Anda di halaman 1dari 5

PANCA YAMA BRATA

Panca yama brata terdiri dari dua kata yaitu dari kata “Panca” berarti lima, “Yama” berarti
pengendalian, dan “Brata” berarti keinginan. Panca yama brata adalah lima macam
pengendalian diri tingkat pertama untuk mencapai kesempurnaan dan kesucian jasmani. Panca
yama brata harus dilakukan paling awal, karena setelah terbebas dari perbuatan-perbuatan yang
kotor akan mampu membuat pikiran dan hati menjadi suci. Dengan kesucian pikiran dan hati
terbebas dari beban perbuatan kotor yang dilakukan oleh badan jasmani akan mampu
menenangkan pikiran dan pemusatan pikiran pun akan dapat dilakukan untuk melaksanakan
kesucian bathin.
Di dalam Lontar Wreti Sasana, diuraikan rincian mengenai panca yama brata, adapun salah
satu bunyi sloka dalam Lontar Wreti Sasana yaitu sebagai berikut:

Sloka:
“Ahingsa ngaraning tan pamati-mati,brahmacaryya ngaraning tan keneng stri sangkan
rare,mwang sang kumarwruhi mantra kabrahmacaryan, satya ngaraning tuhu mojar,
awyawaharika ngaraning tan pawyawahara, astainya ngaraning tan chindra ring drewya
ning len, ika ta kalima, yama bratha ngaranya, ling bhatara Rudra.”

Artinya :
Ahimsa artinya tidak melakukan pembunuhan, brahmacarya artinya tidak pernah
menyentuh perempuan sejak kecil, dan memahami mantra kabrahmacaryan, satya artinya
berkata jujur, awyawaharika artinya tidak bertengkar, astainya artinya tidak berniat
jahat kepada milik orang lain, yang lima itu Yama Brata namanya, sabda bhatara Rudra.

1. Ahimsa
Kata ahimsa sudah tidak asing lagi didengar dalam masyarakat. Ahimsa berasal dari kata “a”
yang berarti tidak dan “himsa” berarti membunuh atau menyakiti. Jadi Ahimsa berarti tidak
membunuh ataupun menyakiti. Menurut ahimsa mengajarkan untuk tidak melakukan perbuatan,
perkataan, dan pikiran yang dapat menyakiti orang ataupun mahluk lainnya. Melakukan
perbuatan seperti menyakiti sangat dilarang oleh Agama Hindu. Apabila perbuatan. Perkataan,
ataupun pikiran yang menyakitkan itu dilakukan tentunya akan terus membekas dalam alam
pikiran yang akan membuat sipelaku selalu dalam keadaan bingung dan gelisah. Dengan keadaan
seperti itu maka suatu ketenang pikiran tidak akan bisa tercapai.
Pembunuhan dapat dilakukan bila tidak didasari oleh dorongan nafsu dan indria, tetapi
didasarkan pada sastra. Dalam lontar Wrtisasana terdapat pengecualian bahwa pembunuhan itu
dapat dilakukan, yaitu :

1. Dewa puja : yaitu pembunuhan dibenarkan untuk tujuan yajna atau    dipersembahkan
kepada tuhan

2. Untuk kepentingan dharma

3. Atiti puja : yaitu untuk diberikan kepada tamu

4. Menjalankan swadharma kehidupan rumah tangga

5. Untuk kesehatan

6. Melindungi diri dari segala ancaman pembunuhan

7. Tidak dilatar belakangi oleh Sad Ripu.


Namun sebelum melakukan suatu pembunuhan terlebih dahulu melakukan upacara. Seperti
di bali dikenal yang namanya Mapapada yaitu memberikan doa terhadap binatang yang akan
dijadikan persembahan. Upacara mapapada dilakukan pada binatang yang berkaki empat seperti
babi, sapi dan lain-lain.
Dengan cara tidak menyakiti ataupun membunuh, maka seseorang akan dapat lebih mudah
mencapai ketenangan dan ketentraman hidup didunia ini baik lahir maupun batin.

2. Brahmacari
Brahmacari atau Brahmacarya berasal dari kata “Brahma” yang berarti ilmu pengetahuan
dan “cari” atau “carya” yang berarti bergerak. Brahmacari merupakan bergerak atau bertingkah
laku dalam masa menuntut ilmu. Tarapan hidup dengan tahapan belajar dibedakan atas dua masa
yaitu:

1. Brahmacari saat usia lajang atau belum menikah

2. Brahmacari pada masa berumah tangga.


Pada brahmacari yang memiliki pengertian pertama tersebut adalah masa menuntut ataupun
masa belajar dari guru dan sastra agama. Pada masa ini harus benar-benar belajar tanpa
menghiraukan kehidupan duniawi, dalam artian bahwa pada masa ini kita harus mampu
mengendalikan diri dari segala godaan nafsu dunia agar konsentrasi dalam belajar dapat tercapai.
Tegasnya bagaimana perilaku seseorang dalam mempelajari ilmu   pengetahuan tentang
ajaran-ajaran yang termuat dalam Kitab Suci Weda, yaitu selalu berpikir bersih dan jernih dan
hanya memikirkan pelajaran atau ilmu pengetahuan saja serta tidak memikirkan masalah-
masalah keduniawian. Karena itu, maka agar pikiran terpusat hanya kepada pelajaran, seorang
Brahmacari tidak dibenarkan untuk kawin, berdagang dan berpolitik.
Adapun pembagian dari Brahmacari tersebut dapat dibedakan menjadi 3 bagian yaitu:

 Sukla Brahmacari adalah orang yang tidak kawin seumur hidup.

 Sewala Brahmacari adalah orang yang hanya kawi sekali saja selama hidupnya, meskipun
isterinya telah tiada.

 Kresna/Tresna Brahmacari adalah orang yang kawi lebih dari satu kali sampai maksimal
empat kali.
Dengan tidak memikirkan masalah-masalah keduniawian, maka seseorang akan lebih mudah
untuk mengendalikan dirinya, dan lebih mudah untuk mencapai ketenangan dan ketentraman
hidup didunia ini.

3. Satya
Satya berarti setia, kejujuran, dan kebenaran. Satya ini harus dipelajari dan dilaksanakan
khususnya bagi seorang calon diksa agar setelah natinya menjadi pandita dapat menjadi tauladan
atau panutan bagi umatnya. Ajaran tentang kesetiaan, kejujuran dan menjaga suatu kebenaran
akan dapat dilakukan setelah terbiasa. Jadi sebelum menjadi seorang pandita maka terlebih
dahulu harus membiasakan diri untuk menjalankan ajaran satya. Dalam semboyan menyebutkan
bahwa “ Satyam Eva Jayate Na Nrtan”. Artinya Kesetiaan yang menang bukan
kebohongan/kejahatan
Ajaran satya ini dapat dibagi menjadi lima yang disebut dengan Panca Satya, yaitu

1. Satya Laksana ; yaitu setia pada perbuatan. Hidup sebagai manusia yang dipengaruhi oleh
triguna maka seringkali manusia tidak mengakui apa yang telah ia lakukan. Dalam satya
laksana yang dipentingkan adalah bagaimana manusia mampu bertanggung jawab atas apa
yang telah dilakukan. Maka berani berbuat harus berani bertanggung jawab. Manusia juga
harus jujur dan selalu melakukan perbuatan yang berdasarkan pada ajaran dharma. Segala
bentuk perbuatan yang adharma harus bisa dikendalikan dengan menumbuhkan sifat satwam
didalam diri.

2. Satya Mitra : yaitu setia terhadap sahabat. Artinya dalam mencari sahabat hendaknya
didasari atas kejujuran. Dewasa ini kebanyakan manusia dalam mencari teman hanya untuk
kepentingan sendiri. Hal ini dikarenakan manusia hanya ingin mencari keuntungan dalam
pertemanan sehingga ketika pada waktunya teman atau sahabat itu tidak memberikan suatu
keuntungan maka ia akan meninggalkan temannya. Sikap inilah yang harus dikendalikan
dan dihindari, karena tidak ada harta yang lebih berarti dari sahabat.

3. Satya Wacana : yaitu setia terhadap kata-kata. Artinya manusia harus berbicara jujur, apa
adanya dan sesuai dengan kebenaran. Kita harus mampu menghindari dan mengendalikan
diri dari perkataan yang tidak benar, palsu ataupun memfitnah. Karena fitnah lebih kejam
dari pembunuhan.

4. Satya Semaya : yaitu setia terhadap janji. Seringkali dalam kehidupan ini manusia
memberikan janji-janji palsu dan ini sering dilakukan oleh calon wakil rakyat ataupun
pemimpin. Ini harus dihindari, karena sekali berbohong akan menimbulkan kebohongan
yang lain. Tidak mampu menepati janji akan selalu membawa kegelisahan dalam hati dan
pikiran sehingga ketenangan yang diharapkan pun tidak dapat dicapai.

5. Satya Hredaya : yaitu setia pa da kata hati. Seringkali kita dalam melakukan dan berkata
bertentangan dengan kata hati. Pikiran yang tidak benar atau negative thinking harus
dihindari. Karena pikiran yang tidak baik akan mendorong manusia untuk berkata dan
berbuat yang bertentangan dengan dharma.
Dengan menjunjung tinggi kebenaran, kesetiaan, dan kejujuran, seseorang akan lebih cepat dapat
mengendalikan diri pribadinya, sehingga akan lebih mudah untuk mencapai ketenangan dan
ketentraman hidup.

4. Awyawahara
Awyawahara berasal dari kata “a” yang berarti tidak dan “wyawahara” yang berarti terikat
dengan kehidupan duniawi. Jadi Awyawahara berarti tidak terikat pada kehidupan duniawi (tan
awiwada). Dalam kehidupan ini harus mampu mengendalikan indria dari obyek duniawi. Karena
bila indria yang mengendalikan manusia maka ia akan terjerumus dalam kesengsaraan.
Kesengsaraan itu timbul dari dalam diri manusia yang tidak pernah merasa puas terhadap hal-hal
yang bersifat duniawi. Ketertarikan terhadap benda duniawi akan membuat manusia selalu
tenggelam dalam awidya.
Setelah menjadi seorang pandita, maka yang bersangkutan tidak dibenarkan melakukan
kegiatan jual beli dengan tedensi keuntungan yang berlipat-lipat, simpan pinjam (rna rni) dan
memperlihatkan kepandaian serta memupuk dosa kecuali menjaga harta warisan, menjaga
keutuhan keluarga, dan kesejahteraan istri, anak dan cucu.

5. Asteya
Asteya berasal dari kata “a” yang berarti tidak dan “steya” yang berarti mencuri atau
memperkosa milik orang lain. Jadi Asteya berarti tidak mencuri atau memperkosa milik orang
lain seperti angutil, anumpu, dan abegal. Dalam Silakrama disebutkan sebagai berikut :
“apabila seorang wiku berjalan jauh dan dalam perjalanan haus dan lapar lalu mengambil
tumbuhan milik orang tanpa bilang hanya sebatas penghilang haus dan lapar maka ia terlepas
dari dosa”
Ini berarti bahwa siapapun orangnya khususnya pandita diperbolehkan mengambil milik
orang lain ketika ia merasa haus dan lapar dalam perjalanan jauh. Tetapi barang yang diambil
hanya sebatas untuk menghilangkan rasa lapar dan dahaga. Tentu tidak dibenarkan barang yang
diambil melebihi keperluan apalagi sampai dijual. Segala perbuatan hendaknya tidak didasari
oleh sad ripu.
Jadi segala keinginan untuk mengambil ataupun memperkosa milik orang lain yang didasari
oleh sad ripu harus dikendalikan. Dengan cara pengendalian diri seperti ini( tidak mencuri atau
ingin memiliki barang orang lain), maka seseorang akan mendapatkan kesejahteraan hidup lahir
maupun batin.

Anda mungkin juga menyukai