Anda di halaman 1dari 20

Kejujuran & Toleransi

Dalam Pandangan Agama Buddha


Oleh Sonorous Dharma
Kejujuran
• Kejujuran atau dalam padanan bahasa Pali yaitu Sacca, atau dalam bahasa
Sanskerta yaitu Satya, adalah salah satu nilai penting di dalam
Buddhisme. Hal ini berkaitan dengan kebenaran yang sama dan menyatu
di dalam pikiran, perkataan dan tindakan.
PIKIRAN
PERKATAAN
(PANNA) SELARAS PERBUATAN
(KEBIJAKSANAAN
(SILA)
)
SACCA / SATYA

• Selain memuat makna mengenai benar-benar, Sacca atau Satya juga memuat
makna nyata. Maka dapat diartikan bahwa jujur itu tentu benar-benar, nyata,
sesuai dengan yang demikian semestinya yang ditangkap oleh indera,
diketahui atau dipikirkan, kemudian diucapkan atau diungkapkan, dan
dilaksanakan oleh manusia.
• Jujur itu selalu apa adanya, maka jujur itu sebetulnya sangat sederhana, tidak
berbelit belit, hanya mengungkapkan sesuatu sesuai dengan keadaannya.
Dalam KBBI:

•Ju-jur a 1 lurus hati; tidak berbohong (misalnya dengan berkata apa


adanya); 2 tidak curang (misalnya dalam permainan, dengan mengikuti
aturan berlaku; 3 tulus; ikhlas;
•Ke-ju-jur-an n sifat (keadaan) jujur; ketulusan (hati); kelurusan (hati):
Pentingkah Kejujuran di Dalam Ajaran Agama Buddha?

• 10 paramita, sifat yang harus dicapai untuk mencapai penerangan sempurna (Seorang Arahat). Yang bisa diteladan agar
menjadi manusia yang ideal:
1. Dermawan
2. Bermoral
3. Hati yang ikhlas melepas
4. Kebijaksanaan
5. Energi Semangat
6. Kesabaran
7. Kejujuran
8. Kebulatan Tekad
9. Cinta Kasih
10. Batin yang tenang dan seimbang
Di dalam Sigalovada Sutta (khotbah tentang etika sosial perumah
tangga), di dalam kehidupan ada 4 jenis kejahatan yaitu:

•Menghancurkan sebuah kehidupan


•Mencuri
•Perbuatan Asusila
•Berbohong.

Penyebab dari 4 hal ini adalah, nafsu, benci, takut, ketidaktahuan.


Tidak jujur untuk kebaikan / berbohong demi kebaikan?

• Rangkaian kata kata yang sering kita dengar di dalam masyarakat. Yang kadang
nampaknya sangat indah, heroic, dan begitu luarbiasa seseorang yang melakukan itu,
dengan bangganya diakuinya di hadapan umum.
• Yang pertama harus kita pahami adalah, karma baik dan karma buruk adalah dua hal
yang berbeda, terpisah tidak saling mengeliminasi, mengurangi, menghapuskan,
menegasikan. Kedua yang harus dipahami, manusia akan melakukan sesuatu walaupun itu
buruk bisa karena terbiasa dan dianggap lazim.
Memahami akan 4 kebenaran mulia/ The Four Noble Truths /
Cattari Ariyasaccani

1. Semua keberadaan mengandung duka (DUKKHA)


2. Duka itu disebabkan oleh nafsu keinginan yang tak terkendali (DUKKHA SAMUDAYA)
3. Mengeliminasi nafsu keinginan akan melenyapkan penderitaan (DUKKHA NIRODHA)
4. Jalan menuju lenyapnya penderitaan yaitu Jalan Mulia Berunsur Delapan. (DUKKHA NIRODHA GAMINI PATIPADA MAGGA)
 Pandangan Benar
PANNA Dengan selalu mengkoreksi setiap tahap dalam hidup
 Pemikiran Benar
mulai dari pikiran, ucapan, perbuatan dan seterusnya,
 Ucapan Benar
hingga Samadhi yang bisa dilakukan dengan perenungan,
 Perbuatan Benar meditasi, berdoa, akan menjadikan manusia selalu
SILA
 Penghidupan Benar mengkoreksi diri untuk jujur bukan hanya di ucapan saja,
 Daya Upaya Benar namun menyeluruh. 8 jalan ini adalah siklus memperbaiki
 Perhatian Benar SAMADH diri yang terus menerus harus kita lakukan
 Samadhi Benar I
Lima Sila (Panca Sila).
Panduan perilaku yang dilandasi kejujuran, selaras antara pikiran dan perbuatan dalam setiap hal.

• Baik di dalam Theravada maupun Mahayana, menggunakan 5 Sila dasar yang sama, yaitu:
1. Panatipata veramani sikkhapadang samadiyami. Kami berjanji untuk menghindari pembunuhan atau penganiayaan.
2. Adinnadana veramani sikkhapadang samadiyami. Kami berjanji untuk menghindari pencurian atau mengakui sesuatu
yang bukan hak.
3. Kamesu micchacara veramani sikkhapadang samadiyami. Kami berjanji untuk menghindari hal hal cabul, atau
hubungan seks yang tidak sah.
4. Musavada veramani sikkhapadang samadiyami. Kami berjanji untuk menghindari dusta/ fitnah/ ucapan kotor dan
omong kosong.
5. Sura-meraya-majja-pamadatthana veramani sikkhapadang samadiyami. Kami berjanji untuk menghindari makanan
dan minuman yang memabukkan serta yang menimbulkan ketagihan.
Pertimbangan dalam bertindak
harus dilandasi cinta dan kasih sayang, juga empati dan batin yang
seimbang.

• Setiap perbuatan memiliki akibatnya sendiri (karma), entah itu sekecil apapun. Maka perlu kebijaksanaan dalam
bertindak. Terlepas apa tujuan dari ketidakjujuran yang akan dilaksanakan, tetap perlu disadari bahwa berbohong
adalah tindakan yang harus diupayakan sungguh-sungguh dihindari. Sesuai dengan Sila yang ke empat.
• Namun terkadang di dalam kehidupan perlu suatu pengorbanan untuk menolong orang lain. Seperti teladan
Boddhisatva untuk menyelamatkan makhluk lain yang rela mengorbankan dirinya. Mengapa manusia perlu
bijaksana, agar ia tidak terjebak di dalam ketidaktahuan, misal dengan kejujuran namun ia celaka, atau
menggunakan dalih kebaikan untuk berbuat tidak jujur.
• Contoh: Seorang ibu miskin yang harus berkata ia sudah makan walaupun ia lapar sekali, agar ia bisa memberikan
makanan untuk anaknya.
• Apa yang dilakukan ibu tadi tentunya dengan cinta kasihnya, dengan empatinya yang membuatnya berbahagia
karena orang lain berbahagia, agar anaknya mau makan, berbeda dengan apa yang dilakukan seorang penipu,
koruptor, yang melakukannya karena hawa nafsu keserakahan, apa yang dilakukan koruptor menimbulkan
penderitaan orang lain. Maka dari dua kasus ini akan berbeda akibat yang akan terjadi.
TOLERANSI-KERUKUNAN
• Toleran dalam pengertian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya bersifat atau bersikap
menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan,
kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Maka
toleransi adalah hal yang berkaitan dengan itu.
• Sementara kerukunan adalah hal hal yang berkaitan dengan rukun (yang berarti baik dan damai, tidak
bertengkar, bersatu, bersepakat. Maka dari pengertian tersebut dapat dilogika bahwa kerukunan terjadi
karena ada kesamaan, atau dalam keadaan yang minimal jika terdapat perbedaan, yang terjadi adalah
perbedaan perbedaan yang ditoleransi oleh masing masing individu atau kelompok di dalam kumpulan yang
lebih besar.
TELADAN BUDDHA GAUTAMA
Suatu ketika Buddha bersama lima ratus orang siswa-Nya dari satu kota ke kota lain. Mengikuti di belakang rombongan Sang Buddha, dua orang
pertapa pengembara, yaitu seorang guru dan muridnya. Walaupun keduanya guru dan murid, kedua berbeda pandangan terhadap ajaran Buddha;
selama perjalanan sang guru menghina dan merendahkan ajaran Buddha, sedangkan muridnya berusaha memuji dengan berbagai cara. Perdebatan
keduanya berlangsung selama perjalanan hingga akhirnya rombongan Buddha mendapatkan tempat persinggahan untuk beristirahat.
Saat itu para bhikkhu membicarakan tentang kejadian ini dan bagaimana Buddha diam saja walaupun jelas-jelas keduanya yang berdebat tentang
ajaran Beliau berada persis di belakang rombongan tersebut. Ketika Buddha mengetahui pembicaraan tersebut, Beliau berkata: 
"Para bhikkhu, jika seseorang menghina-Ku, Dhamma (ajaran Buddha), atau Sangha (perkumpulan para bhikkhu), kalian tidak boleh marah,
tersinggung, atau terganggu akan hal itu. Jika kalian marah atau tidak senang akan penghinaan itu, maka itu akan menjadi rintangan bagi kalian.
Karena jika orang lain menghina-Ku, Dhamma, atau Sangha, dan kalian marah atau tidak senang, dapatkah kalian mengetahui apakah yang mereka
katakan itu benar atau salah?"
"Tidak, Bhagava," jawab para bhikkhu.
"Jika orang lain menghina-Ku, Dhamma, atau Sangha, maka kalian harus menjelaskan apa yang tidak benar sebagai tidak benar, dengan
mengatakan: ‘Itu tidak benar, itu salah, itu bukan jalan kami, itu tidak ada pada kami'.“
"Jika orang lain memuji-Ku, Dhamma, atau Sangha, kalian tidak boleh gembira, bahagia, atau senang akan hal itu. Jika kalian gembira, bahagia, atau
senang akan pujian itu, maka itu akan menjadi rintangan bagi kalian. Jika orang lain memuji-Ku, Dhamma, atau Sangha, kalian harus mengakui
kebenaran sebagai kebenaran, dengan mengatakan: 'Itu benar, itu tepat sekali, itu adalah jalan kami, itu ada pada kami'." (Brahmajala Sutta)
Bijaksana dalam menyikapi sesuatu.
• Buddha mengajarkan agar para pengikut-Nya tidak terbawa emosi positif atau negatif saat seseorang memuji
ataupun merendahkan ajaran Beliau, melainkan menjelaskan mana yang benar dan mana yang tidak benar atas
pandangan terhadap ajaran Buddha tersebut sehingga dapat membebaskan dari pandangan salah orang-orang
yang tidak tahu atas ajarannya.
• Tidak besar kepala ketika dipuji, tidak marah ketika dihina, tetap bijaksana dengan selalu memberikan pengertian
yang benar, dengan tutur kata yang sopan, niscaya kerukunan akan terwujud.
• Sebuah kalimat yang sering diucapkan oleh Umat Buddha, yaitu Sabbe satta bhavantu sukhitatta, memiliki
makna yang menjadi modal toleransi pembangun kerukunan. Arti dari kalimat ini adalah Semoga Semua
Makhluk Hidup Berbahagia. Yang tentunya bisa diartikan adanya kebebasan masing masing makhluk untuk
berbahagia, yang tentunya jika diamalkan semua makhluk akan menjadi suasana saling menjaga kebebasan
kebahagiaan masing masing dengan tidak melanggar kebebasan yang lain. Jadi bisa diartikan ini adalah bibit
toleransi dan sikap pengendalian diri. Tentunya jika semua terjadi dari dua arah dunia menjadi berbahagia.
Mengamalkan Brahmavihara untuk
Kerukunan
• Metta (cinta kasih), Karuna (welas asih pada semua makhluk), mudita
(bersimpati), Upekkha (batin yang tenang dan seimbang)
• Manusia adalah makhluk yang berakal budi, ia akan merespon sesuatu sesuai
dengan apa yang dirasakannya. Jika kita mengamalkan cinta kasih pada orang
lain, maka orang lain akan melakukan hal yang sama. Bersimpati kepada yang
sedang kesusahan, turut bahagia kepada yang berbahagia. Ini merupakan modal
kerukunan, yang tentunya jika terwujud dunia yang dilandasi cinta kasih, kasih
sayang, rasa simpati dan masyarakatnya memiliki batin yang tenang seimbang
akan sangat indah dunia yang terhubung erat oleh jaring-jaring kerukunan antar
pribadi maupun kelompok.
Sila sebagai pedoman berperilaku

• Di dalam sila, tentunya juga mengandung batasan ter sederhana dalam kehidupan yang
tentunya ditujukan agar manusia dapat hidup dengan tidak menyakiti orang lain.
Demikian juga seluruh norma yang dianut bersama di masyarakat bertujuan menjaga agar
tercipta kerukunan di dalamnya. Misalnya sila menghindari pembunuhan, pencurian.
• Nilai nilai yang diajarkan semua agama bahkan norma hukum semuanya mengandung hal
hal penunjang kerukunan, karena aturan aturan tersebut memberi landasan dalam hak hak
hidup manusia, hak asasi manusia.
Namun mengapa bisa terjadi intoleransi atau
ketidakrukunan?
• Dunia ini adalah dunia yang egois, dan teramat sedikit sekali manusia yang
menyadari dan mengerti akan kebenaran hidup, yang berhasil menyeberangi
pantai ilusi yang dipenuhi persepsi egoisme yang bersentral pada diri sendiri.
Hidup ini terikat ruang dan waktu, manusia seringkali membawa ego nya
dimanapun mereka berada, seperti jarum yang jatuh ke dalam ember, namun
tetap menjadi jarum yang tenggelam yang tidak bisa melebur ke dalam ruang
dan waktu sang air. Perbedaan dengan ruang dan waktu inilah yang membuat
ada perbedaan kontras, maka selalu manusia berpikir dengan menilai baik
buruk, tinggi rendah, selalu ada beda saya dan mereka.
6 indera
• Adalah jembatan masuknya informasi dari dunia luar, yang masuk melalui fenomena, suara, bau, rasa, bentuk, sentuhan. Yang setelah
diidentifikasi akan memunculkan sensasi, yang berkait dengan ingatan. Berikutnya manusia akan berpikir untuk memperbandingkan, dan
akan dikelompokkan, dibedakan, inilah yang disebut persepsi. Persepsi adalah manifestasi daripada ego itu sendiri. Maka informasi akan
diperbandingkan, untuk database informasi, dan nilai emosional yang abadi untuk analisa, kesimpulan dan alasan, muncullah keputusan
bertindak yang dihasilkan dari pemikiran berulang. Semua ini berlanjut ke bawah sadar dan menghasilkan akibat, walupun tidak selalu
ada tindakan atau realisasi, namun tetap menjadi bagian kesadaran seseorang. SENSASI-PERSEPSI-KEPUTUSAN-KESADARAN. Yang
terekam di dunia bawah sadar manusia. Ini adalah ego manusia, diluar ego itu adalah dunia, artinya ada ego yang eksklusif terpisah
dengan dunia. Manusia ada dalam hubungan dunia egois dan benda, maka ada perbedaan besar kecil, indah jelek, juga membedakan ini
keinginanku dan bukan keinginanku. Dalam kondisi seperti ini manusia tidak pernah tenang, diliputi ambisi keserakahan, amarah, hawa
nafsu, kebencian dan lainnya. Lantas bagaimana idealnya, seperti teratai indah yang tumbuh di kolam kotor, namun kotornya kolam tidak
membuat teratai jadi jelek, bahwa dalam pandangan semua ciptaan tuhan seharusnya kita menghargainya.
Manusia yang merupakan bagian dari
lingkungannya.
• Menurut Maslow ada 5 kebutuhan manusia yaitu fisik atau jasmani, rasa aman, kasih sayang, penghargaan, aktualisasi diri. Bisa saja
tindakan intoleransi terjadi karena idealisme atau keinginan menularkan pencapaian kebutuhan itu kepada orang lain agar seperti yang
diingininya. Terkadang akibat rasa takut kehilangan kepuasan hidupnya.
• Masing masing manusia hendaknya berusaha meleburkan diri tanpa ego, lebur dalam ruang dan waktu, Seorang yang suci, melepas
egonya, tak mementingkan diri sendiri, tulus hati merangkul semua perubahan sekeliling dunia, serta menghargai ruang dan waktu.
Bersikap hidup hendaknya seperti garam yang lebur di dalam air. Ia menjadi bagian dari air, yang tentunya seorang suci bagaikan cahaya
tak berbatas memenuhi seluruh ruang, inilah kesadaran tertinggi.
• Diandaikan semua orang adalah rumput di padang rumput, maka hendaknya manusia bukan sekedar memahami ia hanya sehelai rumput,
hendaklah ia menjadi bagian dari padang rumput itu. Andaikan kita tetesan air di ombak laut, maka hendaklah kita merasa sebagai bagian
dari laut tersebut. Artinya manusia menikmati kehidupannya dengan merasakan menjadi bagian dari lingkungannya. Dengan demikian
manusia bisa bahagia lepas dari egonya.
Terdapat Kebenaran di Luar Ajaran Buddha

Saat itu seorang pertapa pengembara bernama Subhadda mendekati Buddha yang sedang menjelang ajal-Nya dan bertanya mengenai
kebenaran berbagai ajaran agama yang ada saat itu. Tanpa mengatakan bahwa ajaran Beliau-lah yang paling benar, Buddha menjawab:
“Cukup, Subhadda, jangan pikirkan apakah mereka semua, atau tidak seorang pun, atau sebagian dari mereka telah menembus
kebenaran. Aku akan mengajarkan Dhamma kepadamu. Dengarkan dan perhatikan baik-baik....”
“Dalam ajaran dan disiplin mana pun, Subhadda, di mana tidak terdapat Jalan Mulia Berunsur Delapan, maka tidak akan mungkin
ditemukan para pertapa yang telah mencapai kesucian pertama (Sotapanna), kesucian kedua (Sakadagami), kesucian ketiga (Anagami),
dan kesucian keempat (Arahat). Tetapi dalam ajaran dan disiplin mana pun di mana terdapat Jalan Mulia Berunsur Delapan, maka di
sana dapat ditemukan para pertapa yang telah mencapai kesucian pertama, kedua, ketiga, dan keempat.” (Mahaparinibbana Sutta)
Di sini Buddha mengatakan bahwa ajaran mana pun yang mengajarkan Jalan Mulia Berunsur Delapan merupakan ajaran yang dapat
menghasilkan orang-orang suci; oleh karena itu, ajaran tersebut adalah ajaran yang benar. Jalan Mulia Berunsur Delapan dalam
ajaran Buddha dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu pengembangan perilaku yang bermoral (sila), pembersihan
pikiran/batin melalui meditasi (samadhi), dan pengembangan kebijaksanaan (panna/prajna). Menurut agama Buddha, agama mana
pun yang mengajarkan ketiga hal ini adalah agama yang benar dan dapat membuat pengikutnya menjadi suci batinnya. Dengan
demikian, agama Buddha juga mengakui adanya kebenaran dalam ajaran agama lain.
Teladan Toleransi Raja Asoka

Kurang lebih 200 tahun kemudian seorang raja terbesar sepanjang sejarah India yang bernama Asoka menjadikan agama Buddha sebagai agama
negara. Namun demikian, Raja Asoka tetap menghargai dan menghormati berbagai agama lain yang ada saat itu. Dalam beberapa prasastinya
tercatat bahwa Raja Asoka walaupun beragama Buddha mendanakan sejumlah gua sebagai tempat pertapaan bagi para pertapa ajaran lain. Di
antara sekian banyak prasasti peninggalan Raja Asoka terdapat sebuah prasasti yang mengajarkan toleransi antar umat beragama yang berbunyi
sbb:
“Janganlah kita menghormati agama kita sendiri dengan mencela agama lain. Sebaliknya agama lain pun hendaknya dihormati atas dasar-dasar
tertentu. Dengan berbuat demikian kita membuat agama kita sendiri berkembang, selain menguntungkan pula agama lain. Jika kita berbuat
sebaliknya, kita akan merugikan agama kita sendiri selain merugikan agama lain. Oleh karena itu, barangsiapa menghormati agamanya sendiri dan
mencela agama lain, semata-mata terdorong oleh rasa bakti kepada agamanya sendiri dengan pikiran ‘Bagaimana aku dapat memuliakan agamaku
sendiri’, justru ia akan merugikan agamanya sendiri. Karena itu kerukunan dianjurkan dengan pengertian biarlah semua orang mendengar dan
menghormati ajaran yang dianut orang lain.” (Rock Edict XII)
Demikianlah agama Buddha dengan sifat toleransi yang tinggi dapat hidup rukun dan harmonis dengan agama lain di mana pun ia berkembang. Di
Indonesia sendiri pada masa kerajaan Majapahit kehidupan agama Buddha dan agama Hindu berlangsung rukun dan harmonis seperti yang tersirat
dalam ungkapan Jawa Kuno “Bhinneka tunggal ika, tan hana Dharma mangrwa (Berbeda-beda namun tetap satu, tiada Kebenaran yang mendua)”
yang tertulis dalam kitab Sutasoma.

Anda mungkin juga menyukai