Anda di halaman 1dari 18

PENDIDIKAN AGAMA HINDU

HUKUM DALAM KERANGKA PENEGAKAN KEADILAN

Oleh :

Kelompok 4

Ni Made Dini Hari Putri (1907531008)

Anak Agung Ayu Nopi Gayatri (1907531041)

Ni Luh Putu Priska Sri Utami (1907531043)

Iloh Maitri Padma Dewi (1907531052)

Ni Luh Ayu Linda Diana Sari (1907531055)

Putu Wahyu Aditya Vallentino (1907531065)

Disampaikan Kepada :

Bapak I Wayan Latra, S.Ag, M.Si

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manawa Dharmasastra merupakan sebuah kitab Dharmasastra yang dihimpun
dengan bentuk yang sistematis oleh Bhagawan Bhrigu, salah seorang penganut ajaran
Manu, dan beliau pula salah seorang Sapta Rsi. Penafsiran terhadap pasal-pasal Manawa
Dharmaṡāstra telah dimulai sejak tahun 120 M dipelopori oleh Kullukabhatta dan Medhiti
di tahun 825 M. Para Maha Rsi yang melakukan penafsiran-penafsiran pada Manawa
Dharmaṡāstra menyesuaikan dengan tradisi dan kondisi setempat. Aliran yang
berkembang di Indonesia adalah Mitaksara dan Dayabhaga. Di zaman Majapahit, Manawa
Dharmaṡāstra lebih popular disebut sebagai Manupadesa. Kitab Dharmasastra yang
memuat bidang hukum Hindu tertua dan sebagai sumber hukum Hindu yang paling
terkenal adalah Manawa Dharmasastra. Berbagai bidang hukum Hindu yang termuat
dalam Kitab Manawa Dharmasastra antara lain Bidang Hukum Keagamaan , Bidang
Hukum Kemasyarakatan , Bidang Hukum Ketatanegaraan.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana Hukum Menurut Perspektif Hindu?
1.2.2 Bagaimana Hubungan Karmaphala dengan Punarbawa dalam Hukum Hindu?
1.2.3 Apa Saja Sumber Hukum Hindu?
1.2.4 Bagaimana Sejarah Hukum Hindu?
1.2.5 Bagaimana Upaya Mentaati Hukum Hindu dalam Kehidupan Keagamaan dalam
Kerangka Hukum Nasional?
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk Memahami Hukum Menurut Perspektif Hindu
1.3.2 Untuk Memahami Hubungan Karmaphala dengan Punarbawa dalam Hukum Hindu
1.3.3 Untuk Memahami Sumber Hukum Hindu
1.3.4 Untuk Mengetahui Sejarah Hukum Hindu
1.3.5 Untuk Mengatahui Upaya Mentaati Hukum Hindu dalam Kehidupan Keagamaan
dalam Kerangka Hukum Nasional
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hukum Menurut Perspektif Hindu


Salah satu Sradha dalam agama Hindu ialah Widhi Sradha, yaitu kepercayaan dan
keyakinan akan adanya hukum yang diciptakan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa, yang
merupakan semacam sifat dari Kekuasaan Tuhan, serta diperlihatkan-Nya dalam bentuk
yang dapat dilihat, dirasakan dan dialami oleh manusia.
Bentuk hukum Tuhan yang murni dalam ajaran agama Hindu disebut Rta. Rta berasal
dari Bahasa sansekerta yang berarti adil. Rta adalah hukum Tuhan yang bersifat abadi.
Contoh hukum Rta yaitu
1. Matahari terbit di timur, tenggelam di barat.
2. Air mengalir dari tempat yang tinngimenuju tempat yang lebih rendah.
3. Adanya siang dan malam.
4. Adanya siklus kehidupan.
Rta kemudian dijabarkan ke dalam tingkah laku manusia dan disebut Dharma. Dalam
Weda, kitab Smerti dianggap sebagai kitab hukum Hindu karena didalamnya banyak
memuat tentang syarat hukum yang disebut Dharma. Istilah lain tentang hukum dalam
ajaran agama Hindu adalah Widhi, Dresta, Acara, Agama, Wyawahara, Nitisastra,
Rajaniti, dan Artasastra. Namun, dari sekian banyak istilah tersebut yang paling umum
dalam ilmu hukum adalah Dharma. Sedangkan Rta sering diterjemahkan dengan Orde
atau Hukum, tetapi dalam arti hukum yang kekal dan tidak pernah berubah.
Di dalam Weda diterangkan bahwa mula-mula Tuhan menciptakan alam semesta,
kemudian menciptakan Hukum yang mengatur hubungan - hubungan antara yang
diciptakanya itu. Selanjutnya oleh Karena Tuhan menciptakan hukum dan sekalian
sebagai pengendali atas hukumnya itu, maka Tuhan juga disebut Ritawan dan dalam
perkembangan kesusastraan sansekerta istilah Rta ini kemudian diartikan Widhi yang
maknanya sama pula dengan aturan-aturan yang ditetapkan oleh Tuhan. Dari kata Widhi
ini akhirnya lahir istilah Sang Hyang Widhi atau Sang Hyang Widhi Wasa dengan arti
Tuhan yang maha Esa atau penguasa  atas Hukumnya.
Di dalam ilmu sosial, konsepsi istilah hukum berkembang dalam bentuk dua istilah
yaitu Hukum Alam dan Hukum Bangsa. Hukum Alam ini dalam agama Hindu disebut
Rta dan Hukum Bangsa suatu kelompok masyrakat disebut Dharma yang bentuknya
berbeda -beda menurut keadaan setempat-setempat. Karena istilah Dharma sebagai
Hukum tidak sama bentuknya di semua tempat, melainkan selalu dihubungkan dengan
kebiasaan -kebiasaan setempat dan disamakan pula dengan pengertian yang terkandung
dalam istilah Dresta.
Adapun Hukum Abadi atau Rta dalam sejarah pertumbuhan Agama Hindu itu
berkembang sebagai landasan idiil mengenai bentuk hukum yang ingin diterapkan dalam
pengaturan masayrakat di dunia ini, yang dikenal dengan nama “Ajaran Dharma”.
Kemudian dalam perkembangan Ajaran Dharma itu, Dharma dianggap bersumber pada
Sruti, Smerti, Sila, Acara, dan Atmanastuti, sedangkan Rta berkembang menjadi bentuk
suatu keyakinan tentang adanya nasib yang ditentukan oleh Tuhan.
Rta dan Dharma merupakan landasan daripada ajaran Karma Phala, yaitu Rta
mengatur akibat tingkah laku manusia sebagai suatu kekuatan yang tidak dapat dilihat
oleh manusia. Ia hanya dapat dirasakan berdasarkan keyakinan akan adanya kebenaran
yang absolute.dengan keyakinan atas kebenaran yang absolute itu, Rta dapat dihayati 
melalui emosi keagamaan serta menumbuhkan keyakinan akan adanya Rta dan Dharma
sebagai salah satu Unsur Sradha atau keimanan dalam agama Hindu, Rta dan Dharma 
mempunyai ruang lingkup yang sangat luas meliputi pengertian Hukum Abadi sebagai
ajaran kesusilaan yang mengandung estetika dan mencakup pula pengertian sosial.
Karena itu Rta selalu menjadi dasar pemikiran idiil dan diharapkan akan dapat terwujud
dalam kehidupan di dunia ini.

2.2 Hubungan Karmaphala dan Punarbawa

2.2.1 Pengertian Hukum Karma


Hukum Karma dan Punarbhawa adalah dua dari lima Sraddha agama Hindu. Kedua
ajaran ini diyakini betul memiliki hubungan langsung dengan kehidupan sehari-hari umat.
Hukum Karma telah terbiasa dikonotasikan oleh umat “Hindu” dengan
sebutan Karmaphala. Karmaphala adalah penggabungan dua kata yang berasal dari bahasa
Sansekerta, yakni dari kata Karma dan Phala. Kata Karma itu sendiri berasal dari akar
kata Kr yang berarti berbuat/melakukan perbuatan, kerja/melakukan suatu
pekerjaan dan Phala berarti buah atau dalam kaitanya dengan Karma diartikan sebagai hasil.
Sehingga Karmaphala berarti hasil dari perbuatan atau sering disebut hukum Karmaphala
yakni hukum hasil perbuatan. Hukum karmaphala merupakan hukum sebab akibat atau
hukum aksi dan reaksi. Setiap karma mempunyai phala. Dengan demikian hukum Karma
sering disebut dengan istilah hukum Karmaphala.
Hukum karma berlaku adil dan bersifat universal. Sebelum phala itu kembali kepada sumber
karma, maka selama itu phala itu terus berproses menunggu waktu akan kembalinya kepada
sumber karma itu sendiri.

2.2.2 Jenis – Jenis Hukum Karma


Proses penerimaan hasil perbuatan yang dilakukan oleh seseorang adalah
berdasarkan (desa, kala dan patra) tempat, waktu dan keadaan atau kondisinya. Secara
tradisional proses penerimaan hukum karma phala itu dapat dikelompokkan menjadi 3
bagian, ketiga bagian yang dimaksud antara lain :
1. Sancita Karma adalah akumulasi dari hasil perbuatan seseorang dimasa lampau
yang dapat dinikmati dalam kehidupan sesuai waktu yang tepat
2. Prarabda Karma adalah hasil perbuatan seseorang pada masa kehidupan yang saat
ini dan hasilnya dinikmati saat ini juga.
3. Kriyamana/Aagami Karma adalah bibit dari perbuatan yang baru dilakukan dan
hasilnya dinikmati di masa yang akan datang
Bhagawad Gita juga menjelaskan mengenai Akarma dan Wikarma. Akarma adalah
tidak berbuat atau tidak bertindak, sedangkan Wikarma adalah perbuatan yang keliru. Namun
perlu disadari bahwa sebagai manusia kita tidak bisa tidak berbuat (akarma). Bahkan tubuh
pun tidak dapat terpelihara jika tidak berbuat.

2.2.3 Punarbhava
Keyakinan umat Hindu yang ke empat setelah Karmaphala adalah Punarbhawa.
Punarbhawa sering juga disebut Reinkarasi atau Samsara. Punarbhawa berasal dari bahasa
Sansekerta, yakni dari kata Punar dan Bhava. Punar berarti lagi, kembali. Sedangkan kata
Bhava berarti menjadi, menjelma, lahir. Sehingga Punarbhawa berarti menjelma kembali atau
kelahiran kembali. Kelahiran yang kembali ini sesungguhnya merupakan penderitaan yang
harus kita akhiri melalui kesempatan hidup ini. Setiap orang hendaknya berupaya untuk tidak
menyia-nyiakan hidup ini, bila kita mau dan senang menikmati hidup.
Ajaran Hindu secara tegas menyatakan bahwa segala jenis penjelmaan itu merupakan
suatu Samsara atau penderitaan. Jika kita yakin akan hal itu, maka dapat menjadi motivasi
yang positif bagi semua orang agar dapat memperbaiki kualitas hidupnya dengan selalu
berusaha menghindari perbuatan-perbuatan yang buruk. Dengan demikian walaupun
Punarbhawa itu sesungguhnya merupakan penderitaan, namun disisi lain punarbhawa itu
merupakan kesempatan untuk melakukan karma yang baik. Baik buruknya karma manusia
dapat mempengaruhi baik buruk kwalitas Karma Wasananya. Karma Wesana itu muncul dari
keinginan – keinginan manusia.
Kesempatan Punarbhawa merupakan salah satu bagian dari upaya umat manusia
untuk dapat mempersatukan kembali Atman dengan Brahman. Bersatunya Atman dengan
Brahman maka tercapai keadaan Sat Cit Ananda, yaitu kebahagiaan yang kekal dan abadi.
Itulah yang dinamakan Moksa keadaan bebas dari ikatan
“Ajo pisanavya yatma, Bhutanam isvaro  pisan, Prakirthim svam adhisthaya, Sambhawany 
atman  mayaya”

 Artinya : “Meskipun Aku telah dilahirkan Sikap Ku kekal serta menjadi Iswara,Tetapi aku m
emegang teguh sifatku, Datang menjelma dengan jalan maya” (Bhagawadgita V.6)
Sebenarnya tentang filsafat Karma dan Punarbhawa itu kedua- duanya adalah merupakan
suatu proses yang terjalin erat satu dengan yang lainnya. Secara singkat dapat dikatakan
karma adalah perbuatan yang meliputi gerak pikiran , perkataan dan tingkah laku jasmani
sedangkan punarbhawa adalah merupakan perwujudan dari kesimpulan kesemuanya itu atau
hasil dari karma itu sendiri.
Hukum Karmaphala dengan punarbawa memiliki hubungan yang sangan erat dan
timbal balik. Karmaphala merupakan hasil dari perbuatan, demikian pula dengan Punarbhawa
juga dampak dari perbuatan.

2.3 Sumber Hukum Hindu

2.3.1 Sumber Hukum Menurut Ilmu

 Sumber Hukum Hindu Berdasarkan Sejarah


Sumber hukum Hindu dalam arti sejarah adalah sumber hukum Hindu yang digunakan oleh
para ahli hindulogi dalam peninjauannya dan penulisannya mengenai pertumbuhan dan
kejadian hukum Hindu itu terutama dalam rangka pengamatan dan peninjauan masalah
aspek-aspek politiknya, filosofinya, sosiologinya, kebudayaannya dan hukumnya sampai
pada bentuk materiil yang tampak berlaku pada satu masa dan tempat tertentu.

 Sumber Hukum Dalam Arti Sosiologis


Penggunaan sumber hukum ini biasanya dipergunakan oleh para sosiolog dalam menyusun
thesa-thesanya, sumber hukum itu dilihat dari keadaan ekonomi masyarakat pada jaman-
jaman sebelumnya. Sumber hukum ini tidak dapat berdiri sendiri melainkan harus di tunjang
oleh data-data sejarah dari masyarakat itu sendiri. Oleh sebab itu sumber hukum ini tidak
bersifat murni berdasarkan ilmu sosial semata melainkan memerlukan ilmu bantu lainnya
seperti pada dampak negatif hukuman fisik di sekolah. Merupakan dasar pembentukan
kaedah-kaedah hukum itu sendiri. Sumber hukum ini dapat bersumber dari banyak sumber
dan luas, karena isi sumber hukum ini meliputi seluruh proses pembentukan sumber kukum
sejak jaman dahulu hingga sekarang. Daya mengikat hukum ini terhadap para anggotanya
tergantung pada sifat dan bentuk kaedah-kaedah hukum ini, apakah bersifat normatif atau
bersifat mengatur dalam contoh kasus pelanggaran hak warga negara.

 Sumber Hukum Hindu Menurut Arti Formil


Menurut Prof. Mr. Dr. J.L. Van Appeldoorn sumber hukum ini timbul dan dibuat berdasarkan
cara dan bentuk yang dapat menimbulkan hukum positif, seperti:
Undang-Undang
Undang-undang dalam arti formil bersifat mengabdi pada hukum materil, sedangkan undang-
undang dalam arti meteril menunjuk pada kaedah-kaedah yang berlaku dan menjadi sandaran
dalam bertingkah laku bagi seseorang di dalam peninjauan masalah materi sumber-sumber
hukum, peninjauan masalah sumber hukum dalam arti formil inilah yang paling penting.
Kebiasaan
Kebiasaan dianggap sumber hukum karena kecenderungan manusia mengikuti tata cara atau
tingkah laku yang bersifat ajeg. Kebiasaan ini bersumber pada dasar hukum yang bersifat
normatif. 
Traktat
Traktat adalah perjanjian yang dilakukan oleh Negara-negara tertentu mengenai hal
hal tertentu pula. Traktat merupakan sumber hukum yang mengikat Negara-negara yang
mengadakan perjanjian dan mempunyai kekuatan sumber hukum yang jelas.

2.3.2 Sumber Hukum Menurut Weda

Menurut Manawadharmasastra, sumber hukum Hindu berturut-turut sesuai urutan


adalah sebagai berikut :

 Sruti
Di dalam Manawadharmasastra 11.10 dikatakana ‘Srutistu wedo wijneyo dharma sastram
tu wai smerti, te sarwatha wam imamsye tabhyam dharmohi nirbhabhau”. Artinya:
sesungguhnya Sruti adalah Weda, Smerti itu Dharmasastra, keduanya tidak boleh
diragukan apapun juga karena keduanya adalah kitab suci yang menjadi sumber dari pada
hukum.

 Smrti

Smrti merupakan kitab-kitab teknis yang merupakan kodifikasi berbagai masalah yang
terdapat di dalam Sruti. Smrti bersifat pengkhususan yang memuat penjelasan yang
bersifat authentik, penafsiran dan penjelasan ini menurut ajaran Hukum Hindu dihimpun
dalam satu buku yang disebut Dharmasastra.

 Sila

Sila di sini berarti tingkah laku. Bila diberi awalan su maka menjadi susila yang berarti
tingkah laku orang-orang yang baik atau suci. Tingkah laku tersebut meliputi pikiran,
perkataan dan perbuatan yang suci. Pada umumnya tingkah laku para maharsi atau nabi
dijadikan standar penilaian yang patut ditauladani. Kaedah-kaedah tingkah laku yang baik
tersebut tidak tertulis di dalam Smerti, sehingga sila tidak dapat diartikan sebagai hukum
dalam pengertian yang sebenarnya, walaupun nilai-nilainya dijadikan sebagai dasar dalam
hukum positif sebagaimana tujuan hukuman mati .

 Sadacara

Sadacara dianggap sebagai sumber hukum Hindu positif. Dalam bahasa Jawa Kuna
Sadacara disebut Drsta yang berarti kebiasaan. Untuk memahami pemikiran hukum
Sadacara ini, maka hakekat dasar Sadacara adalah penerimaan Drsta sebagai hukum yang
telah ada di tempat mana Hindu itu dikembangkan. Dengan demikian sifat hukum Hindu
adalah fleksibel.

 Atmanastuti

Atmanastuti artinya rasa puas pada diri sendiri. Perasaan ini dijadikan ukuran untuk suatu
hukum, karena setiap keputusan atau tingkah laku seseorang mempunyai akibat.
Atmanastuti dinilai sangat relatif dan subyektif, oleh karena itu berdasarkan
Manawadharmasastra109/115, bila memutuskan kaedah-kaedah hukum yang masih
diragukan kebenarannya, keputusan diserahkan kepada majelis yang terdiri dari para ahli
dalam bidang kitab suci dan logika agar keputusan yang dilakukan dapat menjamin rasa
keadilan dan kepuasan yang menerimanya.

 Nibanda

Nibanda merupakan kitab yang berisi kritikan, gubahan-gubahan baru dengan komentar
yang memberikan pandangan tertentu terhadap suatu hal yang telah dibicarakan juga
sebagai tujuan hukum pidana .

2.4 Bidang-Bidang Hukum Hindu

Kitab Dharmasastra yang memuat bidang hukum Hindu tertua dan sebagai sumber
hukum Hindu yang paling terkenal adalah Manawa Dharmasastra. Berbagai bidang
hukum Hindu yang termuat dalam Kitab Manawa Dharmasastra antara lain sebagai
berikut :

2.4. 1 Bidang Hukum Keagamaan


Bidang hukum ini banyak memuat ajaran-ajaran yang mengatur tentang tata cara
keagamaan yaitu menyangkut tentang beberapa hal seperti berikut ini :

1) Bahwa semua alam semesta ini diciptakan dan dipelihara oleh suatu hukum yang
disebut rta atau dharma. Bentuk hukum tuhan murni dalam ajaran agama Hindu
disebut Rta atau Rita  yaitu hukum murni yang bersifat absolut transcendental. Rita ini
kemudian dijabarkan ke dalam tingkah laku manusia dan disebut Dharma. Adapun
Hukum Agama yang disebut Dharma itu sifatnya Relatif, karena ia selalu dikaitkan
dengan pengalaman Manusia dalam mengatur tingkah laku manusia untuk mencapai
kebahagian di dalam kehidupanya.
2) Ajaran-ajaran yang diturunkan bersifat anjuran dan larangan yang semuanya
mengandung konsekuensi atau akibat (sanksi)
3) Tiap-tiap ajaran mengandung sifat relatif yaitu dapat disesuaikan dengan zaman atau
waktu dan di mana tempat dan kedudukan hukum itu dilaksanakan, dan absolut
berarti mengikat dan wajib hukumnya dilaksanakan.
4) Pengertian warna dharma berdasarkan pengertian golongan fungsional.
2.4.2 Bidang Hukum Kemasyarakatan

Bidang hukum ini banyak memuat tentang aturan atau tata-cara hidup
bermasyarakat (sosial). Dalam bidang ini banyak diatur tentang konsekuensi atau
akibat dari sebuah pelanggaran, kalau kita telusuri lebih jauh saat ini lebih dikenal
dengan hukum perdata dan pidana. Lembaga yang memegang peranan penting yang
mengurusi tata kemasyarakatan adalah Badan Legislatif menurut Hukum Hindu
adalah Parisadha. Parisada adalah Majelis Tertinggi Agama Hindu di Indonesia,
bersifat keagamaan dan independen. Parisada Pusat berkedudukan di Ibukota Negara
Republik Indonesia.

Tugas pokok dari Parisada adalah :

1) Melayani umat Hindu dalam meningkatkan pemahaman, penghayatan, dan


pengamalam ajaran suci Veda
2) Meningkatkan pengabdian dan peran umat Hindu dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
3) Memelihara dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan yang mendorong
terwujudnya sikap dan perilaku yang bertanggung jawab, peduli, rukun, dan
harmonis di lingkungan intern, antar umat beragama, dan dengan pemerintah
4) Memelihara dan mengembangkan kerjasama dengan setiap organisasi, badan,
lembaga, dan institusi yang bergerak dalam bidang keagamaan, kemasyarakatan,
dan kenegaraan; yang berlingkup nasional dan internasional
5) Melakukan redefinisi, reinterpretasi, dan reaktualisasi pemahaman ajaran suci
Veda

Dimana dari tugas pokok di atas, Parisada memiliki beberapa tujuan, yaitu :
1) Mewujudkan masyarakat Hindu dengan keyakinan, komitmen dan kesetiaan yang
tinggi terhadap ajaran agama Hindu
2) Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia melalui pendidikan dan
pengembangan nilai-nilai kemanusiaan
3) Meningkatkan penghayatan dan pengamalan Dharma Agama dan Dharma Negara
4) Mewujudkan kerukunan dan kesejahteraan sosial
Selain tujuan, berikut merupakan fungsi dari Parisada :

1) Menetapkan bhisama
2) Mengambil keputusan di bidang keagamaan dalam hal ada perbedaan
pemahaman ajaran agama dan atau dalam hal terdapat keragu-raguan mengenai
masalah tersebut
3) Memasyarakatkan ajaran Veda, bhisama dan keputusan-keputusan Parisada
4) Menjadi inspirator, inisiator, dinamisator, regulator, mediator, dan stabilisator
yang berkaitan dengan eksistensi umat Hindu.

2.4.3 Bidang Hukum Tata Kenegaraan

Bidang ini banyak memuat tentang tata-cara bernegara, di mana terjalinnya


hubungan warga masyarakat dengan negara sebagai pengatur tata pemerintahan yang
juga menyangkut hubungan dengan bidang keagamaan. Di samping sistem pembagian
wilayah administrasi dalam suatu negara, Hukum Hindu ini juga mengatur sistem
masyarakat menjadi kelompok – kelompok hukum. Konsep bidang hukum Tata
Kenegaraan juga menyangkut dengan konsep Demokrasi , yaitu :

a. Konsep Demokrasi
Dalam pemikiran Yunani, demokrasi berarti bentuk politik di mana rakyat sendiri
memiliki dan menjalankan seluruh kekuasaan politik (Lorenz Bagus. 2002:154).
Selanjutnya, dalam pemikiran modern, demokrasi menjadi ide filosofis tentang
kedaulatan rakyat. Artinya, semua kekuasaan politik dikembalikan kepada rakyat.
Presiden Lincoln dalam pidatonya memberikan kesimpulannya yang bergema kuat
tentang definisi terbaik demokrasi dalam sejarah Amerika. Dengan menyatakan,
“pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” (Melvin I. Urofsky dalam
Clack: Demokrasi, 2001:2). Ada bermacam-macam istilah demokrasi, antara lain
ada yang dinamakan demokrasi konstitusionil, demokrasi parlementer, demokrasi
terimpin, demokrasi pancasila, dan lain sebaginya (Budiardjo,l983:50; Triguna,
2004:7). Akan tetapi dari sekian banyak demokrasi ada dua aliran yang paling
penting, yaitu demokrasi konstitusionil dan satu kelompok aliran yang menamakan
dirinya “demokrasi”, tetapi yang pada hakikatnya mendasarkan dirinya atas
komunisme. Ciri khas demokrasi konstitusionil adalah gagasan bahwa pemerintah
yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak
dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya
Sistem demokrasi berjalan dengan baik, apabila rakyat memiliki kematangan politik.
Manakala terjadi perbedaan pandangan di antara mereka maka bagian yang lebih
kecil dengan lapang dada harus mengikuti pemikiran yang disetujui oleh sebagian
besar warga masyarakat. Henry B. Mayo juga menjelaskan bahwa nilai-nilai umum
yang mendasari sistem politik demokrasi adalah menyelesaikan perselisihan secara
damai dan melembaga, menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam
suatu masyarakat yang sedang berubah, menyelenggarakan pergantian pimpinan
secara teratur, membatasi pemakaian kekerasan sampai minimum, mengakui serta
menganggap wajar adanya keanekaragaman dalam masyarakat yang tercermin
dalam keanekaragagaman pendapat, kepentingan, serta tingkah-laku.

b. Demokrasi Dalam Arthasastra


Kautilya merumuskan negara sebagai suatu kumpulan dari bermacam-macam
masyarakat yang diwujudkan atas dasar prinsip-prinsip militer dan dharma. Negara
melambangkan dharma yang universal, yaitu suatu perlambang yang berisikan
kebebasan individu. Kautilya menganjurkan agar negara dibangun berdasarkan
empat kaki hukum: dhramasastra atau hukum suci, vyavahava atau kesaksian,
carittara atau sejarah atau tradisi, dan  sasana atau maklumat raja-raja. Krisna Rao
setelah mempelajari Arthasastra berkesimpulan bahwa negara Kautilya adalah
negara monisme yang ditetapkan berdasarkan sifat pluralistik. Dijelaskan bahwa
negara merupakan lingkaran organisasi di mana emosi dan peradaban hidup
rakyatnya bisa menyatu. Atas dasar itu Kautilya menjelaskan tujuh unsur yang
disebut saptangga yang membangun konsep negaranya. Dari saptangga itu
ditemukan nilai-nilai yang menjadi unsur-unsur demokrasi sebagai berikut.
1) Negara menjamin kebebasan dalam berserikat atau berorganisasi.
2) Kerjasama yang merdeka dan harmonis.
3) Ada jaminan perlindungan hidup bagi warga negara.
4) Kepala negara menyatakan diri sebagai perantara rakyat dan diberi kedudukan
oleh hukum.
5) Kebijakan kepala negara ditetapkan melalui pertimbangan.
6) Suksesi kepemimpinan dilaksanakan secara terencana.
7) Ada struktur pemerintahan dan pembagian tugas secara profesional.
8) Kedudukan dan fungsi pejabat negara ditentukan berdasarkan kualitas moral dan
keahliannya.
9) Hukum diubah dan dibuat dengan memperhatikan sumber dharma dan bersifat
rasional.
10) Pemerintahan dijalankan berdasarkan hukum.
11) Ada bantuan negara untuk kesejahtraan sosial.
12) Besar pajak dan keuntungan perdagangan diatur berdasarkan kesepakatan.
13) Rakyat yang berkualitas dan bebas dari rasa malas.
14) Kesetaraan gender.

2.5 Sejarah Hukum Hindu di Indonesia

Bangsa indonesia dikenal sebagai bangsa yang religious, bangsa yang percaya
kepada keberadaan Tuhan sebagai sumber dari segala-galanya. Agama Hindu merupakan
agama yang tertua di Indonesia. Oleh karena itu, perkembangan hukum di Indonesia tidak
terlepas dari perkembangan Hukum Hindu di Indonesia.
Hukum yang masuk ke indonesia adalah aliran Mitaksara dan aliran Dayabhaga.
Hukum tata Negara dan tata praja serta hukum pidana yang berlaku dalam masyarakat
hindu adalah hukum –hukum yang sebagain besar merupakan hukum yang bersumber
pada ajaran Manawa Dharmasastra. Manawa Dharmasastra kemudian dituangkan ke
dalam berbagai bentuk sastra (ilmu) hukum sosial dan ketata masyarakatan sebagai kitab
yang berdiri sendiri.
            Kitab agama adalah salinan dari kutaramanawa dan dapat dianggap sebagai kitab
yang memuat ajaran hukum hindu. Akhirnya dari aliran tersebut diatas dapat ditarik
kesimpulan bahwa yang dimaksudkan dengan kitab-kitab hukum hindu adalah kitab
Manawa Dharmasastra  dan hukum hindu yang lain yang bersumber dari weda.
Manawa Dharmasastra adalah sebuah kitab Dharmasastra yang dihimpun dengan
bentuk yang sistematis oleh Bhagawan Bhrigu, salah seorang penganut ajaran Manu, dan
beliau pula salah seorang Sapta Rsi. Kitab ini dianggap paling penting bagi masyarakat
Hindu dan dikenal sebagai salah satu dari kitab Sad Wedangga. Wedangga adalah kitab
yang merupakan batang tubuh Veda yang tidak dapat dipisahkan dengan Veda Sruti dan
Veda Smrti. Penafsiran terhadap pasal-pasal Manawa Dharmaṡāstra telah dimulai sejak
tahun 120 M dipelopori oleh Kullukabhatta dan Medhiti di tahun 825 M. Kemudian
beberapa Maha Rsi memasyarakatkan tafsir-tafsir Manawa Dharmasastra menurut
versinya masing-masing sehingga menumbuhkan beberapa aliran Hukum Hindu,
misalnya: Yajnawalkya, Mitaksara, dan Dayabhaga.
Aliran yang berkembang di Indonesia adalah Mitaksara dan Dayabhaga. Di zaman
Majapahit, Manawa Dharmaṡāstra lebih populer disebut sebagai Manupadesa. Proses
penyesuaian kaidah-kaidah hukum Hindu nampaknya berjalan terus hingga abad ke-12
dipelopori oleh tokoh-tokoh suci: Wiswarupa, Balakrida, Wijnaneswara, dan Apararka.
Dua tokoh pemikir Hindu, yaitu Sankhalikhita dan Wikhana berpandangan bahwa
Manawa Dharmaṡāstra adalah ajaran dharma yang khas untuk zaman Krtayuga,
sedangkan sekarang adalah zaman Kaliyuga. Keduanya mengelompokkan Dharmaṡāstra
yang dipandang sesuai dengan zaman masing-masing, yaitu :
1) Pada zaman Krta Yuga, berlaku Hukum Hindu (Manawa Dharmasastra) yang ditulis
oleh Manu.
2) Pada zaman Treta Yuga, berlaku Hukum Hindu (Manawa Dharmasastra) yang ditulis
oleh Gautama.
3) Pada zaman Dwapara Yuga, berlaku Hukum Hindu (Manawa Dharmasastra yang
ditulis oleh Samkhalikhita.
4) Pada zaman Kali Yuga, berlaku Hukum Hindu (Manawa Dharmasastra) yang ditulis
oleh Parasara.
Dari temuan-temuan di atas dapatlah disimpulkan bahwa ajaran Manu atau Manawa
Dharmaṡāstra tidaklah dapat diaplikasikan begitu saja tanpa mempertimbangkan kondisi,
waktu, dan tempat (desa-kala-patra). Di Indonesia, reformasi tentang Hukum Hindu telah
dilakukan di zaman Majapahit dengan menghasilkan produk-produk hukum lainnya
seperti: Sarasamuscaya, Syara Jamba, Siwa Sasana, Purwadigama, Purwagama,
Dewagama, Kutaramanawa, Adigama, Krta Sima, Paswara, dll.
Kitab dharma sastra menurut bentuk penulisannya dapat dibedakan menjadi dua
macam, antara lain:
1. Sutra, yaitu bentuk penulisan yang amat singkat yakni semacam aphorisme.
2. Sastra, yaitu bentuk penulisan yang berupa uraian-uraian panjang atau lebih terinci.
Di antara kedua bentuk tersebut diatas, bentuk sutra dipandang lebih tua waktu
penulisannya yakni disekitar kurang lebih tahun 1000 SM. Sedangkan bentuk sastra
kemungkinannya ditulis disekitar abad ke VI SM. Kitab smrti merupakan sumber
hukum baru yang menambahkan jumlah kaidah-kaidah hukum yang berlaku bagi
masyarakat Hindu.
Penggaruh Hukum Hindu sampai ke Indonesia nampak jelas pada zaman
Majapahit tetapi sudah dilakukan penyesuaian atau reformasi Hukum Hindu, yaitu
dipakai sebagai sumber yang berisikan ajaran-ajaran pokok Hindu yang khususnya
memuat dasar-dasar umum Hukum Hindu, yang kemudian dikembangkan menjadi
sumber ajaran Dharma bagi masyarakat Hindu dimasa penyebaran Agama Hindu
keseluruh pelosok negeri. Bersamaan dengan penyebaran Hindu, diturunkanlah undang-
undang yang mengatur praja wilayah Nusantara dalam bentuk terjemahan-terjemahan
kedalam bahasa Jawa Kuno.
Hukum-hukum Tata Negara dan Tata Praja serta Hukum Pidana yang berlaku
sebagian besar merupakan hukum yang bersumber pada ajaran Manawadharmasastra, hal
ini kemudian dikenal sebagai kebiasaan-kebiasaan atau hukum adat seperti yang
berkembang di Indonesia, yang khususnya dapat dilihat pada hukum adat di Bali. Istilah-
istilah wilayah hukum dalam rangka tata laksana administrasi hukum dapat dilihat pada
desa praja. Desa praja adalah administrasi terkecil dan bersifat otonom dan inilah yang
diterapkan pada zaman Majapahit terbukti dengan adanya sesanti, sesana dengan
prasasti-prasasti yang dapat ditemukan diberbagai daerah di seluruh Nusantara. Lebih
luas lagi wilayah yang mengaturnya dinamakan grama, dan daerah khusus ibu kota
sebagai daerah istimewa tempat administrasi tata pemerintahan dikenal dengan nama
pura, penggabungan atas pengaturan semua wilayah ini dinamakan dengan istilah negara
atau rastra. Maka dari itu hampir seluruh tatanan kenegaraan yang dipergunakan
sekarang ini bersumber pada Hukum Hindu

2.6 Upaya Mentaati Hukum Hindu dalam Kehidupan Keagamaan dalam Kerangka
Hukum Nasional
Ada empat jenis Dharmasastra, yang salah satunya adalah karya Bhagawan Manu
telah dikritik oleh Yajnawalkya, lalu lahir 3 bentuk aliran hukum yakni :
 Aliran yajnawalbya oleh yajnawalkya
 Aliran mitaksana oleh wijnaneswara, dan
 Aliran dayabhaga oleh jimutawahana
Dua aliran terakhir yang paling banyak penyebarannya diantara ketiga aliran
tesebut. Kitab Agama, Adigama, Raja Patigadala, Sesana- sesana (Siwa Sesana,
Rajasesana, Purusasesana, Rsisesana, dll), Kutoramanawa, dan Purwadigama adalah kitab-
kitab yang terkenal dianggap memuat ajaran Hukum Hindu yang terdapat di Indonesia.
PHDI sebagai lembaga legislatif berperan menentukan apa yang harus dipakai
bila terdapat perbedaan penafsiran, bila tidak ada ayat-ayat yang mengaturnya, bahkan
mempengaruhi pendapat raja (penguasa) di dalam bidang keagamaan. Lembaga
pengadilan Agama Hindu disebut “Raad Kerta”.
Yang dimaksud dengan Raad Van Kerta adalah lembaga peradilan adat ciptaan
pemerintah kolonial yang pernah mengatur sistem kehidupan sosial-adat Bali pada era
1930-an sampai menjelang tahun 1952(sebelum diganti menjadi Pengadilan negeri, 1952).
Raad Van Kerta di Bali yang terkenal adalah di Klungkung (Kerta Gosa) dan Singaraja.

Upaya mentaai Hukum Hindu menurut Empu Yogiswara dalam kekawin Ramayana
II, sargah 24.81 dan 82, menandaskan :

“Phiren temen Dharma dhumaranang sarat,


Saraga sang sadhu sireka tutana,
Tan artha tan kama pidonya tan yasa,
Ya sakti sang sajjana dhama raksaka”

Artinya :
Usahakan benar dharma untuk memelihara dunia ini,
Kesenangan orang-orang bijak itu harus kamu ikuti,
Tidak mementingkan artha, kesenangan nafsu maupun nama,
Karena itulah merupakan keampuhan orang-orang bijaksana di dalam memegang dharma.

“Saka nikang rat kita yan wenang manut,


Manupadesa prihatah rumaksaya,
Ksaya nikang papa nahan prayojana,
Jana anuraga adhi tuwin kapangguha”

Artinya :
Peredaran zaman dunia ini sedapat-dapatnya harus kamu ikuti benar-benar,
Pergunakan ajaran Manu untuk memelihara (dunia),
Melenyapkan penderitaan,
Demikianlah hendaknya diusahakan kecintaan rakyat pasti kau peroleh.

Dharma agama adalah adalah kewajiban umat untuk melaksanakan ajaran agama
dengan baik dan benar dan Dharma Negara adalah kewajiban umat beragama untuk
menjadi warga Negara yang baik, mengabdi kepada Negara dengan mendukung peraturan-
peraturan pemerintah. Ajaran agama yang merupakan Wahyu Ida Syang Hyang Widhi
Wasa, sangat diyakini kebenarannya. Selain itu agama juga memberikan motivasi kepada
umat selalu berbuat baik, dengan ajaran Panca Sradha, terutama adalah ajaran hukum
Karma Palha.

Dengan dharma dunia ini akan terpelihara dengan dharma penderitaan akan bisa
terbatasi. Kesimpulannya, upaya-upaya yang harus dilakukan oleh umat hindu untuk
menegakkan hukum adalah melaksanakan ajaran agama dengan baik seperti melaksanakan
Panca Sradha, Tri Kaya Parisudha, Tri Hitakarana dan ajaran-ajaran lainnya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hukum Abadi atau Rta dalam sejarah pertumbuhan Agama Hindu itu berkembang
sebagai landasan idiil mengenai bentuk hukum yang ingin diterapkan dalam
pengaturan masayrakat di dunia ini, yang dikenal dengan nama “Ajaran Dharma”.
Kemudian dalam perkembangan Ajaran Dharma itu, Dharma dianggap bersumber
pada Sruti, Smerti, Sila, Acara, dan Atmanastuti, sedangkan Rta berkembang menjadi
bentuk suatu keyakinan tentang adanya nasib yang ditentukan oleh Tuhan. Rta
dan Dharma merupakan landasan daripada ajaran Karma Phala. Hukum Karma dan
Punarbhawa adalah dua dari lima Sraddha agama Hindu. Kedua ajaran ini diyakini
betul memiliki hubungan langsung dengan kehidupan sehari-hari umat. Hukum
karmaphala merupakan hukum sebab akibat atau hukum aksi dan reaksi, sedangkan
Punarbhawa berarti menjelma kembali atau kelahiran kembali. Bidang-bidang hukum
hindu terdiri dari Bidang Hukum Keagamaan, Bidang Hukum Kemasyarakatan,
Bidang Hukum Tata Kenegaraan. Upaya-upaya yang harus dilakukan oleh umat hindu
untuk menegakkan hukum adalah melaksanakan ajaran agama dengan baik seperti
melaksanakan Panca Sradha. Tri Kaya Parisudha, Tri Hitakarana dan ajaran-ajaran
lainnya.
3.2 Saran
Terkait dengan hal tersebut penulis menyarankan upaya-upaya yang harus dilakukan
oleh umat hindu untuk menegakkan hukum adalah melaksanakan ajaran agama
dengan baik seperti melaksanakan Panca Sradha. Tri Kaya Parisudha, Tri Hitakarana
dan ajaran-ajaran lainnya.

Anda mungkin juga menyukai