Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

“HUKUM BISNIS”

Tentang : “ Kepailitan “

Nama Anggota : Novellia Dwijaya (125180024)

PROGRAM STUDI HUKUM BISNIS


JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS TARUMANEGARA
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas terselesaikannya
makalah kami yang berjudul “Kepailitan” demi memenuhi nilai mata kuliah “Hukum Bisnis”
Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanagara. Atas rahmat yang Ia limpahkan kepada kami,
kami dapat menyusun makalah ini dengan baik.
Tidak lupa kami juga mengucapkan terimakasih kepada Ibu … selaku dosen yang
membimbing kami dalam mata kuliah “Hukum Bisnis” serta dalam pembuatan makalah ini.
Kami juga mengucapkan terimakasih kepada teman-teman kami yang senantiasa saling
memberikan dukungan hingga terselesaikannya makalah ini. Kami juga berterimakasih kepada
pihak-pihak yang berkontribusi sebagai penyedia sumber materi yang kami cantumkan dalam
makalah ini.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal, menggunakan jerih payah dan kerja
keras kami. Terlepas dari semua itu, kami menyadari bahwa makalah ini masih memiliki
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun materinya. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca yang terhormat karena pendapat Anda sangat
penting bagi kami kedepannya.
Akhir kata, kami mengucapkan terimakasih dan kami berharap makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua, baik sebagai referensi maupun sebagai inspirasi.

Jakarta, … September 2018

Penyusun
Daftar isi
Bab I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian kepailitan ?
2. Apa dasar hukum pailit ?
3. Apa saja asas-asas utama pailit ?
4. Apa syarat terjadinya pailit ?
5. Siapa pihak-pihak yang dapat mengajukan kepailitan ?
6. Apa saja prosedur pengajuan kepailitan ?
7. Apa akibat dari hukum kepailitan ?
8. Apa yang dimaksud penundaan kewajiban pembayaran utang ?
9. Apa perbedaan pailit dan bangkrut ?
10. Perusahaan apa saja yang terkena pailit ?
1.3 Tujuan Penulisan
Bab II
Pembahasan

2.1 Pengertian Kepailitan


Menurut pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Undang-undang Kepailitan dan PKPU),
“kepailitan” adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan
pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “pailit” artinya “bangkrut” atau
“jatuh miskin”.
Kepailitan adalah suatu keadaan dimana seseorang atau badan hukum tidak mampu lagi
membayar kewajibannya (yang berupa utang) kepada si piutang. Jika seorang debitur atau
badan usaha mengalami kepailitan, maka harta benda yang menjadi hak milik si debitur akan
disita umum (beslaang). Tujuan dari penyitaan ini ialah agar kreditur yang bersangkutan
mendapatkan pembayaran yang seimbang dari hasil pengelolaan harta benda debitur yang
disita. Singkatnya, debitur membayar kembali utangnya kepada kreditur bukan dengan
mengembalikan uang serta bunganya, namun digantikan dengan harta benda kekayaan debitur
yang nilainya setara dengan jumlah uang yang ia pinjam.
Namun, adakalanya semua harta benda yang dimiliki oleh debitur yang pailit tidak
cukup untuk melunasi utangnya. Hal ini tentu menjadi tidak adil bagi kreditur yang
meminjamkan uang. Oleh karena permasalahan ini, muncullah lembaga kepailitan dalam
hukum, yang bertujuan untuk mengatur tata cara yang adil mengenai pembayaran tagihan-
tagihan para kreditur dengan berpedoman pada KUHPer.
Pasal-pasal KUHPer yang terkait dengan kepailitan yaitu :
1. Pasal 1131 KUHPer:
“Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang
sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan
perorangan debitur itu.”

2. Pasal 1132 KUHPer:


“Barang-barang itu menjadi jaminan bersama bagi semua kreditur
terhadapnya; hasil penjualan barang-barang itu dibagi menurut perbandingan
piutang masing-masing kecuali bila di antara para kreditur itu ada alasan-
alasan sah untuk didahulukan.”

2.2 Dasar hukum kepailitan

Masalah kepailitan telah diatur sejak tahun 1905 dengan dikeluarkannya UU Nomor
217 juncto Staatsblad Tahun 1906 Nomor 348. Namun dengan adanya gejolak moneter di
Indonesia sejak pertengahan Tahun 1997 yang telah memberi pengaruh yang tidak
menguntungkan ekonomi nasional dan menimbulkan kesulitan dunia usaha untuk
meneruskan kegiatannya termasuk dalam memenuhi kewajibannya kepada kreditur, maka
dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang-Undang kepailitan (Perpu 1 tahun 1998) yang kemudian ditetapkan
lebih lanjut dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 yang diundangkan pada tanggal 9
September 1998. Selanjutnya, sejak tahun 2004 berlaku UU No. 37 Tahun 2004 tentang
kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang.
Dalam penjelasan undang-undang tersebut antara lain disebutkan bahwa upaya
penyelesaian masalah utang piutang dunia usaha perlu segera diberi kerangka hukumnya agar
perusahaan-perusahaan dapat segera beroperasi secara secara normal. Dengan demikian
selain aspek ekonomi, berjalannya kembali kegiatan ekonomi akan mengurangi tekanan
sosial yang disebabkan oleh hilangnya banyak lapangan dan kesempatan kerja.

2.3 Asas utama Undang-Undang kepailitan

1. Cepat : Proses kepailitan lebih sering digunakan oleh pelaku usaha, sehingga memerlukan
keputusan yang cepat.
2. Adil : Melindungi kreditur dan debitur yang beritikad baik serta pihak ketiga yang tergantung
dengan usaha debitur.
3. Terbuka : Keadaan insolven suatu badan hukum harus diketahui oleh masyarakat sehingga
tidak akan menimbulkan efek yang negatif dikemudian hari, dan mencegah debitur yang
beritikad buruk untuk mendapatkan dana dari masyarakat dengan cara menipu.
4. Efektif : Keputusan pengadilan harus dapat dieksekusi dengan cepat, baik keputusan
penolakan permohonan pailit, keputusan pailit, ataupun keputusan perdamaian
2.4 Syarat Kepailitan

Syarat kepailitan dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 37 Tahun 2004
Tentang Kepailitan dan PKPU, yaitu:
“Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar setidaknya satu utang
yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik
atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya.”
Dari pasal tersebut dapat diuraikan penjelasan sebagai berikut:
1. Debitur yang ingin dipailitkan harus memiliki paling sedikit dua kreditur
2. Debitur tersebut tidak melunasi setidaknya satu utang kepada salah satu krediturnya
3. Utang tersebut harus sudah jatuh waktu dan dapat ditagih sesuai dengan yang tertulis
pada perjanjian

2.5 Pihak-pihak yang dapat mengajukan kepailitan

Selain oleh Kreditur dan Debitur sendiri, suatu permohonan pailit dapat diajukan oleh
pihak-pihak lain seperti :
1. Kejaksaan untuk kepentingan umum : yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah
kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas.
2. Bank Indonesia dalam hal Debitur adalah bank : Pengajuan permohonan pernyataan pailit
terhadap suatu bank sepenuhnya merupakan kewenangan Bank Indonesia. Pengajuan tersebut
semata-mata didasarkan atas penilaian kondisi keuangan dan kondisi perbankan secara
keseluruhan, oleh karena itu tidak perlu dipertanggungjawabkan. Kewenangan Bank Indonesia
untuk mengajukan permohonan kepailitan ini tidak menghapuskan kewenangan Bank
Indonesia terkait dengan ketentuan mengenai pencabutan izin usaha bank, pembubaran badan
hukum, dan likuidasi bank sesuai peraturan perundang-undangan.
3. Badan Pengawas Pasar Modal (BPPM) dalam hal Debitur adalah Perusahaan Efek, Bursa
Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian : bisa
dilakukan BPPM karena lembaga tersebut melakukan kegiatan yang berhubungan dengan dana
masyarakat yang diinvestasikan dalam efek di bawah pengawasan Badan Pengawas Pasar
Modal.
4. Menteri Keuangan dalam hal Debitur adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi,
Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik.
2.6 Prosedur Pengajuan Kepailitan

Para pihak yang dapat mengajukan kepailitan sebagaimana telah disebut atas,
diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah kedudukan hukum debitur.
Apabila debitur telah meninggalkan wilayah RI, maka pengadilan yang berwenang adalah
pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir debitur,
sedangkan dalam hal debitur tiidak bertempat kedudukan dalam wilayah RI, diajukan ke
pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum kantor debitur
menjalankan profesi atau usahanya.
Lazimnya permohonan kepailtan dimaksud diajukan oleh seorang penasehat hukum
yang memiliki izin praktik tampaknya agar proses dapat berjalan lebih lancer dengan cepat
selesai karena pada umumnya dalam praktik sehari-hari yang terjadi adalah pernyataan pailit
suatu badan hukum dengan pihak kreditur yang juga badan hukum, misalnya bank atau
perusahhan-perusahaan yang cukup besar.
Pengadilan yang dimaksud dalam Undang-Undang kepailitan adalah Pengadilan
Niaga yang berada dilingkungan peradilan umum. Ditegaskan lagi dalam Pasal 281 Perpu 1
Tahun 1998 bahwa untuk pertama kali Pengadilan Niaga dibentuk pada Pengailan Negeri
Jakarta Pusat. Tentang Pengadilan Niaga ini akan diuraikan lebih lanjut pada bagian
selanjutnya.
Selama putusan atas permohonan pernyataan palilit belum ditetapkan, kreditur atas
kejkasaan, bank Indonesia, Bapepam atau Menteri Keuangan dapat mengajukan permohonan
kepada pengadilan untuk:
1. Meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan debitur atau
2. Menunjuk kurator sementara untuk:
a. Mengawasi pengelolaan usaha debitur dan
b. Mengawasi pembayaran kepada kreditur, pengadilan atau penggunaan kekayaan
debitur yang dalam rangka kepailitan memerlukan persetujuan kurator.

Terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit dapat dilakukan upaya hukum
kasasi ke Mahkamah Agung. Dengan kata lain terhadap putusan pengadilan di tingkat
pertama tidak dapat diajukan upaya hukum banding, tetapi langsung upaya kasasi.
Putusan atas permohonan kasasi diucapkan dalam siding yang terbuka untuk umum.
Selanjutnya terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, dapat diajukan peninjauan kembali kepada
Mahkamah Agung.
Dalam putusan pernyataan pailit maka akan diangkat seorang hakim pengawas
yang ditunjuk dari hakim pengadilan dan kurator yang akan bertugas untuk
melakukan pengurusan dan / pemberesan harta pailit meskipun terhadap putusan
tersebut diajukan kasasi atas peninjauan kembali. Dalam jangka waktu paling lambat
5 hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit. Kurator akan mengumumkan dalam
Berita Negara RI serta dalam sekurang-kurangnya 2 surat kabar harian yang
ditetapkan oleh hakim pengawas hal-hal sebagai berikut :
a. Ikhtisar putusan pernyataan pailit;
b. Identitas, alamat, dan pekerjaan debitur;
c. Identitas, alamat dan pekerjaan anggota panitia sementara kreditur apalbila telah
ditunjuk;
d. Tempat dan waktu penyelenggaraan rapat pertama kreditur dan;
e. Identitas hakim pengawas.

2.7 Akibat hukum pernyataan pailit


Pada prinsipnya kepailitan meliputi kekayaan debitur pada saat pernyataan pailit itu
dilakukan beserta semua kekayaan yang diperoleh selama kepailitan, dengan pernyataan
pailit, debitur pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus
kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan itu. Pasal 25 Undang-Undang Kepailitan
menegaskan bahwa semua perikatan debitur pailit yang dilakukan sesudah pernyataan pailit
tidak dapat dibayar dari harta pailit kecuali bila perikatan-perkatan tersebut mendatangkan
keuntungan bagi harta kekayaan itu. Oleh karenanya gugatan-gugatan hukum yang
bersumber pada hak dan kewajiban harta kekayaan debitur pailit harus diajukan terhadap atau
oleh kurator. Begitu pulsegala gugatan hukum dengan tujuan untuk memenuhi perikatan dari
harta pailit selama dalam kepailitan, walaupun diajukan kepada debitur pailit sendiri, hanya
dapat diajukan dengan laporan atau pencocokannya.
Akibat hukum lain yang juga amat penting dari pernyataan pailit adalah seperti yang
ditegaskan dalam Pasal 41 yaitu bahwa untuk kepentingan harta pailit dapat dimintakan
pembatalan atas segala perbuatan hukum debitur yang telah dinyatakan pailit yang
merugikan kepentingan kreditur, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit
ditetapkan. Pembatalan inipun hanya dapat dilakukan apabila dapat dibuktikan bahwa pada
saat perbuatan hukum tersebut dilakukan debitur dan pihak dengan siapa perbuatan hukum itu
dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan
mengakibatkan kerugian bagi kreditur, kecuali perbuatan hukum yang dilakukan debitur
wajib dilakukan berdasarkan perjanjian dana tau karena Undang-Undang misalnya kewajiban
pembayaran pajak. Bahkan atas hibah yang dilakukan debitur pun dapat dimintakan
pembatalannya apabila kurator dapat membuktikan bahwa bahwa pada saat hibah tersebut
dilakukan debitur mengetahui atau patut mengetahui bahwa tindakan tersebut akan
mengakibatkan kerugian bagi kreditur. (Pasal 43)
Pada prinsipnya kepailitan meliputi seluruh kakayaan debitur pada saat putusan
pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Namun
demikian, ketentuan tersebut tidak berlaku terhadap harta-harta seperti dimaksudkan didalam
Pasal 22, yaitu :
a. Benda, termasuk hewan yang benar-benar dibuthkan oleh Debitur sehubungan
dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang dipergunakan untuk
kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang dipergunakan oleh Debitur dan
keluarganya, dan bahan makanan untuk 30 (tiga puluh) hari bagi Debitur dan
keluarganya, yang terdapat ditempat itu;
b. Segala sesuatu yang diperoleh Debitur dari pekerjaannya sendiri sebagai
penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai uoah, pensiun, uang tunggu, atau
uang tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh Hakim Pengawas; atau
c. Uang yang diberikan kepada Debitur untuk memenuhi suatu kewajiban memberi
nafkah menurut Undang-Undang.
2.8 Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang merupakan alternatif penyelesaian utang
untuk menghindari kepailitan. Menurut Munir Fuady Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU) ini adalah suatu periode waktu tertentu yang diberikan
oleh undang-undang melalui putusan pengadilan niaga, dimana dalam periode waktu
tersebut kepada kreditor dan debitor diberikan kesepakatan untuk memusyawarahkan
cara-cara pembayaran utang-utangnya dengan memberikan rencana perdamaian
(composition plan) terhadap seluruh atau sebagian utangnya itu, termasuk apabila perlu
merestrukturisasi utangnya tersebut. Dengan demikian Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU) merupakan semacam moratorium dalam hal ini legal
moratorium.

Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU Pasal
222 ayat (2) dikatakan : “Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan dapat
melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih,
dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang dengan maksud untuk
mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau
seluruh utang kepada kreditor”.

Permohonan PKPU dapat diajukan oleh kreditor maupun debitor kepada Pengadilan
Niaga. Permohonan PKPU dapat diajukan sebelum ada permohonan pailit yang
diajukan oleh debitor maupun kreditor atau dapat juga diajukan setelah adanya
permohonan pailit asal diajukan paling lambat pada saat sidang pertama pemeriksaan
permohonan pernyataan pailit. Namun jika permohonan pailit dan PKPU diajukan pada
saat yang bersamaan maka permohonan PKPU yang akan diperiksa terlebih dahulu.[ii]

Pada hakekatnya tujuan PKPU adalah untuk perdamaian. Fungsi perdamaian dalam
proses PKPU sangat penting artinya, bahkan merupakan tujuan utama bagi si debitor,
dimana si debitor sebagai orang yang paling mengetahui keberadaan perusahaan,
bagaimana keberadaan perusahaannya ke depan baik petensi maupun kesulitan
membayar utang-utangnya dari kemungkinan-kemungkinan masih dapat bangkit
kembali dari jeratan utang-utang terhadap sekalian kreditornya.

Oleh karenanya langkah-langkah perdamaian ini adalah untuk menyusun suatu strategi
baru bagi si debitor menjadi sangat penting. Namun karena faktor kesulitan pembayaran
utang-utang yang mungkin segera jatuh tempo yang mana sementara belum dapat
diselesaikan membuat si debitor terpaksa membuat suatu konsep perdamaian, yang
mana konsep ini nantinya akan ditawarkan kepada pihak kreditor, dengan demikian si
debitor masih dapat nantinya, tentu saja jika perdamaian ini disetujui oleh para kreditor
untuk meneruskan berjalannya perusahaan si debitor tersebut. Dengan kata lain tujuan
akhir dari PKPU ini ialah dapat tercapainya perdamaian antara debitor dan seluruh
kreditor dari rencarta perdamaian yang diajukan/ditawarkan si debitor tersebut.
Apabila rencana perdamaian tidak tercapai atau Pengadilan menolak rencana
perdamaian, maka Pengadilan wajib menyatakan Debitor dalam Keadaan Pailit.
Pengadilan dapat menolak rencana perdamaian karena:
1. Harta Debitor, termasuk benda untuk mana dilaksanakan hak untuk menahan
benda, jauh lebih besar dari pada jumlah yang disetujui dalam perdamaian
2. Pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin
3. Perdamaian itu dicapai karena penipuan, atau persengkokolan dengan satu atau
lebih kreditor, atau karena pemakaian upaya lain yang tidak jujur dan tanpa
menghiraukan apakah debitor atau pihak lain bekerja sama untuk mencapai hal ini
4. Imbalan jasa dan biaya dikeluarkan oleh ahli dan pengurus belum dibayar atau
tidak diberikan jaminan untuk pembayaran.[iii]

PKPU pada dasarnya, hanya berlaku/ditujukan pada para kreditor konkuren saja.
Walaupun pada Undang-undang No.37 Tahun 2004 pada Pasal 222 ayat (2) tidak
disebut lagi perihal kreditor konkuren sebagaimana halnya Undang-undang No. 4
Tahun 1998 pada Pasal 212 jelas menyebutkan bahwa debitor yang tidak dapat atau
memperkirakan bahwa ia tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya
yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban
pembayaran utang, dengan maksud pada umumnya untuk mengajukan rencana
perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada
kreditor konkuren. Namun pada Pasal 244 Undang-undang No. 37 tahun 2004
disebutkan:
“Dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 246, penundaan kewajiban
pembayaran utang tidak berlaku terhadap :
a. Tagihan yang dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek,
atau hak agunan atas kebendaan lainnya.
b. Tagihan biaya pemeliharaan, pengawasan atau pendidikan yang sudah harus
dibayar dan hakim pengawas harus menentukan jumlah tagihan yang sudah ada dan
belum dibayar sebelum penundaan kewajiban pembayaran utang yang bukan
merupakan tagihan dengan hak untuk diistimewakan.
c. Tagihan yang diistimewakan terhadap benda tertentu milik debitor maupun
terhadap seluruh harta debitor yang tidak tercakup pada point b.”

2.9 Perbedaan pailit dengan bangkrut

Anda mungkin juga menyukai