Anda di halaman 1dari 13

Pendahuluan

Indonesia adalah sebuah negara yang majemuk, yang terdiri dari beragam
suku, bahasa, dan karakteristik masyarakat. Indonesia juga merupakan salah satu
negara yang masih bergulat dengan persoalan keadilan atau kesetaraan jender. 1
Pergumulan tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab perempuan telah
berlangsung dalam kurun waktu yang lama, dan menjadi sebuah permasalahan
yang terjadi secara umum. Secara sosio-kultural, kebanyakan masyarakat
memberikan tempat yang tidak seimbang kepada perempuan dengan berbagai
macam alasan.2 Dalam hal ini, kaum laki-laki dipandang sebagai pihak yang
menentukan pola masyarakat, dan kaum perempuan selalu dinomor-duakan.
Tidaklah mengherankan jika kemudian para perempuan secara umum merasa
haknya dilecehkan.

Akan tetapi dalam beberapa sistem atau bidang kehidupan, kaum


perempuan dipandang sama atau setara dengan laki-laki, sehingga bukan suatu hal
yang aneh jika seorang perempuan diangkat sebagai seorang pemimpin atau
memegang suatu peran dan tanggung jawab tertentu. Misalnya, dalam kehidupan
ekonomi, sudah lama kaum perempuan bisa mendapatkan tempat yang sederajat
dengan kaum laki-laki, khususnya dalam memilih direktur dalam sebuah
perusahaan, yang tidak berpatokan pada jenis kelamin, tetapi atas dasar
kemampuan. Selain itu, dalam dunia politik juga kaum perempuan tidak
dibedakan derajatnya atau posisinya dengan kaum laki-laki, sehingga banyak
perempuan yang sudah berkecimpung di dunia politik, baik legislatif, yudikatif,
dan lain sebagainya; bahkan tidak menutup kemungkinan, ada kaum perempuan
yang pernah duduk sebagai pemimpin dalam suatu negara. Namun tidaklah
demikian dalam kehidupan berbudaya dan beragama. Dalam pergerakkannya,
kesadaran sistem budaya dan agama akan kesetaraan laki-laki dan perempuan
beserta gerakkan keadilan atau kesetaraan jender masih terasa lebih sempit

1
Margaretha Ririmasse, Perempuan, Kekerasan & Pendamaian – Sebuah Refleksi
Teologis Feminis, (Jakarta: Yakoma-PGI, Persetia, 2009), i
2
Eya Susanti, Feminisme Radikal – Studi Kritis Alkitabiah, (Bandung: Yayasan Kalam
Hidup, 2008), 3

1
lingkupnya, sehingga kadangkala kaum perempuan dianggap tidak layak untuk
menempati posisi atau peran tertentu.

Dengan demikian, berkaitan dengan kesetaraan jender, maka melalui paper


ini penulis akan memaparkan secara sederhana mengenai kesetaraan gender,
mulai dari teori mengenai kesetaraan gender, kemudian dilanjutkan dengan suatu
kajian biblical – theology mengenai kesetaraan jender berdasarkan teks Hakim-
hakim 4:4-10, dengan tujuan untuk menemukan suatu konsep kesetaraan jender
yang perlu kita ketahui dan pahami bersama, khususnya dalam ranah teologi
Alkitabiah. Selain itu, penulis hendak melihat konsep kesetaraan gender
khususnya dalam relevansinya dengan dunia di zaman sekarang ini.

2
Kesetaraan Jender

Dalam meninjau mengenai kesetaraan jender, kita perlu memahami secara


benar apa yang dimaksud dengan Kesetaraan Jender. Istilah Jender berasal dari
bahasa Latin (genus), yang berarti jenis atau tipe.3 Sedangkan dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, istilah Jender dipergunakan untuk jenis kelamin (laki-laki atau
perempan).4 Namun jika kita melihat istilah Jender dalam bahasa Inggris
“Gender”, maka kita menemukan suatu makna yang berbeda, di mana Gender
ialah cara memandang, menilai dan menentukan sikap baik laki-laki maupun
perempuan dalam masyarakat dan kebudayaan.5 Cara pandang ini dikembangkan
dalam masyarakat dan dapat berubah, sebagaimana juga masyarakat dan budaya
yang seringkali berkembang dan berubah. Perbedaan cara pandang dalam
masyarakat khususnya antara laki-laki dan perempuan dapat ditinjau dari sudut
jender dan dari segi seks atau jenis kelamin (Biologis). Selain kedua hal tersebut,
perbedaan ini juga dapat dilihat dari sudut peran dan tanggung jawab laki-laki dan
perempuan.

Beberapa ahli memberikan pandangan mereka tentang makna dari istilah


Jender. Pendapat dari salah satu ahli yang pertama kali menggunakan istilah
jender dalam makna yang berbeda dengan jenis kelamin yaitu Ann Oakley.
Menurut Ann, jender adalah perbedaan sosial yang berpangkal pada perbedaan
jenis kelamin, dalam hal mana perbedaan sosial itu dibakukan dalam tradisi dan
sistem budaya masyarakat.6 Pembakuan perbedaan sosial itu lebih ditekankan oleh
para ahli lain yaitu Wilson dan Lindsey; Wilson berpendapat bahwa jender
sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan
perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagaimana akibatnya

3
Istilah “Gender” dalam https://www.wikipedia/org/wiki/Gender (Diakses pada Kamis,
19 April 2018, pukul 19.22 WIB)
4
Istilah “Jender” dalam KamusBesarBahasaIndonesia.apk
5
Marie C. Barth, Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu, (Jakarta: BPK Gunung Mulia.
2003), 10
6
Lindsay, L.L., Gender Roles: A Sociological Perspective, (New Jersey: Prentice, 1990),
126

3
mereka menjadi berbeda yaitu laki-laki dan perempuan.7 Sementara Lindsay
mengatakan bahwa yang termasuk kajian jender adalah semua ketetapan
masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki dan perempuan.8

Jadi dapat dikatakan bahwa istilah jender tidak hanya merujuk kepada
perbedaan laki-laki dan perempuan secara seks atau biologis saja, tetapi jender
juga berkaitan dengan cara memandang, menilai dan menentukan sikap, peran dan
tanggung jawab, baik laki-laki maupun perempuan dalam masyarakat dan
kebudayaan. Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa kesetaraan jender
adalah adanya keseimbangan, kesepadanan, dan kesejajaran peran dan tanggung
jawab laki-laki dan perempuan bagi hal-hal yang tidak dikodratkan. Dalam
kesetaraan terdapat suatu kondisi yang setara (equalty) dan adil (equity) dalam
hak, kesempatan, dan hubungan kerja sama antara laki-laki dan perempuan. 9 Jadi
hal utama yang lebih ditekankan di sini ialah kesetaraan dalam hak, kesempatan,
peran dan tanggung jawab, baik laki-laki maupun perempuan.

Kajian Biblical – Theology mengenai Kesetaraan Jender


Berdasarkan Hakim-Hakim 4:4-10

Pada hakekatnya, manusia, baik laki-laki dan perempuan diciptakan


segambar dan serupa dengan Allah (Kej. 1:26). Artinya laki-laki dan perempuan
sama-sama penyandang gambar Allah. Hal ini juga didukung oleh pendapat
seorang ahli Teologi, yakni Elu Greenberg, di mana ia berpendapat bahwa sejak
awal sudah tergambar dalam Alkitab keterangan antara kesetaraan perempuan dan
subordinasi terhadap laki-laki.10 Akan tetapi sejarah mencatat bahwa kaum laki-
laki menentukan pola masyarakat dan kaum perempuan selalu dinomor-duakan.
Pemahaman ini didukung atau pada umumnya dibenarkan oleh beberapa paham,

7
Lindsay, L.L., Gender Roles: A Sociological Perspective, 126
8
Lindsay, L.L., Gender Roles: A Sociological Perspective, 126
9
Risnawaty Sinulingga, “Gender Ditinjau dari Sudut Pandang Agama Kristen”, dalam
Jurnal Wawasan, Juni 2006, Volume 12, No. 1, 48
10
Yonky Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama Dari Kanon sampai Doa,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 38

4
diantaranya ada paham kodrat, di mana kaum kodrat berpandangan bahwa laki-
laki adalah pribadi yang kuat, pemberani, rasional, produktif, dan dapat
memberikan hasil yang memuaskan; sedangkan kaum perempuan adalah pribadi
yang lemah, penakut, perasa, lebih suka pada hal-hal keterampilan dan suka
dipimpin.11

Selain paham kodrat, pandangan bahwa kaum laki-laki lebih tinggi


derajatnya dari perempuan juga dibenarkan oleh filsafat klasik, baik di Barat
maupun Timur. Misalnya, Aristoteles ia menyatakan bahwa, “......Menyangkut
kelamin pun laki-laki lebih tinggi secara naluri dan perempuan lebih rendah;
laki-laki memerintah dan perempuan diperintah. Hal yang sama berlaku untuk
umat manusia umumnya”, selain itu, filsafat Tionghoa berpandangan bahwa,
“Yang (Maskulin) dihubungkan dengan dunia atas dan Yin (Feminim) dengan
dunia bawah”.12 Dengan demikian pandangan mengenai ketidaksetaraan jender
bukan lagi hal yang tabu, melainkan hal yang dipegang dan dijunjung tinggi oleh
suatu budaya dan masyarakat.

Alkitab adalah sumber utama bagi teologi, dogma dan etika Kristen, oleh
karena itu pemahaman yang benar tentang status dan peranan laki-laki dan
perempuan, baik secara fungsional dan struktural, harus berdasarkan pada apa
yang dikemukakan Alkitab. Berkaitan dengan paham tersebut, kita perlu melihat
kembali pada awal penciptaan manusia, di mana Allah menciptakan manusia, baik
laki-laki maupun perempuan, setara atau segambar dan serupa dengan Allah,
namun berbeda. Setara atau segambar dan serupa, menurut Yongki Karman, hal
tersebut diperlihatkan dalam Kejadian 1:27, yakni ada tiga kalimat penting yang
perlu digarisbawahi di ayat tersebut, yakni (I) dan menciptakan Allah manusia itu
menurut gambar-Nya; (II) menurut gambar Allah Ia menciptakan dia; (III) laki-
laki dan perempuan Ia menciptakan mereka; Yongki Karman menyatakan bahwa
baik laki-laki maupun perempuan sama martabatnya sebagai manusia, sebelum
maupun sesudah Kejatuhan (Kej. 5:2), yaitu sebagai penyandang gambar Allah. 13

11
Marie C. Barth, Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu, 3-4
12
Marie C. Barth, Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu, 4
13
Yonky Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama Dari Kanon sampai Doa,44

5
Martabat manusia terletak pada gambar Allah. Inilah gambaran ideal tentang
martabat laki-laki dan perempuan menurut PL.

Yonky Karman menyatakan bahwa dalam beberapa teks Alkitab,


menggambarkan begitu rendahnya kedudukan perempuan dalam masyarakat
Israel kuno tanpa berusaha mencelanya, justru ada kesan di mana Tuhan hendak
terlibat di dalam sistem atau gagasan tersebut.14 Misalnya, praktek poligami (Kej.
4:19; Kej. 25:11 Raj. 11:3; dan lain sebagainya), yang secara tidak langsung
merupakan cerminan lemahnya posisi wanita dalam kultur maskulin. Selain itu,
ada hukum yang mengatur bahwa suami boleh menceraikan isteri (Ul. 24:1-4)
namun tidak sebaliknya. Bahkan dalam sistem keagamaan pun perempuan tidak
diperbolehkan menjadi imam atau pemimpin suatu bangsa.

Akan tetapi jika kita melihat dalam kitab Hakim-hakim, kita perlu ketahui
bahwa inti kitab Hakim-hakim ialah kumpulan cerita mengenai beberapa
pahlawan dari masa lalu Israel yang disebut juga “Hakim-hakim”, 15 dan kita
menemukan dalam kitab Hakim-hakim, kisah tentang satu-satunya hakim
perempuan yang pernah duduk sebagai pemimpin bangsa Israel, yakni hakim
Debora (Ibrani: devora, “Lebah”), ia adalah satu-satunya hakim perempuan yang
pernah menjadi pemimpin bangsa Israel.16

“Dalam buku Enslikopedi Alkitab Masa Kini Jilid I, dicatat bahwa Debora
adalah seorang nabiah seperti tertera dalam daftar para hakim Israel.
Menurut Hakim-hakim 4:4, Debora melaksanakan tugasnya di bawah
sebuah pohon korma yang disebut “Pohon Korma Debora” yang terletak
antara Rama dan Betel. Orang Israel dari berbagai suku, yang ingin
perkaranya diselesaikan, datang ke sana untuk meminta nasihat dan

14
Yonky Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama Dari Kanon sampai Doa, 39
15
John A. Grindel “Hakim-Hakim” dalam Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, Diannes
Bergant & Robert Karris (Editor), ( Deresan: Kanisius, 2002), 251
16
“Debora” dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Debora (Diakses pada Minggu, 29 April
2018)

6
pertimbangan. Oleh karena kemasyuran dan karunianya, maka orang
Israel datang mencari perlindungan padanya.”17

Christoper Barth dalam bukunya Theologia Perjanjian Lama 2 menjelaskan


bahwa hanya Debora (Hak. 4:4) dan Samuel (1 Sam. 7:16-17; bnd 4:16 tentang
Eli) yang diriwayatkan benar-benar bertindak sebagai hakim atas bangsa Israel,
disamping tugas mereka sebagai pemimpin perang dan “penyelamat” bagi bangsa
Israel.18 Dalam hal ini, dari semua hakim yang dicatat di dalam Kitab Hakim-
hakim, beberapa diantaranya bertindak sebagai “penyelamat” bagi bangsa Israel
(Hak. 3:10; 15; 31; 6:15-15; 10:1), sedangkan yang lainnya tidak tercatat
mengenai peran mereka bagi bangsa Israel. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa kitab Hakim-hakim hanya mengenal Debora satu-satunya sebagai
pemimpin yang pernah benar-benar menghakimi orang Israel (Hak. 4:4-5),
sedangkan yang lainnya hanya bertindak sebagai “penyelamat”, dan sebagainya.

Dalam membentuk sebuah kajian biblical – theology, maka perlu


menemukan apa yang sebenarnya disampaikan oleh teks tersebut dengan
menggunakan metode eksegese teks. Jika kita melihat ke dalam teks Hakim-
Hakim 4 ini, kita menemukan bahwa selain sebagai hakim, Debora dilukiskan
sebagai seorang nabiah dan yang didatangi umat untuk meminta keadilan (ay. 4 –
5). Ia adalah seorang hakim yang bertindak untuk mengadili umat Israel. Dalam
ayat 6 Debora menyuruh memanggil Barak bin Abinoam, “Ia menyuruh
19
memanggil Barak bin Abinoam……..” Kata “Menyuruh” dalam bahasa Ibrani ‫ׁש‬
ְ
‫ ַ֗לח‬, yang berarti “mengirim, mengutus”; kata ini memperlihatkan suatu hak dan
wibawa seorang Debora kepada orang yang diutus untuk memanggil Barak.
Dalam hal ini Debora memiliki otoritas dan hak atau peran penting dalam
menjalani kepemimpinannya. Selanjutnya, ayat 6 – 10, memperlihatkan dialog
antara Debora dan Barak, di mana Tuhan memerintahkan bangsa Israel untuk
maju berperang melawan Sisera beserta pasukan-pasukannya di gunung Tabor.

17
F.F. Bruce “Debora” dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid I A-L, J.D. Douglas
(peny.). (Jakarta: Yayasan Bina Kasih, 1994), 242
18
C. Barth, Theologia Perjanjian Lama 2, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 95
19
Holladay kata “ ‫”ׁשְ ַ֗לח‬, verb qal imperfect, (BibleWorks 10)

7
Barak memperoleh perintah untuk memimpin pasukan Israel yang ada di gunung
Tabor untuk maju berperang melawan Sisera beserta pasukkannya; dan melalui
Debora, Allah menyampaikan janji-Nya bahwa Allah akan menyerahka Sisera ke
dalam tangan Barak beserta pasukkannya.

Di ayat 8, Barak meminta agar Debora turut maju dalam peperangan


tersebut, sehingga Debora turut maju dalam peperangan tersebut (ay 9 – 10). Dan
diakhir narasi ini diceritakan bahwa pada akhirnya Sisera meninggal oleh karena
dibunuh oleh Yael, Isteri Heber, menggunakan patok kemah (ay 21). Dan di ayat
23 – 24 disebutkan bahwa, “Demikianlah Allah pada hari itu menundukkan
Yabin, raja Kanaan, di depang orang Israel. Dan kekuasaan orang Israel kian
keras menekan Yabin, raja Kanaan, sampai mereka melenyapkan Yabin, raja
Kanaan itu.”

Dari kisah ini penulis melihat bahwa Debora memiliki peran penting dalam
memimpin bangsa Israel. Sebagai seorang perempuan, ia berani bertindak dalam
memimpin dan mengambil keputusan. Debora berani membangkitkan semangat
bangsanya untuk maju berperang walau ditengah kesulitan yang sedang dialami
bangsa Israel, yakni Israel sedang mengalami kemerostoan moral, kesusilaan dan
moral keagamaan akibat pergaulan dan perjumpaan orang Israel di tengah bangsa
Kanaan. Dan Debora berani untuk mengadili bangsanya, bertindak sebagai
pelindung dan penasehat bagi bangsanya. Ini merupakan peran dan tanggung
jawab yang sangat besar, sebab yang dihadapi oleh Debora bukanlah beberapa
orang atau sekelompok orang, melainkan suatu bangsa yang besar.

Penulis melihat bahwa kisah Debora mematahkan berbagai pandangan yang


menyatakan bahwa perempuan adalah makhluk lemah. Laki-laki dan perempuan
berbeda bukan dalam arti perempuan adalah makhluk yang lemah dan selalu perlu
dilindungi. Perempuan berstatus sederajat dengan laki-laki, keduanya merupakan
teman atau sahabat dalam masyarakat, yang saling mendukung, menolong,
melengkapi dan bekerja sama, karena keduanya “Segambar dengan Allah”. Maka
dari itu, baik laki-laki maupun perempuan, mereka diberikan kesempatan,

8
kewajiban, dan hak yang sama untuk menyelidiki, mengerti, mengolah,
mengelola, dan memanfaatkan peran dan tanggung jawabnya.

Menurut penulis, Alkitab memperlihatkan kepada kita mengenai status dan


peran perempuan yang berbeda dengan laki-laki, disebabkan karena situasi
kondisi dan budaya patriakh yang sangat kental pada masa Israel Kuno. Tetapi
bagian-bagian Alkitab tertentu tidak begitu dipengaruhi budaya patriakh sehingga
memperlihatkan kesetaraan jender. Dalam Kejadian 1 – 3, terlihat secara tidak
langsung suatu gambaran yang ideal mengenai kesetaraan jender, antara laki-laki
dan perempuan. Selain di dalam Kejadian 1 – 3, kita juga dapat menemukan
suatu gambaran kesetaaan atau keadilan yang diajarkan oleh Paulus kepada
Jemaat di Efesus.

Dalam Efesus 5:21-23. Dalam teks Indonesia, ayat 20 dan 21 menjadi


sebuah kesatuan kalimat. Akan tetapi jika kita melihat dalam teks aslinya, maka
kita akan menemukan sebuah perbedaan yang cukup jelas, “Ucaplah syukur
senantiasa atas segala sesuatu dalam nama Tuhan kita Yesus Kristus kepada
Allah dan Bapa kita.20 Rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain dalam
takut akan Kristus,21 hai isteri kepada suamimu sendiri seperti kepada Tuhan. 22”
Dengan demikian dapat kita lihat bahwa Paulus memerintahkan kepada jemaat di
Efesus, khususnya suami dan isteri, harus senantiasa saling merendahkan diri satu
dengan yang lain. Dalam hal ini, penulis melihat bahwa baik suami maupun isteri,
atau dengan kata lain baik laki-laiki dan perempuan, keduanya harus saling
merendahkan diri, menghargai dan saling melayani, dan suami atau laki-laki tidak
diperintahkan untuk memperbudak isterinya atau perempuan.

Dari berbagai penjelasan singkat diatas, maka penulis berpendapat dan


mengambil sebuah kajian atau konsep pemikiran mengenai kesetaraan jender,
yaitu bahwa secara kodrat, laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan; misalnya
perbedaan jenis kelamin (Sex), perbedaan biologis lainnya, contohnya, perempuan
dapat hamil dan melahirkan, tetapi laki-laki tidak dapat; dan berbagai perbedaan
secara biologis lainnya. Namun secara tidak kodrat, perbedaan antara laki-laki dan
perempuan sangat minim, dan bahkan tidak terdapat perbedaan. Berbagai

9
kelebihan yang kaum perempuan miliki, tidak jauh berbeda dengan kaum laki-
laki. Salah satu contohnya, laki-laki bisa menjadi pemimpin yang hebat, demikian
juga dengan perempuan; perempuan mampu menjadi pemimpin yang berpengaruh
dan berdampak, seperti kisah Debora diatas. Dalam hal ini, secara peran dan
tanggung jawab, laki-laki dan perempuan memiliki kesetaraan, tinggal bagaimana
dan dengan tujuan apa peran dan tanggung jawab itu dilaksanakan.

Menurut penulis, tidak dapat dipungkiri bahwa ketidak-adilan jender


dipengaruhi juga oleh refleksi dari budaya atau adat istiadat yang di daerah
tertentu, namun isu jender dapat muncul di tengah-tengah sistem kemasyarakatan
jika masyarakat menyadari bahwa ketidak-setaraan jender adalah suatu hal yang
salah, yang tidak boleh dikembangkan, tidak boleh diterima, dan suatu ketidak-
adilan. Pandangan bahwa kaum perempuan lebih rendah dan kaum laki-laki lebih
tinggi derajat, dapat dikatakan sebagai suatu diskriminasi jender. Diskriminasi
jender merupakan suatu sikap yang dapat menyebabkan terjadinya suatu
kesenjangan jender.

Sekali lagi penulis menekankan bahwa dari kisah Debora, maka kita dapat
melihat bahwa dalam konteks tanggung jawab, perempuan dan laki-laki mampu
untuk menjalankan peran dan tanggung jawabnya, khususnya yang berkaitan
dengan hal-hal yang tidak kodrat. Laki-laki dan perempuan hadir untuk saling
melengkapi, menolong, dan saling melayani. Laki-laki dan perempuan juga
hendak tunduk dan saling rendah hati satu dengan yang lain, saling menerima dan
mengutamakan satu dengan yang lain. Memandang kaum perempuan lemah dan
tidak berguna hanya akan mengakibatkan terjadinya ketidak-adilan dan atau
diskriminasi jender, tetapi sikap “Saling”, yang telah disebutkan sebelumnya,
dalam suatu hubungan antara laki-laki dan perempuan, dapat menciptakan suatu
hubungan yang harmonis dan damai.

Kesetaraan Jender (Relevansi Zaman Sekarang)

10
Dalam membahas mengenai kesetaraan jender, penting bagi kita untuk
melihat konsep kesetaraan jender ini dalam konteks zaman sekarang ini. Pada
umumnya salah satu faktor yang menyebabkan paham ini hadir, baik dalam semua
ilmu sosial termasuk teologi yaitu oleh karena tatanan masyarakat yang secara
universal bersifat patriarki. Dalam patriarki, laki-laki berkuasa atas semua anggota
masyarakat lain dan mempertahankan kuasa itu sebagai milik yang “sah”, baik
melalui lembaga masyarakat, harta maupun masyarakat.

Dengan demikian, penulis melihat bahwa paham ini menjadi misbelief


dalam kehidupan bermasyarakat, yang dipegang secara turun-temurun, sampai
sekarang ini, khususnya dalam beberapa tempat dan suku-suku tertentu. Misbelief
ini juga diakibatkan karena kesalahpahaman masyarakat mengenai makna dari
kata jender itu sendiri. Mayoritas masyarakat memahami jender sebagai alat atau
jenis kelamin pada manusia, sehingga penekanan perbedaan ini dikaitkan juga
dengan segala aspek dalam kehidupan. Ini merupakan pemahaman yang sempit,
yang masih bertahan sampai sekarang ini. Jender tidak hanya berkaitan dengan
jenis kelamin manusia, tetapi jender juga berkaitan dengan cara memandang,
menilai dan menentukan sikap, peran dan tanggung jawab, baik laki-laki maupun
perempuan dalam masyarakat dan kebudayaan. Dengan demikian konsep
mengenai jender harus diperjelas lagi bagi masyarakat di zaman sekarang ini.

Berkaitan dengan kesetaraan jender, menurut penulis, konsep ini juga


penting dan perlu diperjelas bagi masyarakat zaman sekarang. Pada intinya,
kesetaraan jender adalah adanya keseimbangan, kesepadanan, dan kesejajaran
peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan bagi hal-hal yang tidak
dikodratkan. Misalnya, dalam bidang ekonomi, tidak sedikit kaum perempuan
menjabat sebagai pemimpin sebuah perusahaan, sebab pemimpin sebuah
perusahan tidak dipilih berdasarkan jenis kelamin, melainkan berdasarkan
kemampuan. Contoh lainnya, dalam sebuah organisasi, tidak sedikit perempuan
menjabat sebagai pemimpin atau bahkan berperan dalam posisi-posisi penting
tertentu. Hal ini merupakan konsep kesetaraan yang benar, di mana tidak terjadi
yang namanya perbedaan peran dan tanggung jawab tertentu antara laki-laki dan

11
perempuan, melainkan keduanya harus saling bekerja sama, saling menolong,
saling melengkapi, untuk mencapai suatu tujuan bersama. Dengan demikian,
bukan soal siapa yang lebih tinggi dan siapa yang lebih rendah, tetapi kedua-
duanya saling membutuhkan.

Sebagai “Penolong” (Kej. 2:18), bukan berarti perempuan bertindak sebagai


seorang asisten, pembantu, atau menduduki sebuah posisi yang lebih rendah dan
memberi suatu kesan martabat perempuan lebih rendah daripada laki-laki, tetapi
perempuan dan laki-laki harus sama-sama bertindak sebagai penolong dan
pelindung satu dengan yang lainnya. Namun bukan berarti juga perempuan
bertindak sebagai penindas laki-laki atau bahkan sebaliknya, melainkan keduanya
harus saling tunduk dan saling merendahkan hati. Inilah poin penting yang perlu
diperjelas di konteks zaman sekarang ini, khususnya berkaitan dengan konsep
kesetaraan jender.

Kesimpulan

Jadi, kita perlu memahami dengan benar makna dari istilah jender. Secara
umum istilah jender memang merujuk kepada jenis kelamin laki-laki atau
perempuan, tetapi makna dari istilah ini tidak hanya sebatas itu saja, melainkan
ada suatu makna yang penting dan prinsip yang perlu kita pahami bersama, yakni
istilah jender juga berkaitan dengan cara memandang, menilai dan menentukan
sikap, peran dan tanggung jawab, baik laki-laki maupun perempuan dalam
masyarakat dan kebudayaan. Dengan kita memahami istilah jender yang lebih
prinsip tersebut, maka kita dapat menemukan makna kesetaraan jender yang
sesungguhnya dan yang harus senantiasa dijunjung secara seksama.

Kisah Debora dalam Hakim-Hakim 4:4-10, memperlihatkan kepada kita


bahwa perempuan juga mampu untuk menerima dan melakukan tanggung jawab
yang besar. Debora adalah pemimpin perempuan yang berdampak dan
bertanggung jawab, dan ia layak untuk menjadi panutan atau teladan bagi
perempuan-perempuan zaman sekarang ini, agar perempuan zaman sekarang ini
tidak merasa diri lemah, melainkan menjadi para perempuan yang kuat dan berani
untuk memimpin, mengambil keputusan, dan menjadi dampak bagi sesama.

12
Terlepas dari semuanya itu, satu hal penting yang dipelajari melalui paper
ini ialah bahwasanya Tuhan tidak hanya menciptakan laki-laki sendiri, atau
perempuan sendiri. Tetapi Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan seturut
dengan gambar-Nya, sehingga laki-laki dan perempuan sama-sama merupakan
penyandang gambar Allah. Oleh sebab itu, hendaknya laki-laki dan perempuan
tidak saling menindas satu dengan yang lain, melainkan laki-laki dan perempuan
harus senantiasa membangun relasi yang harmonis, dan saling bekerja sama,
saling menolong, saling menjaga dan melindungi, saling tunduk satu dengan yang
lain, dan saling melengkapi. Sebab dengan demikian, maka konsep kesetaraan
jender akan selalu dimaknai secara positif dan dijunjung tinggi oleh sesama
manusia.

13

Anda mungkin juga menyukai