Kumpulan Sutta
S. Dhammasiri
Catatan:
1. Buku ini dapat dibagikan atau disebarluaskan dengan cara apa pun
dan untuk keperluan apa pun tanpa perlu meminta izin dari penulis.
Ukuran yang diberikan oleh Sang Buddha dalam sutta ini sangat
sederhana dan praktis, bukan teoritis semata. Karena itu, semoga
sutta ini bisa menjadi inspirasi tersendiri bagi setiap praktisi untuk
mengukur kesuksesannya dalam praktik. Apapun kata orang, setiap
praktisi tidak perlu ragu, tidak perlu khawatir karena dirinya dapat
mengukur sendiri sampai sejauh mana kemajuan praktiknya.
Bāhiya Sutta: Teknik Tercepat
Ada tiga sutta dalam Nikāya yang diberi nama Bāhiya Sutta. Dua
sutta terdapat dalam Saṃyutta Nikāya, satu dalam Saḷāyatanavagga
dan satu lagi terdapat dapat Māhavagga. Satu lagi terdapat dalam
Udāna. Ketiganya memuat topik yang berbeda dan diceramahkan
kepada orang yang berbeda. Hanya saja, ada kesamaan di antara
ketiganya: Ketiga orang tersebut menjadi arahat. Kedua Bāhiya dalam
Saṃyutta Nikāya menjadi arahat setelah berlatih secara intensif;
sedangkan Bāhiya dalam Udāna menjadi arahat tepat setelah selesai
mendengarkan wejangan dari Sang Buddha.
Bāhiya Sutta yang dibahas kali ini adalah Bāhiya Sutta dari
Udāna. Bāhiya Sutta dalam Udāna adalah sutta nomor 10 dalam
Bodhivagga atau vagga pertama dalam Udāna. Karena itu, sutta ini
sering pula diacu dengan sebutan Udāna 1.10. Dalam edisi PTS, sutta
ini terdapat dalam halam 6.
Kita menderita karena apa yang kita lihat, dengar, rasakan melalui
sentuhan hidung, lidah, dan kulit serta dari apa yang kita pikirkan.
Oleh karena itu, apa yang diajarkan oleh Sang Buddha sebenarnya
hanya berpangkal pada bagaimana agar kita tidak menderita saat
melihat, mendengar, merasakan dan berpikir.
Ketika kita tidak ‘dengan hal itu’ dan ‘tidak masuk ke dalamnya’,
kita tidak bisa mengidentifikasi ada di sini atau di sana, juga tidak
di antara keduanya. Saat kita masih terpesona atau mencengkeram
objek, berarti masih ada dualism antara diri kita dan objek. Dengan
demikian, identitas diri masih ada, baik indentitas diri sendiri maupun
identitas diri objek indera. Jika identitas keduanya tidak ada, yang ada
hanyalah proses persepsi, entah itu melihat, mendengar, merasakan,
atau berpikir. Proses persepsi itu pun bisa terjadi karena minimal ada
objek, indera dan kesadaran indera. Namun, jika diteliliti lebih lanjut,
ketiganya ada karena didukung dan dikondisikan oleh ribuan faktor
lainnya.
Di akhir sutta, ada dua syair yang diutarakan oleh Sang Buddha.
Di mana tidak ada air maupun tanah
Sutta ini diberi nama demikian karena tema dalam sutta ini adalah
tentang pertanyaan mengenai penceramah. Istilah ‘dhammakathika’
sendiri dapat diartikan sebagai ‘penceramah’, ‘pembabar dhamma’.
Sedangkan kata ‘puccha’ dapat diterjemahkan sebagai ‘pertanyaan’.
Karena itu, nama sutta ini dapat diartikan sebagai ‘Kotbah tentang
Pertanyaan mengenai Penceramah Dhamma’. Namun, Bhikkhu Bodhi
menerjemahkannya sebagai ‘Seorang Penceramah Dhamma’ (A
Speaker on the Dhamma).
Sutta ini perlu dijadikan rujukan secara khusus bagi mereka yang
berprofesi sebagai pembabar dhamma. Isinya perlu dipahami dengan
seksama. Hal ini penting karena banyak pembabar dhamma yang
menganggap bahwa apa yang disampaikannya adalah ajaran Sang
Buddha tetapi isinya tidak bertujuan untuk menimbulkan nibbidā,
virāga maupun nirodha terhadap mata, telinga, hidung, lidah, kulit
dan pikiran. Justru sebaliknya, apa yang disampaikan bertujuan untuk
mengumbar pemuasan nafsu indera, demi tercapainya kehidupan yang
berulang-ulang.
“Di manakah tanah, air, api dan udara tidak menemukan pijakan?
Di mana panjang dan pendek, besar dan kecil, jelek dan bagus—
Di situ panjang dan pendek, besar dan kecil, jelek dan bagus—
Sutta ini adalah salah satu sutta yang sudah cukup dikenal
bahkan cukup terkenal di kalangan umat Buddha. Pasalnya, sutta ini
telah banyak dijadikan referensi untuk mencapai kesuksesan dalam
kehidupan berumah tangga. Oleh sebab itu, sutta ini telah banyak
dibahas dalam berbagai kesempatan, baik dalam ceramah di vihāra
atau dalam diskusi-diskusi Buddhis.
Ada tiga sutta yang diberi nama Rohitassa Sutta atau Rohita
Sutta. Yang pertama terdapat dalam Saṃyutta Nikāya, tepatnya
dalam Sagāthāvagga. Dalam edisi modern, sutta ini terdapat pada
halaman 61, Volume I. Yang kedua, dua sutta yang lainnya terdapat
dalam Aṅguttara Nikāya. Kedua sutta ditempatkan secara berurutan
sehingga yang pertama diberi nama hanya Rohitassa Sutta dan yang
kedua adalah Dutiyarohitassa Sutta. Keduanya berada ada dalam
Rohitassavagga, Catukkanipāta atau “Buku Kelompok Empat”;
berada di halaman 47, Volume II. Bedanya, sutta yang pertama isinya
sama seperti yang terdapat dalam Saṃyutta Nikāya; sedangkan yang
kedua, Sang Buddha menceritakan kembali sutta tersebut kepada para
bhikkhu.
Ada tiga sutta yang diberi nama Upāli Sutta. Pertama di dalam
Majjhima Nikāya, dan dua lainnya ada di dalam Aṅguttara Nikāya.
Ketiga sutta dengan nama yang sama tersebut, memuat tema yang
berbeda.
Upāli Sutta yang dibahas ini adalah dari Aṅguttara Nikāya. Sutta
ini berasal dari Dasakanipāta atau Kelompok Sepuluh. Secara edisi
modern, sutta ini berada di halaman 70, Vol. V. Sutta ini dibabarkan
secara langsung oleh Sang Buddha atas pertanyaan Y.M. Upāli. Karena
itu, sutta ini diberi nama pendengarnya, Upāli.
Apa yang diungkapkan oleh Sang Buddha dalam sutta ini sangat
selaras dengan sutta-sutta lainnya. Di berbagai tempat Sang Buddha
telah mengatakan bahwa pikiran lebih penting, memainkan peran
yang tidak dapat disepelekan begitu saja. Karena itu, pikiran telah
mendapatkan tempat yang cukup signifikan dalam literatur Buddhis.
Karena yang menjadi titik penekanan adalah pikiran, pikiran pula
yang perlu dibebaskan dari belenggu batin.
Melihat dan mengalami sendiri kecerdikan Sang Buddha
dalam berdebat, Upāli pun bertekut lutut. Sebenarnya, dia mengakui
kekalahannya sejak pertanyaan pertama, tetapi demi mempelajari lebih
dalam pengetahuan Sang Buddha, dia tetap terus mempertahankan
pendapatnya. Karena itu, sebagai wujud keyakinannya, dia
menyatakan diri untuk menjadi murid Sang Buddha. Sang Buddha
tidak serta merta menerima permohonan tersebut dan meminta Upāli
untuk mempertimbangkannya dengan matang.
Semoga sutta ini mampu menyadarkan kita bahwa selama ini kita
telah mempersepsikan, memikirkan, dan memandang dunia dengan
persepsi yang terdistorsi. Semoga sutta ini mampu mengingatkan kita
untuk kembali melangkah di jalan yang seharusnya.
Lonaphala Sutta: Ketika Suatu Perbuatan
Berakibat Berbeda
Sīvaka Sutta: Tidak Semua karena Kamma
Tentu, ada beberapa poin yang layak untuk dicermati dari sutta
ini. Pertama, mengapa merenungkan keluhuran keyakinan, moralitas,
sepuluh aspek tersebut bisa menyembuhkan, menghilangkan rasa
sakit tepat saat itu juga? Sebenarnya, ketika seorang sotāpanna ingat
Buddha, Dhamma dan Saṅgha, muncul kegiuran (pīti) kegiuran dan
kebahagiaan dalam dirinya. Dengan adanya kegiuran dan kebahagiaan,
sakit pun akan lenyap.
Pada saat, Y.M. Sāriputta dan Y.M. Ānanda mau datang memenuhi
undangan, ini sudah merupakan indikasi bahwa Anāthapiṇḍika adalah
orang yang diperhatikan dan disayangi. Terlebih lagi, ketika Y.M.
Sāriputta memberikan nasihat yang berkaitan dengan praktiknya.
Hubungan kasih sayang semacam ini telah menimbulkan hormon
oksitoksin sehingga bisa menimbulkan perasaan disayangi dan
dicintai. Dengan terproduksinya tiga hormon tersebut, Anāthapiṇḍika
sembuh dari sakitnya.
Poin lain yang perlu dibahas adalah sepuluh aspek praktik yang
dimiliki oleh Anāthapiṇḍika. Selain memiliki jalan mulia berunsur
delapan, Anāthapiṇḍika juga memiliki dua aspek lainnya, yaitu
pengetahuan benar dan kebebasan benar. Biasanya mereka yang
masih belum mencapai kebebasan sepenuhnya, tidak akan dikatakan
memiliki dua aspek ini. Dengan kata lain, dua aspek ini sering kali
menjadi bagian eksklusif mereka yang telah menjadi arahat. Yang
menjadi pertanyaan, mengapa Anāthapiṇḍika dikatakan memiliki
dua aspek ini? Apakah dia adalah seorang arahat? Apakah ini adalah
kesalahan dalam percetakan atau transmisi?
Sutta ini mengajarkan kepada kita bahwa kita perlu mengingat hal-
hal yang positif, kemajuan dalam praktik, kesuksesan dalam praktik;
juga mengingat target yang belum dicapai dan mengembangkan
kasih sayang. Dengan mengingat hal-hal yang positif ini, hidup kita
akan menjadi bahagia, bebas dari penderitaan, baik penderitaan fisik
maupun batin. Sebagaimana telah dibahas, mengingat hal-hal yang
menyenangkan juga dianjurkan agar hormon yang positif dapat
diproduksi. Oleh karena itu, marilah kita mulai dari sekarang, demi
kehidupan yang lebih baik, demi dunia yang lebih baik pula.
Ciraṃ tiṭṭhatu saddhammo!