Anda di halaman 1dari 15

RESUME PENGANTAR HUKUM BISNIS

KEPAILITAN

DISUSUN OLEH :

NI LUH PUTU PRISKA SRI UTAMI

1907531043

MATA KULIAH : PENGANTAR HUKUM BISNIS

DOSEN PENGAMPU : Dr. I Ketut Westra, SH., MH.

PROGRAM STUDI AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS UDAYANA

TAHUN 2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas berkat dan karunia-
Nya resume dari tugas mata kuliah Pengantar Hukum Bisnis ini dapat dibuat. Penulis menyadari
bahwa didalam pembuatan resume ini selain berkat bantuan dan tuntunan Tuhan Yang Maha Esa
tentunya tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini penulis
menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
membantu dalam pembuatan resume ini. Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan resume
ini masih jauh dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian,
penulis telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat
diselesaikan dengan baik dan oleh karenanya, penulis dengan rendah hati dan dengan tangan
terbuka menerima masukan, saran dan kritik guna penyempurnaan resume ini. Penulis berharap
semoga resume ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca. Terlepas dari itu penulis
mengharapkan saran dan kritikan yang membangun dari berbagai pihak.

Tabanan, 27 April 2021

Penulis

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di dalam dunia bisnis kebutuhan akan dana merupakan kebutuhan pokok yang harus
dipenuhi oleh pelaku usaha untuk mempertahankan dan menunjang kelangsungan kegiatan
usahanya, sehingga untuk mengatasi persoalan kebutuhan dana tersebut pinjaman modal dalam
bentuk utang piutang merupakan solusi yang sering ditempuh oleh pelaku usaha. Dalam utang
piutang terdapat dua pihak yaitu debitur selaku pihak yang berhutang dan kreditur selaku pihak
yang memberikan utang atau yang memiliki piutang. Debitur selaku pihak yang memerlukan
dana akan melakukan pinjaman berupa utang kepada kreditur, seringkali terjadi Debitur
melakukan utang kepada lebih dari satu kreditur guna memenuhi kebutuhan dana tersebut.
Persoalan yang timbul kemudian adalah apabila dalam waktu yang telah ditentukan atau sudah
dalam keadaan jatuh tempo utang Debitur tersebut, akan tetapi Debitur justru tidak memiliki
kemampuan ataupun kemauan untuk mengembalikan pinjaman berupa utang beserta bunga
yang telah ditetapkan tersebut kepada salah satu atau beberapa krediturnya, hal ini jelas akan
merugikan kreditur yang telah memberikan utang kepada Debitur tersebut. Persoalan yang
disebabkan sengketa utang piutang semakin memuncak sejak terjadinya krisis moneter di
Indonesia pada tahun 1998, jatuh tempo kepada beberapa kreditur, di sisi lain utang pelaku
usaha dalam kurs dollar semakin meroket jumlahnya karena semakin terpuruknya nilai tukar
rupiah terhadap dollar pada waktu itu, sehingga kondisi seperti saat itu semakin parah dunia
usaha di Indonesia dengan akibat banyaknya pelaku usaha yang merupakan Debitur tidak
memiliki kemampuan untuk melakukan kewajibannya kepada beberapa kreditur yang telah
memberikan pinjaman kepadanya. Hal inilah yang kemudian menjadi pendorong bagi
pemerintah untuk mengundangkan suatu produk hukum terkait dengan kepailitan.
1.2 Tujuan Penulisan
1.2.1 Mengetahui pengertian, fungsi dan tujuan, prinsip, dasar hukum, dan asas-asas kepailitan
1.2.2 Mengetahui penyebab terjadinya kepailitan
1.2.3 Mengetahui syarat permohonan pengajuan pailit
1.2.4 Mengetahui pihak yang dapat dinyatakan pailit dan dapat mengajukan permohonan pailit
1.2.5 Mengetahui proses persidangan dan akibat hukum kepailitan

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian, Fungsi dan Tujuan, Prinsip, Dasar Hukum, dan Asas-Asas Kepailitan
2.1.1 Pengertian Kepailitan
Istilah kepailitan secara etimologi, kepailitan berasal dari kata pailit. Istilah pailit berasal
dari bahasa Belanda disebut “Failliet” sebagai arti ganti yaitu sebagai kata benda dan kata
sifat sedangkan istilah pailit sendiri berasal dari Perancis yang dikenal dengan istilah
“Failliete” yang berarti pemogokkan atau emacetan pembayaran. Pada dasarnya, kepailitan
adalah suatu kondisi atau keadaan ketika pihak yang berhutang (debitur) yakni seseorang
atau badan usaha tidak dapat menyelesaikan pembayaran terhadap utang yang diberikan
dari pihak pemberi utang (kreditur). Pengertian kepailitan di Indonesia mengacu pada
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, yang dalam Pasal 2 menyebutkan:
(1) Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya
satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan
pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih
krediturnya.
(2) Permohonan dapat juga diajukan oleh kejaksaan untuk kepentingan umum.
2.1.2 Fungsi dan Tujuan UU KPKPU (Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang)
1. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menyebutkan beberapa faktor perlunya
pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang. Faktor-
faktor dimaksud yaitu: Untuk menghindari perebutan harta Debitur apabila dalam
waktu yang sama ada beberapa kreditur yang menagih piutangnya dari Debitur;
2. Untuk menghindari adanya kreditur pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut
haknya dengan cara menjual barang milik Debitur tanpa memperhatikan kepentingan
Debitur atau para kreditur lainnya;
3. Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang
kreditur atau Debitur sendiri. Misalnya, Debitur berusaha untuk memberi keuntungan
kepada seorang atau beberapa orang kreditur tertentu sehingga kreditur lainnya

4
dirugikan, atau adanya perbuatan curang dari Debitur untuk melarikan semua harta
kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para
keditor.
2.1.3 Prinsip Kepailitian
Dalam menyelesaikan utang debitur kepada kreditur ada beberapa prinsip yang harus
diperhatikan yaitu :
1. Prinsip Hukum secara Umum
Penggunaaan Prisip hukum digunakan sebagai dasar hakim untuk memutus suatu
perkara kepailitan . Pasal 8 ayat (5) UUK menyatakan bahwa pasal tertentu dari
peraturan perundang undangan yang dijadikan sebagai dasar untuk mengadidili suatu
perkara . Jika seorang debitur hanya mempunyai satu kreditur dan dsebitur tudak
membayar utangnya dengan sukarela setelah jatuh tempo , maka kreditur dapat
menggugat debitur ke Pengadilan agar seluruh harta debitur dapat dijadikan sebagai
pelunasan utang .
2. Prinsip Kesetaraan Para Kreditur (Paritas Creditorium)
Prinsip Kesetaraan Para Kreditur atau Paritas Creditorium menentukan bahwa kreditur
mempunyai hak yang sama terhadao semua harta benda debitur dengan ketentuan
apabila debitur tidak mampu membayar hutangnya maka kekayaan debitur akan
menjadi sasarannya. Prinsip ini mengandung makna bahwa semua keyaan debitur baik
berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak yang dimiliki debitur baik
barang yang akan datang dikemudian hari akan terikat kepada penyelesaian utang
debitur.
3. Prinsip Pari Passu Prorata Parte
Prinsip Pari Passsu Prorata Parte dimana harta kekayaan tersebut meruapakan jaminan
bersama untuk para kreditur dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional antara
mereka terkecuali diantara para kreditur itu ada yang menurut undang undang harus
didahulukan pembayarannya.
4. Prinsip Structured Creditors
Prinsip Structured Creditors adalah prinsip yang mengklassifikasikan dan
mengelompokkan berbagai macam Debitur sesuai dengan kelasnya masing masing .
Dalam Kepailitan kreditur diklassifikasikan menjadi 3 macam yaitu :

5
1) Kreditur Separatis
Yaitu kreditur pemegang hak jaminan kebendaan in rem, yang dalam KUH
Perdata disebut dengan nama gadai dan hipotek.
2) Kreditur Preferen
Yaitu kreditur yang oleh undang-undang, semata-mata sifat piutangnya,
mendapatkan pelunasan terlebih dahulu. Kreditur preferen merupakan kreditur
yang mempunyai hak istimewa, yaitu suatu hak yang oleh undang-undang
diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tingi daripada
orang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya (Pasal
1134 KUH Perdata).
3) Kreditur Konkuren
Kreditur konkuren ini diatur dalam Pasal 1132 KUH Perdata. Kreditur
konkuren adalah para kreditur dengan hak pari passu dan pro rata, artinya para
kreditur secara bersama-sama memperoleh pelunasan (tanpa ada yang
didahulukan) yang dihitung berdasarkan pada besarnya piutang masing-masing
dibandingkan terhadap piutang mereka secara keseluruhan, terhadap seluruh
harta kekayaan Debitur tersebut.
2.1.4 Dasar Hukum Kepailitan
Adapun pengaturan mengenai kepailitan di Indonesia dapat dilihat dalam beberapa
ketentuan antara lain:
UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran;
UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas;
UU No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan;
UU No. 42 Tahun 1992 Tentang Jaminan Fiducia;
Pasal- Pasal yang Terdapat Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW)
yaitu Pasal 1131-1134;
Dan beberapa Undang-Undang Lainnya yang mengatur Mengenai BUMN (UU
No.19 Tahun 2003), Pasar Modal ( UU No. 8 Tahun 1995), Yayasan (UU No.16
Tahun 2001), Koperasi (UU No. 25 Tahun 1992).

6
2.1.5 Asas-Asas Kepailitan
Hukum Kepailitan didasarkan pada asas asas sebagaimana diatur dalam Undang Undang
Nomor 37 tahun 2004 sebagai berikut :
1. Asas Keseimbangan
Undang undang ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari
azas keseimbangan, yaitu disatu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah
terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga lembaga kepailitan oleh debitur yang
tidak jujur, dilain pihak terdapat ketentuan yang mencegah terjadinya penyalahgunaan
pranata dan lembaga kepailitan yang tidak bertikad baik.
2. Asas Kelangsungan Usaha
Dalam Undang undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan debitur
yang prospektif tetap dilangsungkan.
3. Asas Keadilan
Dalam Kepailitan azas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentuan kepailitan
dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Azas ini untuk
mencegah terjadinya kesewenang wenangan pihak penagih yang mengusahakan
pembayaran atas tagihan masing masing terhadap debitur, dengan tidak mempedulikan
kreditur lainnya.
4. Asas Integrasi
Terdapat 2 (dua) pengertian integrasi, yaitu :
Integrasi terhadap hukum lain : mengandung pengertian bahwa sebagai subsistem
dari hukum perdata nasional, maka hukum kepailitan dan bidang hukum lain dan
subsistem hukum perdata nasional harus merupakan suatu kebulatan yang utuh;
Integrasi terhadap hukum acara perdata : mengandung maksud bahwa hukum
kepailitan merupakan hukum dibidang sita dan eksekusi. Oleh karenanya ia harus
merupakan suatu kebulatan yang utuh pula dengan peraturan tentang sita dan
eksekusi dalam bidang hukum acara perdata.
2.2 Penyebab Terjadinya Kepailitan
Pada umumnya perusahaan dapat masuk ke jurang pailit dapat dipengaruhi oleh banyak faktor
antara lain sebagai berikut:

7
1. Ketidakmampuan pemilik perusahaan dalam mengelola perusahaan menjadi suatu hal yang
sangat fatal yang dapat membawa perusahaan ke jurang kepailitan. Pada umumnya bagi
perusahaan baru cenderung kurang hati-hati dalam mengelola perusahaan sedangkan bagi
perusahaan lama sulit menangkap permintaan konsumen;
2. Kurangnya kepekaan terhadap kebutuhan konsumen dan juga kurang mengamati gerakan
pesaing juga dapat membuat perusahaan pailit sebab perusahaan menjadi kurang
kompetitif dan tertinggal jauh sebab tidak mampu bersaing dengan perusahaan lainnya;
3. Berhenti melakukan suatu inovasi, perkembangan teknologi informasi saat ini sangat cepat,
tren dapat muncul kapan saja sesuai dengan kondisi masyarakat pada saat itu. Dan apabila
perusahaan tidak melakukan inovasi terhadap barang atau produknya maka akan
ditinggalkan sebab sudah tidak sesuai dan tidak relevan dengan permintaan konsumen.
Pengusaha tidak boleh berhenti berinovasi agar tetap eksis dan juga tidak terkena pailit
demi kelangsungan usahanya.
2.3 Syarat Permohonan Pengajuan Pailit

Seperti yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat 1 UU 37/2004 yang dapat memutuskan bahwa suatu
perusahaan itu pailit atau tidak hanya dapat dilakukan oleh pengadilan niaga yang mana terdapat
syarat dan prosedur yang harus dipenuhi terlebih dahulu.

Dalam pasal 2 ayat 1 jo. pasal 8 ayat 4 UU 37/2004 menyebutkan bahwa permintaan pailit yang
dilimpahkan kepada pengadilan niaga harus dapat memenuhi sejumlah syarat, diantaranya yaitu:

1. Adanya debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan
putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau
lebih krediturnya;
2. Adanya kreditur yang memberikan pinjaman utang kepada debitur yang dapat berupa
perseorangan maupun badan usaha;
3. Terdapat sejumlah utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Utang tersebut dapat
dikarenakan telah diperjanjikan, terjadinya percepatan waktu penagihan, sanksi atau denda,
maupun putusan pengadilan dan arbiter;
4. Adanya permohonan pernyataan pailit dari lembaga terkait.

8
2.4 Pihak yang Dapat Dinyatakan Pailit dan Pihak yang Dapat Mengajukan Permohonan
Pailit
2.4.1 Pihak yang Dapat Dinyatakan Pailit
1) Orang perseorangan baik laki-laki maupun perempuan yang telah menikah maupun belum
menikah. Jika permohonan pernyataan pailit tersebut diajukan oleh Debitur perorangan
yang telah menikah, maka permohonan tersebut hanya dapat diajukan atas persetujuan
suami/istrinya, kecuali antara suami-istri tersebut tidak ada percampuran harta.
2) Perserikaan-perserikatan dan perkumpulan-perkumpulan tidak berbadan hukum lainnya.
Permohonan pernyataan pailit terhadap suatu “firma” harus memuat nama dan tempat
kediaman masing-masing pesero yang secara tanggung renteng terikat untuk seluruh utang
firma.
3) Perseroan-perseroan, perkumpulan-perkumpulan, koperasi maupun yayasan yang
berbadan hukum. Dalam hal ini berlakulah ketentuan mengenai kewenangan masing-
masing badan hukum sebagaimana diatur dalam anggaran dasarnya.
4) Harta peninggalan.
2.4.2 Pihak-Pihak yang Dapat Mengajukan Permohonan Pailit
Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, pihak yang dapat mengajukan
permohonan pailit adalah sebagai berikut:
1. Debitur Sendiri (Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004)
Undang-Undang memungkinkan seorang Debitur untuk mengajukan permohonan
pernyataan pailit atas dirinya sendiri. Jika Debitur masih terikat dalam pernikahan yang
sah, permohonan hanya daoat diajukan atas persetujuan suami atau istri yang menjadi
pasangannya (Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004.
2. Seorang Kreditur atau Lebih (Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004)
Sesuai dengan penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, kreditur
yang dapat mengajukan permohonan pailit terhadap Debiturnya adalah kreditur konkuren,
kreditur preferen, ataupun kreditur separatis.
3. Kejaksaan (Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004)
Permohonan pailit terhadap Debitur dapat diajukan oleh kejaksaan demi kepentingan
umum (Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004). Pengertian kepentingan

9
umum adalah kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat luas,
misalnya:
a. Debitur melarikan diri
b. Debitur menggelapkan bagian dari harta kekayaan
c. Debitur mempunnyai utang kepada BUMN atau badan usaha lain yang menghimpun
dana dari masyarakat
d. Debitur mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana dari masyarakat luas
e. Debitur tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang
piutang yang telah jatuh waktu, atau
f. Dalam hal lainnya yang menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum.
4. Otoritas Jasa Keuangan
Sejak adanya Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan, maka permohonan pernyataan
pailit bagi sektor perbankan, Pasar Modal dan sektor Perasuransian, Dana Pensiun,
Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya harus dilakukan oleh Otoritas
Jasa Keuangan.
2.5 Proses Persidangan dan Akibat Hukum Kepailitan

2.5.1 Proses Persidangan

Permohonan pernyataan pailit dapat diajukan kepada Pengadilan Niaga dan sidang
pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit di laksanakan dalam jangka waktu paling
lambat 20 hari setelah tanggal permohonan didaftarkan atau 25 hari apabila debitur
mengajukan permohonan berdasarkan alasan yang cukup. Ketika dilakukannya
persidangan, Pengadilan Niaga memiliki wewenang:

1. Wajib memanggil debitur, dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh
Kreditur, kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, atau Menteri
Keuangan; dan
2. Dapat memanggil kreditur, dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh
Debitur dan terdapat keraguan bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi.

10
Selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum diucapkan, setiap Kreditur,
kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, atau Menteri Keuangan dapat
mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk:

Meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan Debitur; atau

Menunjuk Kurator sementara untuk mengawasi:

• Pengelolaan usaha debitur; dan

• Pembayaran kepada Kreditur, pengalihan, atau penanggungan kekayaan


Debitur yang dalam kepailitan merupakan wewenang Kurator.

Dalam hal putusan Pengadilan Niaga terhadap permohonan pailit wajib memuat beberapa
hal yakni:

1. Pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dan/atau sumber


hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili; dan
2. Pertimbangan hukum dan pendapat yang berbeda dari hakim anggota atau ketua
majelis.

Upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit
adalah kasasi ke Mahkamah Agung yang diajukan paling lambat 8 (delapan) hari setelah
tanggal putusan yang dimohonkan kasasi diucapkan.Ketentuan mengenai pengajuan upaya
hukum kasasi ini tercantum dalam Pasal 11 dan Pasal 12 UU 37/2004, yaitu:

1. Diajukan paling lambat delapan hari setelah tanggal putusan pencabutan pailit
diucapkan;
2. Permohonan didaftarkan kepada Panitera Pengadilan yang telah memutus permohonan
pernyataan pailit; dan
3. Pemohon kasasi wajib menyampaikan kepada Panitera Pengadilan memori kasasi pada
tanggal permohonan kasasi didaftarkan.

Selain mengajukan permohonan pailit, UU 37/2004 memberikan ruang bagi debitur


dengan mengajukan PKPU demi menunda penetapan kepailitan sekaligus melaksanakan

11
restrukturisasi yang mana langkah ini dapat memberikan kesempatan untuk mengajukan
rencana perdamaian, misalkan membayar secara sebagian atau penuh kepada kreditur.

Menurut yang tercantum dalam pasal 222 – pasal 294 UU 37/2004, waktu PKPU dapat d
iajukan dan akibat hukumnya adalah :

1. Sebelum permohonan pailit didaftarkan, pihak debitur mengajukan PKPU. Apabila


PKPU diajukan kepada debitur sebelum permohonan pailit, maka dengan PKPU
permohonan pailit tidak dapat diajukan; dan
2. Apabila terdapat permohonan pailit, PKPU dapat diajukan pada saat dilakukannya
pemeriksaan oleh Pengadilan Niaga, maka pemeriksaan permohonan tersebut harus
hentikan.

Apabila permohonan PKPU diterima, maka pengadilan niaga memberikan waktu


maksimal selama 45 hari kepada debitur untuk mengemukakan rencana perdamaian. Dan
apabila di hari yang ke-45 kreditur belum memberikan kepastian terhadap rencana debitur,
maka pengadilan niaga akan memberikan tambahan waktu maksimal selama 270 hari.
Apabila rencana perdamaian dapat diterima oleh kredit, maka akan disahkan dan
berkekuatan hukum tetap dan mengikat bagi para pihak yakni kredit dan debitur. Namun,
apabila rencana perdamaian ditolak, maka akan segera ditetapkannya status pailit oleh
pengadilan niaga.

2.5.2 Akibat Hukum Kepailitan

Dengan ditetapkannya putusan pernyataan pailit maka sejak dibacakannya putusan pailit,
debitur kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaan yang termasuk dalam
harta pailit. Namun, menurut pasal 22 UU 37/2004 terdapat sejumlah harta yang
dikecualikan sehingga tidak termasuk ke dalam harta pailit, antara lain:

1. Benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh debitur sehubungan dengan
pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang dipergunakan untuk kesehatan,
tempat tidur dan perlengkapannya yang dipergunakan oleh Debitur dan keluarganya,
dan bahan makanan untuk 30 (tiga puluh) hari bagi Debitur dan keluarganya, yang
terdapat di tempat itu;

12
2. Segala sesuatu yang diperoleh debitur dari pekerjaannya sendiri sebagai penggajian
dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu atau uang tunjangan,
sejauh yang ditentukan oleh Hakim Pengawas; atau
3. Uang yang diberikan kepada Debitur untuk memenuhi suatu kewajiban memberi
nafkah menurut undang-undang.

Kepengurusan harta kekayaan ini beralih kepada kurator dengan pengawasan oleh hakim
pengawas, sehingga segala hal yang mempengaruhi harta pailit tersebut harus dilakukan
dengan persetujuan kurator.

13
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pada dasarnya, kepailitan adalah suatu kondisi atau keadaan ketika pihak yang
berhutang (debitur) yakni seseorang atau badan usaha tidak dapat menyelesaikan
pembayaran terhadap utang yang diberikan dari pihak pemberi utang (kreditur).
Kepailitan memiliki asas-asas yang terdiri dari asas keseimbangan, asas kelangsungan
usaha, asas keadilan, dan asas integrasi. Ada beberapa prinsip prinsip yang terkandung
dalam hukum Kepailitan sebagaimana dituangkan dalam Undang Undang No. 37 tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan dan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)
yang dapat dijadikan sebagai dasar oleh Pengadilan untuk menyelesaikan utang debitur
terhadap kreditur diantaranya adalah Prinsip Paritas Creditorium, Prinsip Pari Passu
Prorata Parte, Prinsip Structured Creditors.
3.2 Saran
Untuk menjaga nama baik debitur terhadap kreditur sebaiknya antara debitur dan
kreditur mengadakan perdamaian (accort) guna mengakhiri suatu perkara yang sedang
berjalan atau sebelum berjalan sesuai dengan membuat suatu perjanjian perdamaian
antara debitur pailit dengan para kreditur.

14
DAFTAR PUSTAKA

Anisah Siti , Kreditur dan Debitur dalam Hukum Kepailitan Indonesia, Total Media.2008.

Bernadette Waluyo, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Mandar
Maju, Bandung, 1999.

Prosedur kepailitan di Indonesia, tersedia pada https://bplawyers.co.id/2020/09/15/prosedur-


kepailitan-di-indonesia/ diakses pada tanggal 27 April 2021

15

Anda mungkin juga menyukai