Anda di halaman 1dari 103

Memahami Praktik Secara Integral

Kumpulan Sutta

S. Dhammasiri
Catatan:

1. Buku ini dapat dibagikan atau disebarluaskan dengan cara apa pun
dan untuk keperluan apa pun tanpa perlu meminta izin dari penulis.

2. Semua artikel yang ada dalam buku ini telah dipublikasikan


melalui akun Facebook: Dhammasiri Sam
Daftar Isi
1. Anaṇaka Sutta: Empat Jenis Kebahagiaan dan Kebebasan
dalam Kehidupan Berumah Tangga 5

2. Atthinukhopariyāya Sutta: Metode untuk Mengukur


Kesuksesan Praktik 10

3. Bāhiya Sutta: Teknik Tercepat 15

4. Caṅki Sutta: Memahami Kebenaran 23

5. Dhammakathikapuccha Sutta: Penceramah Dhamma yang


Sesungguhnya 29

6. Kevaddha Sutta: Keistimewaan Mengajar 32

7. Pattakamma Sutta: Kehidupan Berumah Tangga Sebagai


Landasan Praktik 39

8. Rohitassa Sutta: Konsep Tentang Dunia 46

9. Susima Sutta: Ketika Pencapaian Jhāna dan Lima Jenis


Abhiñña Tidak Penting 51

10. Upāli Sutta: Sepuluh Manfaat Vinaya 59

11. Upāli Sutta: Pentingnya Pikiran dalam Perbuatan 65

12. Vipallāsa Sutta: Terjebak dalam Pandangan 72

13. Lonaphala Sutta: Ketika Suatu Perbuatan Berakibat


Berbeda 75

14. Rathavinīta Sutta: Tujuh Kereta Kencana Menuju Nibbāna


80

15. Sīvaka Sutta: Tidak Semua karena Kamma 86

16. Sarakāni Sutta: Ketika Sang Buddha Ditertawakan 90

17. Paṭhamaanāthapiṇḍika Sutta: Perenungan Sebagai Obat


95
Anaṇaka Sutta: Empat Jenis Kebahagiaan dan
Kebebasan dalam Kehidupan Berumah Tangga

Anaṇaka Sutta adalah salah satu sutta dalam Aṅguttara Nikāya.


Sutta ini terletak persis setelah Pattakamma Sutta. Karena itu, sutta ini
masih berada dalam Nipāta dan volume yang sama. Hanya saja, sutta
ini terdapat pada halaman 69.

Dalam edisi Pali-Texts Society atau edisi internasional, yang


berdasarkan pada Tipitaka Sri Lanka, sutta ini diberi nama Anaṇaka.
Sedangkan dalam tradisi Burma, yang menjadi dasar penulisan Cattha
Saṅghayana CD, diberi nama Ānaṇya. Baik anaṇaka maupun ānaṇya
diterjemahkan sebagai bebas dari hutang. Dinamakan demikian karena
salah satu topik dalam sutta ini adalah mengenai kebahagiaan yang
didapatkan dari bebas dari hutang.

Wejangan Dhamma ini disampaikan sendiri oleh Sang Buddha


kepada Anāthapiṇḍika, yang saat itu mengunjungi Sang Buddha.
Dalam kesempatan tersebut, Sang Buddha menyebutkan bahwa ada
empat jenis kebahagiaan yang memungkinkan untuk dinikmati dan
didapatkan oleh para perumah tangga. Empat jenis kebahagiaan
tersebut adalah kebahagiaan karena memiliki kekayaan (atthisukha),
kebahagiaan karena bisa menikmati harta kekayaan (bhogasukha),
kebahagiaan karena bebas dari hutang (anaṇasukha) dan kebahagiaan
karena bebas dari celaan (anavajjasukha).

Sebagai perumah tangga, setiap perumah tangga memiliki


kebebasan untuk memiliki kekayaan sesuai dengan yang diharapkan.
Namun, kekeyaan tersebut harus didapatkan dengan cara bekerja
keras, dilakukan dengan semangat, keuletan, dedikasi yang tinggi.
Dalam sutta ini, ada tiga istilah yang dipergunakan oleh Sang
Buddha. Ketiganya adalah uṭṭhānaviriyādhigatā, bāhābalaparicitā dan
sedāvakkhittā.

Istilah uṭṭhānaviriyādhigatā dapat diartikan sebagai didapatkan


dengan semangat yang membara, semangat yang berkesinambungan.
Hal ini penting karena untuk bisa mengumpulkan harta seseorang
tidak bisa melakukannya dengan semangat yang terputus-putus,
semangat yang tidak berkelanjutan. Jika seseorang bekerja dengan
semangat yang tidak berkesinambungan, dia tidak akan bisa mencapai
kesuksesan secara maksimal.

Aspek yang kedua adalah bāhābalaparicitā. Istilah tersebut


dapat diartikan sebagai dikumpulkan dengan kekuatan tangan sendiri.
Maksudnya adalah kekayaan yang didapatkan bukan hasil dari hasil
kerja keras orang lain, melainkan hasil kerja kerasnya sendiri.

Yang ketiga adalah sedāvakkhittā. Artinya, tetesan keringat


sendiri. Maksud dari frase ini adalah bahwa kekayaan yang didapatkan
merupakan hasil yang didapat dengan niat, tekad, keseriusan,
kesungguhan dan keuletan. Dengan kata lain, dia benar-benar
menginginkan untuk mendapatkan harta kekayaan tersebut.

Tidak hanya tiga faktor tersebut, kekayaan perlu didapatkan


dengan cara yang benar, sehingga kekayaan tersebut menjadi kekayaan
yang sah, kekayaan yang benar-benar miliknya. Kekayaan tersebut
didapatkan bukan dengan cara-cara ilegal, cara-cara yang melanggar
norma dan ketentuan yang berlaku. Oleh karena itu, dalam sutta ini
Sang Buddha menggunakan frase dhammikā dhammaladdhā. Frase
ini menunjukkan bahwa sekalipun dalam kehidupan berumah tangga
moralitas tidak dapat diabaikan begitu saja.

Saat menyadari bahwa kekayaan yang didapatkan adalah hasil


kerja keras sendiri, hasil tetasan keringat sendiri, hasil yang didapat
dengan penuh semangat, dan juga tanpa mengabaikan nilai-nilai moral,
muncullah kebahagiaan dalam dirinya. Kekeyaan yang dikumpulkan
dengan tangan sendiri, keringat sendiri dan usaha sendiri, tanpa
menyakiti orang lain, tanpa menimbulkan kerugian pada orang lain,
akan menimbulkan kebahagiaan, tidak hanya untuk dirinya sendiri,
tetapi untuk orang lain juga.

Dengan kekayaan yang didapat atas keringat sendiri, usaha sendiri,


dan tangan sendiri, serta cara-cara yang dilandasi moral yang baik, akan
membuat pemiliknya merasa nyaman untuk menggunakan kekayaan
tersebut. Tidak akan muncul kekhawatiran untuk menggunakan
kekayaan tersebut sebab, tidak ada ketakutan untuk dituntut
mengembalikan kekayaan tersebut atau mengganti kerugian yang
diderita oleh orang lain. Dengan demikian, kekayaan yang dimilikinya
bisa dinikmati semaksimal mungkin untuk kebahagiaannya sendiri
juga untuk melakukan kebajikan, berbagi kepada yang membutuhkan.
Inilah yang dimaksud dengan kebahagiaan karena bisa dengan bebas
menggunakan dan menikmati harta kekayaan yang telah didapatkan.

Dengan adanya harta kekayaan yang dikumpulkan dengan usaha


sendiri, keringat sendiri, tangan sendiri, dan dengan cara yang benar,
diharapkan bahwa kekayaan yang didapatkan bukan karena hutan,
bukan karena pinjaman. Sebanyak apapun kekayaan yang dimiliki,
jika kekayaan tersebut dikumpulkan atas dasar pinjaman atau hutang,
jelas kekayaan semacam itu bisa memuaskan egonya tetapi tidak
menimbulkan kebahagiaan.
Bagi orang yang memiliki kekayaan tetapi disertai dengan hutang,
batinnya tidak akan tenang karena harus memikirkan hutang tersebut,
bagaimana cara membayarnya, kapan harus membayar hutang tersebut.
Oleh karena itu, menurut Sang Buddha, perumah tangga yang hidup
tanpa hutang, baik besar maupun kecil, akan merasa bahagia, akan
merasa tenang karena dirinya bisa hidup dengan bebas.

Yang keempat, para perumah tangga bisa menikmati kebahagiaan


karena bebas dari celaan. Dalam penjelasan-Nya, Sang Buddha
mengatakan bahwa para perumah tangga akan merasa bahagia
ketika merenungkan bahwa mereka bebas dari celaan. Celaan yang
didapatkan ada tiga bentuknya, yaitu celaan karena perilaku, ucapan
dan pikiran.

Para perumah tangga yang mengumpulkan kekayaan dengan


cara bekerja keras, dengan berusaha yang benar, dengan cara-cara
yang benar, menggunakan dan menikmati kekayaan dengan cara yang
benar, terbebas dari hutang, dapat dikatakan hidupnya sempurna.
Orang yang hidupnya sempurna seperti itu, tentu akan bebas dari
celaan.

Dalam wejangan-Nya, Sang Buddha menutupnya dengan


dua buah syair. Syair yang pertama menyimpulkan pentingnya tiga
jenis kebahagiaan pertama. Dengan memiliki tiga jenis kebahagiaan
tersebut, perumah tangga dapat melihat dengan kebijaksanaan (tato
paññā vipassati). Dengan mengetahui melalui pemahaman secara
langsung, perumah tangga menikmati dua jenis kebahagiaan. Dua jenis
kebahagiaan tersebut adalah kebahagiaan menikmati harta kekayaan,
menikmati kesenangan inderawi dan kebahagiaan spiritual.

Bebas dari celaan melalui perilaku jasmani dan ucapan dicapai


dengan cara hidup penuh pengendalian diri di tengah-tengah
masyarakat. Pikiran akan dikatakan bebas dari celaan, sebagaimana
yang telah diuraikan dalam Pattakamma Sutta, jika terbebas dari lima
rintangan batin. Dalam pandangan Sang Buddha, kebagiaan spiritual
yang dapat dinikmati sesungguhnya sangat berharga. Bahkan, nilainya
tidak sebanding dengan kebahagiaan duniawi. Jika dibandingkan,
kebahagiaan duaniawi tidak ada seperenam belasnya kebahagiaan
spiritual atau kebahagiaan karena menikmati kebebasan dari celaan
secara fisik, ucapan maupun pikiran.

Semoga empat jenis kebahagiaan ini dapat dinikmati secara


maksimal oleh mereka yang menjalani kehidupan rumah tangga
sehingga kehidupan mereka tidak hanya sebatas untuk urusan duniawi
tetapi juga untuk meningkatkan kualitas spiritual masing-masing.
Dengan demikian, kehidupan sebagai perumah tangga dapat dimanfaat
secara maksimal.
Atthinukhopariyāya Sutta: Metode untuk
Mengukur Kesuksesan Praktik

Atthinukhopariyāya Sutta adalah salah satu sutta dalam Saṃyutta


Nikāya. Secara tradisional, sutta ini terdapat dalam Saḷāyatana
Saṃyutta, Saḷāyatana Vagga. Dalam edisi modern, terdapat pada
halaman 138, Volume IV.

Sutta ini diceramahkan oleh Sang Buddha kepada para


bhikkhu, meski tanpa menyebut tempat kejadian. Sutta ini diberi
nama berdasarkan awalan kalimat pertama. Awalan kalimat pertama
sutta ini adalah “Atthi nu kho, bhikkhave, pariyāyo”. Tentu dengan
menghilangkan kata bhikkhu. Oleh Bhikkhu Bodhi, frase tersebut
diterjemahkan sebagai “Apakah ada suatu metode?” (Is There a
Method?). Sudah barang tentu pemberian nama sutta ini berbeda dari
yang lainnya karena biasanya sutta-sutta yang ada, terutama yang
sudah pernah dibahas, menggunakan nama pendengarnya, tema, atau
tempat ceremah.

Sutta ini dibuka secara langsung dengan pertanyaan Sang


Buddha kepada para bhikkhu. Sang Buddha menanyakan apakah
adalah suatu metode yang dapat dipergunakan untuk mendeklarasikan
pengetahuan akhir bahwa kelahiran telah diputuskan, kehidupan suci
telah dijalani, apa yang perlu dilakukan telah dilakukan, tidak ada
kelanjutan lagi. Tentunya, deklarasi semacam itu tanpa bergantung
pada keyakinan (saddhā), kesukaan (ruci), tradisi (anussava), logika
(ākāraparivitakka), dan pandangan sekilas (diṭṭhinijjhānakkhanti).

Sebagaimana yang telah menjadi setereotip, para bhikkhu


menjawab bahwa Sang Buddha adalah sumber segalanya. Karena itu,
mereka memohon kepada Sang Buddha untuk menjelaskan pertanyaan
tersebut sehingga para bhikkhu dapat memahaminya dan mengingat
ajaran tersebut.

Sang Buddha kemudian mengatakan bahwa metode semacam


itu ada. Metode yang dapat dipergunakan sebenarnya tidak rumit;
tidak sulit, tetapi sangat sederhana sekali. Metode tersebut adalah
ketika organ indera bertemu dengan objeknya—mata dengan bentuk,
telinga dengan suara, hidung dengan bau, lidah dengan rasa, kulit
dengan sentuhan dan pikiran dengan dhamma—apakah dengan ada
keserakahan, kebencian dan kebodohan atau tidak. Ketika terjadi
kontak antara organ indera dengan objek, lalu muncul keserakahan,
kebencian dan kedohan secara internal, dirinya tahu adalah
keserakahan, kebencian dan kebodohan. Demikian juga, ketika tidak
ada keserakahan, kebencian dan kebodohan secara internal, dia tahu
ketiga hal tersebut absen darinya.

Ketika seseorang mengetahui sendiri, melihat sendiri bahwa


proses persepsi tersebut dan dampaknya terhadap munculnya
keserakahan, kebencian dan kebodohan, semua itu dilihat dan diketahui
melalui kebijaksanaan sendiri, kemampuannya sendiri, bukan karena
keyakinan, bukan karena tradisi, bukan karena berlogika, juga bukan
karena pandangan sekilas.

Inti dari praktik adalah lenyapnya keserakahan, kebencian dan


kebodohan. Ketika kita masih tergantung pada orang lain untuk
mengetahui lenyapnya keserakahan, kebencian dan kebodohan, berarti
hal itu bukan bukan melihat dan mengetahui sendiri. Demikian juga,
bukan karena kita menyukai lenyapnya keserakahan, kebencian dan
kebodohan, lalu keserakahan, kebencian dan kebodohan itu lenyap
begitu saja.

Istilah anussava sebenarnya dapat diartikan sebagai transmisi


verbal secara turun menurun dari satu generasi ke generasi yang
lainnya. Secara turun temurun, tradisi Buddhis telah mengajarkan
untuk melenyapkan kotoran batin. Demikian juga secara tradisi, telah
banyak yang sukses dalam berjuang untuk melenyapkan kotoran
batin. Jika karena tradisi tersebut, lalu kita mengklaim penganut
agama Buddha adalah penganut agama yang baik, penganut agama
yang bebas dari keserakahan, kebencian dan kebodohan atau minimal
penganut yang berusaha untuk melenyapkan ketiganya, ini adalah
pandangan secara tradisional. Realitanya tidaklah demikian.

Dalam realitas yang sesungguhnya, banyak umat Buddha baik


di level perumah tangga maupun mereka yang menjalani kehidupan
monastik, bukannya menghancurkan kotoran batin, mereka justru
memperkaya kotoran batin. Bukannya menghancurkan keserakahan,
kebencian dan kebodohan, mereka justru mengembangbiakkan
ketiganya. Hanya penganut agama Buddha yang sepenuhnya sadar
akan pentingnya menghancurkan ketiganya saja yang serius praktik.
Selebihnya adalah mereka yang menjadi pengagum agama Buddha
dan terseret oleh arus kehidupan.

Lenyapnya keserakahan, kebencian dan kebodohan juga bukan


karena berlogika. Sudah berulang kali Sang Buddha menyampaikan
bahwa agama Buddha bukanlah agama yang berdasarkan pada logika
(atakkāvacara). Contoh mudahnya, semua umat Buddha yakin pada
Tiratana. Juga selalu yakin akan konsep anattā. Juga tidak percaya
ritual mampu membuat mereka mencapai kesucian. Jika demikian,
logikanya, umat Buddha adalah para sotāpanna. Secara logika, ini
adalah benar, tetapi secara realitas, ini adalah tidak benar. Tidak
semua umat Buddha adalah para sotāpanna. Inilah sebabnya mengapa
lenyapnya kotoran batin harus dibuktikan berdasarkan pengalaman
secara langsung, dan bukan berdasarkan logika.

Selanjutnya, pencapaian kesempurnaan dalam praktik juga


bukan karena pandangan sekilas. Contohnya, hari ini bahagia, bebas
dari kesedihan, bebas dari kebencian, bebas dari keserakahan, dan
bebas dari kebodohan. Apakah itu serta merta menunjukkan kita
terbebaskan sepenuhnya? Tentu tidak. Kebebasan tersebut adalah
kebebasan sementara; kebebasan yang masih terkondisi. Begitu
kondisi yang mendukung tidak ada, kebahagiaan tersebut akan hilang
juga. Karena itu, ketika kita mengambilkan kesimpulan bahwa kita
telah terbebaskan karena merasakan kebebasan semacam itu, itu
adalah pandangan sekilas.

Pengetahuan tentang kebebasan yang sebenarnya muncul secara


langsung tepat saat kebebasan tersebut terjadi. Ini bukan karena
keyakinan, bukan karena rasa suka, bukan karena tradisi, bukan karena
logika ataupun pandangan sekilas. Pengetahuan semacam ini muncul
persis seperti pengetahuan yang muncul ketika kita kenyang. Ketika
kita kenyang, kita tahu secara pasti, bukan karena keyakinan, bukan
karena rasa suka, ataupun yang lainnya, melainkan kita mengerti dan
melihat sendiri rasa kenyang itu.

Yang mengetahui secara pasti bahwa keserakahan, kebencian dan


kebodohan lenyap secara pasti adalah diri sendiri. Ini semua terjadi
karena diri sendirilah yang terus menerus melihat dan mengetahui
kontak secara langsung antara organ indera dan objeknya. Terlepas
apapun sifat objeknya, apakah menyenangkan, tidak menyenangkan,
ataukah netral, diri sendiri tahu secara persis implikasi dari kontak
dengan objek tersebut. Kalau memang masih ada belenggu dalam
proses persepsi, dia paham bahwa belenggu itu masih ada. Kalua
belenggu itu sudah tidak lagi mewarnai proses persepsi, dia pun tahun
tanpa sedikit pun keraguan.

Ukuran yang diberikan oleh Sang Buddha dalam sutta ini sangat
sederhana dan praktis, bukan teoritis semata. Karena itu, semoga
sutta ini bisa menjadi inspirasi tersendiri bagi setiap praktisi untuk
mengukur kesuksesannya dalam praktik. Apapun kata orang, setiap
praktisi tidak perlu ragu, tidak perlu khawatir karena dirinya dapat
mengukur sendiri sampai sejauh mana kemajuan praktiknya.
Bāhiya Sutta: Teknik Tercepat

Ada tiga sutta dalam Nikāya yang diberi nama Bāhiya Sutta. Dua
sutta terdapat dalam Saṃyutta Nikāya, satu dalam Saḷāyatanavagga
dan satu lagi terdapat dapat Māhavagga. Satu lagi terdapat dalam
Udāna. Ketiganya memuat topik yang berbeda dan diceramahkan
kepada orang yang berbeda. Hanya saja, ada kesamaan di antara
ketiganya: Ketiga orang tersebut menjadi arahat. Kedua Bāhiya dalam
Saṃyutta Nikāya menjadi arahat setelah berlatih secara intensif;
sedangkan Bāhiya dalam Udāna menjadi arahat tepat setelah selesai
mendengarkan wejangan dari Sang Buddha.

Bāhiya Sutta yang dibahas kali ini adalah Bāhiya Sutta dari
Udāna. Bāhiya Sutta dalam Udāna adalah sutta nomor 10 dalam
Bodhivagga atau vagga pertama dalam Udāna. Karena itu, sutta ini
sering pula diacu dengan sebutan Udāna 1.10. Dalam edisi PTS, sutta
ini terdapat dalam halam 6.

Narasi yang diberikan dalam sutta ini mengatakan bahwa Bāhiya


hidup di pesisir pantai Suppāraka sebagai orang yang berpakaian kulit
kayu. Tentu ini bukanlah pakaian yang umum dipakai di India saat itu,
namun narasi dalam sutta tidak memberikan penjelasan tentang hal
ini. Alasan lengkap tentang hal ini adalah dalam Kitab Komentar.

Dalam Kitab Komentar dikatakan bahwa Bāhiya adalah seorang


pedagang. Dia berdagang ke negara lain terutama Suvaṇṇabhūmi
ydengan cara berlayar. Tujuh pelayaran telah sukses dijalani. Dalam
pelayaran yang kedelapan, kapalnya dihantam badai. Semua barang
dagangan habis, dan dia bertahan pada serpihan kapal yang ada. Pada
akhirnya sampailah dia di pesisir pantai Suppāraka.
Karena tidak ada pakaian yang tersisa, dia mengenakan kulit
kayu sebagai pakaian. Dengan berpakaian seperti itu, dia berpiṇḍapata.
Masyarakat yang tidak terbiasa melihat hal itu, merasa kagum. Mereka
pun memberikan persembahan jubah mewah, dan berbagai keperluan
lainnya. Bāhiya menolak semua persembahan itu dan sikapnya
membuat masyarakat semakin kagum padanya. Karena itu, mereka
pun sangat menghormati Bāhiya.

Dengan adanya penghormatan dan perlakuan masyarakat,


yang begitu antusias terhadap dirinya, Bāhiya pun berpikir bahwa
seandainya di dunia ini ada arahat atau orang yang telah memasuki
jalan menuju tingkat tersebut, dia pasti salah satunya. Hanya saja,
pemikiran semacam ini dipatahkan oleh devata. Devata tersebut
memberi tahunya bahwa ada arahat di Sāvatthī yang mengajarkan
jalan untuk menjadi arahat.

Tanpa berpikir panjang, Bāhiya menuju Sāvatthī untuk


menemui Sang Buddha. Sesampainya di Jetavana, para bhikkhu
memberitahukan bahwa Sang Buddha sedang berpiṇḍapata. Bāhiya
tidak ingin melewatkan momentum tersebut. Sesegera mungkin dia
pergi mencari Sang Buddha. Ketika bertemu dengan Sang Buddha yang
sedang berpiṇḍapata, Bāhiya langsung bersujud di kaki Sang Buddha.
Dia pun memohon agar mengajarkan dhamma demi kebahagiaannya
dalam jangka waktu yang lama.

Menanggapi permohonan tersebut, Sang Buddha merespons


bahwa saat itu bukanlah waktu yang tepat untuk mengajarkan dhamma.
Untuk yang kedua kalinya, Bāhiya tetap memohon agar Sang Buddha
mengajarkan Dhamma karena usia keduanya tidak pernah bisa
dipresdiksi. Untuk kedua kalinya, Sang Buddha tetap menolak, namun
Bāhiya tetap bersikeras memohon kepada Sang Buddha.
Karena terus memohon, Sang Buddha pun memberikan wejangan
singkat. Berikut ini adalah wejangan singkatnya:

‘‘Tasmātiha te, bāhiya, evaṃ sikkhitabbaṃ – ‘diṭṭhe diṭṭhamattaṃ


bhavissati, sute sutamattaṃ bhavissati, mute mutamattaṃ bhavissati,
viññāte viññātamattaṃ bhavissatī’ti. Evañhi te, bāhiya, sikkhitabbaṃ.
Yato kho te, bāhiya, diṭṭhe diṭṭhamattaṃ bhavissati, sute sutamattaṃ
bhavissati, mute mutamattaṃ bhavissati, viññāte viññātamattaṃ
bhavissati, tato tvaṃ, bāhiya, na tena; yato tvaṃ, bāhiya, na tena tato
tvaṃ, bāhiya, na tattha; yato tvaṃ, bāhiya, na tattha, tato tvaṃ, bāhiya,
nevidha na huraṃ na ubhayamantarena. Esevanto dukkhassā’’ti.

“Dalam hal ini, Bāhiya, kamu harus melatih dirimu demikian:


‘Dari apa yang dilihat, sekadar dilihat; dari apa yang didengar,
sekadar didengar; dari apa yang dirasakan, sekadar dirasakan; dari apa
yang dipikirkan sekadar dipikiran’. Dengan cara ini, Bāhiya, kamu
harus melatih dirimu, Bāhiya. Ketika, Bāhiya, dari apa yang dilihat,
sekadar dilihat; dari apa yang didengar, sekadar didengar; dari apa
yang dirasakan, sekadar dirasakan; dari apa yang dipikirkan sekadar
dipikiran, kamu tidak akan dengan ‘hal itu’; ketika kamu tidak dengan
‘hal itu’, Bāhiya, kamu tidak akan ‘masuk ke dalamnya’; ketika kamu
tidak ‘masuk ke dalamnya’, Bāhiya, kamu tidak akan di sini atau di luar
sana, juga tidak di antara keduanya. Hanya inilah akhir penderitaan.”

Nasihat ini cukup singkat. Meski demikian, Bāhiya langsung


mampu menghancurkan seluruh kotoran batinnya dan mencapai
tingkat kesucian arahat (Atha kho bāhiyassa dārucīriyassa bhagavato
imāya saṃkhittāya dhammadesanāya tāvadeva anupādāya āsavehi
cittaṃ vimucci). Yang menjadi pertanyaan mengapa bisa demikian?
Di mana letak rahasianya?
Sang Buddha saat itu sedang berpiṇḍapata sehingga tidak
memiliki banyak waktu. Karena itu, Sang Buddha tidak memberikan
penjelasan panjang lebar mengenai teori-teori untuk bisa membebaskan
diri dari penderitaan. Sang Buddha langsung saja mengajarkan apa
yang menjadi tujuan ajaran-Nya. Inti ajaran Sang Buddha adalah
menguasai proses persepsi karena proses persepsilah yang menjadi
dasar munculnya penderitaan.

Kita menderita karena apa yang kita lihat, dengar, rasakan melalui
sentuhan hidung, lidah, dan kulit serta dari apa yang kita pikirkan.
Oleh karena itu, apa yang diajarkan oleh Sang Buddha sebenarnya
hanya berpangkal pada bagaimana agar kita tidak menderita saat
melihat, mendengar, merasakan dan berpikir.

Tidak perlu melihat, mendengar, merasakan atau berpikir atau


menghindari penglihatan, pendengaran, kontak melalui hidung, lidah
dan kulit, serta proses berpikir, hanya sikap yang bodoh. Kalau memang
tidak perlu melihat, atau menghindari penglihatan adalah cara untuk
mendapatkan kebahagiaan, dapat dipastikan orang buta akan sangat
bahagia dan bebas dari penderitaan. Realitasnya, tidaklah demikian.

Tidak melihat, mendengar, merasakan dan berpikir atau


menghindarinya, hanyalah bentuk pelarian. Jelas ini bukanlah cara
bijak dalam menghadapi dunia ini. Cara bijak dalam menghadapi
dunia adalah kita mungkin saja melakukan kontak melalui organ
indera yang kita miliki. Hanya saja, kita tidak mencengkeram atau
terpesona oleh objek tersebut melalui tanda-tanda primer maupun
sekunder objek tersebut (cakkhunā rūpaṃ disvā na nimittaggāhī hoti
nānubyañjanaggāhī). Dengan demikian, saat itu apa yang terjadi adalah
melihat sekadar melihat, mendengar sekadar mendengar, merasakan
sekadar merasakan dan berpikir sekadar berpikir.
Ketika melihat sekadar melihat, mendengar sekadar mendengar,
merasakan sekadar merasakan dan berpikir sekadar berpikir, tidak
ada komentar, tidak ada penilaian, tidak ada penghakiman dan kita
tidak tenggelam dalam objek tersebut. Inilah sebabnya mengapa Sang
Buddha mengatakan kita tidak ‘dengan hal itu’ dan ‘tidak masuk ke
dalamnya’.

Ketika kita tidak ‘dengan hal itu’ dan ‘tidak masuk ke dalamnya’,
kita tidak bisa mengidentifikasi ada di sini atau di sana, juga tidak
di antara keduanya. Saat kita masih terpesona atau mencengkeram
objek, berarti masih ada dualism antara diri kita dan objek. Dengan
demikian, identitas diri masih ada, baik indentitas diri sendiri maupun
identitas diri objek indera. Jika identitas keduanya tidak ada, yang ada
hanyalah proses persepsi, entah itu melihat, mendengar, merasakan,
atau berpikir. Proses persepsi itu pun bisa terjadi karena minimal ada
objek, indera dan kesadaran indera. Namun, jika diteliliti lebih lanjut,
ketiganya ada karena didukung dan dikondisikan oleh ribuan faktor
lainnya.

Ketika kita sanggup melihat sedakar melihat, mendengar sekadar


mendengar, merasakan sekadar merasakan dan berpikir sekadar
berpikir, di situlah kita sanggup melihat apa adanya. Di sinilah kita
sanggup mengimplementasikan konsep yathābhūta ñāṇadassana,
melihat dan mengetahui sebagaimana apa adanya; bukan melihat dan
mengetahui sebagaimana yang kita inginkan sesuai dengan standar
moral maupun intelektual yang kita miliki.

Itulah sebenarnya letak rahasia mengapa Bāhiya bisa begitu


cepat merealisasi Nibbāna, bebas dari saṃsāra sepenuhnya. Dalam
sutta ini, jelas Sang Buddha tidak mengajarinya untuk menguasai atau
mengembangkan jhāna. Juga tidak ada indikasi bahwa Bāhiya telah
menguasai jhāna. Pun tidak menguasai teori meditasi yang muluk-
muluk. Dia menjadi petapa pun terpaksa, sekadar untuk bertahan
hidup. Namun, penghormatan, pujian dan perlakuan masyarakat telah
memicunya untuk berasumsi bahwa dirinya adalah seorang arahat.

Bagaimana pun tidak bisa dikatakan Bāhiya menerima karma


buruk karena setelah mendengarkan wejangan dari Sang Buddha dia
mati diseruduk sapi gila. Apa pun alasannya, beliau telah menyelesaikan
tugasnya. Tidak ada yang perlu dilakukan lagi. Apakah beliau hidup
atau mati, lalu mau untuk apa juga? Roda saṃsāra telah diputuskan,
tiada kelahiran kembali bagi beliau.

Sepulang dari piṇḍapata, Sang Buddha mendapati Bāhiya telah


terkapar di jalan. Sang Buddha menginstruksikan kepada para bhikkhu
untuk membawa Bāhiya ke vihara, mengkremasinya dan membuatkan
stupa untuknya. Sejauh pengetahuan yang saya miliki, ini adalah kali
pertama Sang Buddha menginstruksikan untuk membuat stupa.

Meski tidak berjubah, juga tidak pernah menyatakan diri sebagai


seorang umat Buddha, Sang Buddha tetap meminta kepada para
bhikkhu untuk memberikan penghormatan tertinggi kepada Bāhiya.
Tidak sekadar ritual semata, tetapi meminta kepada para bhikkhu
untuk mendirikan monument yang setara dengan orang-orang besar.

Setelah menyelesaikan tugasnya, para bhikkhu bertanya kepada


Sang Buddha mengenai kelahiran kembali Bāhiya. Sang Buddha
mengatakan bahwa Bāhiya adalah orang bijaksana, hidup sesuai
Dhamma dan tidak menyibukkan Sang Buddha dengan berbagai
pertanyaan. Sang Buddha pun mendeklarasikan bahwa Bāhiya telah
merealisasi Nibbāna tanpa sisa.

Di akhir sutta, ada dua syair yang diutarakan oleh Sang Buddha.
Di mana tidak ada air maupun tanah

Juga tidak ada api maupun angin yang menemukan pijakan

Tidak ada bintang berkerlip, tiada matahari memancarkan


sinarnya

Tiada sinar rembulan, tetapi kegelapan tiada berkuasa

Ketika seorang petapa, seorang brahmana mengetahui hal ini

Melalui pengalamannya sendiri

Dia bebas dari bentuk maupun bukan bentuk

Bebas dari kebahagiaan dan penderitaan.

Di hadapan Saṅgha, Sang Buddha mendeklarasikan bahwa


Bāhiya adalah orang yang paling cepat memahami dhamma
(khippābhiññānaṃ). Tentu, orang akan beragrumen begini atau begitu
sehingga Bāhiya mampu seperti itu, tetapi sebenarnya apa yang
dilakukan Bāhiya hanyalah mengembangkan potensi dirinya sebagai
seorang manusia secara maksimal.

Siapa pun yang mengembangkan potensi dirinya secara maksimal


akan mampu mencapai kondisi yang sama pula seperti Bāhiya. Tidak
ada alasan, Bāhiya hidup di zaman Sang Buddha, sementara kita
hidup ribuan tahun setelah Sang Buddha wafat. Pun tidak ada alasan
kebijaksanaan di zaman Sang Buddha berbeda dari kebijaksanaan di
zaman sekarang. Sang Buddha menjamin bahwa apakah Sang Buddha
ada atau tidak, dhamma tetap akan ada, dan sepanjang dhamma
dipraktikkan sepanjang itu pula dunia ini tidak akan kekurangan orang
yang mencapai kesucian.
Seharusnya, sutta ini bisa memicu munculnya hiri dan otapa
dalam diri kita masing-masing, sehingga muncullah saṃvega atau
semangat untuk praktik. Seharusnya kita yang mengaku sebagai umat
Buddha, dan bahkan telah menjadi umat Buddha selama puluhan tahun
merasa malu dengan Bhāhiya. Secara tekstual, Bhāhiya bukanlah
seorang Buddhis, bukan pula orang yang ahli dalam ajaran Sang
Buddha. Meski demikian, Bhāhiya mampu menjadi arahat, tingkat
kesucian tertinggi, sementara yang mengaku sebagai umat Buddha
sibuk berdebat, sibuk mencari-cari kesalahan orang lain. Juga sibuk
untuk mencari alibi menghindari praktik.

Semoga kita semua tetap bersemangat untuk berlatih menguasai


proses persepsi kita masing-masing. Dengan demikian, kita mampu
menjadi orang-orang yang luar biasa, orang-orang hebat dalam praktik
dan bukan sekadar menjadi orang-orang yang hebat dalam berdebat,
membenarkan teori sendiri dan menyalahkan praktik orang lain.
Semoga kita semua menjadi Bāhiya-Bāhiya di abad modern ini.
Caṅki Sutta: Memahami Kebenaran

Caṅki Sutta adalah sutta nomor 95 dalam Majjhima Nikāya.


Sutta ini terdapat dalam Brāhmaṇavagga, Majjhimapaṇṇāsa. Dalam
edisi PTS, sutta ini berada di halaman 164, volume II. Diberi nama
Caṅki karena tokoh utama dalam sutta ini bernama Caṅki. Dia adalah
seorang brāhmaṇa terkenal sekaliber ārukkha, Pokkharasādi, Jānussoni
dan Todeyya. Namanya disebut dalam beberapa sutta sebagai seorang
terpelajar yang dihormati.

Ketika Sang Buddha tiba di Opasāda, sebuah desa di Kosala,


penduduk desa tersebut pun berbondong-bondong mengunjungi Sang
Buddha. Saat mengetahui hal ini, Brāhmaṇa Caṅki pun berkeinginan
untuk melakukan hal yang sama. Hanya saja, saat para brāhmaṇa
lain mengetahuinya, mereka langsung mencegah dan menghalangi
Brāhmaṇa Caṅki untuk mengunjungi Sang Buddha. Mereka
mengutarakan alasan yang cukup panjang mengapa seharusnya
Brāhmaṇa Caṅki tidak perlu mengunjungi Sang Buddha. Meski
dihalangi, Brāhmaṇa Caṅki tetap mengunjungi Sang Buddha sebab
dia memiliki alasan yang kuat pula.

Pada saat sesepuh brāhamaṇa sedang bercakap-cakap dengan


Sang Buddha, ada seorang brāhmaṇa muda yang terpelajar, bernama
Kāpaṭhika. Karena kesombongan dan keangkuhannya, dia sering
menginterupsi percakapan mereka. Sang Buddha pun menegurnya
agar bersabar dan menunggu sampai mereka selesai bercakap-cakap.

Saat mendengar teguran itu, Brāhmaṇa Caṅki berusaha untuk


mengintervensi dan mengatakan agar Sang Buddha tidak menegurnya
karena Kāpaṭhika adalah seorang brāhmaṇa muda yang terpelajar.
Mendengar hal itu, Sang Buddha hanya berpikir tentu demikian
adanya.

Pada saat mendapatkan giliran, Kāpaṭhika bertanya mengenai


keyakinan yang dianutnya terhadap kita suci mereka. Dalam
penuturannya, dia mengatakan bahwa kita suci yang mereka miliki
telah diwariskan melalui tradisi oral dipertahankan sedemikian rupa
sehingga para brāhmaṇa mengambil kesimpulan akhir: hanya ini yang
benar. Yang lainnya salah (idameva saccaṃ, moghamaññaṃ).

Mendengar klaim semacam itu, Sang Buddha kemudian


menginterogasi Kāpaṭhika. Sang Buddha bertanya apakah di antara
brāhmaṇa, salah satunya, ada yang mengetahui (jānāti) dan melihat
(passāti), hanya ini yang benar dan yang lainnya salah. Begitu
mendapatkan jawaban yang bernada negatif, Sang Buddha lalu
mengajukan pertanyaan yang bertujuan untuk menelusuri lebih jauh,
dari satu generasi ke generasi, dari satu guru ke guru yang lainnya.
Hanya saja, jawabannya pun sama. Tidak ada yang mengetahui dan
melihat secara pasti hanya ini yang benar dan yang lainnya salah.

Karena tidak ada yang telah mengetahui dan melihat secara


nyata, hanya ini yang benar dan yang lainnya salah, Sang Buddha
pun menganalogikan keyakinan seperti itu seperti sebaris orang buta
yang saling berpegangan. Yang depan tidak melihat, yang tengah tidak
melihat; demikian juga, yang di belakang pun tidak melihat. Karena
itu, Sang Buddha mengatakan bahwa keyakinan yang mereka miliki
sebenarnya tanpa dasar sama sekali.

Mendengar keyakinannya dikatakan tanpa dasar, Kāpaṭhika


mengatakan bahwa para brāhmaṇa tidak hanya mendasarkan
kehidupan mereka pada keyakinan. Mereka pun menghormati tradisi
lisan (oral tradition). Melihat lawan bicaranya berkelit, Sang Buddha
kemudian menjelaskan bahwa ada lima hal yang menghasilkan dua
kemungkinan. Lima hal tersebut adalah keyakinan (saddhā), rasa
suka (ruci), tradisi lisan (anussava), logika (ākāraparivitakka) dan
pandangan sekilas (diṭṭhinijjhānakkhanti).

Sesuatu mungkin diterima dengan penuh keyakinan, rasa suka,


dipertahankan melalui tradisi lisan, tampak logis, dan direnungkan
dengan baik. Namun, bisa saja apa yang diterima tersebut salah,
kosong, tidak benar. Namun sesuatu yang tidak diterima atas dasar
keyakinan, rasa suka, dipertahankan atas tradisi lisan, logika dan
pandangan sekilar, bisa jadi benar, tidak salah dan berdasarkan realitas
yang sebenarnya.

Mengingat apa yang diterima atas dasar atau tidak berdasarkan


lima hal tersebut bisa saja benar atau salah, tidak sepantasnya seseorang
yang berusaha melindungi kebenaran (saccānurakkhaṇā) mengambil
kesimpulan definitif, hanya ini yang benar dan yang lainnya salah.
Dalam pandangan Sang Buddha, seseorang masih diizinkan untuk
mengatakan, “Inilah keyakinan saya”, atau “Inilah yang saya setujui”,
atau “Inilah tradisi yang saya percaya”, atau “Inilah logika yang saya
pergunakan”, atau “Inilah pandangan saya”, tetapi tidak diizinkan
untuk melangkah lebih jauh dari itu, dengan mengatakan hanya ini
yang benar dan yang lainnya salah. Sang Buddha tidak mengizinkan
untuk mengambil kesimpulan definitif karena hal itu bisa menimbulkan
konflik sosial, yang dipicu oleh pemaksaan pendapat.

Sekalipun dalam konteks semacam itu, dapat dikatakan


melindungi kebenaran, apa yang dilakukan masih belum dapat
dikatakan sebagai penemuan kebenaran (saccānubodha). Penemuan
kebenaran akan terjadi jika yang bersangkutan melakukan investigasi
secara langsung, dan membuktikan kebenaran tersebut. Dalam hal
ini, Sang Buddha memberikan contoh, contoh seorang bhikkhu yang
mengajarkan Dhamma.

Ketika mendengar ada seorang bhikkhu yang mengajarkan


Dhamma, hendaknya tidak serta merta langsung dipercaya. Namun,
perlu diinvestigasi terlebih dahulu karakter bhikkhu tersebut secara
langsung, dan tidak hanya berdasarkan laporan semata. Dalam hal
ini, apakah bhikkhu tersebut diobsesi oleh keserakahan, kebencian
dan kebodohan atau justru sebaliknya; apakah yang diajarkan akan
menjerumuskan mereka yang mempraktikkan ke jurang penderitaan
atau sebaliknya.

Jika yang ditemukan adalah bhikkhu tersebut secara perilaku


dan ucapannya tidak didasari oleh kebencian, keserakahan dan
kebodohan, Dhamma yang diajarkan pun dalam, sulit dilihat dan
dipahami, membawa kedamaian dan ketenangan, tidak dapat dicapai
hanya melalui logika semata, dan hanya bisa dialami oleh mereka yang
bijaksana, dan dapat disimpulkan bahwa Dhamma yang demikian
tidak mungkin diajarkan oleh mereka yang masih diobsesi oleh
keserakahan, kebencian dan kebodohan, sudah sepatutnya memiliki
keyakinan kepada bhikkhu tersebut.

Ketika keyakinan telah dimiliki, sudah selayaknya mengunjungi


dan mendengarkan Dhamma darinya. Setelah mendengarkan,
lalu merenungkan. Jika dalam merenungkan, ditemukan hal-hal
yang bermanfaat, langkah selanjutnya, adalah tidak hanya bangga
menemukan ajaran semacam itu, tetapi memunculkan semangat untuk
berusaha, mengimplementasikan ajaran tersebut dalam kehidupannya.
Dengan adanya praktik yang nyata, kebenaran tertinggi akan direalisasi
secara langsung dan melihatnya dengan kebijaksanaan (pahitatto
samāno kāyena ceva paramasaccaṃ sacchikaroti paññāya ca naṃ
ativijjha passati).

Secara tekstual, tampak bahwa dari lima poin di atas, yang


dicantumkan dalam penemuan kebenaran hanya keyakinan (saddhājāto
upasaṅkamati) dan pandangan sekilar (dhammanijjhānakkhantiyā
sati chando jāyati), sebenarnya semua poin dibutuhkan dalam hal
ini. Rasa suka (ruci) ditunjukkan oleh keinginannya untuk datang
dan mendengarkan Dhamma. Tradisi lisan (anussava) ditunjukkan
oleh kegiatan untuk mendengarkan dan menghafalkan. Logika
(ākāraparivitakka) dimanifestasikan dalam tindakan merenungkan
Dhamma.

Walaupun dalam tahap ini yang bersangkutan telah dikatakan


menemukan kebenaran, yang bersangkutan masih belum dikatakan
sampai pada titik akhir kebenaran (saccānuppatti). Titik akhir
kebenaran hanya akan terjadi jika hal yang sama diulang secara terus
menerus; apa yang telah dicapai dalam penemuan kebenaran terus
diperbanyak (Tesaṃye, bhāradvāja, dhammānaṃ āsevanā bhāvanā
bahulīkammaṃ saccānuppatti hoti). Dalam kitab Komentar dikatakan
bahwa penemuan kebenaran adalah penemuan sang jalan, atau sang
yogi mulai menapaki sang jalan (saccānubodhoti maggānubodho).
Sementara itu, pencapaian akhir kebenaran adalah pencapaian hasil
(saccānuppattīti phalasacchikiriyā).

Dalam praktik meditasi, banyak orang yang merasa bangga begitu


mereka mendapatkan pengalaman yang dianggap menyenangkan.
Begitu pengalaman tersebut tampak terjadi berulang-ulang, banyak
yang merasa bahwa pengalaman meditasinya tidak maju, tidak
ada peningkatan, dan hanya stagnan. Padahal, jika teori di atas
diimplementasikan, sang yogi harus berani untuk mengulangi hal
yang sama, mengembangkan hal yang sama, dan memperbanyak hal
yang sama. Pengulangan hal yang sama, pengembangan pengalaman
yang sama, memperbanyak pengalaman yang sama, memang akan
menimbulkan rasa bosan. Tetapi, itulah sifat alami kehidupan ini.
Begitu rasa bosan itu bisa dipahami sifat dan karakteristiknya, rasa
bosan itu akan memudar dan timbullah pemahaman yang sebenarnya
terhadap sifat kehidupan ini. Di sinilah kita akan memahami apa
yang dimaksud sebagai kebenaran, bagaimana cara mencapainya dan
bagaimana cara mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-
hari.
Dhammakathikapuccha Sutta: Penceramah
Dhamma yang Sesungguhnya

Sutta ini terdapat dapat dalam Saḷāyatana Vagga, Saṃyutta


Nikāya. Dalam edisi modern, sutta ini terdapat pada halaman 140,
Volume IV.

Sutta ini diberi nama demikian karena tema dalam sutta ini adalah
tentang pertanyaan mengenai penceramah. Istilah ‘dhammakathika’
sendiri dapat diartikan sebagai ‘penceramah’, ‘pembabar dhamma’.
Sedangkan kata ‘puccha’ dapat diterjemahkan sebagai ‘pertanyaan’.
Karena itu, nama sutta ini dapat diartikan sebagai ‘Kotbah tentang
Pertanyaan mengenai Penceramah Dhamma’. Namun, Bhikkhu Bodhi
menerjemahkannya sebagai ‘Seorang Penceramah Dhamma’ (A
Speaker on the Dhamma).

Narasi yang ada dalam sutta ini menyebutkan bahwa seorang


bhikkhu—tanpa menyebutkan nama—mengunjungi Sang Buddha.
Bhikkhu tersebut bertanya mengenai arti ‘dhammakathika’. Sang
Buddha adalah seorang praktisi, bukan seorang teoritikus. Apapun
yang Beliau ucapkan hanya bertujuan untuk pemahaman yang benar
tentang praktik. Tujuan Beliau adalah agar setiap orang yang hidup
di bawah bimbingan Beliau sesegera mungkin bebas dari dukkha.
Karena itu, ketika ada yang bertanya mengenai ‘dhammakathika’
Beliau pun menjelaskan arti istilah tersebut dalam konteks praktik,
dan bukan teori semata.

Dalam penjelasan-Nya, Sang Buddha mengatakan bahwa


seseorang, terutama seorang bhikkhu, dapat dikatakan sebagai
pembabar Dhamma atau dhammakathika, jika dia mengajarkan sesuatu
yang bertujuan untuk menimbulkan pemehaman secara menyeluruh
tentang proses persepsi. Maksudnya, apa yang disampaikan harus
mampu menimbulkan nibbidā, virāga, dan nirodha, baik dalam
penglihatan, pendengaran, penciuman, kecapan, sentuhan maupun
pikiran.

Istilah ‘nibbidā’ sering diterjemahkan dalam Bahasa Inggris


sebagai ‘revulsion’. Kata ‘revulsion’ kemudian diterjemahkan ke
dalam Bahasa Indonesia sebagai ‘muak’ atau ‘jijik’. Terjemahan ini
sering kali menimbulkan persepsi yang salah. Diterjemahkan muak
atau jijik mungkin mengacu pada definisi kata ‘revulsion’ dalam
Bahasa Inggris. Dalam Bahasa Inggris kata ‘revulsion’ didefinisikan
sebagai ‘suatu perasaan yang kuat mengenai muak atau mengerikan’
(a strong feeling of disgust or horror).

Jika istilah nibbidā diterjemahkan sebagai muak dan jijik, berarti


ada kebencian dan rasa tidak suka. Sebenarnya, istilah nibbidā mengacu
pada ‘rasa cukup’ sehingga tidak mau lagi. Contohnya, ketika orang
sudah kenyang, dia akan merasa cukup. Sekalipun ada makanan yang
tersedia, dia tidak akan merasa benci atau tidak suka pada makanan
yang tersedia. Apa yang ada adalah sudah tidak ada keinginan untuk
makan. Dia tidak tertarik untuk makan karena merasa sudah cukup
dengan makanan yang dimakan.

Nibbidā juga tidak ada bedanya seperti rasa kenyang. Sekalipun


objeknya ada—apakah bentuk, suara, bau, rasa, sentuhan atau
pikiran—yang bersangkutan merasa cukup dengan semua itu. Karena
sudah merasa cukup, tidak ada ketertarikan untuk melihat, mendengar,
mencium, mengecap, merasakan maupun memikirkan. Inilah yang
disebut sebagai ‘virāga’. Karena sudah tidak ada ketertarikan, mau
tidak mau harus berhenti dan ini yang disebut sebagai nirodha.

Meski hanya ditanya mengenai arti dhammakathika, lebih jauh,


Sang Buddha menjelaskan mereka yang praktik untuk menimbulkan
pemahaman secara menyeluruh terhadap proses persepsi sehingga
mampu memunculkan nibbidā, virāga dan nirodha, disebut orang
yang praktik sesuai dhamma atau dhammānudhammappaṭipanno.
Jika melalui nibbidā, virāga dan nirodha, yang bersangkutan dapat
merealisasi kebebasan tanpa adanya kemelekatan sedikitpun, dirinya
disebut sebagai orang yang telah merealisasi Nibbāda dalam kehidupan
ini juga (diṭṭhadhammanibbānappatto).

Sutta ini perlu dijadikan rujukan secara khusus bagi mereka yang
berprofesi sebagai pembabar dhamma. Isinya perlu dipahami dengan
seksama. Hal ini penting karena banyak pembabar dhamma yang
menganggap bahwa apa yang disampaikannya adalah ajaran Sang
Buddha tetapi isinya tidak bertujuan untuk menimbulkan nibbidā,
virāga maupun nirodha terhadap mata, telinga, hidung, lidah, kulit
dan pikiran. Justru sebaliknya, apa yang disampaikan bertujuan untuk
mengumbar pemuasan nafsu indera, demi tercapainya kehidupan yang
berulang-ulang.

Sebagai seorang pembabar dhamma, dhammakathika, perlu


memberikan penekanan bahwa apa yang disampaikan hendaknya bisa
menimbulkan dorongan kuat (self-urgency, saṃvega) untuk praktik.
Tidak sekadar praktik, tetapi merealisasi Nibbāna dalam kehidupan
sekarang ini juga. Inilah sebenarnya pesan yang disampaikan dalam
sutta ini. Semoga bisa menjadi inspirasi.
Kevaddha Sutta: Keistimewaan Mengajar

Kevaddha Sutta atau sering juga disebut sebagai Kevattha


Sutta adalah sutta nomor 11 dalam Dīgha Nikāya. Secara vagga atau
kelompok, sutta ini masuk dalam Sīlakkhandavagga atau Kelompok
Moralitas. Sutta ini berada pada halaman 211, Volume I edisi PTS.

Kevaddha Sutta diceramahkan oleh Sang Buddha di Nāḷandā


kepada Kevaddha. Karena itu, nama sutta ini diberikan berdasarkan
pada nama orang yang mendengarkan ceramah tersebut. Dalam
kesempatan tersebut, Kevaddha mengungkapkan bahwa di Nāḷandā
banyak orang yang memiliki keyakinan kepada Sang Buddha. Karena
itu, Kevaddha memohon kepada Sang Buddha agar membuat atau
memerintahkan para bhikkhu untuk menunjukkan kemampuan
batinnya. Tujuannya adalah agar lebih banyak lagi orang yang
memiliki keyakinan kepada Sang Buddha.

Sang Buddha menolak permohonan tersebut karena itu bukan cara


Sang Buddha membabarkan Dhamma kepada para bhikkhu. Kevaddha
memohon hingga tiga kali dan setelah mendengarkan permohonan
tersebut sebanyak tiga kali Sang Buddha mengatakan bahwa ada
tiga jenis keajaiban yang telah dicapai oleh Sang Buddha. Ketiganya
adalah kemampuan batin (iddhipāṭihāriya), kemampuan telepatis
(ādesanāpāṭihāriya) dan kemampuan mengajar (anusāsanīpāṭihāriya).

Dengan kemampuan batin (iddhipāṭihāriya), seseorang dapat


melakukan apa saja sesuai dengan keinginannya. Misalnya, terbang,
menghilang, mengubah diri menjadi apa saja. Bagi orang-orang yang
memiliki keyakinan akan terkagum-kagum melihat kemampuan
jenis ini. Namun, bagi orang-orang skeptis akan menepisnya dengan
berargumentasi bahwa ada ilmu yang mirip seperti kemampuan itu.
Ilmu tersebut disebut sebagai ilmu gandhārī.

Dengan kemampuan telepatis (ādesanāpāṭihāriya), seseorang


dapat membaca pikiran orang lain. Ketika pengetahuan semacam ini
dipamerkan di hadapan seorang skeptis, dia akan mengatakan bahwa
ada ilmu lain yang juga memiliki kemampuan yang sama, yaitu maṇikā.
Menyadari bahwa kedua kemampuan di atas tidak memberikan
manfaat, tidak memberikan pengaruh positif, dan melihat adanya
bahaya dari kemampuan tersebut, Sang Buddha menolak, tidak suka
dan memandang rendah kedua pengetahuan tersebut.

Jika kedua jenis kesaktian atau keajaiban di atas ditolak,


tidak dipuji dan dipandang rendah oleh Sang Buddha, sikap
yang berbeda diambil oleh Sang Buddha terhadap kesaktian atau
keajaiban jenis ketiga. Dengan kesaktian atau kemampuan mengajar
(anusāsanīpāṭihāriya), seorang bhikkhu mampu mengajarkan apa
yang baik dan benar, apa yang bermanfaat dan membimbing ke arah
yang konstruktif. Dengan demikian, kehidupan orang yang dinasihati
atau mendapatkan bimbingan, akan menjadi lebih baik, menjadi lebih
bermanfaat dan tidak sia-sia belaka.

Lebih dari itu, orang yang mendapatkan nasihat akan mampu


mengikis kotoran batinnya, mencapai kesucian dari tingkat yang
paling rendah hingga yang tertinggi. Dengan kemampuan mengajar,
seseorang mampu membuat orang lain menyeberangi lautan saṃsāra,
bebas dari penderitaan sepenuhnya. Oleh karena itu, kemampuan atau
keajaiban mengajar jauh lebih dianjurkan, dipuji oleh Sang Buddha.

Dalam kaitannya dengan kemampuan mengajar, Sang Buddha


memberikan contoh nyata. Suatu ketika ada seorang bhikkhu yang
memiliki suatu pertanyaan: di mana empat elemen berhenti tanpa sisa.
Dengan kemampuan batin yang dimiliki, bhikkhu tersebut terbang
ke alam deva. Di alam deva terendah, bhikkhu tersebut mengajukan
pertanyaan tersebut. Para deva di alam terendah tidak mampu
memberikan jawaban atas pertanyaan itu.

Para deva di alam terendah pun menganjurkan untuk bertanya


ke alam deva yang lebih tinggi. Apa yang didapatkan pun tidak ada
bedanya. Pada akhirnya, para deva dari berbagai alam yang berbeda
menyarankan untuk bertanya kepada Mahā Brahmā. Dengan segenap
kesaktiannya, bhikkhu tersebut menemui Brahmā. Perlu diketahui
bahwa Brahmā dalam kepercayaan masyarakat India adalah deva
tertinggi, deva pencipta; dianggap sebagai deva yang mengetahui
segalanya, mahakuasa atas segalanya.

Ketika bhikkhu tersebut telah berada di hadapan Mahā Brahmā,


segerala bhikkhu tersebut mengajukan pertanyaan yang selama ini
belum ditemukan jawabannya. Bukannya menjawab pertanyaan
tersebut, Mahā Brahmā justru hanya menyebutkan seluruh gelar
dan pujian yang dimilikinya. Bhikkhu tersebut mengatakan bahwa
tujuannya bukan untuk mengetahui gelar dan pujian untuknya tetapi
mencari jawaban atas pertanyaan yang selama ini belum terjawab.

Setelah tiga kali ditanya dengan pertanyaan yang sama Mahā


Brahmā, Mahā Brahmā akhirnya menuntun bhikkhu tersebut ke
tempat yang sepi, “Bhante, semua deva di sini percaya bahwa saya
dalah maha melihat, maha mengetahui. Oleh sebab itu, saya tidak
berbicara di hadapan mereka. Tetapi, bhante, saya tidak tahu di
mana empat elemen itu berhenti sepenuhnya.” Mahā Brahmā pun
menjelaskan bahwa bhikkhu tersebut telah mengambil langkah yang
salah dalam mencari jawaban atas pertanyaan tersebut. Seharusnya
bhikkhu tersebut mengajukan pertanyaan itu kepada Sang Buddha.

Dalam sutta ini, jelas terlihat kritik Sang Buddha terhadap


kepercayaan masyarakat India saat itu. Mereka memuja Brahmā tetapi
Brahmā sendiri bukanlah makhluk sebagaimana yang mereka percayai
selama ini. Sutta ini tidak hanya mengkritik masyarakat India saat itu
tetapi masyarakat saat ini juga. Tidak hanya masyarakat umum tetapi
masyarakat Buddhis juga.

Baik masyarakat umum maupun masyarakat Buddhis yang


memuja dan menganggap hebat budaya, ajaran, dan orang-orang di
luar sana, sementara di saat yang bersamaan, mengabaikan budaya,
ajaran dan orang-orang yang ada di hadapannya. Lebih banyak orang
membanggakan budaya asing, sementara budaya lokal dianggap
kampungan, ketinggalan zaman. Banyak yang memuja guru-guru dari
luar negeri, sementara guru-guru di dalam negeri dianggap sebagai
orang yang belum berpengalaman, tidak mengerti secara benar, dan
tidak jarang yang menganggap sampah di pinggil jalan.

Untuk mengingatkan pemujaan budaya, ajaran, guru luar, Sang


Buddha memberikan perumpamaan para pelayar yang menggunakan
burung elang untuk mencari arah. Setelah sekian lama berlayar dan
ingin mencari daratan, mereka akan melepaskan burung elang yang
dibawa. Setelah terbang ke sana ke mari, jika menemukan daratan, sang
elang akan terbang ke daratan. Jika tidak, sang elang akan kembali ke
kapal sang majikan. Demikian juga, banyak orang yang lari tunggang-
langgang mencari dan memuja budaya, ajaran, guru luar. Selama
mereka mendapatkan kepuasan, mereka akan terus terpikat dengan
budaya, ajaran dan guru luar. Begitu tidak memuaskan, mereka pun
mau tidak mau harus kembali ke pangkuan budaya, ajaran dan guru
lokal.
Sama seperti bhikkhu tersebut, setelah tidak menemukan
jawabannya, dia kembali kepada Sang Buddha. Hanya saja, Sang
Buddha tidak langsung menjawab pertanyaan tersebut. Sang Buddha
justru mengoreksi pertanyaan tersebut karena pertanyaan tersebut
dianggap kurang tepat. Koreksi pertanyaan itu diberikan oleh Sang
Buddha dalam bentuk syair:

“Di manakah tanah, air, api dan udara tidak menemukan pijakan?

Di mana panjang dan pendek, besar dan kecil, jelek dan bagus—

Di mana batin dan jasmani sepenuhnya dilenyapkan?”

(‘Kattha āpo ca pathavī, tejo vāyo na gādhati;

Kattha dīghañca rassañca, aṇuṃ thūlaṃ subhāsubhaṃ;

Kattha nāmañca rūpañca, asesaṃ uparujjhatī’ti)

Pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan jawaban sebagai


berikut:

Di mana kesadaran tak bertanda, tak terbatas, sepenuhnya


berkilau

Di situlah, tanah, air, api dan udara tidak menemukan pijakan

Di situ panjang dan pendek, besar dan kecil, jelek dan bagus—

Di situ, batin dan jasmani sepenuhnya dilenyapkan

Dengan lenyapnya kesadaran, semua pun dilenyap.”

(‘Viññāṇaṃ anidassanaṃ, anantaṃ sabbatopabhaṃ;

Ettha āpo ca pathavī, tejo vāyo na gādhati.


Ettha dīghañca rassañca, aṇuṃ thūlaṃ subhāsubhaṃ;

Ettha nāmañca rūpañca, asesaṃ uparujjhati;

Viññāṇassa nirodhena, etthetaṃ uparujjhatī’ti)

Konsep Brahmā dalam masyarakat India, adalah konsep metafisik.


Konsep tersebut cenderung tidak bisa dibuktikan kebenarannya.
Karena itu, tidaklah mengherankan konsep tersebut tidak dapat
dipergunakan untuk memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
empiris. Apa yang bisa dijawab dengan konsep metafisik adalah hal-
hal yang bersifat spekulatif. Sementara, hal-hal yang bersifat empiris
harus dijawab dengan hal-hal yang empiris.

Pertanyaan bhikkhu tersebut adalah pertanyaan empiris,


pertanyaan tersebut bukan pertanyaan spekulatif. Karena itu, ketika
pertanyaan ini diajukan kepada Sang Buddha, Sang Buddha dapat
menjawab dengan sempurna melalui pendekatan empiris. Meski di situ
dengan jelas pertanyaannya adalah “Di mana empat elemen berhenti
sepenuhnya?”, Sang Buddha memberikan penjelasan secara empiris.

Bagi orang-orang yang spekulatif, metafisik, pertanyaan tersebut


dapat dipahami secara luas, dalam artian empat elemen di seluruh
alam semesta. Entah pertanyaan tersebut bisa ditemukan jawabannya
atau tidak, tetapi yang jelas tidak kondusif, tidak bermanfaat
dalam kehidupan brahmacari, kehidupan seorang Buddhis yang
sesungguhnya. Oleh sebab itu, Sang Buddha mengubah pertanyaan
tersebut menjadi pertanyaan empiris dan memberikan jawaban yang
empiris pula.

Dengan pendekatan empiris, Sang Buddha telah menunjukkan


manfaat mengajar kepada Kevaddha. Dengan pendekatan tersebut,
bhikkhu tersebut tidak berkelana ke sana ke mari mencari jawaban.
Sebaliknya, dia akan fokus untuk praktik demi terhentinya empat
elemen sepenuhnya. Ketika empat elemen dan kesadaran berhenti
sepenuhnya, tidak hanya bhikkhu tersebut yang mendapatkan manfaat
tetapi semua makhluk pun akan mendapatkan manfaatnya secara
nyata. Bhikkhu tersebut bisa bebas dari penderitaan, menyelesaikan
tugasnya sebagai seorang samana, juga bisa membimbing orang lain
untuk mencapai tujuan yang sama.
Pattakamma Sutta: Kehidupan Berumah
Tangga Sebagai Landasan Praktik

Pattakamma Sutta adalah salah satu sutta dalam Aṅguttara


Nikāya, tepatnya dalam Catukkanipāta atau Kelompok Empat. Dalam
edisi modern, sutta ini terdapat pada halaman 65, Volume II.

Istilah ‘patta’ memiliki arti yang cukup variatif. Namun, dalam


hal ini, istilah ini dapat diartikan sebagai ‘didapatkan’, ‘diraih’; kata
‘kamma’ memiliki arti ‘tindakan’, ‘perbuatan’, ‘perilaku’. Karena itu,
frase ‘pattakamma’ dapat diartikan sebagai ‘tindakan untuk meraih
sesuatu’ atau ‘perbuatan untuk mendapatkan sesuatu’. Hanya saja,
mungkin disesuai dengan isinya, nama sutta ini telah diterjemahkan
oleh Bhikkhu Bodhi sebagai ‘Perilaku yang Layak’ atau ‘Tindakan
yang Patut’.

Sutta ini adalah salah satu sutta yang sudah cukup dikenal
bahkan cukup terkenal di kalangan umat Buddha. Pasalnya, sutta ini
telah banyak dijadikan referensi untuk mencapai kesuksesan dalam
kehidupan berumah tangga. Oleh sebab itu, sutta ini telah banyak
dibahas dalam berbagai kesempatan, baik dalam ceramah di vihāra
atau dalam diskusi-diskusi Buddhis.

Pattakamma Sutta adalah wejangan yang diberikan oleh Sang


Buddha kepada Anāthapiṇḍika. Meski berstatus sebagai penyokong
utama, dia termasuk seorang pendiam. Ketika datang mengunjungi
Sang Buddha, dia tidak pernah bertanya menganai masalah-masalah
Dhamma ataupun yang menyangkut praktik. Alasannya, dia khawatir
Sang Buddha terlalu lelah.
Meskipun Anāthapiṇḍika diam dan tidak banyak menuntut, Sang
Buddha tetap menyempatkan diri untuk memberikan wejangan yang
layak kepadanya. Banyak juga wejangan yang telah disampaikan oleh
Sang Buddha kepada Anāthapiṇḍika. Wejangan tersebut disampaikan
dalam berbagai kesempatan.

Pattakamma Sutta sebenarnya dibagi menjadi tiga bagian. Yang


pertama membahas mengenai empat keinginan manusia. Yang kedua
menyangkut tentang bagaimana mendapatkan empat keinginan
tersebut. Yang ketiga adalah bagaimana menggunakannya.

Dalam nasihat-Nya, Sang Buddha mengatakan bahwa ada empat


keinginan para perumah tangga dan jarang didapatkan. Empat hal
tersebut adalah memiliki harta kekayaan yang didapat dengan cara
yang benar, mendapatkan ketenaran dan popularitas karena harta
kekayaan tersebut, menikmati ketenaran dalam jangka waktu yang
lama atau dengan kata lain, memiliki kesehatan dan usia panjang, dan
bisa terlahir di alam bahagia setelah kematian.

Jika dianalisis empat keinginan tersebut, Sang Buddha adalah


orang yang sangat jenius. Sebabnya adalah empat keinginan tersebut
hanyalah manifestasi dari taṇhā: kāmataṇhā, bhāvataṇhā dan
vibhāvataṇhā. Dengan kata lain, Sang Buddha sanggup membungkus
ajaran-Nya yang paling filosofis dengan ajaran-ajaran sederhana yang
dapat dipahami oleh perumah tangga.

Keinginan untuk memenuhi kebutuhan biologis seperti sandang,


pangan, dan papan adalah manifestasi dari kāmataṇhā. Semua ini
adalah kebutuhan dasar manusia. Tanpa terpenuhinya kebutuhan dasar
ini manusia tidak akan bisa bertahan. Setelah terpenuhinya kebutuhan
dasar ini, barulah manusia memikirkan kebutuhan lainnya yang
bersifat lebih tinggi.

Dua keinginan selanjutnya, yaitu ketenaran dan usia panjang,


adalah keinginan yang bersifat lebih tinggi. Keinginan semacam ini
akan muncul jika kebutuhan dasar terpenuhi. Tanpa terpenuhinya
kebutuhan dasar manusia pada umumnya tidak memikirkan dua
kebutuhan ini. Sebagai contohnya, orang yang tidak memiliki makanan
untuk dikonsumsi, bagaimana mungkin berpikir untuk menjadi tenar
dan berusia panjang. Apa yang dipikirkannya adalah bagaimana bisa
makan dan bertahan hidup saat itu juga. Dua keinginan yang lebih
tinggi ini pada dasarnya adalah manifestasi dari bhāvataṇhā.

Apa yang terjadi setelah kematian adalah misteri yang paling


menakutkan bagi kebanyakan orang. Karena itu, banyak manusia
yang berspekulasi mengenai kehidupan setelah kematian. Karena
adanya kepercayaan bahwa kehidupan tidak hanya sekali saja, harapan
manusia adalah tetap menikmati kebahagiaan setelah kematian.
Pemikiran semacam ini muncul karena pada dasarnya manusia tidak
ingin hidup menderita. Meski ada unsur bhāvataṇhā, keinginan
keempat ini sebenarnya adalah manifestasi dari vibhāvataṇhā.

Di bagian kedua, sutta ini membahas bagaimana cara


mendapatkan empat keinginan tersebut. Agar empat hal tersebut dapat
diraih, ada empat hal yang perlu dipenuhi. Empat hal tersebut adalah
kesempurnaan dalam keyakinan, moralitas, kedermawanan dan
kebijaksanaan.

Apa yang dimaksud dengan kesempunaan dalam keyakinan


adalah memiliki keyakinan seutuhkan pada seorang public figure, orang
yang dapat dijadikan panutan. Sebagai contohnya, seorang Buddha.
Sedangkan sempurna dalam moralitas adalah menjalankan lima
latihan moral, yakni menghindari pembunuhan, pencurian, perbuatan
asusila, ucapan yang tidak benar dan mengonsumsi minuman yang
dapat melemahkan kesadaran.

Kesempurnaan dalam kedermawanan adalah hidup dengan


pikiran yang bebasa dari kekikiran, sepenuhnya dermawan, memiliki
tangan terbuka, senang dalam memberi, berdedikasi dalam berbagi.
Memiliki kesempurnaan dalam kebijaksanaan berarti memahami
bahwa saat pikiran diliputi oleh keserakahan dan ketamakan, niat jahat,
kemalasan, kekhawatiran dan keraguan, kita cenderung melakukan
apa yang seharusnya dihindari. Dengan demikian, popularitas dan
kebahagiaan akan ternoda.

Dengan memahami lima rintangan batin tersebut sebagai belenggu


dalam kehidupan rumah tangga, kita berusaha untuk membebaskan
diri dari lima rintangan batin tersebut. Setelah mampu membebaskan
diri dari lima rintangan batin tersebut, barulah kita disebut sebagai
siswa agung yang memiliki kebijaksanaan yang luas, kebijaksanaan
yang luar biasa, memiliki pandangan yang luas.

Dilihat secara sepintas, empat cara untuk mendapatkan empat hal


di atas tidak memiliki relevansi sama sekali. Tampak bahwa keempat
hal tersebut lebih cenderung sebagai etika untuk mencapai terutama
tujuan nomor dua hingga empat. Tujuan nomor satu terabaikan. Realita
yang sesungguhnya tidaklah demikian.

Kesuksesan yang dicapai kebanyakan orang pada umumnya


bukanlah inovasi mereka sendiri. Lebih sering kesuksesan tersebut
adalah hasil imitasi atau lebih dikenal dengan sebutan sistem copy-
paste. Keinginan kita untuk sukses, metode-metode yang kita
implementasikan, pekerjaan yang kita geluti umumnya bukan kreasi
sendiri melainkan sesuatu yang diambil dari pemikiran generasi
sebelumnya atau pendahulu kita.

Sang Buddha menempatkan keyakinan pada seorang figur publik


di urutan pertama. Yang dijadikan figur publik pun Sang Buddha
sendiri. Tujuannya adalah agar kita menjadi mereka sebagai panutan.
Sang Buddha adalah orang yang sukses, baik saat masih menjadi
perumah tangga maupun setelah menjadi petapa. Sebagai seorang
petapa, prinsip yang dipegang oleh Sang Buddha adalah apa yang
Beliau ucapkan, itu yang Beliau ucapkan. Apa yang Beliau ucapkan itu
yang Beliau lakukan (yathāvādī tathākārī yathākārī tathāvādī). Ketika
berucap ingin sukses, Sang Buddha berjuang dengan kesungguhan
untuk menggapai kesuksesan tersebut. Ketika telah sukses, itulah
yang diceritakan, disampaikan dan diucapkan oleh Sang Buddha.

Untuk menggapai kesuksesan, dibutuhkan moralitas demi


menjaga integritas diri. Dengan demikian, orang lain akan mengenal
kita sebagai orang yang sukses dengan cara yang benar; bukan
mengenal kita sebagai orang yang sukses dengan menggunakan secara
cara. Inilah pentingnya menjaga moralitas dalam segala bidang usaha
yang digeluti.

Poin ketiga, sifat dermawan, akan semakin menguatkan poin


kedua. Dengan jiwa dermawan, nama seseorang akan semakin dikenal
dan membuatnya semakin tenar. Meski menjadi orang sukses, dia
tidak lupa kepada sesama yang membutuhkan uluran tangan. Dia
rela membantu, rela mengulurkan tangan demi kebahagiaan dan
meringankan beban yang dipikul oleh yang lain.

Pada poin keempat, Sang Buddha mengajarkan tentang pentingnya


mengembangkan kesadaran, melihat ke dalam batin sendiri. Dengan
adanya pengembangan kesadaran, menyadari setiap gerak kotoran
batin yang termanifestasi dalam lima rintangan batin, kotoran batin
tersebut akan hancur dengan sendirinya. Sang Buddha mengatakan,
‘hancurnya kotoran batin adalah untuk mereka yang mengetahui
dan melihat, bukan untuk mereka yang tidak mengetahui dan tidak
melihat’ (jānato ahaṃ, bhikkhave, passato āsavānaṃ khayaṃ vadāmi,
no ajānato no apassato).

Dengan hancurnya kotoran batin dalam bentuk keserakahan,


kebencian, kemalasan, kekhawatiran dan keragu-raguan, batin pun
akan menjadi damai. Batin yang damai akan mengondisikan untuk bisa
hidup lebih bahagia. Kehidupan yang bahagia akan mengondisikan
untuk berumur lebih panjang. Selain itu, orang-orang yang bahagia
dalam kehidupan ini, akan bahagia dalam kehidupan selanjutnya.
Jangan berharap untuk hidup bahagia dalam kehidupan yang akan
datang jika dalam kehidupan ini saja tidak bahagia. Kebahagiaan dalam
kehidupan ini dapat dicapai dengan cara menggunakan kekayaan yang
didapatkan dengan cara yang benar.

Di bagian ketiga, Sang Buddha menguraikan tentang bagaimana


cara menggunakan kekayaan yang telah didapatkan. Dalam hal ini, juga
ada empat cara menggunakan harta kekeyaan yang telah didapatkan
dengan cara yang benar. Pertama, kekayaan tersebut dipergunakan
untuk menyenangkan dan membahagiakan diri sendiri, kemudian
orangtua. Selanjutnya, anak dan istri, pembantu dan pekerja, serta
teman. Dengan demikian, harta yang diperoleh dipergunakan dengan
baik dan tidak hanya disimpan saja atau dipergunakan untuk hal-hal
yang tidak bermanfaat.

Dalam nasihatnya, Sang Buddha mengatakan agar kekayaan


yang didapat dibagi menjadi tiga bagian. Sebagian untuk dinikmati,
dua bagian untuk dipergunakan sebagai modal kembali, dan sebagian
lagi untuk disimpan sebagai cadangan untuk kebutuhan di masa yang
akan datang. Semua harta yang belum habis dinikmati, harus dijaga
dengan baik agar tidak hilang atau pindah tangan ke orang-orang yang
tidak diharapkan. Ini adalah penggunaan kekayaan yang kedua.

Pada poin ketiga, Sang Buddha menasihatkan agar kekayaan yang


dimiliki dipergunakan juga untuk melakukan lima jenis kewajiban.
Lima jenis kewajiban tersebut adalah kewajiban kepada kerabat,
tamu, leluhur, pemerintah dan para dewa. Dalam poin yang keempat,
kekayaan dipergunakan sebagai sarana untuk memperindah pikiran.
Caranya, harta tersebut dipergunakan untuk menyokong para petapa
yang mengendalikan diri dari minuman yang melemahkan kesadaran,
memiliki kesabaran dan ramah, menenangkan dan menjinakkan diri
sendiri, melatih diri untuk merealisasi Nibbāna.

Itulah empat keinginan manusia yang sulis didapatkan, empat


cara mendapatkannya dan empat cara menggunakan apa yang telah
didapatkan. Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa Sang Buddha
tidak melihat kehidupan perumah tangga sebagai suatu belenggu
yang perlu diratapi atau disesali. Sekalipun hidup sebagai perumah
tangga, tetaplah kehidupan tersebut dapat dipergunakan semaksimal
mungkin untuk praktik dengan baik. Tidak hanya mempraktikkan
dan memiliki sifat kedermawanan, menjalankan moralitas, tetapi juga
melatih diri untuk mengembangkan kesadaran demi terbebasnya diri
dari keserakahan, kebencian dan kebodohan.
Rohitassa Sutta: Konsep Tentang Dunia

Ada tiga sutta yang diberi nama Rohitassa Sutta atau Rohita
Sutta. Yang pertama terdapat dalam Saṃyutta Nikāya, tepatnya
dalam Sagāthāvagga. Dalam edisi modern, sutta ini terdapat pada
halaman 61, Volume I. Yang kedua, dua sutta yang lainnya terdapat
dalam Aṅguttara Nikāya. Kedua sutta ditempatkan secara berurutan
sehingga yang pertama diberi nama hanya Rohitassa Sutta dan yang
kedua adalah Dutiyarohitassa Sutta. Keduanya berada ada dalam
Rohitassavagga, Catukkanipāta atau “Buku Kelompok Empat”;
berada di halaman 47, Volume II. Bedanya, sutta yang pertama isinya
sama seperti yang terdapat dalam Saṃyutta Nikāya; sedangkan yang
kedua, Sang Buddha menceritakan kembali sutta tersebut kepada para
bhikkhu.

Rohitassa Sutta dimulai dengan pertanyaan dari Deva Rohitassa


kepada Sang Buddha. Pertanyaannya, apakah memungkinkan, dengan
cara mengembara, mengetahui, melihat dan mencapai akhir dunia,
di mana tidak ada lagi dilahirkan, tidak berubah menjadi tua dan
mengalami kematian, tidak akan mati dan terlahir kembali. Sang
Buddha menjelaskan bahwa hal itu tidak memungkinkan.

Mengetahui jawaban tersebut, Deva Rohitassa langsung


menceritakan pengalamannya dalam kehidupan lampaunya. Dalam
kehidupannya sebagai seorang petapa, dia memiliki kemampuan untuk
terbang dengan kecepatan yang sangat tinggi, mengelilingi dunia ini.
Selama seratus tahun terbang, hanya beristiharat untuk makan, mandi
dan beristirahat. Hanya saja, dia tidak pernah menemukan akhir dunia.

Pandangan yang dianut oleh Deva Rohitassa adalah pandangan


umum yang dianut di India saat itu. Di antara sekian banyak pandangan
spekulatif, dua di antaranya adalah mengenai batasan dunia. Sebagian
berpandangan bahwa dunia ini terbatas (antavā loko, idameva saccaṃ
moghamaññaṃ). Sedangkan sebagian lagi berprinsip bahwa dunia ini
tidak terbatas (anantavā loko, idameva saccaṃ moghamaññaṃ). Untuk
membuktikan teori tersebut, sebagian menggunakan logika berpikir.
Sementara sebagian lagi menggunakan pengalaman langsung. Apa
yang dilakukan oleh Deva Rohitassa adalah pembuktian melalui
pengalaman langsung meski pengalaman tersebut diambil dari
pengalaman dalam kehidupan lampaunya.

Pandangan semacam ini adalah pandangan yang biasa dijadikan


sebagai topik perdebatan. Banyak filsuf India yang menghabiskan
waktunya untuk memperdebatkan masalah ini. Mereka berkumpul di
balai-balai perdebatan yang telah disediakan atau mengadakan diskusi
secara pribadi di tempat-tempat tertentu.

Pada umumnya orang-orang yang turut serta dalam perdebatan


dapata dikategorikan terjebak dalam pandangan ekstrem kanan atau
ekstreme kiri. Dua kubu saling mempertahankan pendapat, saling
berargumen tanpa lelah. Dampak nyatanya adalah mereka tidak lagi
memiliki waktu untuk memikirkan perkembangan kehidupan spiritual
mereka; mereka hanya sibuk untuk mencari kebenaran yang bersifat
metafisik. Kalaupun terus dituruti, perdebatan semacam ini tidak
akan menemukan jawaban yang memuaskan karena setiap jawaban
yang dianggap sebagai jawaban akhir, akan dipatahkan, akan dicari
kelemahannya.

Sebagai orang yang telah tunggang langgang, malang melintang,


dalam dunia filosofis maupun praktik, Sang Buddha sangat
memahami kondisi semacam ini. Oleh sebab itu, Sang Buddha
tidak berpihak pada pandangan yang dianut oleh Deva Rohitassa.
Sekalipun setuju dengan pandangan bahwa akhir dunia ini tidak dapat
dicapai, diketahui dan dilihat dengan cara mengembara, Sang Buddha
kemudian menguratakan pandangan-Nya. Pandangan yang dianut oleh
Sang Buddha adalah tanpa mencapai akhir dunia, akhir penderitaan
tidak akan bisa dicapai (Na cāhaṃ, āvuso, appatvāva lokassa antaṃ
dukkhassa antakiriyaṃ vadāmi).

Dari kalimat di atas, dapat dilihat kecerdasan Sang Buddha.


Sang Buddha bisa menggunakan materi yang ada sebagai sarana
untuk mengajarkan Dhamma. Dari kalimat tersebut, terbaca dengan
jelas Sang Buddha berusaha untuk mengalihkan topik dari pandangan
spekulatif menjadi pengalaman secara langsung, empiris. Sang
Buddha tidak serta merta mengikuti pandangan spekulatif Deva
Rohitassa sebab pandangan tersebut tidak memberikan manfaat secara
langsung terhadap kebahagiaan manusia, tidak ada koneksinya dengan
penderitaan manusia. Pandangan semacam itu akan terus menjebak
manusia untuk terperangkap dalam lingkaran roda saṃsāra.

Agar kalimat yang diutarakan oleh Sang Buddha tidak


membingungkan, Sang Buddha mendefinisikan secara spesifik konsep
dunia yang Beliau anut. Dalam pandangan Sang Buddha, dalam tubuh
yang panjangnya tidak lebih dari satu depa ini terdapat dunia, asal
mula dunia, akhir dunia, dan jalan menuju akhir dunia (imasmiṃyeva
byāmamatte kaḷevare sasaññimhi samanake lokañca paññāpemi
lokasamudayañca lokanirodhañca lokanirodhagāminiñca paṭipadaṃ).

Konsep dunia yang didefinisikan oleh Sang Buddha jelas berbeda


dari konsep dunia yang dianut oleh para filsuf pada umumnya. Definisi
ini jelas tidak ada sangkut pautnya dengan konsep dunia yang bersifat
ekstrem, baik ekstrem kiri maupun ektrem kanan. Konsep dunia ini
adalah konsep dunia Jalan Tengah, tidak berpihak pada pandangan
ekstrem mana pun. Dengan kata lain, konsep dunia yang didefinisikan
oleh Sang Buddha berada di luar konsep dunia yang ada. Oleh karena
itu, tidaklah mengherankan jika dalam ceramah-Nya, Sang Buddha
dengan lantang mengatakan bahwa apa yang diajarkan tidak pernah
didengar sebelumnya (pubbe ananussutesu dhammesu).

Dunia yang didefinisikan oleh Sang Buddha adalah dunia


pengalaman (the world of experience). Karena itu, istilah loka
mengacu pada penderitaan, lokasamudaya merujuk pada sebab
penderitaan, lokanirodha memiliki padanan terhentinya penderitaan
dan lokanirodhagāmini paṭipada adalah untuk jalan menuju lenyapnya
penderitaan.

Sang Buddha lebih memilih fokus pada dunia pengalaman karena


Sang Buddha memahami bahwa dunia inilah yang akan sanggup
dijelajahi dengan sempurna, dunia inilah yang akan bisa dipahami
secara nyata, dunia inilah yang akan bisa memberikan kontribusi
secara langsung terhadap permasalahan yang dihadapi oleh manusia.

Penderitaan manusia tidak akan berakhir sekalipun manusia


sanggup memahami dunia sebagaimana didefinisikan secara umum.
Penderitaan manusia tetap akan akan meski manusia mampu
menjelajahi dunia tersebut. Masalahnya adalah penderitaan terdapat
dalam dunia pengalaman manusia, dan bukan di dunia di luar.
Kebahagiaan akan bisa dicapai, penderitaan bisa dihentikan secara
total jika manusia sanggup memahami, mengerti dan menerima dunia
pengalaman sebagaimana apa adanya.

Saat sanggup memahami, mengerti dan menerima dunia


pengalaman sebagaimana apa adanya, tidak akan ada komentar, tidak
ada penilaian, tidak ada penghakiman, juga tidak ada status. Yang ada
hanyalah proses yang terus berlangsung. Yang ada hanyalah fenomena-
fenomena yang wajib terjadi karena adanya dukungan, sokongan dan
kondisi yang lainnya. Tanpa ada dukungan, sokongan dan kondisi
yang lainnya, tidak akan mungkin suatu proses bakal terjadi. Dengan
kata lain, suatu fenomena dapat terjadi karena adanya ribuan kondisi,
dan ribuan kondisi tersebut dikondisikan oleh miliaran kondisi yang
lainnya.

Ketika penderitaan berhenti dengan sempurna, dan kebahagiaan


sejati telah didapatkan dengan tanpa cacat, tiada lagi kelahiran di
dunia ini. Roda saṃsāra berhenti cukup sampai di sini. Inilah arti
yang sesungguhnya mengapa Sang Buddha mengatakan bahwa tanpa
mencapai akhir dunia, akhir penderitaan tidak dapat dicapai.
Susima Sutta: Ketika Pencapaian Jhāna dan
Lima Jenis Abhiñña Tidak Penting

Susima Sutta adalah sutta yang terdapat dalam Saṃyutta Nikaya,


tepatnya Nidāna Saṃyutta. Nidāna Saṃyutta adalah saṃyutta
keduabelas dalam Nidānavagga. Dalam edisi modern, sutta ini
berada di halaman 119, Vol. II. Sutta ini diberi nama Susima karena
yang berperan aktif adalah Susima. Karena itu, sutta ini diberi nama
berdasarkan pada nama orang yang terlibat atau aktif dalam sutta ini.

Secara struktural, Susima Sutta dibagi menjadi lima bagian. Bagian


pertama atau bagian awal adalah pembukaan. Isinya, menceritakan
tentang keberadaan Sang Buddha saat sutta ini dibabarkan. Bagian
kedua, menceritakan tentang popularitas Sang Buddha dan saṅgha
yang dipimpin-Nya. Popularitas ini membuat iri para petapa dari
berbagai sekte yang lainnya. Dampaknya, Sang Buddha bersama
anggota saṅgha di bawah bimbingan Sang Buddha dihormati, dipuja
dan mendapatkan berbagai jenis sokongan, termasuk tempat tinggal,
makanan, obat-obatan dan jubah. Sementara, para petapa dari agama
lain tidak mendapatkan perlakuan yang sama.

Menyadari kondisi semacam itu, sekelompok petapa yang


dipimpin oleh Susima meminta Susima untuk menjadi bhikkhu di
bawah bimbingan Sang Buddha. Tujuannya, Susima dapat mempelajari
Dhamma ajaran Sang Buddha dan kemudian mengajarkan kepada
para petapa tersebut. Dengan memahami ajaran Sang Buddha, mereka
dapat mengajarkan ajaran tersebut kepada umat awam. Dengan
demikian, mereka pun akan mendapatkan popularitas dan dukungan
yang sama seperti Sang Buddha dan juga para bhikkhu.
Susima menerima permohonan tersebut. Dia pun menemui Y.M.
Ānanda untuk mengutarakan keinginannya menjadi bhikkhu di bawah
naungan Sang Buddha. Setelah mendapatkan izin dari Sang Buddha,
Susima pun ditahbiskan menjadi bhikkhu. Ini adalah akhir dari sesi
kedua.

Di bagian ketiga, berisi percakapan antara Y.M. Susima dengan


para bhikkhu yang telah menyelesaikan tugasnya, mencapai kesucian
tertinggi, arahat. Para bhikkhu tersebut mendeklarasikan di hadapan
Sang Buddha, “Kami memahami bahwa, kelahiran telah dihancurkan,
kehidupan suci telah dijalani, apa yang perlu dilakukan telah dilakukan,
tidak ada kelanjutan lagi.”

Ketika mendengar para bhikkhu telah mendeklarasikan diri


seperti itu, Y.M. Susima menginterogasi para bhikkhu tersebut. Yang
pertama dilakukan adalah menanyakan secara langsung apakah benar
bahwa mereka telah mendeklarasikan diri tentang pencapaian mereka.
Ketika jawaban yang didapatkan bersifat afirmatif, Y.M. Susima
melanjutkan dengan pertanyaan tentang pencapaian lainnya yang
dimiliki oleh para bhikkhu tersebut.

Dengan pencapaian tingkat kesucian tertinggi seperti itu,


apakah mereka juga mencapai atau memiliki berbagai kemampuan
batin (iddhividha), seperti menggandakan diri, menembus tembok,
terbang, muncul dan lenyap seketika dan sebagainya. Pertanyaan ini
dijawab secara negatif oleh para bhikkhu tersebut. Pertanyaan ini
pun dilanjutkan dengan kepemilikan tentang mata deva (dibbasota),
kemampuan membaca pikiran orang lain, mengingat berbagai
kehidupan lampau, mata deva (dibbacakkhu). Semua pertanyaan
tentang pañca abhiññā tersebut dijawab secara negatif juga. Artinya,
meski telah mencapai kesucian arahat, mereka semua tidak memiliki
lima jenis abhiñña tersebut. Apa yang mereka miliki hanyalah satu
abhiññā, yaitu āsavakkhayañāṇa atau pengetahuan tentang hancurnya
kotoran batin.

Pertanyaan Y.M. Susima tidak berhenti hanya di situ saja. Beliau


masih melanjutkan dengan pertanyaan lainnya. “Dengan mengetahui
dan melihat hal itu, apakah āyasma juga menikmati kebebasan-
kebebasan yang sangat damai tersebut, yang melampaui pencapaian
rūpa dan arūppā, setelah menyentuhnya dengan tubuh?” (api pana
tumhe āyasmanto evaṃ jānantā evaṃ passantā ye te santā vimokkhā
atikamma rūpe āruppa te kāyena phusitvā viharathāti). Pertanyaan
ini pun dijawab tidak ada bedanya seperti pertanyaan-pertanyaan
sebelumnya.

Y.M. Susima pun bertambah penasaran, benar-benar bingung


oleh jawaban para bhikkhu tersebut. Mereka telah mengklaim
menyelesaikan tugasnya sebagai murid Sang Buddha, tetapi mereka
tidak memiliki dan tidak menikmati keistimewaan apa pun selain
lenyapnya kotoran batin sepenuhnya. Bagaimana mungkin hal itu bisa
terjadi? Merespons pertanyaan ini, jawaban para bhikkhu tersebut
sangat sederhana, “Kami terbebaskan melalui kebijaksanaan, Āvuso
Susima” (paññāvimuttā kho mayaṃ āvuso Susīmāti).

Dalam Kitab Komentar, kalimat “kami terbebaskan melalui


kebijaksanaan” dijelaskan sebagai bebas dari pencapaian jhāna,
orang-orang yang memiliki pengalaman kering dan sepenuhnya
hanya terbebaskan melalui kebijaksanaan (paññāvimuttā kho mayaṃ,
āvusoti, āvuso, mayaṃ nijjhānakā sukkhavipassakā paññāmatteneva
vimuttāti dasseti).

Masalah tersebut lebih jauh dijelaskan bahwa, pengetahuan


dapat muncul tanpa melalui konsentrasi (Vināpi samādhiṃ evaṃ
ñāṇuppattidassanatthaṃ). Alasan yang diberikan dalam Kitab
Komentar mengapa pencapaian jhāna tidak dibutuhkan sama sekali
dalam pencapaikan kebebasan pikiran adalah bahwa baik Jalan
(magga) maupun Hasil (phala) bukan masalah, bukan dampak, juga
bukan pencapaian konsentrasi (samādhi), melainkan masalah, dampak
dan pencapaian pemahaman secara langsung terhadap fenomena
(maggo vā phalaṃ vā na samādhinissando, na samādhiānisaṃso,
na samādhissa nipphatti, vipassanāya paneso nissando, vipassanāya
ānisaṃso, vipassanāya nipphatti).

Y.M. Susima yang merasa bingung, meminta penjelasan lebih


lanjut karena tidak memahami pernyataan tersebut, namun para
bhikkhu hanya menjawab apakah dirinya mengerti atau tidak, mereka
semua terbebaskan melalui kebijaksanaan. Jawaban tersebut sekaligus
menjadi penutup dalam bagian ini.

Di bagian keempat, Y.M. Susima yang masih penasaran


dengan pencapaian para bhikkhu tersebut menemui Sang Buddha.
Setelah mendengar cerita dari Y.M. Susima, Sang Buddha kemudian
mengatakan bahwa pertama muncul pengetahuan tentang stabilitas
Dhamma dan selanjutnya muncul pengetahuan tentang Nibbāna.
Ketika Y.M. Susima tidak memahami pernyataan ini dan meminta
penjelasan, Sang Buddha dengan nada humoris menjawab, “Apakah
kamu mengerti atau tidak, pertama muncul pengetahuan tentang
stabilitas dhamma dan selanjutnya muncul pengetahuan tentang
Nibbāna.”

Meski tidak tertulis, dapat dibayangkan bahwa jawaban


tersebut justru membuat Y.M. Susima benar-benar tersesat di hutan
belantara, tidak bisa melihat apa pun, tidak mengerti arah mana
pun. Namun, Sang Buddha sebagai guru yang bijaksana, tidak ingin
menimbulkan kebingungan bagi pendengar-Nya. Karena itu, Sang
Buddha mengajukan pertanyaan tentang sifat hakiki lima kelompok
kehidupan. Jawaban Y.M. Susima, bentuk, perasaan, persepsi, bentuk-
bentuk pikiran, dan kesadaran semua sifatnya tidak kekal. Apa yang
tidak kekal bersifat tidak memuaskan. Karena tidak memuaskan,
kelima kelompok kehidupan tersebut tidak layak untuk dianggap
sebagai diriku, aku dan milikku.

Sang Buddha menyimpulkan bahwa saat memahami dengan


benar sifat hakiki lima kelompok kehidupan, seorang siswa mulia akan
menjadi tidak tertarik pada lima kelompok kehidupan. Karena tidak
tertarik, dia pun tidak melekat. Dengan tidak melekat, pikirannya pun
terbebaskan. Ketika pikirannya terbebaskan, muncullah pengetahuan
tentang kebebasan tersebut bahwa kelahiran telah diputuskan,
kehidupan suci telah dijalani, apa yang perlu dilakukan telah dilakukan,
dan tidak ada kelanjutan lagi.

Pertanyaan tersebut kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan


mengenai pemahaman secara langsung Y.M. Susima tentang hukum
sebab musabab yang saling bergantungan. Pertanyaan itu dimulai dari
“Apakah kamu melihat, Susima, dengan kelahiran sebagai kondisi,
muncullah usia tua dan kematian?” dan diakhiri dengan “Dengan
berhentinya kebodohan, berhentilah bentuk-bentuk pikiran?”

Jika dilihat dari skema pertanyaannya, pertanyaan-pertanyaan


Sang Buddha tentang paṭiccasamuppāda hanya untuk memastikan
bahwa Y.M. Susima telah memahami dhamma secara benar, dan jika
dianalisis dari pertanyaan selanjutnya, Y.M. Susima telah mencapai
kebebasan batin tepat saat Sang Buddha selesai mengajukan pertanyaan
tentang sifat hakiki lima kelompok kehidupan. Pertanyaan yang sama
pun diajukan kepada lima bhikkhu pertama. Di akhir pertanyaan
tersebut mereka berlima menjadi arahat. Meski hal tersebut tidak
tertulis dalam sutta, Kitab Komentar juga mengatakan bahwa Y.M.
Susima mencapai kesucian arahat di akhir ceramah.

Dalam pertanyaan selanjutnya, jika Y.M. Susima telah


mengajukan pertanyaan tentang pencapaian lima jenis abhiññā dan
pencapaian jhāna kepada para bhikkhu yang telah mencapai kesucian
arahat, Sang Buddha pun mengajukan pertanyaan yang sama kepada
Y.M. Susima sebagaimana Y.M. Susima telah mengajukan pertanyaan
tersebut kepada para bhikkhu. Ketika semua pertanyaan itu dijawab
secara negatif, Sang Buddha pun bertanya, “Bagaimana mungkin hal
itu bisa terjadi?”

Pertanyaan tersebut menutup bagian keempat. Di bagian kelima,


karena tidak menemukan jawaban dan batinnya telah sepenuhnya
tersadarkan, Y.M. Susima bersujud di kaki Sang Buddha, mengakui
kesalahannya. Beliau mengakui bahwa motivasinya menjadi bhikkhu
adalah sebagai pencuri dhamma. Sang Buddha pun menjelaskan
bahwa orang yang menjalani kehidupan kebhikkhuan sebagai pencuri
dhamma dampaknya jauh lebih menyakitkan, lebih pahit, lebih
menyengsarakan jika dibandingkan dengan seorang penjahat yang
tertanggap dan dipenggal kepalanya.

Meski memberikan penjelasan sebagaimana apa adanya, Sang


Buddha tetap memaafkan Y.M. Susima karena Y.M. Susima dapat
melihat kesalahan sebagai kesalahan dan berani mengakui kesalahan
tersebut. Dalam pandangan Sang Buddha, Dhamma akan tetap terus
bertahan jika mereka yang menjalankan dhamma dapat melihat
kesalahan sebagai kesalahan, berani mengakuinya, dan melakukan
pengendalian diri di masa yang akan datang.
Itulah Susima Sutta. Jika dicermati, sebenarnya ada dua pesan
penting yang disampaikan dalam sutta ini. Pertama, berlatihlah
semaksimal mungkin meski tidak bisa mendapatkan konsentrasi.
Konsentrasi bukanlah tujuan utama dalam praktik. Tujuan utama dalam
praktik adalah hancurnya keserakahan, kebencian dan kebodohan.
Karena itu, sepanjang tiga hal ini terus terkikis, terus berkurang, terus
menipis bersamaan dengan praktik yang dijalankan, berarti tujuan
praktik sedikit demi sedikit telah terealisasi.

Sekalipun orang mengatakan praktik kita salah, praktik kita


tidak benar, sepanjang kita tahu secara pasti kotoran batin semakin
berkurang, sepanjang itu pula kita masih mempraktikkan dhamma;
sepanjang itu pula, kita tidak melenceng dari praktik. Selain itu,
tidak perlu terjebak dalam perdebatan, membenarkan cara sendiri
dan menyalahkan metode orang lain, tetapi buktikanlah teori sendiri
sampai benar-benar sukses untuk mengikis seluruh kotoran batin.
Setelah sukses membuktikan teori tersebut hingga menuntaskan tugas
akhir dalam praktik, yaitu menjadi arahat, barulah kita punya hak
untuk mengatakan cara ini benar atau cara itu salah.

Jika kita masih belum membuktikan hingga terselesaikannya tugas


dalam praktik, sehebat apa pun teori yang kita perdebatkan adalah salah,
hanya omong kosong semata karena kita memperdebatkannya masih
sebatas kesaksian orang lain, sebatas apa kata orang lain, bukan apa
yang telah kita lakukan sendiri. Memperdebatkan dan mempertahankan
sebuah teori tanpa mempraktikkan dan membuktikan keampuhan dan
keefektifan teori tersebut untuk mengikis seluruh kotoran batin, tidak
ada bedanya seperti memperdebatkan dan mempertahankan bahwa
minum racun itu menyehatkan tetapi dirinya sendiri belum pernah
minum racun sama sekali.
Meski orang yang telah sukses membuktikan keampuhan dan
keefektifan suatu teori untuk mengikis seluruh kotoran batin memiliki
hak untuk mengatakan cara ini benar, metode itu salah, dapat diyakini,
meraka yang serius dalam praktik, sukses sepenuhnya dalam praktik
batinnya akan menjadi lentur, luwes, tidak kaku sehingga tidak akan
menyalahkan teori atau metode orang lain. Mereka yang sukses dalam
praktik akan memberikan kebebasan kepada orang lain untuk praktik
sesuai dengan keyakinannya masing-masing.

Kedua, jalanilah kehidupan praktik dengan baik. Miliki motivasi


yang luhur. Seandainya memiliki motivasi untuk menjadi pencuri
dalam dhamma, bersiaplah untuk menerima konsekuensinya, karena
konsekuensinya sangat pahit, sangat menyakitkan, lebih menyakitkan
dan lebih pahit jika dibandingkan dengan dipermalukan di depan
umum dan dipenggal kepalanya.
Upāli Sutta: Sepuluh Manfaat Vinaya

Ada tiga sutta yang diberi nama Upāli Sutta. Pertama di dalam
Majjhima Nikāya, dan dua lainnya ada di dalam Aṅguttara Nikāya.
Ketiga sutta dengan nama yang sama tersebut, memuat tema yang
berbeda.

Upāli Sutta yang dibahas ini adalah dari Aṅguttara Nikāya. Sutta
ini berasal dari Dasakanipāta atau Kelompok Sepuluh. Secara edisi
modern, sutta ini berada di halaman 70, Vol. V. Sutta ini dibabarkan
secara langsung oleh Sang Buddha atas pertanyaan Y.M. Upāli. Karena
itu, sutta ini diberi nama pendengarnya, Upāli.

Dalam narasa pembukaan, dikatakan bahwa Y.M. Upāli


mendatangi Sang Buddha. Beliau bertanya mengenai manfaat
ditetapkannya vinaya kepada para bhikkhu dan pengulangan
Pāṭimokha. Menanggapi pertanyaan ini, Sang Buddha mengatakan
bahwa ada sepuluh manfaat ditetapkannya vinaya kepada para bhikkhu
dan pengulangan Pāṭimokha. Sepuluh manfaat tersebut adalah sebagai
berikut:

1. Untuk kesejahteraan Saṅgha (saṅghasuṭṭhutāya)

2. Untuk kenyamanan Saṅgha (saṅghaphāsutāya)

3. Untuk mengendalikan bhikkhu yang berperilaku buruk


(dummaṅkūnaṃ puggalānaṃ niggahāya)

4. Untuk kenyamanan bhikkhu yang berperilaku baik (pesalānaṃ


bhikkhūnaṃ phāsuvihārāya)

5. Untuk mengendalikan kotoran batin yang terlihat saat ini


(diṭṭhadhammikānaṃ āsavānaṃ saṃvarāya)

6. Untuk menghancurkan kotoran batin yang akan muncul di


masa yang akan datang (samparāyikānaṃ āsavānaṃ paṭighātāya)

7. Untuk menimbulkan keyakinan bagi mereka yang tidak


memiliki keyakinan (appasannānaṃ pasādāya)

8. Untuk meningkatkan mereka yang telah memiliki keyakinan


(pasannānaṃ bhiyyobhāvāya)

9. Untuk kelanjutan ajaran yang benar (saddhammaṭṭhitiyā)

10. Untuk memperkanalkan kehidupan bermoral


(vinayānuggahāya)

Jika ditinjau secara berurutan, Sang Buddha mengajarkan vinaya,


yang diutamakan bukan per individu tetapi justru Saṅgha secara
keseluruhan. Hal ini dapat dilihat dari sepuluh manfaat tersebut. Dalam
hal ini, justru Sang Buddha menempatkan Saṅgha pada posisi manfaat
pertama, disusul dengan manfaat kedua. Saṅgha diutamakan karena
Saṅgha adalah tempat setiap individu bhikkhu bernaung. Karena itu,
Saṅgha tidak boleh dinomorduakan.

Dari manfaat pertama dan kedua, jelaslah bahwa vinaya


bukanlah serta-merta untuk kepentingan individu yang menjalankan
tetapi yang utama adalah untuk kepentingan Saṅgha. Setiap individu
bhikkhu menjalankan vinaya dengan baik adalah untuk kesejahteraan
dan kenyamanan Saṅgha. Dengan kata lain, para bhikkhu yang tidak
menjalankan vinaya dengan baik mengharapkan agar kesejahteraan
Saṅgha hancur dan kenyamanan Saṅgha terganggu.

Tentu, manfaat pertama dan kedua dapat dipahami dengan


mudah. Ambillah contoh, seorang bhikkhu berperilaku tidak baik di
tengah-tengah masyarakat. Masyarakat tentu akan dengan mudah
mengidentifikasi “petapa ini adalah murid Sang Buddha”. Dengan
begitu, yang pertama terkena dampaknya adalah Saṅgha secara
keseluruhan dan bukan sekadar bhikkhu yang bersangkutan.

Manfaat nomor tiga dan empat berkaitan dengan hubungan sosial


bhikkhu tersebut dengan sesama anggota Saṅgha. Di dalam Saṅgha,
seorang bhikkhu tentu tidak hanya hidup sendiri. Dia hidup bersama
bhikkhu yang lainnya. Para bhikkhu yang lainnya berasal dari
berbagai latar belakang yang berbeda, karakter yang tidak sama dan
kebiasaan yang bervariasi. Karena itu, vinaya sebenarnya bertujuan
untuk mengikat para bhikkhu hidup untuk saling mengerti, memahami
dan bisa saling menyokong dalam praktik.

Dengan adanya vinaya, para bhikkhu yang tidak memiliki perilaku


yang baik dapat dikendalikan, sedangkan yang telah memiliki perilaku
yang baik tidak merasa terganggu oleh perilaku para bhikkhu yang
kurang baik. Dengan demikian, keduanya bisa berjalan beriringan,
tanpa perlu merasa saling dirugikan. Secara singkat, dapat dikatakan
bahwa vinaya adalah pemersatu, pengikat anggota Saṅgha untuk
berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah.

Manfaat yang kelima dan enam adalah untuk kepentingan


diri sendiri. Seseorang menjadi petapa, menjadi bhikkhu di bawah
bimbingan Sang Buddha adalah untuk satu tujuan: menghancurkan
kotoran batin, demi tercapainya kebahagiaan sejati, sehingga terbebas
dari saṃsāra. Selama dua puluh tahun pertama, vinaya sebagaimana
yang dikenal sekarang, tidak diperkenalkan karena para bhikkhu awal
konsisten dengan tujuan utama mereka untuk meninggalkan kehidupan
rumah tangga dan menjalani kehidupan monastik.
Kalaupun mereka tidak mencapai tujuan yang diharapkan,
mereka tetap konsisten untuk berjuang, berperilaku sesuai yang
diharapkan. Namun, ketika ketenaran Saṅgha sudah meroket, banyak
yang masuk ke dalam Saṅgha karena ingin numpang tenar, ingin
hidup enak, tetapi tetap berperilaku seperti ketika sebelum bergabung
ke dalam Saṅgha. Situasi semacam ini telah menimbulkan kritik dari
masyarakat sehingga Sang Buddha harus menetapkan vinaya.

Adanya istilah āsāva dalam kedua manfaat ini menunjukkan


bahwa vinaya dijalankan adalah untuk menghancurkan kotoran batin,
baik kotoran batin yang sudah ada maupun yang akan muncul di
kemudian hari. Oleh sebab itu, konsekuensi logis dari pelaksanaan
vinaya yang baik adalah semakin melemahnya kotoran batin yang
telah muncul maupun kotoran batin yang berpotensi untuk muncul.

Jika yang terjadi adalah sebaliknya atau sekurang-kurangnya


kotoran batin tetap bertahan, ini mengindikasikan bahwa vinaya tidak
memberikan manfaat secara nyata dalam kehidupan individu bhikkhu
tersebut. Jika yang terjadi demikian, perlu adanya revisi dan revitalisasi
vinaya dalam kehidupan individu bhikkhu tersebut, sehingga vinaya
memberikan manfaat secara konkrit dalam kehidupannya.

Manfaat yang ketujuh dan delapan berkaitan dengan tanggung


jawab sosial kepada masyarakat secara luas. Dikatakan masyarakat
secara luas karena ini tidak hanya menyangkut masyarakat yang
menyokong karena memiliki keyakinan, tetapi juga masyarakat yang
tidak menyokong karena tidak memiliki keyakinan.

Bagi orang-orang yang menyokong karena memiliki keyakinan,


akan merasa senang karena sokongan yang diberikan tidak sia-
sia, dimanfaatkan secara maksimal oleh yang menerima sokongan.
Sokongan tersebut bermanfaat untuk latihan bhikkhu tersebut demi
tercapainya cita-cita luhur dalam menjalani kehidupan monastik. Bagi
yang tidak menyokong karena tidak memiliki keyakinan, akan merasa
senang melihat orang-orang yang berperilaku baik, hidup penuh
pengendalian diri. Perlu diingat bahwa banyak masyarakat India
yang menjadi pengikut Sang Buddha karena perilaku para bhikkhu
yang menyenangkan. Salah satu contohnya adalah Upatissa, yang
dikemudian hari dikenal sebagai Y.M. Sāriputa.

Dua manfaat yang terakhir adalah manfaat yang ada kaitannya


dengan tanggung jawab kepada Dhamma dan Vinaya. Dengan
pelaksanaan vinaya yang baik, orang lain pun akan tertarik untuk terus
mempelajari dan mempraktikkan ajaran yang baik. Dengan adanya
orang yang mau mempelajari dan mempraktikkan, ajaran kebenaran
akan terus bertahan. Namun jika yang terjadi adalah sebaliknya, orang
pun tidak akan tertarik untuk mempelajari, apalagi mempraktikkannya.

Itulah sepuluh manfaat vinaya. Entah penyusunan itu secara


spontan ataukah dipikirkan dengan baik oleh Sang Buddha. Dapat
disimpulkan bahwa ada dua aspek internal dan dua aspek eksternal;
sedangkan aspek pribadi bhikkhu yang menjalankan diletakkan
di antara keduanya atau di tengah-tengahnya. Manfaat nomor 1-4
dapat dikategorikan sebagai manfaat internal karena itu berhubungan
dengan kehidupan internal bhikkhu tersebut dengan komunitasnya
dan kolega seperjuangannya. Manfaat nomor 7-10 adalah manfaat
eksternal karena semua itu berkorelasi dengan masyarakat secara
luas. Manfaat nomor 5-6 adalah manfaat pribadi karena manfaat ini
memberikan dampak secara langsung kepada individu bhikkhu yang
menjalankannya.

Semoga para bhikkhu semakin memahami sepuluh manfaat


ini sehingga tercapai cita-cita luhur mereka, tidak hanya untuk
mengharumkan nama sendiri tetapi untuk kepentingan yang lebih jauh
dari itu. Diri sendiri hanyalah satu dari lima aspek manfaat vinaya yang
ditetapkan oleh Sang Buddha. Semoga dengan adanya pelaksanaan
vinaya yang baik, sepuluh manfaat tersebut dapat tercapai sepenuhnya
dan dengan sempurna, sehingga kedamaian, ketenangan, kebahagiaan
muncul di bumi ini.
Upāli Sutta: Pentingnya Pikiran dalam
Perbuatan

Upāli Sutta adalah sutta nomor 56 dalam Majjhima Nikāya. Sutta


ini disertakan dalam Majjhimapaṇṇāsa atau “Kelompok Lima Puluh
Menengah”, tepatnya Gahapativagga. Sekalipun secara tradisional
dimasukkan dalam Majjhimapaṇṇāsa, dalam edisi modern, sutta ini
dimasukkan dalam volume I, dan terdapat pada halaman 371. Diberi
nama Upāli Sutta karena sutta ini disampaikan terutama kepada Upāli,
meskipun dalam tahap awal percakapan sutta ini dimulai oleh Dīgha
Tapassī.

Tepat ketika berada di taman Pāvārika, yang terletak di Nāḷandā,


sebuah wilayah yang merupakan pusat Nigaṇṭha atau juga secara
umum dikenal dengan sebutan agama Jaina, Sang Buddha dikunjungi
oleh Dīgha Tapassī. Setelah basa-basi bertukar sapa, Sang Buddha
bertanya kepada Dīgha Tapassī mengenai jumlah kamma yang dapat
membuat seseorang melakukan kejahatan.

Mendengar pertanyaan tersebut, Dīgha Tapassī mengatakan


bahwa Nigaṇṭha tidak terbiasa menggunakan istilah kamma, tetapi
daṇḍa. Walaupun memiliki makna yang sangat luas, secara spesifik kata
ini dapat diartikan sebagai hukuman. Sang Buddha pun mengulangi
pertanyaannya dengan menggunakan istilah daṇḍa. Pertanyaan tersebut
dijawab bahwa ada tiga jenis daṇḍa. Ketiganya adalah hukuman
melalui badan jasmani (kāyadaṇḍa), ucapan (vacidaṇḍa) dan pikiran
(manodaṇḍa). Dalam penjelasannya, jika dianalisis, kāyadaṇḍa adalah
yang paling berpengaruh dalam menentukan kejahatan seseorang.
Setelah meyakinkan Sang Buddha bahwa kāyadaṇḍa lebih
penting dari keduanya dalam menentukan tindak kejahatan seseorang,
Dīgha Tapassī bertanya balik kepada Sang Buddha. Dia menanyakan
ada berapa jenis daṇḍa dalam ajaran Sang Buddha yang dapat
menentukan kejahatan seseorang. Sang Buddha mengatakan bahwa
bukan istilah daṇḍa yang dipergunakan tetapi kamma. Sang Buddha
menjelaskan bahwa ada tiga jenis kamma yang dapat menjadi sarana
untuk melakukan kejahatan. Tiga jenis kamma tersebut adalah
badan jasmani (kāyakamma), ucapan (vacīkamma) dan pikiran
(manokamma). Dari ketiganya, manokamma adalah yang lebih
menentukan jika dibandingkan dengan dua jenis kamma yang lainnya.

Setelah berdiskusi dengan Sang Buddha, Dīgha Tapassī menemui


Nigaṇṭha Nātaputta. Dia pun menceritakan apa yang telah terjadi.
Nigaṇṭha memuji Dīgha Tapassī atas kemampuannya berdiskusi
dengan Sang Buddha. Alasannya, Nigaṇṭha menganggap bahwa
pikiran adalah sesuatu yang tidak penting, tampak tidak nyata. Jauh
lebih penting adalah perbuatan badan jasmani. Tindakan melalui badan
jasmani tampak nyata, kasar dan dapat diobservasi secara langsung.

Perbedaan pendapat antara Sang Buddha dan Nīgaṇṭha Nātaputta


mengingatkan pada perdebatan antara tokoh psikoanalisis dan
behaviourisme. Kedua aliran psikologi ini juga memperdebatkan
hal yang tidak ada bedanya di zaman modern ini. Hanya saja, apa
yang dilakukan oleh para psikolog modern lebih dihargai, diingat dan
dijadikan pedoman; sementara apa yang dilakukan oleh Sang Buddha
dan Nīgaṇṭha telah dilupakan orang.

Upāli yang merupakan pengikut setia Nīgaṇṭha juga memuji


kehebatan Dīgha Tapassī. Dia dikenal sebagai pengikut yang loyal.
Selain itu, dia memiliki kemampuan intelektual yang cukup disegani.
Oleh sebab itu, dia meminta izin kepada Nīgaṇṭha untuk berdebat
dengan Sang Buddha dengan menggunakan percakapan antara Dīgha
Tapassī dan Sang Buddha sebagai dasarnya. Meskipun Dīgha Tapassī
meragukan kemampuan Upāli, Nīgaṇṭha tetap merasa yakin akan
kemampun Upāli untuk mengalahkan Sang Buddha dalam perdebatan.

Setelah mendapatkan cerita tentang diskusi antara Sang Buddha


dan Dīgha Tapassī dari Sang Buddha, Upāli pun memuji Dīgha
Tapassī dan menambahkan bahwa tindakan fisik jauh lebih penting
dari pikiran. Menanggapi pujian dan pandangannya, Sang Buddha
pun mempersilakan jika Upāli ingin berdebat atas dasar percakapan
tersebut. Upāli pun setuju.

Dalam sutta ini, Sang Buddha mengajukan empat pertanyaan.


Pertanyaan pertama adalah mengenai kelahiran petapa Nīgaṇṭha yang
bertekad hanya menggunakan air hangat. Petapa tersebut meninggal
karena sakitnya membutuhkan air dingin sebagai obatnya. Upāli
menjawab bahwa petapa tersebut akan terlahir sebagai deva manosattā
(terikat-pikiran) karena batinnya masih melekat pada pikiran.

Dalam pertanyaan ini sebenarnya Upāli telah mengingkari prinsip


yang dipegangnya. Namun, dia tetap bersikukuh untuk mempertahankan
prinsip tersebut. Sang Buddha pun mengajukan pertanyaan kedua.
Pertanyaan kedua ini mengenai empat jenis pengendalian diri yang
di praktikkan oleh para petapa Nīgaṇṭha. Meski telah mempraktikkan
empat jenis pengendalian diri (cātuyāmasaṃvara), tetap saja ada
makhluk-makhluk kecil yang mati terinjak.

Dalam pandangan Upāli, kematian makhluk-makhluk tersebut


tidak dianggap tindakan jahat karena tidak ada niat. Namun, jika
dilakukan dengan niat, dianggap sebagai tindak kejahatan yang sangat
berat. Dalam pertanyaan kedua ini pun Upāli kembali mengingkari
prinsipnya karena niat dikategorikan sebagai manodaṇḍa. Dengan
demikian, pikiran adalah yang lebih penting.

Karena masih belum mengakui kesalahannya, Sang Buddha


mengajukan pertanyaannya lainnya. Dalam pertanyaan yang ketiga,
Sang Buddha menanyakan bagaimana seandainya ada seseorang
yang datang menghunus pedang dan membunuh seluruh masyarakat
Nāḷandā. Pernyataan itu disanggah oleh Upāli karena sekalipun lima
puluh orang tidak akan mampu untuk membunuh seluruh orang di
kota tersebut. Namun, ketika pertanyaannya diubah, bagaimana
seandainya ada orang yang sakti, menggunakan kekuatan batinnya,
menghancurkan kota Nāḷandā menjadi debu, justru Upāli mengganggap
hal itu memungkinkan. Jangankan hanya satu kota Nāḷandā, lima puluh
kota Nāḷandā pun akan sanggup dihancurkan dalam waktu sekejap.

Sekali lagi, Upāli mengingkari prinsipnya sendiri. Namun tetap


bersikukuh pada pendiriannya. Sang Buddha pun menanyakan apakah
Upāli mengetahui sejarah terjadinya hutan Daṇḍaka, Kāliṅga, Mejjha
dan Mātaṅga. Upāli mengafirmasi pertanyaan tersebut dan mengatakan
bahwa semua hutan tersebut terbentuk karena kekuatan pikiran para
petapa yang didasari oleh kebencian.

Apa yang diungkapkan oleh Sang Buddha dalam sutta ini sangat
selaras dengan sutta-sutta lainnya. Di berbagai tempat Sang Buddha
telah mengatakan bahwa pikiran lebih penting, memainkan peran
yang tidak dapat disepelekan begitu saja. Karena itu, pikiran telah
mendapatkan tempat yang cukup signifikan dalam literatur Buddhis.
Karena yang menjadi titik penekanan adalah pikiran, pikiran pula
yang perlu dibebaskan dari belenggu batin.
Melihat dan mengalami sendiri kecerdikan Sang Buddha
dalam berdebat, Upāli pun bertekut lutut. Sebenarnya, dia mengakui
kekalahannya sejak pertanyaan pertama, tetapi demi mempelajari lebih
dalam pengetahuan Sang Buddha, dia tetap terus mempertahankan
pendapatnya. Karena itu, sebagai wujud keyakinannya, dia
menyatakan diri untuk menjadi murid Sang Buddha. Sang Buddha
tidak serta merta menerima permohonan tersebut dan meminta Upāli
untuk mempertimbangkannya dengan matang.

Mendengar apa yang disampaikan oleh Sang Buddha, Upāli


justru merasa semakin yakin untuk menjadi murid Sang Buddha.
Yang menjadi pertimbangannya adalah apa yang terjadi seandainya
dia menganut agama lain. Tentu, dia akan diarak keliling kota untuk
menunjukkan bahwa agama yang besar, agama pemenang. Karena itu,
sekali lagi dia menyatakan keinginannya untuk menjadi murid Sang
Buddha.

Sang Buddha pun menerima Upāli dengan pertimbangan bahwa


dia tetap harus menyokong para petapa dan brahmana yang dulu telah
disokongnya. Dengan adanya tekad, yang terpatri begitu kuat, Upāli
menjadi murid Sang Buddha. Sang Buddha pun mengajarkan lima
ajaran bertahap dan pada akhirnya menjadi seorang pemenang arus
(sotāpanna).

Begitu mendengar Upāli telah pindah agama, Nigaṇṭha


mendatangi rumah Upāli untuk meminta klarifikasi secara langsung.
Nigaṇṭha dan pengikutnya merasa kaget karena mendapatkan
perlakukan yang tidak biasanya. Dalam kesempatan ini, Upāli tampak
begitu arogan, begitu percaya diri. Arogansi, dan rasa percaya diri
Upāli dapat dipahami karena saat itu dia tak ubahnya seperti anjing
yang baru saja dikeluarkan dari kandangnya, tak ubahnya seperti orang
yang dahaga menemukan sumur, atau orang yang tersesat menemukan
tempat tujuan.

Arogansi, kesombongan, yang dipicu dan didasari oleh rasa


percaya diri (saddhā) mencapai puncaknya tepat saat seseorang
menjadi pemenang arus. Pada momen inilah dia merasa menjadi
orang yang benar-benar baik untuk pertama kalinya; dalam momen
inilah muncul pemahaman bahwa dia tidak akan mungkin terlahir
di alam rendah, alam menderita. Dia memiliki kepastian yang tidak
bisa dipatahkan oleh siapa pun bahwa dia akan selalu menjadi orang
baik, terlahir di alam baik, dan terus berproses mencapai pencerahan
tertinggi.

Arogansi, kesombongan yang dipicu oleh rasa percaya diri akan


luntur bersamaan dengan matangnya praktik. Hal ini akan mencapai
titik terendah pada saat menjadi arahat. Oleh karena itu, mereka yang
telah mencapai tingkat kesucian arahat dikatakan sebagai assaddho
akataññū. Frase assaddho akataññū dapat diartikan sebagai orang yang
tidak memiliki keyakinan dan tidak memiliki rasa terima kasih; juga
seluruh kesombongannya (māna) akan lenyap secara total di tingkat
ini.

Melihat arogansi dan kesombongan Upāli, Nigaṇṭha merasa


sangat marah. Dia mengatakan bahwa Upāli adalah orang gila, orang
idiot (ummattosi tvaṃ, gahapati, dattosi tvaṃ, gahapati!), orang yang
telah jatuh dalam perangkap guna-guna Sang Buddha. Mendengar hal
itu, Upāli justru tertawa dan dengan bangga mengatakan bahwa dia
akan senang seandainya semua sanak keluarga, semua orang di dunia
ini terkena perangkap semacam itu. Seandainya semua orang terkena
guna-guna atau sihir semacam itu, tentu perangkap semacam itu akan
memberikan kebahagiaan dalam waktu yang lama.
Ketika Nigaṇṭha menanyakan kepada Upāli, murid siapa dirinya,
Upāli menjawabnya dalam bentuk syair. Isinya memuji kehebatan
Sang Buddha. Karena kehebatan itulah, Upāli dengan penuh keyakinan
menjadi murid Sang Buddha.
Vipallāsa Sutta: Terjebak dalam Pandangan

Vipallāsa Sutta adalah salah satu sutta dari Aṅguttara Nikāya.


Secara tradisional, sutta ini terdapat dalam Catukkanipāta atau
Kelompok Empat. Dalam edisi modern, terdapat dalam halaman
52, vol. II. Sutta ini diberi nama sesuai dengan tema sutta ini, yaitu
vipallāsa.

Istilah vipallāsa (vi + pari + āsa) berarti terbalik, tidak sesuai


dengan kenyataan, salah. Dalam sutta ini, disebutkan ada tiga jenis
vipallāsa. Ketiganya adalah saññāvipallāsa, cittavipallāsa dan
diṭṭhivipallāsa. Saññāvipallāsa dapat dipahami sebagai persepsi yang
tidak sesuai dengan realita, cittavipallāsa dapat diartikan sebagai
pikiran yang tidak sesuai dengan kenyataan dan diṭṭhivipallāsa adalah
pandangan yang tidak selaras dengan keadaan yang sesungguhnya.

Secara psikologis maupun secara umum, istilah saññā dapat


diartikan sebagai persepsi atau memori, ingatan. Dalam proses
persepsi, saññā biasanya muncul setelah perasaan (yaṃ vedeti taṃ
sañjānāti). Hal ini pun berlaku dalam urutan pañcakkhandha. Apa
yang dipersepsikan itulah yang kemudian dipikirkan. Fungsi citta
yang paling unik adalah untuk berpikir (cinteti). Apa yang dipikirkan
secara berkesinambungan, terus menerus, itulah yang menjadi tabiat,
karakter atau sifat. Sebenarnya, apa yang disebut tabiat, karakter, sifat,
kecenderungan adalah diṭṭhi. Dalam Mahāniddesa maupun dalam
Kitab Komentar, diṭṭhi bersama taṇhā dan māna adalah satu kesatuan
yang membentuk proliferasi mental (papañca). Karena itu, saññā,
citta dan diṭṭhi, secara psikologis, adalah suatu rangkaian proses yang
saling mengondisikan dan bukan suatu elemen yang berdiri sendiri.
Sebagai implikasi dari adanya tiga jenis vipallāsa di atas, terjadilah
distorsi dalam proses persepsi. Karena adanya distorsi dalam proses
persepsi, apa yang berubah dilihat atau dianggap sebagai kekal (anicce
niccanti saññāvipallāso cittavipallāso diṭṭhivipallāso), apa yang tidak
memuaskan dianggap memuaskan (dukkhe sukhanti saññāvipallāso
cittavipallāso diṭṭhivipallāso), apa yang tanpa inti dianggap memiliki
inti (anattani attāti saññāvipallāso cittavipallāso diṭṭhivipallāso), apa
yang tidak indah dianggap indah (asubhe subhanti saññāvipallāso
cittavipallāso diṭṭhivipallāso).

Terjadinya distorsi dalam proses persepsi telah menciptakan


malapetaka dalam kehidupan. Ratap tangis, kesedihan, kebencian,
kemarahan, kekecewaan muncul silih berganti. Hal ini bisa terjadi
karena adanya harapan agar segala sesuatunya tidak berubah, selalu
memuaskan, bisa diatur dan tampak indah sesuai dengan harapan.
Secara singkat, semua fenomena semacam itu disebut sebagai
penderitaan.

Sang Buddha memahami dan sangat menyadari bahwa hidup


dengan distorsi dalam persepsi sungguh tidak enak, tidak mudah,
sangat melelahkan. Karena itu, Sang Buddha mengajarkan agar
mengubah persepsi, mengubah pola pikir dan mengubah pandangan.
Dengan adanya perubahan semacam ini, apa yang berubah dilihat
sebagai berubah (anicce aniccanti nasaññāvipallāso nacittavipallāso
nadiṭṭhivipallāso), apa yang tidak memuaskan dilihat sebagai tidak
memuaskan (dukkha dukkhanti nasaññāvipallāso nacittavipallāso
nadiṭṭhivipallāso), apa yang tanpa inti dilihat sebagai tanpa inti
(anattani anattāti nasaññāvipallāso nacittavipallāso nadiṭṭhivipallāso),
dan apa yang tidak indah sebagai tidak indah (asubhe asubhanti
nasaññāvipallāso nacittavipallāso nadiṭṭhivipallāso).
Mempersepsikan, memikirkan dan memandang apa yang berubah
sebagai berubah, tidak memuaskan sebagai tidak memuaskan, tanpa
inti sebagai tanpa inti dan ketidakindahan sebagai ketidakindahan,
berarti melihat apa adanya, melihat tanpa intervensi dan keinginan
untuk begini atau begitu. Dalam hal ini, kita memberikan kebebasan
untuk mengalir sesuai dengan hukum yang dianut oleh fenomena
tersebut.

Kemampuan untuk melihat sebagaimana apa adanya, akan


menimbulkan kedamaian, ketenangan, dan putusnya penderitaan.
Dengan kata lain, seluruh rangkaian penderitaan akan lenyap sampai
di sini. Tidak akan ada kelanjutan lagi, tidak akan ada tumimbal lahir
lagi. Proses saṃsāra cukup sampai di sini.

Semoga sutta ini mampu menyadarkan kita bahwa selama ini kita
telah mempersepsikan, memikirkan, dan memandang dunia dengan
persepsi yang terdistorsi. Semoga sutta ini mampu mengingatkan kita
untuk kembali melangkah di jalan yang seharusnya.
Lonaphala Sutta: Ketika Suatu Perbuatan
Berakibat Berbeda

Lonaphala Sutta adalah salah satu sutta yang terdapat dalam


Aṅguttara Nikāya. Secara tradisional, sutta ini terdapat dalam
Tikanipāta atau Kelompok Tiga. Dalam edisi modern, sutta ini terletak
pada halaman 248, Volume I.

Sutta ini disampaikan secara langsung oleh Sang Buddha kepada


para bhikkhu. Hanya saja, tidak disebutkan tempatnya ketika sutta ini
disampaikan. Selain itu, sutta ini juga tidak dimulai dengan kalimat
‘evaṃ me sutaṃ’ yang umumnya terdapat dalam setiap sutta. Sutta ini
diberi nama sesuai dengan tema, teruma karena sutta ini mengandung
perumpamaan tentang garam.

Lonaphala Sutta dibuka dengan kalimat yang secara langsung


diutarakan oleh Sang Buddha. Sang Buddha mengatakan, seandainya
ada yang mengatakan bahwa setiap tindakan akan memberikan
dampak yang sama seperti halnya tindakan tersebut dilakukan,
pencapaian kesucian tidak memungkinkan. Namun, jika kalimatnya
diubah bahwa setiap tindakan dapat memberikan akibat yang berbeda,
akhir penderitaan masih bisa dicapai.

Apa yang dikatakan oleh Sang Buddha tentu memiliki dasar


yang sangat kuat. Dalam hal ini, jika suatu tindakan akan memberikan
dampak yang sama seperti tindakan tersebut, berarti ketika seseorang
membunuh dia pasti akan dibunuh. Bisa juga dicontohkan, ketika
seseorang mencuri dampaknya adalah barangnya dicuri. Dengan kata
lain, tindakan A akan berakibat A.
Dalam kasus membunuh, misalnya, kapankah pencapaian
kesucian dapat terjadi jika orang yang membunuh harus terus
mengalami pembunuhan? Proses pembunuhan ini akan terus terjadi
tanpa henti, karena sang pembunuh mau tidak mau harus dibunuh.
Oleh sebab itu, proses saṃsāra tidak memungkinkan untuk diakhiri.

Dalam prinsip yang dianut oleh Sang Buddha, kesucian, akhir


penderitaan masih memungkinkan untuk dicapai seandainya suatu
perbuatan bisa memberikan akibat yang berbeda. Contohnya, seorang
pembunuh dampak atau akibat perbuatan tersebut tidak harus dibunuh,
tetapi dapat memberikan dampak lain seperti sakit, usia pendek,
menderita dan sebagainya. Dengan adanya dampak alternative sesuai
dengan kondisi yang ada, masih memungkinkan seorang penjahat,
memperbaiki diri, seorang pembunuh merestorasi batinnya, mengubah
moralnya sehingga bisa hidup lebih baik. Dengan demikian, kehidupan
suci memungkinkan untuk dijalani; kesempatan untuk melihat akhir
dukkha pun dapat terwujud dengan baik.

Untuk membuktikan hipotesis di atas, Sang Buddha menggunakan


contoh suatu perbuatan yang sama, tetapi dilakukan oleh orang yang
berbeda. Ketika orang-orang yang tidak terlatih dalam moralitas, tidak
terlatih dalam konsentrasi, dan kebijaksanaan, memiliki kepribadian
yang buruk, melakukan tindak kejahatan yang kecil, tindak kejahatan
tersebut bisa menimbulkan penderitaan yang berkepanjangan, tidak
hanya dalam kehidupan sekarang ini, tetapi dalam kehidupan yang
akan datang.

Bagi orang-orang yang terlatih dalam moralitas, dalam


konsentrasi, kebijaksanaan, dan memiliki kepribadian yang baik,
melakukan kesalahan yang sama tidak menimbulkan dampak yang
sama. Orang tersebut mungkin hanya mengalami hal-hal sederhana
dalam kehidupan sekarang ini. Apakah ini adalah bukti ketidakadilan?
Apakah yang menjadi rahasia sehingga suatu kesalahan yang sama
tidak memberikan dampak yang sama kepada pelaku yang berbeda?

Apa yang terjadi sebenarnya bukan ketidakadilan. Itulah


keadilan. Itulah realitas yang sebenarnya, sebab kebahagiaan dan
penderitaan seseorang ditentukan oleh sikap mentalnya, responsnya
terhadap fenomena yang terjadi di sekelilingnya. Orang-orang yang
tidak mampu merespons dengan baik, akan menderita. Sedangkan
mereka yang mampu merespons dengan baik akan hidup bahagia.

Untuk membuktikan bahwa sikap mental adalah yang menentukan,


Sang Buddha menggunakan analogi garam. Jika segenggam garam
dimasukkan ke dalam segelas air, air tersebut tidak dapat dikonsumsi.
Gelas memiliki ruang yang sempit; air yang dapat ditampungnya pun
sedikit. Ruang yang sempit tak ubahnya seperti pola pikir yang sempit;
pola pikir yang sempit hanya mampu menampung pengetahuan yang
sedikit.

Pengetahuan yang sedikit adalah seperti air yang jumlahnya sedikit.


Dengan demikian, begitu orang yang pola pikirnya sempit, hanya
menampung pengetahuan yang sangat terbatas, berhadapan dengan
permasalahan, akan sulit untuk mengakomodasi permasalahan yang
muncul di sekelilingnya. Ketidakmampuannya untuk mengakomodasi
permasalahan di sekelilingnya itulah yang menimbulkan penderitaan,
depresi, ratap tangis dan kesedihan.

Jika segenggam garam dimasukkan ke dalam sungai Gaṅga,


garam tersebut tidak menimbul rasa apa pun. Tidak adanya rasa asin
sedikit pun pada air di sungai Gaṅga tidak berarti tidak ada garam
di sungai tersebut. Tetap ada garam karena segenggam garam telah
dilarutkan ke sungai Gaṅga. Hanya saja, karena jumlah garam sangat
sedikit jika dibandingkan dengan jumlah air di sungai Gaṅga, garam
tersebut tidak memberikan dampak apapun.

Sungai Gaṅga memiliki kapasitas yang luas untuk menampung


air yang banyak. Kapasitas luas tak ubahnya seperti pola pikir terbuka,
sehingga mampu menamppung pengetahuan yang tidak terbatas.
Dengan pola pikir terbuka, pengetahuan yang luas, dia mampu melihat
permasalahan dari berbagai sudut pandang, dan tidak memaksakan
diri untuk melihat masalah tersebut hanya dari satu sisi saja.
Kemampuannya untuk merespons masalah dengan baik, melihatnya
dari berbagai sudut pandang, tidak menimbulkan penderitaan yang
berlebihan. Dengan kata lain, kemampuannya untuk merespons
masalah yang ada adalah kunci kebahagiaannya.

Analogi lain yang dipergunakan oleh Sang Buddha adalah


pencuri. Seseorang yang miskin, tidak memiliki harta saat mencuri
harta yang jumlahnya cukup sedikit, dapat dihukum, karena tidak
mampu mengembalikan apa yang telah dicurinya. Sementara itu,
orang yang memiliki harta yang cukup, tidak akan diberikan hukuman
karena dia dapat mengembalikan apa yang telah dicurinya.; dapat pula
membayar denda seandainya perbuatan tersebut harus didenda selain
harus mengembalikan barang curiannya.

Sang Buddha menggunakan analogi pencuri sebenarnya sebagai


bentuk kritik sosial, karena pada umumnya, banyak orang yang
dengan mudah, dan semena-mena untuk menghukum orang yang
miskin, tidak memiliki harta, tetapi merasa enggan untuk mengambil
tindakan yang sama saat berhadapan dengan orang yang memiliki
harta, atau dikatakan berada. Rasa hormat atau minimal sungkan telah
mewarnai sikapnya sehingga harus mengambil sikap yang berbeda
saat berhadapan dengan orang yang status sosialnya berbeda.

Dengan menggunakan analogi pencuri, apa yang disampaikan


oleh Sang Buddha akan mudah dipahami karena itu adalah realitas
sosial; boleh dikatakan sebagai penyakit sosial yang sedang merajalela
saat itu, bahkan masih dominan hingga saat ini. Penggunaan analogi
yang umum akan membuat pendengarnya langsung bisa menangkap
materi yang disampaikan.

Analogi segenggam garam dan pencuri bertujuan untuk


membuktikan bahwa suatu tindakan tidak akan menghasilkan dampak
yang sama pada pelaku yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat terjadi
karena adanya pola pikir yang berbeda, kondisi batin yang tidak
sama. Yang satu memiliki pertahanan batin yang lemah, yang lainnya
memiliki pertahanan batin yang kuat. Yang satu melihat dari perspektif
egoisme, sedangkan yang lain melihat dari perspektif kebijaksanaan.

Orang yang pertahanan batinnya lemah, melihat dari perspektif


egoisme, akan melihat suatu masalah dari cara-cara yang kerdil
sehingga menimbulkan penderitaan, tidak hanya dirinya sendiri tetapi
bagi orang lain juga. Orang yang pertahanan batinnya kuat, melihat dari
perspektif kebijaksanaan melihat masalah dari perspektif yang elegan
sehingga menimbulkan kebahagiaan, tidak hanya untuk kepentingan
dirinya sendiri, tetapi juga bagi orang banyak.
Rathavinīta Sutta: Tujuh Kereta Kencana
Menuju Nibbāna

Rathavinīta Sutta adalah salah sutta dalam Majjhima Nikāya. Sutta


ini masuk dalam Mūlapaṇṇāsa atau Kelompok Lima Puluh Pertama.
Dalam urutannya, sutta ini bertengger di nomor 24. Dalam edisi PTS,
berada pada halaman 145, Volume I. Sutta ini diberi nama Rathavinīta
karena sutta ini menggunakan perumpamaan tujuh rangkaian kereta
kencana (satta rathavinītāni). Perumpamaan ini dipergunakan untuk
menjelaskan bagaimana proses menuju kesempurnaan praktik.

Tepat saat berada di Veluvana, Sang Buddha menerima para


bhikkhu yang baru saja menyelesaikan masa vassa di Kapilavatthu.
Dalam kesempatan tersebut, Sang Buddha menanyakan siapakah
bhikkhu yang menjadi role model atau public figure di tempat mereka
menjalani vassa. Role model dalam kategori Sang Buddha adalah
tidak hanya mampu mampu mengajarkan sesuatu kepada orang lain,
tetapi mampu menjalaninya terlebih dahulu.

Tentunya, bhikkhu tersebut karena memiliki sedikit keinginan,


memiliki semangat, kepuasan, pengendalian indera, kebijaksanaan,
pembebasan, lalu mengajarkan tentang hal yang sama kepada yang
lain; memotivasi yang lain agar memiliki kualitas batin dan kehidupan
yang sama. Dalam pandangan para bhikkhu, Y.M. Puṇṇa Mantāṇiputta
begitu dihormati, dijadikan role model di kalangan para bhikkhu.

Mendengar jawaban para bhikkhu, Y.M. Sāriputta, yang saat


itu juga hadir, merasa kagum. Alasannya, Y.M. Puṇṇa Mantāṇiputta
dipuji oleh para bhikkhu di hadapan Sang Buddha. Oleh sebab itu,
Y.M. Sāriputta memiliki keinginan untuk bertemu dengan Y.M. Puṇṇa
Mantāṇiputta. Melihat dari narasi yang ada dalam sutta ini, tampaknya
Y.M. Sāriputta sering menceritakan kehebatan Y.M. Puṇṇa kepada
para bhikkhu, tampaknya bertujuan untuk memotivasi para bhikkhu
yang lainnya.

Setelah merasa cukup tinggal di Veluvana, Sang Buddha


kemudian menuju Sāvatthī. Kabar kedatangan Sang Buddha di Sāvatthī
didengar oleh Y.M. Puṇṇa Mantāṇiputta. Beliau pun mengunjungi
Sang Buddha. Walaupun dilaporkan bahwa Y.M. Puṇṇa Mantāṇiputta
bertemu Sang Buddha, perbincangan keduanya tidak ditulisakan
dalam sutta ini. Sutta ini hanya melaporkan bahwa Sang Buddha
menyampaikan khotbah Dhamma yang bertujuan untuk memotivasi
Y.M. Puṇṇa Mantāṇiputta. Sebenarnya, catatan semacam ini adalah
catatan setereotip dalam berbagai sutta.

Mendapat laporan bahwa Y.M. Puṇṇa berada di Andhavana,


Y.M. Sāriputta pun bergegas menuju hutan tersebut. Setelah senja
tiba, Y.M. Sāriputta menemui Y.M. Puṇṇa. Setelah bercengkerama,
Y.M. Sāriputta bertanya kepada Y.M. Puṇṇa, apakah beliau menjalani
kehidupan sebagai seorang samana di bawah bimbingan Sang Buddha.
Y.M. Puṇṇa pun menjawab secara afirmatif. Namun, ketika ditanya
apakah kehidupan tersebut dijalani dengan tujuan untuk mencapai
kemurnian moralitas (sīlavisuddhi), Y.M. Puṇṇa menjawabnya secara
negatif.

Jawaban Y.M. Puṇṇa tentu perlu digarisbawahi. Alasannya,


banyak orang yang menjalani kehidupan monastik di bawah bimbingan
Sang Buddha hanya karena ingin murni secara moralitas. Padahal,
dengan sangat jelas bahwa Y.M. Puṇṇa menolak prinsip semacam
itu. Sekadar untuk bisa murni secara moralitas, tentu para perumah
tangga bisa, petapa agama lain juga bisa. Jika demikian, lalu apa yang
membedakan antara petapa Buddhis dan para perumah tangga, para
bhikkhu dengan para petapa dari agama lain? Jelas, tidak ada bedanya.

Ketika ditanya apakah kehidupan monastik yang dijalani adalah


untuk kepentingan pencapaian yang lebih tinggi seperti kesucian
pikiran (cittavisuddhi), pandangan (diṭṭhivisuddhi), mengatasi
keragu-raguan (kaṅkhāvitaraṇavisuddhi), mencapai pengetahuan dan
pemahaman tentang apa yang merupakan jalan dan bukan jalan (mag
gāmaggañāṇadassanavisuddhi), pengetahuan dan pemahaman tentang
sang jalan (paṭipadāñāṇadassanavisuddhi), mencapai pengetahuan
dan pemahaman (ñāṇadassanavisuddhi), jawabannya pun negatif.

Tujuh pencapaian tersebut, adalah pencapaian yang sangat tinggi.


Semua itu bukanlah pencapaian yang biasa. Namun, Y.M. Puṇṇa
mengatakan bahwa kehidupan monastik di bawah bimbingan Sang
Buddha bukan semata-mata untuk mencapai hal itu. Ada pencapaian
yang lebih tinggi yang harus dicapai. Hal ini terungkap dari jawaban
Y.M. Puṇṇa atas pertanyaan Y.M. Sāriputta. Y.M. Puṇṇa mengatakan
bahwa kehidupan monastik di bawah bimbingan Sang Buddha
adalah untuk merealisasi Nibbāna, tanpa kemelekatan sedikit pun
(Anupādāparinibbānatthaṃ kho, āvuso, bhagavati brahmacariyaṃ
vussati).

Jawaban Y.M. Puṇṇa seharusnya menjadi perhatian serius bagi


mereka yang menjalani kehidupan monastik di bawah bimbingan Sang
Buddha. Memakai jubah tidak cukup sekadar menjadi orang baik, tidak
cukup sekadar bermoral atau bakan sekadar untuk mencapai kesucian
dalam pengetahuan dan pemahaman. Tujuannya sangat jelas, tidak
lain dan tidak bukan, hanya untuk merealiasasi Nibbāna, terbebasnya
diri dari segala noda batin dalam kehidupan sekarang ini juga.
Sekadar pencapaian kemurnian moralitas, bukanlah Nibbāna
tanpa noda batin. Demikian juga, pencapaian kemurnian dalam enam
hal lainnya. Kemurnian ketujuh hal ini dikatakan masih didasari oleh
kemelekatan. Ketujuh hal tersebut hanyalah sarana, hanya alat, jalan
untuk mencapai pembebasan batin sepenuhnya. Ketujuh hal tersebut
bukan tujuan yang harus dicapai, tetapi hanya modal untuk merealisasi
Nibbāna. Ketujuh hal tersebut masih dalam konteks terkondisi
(saṅkhāra), sedangkan Nibbāna adalah tak terkondisikan (asaṅkhāra).

Pencapaian kemurnian tujuh hal tersebut dianalogikan seperti


tujuh kereta kencana yang dipergunakan dari satu kota untuk mencapai
kota lain. Ketujuh kereta kencana ini ditempatkan sedemikian rupa
sehingga dapat dipergunakan untuk saling menopang demi tercapainya
kota tujuan. Demikian pula, tujuh pencapaian tersebut perlu dicapai
dan dimiliki sebagai senjata untuk mencapai kota tujuan dalam praktik:
Nibbāna.

Dalam penjelasannya, Y.M. Puṇṇa mengatakan bahwa


kemurnian moralitas dipergunakan untuk mencapai kemurnian
pikiran. Kemurnian pikiran dipergunkana untuk mencapai kemurnian
pandangan. Kemurnian pandangan adalah jalan menuju hancurnya
keragu-raguan. Kemurnian dengan cara menghancurkan keragu-raguan
bertujuan untuk mencapai kemurnian pemahaman dan pengetahuan
untuk membedakan mana jalan dan bukan jalan. Kemurnian tentang
pemahaman dan pengetahuan akan jalan dan bukan jalan untuk
menggapai kemurnian tentang pemahaman dan pengetahuan akan
jalan. Kemurnian tentang pemahaman dan pengetahuan akan jalan
untuk untuk mencapai kemurnian pemahaman dan pengetahuan.
Kemurnian pemahaman dan pengetahuan adalah untuk merealisasi
Nibbāna tanpa kemelekatan. Untuk Nibbāna tanpa kemelekatan inilah
kehidupan monastik di bawah bimbingan Sang Buddha dijalani.

Setelah memberikan jawaban ini, barulah terjadi perkenalan di


antara keduanya. Y.M. Sāriputta, meski telah tahu, tetap menanyakan
siapa nama orang yang menjadi lawan bicaranya. Puṇṇa adalah
namanya, namun biasa dikenal dengan sebutan Puṇṇmantāṇiputta.
Y.M. Sāriputta memuji kehebatan Y.M. Puṇṇa dalam menjawab
pertanyaan. Suatu kehormatan pula bagi para bhikkhu karena memiliki
teman seperjuangan sekaliber Y.M. Puṇṇa. Sekalipun Y.M. Sāriputta
merasa sangat beruntung bisa bertemu dan berdiskusi dengan Y.M.
Puṇṇa.

Setelah cukup mendengarkan pujian dari Y.M. Sāriputta, Y.M.


Puṇṇa pun bertanya kepada Y.M. Sāriputta mengenai nama beliau.
Hal ini tentu dilakukan karena Y.M. Puṇṇa tidak mengenali siapa
yang dihadapinya. Mendengar yang dihadapinya adalah seorang
jenderal Dhamma, seorang bhikkhu yang memiliki kemampuan
untuk menjelaskan Dhamma tak ubahnya seperti Sang Buddha, Y.M.
Puṇṇa pun cukup terkejut. Beliau mengatakan seandainya tahu yang
dihadapinya adalah seorang yang tersohor itu, tentu dia tidak akan
membabarkan Dhamma sebanyak itu. Namun, bagaimanapun Y.M.
Puṇṇa tetap memuji kehebatan Y.M. Sāriputta dalam mengajukan
pertanyaan.

Sutta ini ditutup dengan kalimat, “Itiha te ubho mahānāgā


aññamaññassa subhāsitaṃ samanumodiṃsū”. Oleh Bhikkhu Bodhi,
kalimat ini diterjemahkan sebagai “Demikianlah, kedua makhluk
agung tersebut saling merasa bahagia atas ucapan luhur masing-
masing”. Sangat menarik karena mereka disebut “mahānāga”. Secara
harfiah, istilah ini dapat diterjemahkan sebagai “gajah nan-agung”.
Mereka berdua telah menyelesaikan tugas mereka sebagai manusia,
sebagai murid Sang Buddha, sebagai seorang bhikkhu. Kalaupun
mereka dijuluki “mahānāga”, julukan tersebut sangat layak untuk
manusia-manusia luar biasa seperti mereka.

Rathavinīta Sutta adalah satu-satunya sutta yang paling unik.


Satu-satunya sutta yang memuat tujuh tingkat kesucian (satta-visuddhi)
dalam Tipiṭaka, hanya Rathavinīta Sutta saja. Selebihnya, tidak ada
satu pun sutta yang menyebutkan tujuh tingkat kesucian semacam
ini. Karena sistematikanya dalam tingkatan kesucian praktik, satta-
visuddhi yang ada dalam sutta ini diadopsi sebagai metode penulisan
Visuddhimagga oleh Y.M. Buddhaghosa. Karena itu, dapat dikatakan
bahwa Visuddhimagga adalah Kitab Komentar Jatā Sutta dalam
Saṃyutta Nikāya, dengan menggunakan metode penulisan satta-
visuddhi dari Rathavinīta Sutta dalam Majjhima Nikāya.


Sīvaka Sutta: Tidak Semua karena Kamma

Sīvaka Sutta terdapat dalam Vedana Saṃyutta, tepatnya dalam


Saḷāyatanavagga, Saṃyutta Nikāya. Dalam edisi PTS, sutta ini terdapat
pada halaman 229, volume IV. Diberi nama Sīvaka Sutta karena sutta
ini disampaikan kepada Moḷiyasīvaka oleh Sang Buddha. Dia adalah
seorang pengembara (paribbājaka).

Setelah bercengkerama, Sīvaka menyampaikan pandangan


yang dianut oleh sebagian petapa dan brahmana. Sebagian petapa
dan brahmana berpendapat bahwa apapun yang dialami, apakah
menyenangkan, tidak menyenangkan ataukah netral, semua
disebabkan oleh apa yang telah dilakukan di masa lampau (yaṃ
kiñcāyaṃ purisapuggalo paṭisaṃvedeti sukhaṃ vā dukkhaṃ vā
adukkhamasukhaṃ vā sabbaṃ taṃ pubbekatahetu).

Sebenarnya, pandangan yang sama juga sering kali dianut


oleh umat Buddha. Banyak umat Buddha, bahkan pada umumnya,
beranggapan bahwa apa yang mereka alami adalah akibat dari kamma
lampau mereka. Dengan demikian, pandangan umat Buddha tidak ada
bedanya dengan apa yang dianut oleh sebagian petapa dan brahmana
yangi disebutkan oleh Sīvaka. Bagaimanakah pandangan Sang Buddha
dalam hal ini?

Sang Buddha mengatakan bahwa berbagai jenis perasaan


dapat muncul karena beberapa alasan. Dalam hal ini, Sang Buddha
menyebutkan bahwa ada delapan alasan yang memungkinkan seseorang
untuk mengalami sesuatu. Delapan alasan tersebut adalah disfungsi
cairan empedu (pittasamuṭṭhānāni), disfungsi cairan dalam tubuh
(semhasamuṭṭhānāni), angin yang tidak menentu (vātasamuṭṭhānāni),
ketidakstabilan ketiganya dalam tubuh (sannipātikāni), perubahan
iklim (utupariṇāmajāni), perilaku yang ceroboh (visamaparihārajāni),
serangan dari luar (opakkamikāni), dan dampak dari kamma
(kammavipākajāni).

Dalam pandangan Sang Buddha, saat seseorang mengalami


berbagai jenis perasaan karena alasan-alasan tersebut, orang tersebut
tahu. Apa yang diketahui oleh individu tersebut disetujui oleh
masyarakat. Contoh, seseorang yang mengggigil kedinginan karena
berada di tempat yang temparaturnya rendah, dia tahu secara pasti
bahwa itu disebabkan oleh temperatur yang rendah. Hal ini pun
dipahami oleh masyarakat secara luas. Demikian juga, ketika terjadi
perubahan iklim. Banyak orang yang sakit karena tubuh tidak mampu
beradaptasi dengan perubahan iklim tersebut.

Dalam uraiannya, Sang Buddha menyebutkan bahwa kamma


hanyalah salah satu faktor yang mungkin menyebabkan kita mengalami
pengalaman tertentu. Pengalaman yang kita alami bisa saja terjadi
karena disebabkan oleh salah satu dari delapan sebab tersebut. Bisa
saja disfungsi cairan empedu, bisa saja disfungsi cairan dalam tubuh,
atau bisa juga karena dampak dari kamma yang telah kita perbuat. Oleh
karena itu, ketika kita berpendapat bahwa segala sesuatu yang kita
alami adalah karena dampak dari perbuatan lampau kita, pandangan
semacam itu melanggar pengalaman atau pengetahuan pribadi (yañca
sāmaṃ ñātaṃ tañca atidhāvanti) dan juga apa yang telah menjadi
kesepakatan umum (yañca loke saccasammataṃ tañca atidhāvanti).

Sang Buddha, dengan tegas, mengatakan bahwa pandangan


yang dianut oleh para petapa dan brahmana adalah salah (tasmā tesaṃ
samaṇabrāhmaṇānaṃ micchāti vadāmi). Karena apa yang dianut
oleh para petapa dan brahmana adalah salah, berarti selama ini pun
sebenarnya banyak umat Buddha yang salah dalam memahami konsep
hukum kamma. Alasannya, banyak umat Buddha yang sepaham,
sejalan dan sepakat dengan apa yang dianut oleh para petapa dan
brahmana. Padahal, Sang Buddha tidak menganut pandangan yang
demikian.

Sang Buddha menekankan filsafat hukum sebab akibat yang saling


bergantungan (paṭiccasamuppāda). Dalam konsep paṭiccasamuppada,
tidak ada sebab tunggal dalam suatu kejadian. Setiap kejadian,
disebabkan oleh berbagai kondisi, dan kondisi-kondisi itu pun tidak
terlepas dari kondisi-kondisi yang lainnya.

Dalam kaitannya dengan hukum kamma, banyak orang yang


memahami konsep paṭiccasamuppāda ini pun dalam pemahaman yang
dangkal. Banyak yang memahami, konsep paṭiccasamuppāda yang
sering dipakai adalah dengan adanya ini timbullah itu. Aplikasi dalam
hukum kamma adalah dengan adanya perbuatan ini timbullah akibat
tersebut. Contohnya, karena rajin berdana orang menjadi kaya.

Sebenarnya, aplikasi semacam itu sangatlah sempit dan masih


dapat dikategorikan sebagai sebab tunggal. Orang menjadi kaya
bukan karena hanya berdana saja. Masih ada ribuan faktor lain
yang dibutuhkan untuk menjadi kaya. Kerja keras, lingkungan yang
kondusif, menegemen ekonomi yang baik, teman-teman yang baik,
sekurang-kurangnya menjadi faktor lain yang akan menentukan.

Selain itu, kammavipaka sifatnya tidak terpikirkan (acinteyya).


Mereka yang memikirkannya akan menjadi gila atau mengalami
depresi. Kebanyakan orang yang mengatakan perbuatan ini berdampak
seperti itu, hanya sebatas logika semata. Mereka tidak melihat secara
nyata atau memiliki kemampuan secara langsung untuk melihat
perbuatan A berdampak B. Sebagai contohnya, seseorang menderita
sakit kanker, lalu berpikir itu adalah karena kamma buruknya yang
berbuah.

Dengan jelas bahwa ketika seseorang mengatakan kanker


tersebut harus dideritanya karena kamma buruknya sedang berbuah,
ini hanyalah cara untuk menghibur diri. Pada realitasnya, dia tidak
bisa melihat hubungan secara langsung atau koneksi secara pasti
bahwa kanker tersebut ada kaitannya dengan kamma buruk yang telah
diperbuatnya. Bisa saja, kanker itu diderita karena disfungsi cairan
empedu atau karena disfungsi cairan dalam tubuh, bisa juga karena
temperatur atau iklim yang tidak cocok dengan kondisi fisiknya.
Semua itu serba memungkinkan untuk terjadi atau menjadi penyebab
munculnya penyakit kanker tersebut.

Ketika seseorang menderita kanker karena disfungsi cairan


empedu, apakah itu kemudian ada kaitannya dengan kammavipaka?
Ya, belum tentu juga. Kalau kita masih menghubungkan dengan
kamma, di sini masih terlihat jelas bahwa ada kecenderungan untuk
menjadikan kamma sebagai sebab tunggal dalam suatu pengalaman.
Pola pikir semacam ini jelas ditolak oleh Sang Buddha.

Semoga penjelasan dalam sutta ini bisa memberikan pendangan


baru untuk mengubah pola pikir yang selama ini telah tertanam begitu
kuat. Semoga dengan analisis sutta ini, umat Buddha bisa semakin
memahami bahwa tidak ada sebab tunggal dalam setiap pengalaman
yang kita alami. Semuanya dikondisikan oleh berbagai sebab dan
sebab tersebut masih didukung oleh sebab yang tidak terbatas.
Sarakāni Sutta: Ketika Sang Buddha
Ditertawakan

Sarakāni Sutta termasuk sutta yang jarang bahkan mungkin tidak


pernah didengar namanya oleh umat Buddha. Sebenarnya sutta ini
terdapat dalam Saṃyutta Nikāya, tepatnya Sotāpatti Saṃyutta. Di
dalam edisi modern, sutta ini terdapat pada halaman 375, Volume V.

Sebenarnya, ada dua sutta yang diberima nama Sarakāni dan


terdapat pada Saṃyutta yang sama. Karena itu, sutta yang pertama
diberi nama Paṭhamasarakāni dan yang kedua adalah Dutiyasarakāni.
Diberi nama demikian karena yang menjadi tema pembicaraan adalah
Sarakāni, seorang upāsaka dari suku Sakya. Sebenarnya inti dari
kedua sutta ini sama, hanya ada sedikit perbedaan dalam pembukaan
dan penutup saja.

Sutta ini dibabarkan oleh Sang Buddha kepada Mahānāma.


Mahānāma melaporkan bahwa pernyataan Sang Buddha tentang
Sarakāni telah menjadi bahan tertawaan di kalangan masyarakat suku
Sakya. Alasannya, setelah Sarakāni meninggal dunia Sang Buddha
mengatakan bahwa Sarakāni adalah seorang sotāpanna, tidak mungkin
terlahir di alam rendah, minimal akan terlahir di alam manusia atau di
alam yang lebih tinggi. Dia memiliki tujuan yang pasti, yaitu Nibbāna.

Dalam pandangan masyarakat suku Sakya, Sarakāni adalah


seorang pemabuk, dia telah gagal dalam latihan. “Sungguh luar
biasa! Sungguh menakjubkan! Siapakah yang tidak akan menjadi
seorang pemenang arus kalau Sang Buddha sudah menyatakannya?”
Demikianlah mereka menertawakan pernyataan Sang Buddha.
Menanggapi laporan tersebut, Sang Buddha mengatakan bahwa
Sarakānilah yang layak untuk mengklaim bahwa dirinya adalah orang
yang telah lama berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Saṅgha.
Karena itu, bagaimana mungkin Sarakāni bisa terlahir di alam yang
rendah?

Sang Buddha lalu menjelaskan bahwa ada dua kelompok orang


yang akan terbebas dari kelahiran di alam rendah. Keduanya adalah
orang yang memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan (aveccappasāda)
kepada Buddha, Dhamma, dan Saṅgha dan yang tidak memiliki
keyakinan kepada ketiganya (na aveccappasāda). Dalam kategori
pertama, orang-orang yang memiliki keyakinan yang kokoh kepada
Tiratana dikatakan mampu mencapai tingkat kesucian yang paling
rendah—sotāpanna—hingga yang tertinggi—arahat.

Tentu pencapaian itu dilakukan dengan cara menghancurkan


minimal tiga belenggu hingga melenyapkan seluruh belenggu yang
ada. Bagi yang memiliki kebijaksanaan yang unggul (hāsapaññā),
kebijaksanaan yang tajam (javanapaññā) akan mampu mencapai
kebebasan (vimutti). Tugasnya untuk mengembara di alam saṃsāra
telah terselesaikan. Tiada kelahiran lagi baginya. Karena itu, mustahil
untuk terlahir di alam yang rendah.

Bagi yang tidak memiliki kebijaksanaan yang unggul, tidak


memiliki kebijaksanaan yang tajam, tidak mampu mencapai kebebasan
dalam kehidupan ini juga, dan hanya mampu mencapai kesucian
pertama atau maksimal kesucian ketiga, masih harus terlahir lahir lagi,
baik itu di alam manusia atau di alam yang lebih tinggi. Orang-orang
dalam kategori ini juga tidak memungkinkan untuk terlahir di alam
rendah. Orang-orang dalam kategori ini pasti terlahir di alam yang
kondusif untuk kemajuan praktiknya.
Dalam kategori kedua, orang-orang yang tidak memiliki
keyakinan yang kokoh kepada Buddha, Dhamma dan Saṅgha, bisa
saja tidak terlahir di alam yang rendah dan terlahir di alam yang
bahagia. Kuncinya, dia memiliki indria keyakinan (saddhindriya),
semangat (vīriyindriya), kewaspadaan (satindriya), konsentrasi
(samādhindriya), dan kebijaksanaan (paññindriya). Dengan memiliki
lima indria ini, dia mampu menerima apa yang disampaikan oleh Sang
Buddha secara rasional (Tathāgatappaveditā cassa dhammā paññāya
mattaso nijjhānaṃ khamanti). Seandainya tidak mampu menerima apa
yang disampaikan oleh Sang Buddha secara rasional, dengan berbekal
lima indria, dia memiliki keyakinan dan dedikasi yang cukup kepada
Sang Buddha (Tathāgate cassa saddhāmattaṃ hoti pemamattaṃ).
Orang semacam ini pun akan terbebas untuk terlahir di alam rendah.

Jangankan Sarakāni yang telah berberlatih dengan serius di akhir


hayatnya, Sang Buddha pun tidak khawatir untuk mendeklarasikan
pohon sala yang dipergunakan untuk berteduh, mencapai kesucian
sotāpanna seandainya pohon tersebut bisa memahami apa yang
disampaikan oleh Sang Buddha dengan baik, mampu memahami apa
yang diucapkan dengan baik dan yang diucapkan secara tidak baik.
Pohon tersebut dipastikan tidak akan terlahir di alam rendah, tujuannya
pasti, dan Nibbāna adalah prioritasnya.

Jelas itu adalah suatu pernyataan yang sangat menusuk.


Jangankan manusia yang memiliki inteligensi yang tinggi, pohon pun
mampu mencapai kesucian jika bisa memahami dengan benar mana
yang diucapkan dengan baik dan mana yang tidak. Manusia memiliki
kemampuan yang jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan sebatang
pohon sala. Karena itu, manusia seharusnya malu jika tidak bisa
memanfaatkan kehidupannya dengan baik untuk kepentingan praktik.
Seandainya Dhamma diajarkan dengan tidak sempurna, dengan
cara-cara yang tidak benar, tentu ini bisa menjadi alasan bagi umat
Buddha untuk tidak mencapai kesucian. Namun, Dhamma telah
dibabarkan dengan sempurna oleh Sang Buddha. Sang Buddha telah
membuktikannya sendiri, merealisasinya sendiri. Dhamma yang
diajarkan mampu membawa pencerahan, kedamaian dan kebahagiaan.
Karena itu, tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak mencapai
kesucian dalam praktiknya. Sang Buddha pun menegaskan bahwa
Sarakāni telah menyempurnakan praktiknya. Karena itu, dia adalah
orang yang terbebaskan dari alam-alam yang rendah.

Pesan moral yang disampaikan dalam kedua sutta ini adalah,


menertawakan orang itu sangat mudah. Namun, sudahkah kita
memahami apa yang terjadi sebenarnya? Kalau memang tidak
memahami dengan benar, sebaiknya kita tidak gegabah menertawakan
orang tersebut. Banyak orang yang secara fisik tampak jelek, secara
perilakunya tidak menyenangkan. Namun, siapa yang tahu kondisi
batinnya?

Selama tidak memahami kondisi batin orang tersebut dengan


baik, selama itu pula celaan, caci maki, hinaan tak ubahnya mencaci
maki emas yang dibungkus dengan lumpur. Hal ini mengingatkan
saya pada cerita seorang umat. Dulu, di sebuah pulau di Maluku,
masyarakatnya tidak tahu bahwa mereka hidup di daerah yang kadar
emasnya tinggi. Mereka pun menganggap emas itu tak ubahnya
seperti batu. Mereka menggunakannya sebagai mainan. Setelah ada
orang bule datang dan memberi tahu itu adalah emas, barulah mereka
berebut untuk mengumpulkan emas.

Pepatah mengatakan, “don’t judge a book by its cover”. Artinya,


jangan menilai sebuah buku hanya dari design sampulnya saja. Orang-
orang yang menilai buku hanya dari sampulnya saja, akan tertipu.
Masalahnya, sampul buku akan didesign seindah mungkin untuk
menarik perhatian orang. Ini adalah seni marketing. Semakin menarik
sampul sebuah buku, akan semakin banyak yang tertarik pada buku
tersebut. Namun, perlu diingat, sampul belum tentu mewakili isi buku
tersebut.

Di zaman Sang Buddha juga ada bhikkhu yang ucapannya kasar,


tidak enak didengar. Karena terlahir di keluarga brahmana, beliau
senang memanggil orang-orang dari kasta rendah dengan sebutan
‘vasala’. Artinya, orang buangan, manusia sampah. Tetapi, bhikkhu
tersebut adalah seorang arahat. Ada juga bhikkhu yang berpenampilan
tidak menarik, tampak kerdil dan sering dijadikan bahan candaan
para samanera. Namun, bhikkhu tersebut adalah bhikkhu yang telah
menyelesaikan tugasnya sebagai seorang bhikkhu, dan suaranya pun
sangat indah.

Semoga kita semakin bijak dalam bertindak, semakin dewasa


dalam bertutur kata, tidak mudah menilai seseorang hanya dari
penampilan luarnya. Semoga kita semakin maju dalam praktik dan
mampu merealisasi Nibbāna dalam kehidupan sekarang ini juga.
Paṭhamaanāthapiṇḍika Sutta: Perenungan
Sebagai Obat

Paṭhamaanāthapiṇḍika Sutta adalah salah satu sutta yang terdapat


dalam Sotāpatti Saṃyutta, Saṃyutta Nikāya. Dalam edisi PTS, sutta
ini berada pada halaman 380, Volume V.

Diberi nama Paṭhamanāthapiṇḍika Sutta karena sutta ini


diceramahkan secara langsung kepada Anāthapiṇḍika. Sutta ini
diceramahkan oleh Y.M. Sāriputta atas undangan Anāthapiṇḍika.
Ceritanya, Anāthapiṇḍika sakit namun tidak kunjung sembuh. Karena
itu, dia meminta pembantunya untuk mengundang Y.M. Sāriputta
datang ke rumahnya. Cara semacam ini adalah hal yang biasa
dilakukan oleh para bhikkhu maupun perumah tangga. Mereka akan
mengundang Sang Buddha atau murid-Nya untuk datang demi kasih
sayang kepada mereka.

Mendapat undangan tersebut, Y.M. Sāriputta datang bersama


dengan Y.M. Ānanda. Ditanya mengenai kondisi kesehatannya,
Anāthapiṇḍika menjelaskan bahwa sakitnya tidak kunjung membaik.
Sebaliknya, sakit tersebut menjadi semakin parah. Karena itu, dalam
kesempatan tersebut Y.M. Sāriputta memberikan wejangan yang
bersifat kuratif.

Y.M. Sāriputta mengingatkan bahwa Anāthapiṇḍika memiliki


keyakinan yang sangat kokoh kepada Buddha, Dhamma dan Saṅgha.
Keyakinannya tidak dapat dibandingkan dengan keyakinan yang
dimiliki oleh orang yang masih belum mencapai kesucian. Keyakinan
orang-orang yang biasa tidak kokoh sehingga masih memungkinkan
untuk terlahir di alam rendah, di neraka, di alam menderita. Dengan
kata lain, keyakinan yang kokoh akan mengondisikan seseorang untuk
terlahir di alam bahagia, alam yang baik, alam yang kondusif.

Y.M. Sāriputta mengatakan bahwa ketika seseorang yang


memiliki keyakinan yang kokoh kepada Tiratana, merenungkan
keyakinan tersebut, sakitnya akan hilang saat itu juga (Tañca pana te
buddhe … dhamme …saṅghe aveccappasādaṃ attani samanupassato
ṭhānaso vedanā paṭippassambheyya). Dengan kata lain, merenungkan
keyakinan yang kokoh entah itu kepada Buddha, Dhamma atau Saṅgha
dapat memberikan kesembuhan bagi orang yang sakit.

Selanjutnya, Y.M. Sāriputta juga mengingatkan bahwa


Anāthapiṇḍika tidak memiliki moralitas yang dimiliki oleh mereka
yang masih belum memahami praktik dengan baik, moralitas yang
dapat menyebabkan seseorang untuk terlahir di alam menderita, di
alam sengsara dan tidak pasti. Y.M. Sāriputta menyakinkan bahwa
Anāthapiṇḍika memiliki moral yang dipuji oleh para bijaksanawan,
tak ternoda, tidak putus, moralitas yang membebaskan, moralitas yang
tidak menimbulkan kemelekatan, dan mengondisikan konsentrasi yang
baik. Dengan merenungkan kesempurnaan moralitas, seseorang pun
bisa sembuh dari sakitnya saat itu juga (Tāni ca pana te ariyakantāni
sīlāni attani samanupassato ṭhānaso vedanā paṭippassambheyya).

Tidak cukup mengingatkan Anāthapiṇḍika dengan sifat-sifat


luhur yang berkaitan dengan keyakinan dan moralitas, Y.M. Sāriputta
juga mengingatkan bahwa Anāthapiṇḍika memiliki sepuluh kualitas
luhur lainnya. Kualitas luhur ini tidak dimiliki oleh mereka yang
masih belum menjadi pemenang arus.

Apa yang dimiliki oleh Anāthapiṇḍika adalah pandangan benar


(sammādiṭṭhi) dan bukan pandangan salah (micchādiṭṭhi), pikiran benar
(sammāsaṅkappa) dan bukan pikiran salah (micchāsaṅkappa), ucapan
benar (sammāvācā) dan bukan ucapan salah (micchāvācā), perilaku
benar (micchākammanta) dan bukan perilaku salah (micchākammanta),
mata pencaharian benar (micchāājīva) dan bukan mata pencaharian
salah (micchāājīva), usaha benar (sammāvāyāma) dan bukan usaha
salah (micchāvāyāma), perhatian benar (sammāsati) dan bukan
perhatian salah (micchāsati), konsentrasi benar (sammāsamādhi) dan
bukan konsentrasi salah (micchāsamādhi).

Selain memili delapan hal tersebut, Anāthapiṇḍika juga memiliki


pengetahuan benar (sammāñāṇa) dan bukan pengetahuan salah
(micchāñāṇa), kebebasan benar (micchāvimutti) dan bukan kebebasan
salah (micchāvimutti). Dengan merenungkan salah satu kualitas luhur
ini atau secara keseluruhan, sakit pun akan lenyap saat itu juga.

Setelah mendengarkan wejangan dari Y.M. Sāriputta, sakit yang


diderita Anāthapiṇḍika lenyap secara total saat itu juga. Dengan
demikian, dia dapat melayani Y.M. Sāriputta dan Y.M. Ānanda.
Dia mempersembahkan sendiri makanan kepada kedua murid Sang
Buddha.

Tentu, ada beberapa poin yang layak untuk dicermati dari sutta
ini. Pertama, mengapa merenungkan keluhuran keyakinan, moralitas,
sepuluh aspek tersebut bisa menyembuhkan, menghilangkan rasa
sakit tepat saat itu juga? Sebenarnya, ketika seorang sotāpanna ingat
Buddha, Dhamma dan Saṅgha, muncul kegiuran (pīti) kegiuran dan
kebahagiaan dalam dirinya. Dengan adanya kegiuran dan kebahagiaan,
sakit pun akan lenyap.

Sesungguhnya, ini bukanlah fenomena yang ajaib atau di luar


penalaran kita. Simple saja fenomena ini sebenarnya. Pada saat sakit
sedang muncul, perhatian kita cenderung terfokus pada rasa sakit
tersebut. Karena adanya fokus yang kuat pada rasa sakit, sakit pun
menjadi semakin jelas, tampak terus berkelanjutan sepanjang waktu.
Namun, ketika ada kegiuran dan kebahagiaan yang muncul, perhatian
akan terfokus pada kegiuran dan kebahagiaan tersebut. Dengan kata
lain, ini adalah attention shifting atau pengalihan perhatian. Hanya
saja, ini terjadi secara otomatis dan bukan intensional. Ini adalah alasan
pertama mengapa Anāthapiṇḍika bisa sembuh setelah mendengarkan
nasihat dari Y.M. Sāriputta.

Alasan yang kedua, dalam dunia kedokteran, penderitaan dan


kebahagiaan yang ada dalam diri manusia sebenarnya merupakan
reaksi kimia dalam tubuh. Unsur kimia dalam tubuh sering juga
disebut sebagai hormon. Ada empat jenis hormon yang mengendalikan
perasaan senang, bahagia dan cinta. Empat jenis hormon tersebut
adalah endorfin, serotonin, dopamin, dan oksitosin.

Endorfin adalah obat penghilang rasa sakit (painkiller) alami


dalam tubuh kita. Hormon ini juga mampu memblokir rasa sakit
untuk muncul. Hormon ini dapat dibangkitkan dengan cara berolah
raga dan memakan makanan pedas. Ketika memakan makanan pedas,
otak akan merespons sebagai rasa sakit. Dampaknya, hormon enderfin
akan dilepaskan atau dihasilkan.

Serotonin adalah kunci hormon kebahagiaan, karena hormon ini


bertanggung jawab untuk mengatur suasana batin, mencegah depresi,
membendung iritasi, membuat bahagia dan mudah bersosialisasi.
Hormon ini dapat diproduksi dengan berjemur di matahari sehingga
tubuh bisa memproduksi vitamin D, mengonsumsi makanan
berkarbohidrat, susu, jagung. Makanan ini mengandung tryptophan.
Unsur ini akan diubah menjadi serotonin. Selain itu, memikirkan hal-
hal yang menyenangkan juga akan mampu menghasilkan serotonin.

Hormon depamin adalah hormon kesenangan yang dilepaskan


karena memiliki tujuan dalam hidup. Hormon ini memotivasi untuk
bekerja keras, membantu untuk selalu waspada dan fokus. Hormon
ini dapat ditingkatkan dengan makan kaya akan protein, juga dengan
menetapkan target. Hormon oksitoksin bertanggung jawab sebagai
hormon cinta dan kasih sayang. Hormon ini diproduksi saat melakukan
hubungan seksual, melahirkan atau kontak fisik seperti memijat dan
berpelukan.

Apa yang disarankan oleh Y.M. Sāriputta sekilas hanya berkaitan


dengan hormon serotonin. Beliau menyarankan agar Anāthapiṇḍika
mengingat hal-hal menyenangkan yang telah dilakukan. Pada
saat, Y.M. Sāriputta menyampaikan wejangannya, Anāthapiṇḍika
tampaknya langsung mengimplementasikan apa yang dinasihatkan.
Dampaknya, hormon serotonin dihasilkan sehingga menimbulkan
kebahagiaan.

Sesungguhnya, ketika Y.M. Sāriputta mengingatkan akan tujuan


hidup yang telah dicapai dan yang masih perlu dicapai, melalui
perenungan keyakinan, moralitas dan sepuluh aspek tersebut, hal
ini mengingatkan Anāthapiṇḍika akan tujuannya dalam praktik. Dia
adalah seorang sotāpanna karena itu, masih ada yang perlu dicapai
dalam praktiknya, masih ada yang perlu diselesaikan dalam tugasnya.
Ingat akan tujuan praktik telah menghasilkan hormon depamin dan
muncullah kesenangan dalam dirinya.

Pada saat, Y.M. Sāriputta dan Y.M. Ānanda mau datang memenuhi
undangan, ini sudah merupakan indikasi bahwa Anāthapiṇḍika adalah
orang yang diperhatikan dan disayangi. Terlebih lagi, ketika Y.M.
Sāriputta memberikan nasihat yang berkaitan dengan praktiknya.
Hubungan kasih sayang semacam ini telah menimbulkan hormon
oksitoksin sehingga bisa menimbulkan perasaan disayangi dan
dicintai. Dengan terproduksinya tiga hormon tersebut, Anāthapiṇḍika
sembuh dari sakitnya.

Poin lain yang perlu dibahas adalah sepuluh aspek praktik yang
dimiliki oleh Anāthapiṇḍika. Selain memiliki jalan mulia berunsur
delapan, Anāthapiṇḍika juga memiliki dua aspek lainnya, yaitu
pengetahuan benar dan kebebasan benar. Biasanya mereka yang
masih belum mencapai kebebasan sepenuhnya, tidak akan dikatakan
memiliki dua aspek ini. Dengan kata lain, dua aspek ini sering kali
menjadi bagian eksklusif mereka yang telah menjadi arahat. Yang
menjadi pertanyaan, mengapa Anāthapiṇḍika dikatakan memiliki
dua aspek ini? Apakah dia adalah seorang arahat? Apakah ini adalah
kesalahan dalam percetakan atau transmisi?

Sebenarnya, ini bukan kesalahan percetakan atau transmisi oral


di antara para penghafal Tipiṭaka. Tidak hanya Anāthapiṇḍika yang
dikatakan memiliki sepuluh aspek ini. Y.M. Ānanda juga dikatakan
memiliki sepuluh aspek ini. Padahal, Y.M. Ānanda adalah seorang
sotāpanna dan yang mengatakan demikian adalah Sang Buddha
sendiri.

Memang ada standar yang diterapkan untuk bisa menilai


pencapaian seseorang. Namun, perlu diingat juga bahwa ada orang-
orang yang memiliki karakteristik unik. Mereka mampu keluar
dari standar pada umumnya. Y.M. Ānanda dan Anāthapiṇḍika
dapat dikategorikan sebagai orang yang keluar dari standar pada
umumnya. Sekalipun mereka masih sebagai sekhapuggala dan bukan
asekhapuggala, mereka bisa menikmati keistimewaan untuk memiliki
sammāñāṇa dan sammāvimutti.

Adanya keistimewaan semacam itu seharusnya mampu


mengubah pola pikir kita bahwa ada pengecualian untuk kasus-
kasus tertentu. Hanya saja yang menjadi pertanyaan, sammāñāṇa dan
sammāvimutti yang seperti apa yang mereka miliki? Sebenarnya, hal
ini dapat dipahami bahwa sekalipun sebagai seorang sotāpanna mereka
telah memiliki pengetahuan yang benar dan kebebasan yang benar
meski sifatnya belum sepenuhnya. Sammāñāṇa dan sammāvimutti
sepenuhnya itu akan mereka miliki tepat saat mereka menyelesaikan
tugasnya dalam berlatih.

Contoh mudahnya, saat mencapai kesucian pertama timbullah


pengetahuan bahwa apapun yang menjadi subjek kemunculan pasti
menjadi subjek kehancuran (yaṃ kiñci samudayadhammaṃ, sabbaṃ
taṃ nirodhadhammaṃ). Ini adalah contoh sammāñāṇa dalam level
yang sangat sederhana. Sedangkan, bersamaan dengan pencapaian
tersebut, muncullah pemahaman bahwa dirinya telah terbebas dari
tiga belenggu, sehingga tidak memungkinkan untuk terlahir di alam
yang rendah. Ini adalah bentuk sammāvimutti di level paling rendah.
Dengan matangnya praktik, sammāñāṇa dan sammāvimutti akan
menjadi sempurna.

Sutta ini mengajarkan kepada kita bahwa kita perlu mengingat hal-
hal yang positif, kemajuan dalam praktik, kesuksesan dalam praktik;
juga mengingat target yang belum dicapai dan mengembangkan
kasih sayang. Dengan mengingat hal-hal yang positif ini, hidup kita
akan menjadi bahagia, bebas dari penderitaan, baik penderitaan fisik
maupun batin. Sebagaimana telah dibahas, mengingat hal-hal yang
menyenangkan juga dianjurkan agar hormon yang positif dapat
diproduksi. Oleh karena itu, marilah kita mulai dari sekarang, demi
kehidupan yang lebih baik, demi dunia yang lebih baik pula.
Ciraṃ tiṭṭhatu saddhammo!

Anda mungkin juga menyukai