Oleh:
3920182110070
Fakultas Ushuluddin
1440/2019
Abstrak
Pendahuluan
Dalam sejarah Indonesia, Islam datang melalui para wali yang dikirim dari
timur tengah untuk berdakwah Islam. Sejarah mencatat bahwa dari abad ke-13
sampai ke-17 Islam masuk dan menjadi kekuatan penting di nusantara, bahkan
menjadi simbol era baru ketika menjadi lembaga dalam bentuk kerajaan dan
berhadapan atau memiliki keterkaitan dengan kekuasaan yang sebelumnya
bercorak Hindu.1
Dalam penyebarannya para walisongo memakai cara dan sikap toleran dan
akomodatif yang tinggi terhadapa budaya lokal. Hal ini memang terlihat bagus
dimana satu sisi masyarakat jawa menerima Islam dengan baik dan
perkembanganya pun juga cukup pesat. Akan tetapi di sisi lain dianggap
membawa dampak negatif. Dan hal tersebut terjadi setelah para walisongo
meninggal. Banyak masyarakat jawa yang awam dan mencampuradukkan anatara
Islam dan budaya lokal mereka yang lama, sehingga sulit untuk membedakan
mana yang benar-benar ajaran Islam sebagai agama yang baru dalam masyarakat
jawa.2
1
Sutiyono, Benturan Budaya Islam: Puritan & Sinkretis( Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara,
2010), hlm. 71
2
Ibid. hlm. 73
2
Berbagai tokoh menyebutkan definisi aliran kepercayaan, menurut M.
As'ad el-Hafidy mengatakan bahwasanya ia adalah suatu faham dogmatis, terjalin
dengan adat istiadat hidup dari berbagai macam suku bangsa, lebih kepada suku
bangsa yang masih terbelakang, pokok kepercayaannya apa saja adat hidup nenek
moyangnya sepanjang masanya. Dan menurut KH. Imam Zarkasyi menyatakan
bahwa gerakan kebatinan merupakan arus kekuatan yang bertolak belakang
dengan Islam, dan politiknya bertujuan menyingkirkan kesucian Islam.3
Tercatat pada tahun 1970 terdapat sebanyak 151 aliran, dan kemudian
pada bulan april,tahun 1972 tercatat sebanyak 644 aliran terdiri dari 217 tingkat
pusat dan 427 aliran pada tingkat cabang.4 Jumlah ini bukanlah jumlah yang
sedikit, disini pemerintah belum bisa melarang dan mengendalikan aliran-aliran
tersebut. Pada tahun 1959 Departemen Agama telah mengusulkan kepada DPR
untuk menentukan persyaratan sebuah agama. Akhirnya, didapat suatu ketentuan
tentang batasan agama, yaitu agama harus menyembah kepada Tuhan Yang Maha
Esa, memiliki nabi, kitab suci, dan menjadi kaedah hidup atau the way of life.5
Asal-Usul Pangestu
3
Jarman Arroisi, Aliran Kepercayaan, Kebatinan, dan Sinkretisme: Mencermati Tradisi & Budaya
Masyarakat Muslim Jawa (Ngawi: Perum Ansor, 2017), hlm. 8-9
4
Rahmat Subagya, Kepercayaan, Kebatinan, Kerohanian, Kejiwaan dan Agama (Yogyakarta:
Yayasan Kanisius, 1976), hlm. 9
5
Jarman Arroisi, Op. Cit. hlm. 22
6
Niels Mulder, Mistisisme Jawa: Ideologi di Indonesia, (Yogyakarta: LKIS, 2001), hlm 58.
3
Kemudian Moh Soehadha dan Soehardi (2004, hlm 58) mengemukakan
bahwa Paguyuban Ngesti Tunggal (PANGESTU) adalah salah satu perkumpulan
mistisisme kejawen yang berdiri pertama kali sebagai organisasi formal di Solo.7
Aliran ini dimulai dengan turunnya wahyu yang diterima oleh pendirinya,
yaitu R. Soenarto Mertowardojo yang lahir pada 21 April 1899 di desa Simo,
kabupaten Boyolali, Surakarta. Ia adalah putra keenam dari keluarga R.
Soenowardojo.8
Wahyu tersebut turun pada tanggal 14 februari 1932 di Solo sekitar pukul
17.00 WIB. Pada saat menerima wahyu tersebut ia merasa terlena antara ada dan
tiada, lalu ada suara dalam hati ketika ia sedang shalat daim. Adapun wahyu yang
diterimanya tersebut dinamai pepadang dan tuntunan. Ia mengatakan dalam serat
sasangka jati bahwa wahyu tersebut didapatnya dengan mata mendelik keatas dan
wahyu tersebut ia terima dari sukma kawekas dan diterima oleh sukma sejati. Dan
disitu ia juga diperintahkan untuk meluaskan ajarannya hingga meliputi dunia.
Wahyu dalam pengestu diperoleh dengan usaha, dulum buku kumpulan wahyu
pangestu yang diberi nama "Serat Sasangka Jati" terdapat cara-cara untuk
mendapatkan wahyu tersebut.9
Dalam serat sasangka jati cetakan ke-III terbitan Pangestu Surakarta 1964,
halaman 107 dinyatakan bahwa Tuhan bagi Pangestu tiada bersifat dan tiada yang
dapat disifatkan kepadanya, tiada maut atau hidup. Tetapi meliputi segala sesuatu,
namun immateriil.11
7
Moh Soehadha dan Soehardi, "Umat Agama dalam Paguyuban Ngesti Tunggal (PANGESTU)".
HUMANIKA, 17(1), Januari 2004, hlm. 58
8
Ibid. hlm. 26
9
Rahnip, Aliran Kebatinan dan Kepercayaan dalam Sorotan (Surabaya: Pustaka Progresif, 1987),
hlm. 129
10
Jarman Arroisi, Loc, Cit. hlm. 26-27
11
Rahnip, Op. Cit. hlm. 134
4
halus, tidak nampak. Ia juga tidak bersifat dan tidak ada yang dapat disifatkan
kepada-Nya, keadaan-Nya tidak dapat dikatakan seperti apa, tiada maut tiada
hidup, juga tiada tempat kediaman bagi-Nya, sekalipun Ia sungguh berdiam, yaitu
dalam hidup yang kekal. Ia mengatasi segala pengetahuan serta meliputi segala
sesuatu.12
Dalam Pangestu terdapat sebuah konsep Tuhan yang diberi nama Tri
Purusa. Tri Purusa adalah keadaan Tuhan Yang Maha Esa yang bersifat tiga.
Dalam kitab suci mereka R. Soenarto mengatakan "Adapun keadaan Tuhan Yang
Maha Esa itu disebut sebagai TRI PURUSA, artinya keadaan satu yang bersifat
tiga, yaitu Suksma Kawekas (Tuhan yang Sejati, bahasa arabnya Allah Ta'ala),
Suksma Sejati (Panuntun Sejati, Panutan Sejati, Guru Sejati) Utusan Sejati, dan
Roh Suci (Manusia Sejati), ialah jiwa manusia yang sejati."13
Dalam hal ini dapat menjelaskan bahwa Suksma Kawekas adalah yang
menguasai seluruh hidup ini, kemudian Suksma Sejati adalah yang menghidupkan
segalanya, sedangkan Roh Suci ialah yang dihidupkan itulah Roh Allah atau jiwa
manusia. Sebagai ringkasannya Tri Purusa adalah yang menguasai hidup, yang
menghidupkan dan yang dihidupkan.
12
Ridin Sofwan, Menguak Seluk Beluk Aliran Kebatinan (Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang
Maha Esa) (Semarang: Aneka Ilmu, 1999), hlm. 29
13
Ibid. hlm. 31
14
Rahnip, Loc. Cit. hlm. 136-139
5
dunia tadi dijadikan, Tuhan berkehendak menurunkan Roh Suci, yaitu cahaya
Tuhan. Tetapi kehendak itu terhenti, sebab belum ada kancahnya atau tempanya,
maka Tuhan lalu mengadakan dunia."15
Dalam dasa sila yang pertama menyebutkan "Berbakti kepada Tuhan Yng
Maha Esa". Dalam ajaran tentang kebaktian yang disebut "Panembah", manusia
memanggil Tuhan dengan panggilan "Wahai Suksma Kawekas" mengesankan
bahwa disini terjadi dialog antara Tuhan dan manusia, atau bahwa ada hubungan
yang mencerminkan hubungan Engkau dan Aku.16
15
Ibid. hlm. 143
16
Ridin Sofwan, Op. Cit. hlm. 43
17
Rahnip, Loc. Cit. hlm. 145
6
Tuhan, dan kamu juga akan menjadi Tuhan, oleh karena kamu sudah berada di
dalam Istana Tuhan". Agar seorang pengikut Pangestu dapat menjadi Tuhan kecil
harus memakai perantara, yaitu Suksma Sejati sebagai utusan Tuhan.18
Ketika sebuah aliran atau ajaran dalam konsep ketuhanan telah melenceng,
maka aliran tersebut dapat dikatakan sesat. Dimulai dari cara pendapatan wahyu
oleh pendiri aliran ini sudah dapat dikatakan bahwa cara ini adalah cara yang
didapat melalui usaha pribadi. Jika setiap orang berkendak melakukan hal yang
sama dengan R. Soenarto, maka setiap orang dapat membuat aliran
kepercayaannya masing-masing.19
Ketika Tuhan tiada bersifat, maka manusia tersebut dapat dikatakan tidak
menghargai Tuhan menurut semestinya. Bahkan dalam sejarah Islam tidak ada
golongan yang menafikan sifat Allah seluruhnya. Meskipun mu'tazilah yang
dituduh mengosongkan seluruh sifat Allah, ia masih menetapkan dua sifat pokok
dari Allah yaitu Ilmu dan qudrat.20
Dari pernyataan tersebut bisa jadi Tri Purusa tersebut adalah pengaruh dari
Kristen. Sesungguhnya Allah Yang Maha Esa bukanlah berfaset-faset. Tidak ada
tritunggal dalam Islam seperti firman Allah SWT.
18
Ibid. hlm. 161
19
Ibid. hlm. 129
20
Ibid. hlm. 135
21
Ibid. hlm. 137
22
Surat Shaad : 5
7
Dalam persamaan Tuhan, Pangestu membaginya menjadi tiga faset yang
tidak sama martabatnya. Dari hal ini pun sangat terlihat kesesatannya dari seorang
ahli fuilsafat yang menyeleweng dan dari tasawuf yang telah rusak pikirannya.
Dari filsafat diambilnya dari apa yang diciptakan oleh Allah pertama kali adalah
akal pertama yaitu jiwa tunggal yang oleh Pengestu disamakan dengan Nur
Muhammad yang masuk kedalam Nabi Isa. Dan dari tasawuf berangkat dari
ciptaan Allah yang pertama adalah nur nabi Muhammad yang nantinya akan
masuk ke seluruh nabi-nabi.23
Dan kemudian bersambung tentang faham mereka bahwa Adam dan Hawa
adalah simbolik. Sangat jelas sekali bahwa hal ini benar fakta adanya. Dan Hawa
bukanlah sempalan dari tulang rusuk kiri Adam, apabila Pangestu mengambil
faham seperti ini mak tentulah mereka mengambilnya dari Perjanjian Lama yaitu
di Kitab Kejadian.24
Penutup
Aliran Pangestu adalah aliran hasil sinkritisme dari agama dan budaya.
Aliran ini muncul sejak turunnya wahyu pertama pada 14 februari 1932 di Solo.
Hal ini muncul berdasarkan pernyataan sang pendiri aliran bahwa ia mendapatkan
wahyu ketika keadaaan antara ada dan tiada dan muncul suara ketika ia sedang
sholat daim.
Konsep ketuhanan aliran ini tertulis lengkap dalam kitab sucinya yang
bernama Serat Sasangka Djati. Disana dinyatakan bahwa Tuhan bagi Pangestu
tiada bersifat dan tiada yang dapat disifatkan kepadanya, tiada maut atau hidup
Dari beberapa pernyataan konsep ketuhanan yang ada pada aliran ini
banyak dari konsep tersebut merupakan hasil sinkritisme atau hasil pencampuran
antar banyak agama, yaitu Islam, Kristen dan Hindu atau Buddha pra-Islam.
Dengan sinkretisme ini teruslah berkembang dalam kalangan masyarakat selama
tidak ada peraturan yang bisa membatasi bahkan mengikat aliran-aliran tersebut.
23
Rahnip, Loc. Cit. hlm. 141
24
Ibid. hlm. 149
25
Ibid. hlm. 161
8
Ilmu ketuhanan atau ilmu teologi adalah hal yang paling penting dalam
kehidupan umat beragama. Ketika sesorang telah salah dalam memahami sebuah
konsep tersebut, maka ia telah melenceng dari jalur lurus kebenaran. Sementara
itu, banyak aliran-aliran yang bermunculan dan melenceng dari aqidah dan jalur
lurus kebenaran Islam. Dari aliran Pangestu ini dapat kita temukan banyak
kerancuan dalam faham ketuhanannya. Jika konsep ketuhanannya salah, maka
syari'at dan segala hal yang berhubungan dengan agama pun melenceng jauh.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur'an
Sutiyono, Benturan Budaya Islam: Puritan & Sinkretis, Jakarta: PT. Kompas
Media Nusantara, 2010.