Anda di halaman 1dari 26

Rabu, 30 September 2020

RINGKASAN MATERI PERKULIAHAN

PERPAJAKAN II

SAP 2

Kelompok 2

Putu Krishnadewi Indah Gita Cahyani (13/1907531086)


I Gusti Agung Ayu Pradnya Paramitha (20/1907531107)
I Putu Gede Surya Adi Natha (25/1907531115)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS UDAYANA
2020
1. PPh Pasal 21

PPh Pasal 21 adalah pasal pemotongan pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima
oleh seorang Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) dalam negeri atas pekerjaan, jasa, atau kegiatan
yang dilakukannya. Penghasilan tersebut berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan
pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun yang sehubungan dengan pekerjaan atau
jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi subjek pajak dalam negeri atau
disebut dengan wajib pajak. Umumnya PPh 21 ini berkaitan dengan pajak yang digunakan pada
sistem penggajian suatu perusahaan. Namun, sebenarnya PPh 21 juga digunakan secara luas untuk
berbagai kegiatan lainnya.

1.1. Tarif Pajak PPh Pasal 21

Tarif pajak yang dimuat pada PPh Pasal 21 dibebankan kepada Wajib Pajak yang telah
berpenghasilan. Namun, sebelumnya Anda harus mengetahui terlebih dahulu tentang besaran
Penghasilan Kena Pajak (PKP) PPh Pasal 21 yang diatur dalam peraturan Direktorat Jenderal Pajak
sebagai berikut.

a. Penghasilan Kena Pajak (PKP)

Menurut Peraturan Direktorat Jenderal Pajak No. PER-32/PJ/2015 Penghasilan Kena Pajak
adalah pegawai tetap dan penerima pensiun berkala dikenakan PKP sebesar Penghasilan Netto
dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) terbaru. Sementara pegawai tidak tetap
dikenakan PKP sebesar Penghasilan Bruto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
terbaru.

Sedangkan untuk pegawai yang termuat dalam Peraturan Direktorat Jenderal Pajak No. PER-
32/PJ/2015 Pasal 3 huruf c, dikenakan sebesar 50% atas PKP dari jumlah penghasilan bruto
dikurangi PTKP dalam satu bulan.
b. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) merupakan pendapatan yang tidak dikenai Pajak
Penghasilan seperti yang termuat dalam PPh Pasal 21. Menurut Direktorat Jenderal Pajak,
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dijelaskan sebagai pengeluaran untuk memenuhi
kebutuhan dasar Wajib Pajak beserta keluarga, dalam satu tahun. Maka tidak termasuk dalam PPh
Pasal 21.

Berdasarkan PMK No. 101/PMK. 010/2016, Wajib Pajak tidak akan dikenakan pajak
penghasilan apabila penghasilan Wajib Pajak sama dengan atau tidak lebih dari Rp54.000.000,-.
Objek Penghasilan Tidak Kena Pajak dipaparkan sebagai berikut.

1. Rp. 54.000.000,- untuk diri Wajib Pajak Orang Pribadi.


2. Rp. 4.500.000,- tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin.
3. Rp. 54.000.000,- untuk istri yang memiliki jumlah penghasilan tersebut telah digabung dengan
penghasilan suami. Dengan syarat:

a. Penghasilan istri tidak semata-mata diterima atau diperoleh dari satu pemberi kerja yang
telah dipotong pajak berdasarkan Undang-Undang PPh Pasal 21.
b. Pekerjaan istri tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau
anggota keluarga lainnya

4. Rp. 4.500.000,- tambahan untuk setiap anggota keluarga kandung serta keluarga dalam garis
keturunan serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 orang
untuk setiap keluarga.

c. Tarif Progresif PPh 21

Berdasarkan Pasal 17 Ayat 1 UU PPh, perhitungan tarif pajak pribadi menggunakan tarif progresif
sebagai berikut:

1. Penghasilan sampai dengan Rp50.000.000 per tahun dikenakan tarif pajak sebesar 5%.
2. Penghasilan Rp50.000.000,- sampai dengan Rp250.000.000,- per tahun dikenakan tarif pajak
sebesar 15%.
3. Penghasilan Rp250.000.000,- sampai Rp500.000.000,- per tahun dikenakan tarif sebesar 25%.
4. Penghasilan di atas Rp500.000.000,- per tahun dikenakan tarif pajak sebesar 30%.

Tarif tertinggi bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dapat diturunkan menjadi paling
rendah 25% yang diatur dengan peraturan pemerintah.

1.2. Perhitungan Pajak Penghasilan

Untuk Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang menjadi dasar
pengenaan pajak adalah Penghasilan Kena Pajak. Sedangkan untuk Wajib Pajak luar negeri adalah
penghasilan bruto. Besarnya Penghasilan Kena Pajak untuk Wajib Pajak Badan dihitung sebesar
penghasilan netto. Sedangkan untuk Wajib Pajak orang pribadi dihitung sebesar penghasilan netto
dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)

• Pajak Penghasilan kena pajak (WP Badan)

= Penghasilan Kena Pajak x tarif pajak


= Penghasilan netto x tarif pajak
= (Penghasilan bruto – biaya yang diperkenankan UU PPh) x tarif pajak

• Penghasilan Kena Pajak (WP Pribadi)


= Penghasilan kena pajak x tarif pajak
= (Penghasilan netto – PTKP) x tarif pajak
= [(Penghasilan bruto-biaya yang diperkenankan UU PPh)-PTKP] x tarif pajak

Catatan: untuk keperluan perhitungan PPh yang terutang pada akhir tahun, Penghasilan
Kena Pajak dibulatkan ke bawah hingga ribuan penuh.
1.3. Contoh Perhitungan PPh Pasal 21
• Retto pada tahun 2016 bekerja pada perusahaan PT. Jaya Abadi dengan memperoleh gaji
sebulan Rp. 5.750.000,00 dan membayar uang pensiun sebesar Rp.200.000,00. Retto sudah
menikat tapi belum memiliki anak. Pada bulan Januari penghasilan Retto dari PT. Jaya
Abadi hanya dari gaji.

Perhitungan PPh Pasal 21 bulan Januari adalah:

Gaji sebulan Rp.5.750.000,00


Pengurangan:
Biaya Jabatan
5% x Rp.5.750.000,00 Rp.287.500,00
Iuran Pensiun Rp.200.000,00
Rp. 487.500,00
Penghasilan netto sebulan Rp.5.262.500,00
Penghasilan netto setahun
12 x Rp.5.262.500,00 Rp.63.150.000,00

PTKP setahun
Untuk WP sendiri Rp.54.000.000,00
Tambahan WP kawin Rp. 4.500.000,00

Penghasilan Kena Pajak setahun Rp. 4.650.000,00


PPh Pasal 21 terutang
5% x Rp.4.650.000,00 Rp. 232.500,00
PPh Pasal 21 sebulan
Rp.232.500,00 x 12 Rp. 19.375,00
2. PPh Pasal 22

Pajak Penghasilan Pasal 22 atau biasa disebut PPh Pasal 22 adalah pajak penghasilan yang
dikenakan pada badan usaha tertentu, baik milik pemerintah maupun swasta yang melakukan
kegiatan ekspor dan impor serta re-impor. Karena diberlakukan pada kegiatan ekspor-impor dan
re-impor inilah pajak penghasilan tersebut dikenal PPh Pasal 22 impor. Berdasarkan Undang-
Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan PPh Pasal 22 merupakan bentuk
pemotongan atau pemungutan pajak yang dilakukan satu pihak terhadap wajib pajak dan berkaitan
dengan kegiatan perdagangan barang.

2.1. Tarif Pajak Penghasilan Pasal 22

Besar tarif pajak penghasilan pasal 22 menurut UU PPh dan diatur dalam PMK No. 34/2017
adalah:

a) Tarif PPh Pasal 22 sebesar 2,5% dan 7,5% atas Impor

Tarif pajak penghasilan pasal 22 ini untuk pajak penghasilan atas impor barang dengan rincian
sebagai berikut:

• Tarif pembebanan tunggal sebesar 10% dari nilai impor, dengan atau tanpa menggunakan API
untuk barang tertentu yang tercantum dalam Lampiran I PMK 34/2017.
• Importir yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API): 2,5% dari nilai impor.
• Importir non-API: 7,5% dari nilai impor.
• Importir yang tidak dikuasai: 7,5% dari harga jual lelang.

b) Tarif PPh Pasal 22 sebesar 1,5% atas Pembelian


Besar tarif pajak penghasilan pasal 22 sebesar 1,5 persen dari harga pembelian barang tidak
termasuk PPN dan tidak final. Pembelian barang ini dilakukan oleh:

• Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPB) Kementerian Keuangan


• Bendahara Pemerintah
• BUMN/BUMD (Badan Usaha Milik Daerah)
c) Tarif PPh Pasal 22 atas Penjualan Hasil Produksi Tertentu

Tarif pajak penghasilan pasal 22 atas penjualan hasil produksi ini ditetapkan berdasarkan
Keputusan Direktur Jenderal Pajak (KEP) yang dihitung dari Dasar Pengenaan Pajak
(DPP) PPN dan bersifat tidak final, di antaranya:

• Kertas: 0.1% dari DPP PPN


• Semen: 0.25% dari DPP PPN
• Baja: 0.3% dari DPP PPN
• Otomotif: 0.45% dari DPP PPN
• Semua jenis obat: 0,3% dari DPP PPN

DPP adalah harga jual, nilai ekspor/impor, penggantian, atau nilai yang dipakai sebagai dasar dari
perhitungan besarnya pajak yang terutang.

DPP ini merupakan nilai dasar yang digunakan untuk menghitung pajak terutang seperti PPh Pasal
22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 4 ayat (2), dan PPN.

d) Tarif PPh Pasal 22 Hasil Produksi Migas

Pengenaan pajak penghasilan pasal 22 dari hasil produksi atau penyerahan barang oleh
produsen/importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas adalah:

• 0,25% dari penjualan tidak termasuk PPN untuk penjualan kepada stasiun pengisian bahan
bakar umum yang menjual BBM yang dibeli dari Pertamina atau anak usaha Pertamina
• 0,3% dari penjualan tidak termasuk PPN untuk penjualan kepada stasiun pengisian bahan bakar
umum yang menjual bakar minyak yang dibeli selain dari Pertamina atau anak perusahaan
Pertamina
• 0,3% dari penjualan tidak termasuk PPN untuk penjualan kepada pihak yang dibeli dari
Pertamina maupun selain dari Pertamina atau anak usaha Pertamina.
• 0,3% dari penjualan tidak termasuk PPN untuk bahan bakar gas
• 0,3% dari penjualan tidak termasuk PPN untuk pelumas
e) Tarif PPh Pasal 22 sebesar 0,25% atas Pembelian Bahan untuk Industri

Besar tarif pajak penghasilan pasal 22 sebesar 0,25% dari harga pembelian tidak termasuk PPN
ini atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang pengumpul.
Di antaranya pembelian hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan yang
belum melalui proses industri manufaktur.

f) Tarif PPh Pasal 22 sebesar 0,5% atas Impor Komoditas

Tarif pajak penghasilan pasal 22 sebesar 0,5 persen dari nilai impor ini berlaku untuk impor
beberapa komoditas seperti kedelai, gandum, dan tepung terigu, oleh importir yang menggunakan
API.

g) Tarif PPh Pasal 22 sebesar 1,5% atas Ekspor Komoditas Tambang

Tarif pajak penghasilan pasal 22 sebesar 1,5% dari nilai ekspor ini berlaku untuk ekspor
komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam, sesuai uraian barang dan
pos tarif (HS/Harmonized System) oleh eksportir yang terikat dalam perjanjian kerjasama
pengusaha pertambangan dan Kontrak Karya (KK).

h) Tarif PPh Pasal 22 sebesar 0,45% atas Penjualan Kendaraan Bermotor

Tarif pajak penghasilan pasal 22 sebesar 0,45% dari DPP PPN ini berlaku atas penjualan
kendaraan bermotor di dalam negeri oleh ATPM, APM, dan importir umum kendaraan bermotor,
tidak termasuk alat berat.

i) Tarif PPh Pasal 22 sebesar 0,45% atas Penjualan Emas Batangan

Tarif pajak penghasilan pasal 22 sebesar 0,45% dari harga jual emas batangan ini berlaku atas
penjualan emas batangan oleh badan usaha yang melakukan penjualan.

j) Tarif PPh Pasal 22 Barang Mewah

Sesuai Pasal 2 ayat (2) PMK 29/2019 ini, besar pajak penghasilan pasal 22 yang dipungut pada
saat melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah adalah:
- Tarif PPh Pasal 22 sebesar 1% atas Penjualan Barang Mewah

Tarif PPh 22 sebesar 1 persen dari harga jual tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) atas barang ini untuk:

• Rumah beserta tanahnya, dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp30 miliar
atau luas bangunan lebih dari 400 meter persegi
• Apartemen, kondominium dan sejenisnya, dengan harga jual atau pengalihannya lebih dari
Rp30 miliar atau luas bangunan lebih dari 150 meter persegi

- Tarif PPh Pasal 22 sebesar 5% atas Penjualan Barang Mewah

Tarif PPh 22 sebesar 5 persen dari harga jual tidak termasuk PPN dan PPnBM atas barang ini
berlaku untuk:

• Pesawat terbang pribadi dan helikopter


• Kapal pesiar, yacht dan sejenisnya
• Kendaraan bermotor roda 4 pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa sedan, jeep,
SUV, MPV, minibus dan sejenisnya, dengan harga jual lebih dari Rp2 miliar atau dengan
kapasitas silinder lebih dari 3.000cc
• Kendaraan bermotor roda 2 dan 3 dengan harga jual lebih dari Rp300 juta atau dengan
kapasitas silinder lebih dari 250cc

2.2. Contoh Perhitungan PPh Pasal 22

• PT AAA merupakan perusahaan kertas yang menjual hasil produksinya kepada PT BBB
senilai Rp1.100.000.000. Harga ini sudah termasuk PPN sebesar 10%.

Perhitungan PPh Pasal 22 atas penjualan kertas adalah:

DPP PPN = (100/110) x Rp. 1.100.000.000 = Rp. 1.000.000.000

PPh Pasal 22 Penjualan Kertas


= (Tarif PPh Pasal 22 atas penjualan kertas x DPP PPN)

= 0,1% x 1.000.000.000 = Rp. 1.000.000

• PT DTC berkedudukan di Jakarta, menjadi pemasok alat-alat tulis kantor bagi Dinas
Pendidikan Kota Tangerang Selatan. Pada tanggal 1 Oktober 2015, PT DTC melakukan
penyerahan barang kena pajak dengan nilai kontrak sebesar Rp11.000.000 (nilai sudah
termasuk PPN). Maka, berapakah PPh Pasal 22 yang dipungut oleh Dinas Pendidikan Kota
Tangerang Selatan?

Nilai kontrak termasuk PPN Rp.11.000.000,00

DPP (100/110) x Rp.11.000.000,00 Rp.10.000.000,00

PPN dipungut (10% x DPP) Rp. 1.000.000,00

PPh Pasal 22 yang dipungut (1,5% x Rp.10.000.000,00) Rp. 150.000,00

3. PPh Pasal 23

Pajak Penghasilan Pasal 23 (PPh Pasal 23) mengatur mengenai pajak yang dipotong oleh
pemungut pajak dari Wajib Pajak atas penghasilan yang diperoleh dari modal (dividen, bunga,
royalti dll.), penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang dipotong dalam Pajak
Penghasilan Pasal 21.

3.1. Pemotong PPh Pasal 23

Pemotong PPh Pasal 23 adalah pihak-pihak yang membayarkan penghasilan, yang terdiri atas :

1. Badan Pemerintah.
2. Subjek Pajak badan dalam negeri.
3. Penyelenggara kegiatan.
4. Bentuk usaha tetap.
5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
6. Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri yang telah mendapat penunjukkan dari
Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak PPh Pasal 23.

3.2. Yang Dikenakan Pemotongan PPh Pasal 23

Yang dikenakan pemotongan PPh pasal 23 adalah Wajib Pajak dalam negeri atau Bentuk Usaha
Tetap yang menerima atau memperoleh penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa,
atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21.

3.3. Objek Pemotongan PPh Pasal 23


1. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
2. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
3. Royalti;
4. Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21;
5. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa tanah
dan/atau bangunan; dan
6. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan,
dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21.
3.4. Pengecualian Objek Pemotongan PPh Pasal 23
1. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
2. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;
3. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib
Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah,
dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di
Indonesia dengan syarat:
a. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
b. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang
menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling
rendah 25% (dua puluh lima persen)dari jumlah modal yang disetor;
4. dividen yang diterima oleh orang pribadi;
5. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi,
termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
6. sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
7. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang
berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan Peraturan
Menteri Keuangan.
3.5. Tarif Pemotongan

Besarnya PPh pasal 23 yang dipotong adalah:

1. Sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas:


a. Dividen;
b. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
c. Royalti; dan
d. Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak
Penghasilan pasal 21;
2. Sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai, atas:
a. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa tanah
dan/atau bangunan; dan
b. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa
konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21.

Dalam hal Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan tidak memiliki Nomor
Pokok Wajib Pajak, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% (seratus persen).

3.6. Cara Menghitung PPh Pasal 23

• Cara Menghitung PPh Pasal 23 Atas Dividen


Atas Penghasilan berupa dividen akan dikenakan pemotongan PPh pasal 23 sebesar 15%
dari jumlah bruto

PPh Pasal 23 = 15% X Bruto

• Cara Menghitung PPh Pasal 23 Atas Bunga, termasuk Premium, Diskonto, dan
Imbalan Karena Jaminan Pengembalian Uang

Atas Penghasilan berupa bunga dikenakan pemotongan PPh pasal 23 sebesar 15% dari
jumlah bruto.

PPh Pasal 23 = 15% X Bruto

• Cara Menghitung PPh Pasal 23 Atas Royalti

Atas penghasilan yang berupa royalti akan dikenakan pemotongan PPh pasal 23 sebesar
15% dari jumlah bruto.

PPh Pasal 23 = 15% X Bruto

• Cara Menghitung PPh Pasal 23 Atas Hadiah, Penghargaan, Bonus, dan Sejenisnya

Atas hadiah sehubungan kegiatan dan penghargaan oleh wajib pajak badan termasuk BUT
dikenakan pemotongan PPh pasal 23 sebesar 15% dari jumlah bruto.

PPh Pasal 23 = 15% X Bruto

• Cara Menghitung PPh Pasal 23 Atas Sewa dan Penghasilan Lain Sehubungan dengan
Penggunaan Harta

Atas penghasilan sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta (kecuali
sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan atau bangunan)
dikenakan pemotongan PPh pasal 23 sebesar 2% dari jumlah bruto tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai.

PPh Pasal 23 = 2% X Bruto

• Cara Menghitung PPh Pasal 23 Atas Imbalan Sehubungan dengan Jasa Teknik, Jasa
Manajemen, Jasa Konstruksi, Jasa Konsultan, dan Jasa Lain
Atas penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa
konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan
Pasal 21 dikenakan pemotongan PPh pasal 23 sebesar 2% dari jumlah bruto tidak termasuk
Pajak Pertambahan Nilai.

PPh Pasal 23 = 2% X Bruto

3.7. Contoh Perhitungan PPh Pasal 23

1. CV. Rumah Sedap membayar royalti kepada Ny. Ani atas pemakaian merek Sambal
Goreng “Bu Ani” sebesar Rp 20.000.000,00.
PPh Pasal 23 yang dipotong CV. Rumah Sedap adalah :
15% X Rp 20.000.000,00 = RP 3.000.000,00
Apabila Ny. Ani belum memiliki NPWP, maka PPh Pasal 23 yang dipotong CV.
Rumah Sedap adalah :
30% X Rp 20.000.000,00 = Rp 6.000.000,00

2. PT. Pilar Utama meminta jasa dari CV. Konsultindo untuk membuat sistem akuntansi
perusahaan dengan imbala sebesar Rp 11.000.000,00 (termasuk PPN Rp 1.000.000,00).
PPh Pasak 23 yang dipotong oleh PT. Pilar Utama adalah :
2% X Rp 10.000.000,00 = Rp 200.000,00

4. PPh Pasal 24

Pajak Penghasilan Pasal 24 (PPh Pasal 24) mengatur tentang hak Wajib Pajak untuk memanfaatkan
kredit pajak mereka di luar negeri. Hal ini bertujuan supaya Wajib Pajak tidak terkena pajak ganda.
Karena Wajib Pajak telah melakukan pembayaran pajak asetnya di luar negeri. PPh Pasal 24
mengatur tentang nominal pajak yang dibayarkan di luar negeri yang berfungsi sebagai pengurang
nilai pajak terutang yang dimiliki di Indonesia. Dengan kata lain, jumlah pajak yang harus dibayar
di Indonesia dapat dikurangi dengan jumlah pajak yang telah mereka bayar di luar negeri. Syarat
utamanya adalah nilai kredit pajak di luar negeri tidak melebihi utang pajak yang ingin dibayar di
Indonesia.

4.1. Penggabungan Penghasilan

Penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri dilakukan dengan ketentuan sebagai
berikut :

1. Penggabungan penghasilan dari usaha dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya


penghasilan tersebut (accrual basis).
2. Untuk penghasilan lainnya, dilakukan dalam tahun pajak diterimanya penghasilan
tersebut (cash basis).
3. Penggabungan penghasilan berupa dividen (Pasal 18 Ayat 2 UU PPh) dilakukan dalam
tahun pajak pada saat perolehan dividen tersebut ditetapkan sesuai dengan Keputusan
Menteri Keuangan.
4. Kerugian yang diderita di luar negeri tidak boleh digabungkan dalam menghitung
Penghasilan Kena Pajak di Indonesia.

Contoh:

PT Dahlia Indah di Jakarta dalam tahun pajak 2015 menerima dan memperoleh penghasilan neto
dari sumber luar negeri sebagai berikut:

1. Hasil usaha di negara Thailand dalam tahun pajak 2015 sebesar Rp900.000.000,00.
2. Di negara Singapura, memperoleh dividen atas kepemilikan sahamnya di X Ltd. Sebesar
Rp1.000.000.000,00 yaitu berasal dari keuntungan saham tahun 2013 yang ditetapkan
dalam RUPS tahun 2014 dan baru dibayarkan tahun 2015.
3. Di negara Hong Kong, memperoleh dividen atas penyertaan saham sebanyak 75% di Y
Corp. sebesar Rp2.000.000.000,00. Saham tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek.
Dividen tersebut berasal dari keuntungan saham 2014 dan diperoleh tahun 2014.
4. Penghasilan bunga kuartal IV tahun 2015 sebesar Rp300.000.000,00 dari Kuala Lumpur
Bank di Malaysia. Penghasilan tersebut baru akan diterima pada bulan Juli 2016.
Penghasilan dari luar negeri yang dapat digabungkan dengan penghasilan dalam negeri PT Dahlia
Indah dalam tahun pajak 2015 adalah penghasilan pada angka 1,2, dan 3. Sedangkan, penghasilan
pada angka 4 dapat digabungkan dengan penghasilan PT Dahlia Indah untuk tahun pajak 2016.

4.2. Batas Maksimum Kredit Pajak

Dalam menghitung batas jumlah pajak yang boleh dikreditkan, sumber penghasilan
ditentukan sebagai berikut:

• Penghasilan dari saham dan surat berharga lainnya.


• Keuntungan dari pengalihan saham dan surat berharga lainnya.
• Pendapatan lain yang berupa bunga, royalti, dan sewa yang berkaitan dengan penggunaan
harta benda bergerak.
• Pendapatan yang berupa sewa terkait dengan penggunaan harta benda tidak bergerak.
• Jasa imbalan yang berhubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan.
• Semua keuntungan dari Bentuk Usaha Tetap (BUT) di luar negeri.
• Keuntungan dari keikutsertaan dalam pembiayaan atau pemanfaatan di perusahaan
pertambangan.
• Keuntungan dari pengalihan aset yang merupakan bagian dari Bentuk Usaha Tetap (BUT).

Batas maksimum kredit pajak dapat diambil dari yang terendah di antara 3
unsur/perhitungan berikut ini:

1. Jumlah pajak yang terutang atau dibayar di luar negeri.


2. (Penghasilan luar negeri/Seluruh penghasilan kena pajak) x PPh atas seluruh yang
dikenakan tarif pasal 17.
3. Jumlah pajak yang terutang untuk seluruh penghasilan kena pajak (dalam hal penghasilan
kena pajak adalah lebih kecil daripada penghasilan luar negeri).

Contoh:

PT Anugerah Sejahtera memperoleh penghasilan netto dalam tahun pajak 2014 sebagai berikut:

• Penghasilan dari luar negeri Rp5.000.000.000,00 dengan tarif pajak sebesar 35%.
• Penghasilan usaha di Indonesia Rp3.000.000.000,00.

Maka jumlah penghasilan nettonya adalah: Rp5.000.000.000,00 + Rp3.000.000.000,00 =


Rp8.000.000.000,00

Batas maksimum kredit pajak diambil yang terendah dari 3 unsur/perhitungan berikut:

1. PPh terutang atau dibayar di luar negeri adalah: 35% x Rp5.000.000.000,00


=Rp1.750.000.000,00
2. (Rp5.000.000.000,00/Rp8.000.000.000,00) x Rp2.000.000.000,00 = Rp1.250.000.000,00
3. PPh terutang (menurut tarif pasal 17) = Rp8.000.000.000,00 x 25% = 2.00000.000,00

Dengan demikian kredit pajak yang diperkenankan adalah pada poin 2 sebesar
Rp1.250.000.000,00.

4.3. Batas Maksimum Kredit Pajak Untuk Setiap Negara (Per Country
Limitation)

Apabila penghasilan luar negeri berasal dari beberapa negara, maka penghitungan batas
maksimum kredit pajak dilakukan untuk masing-masing negara.

Contoh:

PT Makmur Abadi memperoleh penghasilan netto dalam tahun 2015 sebagai berikut:

• Di negara A, memperoleh penghasilan (laba) 2.000.000.000,00 dengan tarif pajak sebesar


35% (Rp 700.000.000,00).
• Di negara B, memperoleh penghasilan (laba) Rp3.000.000.000,00 dengan tarif pajak
sebesar 20%. (Rp 600.000.000,00).
• Penghasilan usaha di Indonesia Rp5.0000.000,00

Perhitungan kredit pajak luar negeri adalah sebagai berikut:


Jumlah penghasilan netto atau penghasilan kena pajaknya = (Rp2.000.000.000,00 +
Rp3.000.000.000,00) + Rp5.000.000.000,00 = Rp10.000.000.000,00

PPh terutang (menurut pasal 17) = Rp10.000.000.000,00 x 25% = Rp2.500.000.000,00

Batas maksimum kredit pajak untuk masing-masing negara adalah:

• Negara A: (Rp2.000.000.000,00/Rp10.000.000.000,00) x Rp2.500.000.000,00 =


Rp500.000.000,00

Pajak terutang di negara A sebesar Rp700.000.000,00 maka maksimum kredit pajak yang dapat
dikreditkan adalah Rp500.000.000,00

• Negara B: (Rp3.000.000.000,00)/Rp10.000.000.000,00) x Rp2.500.000.000,00 =


Rp750.000.000,00

Pajak terutang di negara B sebesar Rp600.000.000,00 maka maksimum kredit pajak yang dapat
dikreditkan adalah Rp750.000.000,00

Jadi, jumlah kredit pajak luar negeri yang dikenakan adalah sebesar Rp500.000.000,00 +
Rp750.000.000,00 = Rp1.250.000.000,00

4.4. Perubahan Besarnya Penghasilan Di Luar Negeri

Dalam hal terjadi perubahan besarnya penghasilan yang berasal dari luar negeri, Wajib Pajak harus
melakukan pembetulan SPT tahunan untuk pajak yang bersangkutan dengan melampirkan
dokumen yang berkenaan dengan perubahan tersebut. Apabila akibat pembetulan tersebut
menyebabkan Pajak Penghasilan kurang dibayar, maka atas kekurangan tersebut tidak dikenakan
sanksi bunga. Apabila pembetulan tersebut menyebabkan Pajak Penghasilan lebih dibayar, maka
atas kelebihan tersebut dapat dikembalikan kepada Wajib Pajak setelah diperhitungkan dengan
utang pajak lainnya.

Contoh :

PT. Global Prima di Jakarta memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2016 sebagai berikut :
• Penghasilan luar negeri (tarif pajak 20%) Rp 1.000.000.000,00
• Penghasilan dalam negeri Rp 3.000.000.000,00
• Penghasilan luar negeri
(setelah dikoreksi di luar negeri) Rp 2.000.000.000,00
• PPh Pasal 25 Rp 600.000.000,00

SPT 2016:

Penghasilan luar negeri Rp 1.000.000.000,00

Penghasilan dalam negeri Rp 3.000.000.000,00

Penghasilan Kena Pajak Rp 4.000.000.000,00

PPh terutang (menurut Pasal 17) Rp 1.000.000.000,00

Kredit pajak luar negeri yang diperkenankan Rp (200.000.000,00)

Harus bayar di Indonesia Rp 800.000.000,00

PPh Pasal 25 Rp (600.000.000,00)

PPh Pasal 29 Rp 200.000.000,00

Pembetulan SPT

Penghasilan luar negeri Rp 2.000.000.000,00

Penghasilan dalam negeri Rp 3.000.000.000,00

Penghasilan Kena Pajak Rp 5.000.000.000,00

PPh terutang (menurut Pasal 17) Rp 1.250.000.000,00

Kredit pajak luar negeri yang diperkenankan Rp (400.000.000,00)

Harus dibayar di Indonesia Rp 850.000.000,00


PPh Pasal 25 Rp (600.000.000,00)

PPh Pasal 29 yang sudah disetor Rp (200.000.000,00)

Masih harus dibayar Rp 50.000.000,00

Terhadap PPh yang masih harus dibayar sebesar Rp 50.000.000,00 tidak ditagih bunga.

4.5. Cara Melaksanakan Kredit Pajak Luar Negeri

Untuk melaksanakan pengkreditan pajak yang tertuang atau dibayar di luar negeri, Wajib Pajak
wajib menyampaikan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan dilampiri :

1. Laporan keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri.


2. Fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar negeri.
3. Dokumen pembayaran pajak di luar negeri.

Penyampaian permohonan kredit pajak yang terutang atau dibayar di luar negeri tersebut
dilakukan bersamaan dengan penyampaian SPT Tahunan PPh.

5. PPh Pasal 26

PPh Pasal 26 adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima wajib pajak luar
negeri dari Indonesia selain Bentuk Usaha Tetap (BUT) dari badan pemerintah, subjek pajak dalam
negeri, penyelenggara kegiatan, BUT, perwakilan perusahaan luar negeri.

5.1. Tarif PPh 26

Tarif umum untuk PPh pasal 26 adalah 20%. Akan tetapi jika mengikuti perjanjian pajak
(tax treaty) atau Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), maka tarif dapat berubah, sesuatu
ketentuan yang berlaku.
Pengenaan tarif pajak penghasilan pasal 26 ini juga didasarkan dari DPP atau jumlah bruto
penghasilan. Besar tarif PPh 26 ditetapkan sebesar:
a. Tarif PPh 26 sebesar 20% (final) dari Jumlah Bruto
Tarif 20 persen dari jumlah bruto yang dikenakan atas:
• Dividen
• Bunga (termasuk premium, diskonto, insentif terkait jaminan pembayaran pinjaman)
• Royalti, sewa, dan pendapatan lain terkait penggunaan aset/harta
• Imbalan/insentif terkait jasa, pekerjaan, dan kegiatan
• Hadiah dan penghargaan
• Pensiun dan pembayaran berkala lainnya
• Premi swap dan transaksi lindung lainnya
• Perolehan keuntungan dari penghapusan utang

b. Tarif PPh 26 sebesar 20% (final) dari Perkiraan Penghasilan Neto


Tarif 20 persen dari perkiraan penghasilan neto ini dikenakan atas:
1. Penghasilan dari laba bersih atas pendapatan dari penjualan aset di Indonesia dengan nilai lebih
dari Rp10 juta untuk setiap jenis transaksi berupa: perhiasan mewah, berlian, emas, intan, jam
tangan mewah, barang antik, lukisan, mobil dan motor, kapal pesiar dan pesawat terbang ringan.

Besarnya perkiraan penghasilan neto ini untuk penjualan harta dengan jumlah persentase sebesar
25% dari harga jual.

2. Premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung maupun melalui pialang pada
perusahaan asuransi di luar negeri. Besar perkiraan penghasilan neto untuk premi asuransi dan
reasuransi yang dibayarkan pada perusahaan asuransi luar negeri adalah:

• 50% dari jumlah premi yang dibayarkan, atas premi asuransi yang dibayar tertanggung
kepada perusahaan asuransi di luar negeri, baik secara langsung maupun melalui pialang
• 10% dari jumlah premi yang dibayarkan, atas premi yang dibayarkan oleh perusahaan
asuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi di luar negeri, baik
secara langsung maupun melalui pialang
• 5% dari jumlah premi yang dibayarkan, atas premi yang dibayarkan oleh perusahaan
reasuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi di luar negeri, baik
secara langsung maupun melalui pialang

3. Pengalihan atau penjualan saham. Besarnya perkiraan penghasilan neto ini 25% dari harga jual.
c. Tarif PPh 26 sebesar 20% (final) dari Laba Bersih Penjualan atau Pengalihan Saham
Perusahaan
Laba bersih penjualan atau pengalihan saham perusahaan ini adalah antara perusahaan
media atau perusahaan tujuan khusus yang didirikan. Atau bertempat di negara yang memberikan
perlindungan pajak yang memiliki hubungan khusus untuk suatu entitas atau BUT didirikan di
Indonesia
d. Tarif PPh 26 sebesar 20% (final) dari Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak
dari BUT di Indonesia
Tarif PPh 26 dari penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak dari BUT di Indonesia
ini adalah yang dipungut dari penghasilan kena pajak setelah dikurangi dengan pajak, suatu BUT
di Indonesia. Pengenaan tarif ini dikecualikan atas penghasilan tersebut jika penghasilan itu
ditanamkan kembali di Indonesia.
e. Tarif PPh 26 sebesar 0% hingga kurang dari 20%
Tarif ini diberlakukan untuk negara-negara yang berada dalam perjanjian pajak (tax treaty) dengan
Indonesia yang dikenal sebagai Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B)

5.2. Contoh Perhitungan PPh Pasal 26


➢ Contoh Perhitungan PPh 26 atas Hadiah
Pak Kelik seorang atlet dari Malaysia. Ia mengikuti lomba lari maraton di Indonesia dan berhasil
meraih juara dengan hadiah uang tunai sebesar Rp200.000.000. Karena hadiah yang diterima itu
merupakan objek PPh 26 dengan tarif 20%, berikut perhitungannya:
Rumus: PPh Pasal 26 = Penghasilan Bruto x Tarif PPh 26

Tarif PPh Pasal 26 adalah 20%


PPh 26 atas Hadiah adalah:
= Rp200.000.000 x 20%
= Rp40.000.000
Dengan demikian, dari lomba maraton yang ia ikuti itu Pak Kelik akan menerima hadiah berupa
uang tunai sebesar Rp200.000.000 – Rp40.000.000 = Rp160.000.000

➢ Contoh Perhitungan PPh 26 atas Gaji Orang Pribadi


Charles adalah warga negara asing yang bekerja di Indonesia. Ia merupakan karyawan asing pada
perusahaan PT AAA. Charles sudah tinggal di Indonesia selama 183 hari. Charles sudah beristri
dan punya 1 orang anak. Pada Juli 2020, Charles memperoleh gaji sebesar US$20000 sebulan.
Kurs yang berlaku pada bulan tersebut adalah Rp14.500 per dolar AS. Maka, perhitungan PPh 26
atas gaji Charles adalah:

Rumus: PPh Pasal 26 = Penghasilan Bruto x Tarif PPh 26

Tarif PPh Pasal 26 adalah 20%


Penghasilan Bruto dari gaji sebulan adalah US$20000 x Rp14.500 = Rp290.000.000
PPh 26 atas Gaji adalah:
= Rp290.000.000 x 20%
= Rp58.000.000
Dengan demikian, Charles akan menerima gaji sebesar Rp290.000.000 – Rp58.000.000 =
Rp232.000.000

➢ Contoh Perhitungan PPh 26 atas Pendapatan Perusahaan Asing (BUT)

PT AAA memiliki penghasilan kena pajak BUT di Indonesia pada 2020 sebesar
Rp20.000.000.000. Pajak penghasilan yang harus dibayarkan PT AAA ini sebesar 25% x
Rp20.000.000 = Rp5.000.000.000. Sehingga penghasilan BUT PT AAA setelah kena pajak
menjadi sebesar Rp20.000.000.000 – Rp5.000.000.000 = Rp15.000.000.000. Maka, PPh 26 yang
dikenakan pada PT AAA adalah:

Rumus: PPh Pasal 26 = Penghasilan Neto x Tarif PPh 26

Tarif PPh Pasal 26 adalah 20%


PPh 26 atas Perusahaan Asing BUT adalah:
PPh 26 yang terutang = Rp15.000.000.000 x 20% = Rp3.000.000.000
Jika penghasilan setelah pajak sebesar Rp15.000.000 ini ditanamkan kembali di Indonesia, maka
penghasilan tersebut tidak dipotong pajak.

6. PPh Pasal 4 Ayat 2 atau PPh Final


Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat 2 atau PPh Final merupakan suatu pajak penghasilan atas
jenis penghasilan-penghasilan tertentu yang mana sifatnya final dan tidak dapat dikreditkan
dengan pajak penghasilan terutang. Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat 2 ini bersifat
final, artinya pajak terutang harus dilunasi dan diselesaikan dalam masa pajak yang sama. Bagi
pengusaha yang memiliki penghasilan yang dikenakan tarif pajak, dalam hal ini tidak boleh
dimasukkan ke dalam peredaran usaha. Akan tetapi dapat dimasukkan ke dalam penghasilan yang
telah dipotong PPh Final.

6.1. Tarif PPh Final Pasal 4 ayat (2)

Tarif pajak yang dikenakan kepada wajib pajak didasarkan atas penghasilan-penghasilan yang
diterima. Ketentuan perpajakan ini telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). Di bawah ini
akan dijelaskan berbagai objek pajak dengan tarifnya masing-masing yang telah diatur pemerintah.

1. Tarif Pajak 0-20%: bunga dari kewajiban. Penjelasan lebih lanjutnya bisa dicari dalam
PP No. 16 Tahun 2009.
2. Tarif Pajak 0,1%: transaksi dari penjualan saham atau pengalihan ibu kota mitra
perusahaan yang telah diterima oleh modal usaha, sebagaimana telah diatur di dalam PP
No. 4 Tahun 1995.
3. Transaksi penjualan saham pendiri (0,5%) dan saham bukan pendiri (non-founder)
sebesar 0,1%, seperti yang tercantum dalam PP No. 14 Tahun 1997 serta turunannya
Keputusan Menteri Keuangan No. 282/KMK.04/1997, SE-15/PJ.42/1997 dan SE-
06/PJ.4/1997.
4. Tarif Pajak 2-6%: jasa konstruksi. Penjelasan lebih lanjutnya bisa ditemukan pada PP No.
51 Tahun 2008 serta turunannya PP No. 40 Tahun 2009.
5. Tarif Pajak 2,5%: transaksi derivatif berjangka panjang yang telah diperdagangkan di
bursa sebagaimana telah diatur PP No. 17 Tahun 2009.
6. Tarif Pajak 5%: pengalihan hak atas tanah danatau bangunan (dalam hal ini termasuk
usaha real estate), seperti yang tercantum dalam PP No. 71 Tahun 2008.
7. Tarif Pajak 10%: bunga simpanan yang dibayarkan koperasi kepada para anggotanya
masing-masing sebagaimana telah diatur pada Pasal 17 Ayat 7 serta turunannya PP No. 15
Tahun 2009.
8. Tarif Pajak 10%: dividen yang diterima wajib pajak orang pribadi dalam negeri
sebagaimana telah diatur dalam Pasal 17 Ayat 2C.
9. Tarif Pajak 10%: sewa atas tanah dan/atau bangunan, seperti yang telah diatur PP No. 29
Tahun 1996 dan juga turunannya PP No. 5 Tahun 2002.
10. Tarif Pajak 20%: bunga deposito serta jenis-jenis tabungan, Sertifikat Bank Indonesia
(SBI), dan diskon jasa giro sebagaimana telah diatur PP No. 131 Tahun 2000 serta
turunannya Keputusan Menteri Keuangan No. 51/KMK.04/2001.
11. Tarif Pajak 25%: hadiah lotre atau undian sebagaimana telah diatur PP No. 132 Tahun
2000.

6.2. Contoh Perhitungan PPH Final Pasal 4


➢ Alice Key memiliki tabungan di Bank Moneytalk Indonesia dengan saldo rata-rata bulan
Juni 2017 adalah Rp450.000.000. Bunga yang diberikan oleh Bank Moneytalk Indonesia
adalah 9% per tahun. Bunga yang diterima Alice Key pada bulan Juni 2017 adalah
Rp3.375.000. Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh terkait transaksi
tersebut?
Jawab:
PPh Pasal 4 ayat 2 yang dipotong oleh Bank Moneytalk Indonesia pada Juni 2017 adalah
20% x Rp3.375.000 = Rp675.000.
Pajak tabungan per tahun = Rp675.000 x 12 bulan = Rp8.100.000.

➢ Aditya menyimpan uang di Bank ABC dalam bentuk deposito sebesar Rp100.000.000
dengan tingkat bunga 12% per tahun. Atas deposito tersebut, Aditya menerima bunga
setiap bulan sebesar Rp1.000.000. Berapa besaran pajak yang harus dibayarkan atas bunga
deposito Aditya?
Jawab:
PPh Pasal 4 ayat 2 yang dipotong Bank ABC adalah 20% x Rp1.000.000 = Rp200.000
Pajak deposito per tahun = Rp200.000 x 12 bulan = Rp2.400.000
Daftar Pustaka

Mardiasmo. 2018. Perpajakan. Yogyakarta: Penerbit Andi


https://klikpajak.id/blog/produk/panduan-lengkap-pph-pasal-22-impor-hitung-dan-lapor-spt-pph-
22/

https://www.talenta.co/blog/payroll/panduan-lengkap-penghitungan-pph-21-karyawan-dengan-
contoh-soal/

https://news.ddtc.co.id/contoh-soal-perhitungan-pph-pasal-22-8218?page_y=400

https://id.wikipedia.org/wiki/Pajak_Penghasilan_Pasal_23

https://klikpajak.id/blog/bayar-pajak/pph-24/

https://atpetsi.or.id/batas-maksimum-kredit-pajak/#.X27MVot7nIU

https://news.ddtc.co.id/-batas-maksimum-kredit-pajak-9043

https://www.cermati.com/artikel/pph-pasal-24-ini-penjelasan-dan-perhitungannya

https://klikpajak.id/blog/perhitungan/pph-pasal-23-26-tarif-penggunaan-dan-perhitungan/

https://news.ddtc.co.id/contoh-soal-perhitungan-pph-pasal-4-ayat-2-bag-1-
10564?page_y=1511.199951171875

Anda mungkin juga menyukai