sang Buddha selama
Beliau tinggal di Kosambī, dikumpulkan menjadi satu dan kumpulan
sutta tersebut dikenal dengan sebutan Itivuttaka. Itivuttaka merupakan
salah satu kitab yang termasuk ke dalam Khuddaka Nikāya. Memang
perlu diakui bahwa kitab ini tidak populer seperti Dhammapada yang
juga merupakan bagian dari Khuddaka Nikāya.

Kitab Itivuttaka terdiri dari 112 sutta. Setiap sutta dimulai dengan
ungkapan “vuttañhetaṁ bhagavatā” yang berarti “Demi-kianlah
yang dikatakan oleh Sang Buddha”, dan diakhiri dengan ungkapan
“iti me sutanti” yang dapat diterjemahkan sebagai “Begitulah yang
telah saya dengar”. Tujuan dari kedua ungkapan tersebut adalah untuk
menekankan bahwa sutta itu benar-benar di babarkan oleh Sang
Buddha dan bukan ucapan dari Khujjuttarā sendiri.

Apakah yang terdapat dalam kitab komentar itu benar atau


tidak, yang pasti adalah Itivuttaka mempunyai sistem yang paling
berbeda bila dibandingkan dengan kitab-kitab yang lain terutama pada

65. G.P. Malalasekera, Dictionary of Pāli Proper Names, Vol. I, Munshiram Manoharlal,
India, 2002, p. 719.

80
pembukaan dan penutupannya.66 Pada umumnya semua sutta yang
ada dalam Sutta Piṭaka selalu dimulai dengan kalimat evaṁ me suttaṁ
(demikian yang telah saya dengar). Setelah dibuka dengan kalimat ini,
biasanya dilanjutkan dengan menye-butkan tempat. Namun Itivuttaka
tidak menyebutkan tempat. Salah satu alasan mengapa demikian
adalah karena tempatnya sudah pasti: Kosambī.

Sekali lagi menurut kitab komentar, Khujjuttarā dikatakan


mampu menghafalkan seluruh bagian Tipiṭaka.67 Hal ini dapat terjadi
karena intelegensinya sangat tinggi. Terbukti bahwa Sang Buddha
juga mengakuinya sebagai penganut yang paling pandai di antara
perumah tangga wanita.68

Dengan demikian, Khujjuttarā, seorang dayang-dayang


Ratu Sāmāvatī, telah memberikan kontribusi yang sangat penting
artinya bagi perkembangan agama Buddha. Kontribusi itu masih
dipertahankan hingga sekarang dengan bukti bahwa kitab Itivuttaka
masih dipertahankan serta dijadikan subjek penelitian oleh para
sarjana Buddhis dan praktik bagi praktisi Buddhis.

5. Saṅghamittā—pembawa budaya

Saṅghamittā adalah adik kandung Y.M. Mahinda Thera—


misionaris yang bertanggung jawab membabarkan Dhamma ke Sri
Lanka. Ia adalah anak kandung Raja Asoka—seorang raja yang sukses
membangun negara, memiliki sistem politik luar negeri yang handal
66. Translated by John D. Ireland, The Udāna & The Itivuttaka, BPS, Sri Lanka, 1997,
p. 135.
67. G.P. Malalasekera, Dictionary of Pāli Proper Names, Vol. I, Munshiram Manoharlal,
India, 2002, p. 720.
68. Translated by F.L. Woodward, The Book of the Gradual Saying (Aṅguttara Nikāya),
vol. I, P.T.S, London, 1970, p. 24.

81
berdasarkan nilai-nilai moral religius.

Pada awalnya, ketika berangkat ke Sri Lanka Y.M. Mahinda


Thera hanya bersama empat bhikkhu satu samanera dan satu umat
awam. Tidak ada bhikkhunī yang ikut serta. Belakangan, Putri Anulā
bersama putri-putri bangsawan yang lain ingin menjadi bhikkhunī.
Y.M. Mahinda Thera kemudian mengirim utusan ke India agar Raja
Asoka bersedia mengirimkan bhikkhunī Saṅghamittā ke Sri Lanka.

Setelah menerima pesan, Bhikkhunī Saṅghamittā kemudian pergi


ke Sri Lanka di temani dengan sebelas bhikkhunī. Ia juga membawa
cabang pohon bodhi dan sekarang pohon bodhi menjadi salah satu
aset tersendiri bagi umat Buddha Sri Lanka. Sampai sekarang pohon
bodhi itu masih hidup dan masyarakat Sri Lanka menyebutnya sebagai
Sri Mahabodhi. Bhikkhunī Saṅghamittā datang ke Sri Lanka juga
ditemani oleh sekelompok masyarakat dari berbagai golongan dan
juga dari berbagai latar belakang sosial yang berbeda.

Berdasarkan keyakinan para sarjana Buddhis dan juga para


arkeolog, dari sinilah budaya Sri Lanka mulai berkembang. Masyarakat
yang pada mulanya tidak mengenal musik mulai mengenal dan
mengembangkan musik. Berbagai bentuk kerajinan juga diperkenalkan
oleh pengikut-pengikut bhikkhunī Saṅghamittā. Diperkirakan juga
sistem kasta menjadi popular setelah kedatangan Saṅghamittā Therī
bersama rombongan.

6. Hemamālā—pembawa harta paling berharga

Apakah harta yang paling berharga yang dimiliki oleh negara Sri
Lanka? Harta itu tidak dan tidak bukan adalah relik Gigi Sang Buddha.
Relik ini sekarang disimpan di sebuah bangunan khusus beratapkan

82
emas. Keamanannya, diusahakan semaksimal mungkin. Relik ini oleh
masyarakat Sri Lanka tidak diizinkan untuk dibawa ke luar wilayah
Sri Lanka. Bahkan pernah pemerintah ingin memindahkannya ke
Colombo, dekat gedung parlemen namun tak satu pun rakyat yang
mengizinkannya.

Sebenarnya relik gigi Sang Buddha ini bukanlah warisan asli


yang di dapat dari India ketika pembagian relik. Berdasarkan catatan
yang ada, relik gigi ini berasal dari kerajaan Kaliṅga, salah satu
kerajaan di India kuno. Relik ini bisa sampai ke Sri Lanka karena salah
seorang keponakan Raja Paṇḍu memberontak kerajaan yang dipimpin
oleh Guhasīva untuk merebut relik tersebut. Raja Guhasīva akhirnya
mengirimkan putrinya, Hemamālā bersama suaminya, Danta ke Sri
Lanka demi menyelamatkan relik yang amat dipuja dan dihormati.
Mereka bisa selamat sampai ke Sri Lanka dengan menyamar sebagai
brahmana. Sedangkan, relik gigi Sang Buddha diselipkan di rambut
Putri Hemamālā.

Semenjak relik itu sampai di Sri Lanka, relik ini telah menjadi
warisan yang tak ternilai harganya secara turun temurun. Relik itu
menjadi warisan bagi raja-raja. Hanya mereka yang bisa menguasai
relik tersebut yang layak untuk menjadi raja. Mereka yang bisa
menguasai relik tersebut akan mendapatkan penghormatan dan
kepercayaan yang amat besar dari rakyat. Oleh karenanya, raja-raja
yang mengusai relik ini memberikan penghormatan tertinggi kepada
relik ini. Mereka membangun bangunan khusus yang amat megah
untuk menempatkan relik tersebut. Bahkan, Raja Nissaṅkamalla
(1187-1196) mempersembahkan putranya Vīrabāhu dan putrinya
Sarvāṅgasundarī. Raja kemudian menebus putra dan putrinya dengan

83
membangun stupa dari emas.69

Semenjak relik gigi Sang Buddha menjadi bagian harta warisan


umat Buddha Sri Lanka, setiap tahunnya diadakan festival yang
amat meriah guna menghormati relik gigi Sang Buddha tersebut.
Biasanya festival tersebut diadakan pada bulan Agustus. Pada
kesempatan-kesempatan penting relik ini akan dibuka untuk umum.
Namun bukanlah hal yang mudah bagi perumah tangga untuk bisa
menyaksikan-Nya dari dekat. Berdasarkan pengalaman penulis sendiri,
ketika pada bulan Mei 2004 diadakan expo-relik, pengunjung yang
datang jumlahnya ratusan ribu perhari. Mereka harus rela antri hingga
berjam-jam untuk bisa menyaksikan relik tersebut. Itu pun tidak bisa
dari dekat mengingat sempitnya ruangan dan padatnya pengunjung.

Dari peristiwa ini, kita bisa menyimpulkan bahwa wanita


adalah yang menyelamatkan relik gigi Sang Buddha. Wanita pula
yang membuat Sri Lanka memiliki harta yang tak ternilai harganya
sepanjang sejarah perkembangan agama Buddha. Relik Sang Buddha
di mana pun Ia berada dan apa pun bentuknya, akan selalu dihormati
oleh umat Buddha untuk meningkatkan keyakinan, memperkuat
praktik moralitas demi kebahagiaan, kesejahteraan dan ketentraman
masyarakat.

Itulah beberapa penggalan kisah tentang peran serta murid-


murid wanita Sang Buddha dalam pembabaran Dhamma. Tentu masih
banyak lagi wanita-wanita Buddhis yang mempunyai peranan yang
tidak boleh diremehkan begitu saja partisipasinya dalam pembabaran
Dhamma. Namun karena keterbatasan ruang, cerita-cerita tentang
partisipasi mereka tidak dapat dihadirkan di dalam buku ini.

69. Encyclopaedia of Buddhism, Government of Sri Lanka, Vol. IV, p. 284.

84
KONDISI WANITA PASCA SANG BUDDHA
PARINIBBANA

Kita telah menyaksikan bagaimana kondisi wanita di India


ketika Sang Buddha masih hidup. Mereka mendapatkan tempat,
penghormatan, dan prestasi yang setara dalam kehidupan spiritual.
Tidak sedikit di antara mereka yang mencapai kesucian sehingga
membuat mereka menjadi bebas dari penderitaan dan proses tumimbal.
Tapi apakah kondisi yang demikian selalu bertahan setelah Sang
Buddha parinibbāna (wafat)?

Berdasarkan fakta yang ada dan juga atas dasar catatan sejarah
ternyata aktivitas wanita khususnya bhikkhunī boleh dibilang sirna
dari peredaran semenjak Sang Buddha wafat. Tidak banyak buku
yang mencatat aktifitas mereka. Padahal keberadaan bhikkhunī sekte
Theravāda bertahan hingga abad kesebelas Masehi. Ini tentunya
menimbulkan pertanyaan tersendiri bagi kita. Apakah bhikkhunī
setelah Sang Buddha wafat mendapatkan diskriminasi atau memang
mereka tidak memiliki aktifitas yang memberikan kontribusi cukup
berarti bagi masyarakat.

Tiga bulan setelah Sang Buddha wafat, Saṅgha atas prakarsa


Y.M. Mahākassapa menyelenggarakan konsili. Secara historis, ini
adalah konsili pertama dalam sejarah agama Buddha. Konsili ini
dilaksanakan di Gua Sattapanni di Rājagaha. Berdasarkan informasi
yang penulis dapatkan dari mereka yang pernah berkunjung ke tempat
ini, Gua Sattapanni berada di atas gunung dan agak sulit dijangkau.
Bahkan di musim panas, sekitar gunung ini sangat panas.

85
Rājagaha dipilih sebagai tempat konsili karena di sekitar tempat
itu lebih mudah mendapatkan makanan selama konsili berlangsung.
Selain itu, Raja Ajātasattu adalah salah seorang raja yang memiliki
keyakinan sangat kuat pada Sang Tiratana: Buddha, Dhamma, Saṅgha.

Konsili pertama tersebut diikuti oleh 500 bhikkhu yang


kesemuanya telah mencapai tujuan akhir dalam menjalani kehidupan
kevihāraan, yaitu arahant. Selama konsili berlangsung, tidak ada
bhikkhu atau bhikkhunī yang diizinkan tinggal di Rājagaha atau
sekitarnya. Bhikkhu dan bhikkhunī yang tidak turut berpartisipasi
dalam konsili harus bervassa di luar Rājagaha.

Di antara kita mungkin ada yang bertanya, “Mengapa tidak satu


pun bhikkhunī yang dipilih untuk turut berperanserta dalam konsili
pertama? Mengapa pesertanya semuanya adalah para bhikkhu?
Bukankah saat itu juga banyak bhikkhunī yang telah mencapai
kesucian tertinggi dan juga mempunyai kemampuan intelektual yang
juga setara dengan kemampuan intelektual para bhikkhu? Jawaban
yang tidak memuaskan atas pertanyaan semacam ini, akan membuat
banyak orang berkesimpulan: Ini jelas-jelas diskrimasi.

Tidak diikutsertakannya bhikkhunī dalam konsili pertama


bukan berarti ada diskriminasi. Mereka yang telah berkunjung ke
Gua Sattapanni, membeberkan kepada penulis bahwa ditinjau secara
lokatif, tempat tersebut tidak memungkinkan wanita untuk turut
berperanserta dalam konsili. Pertama, posisi Gua Sattapanni agak
sulit untuk dijangkau. Kedua, tempat tersebut tidak memungkinkan
bhikkhu dan bhikkhunī tinggal bersama mengingat sempitnya area.
Ketiga, saat itu tidak ada penerangan yang cukup seperti zaman
sekarang sehingga kurang layak bagi bhikkhu dan bhikkhunī untuk
tinggal bersama terutama pada malam hari.
86
Dalam lima konsisili yang dilaksanakan pada abad-abad
selanjutnya, bhikkhunī juga tidak diikutsertakan dalam konsili. Pada
konsili kelima dan keenam sudah jelas bahwa saat itu bhikkhunī dan
trasidi Theravāda sudah tidak ada lagi. Tetapi pada konsili kedua,
ketiga dan keempat, tidak ada catatan yang membuktikan bahwa
mereka berperan serta dalam konsili tersebut.

Semasa Sang Buddha masih hidup, nama wanita dipampang


setara dengan nama kaum pria. Namun kita seharusnya tidak merasa
malu untuk mengakui bahwa wanita setelah Sang Buddha parinibbāna,
namanya boleh dibilang ditempatkan di posisi kedua. Setidaknya dari
karya-karya sarjana Buddhis di masa lampau dapat dijadikan sebagai
bahan referensi. Sekte Mahīsāsaka yang merupakan salah satu sekte
dalam Mahāyāna dengan jelas mendiskriminasikan wanita. Dengan
lantang Sekte Mahīsāsaka mengatakan:

“Wanita tidak bisa mencapai lima kemampuan supernatural.


Ia tidak dapat terlahir kembali sebagai seorang Tathāgata (seorang
Buddha) yang tidak memiliki kemelekatan dan telah mencapai
Pencerahan Sempurna. Ia tidak dapat terlahir kembali sebagai Dewa
Sakka, Māra, Brahma atau sebagai Raja Cakkavati. Tetapi, pria dapat
terlahir kembali sebagai seorang Tathāgata yang tidak memiliki
kemelekatan dan telah mencapai Pencerahan Sempurna. Ia dapat juga
terlahir kembali sebagai Raja Cakkavati Dewa, Sakka, Brahma atau
sebagai Māra.”70

Tentu tidak semua sekte setuju dengan pendapat ini. Ada juga
sekte yang menentang, dan berpendapat bahwa wanita juga dapat
terlahir kembali sebagai seorang Buddha. Sekte Sarvāstivāda adalah
70. D.J. Kalupahana, Buddhist Thought and Ritual, Motilal Banarsidass, India, 2001,
p.111.

87
sebagai contohnya. Cheng-Mei Ku yang telah melakukan penelitian di
bidang gender menegaskan:

“Membutuhkan beberapa abad bagi agama Buddha untuk menjadi


kebudayaan yang lazim di Asia. Selama masa perkembangannya,
beberapa praktisi Buddhis, terutama kaum elit, mengkonfrontasikan
semua bentuk permasalahan, doktrin dan pratik, dalam konteks
budaya yang berbeda dan masyarakat yang berbeda pula. Dalam
proses mempertahankan tradisi kehidupan brahmacarya, bhikkhu-
bhikkhu awal sudah selayaknya bertanggungjawab atas transformasi
bertahap konseptualisasi gambaran wanita yang dimanfaatkan pada
tingkat vinaya ke dalam keyataan. Proses transformasi mungkin
telah terjadi selama beberapa saat. Pada akhirnya, wanita dianggap
merugikan baik dalam lingkungan sosial maupun dalam lingkungan
keagamaan. Walaupun anggapan ini bertentangan dengan ajaran Sang
Buddha yang sesungguhnya, tapi anggapan tentang wanita tersebut
sesungguhnya muncul dalam tradisi Buddhis karena perkembangan
ide-ide sektarian.”71

Dalam hal ini, tokoh-tokoh sektelah yang bertanggungjawab


atas didiskriminasikannya wanita dalam agama Buddha pasca-
sektarian (later Buddhism), dan bukan Sang Buddha yang harus
bertanggungjawab. Seperti telah kita ketahui, Sang Buddha
menempatkan nama pria dan wanita setara, tanpa ada perbedaan.

Lebih dari semua itu, berdasarkan pendapat beberapa sarjana,


Dīpavamsa sebuah buku yang menceritakan kronologi Sri Lanka
tapi proporsinya lebih kecil jika dibandingkan dengan Mahāvamsa,
ditulis oleh seorang bhikkhunī. Namun demikian, namanya tidak
pernah dimunculkan dalam buku tersebut yang sudah barang tentu
71. Idem, p. 108.

88
sangat berbeda dengan Mahāvamsa yang menyebutkan dengan jelas
nama pengarangnya. Dalam hal ini, apakah ada sabotase atau tidak
dibutuhkan penelitian lebih lanjut.

89
KONDISI WANITA BUDDHIS DI ERA
MODERN

“Tetapi, Aku mau, supaya kamu mengetahui hal ini, yaitu kepala
dari tiap laki-laki adalah Kristus, kepala dari perempuan adalah laki-
laki, dan kepala dari Kristus adalah Allah…sebab laki-laki perlu
melindungi kepalanya, ia menyinarkan gambaran dan kemuliaan
Allah. Tetapi perempuan menyinarkan kemuliaan laki-laki.”72

Karena pengaruh budaya dan agama, selama berabad-abad wanita


ditempatkan dalam posisi yang lebih rendah apabila dibandingkan
dengan kaum pria. Adanya keyakinan yang sangat kuat bahwa wanita
diciptakan setelah pria bahkan diciptakan dari tulang rusuk pria,
membuat wanita Barat terkungkung dalam penjara diskriminasi.
Mereka tidak diberi kebebasan baik dalam berpolitik maupun dalam
kepemimpinan spiritual.

Bila kita menengok jauh ke belakang tepatnya pada abad keenam


belas, wanita-wanita di negara-negara Barat mendapat-kan tekanan
yang cukup berat. Dari lukisan-lukisan yang dibuat pada abad itu
kita bisa melihat bagaimana kondisi masyarakat yang sesungguhnya.
Lukisan yang ada di Prado, Madrid, misalnya, mengilustrasikan Adam
dan Hawa sedang berada di Taman Eden. Hawa dibantu seorang anak
kecil (yang merupakan perwujudan dari jin) memetik buah khuldi.
Sedangkan Adam berusaha untuk mengingatkannya (lihat gambar 1).
Giulio Clovio menerjemahkan bahasa Alkitab ke dalam lukisan dalam
corak yang sedikit berbeda. Ia menggambarkan Hawa menawarkan
buah khuldi kepada Adam (lihat gambar 2).

72. Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2000, hal. 223-224.

90
Gambar 1. Adam dan Hawa di Taman Eden, oleh Titian, dilukis
pada tahun1550.73

Gambar 2 “Adam dan Hawa” oleh GiulioClovio. Diselesaikan


pada tahun 1546.74

Lukisan-lukisan semacam ini justru memperparah keadaan,

73. Encyclopaedia Britanica Deluxe Edition 2004 CD-ROM.


74. Idem.

91
membuat wanita semakin terpuruk kondisinya. Selain lukisan, kita
juga bisa menggunakan karya sastra sebagai media untuk mengetahui
bagaimana kondisi sosial suatu masyarakat.

Kita bisa mengambil salah satu syair dari Alfred Lord Tennyson
(1809–1892) salah seorang sastrawan Inggris. Ia menulis:

Lelaki adalah pemburu; wanita adalah permainannya;


Kelembutan dan cahaya makhluk buruan,
Kita berburu demi keindahan kulitnya.

Karyanya yang lain adalah:

Lelaki untuk ladang dan wanita untuk hati


Lelaki untuk pedang dan untuk jarum adalah wanita
Lelaki dengan kepala dan wanita dengan hati
Lelaki untuk mengomando dan wanita untuk menurutinya
Semua yang lain membingungkan.75

Kedua syair ini menggambarkan bahwa wanita tidak mendapatkan


hak dan penghargaan yang cukup. Wanita dianggap sebagai sebuah
game, binatang buruan yang akan diburu kecantikannya. Mereka
hanya mempunyai hak untuk mengurus rumah, dan menuruti perintah
dari lelaki. Itulah setidaknya yang dapat kita baca dari syair kedua.

Pada abad pertengahan, wanita sulit mendapatkan kepercayaan


dari masyarakat di bidang politik karena secara kolektif telah tertanam
pandangan bahwa wanita adalah yang menggoda pria sehingga umat
manusia terjerumus ke dalam dosa. Baru di abad kedua puluh wanita-
wanita Barat bisa mendapatkan kesempatan untuk tampil di atas
pentas politik.
75. Encyclopaedia Britanica Deluxe Edition 2004 CD-ROM

92
Tercatat bahwa Inggris pertama kali memilih wanita menjadi
Perdana Menteri pada tahun 1979 atau sembilan belas tahun setelah
Sri Lanka memilih wanita sebagai Perdana Menteri. Wanita yang
dipilih menjadi Perdana Menteri saat itu adalah Margaret Thatcher.
Ia sempat memimpin Inggris hingga tahun 1990. Hingga sekarang,
Margaret Thatcher adalah satu-satunya Perdana Menteri wanita
di Inggris. Menyikapi kondisi semacam ini, Catharina Halkes
berpendapat bahwa agama memberikan pengaruh yang sangat kuat
terhadap didiskriminasikannya wanita. Lebih lanjut, ia mengatakan
bahwa karena adanya pernyataan dalam Alkitab yang bersifat
diskriminatif, selama berabad-abad wanita berada dalam kekuasaan
lelaki. Sistem kekuasaan tersebut juga mempengaruhi kehidupan
agama kristiani, misalnya jabatan imamat dalam tradisi gereja Katolik
Roma dikhususkan bagi laki-laki saja.76

Kita tidak perlu malu untuk mengakui bahwa suara wanita


Buddhis nyaris tidak terdengar selama abad pertengahan. Cukup sulit
untuk menemukan alasan mengapa suara mereka tidak begitu nyaring.
Akan tetapi, dua belas tahun setelah merdeka, Sri Lanka sebagai
negara Buddhis menggoreskan tinta emas dengan menerima wanita
sebagai Perdana Menteri.

Sirimavo Bandaranaike adalah Perdana Menteri wanita pertama


di Sri Lanka dan juga merupakan Perdana Menteri wanita pertama di
dunia. Ia menjadi Perdana Menteri pertama kalinya pada tahun 1960
hingga 1965. Pada tahun 1970 ia kembali terpilih sebagai Perdana
Menteri hingga tahung 1977. Ketika putrinya, Chandrika Bandaranaike
Kumaratunga, terpilih sebagai presiden pada tahun 1994, Chandrika

76. Catharina Halkes, The Themes in Feminist Theology Against God The Father,
Concilium 143, 1981, p. 103.

93
Bandaranaike Kumaratunga kembali memilih ibunya sebagai Perdana
Menteri. Ia menjadi Perdana Menteri hingga menjelang akhir hayatnya,
yaitu pada tahun 2000.

Setelah partainya memenangkan pemilu, Chandrika


Bandaranaike Kumaratunga pada tanggal 19 Agustus 1994 terpilih
sebagai Perdana Menteri. Namun, tiga bulan kemudian tepatnya pada
tanggal 9 November ia terpilih sebagai presiden hingga sekarang.
Salah satu obsesinya adalah menghentikan semua kegiatan terorisme
di Sri Lanka.77 Di bawah kepemimpinan Chandrika Bandaranaike
Kumaratunga, sekarang—ketika penulis menulis buku ini—kegiatan
terorisme LTTE dapat dikatakan menjadi reda. Antara pemerintah dan
LTTE sekarang sedang berunding mencari jalan yang terbaik untuk
mengakhiri permusuhan, demi terciptanya kesejahteraan, ketenangan
dan ketentraman bagi semua pihak.

Aung San Suu Kyi bukanlah nama yang asing di mata kita
maupun di mata dunia. Ia berasal dari Burma. Ia adalah alumni Oxford
University, dan kemudian tinggal bersama suaminya. Ia kembali ke
Burma pada tahun 1988 ketika ibunya meninggal. Sesampainya di
Burma, ia menyaksikan demonstrasi massa menentang pemerintahan
militer yang dipimpin oleh Ne Win. Kondisi ini membuatnya prihatin
dan ia memutuskan untuk memulai perjuangan tanpa kekerasan demi
terciptanya demokrasi yang murni dan penghargaan secara utuh
terhadap hak asasi manusia.

Untuk merealisaikan cita-citanya, Aung San Suu Kyi kemudian


mendirikan partai National League for Democracy (NLD). Pada
pemilihan umum tahun 1990, partainya memenangkan 80 persen
kursi parlemen. Namun, pemerintahan militer mengabaikan hasil
77. Encyclopaedia Britanica Deluxe Edition 2004 CD-ROM

94
pemilu tersebut. Bahkan sebaliknya, pemerintah menetapkan Aung
San Suu Kyi sebagai tahanan rumah dan mengisolasinya dari segala
komunikasi dengan massa. Pemerintah akan membebaskannya bila ia
mau meninggalkan Myanmar. Aung San Suu Kyi menolak tawaran
tersebut dan tetap mengharapkan agar negara kembali ke dalam
pemerintahan sipil.

Atas perjuangannya untuk menegakkan demokrasi dan hak


asasi manusia melalui jalur tanpa kekerasan, Hadiah Noble diberikan
kepadanya pada tahun 1991. Empat tahun kemudian pemerintah
membebaskan Aung San Suu Kyi dari tahanan rumah. Sampai
sekarang ia tetap terus berjuang untuk merealisasikan cita-citanya.

Dalam kasus yang di alami Aung San Suu Kyi, tidak ada tanda-
tanda diskriminasi. Apa yang ia alami adalah murni urusan politik.
Keenganan pemerintah Myanmar menerima aspirasinya bukan karena
alasan gender melainkan keinginan pemerintah Myanmar untuk terus
mempertahankan sistem pemerintahan militer di negara tersebut.78

Di bidang religius, ceritanya sedikit berbeda dengan peran politik.


Di negara-negara yang penduduknya mayoritas beragama Buddha
seperti Sri Lanka, Thailand dan Myanmar, wanita bebas menjalankan
kegiatan spiritual. Karena negara-negara ini menganut agama Buddha
Theravāda, bhikkhunī sebagai suatu lembaga bagi wanita untuk
menjalani kehidupan selibat atau kevihāraan selama beberapa dekade
tidak ada. Namun demikian, bukan berarti wanita tidak dapat mejalani
kehidupan selibat. Mereka tetap dapat menjalankan kehidupan selibat.

Di Sri Lanka, wanita yang menjalani kehidupan selibat, tinggal


di vihāra (nunnery) disebut dasasīlamātā. Artinya, wanita yang

78. Idem

95
mempraktikkan sepuluh peraturan moralitas. Mereka menge-nakan
jubah yang warnanya tidak berbeda dengan jubah para bhikkhu.
Hanya saja bentuknya berbeda dengan jubah para bhikkhu atau
bhikkhunī. Jubah mereka polos, tidak ada jahitan yang memotong
agar jubah tersebut tampak seperti sawah Magadha di India kuno.
Sepanjang sejarah perkembangan agama Buddha di Sri Lanka, wanita
yang menjalani kehidupan selibat tidak sebanyak kaum pria. Ini bisa
dibuktikan dari catatan-catatan yang ada dan vihāra yang dibangun
untuk wanita juga jumlahnya relatif sedikit.79

Selama satu dasa warsa belakangan ini, Saṅgha bhikkhunī di Sri


Lanka kembali dibentuk setelah lenyap dari keberadaannya selama
beberapa abad. Saṅgha bhikkhunī kembali dibentuk dengan bantuan
dari Saṅgha bhikkhunī Mahāyāna. Di balik semua itu, mereka harus
berjuang keras karena banyak orang baik dari kalangan bhikkhu
maupun perumah tangga yang menentang keberadaan mereka. Salah
satu argument yang mereka lontarkan adalah bahwa Saṅgha bhikkhunī
dalam tradisi Theravāda sudah lenyap.

Di Myanmar kita juga bisa menemukan wanita yang menjalani


kehidupan selibat. Pakaian yang mereka kenakan warnanya cukup
berbeda dengan warna jubah yang dikenakan oleh dasasīlamātā di Sri
Lanka maupun dengan jubah para bhikkhu Myanmar. Mereka disebut
Thilashen. Jumlah Thilashen di Burma juga tidak terlalu banyak dan
pada umumnya mereka adalah wanita-wanita lanjut usia. Wanita yang
menjalani kehidupan selibat juga dapat kita temukan di Thailand.80

Wanita-wanita di Myanmar memiliki kebebasan yang cukup


baik. Untuk urusan rumah tangga, istri adalah yang menentukan
79. Encyclopaedia of Buddhism, Government of Sri Lanka, vol. III, p. 46.
80. Idem.

96
kendati pada dasarnya mereka menganut paham yang umum terjadi
di mana-mana—father-oriented. Seperti program berapa anak yang
harus mereka miliki, yang menentukan adalah istri bukan suami.

Di Taiwan dan China bhikkhunī masih dapat ditemukan karena


mereka menganut aliran Mahāyāna. Berdasarkan informasi yang
penulis dapatkan dari bhikkhunī Dhammacarī, bhikkhunī jumlahnya
cukup banyak. Dan, mereka memiliki posisi yang cukup kuat baik
di dalam Saṅgha maupun di mata masyarakat. Mereka mempunyai
organisasi yang sangat baik. Salah satu organisasi yang berada di
bawah otoritas Saṅgha bhikkhunī Taiwan adalah Tzu Chi. Tzu Chi
adalah lembaga yang juga punya cabang di Indonesia dan tampaknya
organisasi ini sangat populer. Organisasi ini menitikberatkan pada
pelayanan sosial seperti pengobatan massal, bhakti sosial dan
sebagainya.

97
WANITA BUDDHIS DI INDONESIA

Bagaimanakah kondisi wanita Buddhis di Indonesia semenjak


agama Buddha muncul di negeri ini hingga sekarang? Apakah mereka
mendapatkan diskriminasi atau mendapatkan posisi yang setara
dengan pria? Untuk itu, marilah kita melihat kenyataan berdasarkan
sejarah yang ada.

Semenjak agama Buddha tumbuh dan berkembang di Indonesia,


wanita-wanita Buddhis Indonesia menikmati kesetaraan gender,
bahkan boleh dibilang wanita-wanita Buddhis Indonesia memiliki
posisi yang sama baiknya bila kita membandingkannya dengan
keadaan atau kondisi wanita Buddhis di negara-negara Buddhis di
dunia ini. Tentu ada banyak alasan untuk hal ini.

Wanita-wanita Buddhis Indonesia telah turut berperan serta


mewarnai lembaran sejarah bangsa ini dengan mengoreskan tinta
emas yang tak mungkin terlupakan. Mereka telah melakukan
aktifitas-aktifitas yang begitu luhur baik dalam skala nasinal maupun
internasional. Kendati banyak orang menganggapnya sebagai makhluk
yang lemah, pada kenyataannya, mereka mampu mengangkat derajat
bangsa ini sehingga mendapatkan pengakuan dan decak kagum dari
banyak orang di seantero dunia.

Kabupaten Jepara—di mana penulis dilahirkan dan dibesarkan


selama 4 tahun—di zaman sekarang ini, terkenal baik di dalam
dan di luar negeri karena ukirannya. Dari Kabupaten ini, lahir dua
wanita yang sangat terkenal yaitu R.A. Kartini dan Ratu Sima. R.A.
Kartini terkenal karena usahanya dalam membe-baskan kaum wanita
dari diskriminasi. Sedangkan Ratu Sima terkenal karena sistem

98
pemerintahannya yang sangat jujur, semaksimal mungkin menegakkan
hukum dan berorientasi pada kesejahteraan rakyatnya.

Sementara R.A. Kartini saya tidak tahu agamanya, Ratu Sima


adalah seorang ratu yang beragama Buddha. Dipercaya, ia dan
kebanyakan rakyatnya menganut agama Buddha aliran Hinayāna atau
sekarang dikenal dengan sebutan Theravāda. Kaliṅga adalah nama
kerajaannya saat itu. Nama ini juga dipakai oleh salah satu kerajaan
di India kuno yang juga pernah menjadi basis agama Buddha di masa
lampau. Bahkan, berdasarkan catatan sejarah, relik gigi Sang Buddha
yang sekarang ada di Sri Lanka dan menjadi barang yang paling
berharga di seluruh negeri tersebut diberikan oleh raja Kaliṅga yang
kerajaannya sedang dalam acaman bahaya.

Ratu Sima memerintah kerajaannya dengan keadilan dan


kejujuran. Mungkin juga ia ingin mewujudkan konsep Raja Cakkavati,
sebagaimana terdapat dalam kitab suci agama Buddha. Konsep Raja
Cakkavati adalah konsep sistem pemeritahan yang mengutamakan
keadilan, kesejahteraan, kejujuran dan kebenaran (Dhamma). Salah
seorang raja Buddhis yang sukses mengaplikasikan konsep ini dalam
sistem pemerintahannya adalah Raja Asoka yang berkuasa di India
pada abad ketiga Sebelum Masehi.

Karena sang ratu memerintah kerajaan dengan kejujuran, keadilan


dan kebenaran, seluruh rakyatnya pun hidup dalam ketenangan,
ketentraman dan tidak mengganggu yang lain. Saat itu, tidak ada
pencurian, perampokan, pelecehan gender dengan cara wanita hanya
dijadikan ladang pemuasan nafsu seksual, maupun bentuk kejahatan
lainnya. Dengan kata lain, pañcasila Buddhis yaitu menghindari
pembunuhan, pencurian, pemuasan nafsu seksual secara salah,
berbohong, minum minuman yang dapat menimbulkan lemahnya
99
kesadaran, dipraktikkan dengan baik.

Sang ratu, yang mungkin tidak percaya terhadap kejujuran


rakyatnya, ingin menguji rakyatnya. Apakah benar mereka semua
mematuhi hukum, tidak mengambil barang orang lain meskipun
barang itu tercecer di jalan. Untuk menguji kejujuran rakyatnya, ia
meletakkan emas di perempatan jalan. Karena semua rakyat mematuhi
hukum, tidak mengganggu harta milik orang lain, tidak ada orang
yang mengambil emas ini atau sekedar memindahkan emas tersebut
dari tempatnya.

Suatu hari salah seorang pangeran, putra sang ratu sendiri,


dengan tanpa segaja kakinya menyentuh emas tersebut dan membuat
posisi emas tersebut bergeser. Dengan penuh rasa kedialan dan tanpa
ada unsur KKN, sang ratu tetap memerintahkan untuk memotong kaki
putranya sendiri. Sungguh suatu kenyataan yang amat kontradiksi
dengan sistem pemerintahan zaman sekarang di mana KKN terjadi di
mana-mana bak jamur yang bermunculan di musim hujan.

Ratu Buddhis yang mempunyai kontribusi terhadap


perkembangan agama Buddha selanjutnya adalah Ratu Smaratungga.
Setelah ayahnya menyelesaikan Candi Mendut, ia kemudian
terobsesi untuk membangun candi yang lebih besar. Namun sangat
disayangkan, ia wafat sebelum pembangun Candi Borobudur selesai
karena pembangunan Candi Borobudur sendiri memakan waktu
hingga sekitar satu abad. Ratu Smaratungga adalah yang melanjutkan
cita-cita luhur ayahnya. Di bawah pemerintahannya, Candi Borobudur
terselesaikan dengan sukses.

Kini Candi Borobudur tercatat sebagai Candi Buddhis yang


terbesar di dunia. Sekarang setiap harinya, banyak turis domestik

100
maupun manca negara datang ke candi tersebut untuk menyaksikan
keagungan karya seorang penguasa. Adanya turis yang berdatangan
ke Candi tersebut telah memberikan kontribusi bagi perkembangan
ekonomi negara. Rakyat yang ada di sekitar candi juga turut
mendapatkan keuntungan dengan cara menjajakan hasil karya mereka.

Candi Sewu dibangun oleh seorang ratu dan Candi Prambanan


dibangun oleh suaminya. Kedua candi ini dibangun sebagai wujud
bahwa kedua agama yaitu Hindu dan Buddha dapat hidup rukun dan
damai saat itu.

Dalam sejarah kerajaan Majapahit, juga pernah tercatat seorang


wanita menjadi raja. Ia adalah Tribuana Tunggadewi. Setelah
berkuasa untuk beberapa saat, ia menyerahkan mahkota kerajaan
kepada putranya, Hayam Wuruk. Hayam Wuruk dibantu oleh Gajah
Mada, memperluas daerah teritorialnya. Berdasarkan catatan yang ada
dalam Dīpavamsa, Indonesia pada masa keemasan Majapahit sempat
dua kali menyerang Sri Lanka. Oleh karena itu, sekarang ini juga ada
orang-orang Jawa—yang merupakan keturunan dari para tentara saat
itu—di Sri Lanka walaupun jumlahnya tidak banyak.

Di beberapa negara Buddhis wanita juga bisa menjadi raja atau


pemimpin negara. Di Sri Lanka, kita dapat menemukan tiga nama
wanita yang menjadi raja. Pada abad kesatu Sebelum Masehi, Putri
Anula menjadi raja dan sempat berkuasa selama 42 tahun. Banyak
yang mengatakan bahwa sistem pemerintahannya sangat bagus, jujur,
berusaha menegakkan keadilan dan mengutamakan kesejahteraan
rakyat.

Satu abad kemudian, Sri Lanka kembali diperintah oleh seorang


wanita. Di sini penulis mendapatkan dua nama yang berbeda. Dari

101
dosen, penulis mendapatkan nama Lilavati. Tapi dari Encyclopaedia
of Britanica penulis mendapatkan nama Sivali. Ia berbeda dengan Ratu
Anula yang sangat bijak. Konon ia menjadi penguasa melalui jalur
kekerasan. Dua kali ia memberontak untuk merebut tahta kerajaan. Ia
dibantu oleh seorang menteri dan akhirnya menteri tersebut menjadi
suaminya. Yang ketiga adalah Ratu Sugala. Tidak banyak informasi
yang penulis dapatkan tentang ratu yang satu ini. Hanya saja, dikatakan
sistem pemerintahannya sangat baik sama seperti pemerintahan Ratu
Anula.81

Di Jepang wanita Buddhis juga bisa menjadi penguasa. Kita


menemukan nama Suiko Tennô. Ia memerintah Jepang setelah
suaminya meninggal. Pada masa pemerintahannya yaitu pada abad
keenam Masehi, agama Buddha berkembang dengan pesat dan ia
memerintahkan untuk membangun banyak vihāra. Di Korea pada
abad ketujuh, juga ada wanita yang menjadi raja. Dia adalah Ratu
Sondok. Selama memerintah, ia banyak mengirimkan pelajar ke China
untuk mempelajari agama Buddha. Ia juga banyak membangun vihāra
sebagai sarana tempat tinggal para bhikkhu dan bhikkhunī.

Hingga saat ini, penulis belum menemukan adanya referensi yang


menyebutkan bahwa di negara-negara yang mayoritas penduduknya
Buddhis seperti Thailand, Burma, bahkan India ada seorang wanita
yang telah berkuasa menjadi raja dan memberikan kontribusi yang
cukup besar bagi kemajuan negara maupun bagi agama. Di negara-
negara tersebut, kekuasan tertinggi negara pada umumnya dikuasai
oleh kaum pria. Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa ketika
agama Buddha mencapai puncak keemasan di Indonesia, wanita-
wanita Buddhis Indonesia menikmati kebebasan gender, kesetaraan

81. Encyclopaedia Britanica Deluxe Edition 2004 CD-ROM.

102
kedudukan sementara wanita-wanita di belahan dunia lain merasakan
pahit getirnya diskriminasi.

Ketika perubahan terjadi, kerajaan-kerajaan Buddhis runtuh,


aktifitas wanita tidak begitu tampak lagi. Menjadi raja, penguasa
yang adil dan bijaksana tak pernah lagi tercatat sebagai bagian
dari kehidupan wanita. Baru setelah penjajahan terjadi, beberapa
wanita muncul sebagai pejuang bangsa demi kesejahteraan generasi
selanjutnya.

Di zaman modern ini semenjak agama Buddha bangkit kembali


di negeri ini setelah tertidur cukup lama, wanita juga turut mewarnai
dan menyemarakkan sejarah perkembangan agama Buddha di
Indonesia. Mereka diberi kebebasan dalam berorganisasi. Semenjak
beberapa tahun silam, beberapa organisasi Buddhis dibentuk. Dalam
sekte Theravāda ada tiga organisasi yang didirikan oleh upāsaka dan
upāsīka. Ketiga oraganisasi tersebut adalah MAGABUDHI (Majelis
Agama Buddha Theravāda Indonesia), WANDANI (Wanita Theravāda
Indonesia) dan PATRIA (Pemuda Theravāda Indonesia). Semua
wanita (asal memenuhi syarat) dapat memasuki ketiga organisasi ini.
Bagi wanita yang berstatus sebagai pandita, dapat bergabung dalam
MAGABUDHI. Bagi ibu-ibu, dapat bergabung dalam WANDANI,
dan bagi generasi muda dapat bergabung dalam PATRIA.

Sejauh yang penulis ketahui, WANDANI sebagai organisasi ibu-


ibu Buddhis bekerjasama dengan organisasi lainnya dan juga bersama
Saṅgha membina umat Buddha. Oraganisasi ini telah memiliki
cabang di daerah-daerah yang ada umat Buddhanya terutama sekte
Theravāda. Cabang oraganisasi ini tidak hanya didirikan di kota-kota
besar; namun sampai ke pelosok-pelosok desa.

103
WANDANI juga telah berusaha meningkatkan kesejahteraan
umat Buddha di daerah-daerah yang belum maju dengan cara
memberikan bantuan berupa alat-alat yang menunjang perkembangan
ekonomi keluarga. Mereka memberikan bantuan berupa mesin jahit,
gilingan tepung, gilingan kopi, mesin perontok padi dan masih banyak
lagi yang lainnya. Alat-alat tersebut diberikan tergantung dari kondisi
dan kebutuhan masyarakat setempat. Beberapa tempat yang telah
penulis kunjungi memanfaatkan bantuan ini. Sebagai hasilnya, kondisi
ekonomi keluarga mereka berkembang ke arah yang lebih baik.

WANDANI juga sering melakukan bhakti sosial seperti


pengobatan massal, pembagian sembako kepada masyarakat kurang
mampu, mengunjungi panti jompo dan sebagainya. Khusus untuk
kegiatan semacam ini tidak hanya umat Buddha saja yang menjadi
sasaran, tapi semua lapisan masyarakat.

Di satu sisi, banyak wanita Buddhis Indonesia menikamati dunia


kebebasan dan kesetaraan gender. Akan tetapi, di pihak lain, kita
juga tidak dapat memungkiri bahwa ada wanita Buddhis Indonesia
yang merasakan adanya diskriminasi. Kita bisa mengambil keinginan
mendirikan Saṅgha Bhikkhunī Theravāda, sebagai contohnya.

Beberapa wanita Buddhis Indonesia yang telah menjalani


kehidupan kevihāraan selama beberapa tahun sebagai Anagarini,
ingin mendapatkan penahbisan yang lebih tinggi (upasampada). Saat
keinginan tersebut muncul, di Indonesia tidak ada Saṅgha Bhikkhunī
Theravāda. Mereka akhirnya terbang ke India dan mendapatkan
upasampada di sana. Kontan saja, tindakan mereka ini menimbulkan
pro dan kontra di lingkungan masyarakat Theravāda Indonesia.

Pada awalnya, mereka memang bekerjasama dengan organisasi-

104
organisasi Buddhis bahkan boleh dibilang mereka berada di bawah
naungan Saṅgha Theravāda Indonesia. Namun, Saṅgha Theravāda
Indonesia dan organisasi-organisasi Buddhis lainnya engan mengakui
mereka sebagai bhikkhunī setelah mereka mendapatkan upasampada
di India. Alasannya adalah bahwa Saṅgha Bhikkhunī dalam tradisi
Theravāda sudah lenyap sejak abad kesebelas Masehi. Yang tidak
mau mengakui mereka sebagai bhikkhunī Theravāda bukan hanya
organisasi Theravāda Buddhis di Indonesia. Seluruh Saṅgha Bhikkhu
Theravāda di dunia secara resmi berpendapat sama: Saṅgha Bhikkhunī
Theravāda sudah lenyap sejak lama.

Ketidakmauan Saṅgha bhikkhu mengakui mereka sebagai


bhikkhunī Theravāda bukan karena alasan diskriminasi; tapi karena
alasan konstitusional. Seseorang bisa diakui sebagai bhikkhu atau
bhikkhunī harus melewati prosedur yang resmi dan benar. Salah
satunya adalah tidak boleh ada kecacatan dalam Saṅgha. Oleh karena
itu, penulis menyarankan kepada mereka yang mau menerima atau
merasa keberatan organisasi Buddhis tidak mau mengakui keberadaan
mereka, mempelajari prosedur upasampada dengan benar, melakukan
riset dalam hal vinaya dan memahami dengan benar latar belakang
sejarah mengapa hal ini bisa terjadi.

Meskipun Saṅgha Bhikkhu baik yang ada di Indonesia maupun


di seluruh dunia tidak mau mengakui keberadaan Saṅgha Bhikkhunī
yang dibentuk dalam beberapa dasawarsa terakhir ini, bukan berarti
Saṅgha Bhikkhu tidak mengizinkan kaum wanita menjalani kehidupan
kevihāraan. Saṅgha tetap membuka pintu bagi wanita yang ingin
menjalani kehidupan kevihāraan untuk mempraktikkan ajaran Sang
Buddha secara intensif.

Semenjak anggota Lembaga Anagarini Indonesia mendapat-kan


105
upasampada di India, Saṅgha Theravāda Indonesia telah memilih
nama baru bagi wanita yang menjalani kehidupan selibat. Dulu
wanita yang menjalani kehidupan selibat disebut Anagarini yang
berarti wanita yang menjalani kehidupan tak berumah tangga. Kini
Saṅgha Theravāda Indonesia memilih nama Sīlacarini yang berarti
wanita yang menjalani moralitas secara intensif. Ketika penulis
mendiskusikan masalah ini dengan seorang sarjana Buddhis yang
kompeten, ia mengatakan bahwa sebutan ini lebih baik.

106
BUKU-BUKU REFERENSI

a. Referensi utama

1. Edited by E.W. Cowell, The Jātaka, vol. III, Asian Educational


Services, India, 2003
2. Edited by The Editorial Committee, The Dhammapada,
Burma Pitaka Association, Burma, 1986
3. Translated by Bhikkhu Ñāṇamoli and Bhikkhu Bodhi, The
Middle Length Discourses of the Buddha, B.P.S, 1995
4. Translated by Bhikkhu Bodhi, The Connected Discourses of
the Buddha, A New Translation of Saṁyutta Nikāya, Wisdom
Publication, Boston, 2000
5. Translated by E. M. Hare, The Book of the Gradual Sayings
(Aṅguttara Nikāya) Vol. III, P.T.S, London, 1973
6. Translated by E.M. Hare, The Book of the Gradual Saying
(Aṅguttara Nikāya), vol. IV, 1965
7. Translated by F.L. Woodward, The Book of the Gradual
Saying (Aṅguttara Nikāya), vol. I, P.T.S, London, 1970
8. Translated by I.B. Horner, The Book of the Discipline, vol. I
(Suttavibhaṅga), Luzac &Company, London, 1949
9. Translated by I.B. Horner, The Book of the Discipline, vol. II
(Suttavibhaṅga), 1969
10. Translated by I.B. Horner, The Book of the Discipline, vol.
IV (Mahāvagga), 1971
11. Translated by I.B. Horner, The Book of the Discipline, vol. V
(Culavagga), 1963
12. Translated by John D. Ireland, The Udāna & The Itivuttaka,

107
BPS, Sri Lanka, 1997
13. Translated by K.R. Norman, The Elders’ Verses (Therīgathā),
PTS, London
14. Translated by Maurice Walshe, The Long Discourses of the
Buddha (Dīgha Nikāya), Wisdom Publication, London, 1987
15. Translated by, N. A. Jayawickrama, Suttanipāta, University
of Kelaniya, Sri Lanka, 2001

b. Referensi tambahan

1. Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2000


2. Catharina Halkes, The Themes in Feminist Theology Against
God The Father, Concilium 143, 1981
3. D.J. Kalupahana, Buddhist Thought and Ritual, Motilal
Banarsidass, India, 2001
4. Encyclopaedia Britanica Deluxe Edition 2004 CD-ROM
5. Encyclopaedia of Buddhism, Government of Sri Lanka, vol.
III
6. G.P. Malalasekera, Dictionary of Pāli Proper Names, Vol. I &
II, Munshiram Manoharlal, India, 2002
7. Harian Surya, Selasa, 15 April 2003
8. Hitopadeśa, syair 25, Hardāsa Saṁskṛta Granthamālā,
Varansi, 1946
9. Jotiya Dhirasekera, Buddhist Monastic Discipline,
Government of Sri Lanka, Sri Lanka, 1982
10. Karen Armstrong, Sejarah Tuhan, Mizan, Bandung, 2001
11. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2001
12. Satapatha Brahmana XIV: I: I: 31
13. Translated by Manmatha Nath Dutt, Manusmṛti, Chowkhamba

108
Sanskrit Series Office, Vanarasi, 1979

109

Anda mungkin juga menyukai