DOSEN PEMBIMBING
Kelas 1A
2019
PERSPEKTIF ISLAM TENTANG GENDER
A. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Gender, merupakan istilah yang baru dalam islam, karena sesungguhnya
gender sendiri merupakan suatu istilah yang muncul di barat pada sekitar ± tahun
1980. Digunakan pertama kali pada sekelompok ilmuan wanita yang juga membahas
tentang peran wanita saat itu. Islam sendiri tidak mengenal istilah gender, karena
dalam islam tidak membedakan kedudukan seseorang berdasarkan jenis kelamin dan
tidak ada bias gender dalam islam. Islam mendudukkan laki-laki dan perempuan
dalam posisi yang sama dan kemuliaan yang sama.
Hal itu sesuai dengan mata kuliah Pendidikan Agama Islam yang kami dapat,
yang kemudian kami diskusikan sekelompok dengan menggali beberapa pengetahuan
dari berbagai referensi yang mendukung dan berkaitan hal tersebut.
Pokok Pembahasan
Adapun pokok pembahasan yang dijadikan ukuran dalam makalah ini antar lain
sebagai berikut :
1. Pengertian gender
2. Perspektif feminis dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender
3. Peran perempuan di sektor domestik
4. Peran perempuan di sektor publik
Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian gender
2. Mengetahui perspektif feminis dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender
3. Mengetahui bagaimana peran perempuan di sector domestik,dan
4. Mengetahui bagaimana peran perempuan di sector publik
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Gender
Secara umum gender dimaknai sebagai perbedaan yang bersifat social budaya
yang merupakan nilai yang mengacu pada sistem hubungan sosial yang membedakan
fungsi serta peran perempuan dan laki-laki dikarenakan perbedaan biologis atau
kodrat yang oleh masyarakat kemudian dibakukan menjadi ‘budaya’ dan seakan tidak
lagi bisa ditawar. Apalagi kemudian dikuatkan oleh nilai ideologi, hukum, politik,
ekonomi dsb. Atau dengan kata lain gender adalah nilai yang dikonstruksi oleh
masyarakat setempat yang telah mengakar dalam bawah sadar kita seakan mutlak dan
tidak bisa diganti lagi.
1) Feminisme Liberal
Dasar filosifis kelompok ini adalah liberalisme, yaitu bahwa semua manusia
diciptakan sama, serasi dan seimbang. Baik laki-laki atau perempuan memiliki hak-
hak yang sama, maka sudah seharus tidak ada penindasan antara satu sama lain.
2) Feminisme Marxis-Sosialis
Aliran ini berupaya menghapus struktur kelas dalam masyarakat berdasarkan jenis
kelamin. Mereka berpendapat bahwa posisi inferior perempuan berkaitan erat dengan
struktur kelas dan keluarga dalam masyarakat kapitalis. Hal tersebut mengakibatkan
hubungan antar suami dan istri seperti hubungan antara borjuis dan proletar. Sebagai
solusi untuk mengangkat harkat martabat perempuan supaya seimbang dengan laki-
laki, maka perlu menghapus dikotomi pekerjaan sektor domestik dan sektor publik.
Hingga pada akhirnya terbentuknya suasana kolektif antara laki-laki dan perempuan
dalam pekerjaan publik dan domestik.
3) Feminisme Radikal
Islam telah memberi aturan yang rinci berkenaan dengan peran dan fungsi
masing-masing dalam menjalani kehidupan ini. Terdapat perbedaan dan
persamaan yang tidak bisa dipandang sebagai adanya kesetaraan atau ketidaksetaraan
gender. Pembagian tersebut semata-mata merupakan pembagian tugas yang
dipandang sama-sama pentingnya dalam upaya tercapainya kebahagiaan yang hakiki
di bawah keridloan Allah semata. Islam telah memberikan hak-hak kaum perempuan
secara adil, kaum perempuan tidak perlu meminta apalagi menuntut atau
memperjuangkannya, sebagaimana dalam surat Al Ahzab : 35
Artinya : “Sungguh, Laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan
perempuan mukmin, laki-laki dan perempuan yang dalam ketaatannya, laki-laki dan
perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan
perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan
perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara
kehormatannya, laki-laki yang menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan
untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”
Maksud dari ayat di atas, sebagai manusia kedua pihak mempunyai hak dan
kewajiban yang sama, pahala dan kebaikan di hari akhir pun juga demikian. Setiap
individu akan dihisab berdasarkan perbuatan yang mereka lakukan di dunia.
Pada dasarnya gender dalam perspektif Islam menganggap kaum perempuan
mempunyai kedudukan yang sama dengan laki-laki yaitu sebagai hamba Allah.
Sebagaimana dalam Surat An Nahl : 97)
Artinya : “ Dan Sungguh, Kami mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit
disebabkan apa yang mereka kerjakan.”
Jadi kesetaraan gender adalah suatu keadaan di mana perempuan dan laki-laki
sama-sama menikmati status, kondisi atau kedudukan yang setara sehingga terwujud
secara penuh hak-hak dan potensinya bagi pembangunan di segala aspek kehidupan
berkeluarga, berbangsa dan bernegara. Islam mengamanahkan manusia untuk
memperhatikan konsep keseimbangan, keserasian, keselarasan, keutuhan baik sesama
umat manusia maupun dengan lingkungan alamnya.
Konsep relasi gender dalam Islam lebih dari sekedar mengatur keadilan
gender dalam masyarakat, tetapi secara teologis mengatur pola relasi mikrokosmos
(manusia), makrokosmos (alam) dan Tuhan. Hanya dengan demikian manusia dapat
menjalankan fungsinya sebagai khalifah dan hanya khalifah yang sukses yang dapat
mencapai derajat abdi sesungguhnya.
Islam mengenalkan konsep relasi gender yang mengacu pada ayat-ayat (Al
Qur an) substantif yang sekaligus menjadi tujuan umum syariah antara lain
mewujudkan keadilan dan kebajikan. (An Nahl {16} : 90)
Artinya : “ Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan, member kepada kaum kerabat dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia member pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mengambil pelajaran.”
Al Qur an mengatur tentang kesetaraan Gender
Dalam Surat Al Isra ayat 70 yakni bahwa Allah swt telah menciptakan
manusia yaitu laki-laki dan perempuan dalam bentuk yang terbaik dalam kedudukan
yang paling terhormat. Manusia juga diciptakan mulia dengan memilki akal, perasaan
dan menerima petunjuk.
Oleh karena itu Al Qur an tidak mengenal perbedaan antara laki-laki dan
perempuan karena di hadapan Allah Swt, laki-laki dan perempuan mempunyai derajat
dan kedudukan yang sama dan yang membedakan antara laki-laki dan perempuan
hanyalah dari segi biologisnya.
Adapun dalil-dalil dalam Al Qur an yang mengatur dalam kesetaraan gender adalah:
1.Tentang hakikat penciptaan laki-laki dan perempuan
Surat Ar Ruum:21, surat An Nisaa:1, surat hujurat:13 yang intinya berisi bahwa
Allah Swt telah menciptakan manusia berpasang-pasangan yaitu laki-laki dan
perempuan supaya mereka hidup tenang dan tentram agar saling mencintai dan
menyayangi serta kasih mengasihi. Menunjukkan hubungan yang saling timbal
balik antara laki-laki dan perempuan dan tak ada satupun yang superioritas.
2.Tentang kedudukan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan
Surat Al Imran :195, An Nisaa: 124, surat An Nahl : 97, Surat At taubah : 71-72,
Al Ahzab : 35. Ayat-ayat tersebut menunjukkan kepada laki-laki dan perempuan
untuk menegakkan nilai-nilai Islam dengan beriman, bertaqwa dan beramal. Allah
juga memberikan peran dan tanggungjawab yang sama antara laki-laki dan
perempuan dalam menjalankan kehidupan spiritualnya. Dan Allah memberikan
sanksi yang sama terhadap perempuan dan laki-laki untuk semua kesalahan yang
dilakukannya. Kedudukan dan derajat antara laki-laki dan perempuan di mata
Allah Swt adalah sama yang membuatnya tidak sama hanyalah keimanan dan
ketaqwaannya.
Penyebab timbulnya peran domestik bagi perempuan tentu tidak lepas dari
beberapa hal, diantaranya ialah faktor bawaan fisik, hanya perempuan yang oleh
Allah dibekali pengalaman dan perlengkapan komplit untuk proses pengasuhan anak.
Mulai dari menstruasi masa kehamilan dan menyusui. Tentu saja hal – hal tersebut
merupakan kodrat alamiah yang tidak bisa ditukar dengan laki – laki.
Walaupun sudah menjadi kodrat namun ada saja usaha – usaha para feminis
penuntut kesetaraan gender 50/50, sehingga sering kali menuduh bahwa keluarga
adalah penghambat tuntutan tersebut.
Diantara penuntut dihilangkannya peran domestik perempuan adalah para
feminis—liberal. Mereka menganggap bahwa institusi keluarga, posisi sebagai istri
tak ubahnya hidup dalam penjara tirani, dibawah kekuasaan seorang tiran, yaitu
suami. Untuk itu mereka banyak menuntut revisi terhadap undang – undang
perkawinan, untuk melindungi hak – hak wanita terhadap kepemilikan properti, juga
untuk pembagian tugas antara suami dan istri.
Percobaan semacam itu sudah pernah dilakukan oleh para komunis uni soviet,
negara Skandinavia seperti swedia dan denmar, juga sebagian masyarakat yahudi
israel. Namun akhirnya semuanya mengalami kegagalan, karena bagaimanapun juga
perempuan ketika hamil fisiknya tidak sekuat laki – laki, dan ketika ia menyusui
secara almiah ia tidak nbisa berjauhan dengan si buah hati.
Baginda rasullah SAW sendiri selaku kepala rumah tangga dan pimpinan
umat tidak segan membantu para istri beliau dalam urusan domestik. Beliau
terkadang ikut menggiling gandum, mengambil air, dan menjahit pakaian. Demikian
juga dicontohkan dalam rumah tangga Ali dan Fatimah, puteri kesayangan
Rasulullah. Atas petunjuk sang ayah yang juga nabi mulia, Fatimah ditugakan untuk
mnegurusi masalah rumah tangga, sementara ali bekerja mencari nafkah di luar
rumah, namun pada saat tertentu tidak menutup kemungkinan mereka saling
membantu satu ama lain. Hubungan mereka terjalin dengan baik dalam cinta dan
keharmonisan, bukan seperti hubungan tuan dengan hamba sahaya.
Peran publik bukanlah hal yang baru. Sejarah telah mencatat beberapa nama
perempuan yang sukes dalam menjalankan peran publiknya. Sebut saja ratu Bilqis
dari kerajaan saba’ yang sekarang dikenal dengan negeri yaman. Dia adalah ratu yang
adil, ijaksana, dan sangat pemberani dalam mengambil keputusan untuk masa depan
negerinya. Sehingga saba’ menjadi kerajaan yang sangat maju dalam hal kebudayaan,
perdagangan, astronomi, pertanian dan arsitektur. Terbukti dengan ditemukannya
banguna yang sangat mengagumkan yaitu bekas bendungan ma’rib, sebuah bangunan
yang fenomenal untuk ukuran abad 950 SM.
Pada masa Rasulullah SAW pun telah terekam dalam tarikh islam tentang
beberapa perempuan yang menjalankan peran publik dengan baik. Para istri
rasulullah menjalankan peran sebagai pedagang, pengrajin, guru yang mengajar umat,
demikina juga para shahbiyah atau sahabat wanita,. Sebut saja As Syifa binti
Abdullah, guru perempuan pertama dalam islam, yang setelah keislamannya
mengajari paraperempuan untuk baca tulis. Rasulullah SAW bahkan memintanya
untuk mengajari hafshah Radhiyallahun’anha tentang baca tulis dan ilmu pengobatan
dengan ruqyah.
Mengenai peran publik, ilam juga tidak pernah melarang secara tegas. Terbukti
banyak para shahabiyah yang turut serta dalam berjihad dan berperan aktif dalam
ranah publik sejak masa Rasullah SAW hingga masa sahabat maupun tabi’in. Tentu
saja setelah mereka menyelesaikan tugas domestiknya dengan baik, dan juga
menjunjung tinggi norma – norma agama islam. Hal ini dibuktikan dengan suksesnya
para sahabat perempuan ini dalam membangun rumah tangga dan mendidik anak –
anak mereka menjadi generasi yang berkualitas. Dengan berpegang pada aturan –
aturan islam nmaka para muslimah tersebut bisa sukses diranah domestik, dan
bersinar terang di ranah publik.
C. KESIMPULAN
Pada dasarnya secara fungsional dan tugasnya setiap wanita memiliki kewajiban
yang mulia yang tidak bisa tergantikan, demikian pula dengan laki-laki, namun pada
harkat dan martabat baik laki-laki maupun perempuan adalah sama.
DAFTAR PUSTAKA
http://nurhajs.blogspot.com/2013/11/gender-dalam-perspektif-islam.html
http://myzahraadres.blogspot.com/2017/01/peran-domestik-dan-peran-publik.html
http://alifializanawarti.blogspot.com/2012/06/makalah-gender-dalam-islam.html