Anda di halaman 1dari 28

A.

JUDUL : TINJAUAN YURIDIS KREDITOR SEPARATIS DALAM

PEMBAGIAN BOEDEL PAILIT SETELAH MASA STAY

(Studi Kasus Putusan Nomor

:14/PAILIT/2015/PN.NIAGA.JKT.PST.).

B. Latar Belakang

Dunia usaha adalah dunia yang terus berkembang dari waktu ke waktu,

Setiap Individu menjalankan usaha, senantiasa mencari jalan untuk

memperoleh sesuatu yang lebih menguntungkan dari sebelumnya. Demikian

juga kiranya dalam mendirikan bentuk-bentuk usaha perdagangan.

Dengan demikian jelas sekali bahwa setiap orang bertanggung jawab dengan

harta kekayaannya atas setiap perikatan atau kewajiban yang dibebankan 1.

Dalam kehidupan, baik perorangan (natural person) maupun suatu

badan hukum (legal entity), adakalanya tidak memiliki uang yang cukup

untuk membiayai keperluan atau kegiatannya. Untuk dapat mencukupi

kekurangan uang tersebut, orang atau perusahaan antara lain dapat melakukan

dengan meminjam uang yang dibutuhkan itu dari pihak lain. Pihak yang

memperoleh pinjaman itu disebut Debitor, sedangkan pihak yang

memberikan pinjaman itu disebut Kreditor2.

Pemberian utang atau kredit oleh Kreditor dalam kedudukannya sebagai

orang perorangan maupun badan hukum kepada Debitor, sudah lazim terjadi
1
Gunawan Widjaja, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis, Prenada Media, Jakarta: 2004, hal. 1
2
Sutan Remy Sjahdeini, Sejarah, Asas dan Teori Hukum Kepailitan, Prenadamedi, Jakarta : 2016,
hal.12
1
dalam kehidupan masyarakat. Saat ini jarang menemukan seorang pengusaha

yang tidak menggunakan fasilitas utang (pinjaman atau kredit) dalam bentuk

utang jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang.

Utang sudah merupakan faktor yang tidak dapat dipisahkan dalam

dunia ekonomi, bisnis dan perdagangan. Menurut Pasal 1 ayat 6 UUK-PKPU,

yang dimaksud dengan Utang adalah3:

“kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik
dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung
maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontijen, yang timbul karena
perjanjian atau Undang-Undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan
bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat
pemenuhannya dari harta kekakyaan debitor”.

Maka pada hakekatnya utang adalah kewajiban bagi Debitor untuk dipenuhi,

namun adakalanya Debitor tidak memenuhi kewajiban atau Debitor berhenti

membayar utangnya.

Keadaan berhenti membayar utang dapat terjadi karena tidak mampu

membayar atau tidak mau membayar4, baik karena alasan Debitor tidak

mampu membayar ataupun tidak mau membayar akibatnya sama yaitu

Kreditor akan mengalami kerugian karena tidak dipenuhi piutangnya.

Untuk memperoleh pinjaman dari para Kreditor yang hanya dapat dilakukan

apabila perlindungan hukum bagi para Kreditor dalam hal Debitor cedera

janji tidak melunasi utang tersebut pada waktunya dapat menggunakan

3
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No. 37 tahun 2004
Tentang Kepailitan, hal. 71
4
Man S. Sastrawidjaja, 2006, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,
Alumni, Bandung, hal. 2

2
alternatif lain sebagai sumber pelunasan utang (pinjaman atau kredit). Ada

banyak cara untuk menyelesaikan sengketa berkaitan dengan keadaan

berhenti membayar oleh Debitor. Kepailitan merupakan salah satu cara

penyelesaian sengketa tersebut di samping cara-cara penyelesaian yang lain.

Pailit merupakan suatu keadaan dimana Debitor tidak mampu untuk

melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utangnya dari para

kreditornya. Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena

kesulitan kondisi keuangan (financial distress) dari usaha Debitor yang

mengalami kemunduran. Sedangkan Kepailitan merupakan putusan

pengadilan yang mengkibatkan sita umum atas seluruh kekayaan Debitor,

baik yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari 5 Pasal 2 ayat (1)

UU Kepailitan menentukan bahwa:

“Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan
pailit dengan putusan Pengadilan,baik atas permohonannya sendiri maupun
atas permohonan satu atau lebih kreditornya”.

Menurut Subekti dan R.Tjittrosoedibio 6:

“ Pailit adalah keadaan dimana seorang debitor telah berhenti membayar


utang-utangnya. Setelah orang yang demikian atas permintaan para
kreditornya atau atas permintaan sendiri oleh pengadilan dinyatakan pailit,
maka harta kekayaannya dikuasai oleh Balai Harta Peninggalan selaku
curatrice (pengampu) dalam urusan kepailitan tersebut untuk dimanfaatkan
bagi semua kreditor”

5
Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan, Jakarta : Prenadamedia Group, 2015, hal. 1
6
Surbekti dan R. Tjitrosoedibio, “Kamus Hukum, Jakarta : Pradya Pramita, 1978, hal. 89
3
Abdurachman mengatakan7:

“Bangkrut; Pailit adalah seseorang yang oleh suatu pengadilan dinyatakan


bankrupt, dan yang aktivanya atau warisannya telah diperuntukkan untuk
membayar hutang-hutangnya”. Abdurachman menyamakan istilah pailit dan
bangkrut.

Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan menentukan bahwa:

“Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan
pailit dengan putusan Pengadilan,baik atas permohonannya sendiri maupun
atas permohonan satu atau lebih kreditornya”.

Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) tersebut yang dimaksud dengan

Kreditor terbagi atas 3 yaitu:

1. Kreditor Preferen yaitu kreditor yang mempunyai hak mendahului karena

sifat piutangnya oleh undang-undang diberi kedudukan istimewa.

Kreditor Preferen terdiri dari Kreditor preferen khusus, sebagaimana

diatur dalam Pasal 1139 KUH Perdata, dan Kreditor Preferen Umum,

sebagaimana diatur dalam Pasal 1149 KUH Perdata.

2. Kreditor Konkuren yaitu kreditor yang tidak termasuk dalam Kreditor

Separatis dan Kreditor Preferen (Pasal 1131 jo. Pasal 1132 KUH

Perdata).

3. Kreditor Separatis yaitu kreditor pemegang jaminan kebendaan

berdasarkan Pasal 1134 ayat (2) KUH Perdata yaitu Gadai dan Hipotik.

7
Abdurachman, A. Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan dan Perdagangan, Jakarta: Pradya Pramita,
1991, Hal. 303
4
Dikatakan “separatis” yang berkonotasi “pemisahan” karena kedudukan

Kreditor tersebut memang dipisahkan dari Kreditor lainnya, dalam arti dia

dapat menjual sendiri dan mengambil sendiri hasil penjualan, yang terpisah

dengan harta pailit umumnya.8 Ketentuan yang mengatur hak-hak Kreditor

Separatis antara lain diatur dalam Pasal 55, Pasal 56, dan Pasal 59 UU

Kepailitan.

Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan menentukan bahwa:

“Dengan tetap memperhatikan Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap

Kreditor pemegang gadai jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak

agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah

tidak terjadi kepailitan”.

Ketentuan Pasal 55 ayat (1) tersebut tidak dapat serta merta

dilaksanakan oleh Kreditor Separatis, karena ada masa-masa tertentu

walaupun hak untuk mengeksekusi jaminan utang ada di tangan Kreditor

Separatis (kreditor dengan hak jaminan), Kreditor Separatis tersebut tidak

dapat mengeksekusinya karena berada dalam “masa tunggu” untuk masa

tertentu, dimana setelah masa tunggu terlewat, Kreditor Separatis baru

dibenarkan untuk mengeksekusi jaminan utangnya. Inilah yang disebut masa

penangguhan eksekusi atau masa stay. Dalam UUK-PKPU tentang

penangguhan eksekusi diatur dalam Pasal 56 yang menentukan sebagai

berikut:

8
Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktik, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005 hal. 99
5
1) Hak eksekusi kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1)

dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam

penguasaan debitur Pailit atau Kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu

paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan

pailit diucapkan.

2) Penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku

terhadap tagihan Kreditor yang dijamin dengan uang tunai dan hak

kreditor untuk memperjumpakan utang.

3) Selama jangka waktu penangguhan sebagaimana dimaksud ayat (1),

Kurator dapat menggunakan harta pailit berupa benda tidak bergerak

maupun benda bergerak yang berada dalam penguasaan Kurator dalam

rangka kelangsungan usaha Debitor, dalam hal telah diberikan

perlindungan yang wajar bagi kepentingan kreditor atau pihak ketiga

sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Penangguhan Eksekusi ini diperlukan pada penjelasan Pasal 56 ayat (1)

UUK-PKPU disebutkan9:

1) Penangguhan Eksekusi dimaksudkan untuk memperbesar kemungkinan

tercapainya perdamaian.

2) Penangguhan Eksekusi dimaksudkan untuk memperbesar kemungkinan

mengoptimalkan harta pailit.

3) Penangguhan Eksekusi dimaksudkan untuk memungkinkan kurator

melaksanakan tugasnya secara optimal.


9
Munir Fuadi, Hukum Pailit dalam Teori & Praktek, Bandung : Citra Adiya, 2017, hal. 96
6
Ketentuan lain hak Kreditor Separatis adalah Pasal 59 yang menentukan:

1) Dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58,

Kreditor pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1)

harus melaksanakan haknya tersebut dalam jangka waktu paling lambat 2

(dua) bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 178 ayat (1).

2) Setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

Kurator harus menuntut diserahkannya benda yang menjadi agunan

untuk selanjutnya dijual sesuai dengan cara sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 185, tanpa mengurangi hak Kreditor pemegang hak tersebut

atas hasil penjualan agunan tersebut.

3) Setiap waktu Kurator dapat membebaskan benda yang menjadi agunan

dengan membayar jumlah terkecil antara harga pasar benda agunan dan

jumlah utang yang dijamin dengan benda agunan tersebut kepada

Kreditor yang bersangkutan.

Apabila Kreditor Separatis tidak dapat melaksanakan eksekusi

sebagaimana dimaksud pada Pasal 59 ayat (1) maka Kurator dapat menuntut

diserahkannya benda yang menjadi agunan di Kreditor Separatis untuk

selanjutnya di jual oleh Kurator tanpa mengurangi hak Kreditor Separatis atas

hasil penjualan agunan tersebut. Sesuai dengan Pasal 185 Ayat (1) UUK-

PKPU, semua benda (dengan memperhatikan ketentuan Pasal 183 ayat (2)

dan ayat (3) UUK-PKPU) harus dijual dimuka umum (dilelang) sesuai

dengan tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.


7
Dalam hal penjualan dimuka umum sebagaimanan dimaksud pada pasal 185

ayat (1) UUK-PKPU tidak tercapai, menurut Pasal 185 ayat (2) UUK-PKPU

penjualan dibawah tangan dapat dilakukan dengan seizin Hakim Pengawas.

Tata cara pembagian hasil penjualan harta pailit kepada kreditor sesuai

dengan hak yang dimilikinya, dalam pasal 27 UUK-PKPU:

“Selama berlangsungnya kepailitan tuntutan utk memperoleh pemenuhan

pemenuhan perikatan dari harta pailit yg ditujukan perikatan terhadap

Debitor Pailit, hanya dapat diajukan dengan mendaftarkannya untuk

dicocokkan”.

Dengan demikian pembagian hasil penjualan harta pailit, dilakukan

berdasarkan urutan prioritas dimana kreditor yang kedudukannnya lebih

tinggi mendapatkan pembagian lebih dahulu dari kreditor lain yang

kedudukannya lebih rendah dan antara kreditor yang memiliki tingkatan yang

sama memperoleh pembayaran dengan asas prorata (pari passu prorata

parte) dan harus diajukan dengan mendaftarkannya di Kurator utk

dicocokkan.

Tata Cara Pembagian yang seharusnya dibagikan oleh Kurator sesuai

urutannya:

1) Biaya dan ongkos perkara (Pasal 18 ayat 5 UU Kepailitan dan PKPU

No. 37 Tahun 2004)Kepailitan dan PKPU No. 37 Tahun 2004).

2) Kreditor Istimewa yang berdasarkan Pasal 1137 KUHPerdata Jo. Pasal

8
21 Undang- Undang No. 16 Tahun 2000 Tentang Ketentuan Umum dan

Tata Cara Perpajakan yaitu Hak Negara yang mempunyai kedudukan

lebih tinggi dari yang tertinggi.

3) Kreditor separatis berdasarkan Pasal 1134 KUHPerdata dan Pasal 189

ayat 4 huruf (b) UU Kepailitan dan PKPU No. 37 Tahun 2004

Pembayaran kepada Kreditor Separatis dibayar dari hasil penjualan aset

yang telah dijaminkan.

4) Kreditor Istimewa / Kreditor Preferen berdasarkan Pasal 1139 dan Pasal

1149 KUHPerdata1149 KUHPerdata.

Bahwa dengan demikian hasil penjualan harta pailit harus dilakukan

pembagian kepada para Kreditor berdasarkan tata cara pembagian tersebut

diatas. Namun pada prakteknya sering didapati kesulitan dalam menentukan

pembagian boedel pailit antara Kreditor Separatis dalam hal ini Bank yang

memegang hak jaminan dengan Kreditor Preferen yang memiliki hak

istimewa dalam hal ini Kantor Pajak sesuai dengan tata cara pembagian

boedel pailit sesuai perundanga-undangan yang berlaku.

Permasalahan mengenai tata cara pembagian boedel pailit tersebut

diatas pada prakteknya dialami pula oleh PT Biltube Indonesia (Dalam Pailit)

yang dikuatkan dalam Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat No. 14/PAILIT/2015/ PN.NIAGA.JKT.PST, tanggal 27 Juli

2015, harta pailit PT Biltube Indonesia (Dalam Pailit) secara keseluruhan

menjadi jaminan fidusia pada PT Bank Negara Indonesia, Tbk., Bank of

India, DEG - Deutsche Investitions-Undentwicklungsellschaft Mbh.

9
PT Bank Negara Indonesia, Tbk., Bank of India, DEG - Deutsche

Investitions-Undentwicklungsellschaft Mbh selaku Kreditor Separatis, tidak

menggunakan haknya untuk menjual sendiri asset-asset PT Biltube Indonesia

(Dalam Pailit) yang menjadi Jaminan Fidusia pada PT Bank Negara

Indonesia, Tbk., Bank of India, DEG - Deutsche Investitions-

Undentwicklungsellschaft Mbh karena adanya masa stay dan waktu yang

cukup singkat selama 2 bulan untuk melakukan ekseskusi penjualan aset

Debitor, sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang

No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang demi hukum beralih kepada Tim Kurator PT Biltube

Indonesia (Dalam Pailit) untuk menjual harta pailit PT Biltube Indonesia

(Dalam Pailit) tersebut.

Selanjutnya Tim Kurator melakukan pembagian harta pailit kepada

Kreditor berdasarkan daftar tagihan tetap PT Biltube Indonesia (Dalam

Pailit). Tim Kurator tidak melakukan pembagian sesuai tata cara pembagian

menurut perundang-undangan yang berlaku diakibatkan seluruh harta pailit

merupakan jaminan fidusia yang menjadi hak Kreditor Separatis dan hasil

penjualan boedel pailit yang tidak mencukupi untuk membayar seluruh

tagihan para Kreditor.

Berdasarkan uraian diatas maka Penulis tertarik untuk membahas

penelitian dengan judul skripsi:

10
TINJAUAN YURIDIS KREDITOR SEPARATIS DALAM PEMBAGIAN

BOEDEL PAILIT SETELAH MASA STAY (Studi Kasus Putusan

Nomor :14/PAILIT/2015/PN.NIAGA.JKT.PST.).

A. Rumusan Masalah

1. Bagaimana jaminan pemenuhan hak Kreditor Separatis pasca masa stay

dalam perkara No. :14/PAILIT/2015/PN.NIAGA.JKT.PST.?

2. Apa yang menjadi alasan pertimbangan Hakim dalam memutuskan perkara

No. :14/PAILIT/2015/PN.NIAGA.JKT.PST.?

B. Tujuan Penelitian

1. Untuk menganalisis jaminan pemenuhan hak Kreditor Separatis pasca

masa stay dalam perkara No.14/PAILIT/2015/PN.NIAGA.JKT.PST .

2. Untuk mengkaji apakah yang menjadi alasan pertimbangan Hakim dalam

memutuskan perkara No:14/PAILIT/2015/PN.NIAGA.JKT.PST.

C. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan

hukum khususnya pihak-pihak yang terkait dengan Hukum Kepailitan.

1. Manfaat Teoritis (Keilmuan)

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran

bagi peningkatan dan pengembangan ilmu pengetahuan serta manfaat

11
secara teorotis berupa pengetahuan dalam bidang ilmu hukum khususnya

Hukum Kepailitan.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada

masyarakat, khususnya pihak yang sering terlibat dalam kegiatan

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)

khususnya yang terkait dengan pengajuan permohonan pernyataan pailit

Perseroan Terbatas dalam upaya penyelesaian utang kepada Kreditor.

1. Teori Keadilan

Aristoteles memberikan pendapat mengenai teori terhadap

keadilan, yang mengatakan sebagai berikut.10

"Karena hukum mengikat semua orang, maka keadilan hukum mesti


dipahami dalam pengertian kesamaan." Namun ia membagi kesamaan
numerik dan proporsional. Kesamaan numerik melahirkan prinsip:
"semua orang sederajat di depan hukum". Sedangkan kesamaan
proporsional melahirkan prinsip: "memberi tiap orang yang menjadi
haknya".
Aristoteles juga mengajukan 2 model keadilan yaitu keadilan

distributif dan keadilan korektif, adapun pengertiannya yaitu:

"Keadilan distributing identik dengan keadilan atas dasar kesamaan


proporsional. Sedangkan keadilan korektif atau remedial, berfokus
pada pembetulan yang salah. Jika suatu perjanjian dilanggar atau
kesalahan yang dilakukan, maka keadilan korektif berupaya memadai
bagi pihak yang dirugikan."

10
Bernard L. Tanya & DKK, Teori Hukum Strategi Tertiba Manusia Lintas Ruang Dan Generasi,
Jakarta : CV Kita, 2006, hlm. 38
12
Menurut RWM Dias dalam buku “Jurisprudence”yang dikutip

oleh Taufiqurrohman Syahuri mengenai teori keadilan berpandangan

bahwa:11

“Secara umum keadilan itu, baik keadilan distributif maupun keadilan


korektif, didasarkan pada pengertiann equality (persamaan). Untuk
menunjuk sebagai contoh, penjatuhan pidana atau denda perdata harus
dilakukan secara seimbang. Demikian juga di bidang perlakuan
terhadap hukum harus diperlakukan yang sama bagi setiap warga
orang. Oleh karenanya dalam kebijakan public tidak dibenarkan
adanya dikriminasi berdasarkan gender, status sosial, atau keyakinan
agama.”

Prinsip Keadilan menurut John Rawls dalam membedah

permasalahan ini keadilan merupakan prinsip kesetaraan adapun

uraianya sebagai berikut:12

“Keadilan menurut Rawls adalah kebajikan utama dalam institusi


social sebagaimana kebenaran dalam system pemikiran. Cara pandang
tentang keadilan tersebut disebut sebagai fairness. Untuk mencapai
keadilan, manusia harus kembali kepada posisi aslinya (original
position) yaitu keadaan di mana manusia berhadapan dengan manusia
lain sebagai manusia. Posisi ini sebenarnya suatu posisi hipotesis atau
fiktif agar prinsip-prinsip yang dicari jangan dicampuri dengan
pertimbangan yang tidak jujur. Bertolak dari posisi asli ini orang akan
sampai pada suatu persetujuan asli tentang prinsip-prinsi keadilan
yang menyangkut pembagian hasil hidup manusia. Keadilan yang
dihasilkan ditanggapi sebagai suatu kejujuran manusia sebagai
manusia. Namun keadilan baru dapat dicapai ketika dua prinsip
diterapakan yaitu prinsip kesamaan dan prinsip ketidaksamaan.”

11
Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, Cetakan Ke – 1, Jakarta:
Kencana, 2011, hal. 104
12
John Rawls, Teori Keadilan, Dasar-dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan Kesejahteraan
Sosial dalam Negara, [A Theory of Justice], diterjemahkan oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo,
Yogyakarta: Pustaka Media, 2006, hal. 3
13
2. Teori Kepastian Hukum

Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah

pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen,

dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus

dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang

deliberatif. Undang-Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat

umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam

bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun

dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi

batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan

terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut

menimbulkan kepastian hukum13.

Menurut Gustav Radbruch, hukum harus mengandung 3 (tiga) nilai

identitas, yaitu sebagai berikut :14

1. Asas kepastian hukum (rechtmatigheid). Asas ini meninjau dari

sudut yuridis.

2. Asas keadilan hukum (gerectigheit). Asas ini meninjau dari sudut

filosofis, dimana keadilan adalah kesamaan hak untuk semua

orang di depan pengadilan

3. Asas kemanfaatan hukum (zwechmatigheid atau doelmatigheid

atau utility.

13
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana, 2008, hal. 158
14
Dwika, “Keadilan dari Dimensi Sistem Hukum”, diakses pada 24 Juli 2014.
14
Bahwa teori kepastian hukum Menurut Mahfud MD,

memberikan pendapat mengenai kepastian hukum yang mempunyai

peran yang sangat penting dalam penegakan hukum yaitu, sebagai

berikut:15

“Tuntutan kehidupan yang semakin kompleks dan modern tersebut


memaksa setiap individu dalam masyarakat mau tidak mau, suka atau
tidak suka menginginkan adanya kepastian, terutama kepastian
hukum, sehingga setiap individu dapat menentukan hak dan
kewajibannya dengan jelas dan terstruktur”.

John Austin mengemukakan di dalam bukunya “Law is a

command of the Lawgiver” adalah hukum merupakan perintah dari

penguasa dalam arti bahwa perintah dari mereka yang memegang

kekusaan tertinggi atau dari yang memegang kedaulatan dan

menganggap hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat

tertutup, hukum secara tegas dipisahkan dari keadilan dan tidak

didasarkan pada nilai-nilai yang baik atau buruk.16

3. Prinsip- Prinsip dalam Hukum Kepailitan

a. Prinsip Paritas Creditorum17

Prinsip paritas creditorum (kesetaraan kedudukan para kreditor)

menentukan bahwa para kreditor mempunyai hak yang sama

terhadap semua harta benda debitor. Apabila debitor tidak dapat


15
Moh.Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta: LP3S, 2006,
hal. 63
16
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Dan Teori Hukum, Cetakan ke IX,
Bandung : Citra Aditya Bakti, 2004, hal. 58
17
Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, Jakarta: Kencana,
2008, hal. 27-29
15
membayar utangnya, maka harta kekayaan debitor menjadi sasaran

kreditur. Prinsip paritas creditorum mengandung makna bahwa

semua kekayaan debitor baik yang berupa barang bergerak ataupun

barang tidak bergerak maupun harta yang sekarang telah dipunyai

debitor dan barang-barang di kemudian hari akan dimiliki debitor

terikat kepada penyelesaian kewajiban debitor. Filosofi dari prinsip

paritas creditorum adalah bahwa merupakan suatu ketidakadilan

jika debitor memiliki harta benda sementara utang debitor terhadap

para krediturnya tidak terbayarkan. Hukum memberikan jaminan

umum bahwa harta kekayaan debitor demi hukum menjadi jaminan

terhadap utang-utangnya meskipun harta debitor tersebut tidak

berkaitan langsung dengan utang-utang tersebut. Dengan demikian,

prinsip paritas creditorum berangkat dari fenomena ketidakadilan

jika debitor masih memiliki harta sementara utang debitor terhadap

para kreditor tidak terbayarkan. Ketidakadilan prinsip paritas

creditorum adalah menyamaratakan kedudukan para kreditur.

b. Prinsip Pari Passu Prorata Parte18

Prinsip pari passu prorata parte berarti bahwa harta kekayaan

tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditor dan

hasilnya harus dibagikan secara proporsional antara mereka,

kecuali jika diantara para kreditor itu ada yang menurut undang-

undang harus didahulukan dalam menerima pembayaran

tagihannya. Prinsip ini menekankan pada pembagian harta debitor


18
Ibid, hlm. 31-33
16
untuk melunasi utang-utangnya terhadap para kreditur secara lebih

berkeadilan dengan cara sesuai dengan proporsinya dan bukan

dengan cara sama rata.

Jika prinsip paritas creditorum bertujuan untuk memberikan

keadilan kepada semua kreditor tanpa pembedaan kondisinya

terhadap harta kekayaan debitor kendatipun harta kekayaan debitor

tersebut tidak berkaitan langsung dengan transaksi yang

dilakukanya, maka prinsip pari passu prorata parte memberikan

keadilan kepada kreditor dengan konsep keadilan proporsional,

dimana kreditor yang memiliki piutang yang lebih besar, maka

akan mendapatkan porsi pembayaran piutangnya dari debitor lebih

besar dari kreditor yang memiliki piutang lebih kecil daripadanya.

Seandainya kreditor disamaratakan kedudukannya tanpa melihat

besar kecilnya piutang, maka akan menimbulkan suatu

ketidakadilan sendiri.

c. Prinsip Structured Creditors19

Penggunaan prinsip paritas creditorum yang dilengkapi

dengan prinsip pari passu prorate parte dalam konteks kepailitan

juga masih memiliki kelemahan jika antara kreditor tidak sama

kedudukannya bukan persoalan besar kecilnya piutang saja tetapi

tidak sama kedudukannya karena ada sebagian kreditor yang

memegang jaminan kebendaan dan/atau kreditor yang memiliki

hak preferensi yang telah diberikan oleh undang-undang. Demikian


19
Ibid, hlm. 50
17
pula dengan kreditor yang oleh undang-undang diberikan

keistimewaan yang berupa hak preferensi dalam pelunasan

piutangnya jika kedudukannya disamakan dengan kreditor yang

tidak diberikan preferensi oleh undang-undang, maka untuk apa

undang-undang melakukan pengaturan terhadap kreditor-kreditor

tertentu dapat memiliki kedudukan istimewa dan karenanya

memiliki preferensi dalam pembayaran terhadap piutang-

piutangnya. Ketidakadilan seperti ini diberikan jalan keluar dengan

adanya prinsip structured creditors (ada yang menyebut dengan

nama prinsip structured prorata).

Adapun prinsip structured creditors adalah prinsip yang

mengklasifikasikan dan mengelompokkan berbagai macam debitor

sesuai dengan kelasnya masing-masing. Dalam kepailitan kreditor

diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu kreditor separatis,

kreditor preferen dan kreditor konkuren.

Ketiga prinsip tersebut di atas sangat penting baik dari segi hukum

perikatan dan hukum jaminan maupun kepailitan. Adanya prinsip ini,

maka pranata untuk melakukan likuidasi terhadap asset debitor yang

memiliki banyak debitor dimana tanpa adanya kepailitan maka para

debitor akan saling berebut baik yang secara sah maupun yang secara tidak

sah sehingga menimbulkan suatau keadaan ketidakadilan baik terhadap

debitor itu sendiri maupun terhadap kreditor khususnya kreditor yang

18
masuk belakangan sehingga tidak mendapatkan bagian harta debitor untuk

pembayaran utang-utang debitor.

D. Metode Penelitian

1. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian ini yaitu:

a. Penelitian Hukum Normatif

Penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah

bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah

mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-

undangan, putusan-putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin

(ajaran).20

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji21 memberikan pendapat

penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan

dengan cara meneliti bahan kepustakaan (data sekunder) yang

mencakup penelitan terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap

sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertical

dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum.

b. Data dan Sumber Data

1) Bahan Hukum Primer

20
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Jakarta:
Pustaka Pelajar, 2010, hal. 34
21
Ibid (dalam Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1995, Penelitian Hukum Normatif, Suatu
Tinjauan Singkat, Raja Grafindo, hal. 15), hal. 34-35
19
Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang bersifat

autoritatif, artinya mempunyai otoritas. 22 Bahan hukum Primer

bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari:

a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).

b) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

c) Undang–Undang Nomor 6 tahun 1983 juncto Undang-

Undang Nomor 9 tahun 1994 juncto Undang-Undang

Nomor 16 tahun 2000 juncto Undang-Undang Nomor 28

tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan.

d) Putusan Nomor: 14/PAILIT/2015/ PN.NIAGA.JKT.PST,

tanggal 27 Juli 2015.

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang

memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.

Kegunaan bahan hukum sekunder adalah memberikan kepada

peneliti semacam “petunjuk” kearah mana peneliti melangkah.

Dalam Penelitian hukum sekunder yang digunakan, antara lain:

Karya ilmiah-karya ilmiah berupa buku-buku tentang

kepailitan artikel, dan makalah yang terkait dengan

permasalahan-permasalahan.

22
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta : Prenadamedia Group, 2015, hal. 181
20
3) Bahan Hukum Tersier

Adapun bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer

dan sekunder; contoh-contohnya adalah kamus, ensikolopedia,

dan seterusnya.23

Bahan hukum tersier untuk penelitian ini, meliputi:

1) Kamus Hukum

2) Kamus Besar Bahasa Indonesia.

3) Data dari Internet

2. Teknik Pengumpulan Bahan Penelitian

a. Studi Pustaka

Studi pustaka dilakukan dengan mempelajari Putusan Pengadilan

Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

No.14/PAILIT/2015/PN.NIAGA.JKT.PST, tanggal 27 Juli 2015 atas

nama Debitor PT Biltube Indonesia (Dalam Pailit), peraturan-

peraturan hukum lainnya yaitu dengan membaca, mengutip,

mencatat dan mengidentifikasikan data yang sesuai dengan

permasalahan dan pokok bahasan. Studi pustaka ini dilakukan untuk

memperoleh data sekunder.

b. Wawancara (Sebagai Pendukung)

Sebagai pendukung penulisan ini, maka penulis menjadikan

wawancara sebagai cara untuk mendapatkan keterangan dan data


23
Ibid, hal. 106

21
tentang kasus yang akan dibahas. Wawancara atau interview adalah

suatu cara untuk mengumpulkan data dengan mengajukan

pertanyaan langsung kepada seorang informan atau seorang autoritas

(seorang ahli atau yang berwenang dalam suatu masalah).

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan biasanya disiapkan terlebih

dahulu yang diarahkan kepada informasi-informasi untuk topik yang

akan digarap. Dalam hal ini, penulis akan mewawancarai Kurator

dan Debitor.

2. Teknik Analisis Data

Teknik analisis yang digunakan untuk mencari mendapatkan argumentasi

akhir yang berupa jawaban terhadap masalah penelitian. 24 Teknik analisis

yang digunakan berupa teknik deskriptif yaitu peneliti memaparkan apa

adanya tentang suatu peristiwa hukum atau kondisi hukum. Teknik

deskriptif ini dilakukan terhadap norma hukum primer seperti peraturan

perundang-undangan.25

E. Rencana Sistematika Penulisan Skripsi

BAB I : PENDAHULUAN

24
I Made Pasek Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi Teori Hukum,
Cetakan ke-1, Jakarta : Prenada Media Group, 2016, hal. 152
25
Ibid, hlm. 153
22
Menguraikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan

penelitian dan kegunaan penelitian, kerangka teori, metode

penelitian, rencana sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN UMUM KREDITOR SEPARATIS DALAM


KEPAILITAN

Menjelaskan tinjauan umum tentang Kreditor Separatis,

Kedudukan Kreditor Separatis, Hak Kreditor Separatis,

Inkonsistensi pemaknaan Hak Kreditor, Penangguhan

Eksekusi menurut Hukum Acara Perdata, Eksekusi sebagai

upaya pemenuhan hak, Penangguhan Hak Kreditor Separatis

dalam Undang-Undang Kepailitan.

BAB III : ANALISIS DAN PEMBAHASAN TENTANG

KREDITOR SEPARATIS DALAM PEMBAGIAN

BOEDEL PAILIT PASCA MASA STAY.

Pada bab ini akan membahas tentang Kasus Posisi, Duduk

Perkara, Putusan Pengadilan Niaga, Mekanisme permohonan

penyelesaian utang piutang melalui Kepailitan dalam perkara

No. 14/PAILIT/2015/ PN.NIAGA.JKT.PST, tanggal 27 Juli

2015 di Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat, Dasar pertimbangan hukum hakim untuk

memutuskan penyelesaian utang piutang melalui Kepailitan

PT Biltube Indonesia (Dalam Pailit), Mekanisme

23
penyelesaian utang piutang melalui Kepailitan PT Biltube

Indonesia (Dalam Pailit) dengan para Kreditor.

BAB IV : PENUTUP

Pada bagian ini penulis akan memberikan suatu kesimpulan

dari analisis permasalahan dan saran atas Kedudukan dan

Pemenuhan Hak Kereditor Separatis dalam pembagian

boedel pailit PT Biltube Indonesia.

24
RENCANA DAFTAR KEPUSTAKAAN

A. BUKU – BUKU

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum,


Edisi 1, Cetakan ke 5, Jakarta ; PT Raja Grafindo 2010.

Andhika Prayoga, S.H., Solusi Hukum Ketika Bisnis Terancam Pailit


(Bangkrut), Cetakan Pertama, Yogyakarta ; 2014.

Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Cetakan Ke – 1,


Jakarta ; CV. Mandar Maju, 2008.

Dr. H. Zainal Asikin, S.H., SU, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Kwajiban
Pembayaran Utang Di Indonesia, Ceatakan Pertama, Bandung ; Pustaka
Reka Cipta, 2013.

Dr. Lilik Mulyadi, S.H., M.H., Perkara Kepailitan Dan Penundaan


Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Teori dan Praktik, Edisi
Pertama, Cetakan Ke-2, Bandung ; PT Alumni, 2013.

Dr. M. Hadi Shubhan, S.H.,M.H.,CN., Hukum Kepailitan Prinsip, Norma,


dan Praktik di Peradilan, Edisi Pertama, Cetakan – 2, Jakarta ;
Prenamedia Group, 2009.

Gunawan Widjaja, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis Persekutuan Perdata,


Persekutuan Firma dan Persekutuan Komanditer, Edisi Pertama,
Cetakan ke-2, Jakarta ; Prenada Media, 2006.

25
Ividah Dewi Amrih Suci, S.H.,M.H. Prof.Dr. Herowati Poesoko, S.H.,M.H,
Hukum Kepailitan Kedudukan dan Hak Kreditoratas Benda Jaminan
Debitor Pailit, Yogyakarta ; LaksBang 2016.

I Made Pasek Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi


Teori Hukum, Cetakan ke-1, Jakarta ; Prenada Media Group, 2016.

Jono, S.H., Hukum Kepailitan, Cetakan Keempat, Jakarta ; Sinar Grafika,


2015.

John Rawls, Teori Keadilan, Dasar-dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan


Kesejahteraan Sosial dalam Negara, [A Theory of Justice],
diterjemahkan oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Yogyakarta ;
Pustaka Media, 2006.

J. Satrio, S.H. Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, Cetakan


Ke-2, Bandung ; 2005.

Kartini Muljadi, Gunswan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Pedoman Menangani


Perkara Kepailitan, Edisi Pertama Cetakan Ke-2, Jakarta ; PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya Bakti,
Bandung ; 1995.

M. Lawrence, Friedmann dalam Teguh Prasetyo Dan Abdul Halim


Barkatullah, Filsafat, Teori, & Ilmu Hukum Pemikiran Menuju
Masyarakat Yang Berkeadilan Dan Bermatabat, Cetakan Ke -1,
Jakarta ; PT Raja Grafindo Perkasa, 2012.

26
M. Yahya Harahap, S.H., Hukum Perseroan Terbatas, Edisi 1 Cetakan Ke-3,
Jakarta ; Sinar Grafika, 2011.

Prof.DR. Sutan Remy Sjahdeini, S.H., Sejarah,Asas dan Teori Hukum


Kepailitan, Edisi Kedua, Jakarta ; Prenamedia Group, 2016.

Prof.DR. Sutan Remy Sjahdeini, S.H., Hukum Kepailitan Memahami Undang-


Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, Cetakan V Edisi Baru,
Jakarta ; PT Pustaka Utama Grafiti, 2012.

Prof Nindyo Pramono, S.H.,M.S. Sularto, S.H.,CN.,M.Hum, Hukum


Kepailitan dan Keadilan Pancasila, Yogyakarta ; Andi 2017.

Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta ; Kencana Pranada


Media Group 2014.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta ; Prenadamedia Group,


2015.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta ;


PT.Raja Grafindo Persada, 2007.

B. JURNAL

Dwika, “Keadilan dari Dimensi Sistem Hukum”, diakses Juli 2014.

Saburai, Wewenang Kreditor Separatis Dalam Hak Eksekusi Hak

Tanggungan Berkenaan dengan Kepailitan, diakses Desember 2017.

27
C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang

Undang–Undang Nomor 6 tahun 1983 juncto Undang-Undang Nomor 9

tahun 1994 juncto Undang-Undang Nomor 16 tahun 2000 juncto Undang-

Undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan.

Putusan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.

14/PAILIT/2015/ PN.NIAGA.JKT.PST, tanggal 27 Juli 2015).

C. INTERNET

https://clickgtg.wordpress.com//hukum-kepailitan-di-indonesia/diakses tanggal
20 Oktober 2017.

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl1998/perbedaan-antara-kreditur-
separatis-dengan-kreditur-konkuren diakses tanggal 20 Desember 2017.

https://gabenta.files.wordpress.com/2011/06/kedudukan-kreditur-separatis-
dalam-hukum-kepailitan. Diakses 20 Desember 2017.

https://legalbanking.wordpress.com/hak-eksekutorial-kreditor-separatis-kapan-
dapat-dilaksanakan/hak-eksekutorial-kreditor-separatis/ Diakses tanggal 20
Desember 2017.
28

Anda mungkin juga menyukai