Anda di halaman 1dari 5

Tujuan Etika Hindu

Tujuan diajarkannya susila (etika) dalam agama hindu memiliki satu tujuan pasti, yaitu untuk
membangun umat Hindu yang memiliki tingkah sesuai dharma serta harmonis antar sesama
ciptaan Sang Hyang Widhi. Tentunya dalam zaman Kali Yuga ini tujuan susila menjadi lebih
jelas dan harus lebih ditekankan. Pengajaran Susila telah dilakukan sejak dini, yang mana
bertujuan untuk menumbuhkan bibit ajaran susila secara perlahan dan melahirkan pribadi
yang berbudi pekerti luhur.
Bila tujuan susila dijabarkan, maka tujuan ajaran susila atau etika dalam agama hindu adalah:
1. Demi mewujudkan hubungan yang harmonis antar manusia, entah dengan diri
sendiri, keluarga, teman, masyarakat, dan juga hubungan harmonis dengan ciptaan Hyang
Widhi lainnya.
2. Untuk membina umatnya agar berperilaku dan berkarakter baik dan sesuai dharma
3. Untuk menghindari terjadinya hukum rimba di masyarakat dan kekacauan lain yang
mungkin terjadi

Ajaran susila atau etika dan moralitas dalam agama Hindu dibagi-bagi kembali menjadi
beberapa ajaran, berikut merupakan ajaran yang memiliki kaitan dengan ajaran susila.

Ajaran 1: Tri Kaya Parisudha


Tri Kaya Parisudha tersusun dari kata Tri (tiga) kaya (tingkah laku), dan parisuda (mulia atau
bersih). Maka Tri Kaya Parisudha merupakan ajaran tiga tingkah laku yang mulia atau baik.
Ajaran ini sudah ditanamkan kepada umat semenjak dini. Adapun tiga tingkah laku tersebut
adalah sebagai berikut.
1. Manacika Parisudha (berpikir yang baik)
Menjadi konsep utama dikarenakan posisinya sebagai "raja indriya" yang
mengendalikan seluruh indriya di dalam diri manusia, serta menuntun segala
perbuatan manusia itu sendiri. Manusia haruslah senantiasa memiliki pikiran yang
baik, menalar mana yang benar dan salah, serta menjauhkan diri dari pikiran-pikiran
yang merusak.
Sloka Sarasamuccaya 80 pun menuturkan:
Mano hi mūlam sarvesāmindrayānam pravartate, ṣubhāśubhasvavasthāsu kāryam tat
suvyavasthitam
Terjemahan : Sebab yang disebut pikiran itu, adalah sumbernya nafsu, ialah yang
menggerakkan perbuatan yang baik ataupun yang buruk; oleh karena itu, pikiranlah
yang segera patut diusahakan pengekangannya / pengendaliannya.
2. Wacika Parisudha (berkata yang baik)
Perkataan merupakan suatu tingkah laku yang harus diperhatikan baik-baik, karena
bilamana salah berbicara, maka akibatnya pun akan fatal. Melalui perkataan,
seseorang dapat menyebarkan dharma dan melalui perkataan pula seseorang dapat
menyebarkan adharma, yang dapat menyakiti diri sendiri ataupun orang lain.
3. Kayika Parisudha (berbuat yang baik)
Perbuatan-perbuatan manusia akan menimbulkan karma, baik karma buruk maupun
baik. Maka, manusia sebaiknya melakukan perbuatan yang baik dan sesuai dengan
ajaran Agama.
Perlu diingat pula bahwa ketiga tingkah laku tersebut akan selalu tergolong ke dalam Tri
Kaya Parisudha apabila dilatar belakangi dengan dharma.

Ajaran 2: Panca Yama Brata


Panca Yama Brata tersusun dari kata panca (lima), yama (pengendalian), dan brata
(keinginan), yang mana berarti lima macam pengendalian diri. Adapun bagian-bagian dari
panca yama yaitu:
1. Ahimsa (tidak menyakiti atau membunuh)
Ahimsa merupakan pengendalian diri untuk tidak melakukan perbuatan yang akan
menyakiti makhluk lain.
2. Brahmacari (berpikir suci, bersih, dan jernih)
Brahmacari berasal dari dua kata, yaitu brahma berarti ilmu pengetahuan dan car
berarti bergerak. Brahmacari merupakan pengendalian diri dalam wujud mengejar
ilmu pengetahuan, baik pengetahuan agama atau lainnya yang mana tidak
mengharapkan pencapaian duniawi.
3. Satya (kebenaran, kesetiaan, kejujuran)
Satya berarti pengendalian diri melalui jalan kebenaran. Satya dibagi kembali menjadi
5, yang disebut sebagai Panca Satya.
a. Satya Wacana (setia dan jujur dalam berkata, mengucapkan perkataan yang
sopan)
b. Satya Hredaya (setia dan jujur terhadap kata hati)
c. Satya Laksana (bertanggung jawab atas perbuatan dan perkataan)
d. Satya Mitra (setia kepada teman)
e. Satya Semaya (selalu menepati janji)
4. Awyawahara (tidak terikat keduniawian)
Awyawahara merupakan pengendalian diri dalam wujud tidak terikat dengan
kehidupan duniawi.
5. Asteya/Asteneya (tidak mencuri)
Asteya merupakan pengendalian diri dengan cara tidak mencuri milik orang lain
ataupun memperkosa.

Ajaran 3: Dasa Yama Brata


Merupakan sepuluh macam pengendalian diri, yang mana dapat dikatakan sebagai perluasan
dari ajaran Panca Yama Brata. Adapun bagian-bagian dari dasa yama brata adalah:
1. Anrsamsa (tidak kejam), merupakan pengendalian diri agar tidak berperilaku atau
berkarakter kejam
2. Ksama (pemaaf), mudah memaafkan seseorang krn setiap orang pernah melakukan
kesalahan dan setiap orang belajar dari kesalahan tersebut.
3. Satya (kebenaran, kesetiaan, dan kejujuran) sama seperti panca yama brata
4. Ahimsa (tidak menyakiti atau membunuh), seperti panca yama brata
5. Dama (mengendalikan hawa nafsu), merupakan pengendalian diri dalam
mengendalikan hawa nafsu seseorang.
6. Arjawa (tetap pada pendirian), ajaran ini mengajurkan agar seseorang memiliki
pendirian yang tegak, tidak mudah dipengaruhi, namun bukan berarti harus keras
kepala
7. Priti (welas asih, perhatian), merupakan pengendalian diri yang mana seseorang
haruslah berempati dan membantu siapapun yang membutuhkan.
8. Prasada (berpikir jernih dan suci)
9. Madhurya (ramah tamah), berasal dari kata madu yang berarti manis. pengendalian
diri ini melaksanakan perilaku yang ramah kepada semua orang.
10. Mardawa (lemah lembut), ajaran ini mengajarkan untuk berperilaku lemah lembut dan
tidak kasar.

Ajaran 4: Panca Niyama Brata


Merupakan lima cara pengendalian diri lanjutan atau dapat disebut tahapan kedua dari ajaran
panca yama brata.
1. Akrodha (tidak marah) Akhroda merupakan cara pengendalian diri dengan cara tidak
meluapkan amarah atau dengan cara mengendalikan amarah dengan baik.
2. Guru susrusa (hormat pada guru), yang mana harus diterapkan oleh setiap murid.
Guru pun dibagi menjadi
a. Guru rupaka, orangtua
b. Guru pengajian, yang memberikan pendidikan seperti dosen atau guru di sekolah
c. Guru wisesa, yaitu pemerintah
d. Guru Swadyahya, Tuhan itu sendiri
3. Sauca (bersih atau suci), baik lahir maupun batin, jasmani maupun rohani
4. Aharalaghawa (makan makanan sederhana), berasal dari kata ahard berarti makan,
dan taghawa berarti ringan. ini merupakan bentuk pengendalian diri dengan cara
makan secukupnya dan dengan sederhana.
5. Apramadha (tidak mengabaikan kewajiban), yang mana merupakan ajaran agar
seseorang selalu menjalankan kewajibannya sebagai seorang manusia.

Ajaran 5: Dasa Niyama Brata


Merupakan sepuluh cara pengendalian diri lanjutan dari dasa yama brata.
1. Dana (bersedekah), menyedekahkan harta benda
Dana artinya suka berderma (bersedekah) baik berupa makanan, minuman, harta benda, dan
bentuk pemberian lainnya. Memberikan dana kepada orang lain berarti orang telah dapat
meringankan beban penderitaan orang lain. Membantu seseorang yang sedang dan sangat
memerlukan untuk menyambung hidupnya adalah perbuatan yang mulia,
2. Ijya (memuja dan memuji Tuhan)
Ijya artinya pemujaan kepada para Tuhan, Dewa, leluhur dan pemujaan lainnya yang sejenis
dengan itu. Di samping pemujaan kepada Tuhan, maka pemujaan kepada para Dewa dan
leluhur pun hendaknya dilakukan oleh seseorang yang berkecimpung dalam hidup suci. Kita
percaya dan yakin bahwa Dewa itu manifestasi Tuhan, dan melalui bantuan manifestasi
Tuhan itulah maka manusia adalah memohon dan menikmati berkahnya. Pemujaan itu pula
dilakukan oleh para leluhur untuk memohon doa restu-Nya agar sehat dan sejahtera di dunia.
3. Tapa (menjauhi kesenangan duniawi).
Tapa berasal dari kata “tap” artinya mengekang, mengendalikan hawa nafsu agar
memperoleh hidup suci. Tapa merupakan salah satu keimanan dalam ajaran Agama Hindu,
sebab dengan tapa, umat Hindu dapat meyakini suatu cita-cita atau tujuan dapat tercapai
melalui pelaksanaan tapa tersebut. Misalnya, dengan melalui pengekangan nafsu jasmani,
seseorang dapat mengurangi porsi makanan yang dimakan setiap hari. Cara ini bertujuan
untuk mengendorkan gejolak emosi seseorang agar dapat berpikir dengan tenang.
4. Dhyana (memusatkan pikiran).
Dhyana artinya tekun merenung dan memusatkan pikiran kepada Tuhan sebagai usaha
tercapainya kesatuan antara pikiran dengan Tuhan. Usaha tersebut bertujuan untuk
tercapainya kondisi mantap dalam konsentrasi sebagai dasar memperoleh kesucian batin.
Kondisi ini akan diperoleh secara bertahap, melalui dari tingkatan pemusatan dengan waktu
yang singkat sampai dengan tenggang waktu cukup lama. Akhirnya karena sudah terbiasa,
maka makin hari makin mencapai tingkat konsentrasi yang makin lama dan mantap, lalu
mencapai tingkat semadhi.
5. Swadhyaya (belajar sendiri).
Swadhyaya artinya mempelajari kitab suci Veda. Di dalam kitab kerohanian terdapat
tuntunan atau petunjuk bagi mereka yang sedang akan menjalani hidup suci. Dalam berbagai
jenis kitab Veda terdapat penuntun untuk menempuh kehidupan suci.
6. Upasthanigraha (mengendalikan hawa nafsu).
Upasthanigraha berarti pengekangan upastha (alat kelamin) dari nafsu birahi. Upaya untuk
mendapatkan kesucian jiwa bagi umat sedharma yang ingin menjalani hidup suci, maka
pengekangan jiwa atas nafsu birahi hendaknya dilaksanakan dengan sungguh-sungguh.
Seseorang yang selalu mengumbar hawa nafsunya adalah sebagai akibat dari yang
bersangkutan telah tahu dan merasakan nikmatnya birahi itu, sehingga selalu dipenuhi
keinginan seksualnya dengan berbagai cara yang akhirnya sampai menjadi pemerkosaan.
Memperkosa sering disebut berzinah, termasuk sikap-mental yang tidak terpuji. Berzinah
merupakan perbuatan yang sangat hina dan terkutuk. Perbuatan ini harus dikendalikan karena
bisa menimbulkan kemerosotan moral. Berzinah artinya sikap suka memperkosa wanita atau
istri orang lain.
7. Brata (melaksanakan pantangan)
Bratha adalah pengekangan nafsu dalam mengonsumsi makanan dan minuman. Seseorang
atau umat sedharma yang bercita-cita untuk mencapai kesucian jiwa hendaknya mampu
membatasi diri untuk mengonsumsi makanan dan minuman dari segi jumlah maupun
mutunya. Seperti membatasi makanan yang berlebihan, membatasi makanan yang
mengandung bahan kimia, makan pedas, makan yang terlalu manis dan sebagainya.
Mengonsumsi makanan yang berlebihan sangat memengaruhi perkembangan jasmani dan
rohani yang mengonsumsinya.
8. Upawasa (puasa)
Upawasa adalah berpuasa. Cara ini banyak ragamnya, ada puasa makan minum, puasa tidak
tidur, puasa melihat, puasa tidak bicara, tidak bepergian, tidak bekerja, dan sebagainya.
Khusus untuk umat Hindu jenis puasa ini pelaksanaannya dirangkaikan dengan pelaksanaan
hari raya, seperti Nyepi, Siwaratri. Misalnya dalam pelaksanaan upawasa nyepi, umat Hindu
berkumpul pada suatu tempat yang suci yang telah disepakati dengan harapan puasanya
menjadi lebih mantap dan khusyuk.
9. Mona (tidak berbicara)
Mona artinya tidak berkata, membatasi bersuara. Dalam kehidupan sehari – hari mona tidak
diartikan tidak berkata-kata sama sekali, melainkan adalah kata-kata itu harus dibatasi dalam
batasan-batasan kewajaran. Misalnya dianggap wajar bila berkata baik dan benar, berkata
menyenangkan orang lain bila didengar.
10. Snana (membersihkan diri).
Snana artinya tekun melaksanakan pembersihan dan penyucian batin dengan sembahyang
tiga kali sehari atau tri sandhya. Melaksanakan tri sandhya bila dicermati suasana
pelaksanaannya, sesungguhnya adalah dasar dari dhyana. Biasanya seseorang sebelum secara
tekun dapat melakukan dhyana maka tingkatan dasar (tri sandhya) dilakukan terlebih dahulu.
Praktik ini diawali dengan membersihkan badan, seperti mandi. Aktivitas antara mandi
dengan tri sandhya sangat erat hubungannya, di mana dengan membersihkan badan terlebih
dahulu pelaksanaan tri sandhya itu akan menjadi lebih mantap. Dengan kata lain terbiasa
membersihkan diri, badan, mandi sebelum akan melakukan pemujaan ke hadapan-Nya dapat
mendukung suksesnya sembahyang dengan baik.

Anda mungkin juga menyukai