NIM : 2007531270
Sosiologi Agama Hindu adalah suatu disiplin ilmu yang merupakan bagian
dari sosiologi agama, yang mempelajari masyarakat pemeluk agama Hindu secara
emperis yang bersifat posistif, menuju pengetahuan yang bersifat universal
mengenai structural. Fungsi-fungsi serta perubahan-perubahan yang di alami
masyarakat penganut agama Hindu. Fungsi sosiologi agama, yaitu memberikan
suatu kontribusi yang tidak kecil lagi bagi instansi keagamaan. Sebagai sosiologi
positif ia telah membuktikan daya gunanya dalam hal mengatasi kesulitan-kesulitan
yang muncul dalam masyarakat serta menunjukkan cara-cara ilmiah untuk perbaikan
dan pengembangan masyarakat. Menggali landasan sosiologi pendidikan agama
Hindu adalah mengkaji arah pendidikan dalam pembinaannya kepada mahasiswa
untuk belajar hidup bersama di dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan
antara manusia yang menguasai hidupnya. Manusia, menurut kodratnya, adalah
sebagai makhluk individu dan sosial.
Istilah keluarga berasal dari bahasa sansekerta “kula” dan “varga” kula berarti
abdi, hamba. Varga berarti jalinan, ikatan. Istilah kula dan warga ini dirangkaikan
sehingga menjagi kulavarga yang dapat berarti suatu jalinan atau ikatan pengabdian.
Dari istilah kulavarga inilah mengalami sedikit perubahan bunyi keluarga yang dapat
berarti; Keluarga adalah suatu jalinan poengabdian antara suami istri dan anak –
anak. Dengan demikian maka keluarga dapat diartikan sebagai suatu persatuan
yang terjalin antara seluruh anggotanya dalam melaksanakan pengabdian sebgai
amanat dasar yang diemban demi kelestarian dan kesejahteraannya. Dapat pula
dikatakan bahwa ikatan dalam keluarga adalah suatu pengabdian bukan suatu
pengorbanan. Oleh karenannya dalam hubungan ini salah satu anggota keluarga
tidaklah benar apabila mengatakan dirinya berkorban demi keluarga.
Terjemahan dari sloka; Dan sesuai dengan ketentuan – ketentuan dari weda
dan smerti kepala rumah tangga dinyatakan sebagai paling di atas dari semua yang
lainnya itu Karena tahapan ini menunjang ketiga tahapan lainnya.
2) Kewajiban hidup dalam masyarakat sesuai dengan profesi, dan tingkatan hidup
(Varóa Dharma, dan Asrama Dharma):
Catur Asrama: empat jenjang kehidupan yang harus dijalani untuk mencapai
moksa.
Brahmacari, yaitu tingkatan hidup manusia pada waktu mengejar ilmu pengetahuan;
Grehasta, yaitu tingkat kehidupan pada waktu membina rumah tangga yaitu kawin
dan melahirkan keturunan;
Wanaprasta, yaitu hidup persiapan untuk lebih meningkatkan hidup kerohanian dan
perlahan-lahan membebaskan diri dari ikatan keduniawian.
Bhiksuka (Sanyasin), adalah tingkat kehidupan yang lepas dari ikatan keduniawian
dan hanya mengabdikan diri kepada Sang Hyang Widhi Wasa dengan jalan
menyebarkan ajaran-ajaran kesucian.
Catur Varna:
Brahmana, yaitu golongan karya yang memiliki ilmu pengetahuan suci dan
mempunyai bakat kelahiran untuk mensejahterakan masyarakat, negara dan umat
manusia dengan jalan mengamalkan ilmu pengerahuannya dan dapat memimpin
upacara keagamaan.
Ksatria, yaitu golongan karya yang setiap orangnya memiliki kewibawaan cinta tanah
air serta bakat kelahirannya untuk memimpin dan mempertahankan kesejahteraan
masyarakat, negara dan umat manusia berdasarkan dharmanya.
Wesya, yaitu golongan karya yang setiap orangnya memiliki watak tekun, terampil,
hemat, cermat dan keahlian serta bakat kelahirannya untuk menyelenggarakan
kemakmuran masyarakat dan kemanusiaan.
Sudra, yaitu golongan karya yang setiap orangnya memiliki kekuatan jasmaniah,
ketaatan, serta bakat kelahiran untuk menjadi pelaku utama dalam tugas-tugas
memakmurkan masyarakat negara dan umat manusia atas petunjuk-petunjuk
golongan karya lainnya.
Hendaknya keempat warna ini bekerja sama sesuai dengan wataknya
(swadarmanya) masing-masing untuk membina kesejahteraan masyarakat negara
dan umat manusia. Pengabdian setiap anggota masyarakat yang
berdasarkan swadarma itu harus didasari oleh Triwarga yaitu:
Dharma, yaitu kebenaran yang merupakan dasar dan jiwa dari segala usaha, Guru
tekankan sekali lagi bahwa Dharma adalah kebenaran bukan kesenangan. Karena
kadang-kadang yang benar itu belum tentu menyenangkan dan yang menyenangkan
itu belum tentu yang benar, dan selalu pilihlah yang benar.
Artha, adalah hasil usaha yang merupakan harta benda. Tetapi hasil usaha inipun
harus didapat dengan cara yang benar. Memiliki harta benda ini malah akan
menjerumuskan kita, jika kita tidak berdasar dengan dharma dan jika tidak kita
amalkan untuk dharma. Harta itu perlu dan harus kita usahakan memilikinya, tetapi
dengan jalan yang benar dan untuk memperkokoh Dharma.
Kama, yaitu keinginan untuk mendapatkan kesukaan/kenikmatan. Sama
seperti artha, kama inipun harus didasari dengan Dharma. Dharma hendaknya
sebagai pendorong dan pengendali kama. Karena kama yang tidak
berdasarkan Dharma akan mengakibatkan penderitaan.
Tak berjauhan ayi (beracun) itu dengan amrta : disinilah di badan sendirilah
tempatnya: keterangannya, jika orang itu bodoh, dan senang hatinya
kepada adharma, ayi atau racun didapat olehnya; sebaiknya kokoh
berpegangan kepada kebenaran, tidak goyah hatinya bersandar kepada
dharma, maka amrtalah diperolehnya.
“Maka yang harus anda perhatikan, jika ada hal yang ditimbulkan oleh
perbuatan, perkataan dan pikiran yang tidak menyenangkan dirimu sendiri,
malahan menimbulkan duka yang menyebabkan sakit hati, jangan
mengukur baju di badanmu sendiri, perilaku anda yang demikian itulah
dharma namanya: penyelewengan ajaran dharma, jangan hendaknya
dilakukan.
“Bahwa segala perilaku orang yang bijaksana, orang yang jujur, orang satya
wacana, pun orang yang dapat mengalahkan hawa nafsunyadan tulus iklhas
lahir bathin, pasti berlandaskan dharma segala laksana beliau, laksana
beliau itulah yang dinamai laksana dharma”.
b. Kebajikan
“Tuhan Yang Maha Esa yang pemurah memberkahi orang yang penuh
kebajikan.
“Bagi sang pandita (orang arif bijaksana) tak lain hanya orang yang bajik
yang melaksanakan dharma, dipuji dan disanjung olehnya, karena ia telah
berhasil mencapai kebahagiaan, beliau tidak menjungjung orang yang kaya
dan orang yang selalu birahi cinta waita, sebab orang itu tidak sungguh
berbahagia, karena adanya pikiran angkara dan masih dapat digoda oleh
kekayaan dan hawa nafsu itu.
“Bila orang itu aying akan hidupnya apa sebabnya ia itu ingin memusnahkan
hidup mahluk lain, hal itu sekali-kali tidak memakai ukuran diri sendiri,
segala sesuatu yang akan dapat menyenangkan kepada dirinya, mestinya
itulah dicita-citakannya terhadap mahluk lain”.
4) Masa depan dari agama-agama dewasa ini sangat ditentukan oleh seberapa
serius agama-agama itu menanggapi masalah-masalah aktual yang ada di tengah
masyarakat. Ketika agama hanya sibuk memberikan pengajaran konseptual,
mengurusi soal-soal kultus dan tidak peka terhadap persoalan konkrit, agama
semakin ditinggalkan oleh orang-orang yang mengatasnamakan diri generasi
modern. Agama seharusnya membantu para pemeluknya untuk me- nemukan
kekayaan multidimensional dan humanisme radikal yang sehat karena menyediakan
refleksi iman yang memberi pencerahan dan mengorientasikan hidup ke masa
depan.
Di tengah perkembangan IPTEK dan mentalitas pragmatis-instrumental yang
ditandai oleh kecenderungan berkembangnya cara hidup konsumtif, materialistis dan
hedonis, pola hidup asketis penuh pengorbanan yang diajarkan oleh agama- agama
akan membangun peradaban dan identitas pribadi yang memampukan manusia
bersikap lepas bebas dari segala kecenderungan tak teratur. Hal ini terjadi karena
refleksi iman di dalam agama membantu untuk menemukan makna hidup dan
mengarahkan pada nilai-nilai abadi. Dengan demikian kepercayaan pada Tuhan
memberikan kekuatan pada orang beriman untuk bertahan tidak hanya dalam suka,
tetapi juga dalam duka, sehat atau sakit, keberhasilan atau kegagalan. Dengan kata
lain, iman pada Tuhan memberikan kebebasan dalam pelbagai keadaan.
Banyak pihak yang beranggapan bahwa politik adalah kotor karena politik
selalu diidentikkan dengan perebutan kekuasaan yang menghalalkan segala cara. Akan
tetapi, Hindu memandang politik tidak semata-mata sebagai cara mencari, dan
mempertahankan kekuasaan, melainkan adalah bagi penegakkan Dharma. Hal ini banyak
dijelaskan dalam percakapan antara Bhagawan Bhisma dengan Yudhistira pasca perang
Bharatayudha, yaitu dalam Santi Parwal LXIII, hal 147. Untaian kalimat dalam Santiparwa
mengisyaratkan bahwa antara Politik dan Agama mempunyai kaitan yang sangat erat, yaitu
politik Hindu adalah untuk menjalankan dan menegakkan ajaran Dharma. Dharma adalah
hukum, kewajiban, dan kebenaran yang apabila dilanggar maka akan berakibat pada
kehancuran umat manusia, dan sebaliknya dharma yang dijaga akan membawa kemuliaan
(dharma raksatah raksitah).
Salah satu ciri khas dalam Politik Hindu, sebagaimana dimuat dalam Arthasastra,
adalah pandangan bahwa pada hakikatnya tujuan dari politik atau tujuan dari
penyelenggaraan kekuasaan adalah menegakkan Dharma, menegakkan kebenaran, yang
berarti menegakkan keadilan dan menciptakan kemakmuran / kesejahteraan. Pandangan
bahwa "kekuasaan adalah sebagai sarana penegakan dharma" inilah, dapat dikatakan,
merupakan esensi politik Hindu.
Adapun kepemimpinan Hindu berdasarkan ajaran Asta Brata, dan Catur Naya
Sandhi adalah
Asta Brata (Delapan Tipe kepemimpinan yang merupakan Delapan Sifat
Kemahakuasaan Tuhan. Ajaran ini diberikan Sri Rama kepada Wibhisana
sebagai Raja Alengka Pura menggantikan kakaknya Rahwana)
1. Indra Brata = Artinya pemimpin hendaknya mengikuti sifat-sifat Dewa Indra sebagai
dewa pemberi hujan, member kesejahtraan kepada rakyat.
2. Yama Brata = Artinya pemimpin hendaknya mengikuti sifat-sifat Dewa Yama yaitu
menciptakan hukum, menegakkan hukum dan memberikan hukuman secara adil
kepada setiap orang yang bersalah.
Catur Naya Sandhi (dapat diartikan sebagai empat sikap seorang pemimpin)
1) Sama yaitu pemimpin hendaknya selalu waspada dan siap siaga untuk menghadapi
segala ancaman musuh baik yang dating dai dalam maupn dari luar yang merongrong
kewibawaan pemimpin yang sah
2) Bheda yaitu pemimpin hendaknya memberikan perlakuaan yang sama dan adil
tanpa perkecualian dalam melaksanakan hukum/peraturan bagi bawahan atau rakyat
sehingga tercipta kedisiplinan dan tata tertib dalam masyarakat (Supermasi Hukum)
3) Dhana yaitu pemimpin hendaknya mengutamakan sandang ,pangan,pendidikan
dan papan guna menunjang kesejahteraan /kemakmuran bawahan atau rakyat ,serta
memberikan penghargaan bagi warga yang berprestasi. Memberikan upah/gaji bagi
para pekerja sebagai balas jasa dari pekerjaan yang di bebankan sesuai dengan
peraturan yang berlaku agar dapat mencukupi kehidupan keluarganya
4) Danda yaitu bahwa pemimpin hendaknya menghukum secara adil kepada semua
yang berbuat salah/melanggar hukum sesuai dengan tingkat kesalahan yang
diperbuatnya
6) Bagi umat Hindu istilah ini bukanlah asing lagi. Istilah ini disebut-sebut
sebagai faktor berbedanya praktik ritual Hindu disetiap daerah/wilayah. Sehingga
timbul kesan bahwa penerapan agama Hindu yang berhubungan dengan upacara
agama tidak memiliki standar. Sejarah kelahiran agama Hindu dengan segenap
ajarannya sering digambarkan sebagai gelindingan bola salju. Begitu segenggam
salju diluncurkan dari ketinggian gunung, bola salju yang semula kecil kian lama kian
besar dan selama proses luncur segala hal yang dilintasi pun terbawa bersamanya.
Arti dari gambaran memberikan pemahaman bahwa ajaran Hindu yang berintikan
Weda dalam penerapan atau praktek pengalamannya sepanjang berhubungan
dengan “di luar inti” yaitu hakekat (Tattwa Darsana) dapat menyesuaikan dan
mengharmoniskan diri dengan kondisi setempat. Ibarat telur, inti telur semuanya
berwarna kuning, tetapi soal kulitnya berbagai warna telur dapat dijumpai. Pijakan
pelaksanaan agama Hindu bukan saja Weda dengan Sruti dan Smrtinya tetapi juga
berpegangan pada sila(teladan prilaku orang-orang suci), Acara(tradisi/adat) dan
Atmanastuthi(ketetapan hati/kepuasan bathin). Umat Hindu yang memiliki tingkat
pengetahuan, pemahaman dan penghayatan terhadap ajaran Weda dapat
menjadikan salah satu pijakan/pegangan diatas sebagai wujud nyata dalam
melaksanakan kewajiban agamanya. Di dalam Bhagawadgita dijelaskan ada
4(empat) jalan untuk merealisasikan sikap keagamaan umat Hindu yang disebut
dengan Catur Marga, antara lain:
- Bagi yang memiliki tingkat rohani atau spiritual yang tinggi dapat mewujudkan
sikap religiusnya dengan menempuh Raja Marga, misalnya: dengan melakukan
“tapa-brata-yoga-semadhi”.
- Untuk yang merasa tinggi tingkat ilmu pengetahuannya bisa mewujudkan
bhaktinya kepada Hyang Widhi dengan jalan Jnana Marga.
- Dan bagi sebagian besar umat yang hanya merasa sebagai pelaku dan pencinta
Tuhan, maka cara sederhana, alamiah dan penuh simbol dapat dilakukan
dengan Karma dan Bhakti Marga.
- Inilah yang menjadi dasar bervariasinya bentuk-bentuk ritualitas pelaksanaan
upacara agama Hindu. Karena setiap wilayah/tempat(desa),waktu(kala), dan
situasi/kondisi(patra) membuat beraneka ragamnya bentuk-bentuk ritual yang
dilakukan.
Jadi, yang bersifat baku adalah yang berhubungan dengan intisari ajaran
yang bersumber pada Weda, sedangkan pengalaman ajaran Weda sesuai dengan
Catur Marga, tergantung pada tingkat kerohanian umat untuk siap melakukannya.
Singkatnya agama Hindu bukan agama tidak mensyaratkan patokan
baku/standar/dogma yang bersifat total tetapi hanya berkenaan dengan hal-hal
essensial dimana untuk melaksanakannya pun tetap berpijak pada kondisi local
(desa-kala-patra)