Anda di halaman 1dari 28

PENGATURAN HUKUM TERHADAP PERUSAHAAN

PAILIT

DISUSUN OLEH :

KHAIRIL HIDAYAT 31119022

FERNANDO LUMBAN GAOL 31119046

ANNISA DELVIANE 31119009

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

UNIVERSITAS BATAM

2022
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan karunia- Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini. Selama penyusunan makalah ini banyak kendala yang penulis
hadapi, namun berkat bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak semua kendala
tersebut dapat teratasi. Pada kesempatan ini dengan ketulusan hati penulis, penulis
ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada semua
pihak yang tidak penulis sebutkan satu persatu yang telah ikut membantu hingga
selesainya makalah ini.

Akhirnya penulis berharap semoga penulisan makalah ini dapat


bermanfaat bagi yang membutuhkan .

Batam, 2 Desember 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR .....................................................................................i

DAFTAR ISI ................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

A. Latar Belakang .................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah............................................................................. 6

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 7

A. Kedudukan Hak Privilege Upah Perkerja Dalam Perusahaan


Pailit ................................................................................................... 7

B. Perlindungan Hukum Bagi Perkeja Diperusahaan Pailit ................. 18

BAB III PENUTUP ..................................................................................... 22

A. Kesimpulan ...................................................................................... 22

B. Saran ............................................................................................... 24

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 25

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa


salah satu tujuan utama Negara Indonesia adalah menciptakan suatu kehidupan
berbangsa dan bernegara yang adil dan sejahtera demi mewujudkan suatu keadilan
sosial, dengan cara pemenuhan hak setiap warga negara untuk mendapatkan
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi seluruh rakyat Indonesia.

Jika ditelusuri sejarah hukum tentang kepailitan, diketahui bahwa hokum


tentang kepailitan itu sendiri sudah ada sejak zaman Romawi. Kata bangkrut, yang
dalam bahasa Inggris disebut bankrupt berasal dari undang-undang Italia yang
disebut dengan banca rupta. Menurut Poerwadarminta, pailit artinya bangkrut dan
artinya menderita kerugian besar hingga jatuh (Perusahaan, took, dan sebaginya).

Pada prinsipnya, pengaturan masalah kepailitan merupakan suatu


perwujudan dari pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata.

Istilah kepailitan sering kali masih terasa awam bagi sebagian orang,
walau istilah ini sering digunakan dalam dunia bisnis dan usaha. Pailit merupakan
suatu keadaan di mana Debitor tidak mampu untuk melakukan pembayaran-
pembayaran terhadap utang-utang dari para Kreditornya dan utang tersebut telah
jatuh tempo. Keadaan tidak mampu membayar umumnya disebabkan karena
kesulitan kondisi keuangan dari usaha Debitor yang telah mengalami
kemunduran.

Kegiatan usaha perusahaan merupakan kegiatan yang sah menurut hukum,


bukan kegiatan yang melanggar hukum atau bertentangan dengan undang-undang,
ketertiban umum dan kesusilaan. Perusahaan telah menjadi salah satu objek
pengaturan hukum di Indonesia. Perusahaan sebagi pelaku ekonomi, dalam

1
2

menjalankan kegiatannya dengan pihak ketiga, melahirkan sejumlah hak dan


kewajiban yaitu berupa piutang dan utang. Sebuah perusahaan dinyatakan pailit
atau bangkrut harus melalui putusan pengadilan. Dengan pailitnya perusahaan itu,
berarti perusahaan menghentikan segala aktivitasnya dan dengan demikian tidak
lagi dapat mengadakan transaksi dengan pihak lain, kecuali untuk likuidasi.

Dengan demikian persoalan kepailitan adalah persoalan ketidakmampuan


untuk membayar utang-utangnya. Dalam artian hukum, yang dimaksud dengan
kepailitan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keadaan dimana
siberutang mempunyai sedikitnya dua utang dan sudah jatuh tempo, dan dia tidak
dapat membayar lunas salah satu dari utang itu.

Perusahaan telah menjadi salah satu objek pengaturan hukum di Indonesia,


sejak zaman kolonial. Dalam Pasal 1 huruf b UU Nomor 3 Tahun 1982 tentang
Wajib Daftar Perusahaan, pengertian perusahaan adalah setiap badan usaha yang
menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus menerus, didirikan
bekerja dan berkedudukan di Wilayah Negara Republik Indonesia untuk tujuan
mencari keuntungan dan atau laba. Dilihat dari segi aktivitasnya, perusahaan itu
menjalankan suatu kegiatan usaha di bidang ekonomi (bedriif, business) yang
bertujuan untuk mencari keuntungan atau laba, misalnya menjalankan kegiatan
pabrik, kegiatan distribusi, dan sebagainya, yang menunjuk pada kesatuan
aktivitas perusahaan. Sebuah perusahaan dinyatakan pailit au bangkrut harus
melalui putusan pengadilan. Dengan pailitnya perusahaan itu, berarti perusahaan
menghentikan segala aktivitasnya dan dengan demikian tidak lagi dapat
mengadakan transaksi dengan pihak lain, kecuali untuk likuidasi. Satu-satunya
kegiatan perusahaan adalah melakukan likuidasi atau pemberesan yaitu menagih
piutang, menghitung seluruh asset perusahaan, kemudian menjualnya untuk
seterusnya dijadikan pembayaran utangutang perusahaan. Suatu perusahaan yang
dinyatakan pailit pada saat ini akan mempunyai imbas dan pengaruh buruk bukan
hanya kepada perusahaan itu saja melainkan berakibat global. Salah satunya,
perusahaan bahkan mengalami kesulitan serius untuk memenuhi kewajiban
pembayaran utang sehingga kreditor dirugikan secara ekonomis. Dalam kondisi
3

seperti ini, hukum kepailitan diperlukan guna mengatur penyelesaian sengketa


utang piutang antara debitor dan para kreditornya

Kepailitan merupakan putusan pengadilan. Akibat Hukum Putusan


Pernyataan Pailit yang mengakibatkan sita umum atas seluruh kekayaan Debitor
pailit, baik yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari. Pengurusan
dan pemberesan kepailitan dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan Hakim
Pengawas dengan tujuan utama menggunakan hasil penjualan harta kekayaan
tersebut untuk membayar seluruh utang Debitor pailit tersebut secara proporsional
dan sesuai dengan struktur Kreditor. Kepailitan merupakan pelaksanaan lebih
lanjut dari prinsip paritas creditorium dan prinsip pari passu prorata parte dalam
rezim hukum harta kekayaan (vermogensrechts).

Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja karena perusahaan pailit


diatur pada pasal 81 butir 42 Undang-undang nomor 11 Tahun 2020 tentang cipta
kerja, yang menyisipkan pasal 154A pada pasal 154 Undang-undang nomor 1
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Kepailitan juga diatur dalam Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang atau yang disingkat dengan UUK 2004. Sebelum
diundangkannya UUK 2004, masalah kepailitan diatur dalam Staatsblad 1905:217
jo. Staatsblad 1906:348 tentang Faillissement Verordening (Undang-undang
tentang Kepailitan) yang kemudian diperbarui melalui Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 dan kemudian disahkan menjadi
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998.

Namun secara khusus ketentuan Pasal 1 angka (6) Undang-Undang


Kepailitan menyatakan utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat
dinyatakan dalam jumlah uang, baik secara langsung maupun yang akan timbul di
kemudian hari atau kontinen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang
dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada
kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor. Undang-
Undang Kepailitan mengartikan utang secara luas, sehingga utang bukan hanya
4

yang timbul dari perjanjian pinjam-meminjam uang saja. Pengertian utang dalam
Undang-Undang Kepailitan yang demikian luas tersebut, mengakibatkan
wanprestasi yang seharusnya diselesaikan melalui mekanisme hukum perjanjian
dapat dialihkan penyelesaiannya melalui mekanisme hukum kepailitan, karena
wanprestasi dalam hukum perjanjian dapat dianggap sebagai utang dalam hukum
kepailitan. Hal ini terjadi karena selain persoalan pengertian utang yang begitu
luas juga disertai dengan begitu longgarnya persyaratan untuk mengajukan
permohonan pernyataan pailit yang tidak menegaskan keadaan utang mana saja
yang dapat dijadikan sebagai dasar pengajuan permohonan pernyataan pailit.
Mekanisme hukum kepailitan, konsep utang sangat menentukan, karena tanpa
adanya utang, kepailitan kehilangan esensinya sebagai pranata hukum untuk
melikuidasi harta kekayaan debitor guna membayar utang-utangnya kepada para
kreditornya. Secara sederhana, utang adalah uang yang dipinjam dari orang lain;
kewajiban membayar kembali apa yang sudah diterima.

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Kepailitan,


permohonan pernyataan pailit dapat diajukan terhadap debitor yang mempunyai
dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah
jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan baik
atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih
kreditornya. Kepailitan bisa terjadi, karena makin pesatnya pertumbuhan
perekonomian dan pembangunan yang menimbulkan utang piutang akibat dari
upaya perusahaan untuk meningkatkan modal, guna peningkatan kinerja
perusahaan.

Ada beberapa faktor penyebab perusahaan pailit, diantaranya adalah sebagai


berikut:

a. Tidak mampu menangkap kebutuhan konsumen, sehingga perusahaan dapat


memberikan layanan atau produk yang diterima pasar
b. Terlalu fokus pada pengembangan produk, sehingga perusahaan dapat
melupakan kebutuhan konsumen. Perusahaan yang terlalu fokus pada
5

pengembangan produk akan kehilangan kepekaan terhadap apa yang terjadi di


dalam perusahaan, situasi di luar, dan lain sebagainya.
c. Mengalami ketakutan yang berlebihan, seperti takut bangkrut, takut rugi, takut
tidak dapat melayani konsumen, takut pada ketidakmampuan mengatasi
masalah, dan lainnya. sebenarnya ketakutan tersebut wajar. Namun, apabila
ketakutan tersebut telah melebihi batas normal, maka kondisi tersebut harus
diwaspadai karena akan menghambat kinerja perusahaan dan membawa
kehancuran.
d. Berhenti untuk melakukan inovasi dalam berbisnis. Inovasi penting untuk
dilakukan oleh setiap pengusaha atau pebisnis. Karena tanpa melakukan
inovasi, produk-produk yang dijual lama kelamaan akan membosankan bagi
masyarakat yang menjadi target pasar.
e. Kurang mengamati pergerakan kompetitor atau pesaing, sehingga akan
menyebabkan sebuah perusahaan kalah bersaing dan tertinggal jauh di
belakang. Sebuah perusahaan harus selalu memperhatikan langkah-langkah
yang dilakukan oleh kompetitor.
f. Menetapkan harga yang terlalu mahal. Memang ada beberapa orang percaya
bahwa harga mahal akan membuat produk sebuah perusahaan tampak lebih
bagus dan lebih mewah dari aslinya. Namun, bagaimana jadinya jika ada
perusahaan baru yang mengeluarkan produk mirip dengan barang perusahaan
Anda dan menjualnya jauh lebih murah. Maka kemungkinan perusahaan Anda
akan ditinggal konsumen.
6

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana Kedudukan Hak Privilege Upah Pekerja dalam Perusahaan Pailit


2. Apa Saja Pengaturan Dan Perlindungan Hak-Hak Dan Kewajiban Pekerja
Terhadap Perusahaan Yang Dinyatakan Pailit
BAB II

PEMBAHASAN

A. KEDUDUKAN HAK PRIVILEGE UPAH PEKERJA DALAM


PERUSAHAAN PAILIT

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI ) pekerja adalah panitia


yang mengurus pelaksanaan tugas sehari-hari pada suatu organisasi sedangkan
dalam Undang-undang Ketenagakerjaan setiap orang yang bekerja dengan
menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Merujuk dari dua pengertian
tersebut, pekerja ialah seseorang yang melakukan sesuatu sesuai dengan perintah
sebagai konsekuensi ia telah melakukan pekerjaan ialah dengan menerima upah.
Dalam hal melakukan pekerjaan dalam sebuah perusahaan seorang pekerja harus
melakukan segala perintah perusahaan sebagai suatu kewajiban dirinya sebagai
pekerja perusahaan. Sebagai subyek hukum pekerja selain mempunyai kewajiban,
pekerja mempunyai hak.
Pemutusan hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan lazimnya
dikenal dengan istilah PHK atau pengakhiran hubungan kerja, yang dapat terjadi
karena berakhirnya waktu tertentu yang telah disepakati antara pekerja dan
pengusaha, meninggalnya pekerja atau karena sebab lainnya. Menurut Undang-
undang Ketenagakerjaan PHK ialah Pemutusan hubungan kerja adalah
pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan
berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. Dalam hal
terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang
pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang
seharusnya diterima. Terdapat kata diwajibkan yang dapat diartikan bahwa
pengusaha diharuskan membayar uang pesangon sesuai dengan aturan yang ada.
Terdapat aturan dalam menentukan uang pesangon yang telah diatur dalam UU
Ketenagakerjaan yaitu dalam pasal 156 ayat 2 Perhitungan uang pesangon
sebagaimana dimaksud paling sedikit sebagai berikut :

7
8

a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;


b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua)
bulan upah;
c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga)
bulan upah;
d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4
(empat) bulan upah;
e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5
(lima) bulan upah;
f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6
(enam) bulan upah;
g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7
(tujuh) bulan upah.
h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8
(delapan) bulan upah;
i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.

Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud ditetapkan


sebagai berikut:

a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua)
bulan upah;
b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3
(tiga) bulan upah;
c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas)
tahun, 4 (empat) bulan upah;
d. masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas)
tahun, 5 (lima) bulan upah;
e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan
belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua
puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
9

g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua
puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah.

 Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud


meliputi:
a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat
dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima
belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja
bagi yang memenuhi syarat;
d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama.

Kebijakan pengupahan diarahkan untuk pencapaian penghasilan yang memenuhi


penghidupan yang layak bagi Pekerja/Buruh. Kebijakan pengupahan sebagaimana
dimaksud meliputi:

a. Upah minimum;
b. Upah kerja lembur;
c. Upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
d. Upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar
pekerjaannya;
e. Upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
f. Bentuk dan cara pembayaran Upah;
g. Denda dan potongan Upah;
h. Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan Upah;
i. Struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
j. Upah untuk pembayaran pesangon; dan
k. Upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
10

Penghasilan yang layak merupakan jumlah penerimaan atau pendapatan


Pekerja/Buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan
hidup Pekerja/Buruh dan keluarganya secara wajar. Penghasilan yang layak
sebagaimana dimaksud diberikan dalam bentuk Upah dan Pendapatan non Upah.
Upah sendiri terdiri atas komponen:

a. Upah tanpa tunjangan;


b. Upah pokok dan tunjangan tetap; atau
c. Upah pokok, tunjangan tetap, dan tunjangan tidak tetap. Pengusaha dapat
memberikan pendapatan non Upah berupa:
a. Bonus;
b. Uang pengganti fasilitas kerja; dan/atau
c. Uang servis pada usaha tertentu.

Penjelasan berbicara ketika terjadi pemutusan kerja yang diakibatkan oleh


pailit maka hak pekerja yang dalam hal ini dikhususkan mengenai upah harus
dipenuhi oleh pengusaha, mengingat telah banyak peraturan-peraturan yang dibuat
oleh pemerinah guna memberikan perlindungan hak bagi para pekerja. Pengusaha
yang berkedudukan sebagai debitur wajib memberikan pelunasan kepada pekerja
yang belum terjamin haknya.
Jika pelunasan belum terlaksana maka kewajiban debitur dapat dikatakan
sebagai utang. Utang sendiri memiliki pengertian kewajiban yang dinyatakan atau
dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun
mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari
atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib
dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk
mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor.
Keadaan pailit akan menyebabkan terdapatnya kreditur dan debitur
sebagai subjek pailit. Kreditur sendiri yang mempunyai hak untuk menagih
piutang kepada debitur, sedangkan debitur pihak yang mempunyai kewajiban
untuk membayar hutangnya kepada kreditur sesuai yang terdapat pada putusan
pailit. Kreditur daam pailit dibagi menjadi 3 seperti kreditur dalam perikatan
11

yaitu kreditur separatis, kreditur preferen, dan kreditur konkuren. Berikut


penjelasan mengenai kreditur diatas sesuai urutan hak tagih :
1. Kreditur separatis, yaitu kreditur pemegang hak jaminan kebendaan, yang
dapat bertindak sendiri. Golongan kreditur ini tidak terkena akibat putusan
pernyataan pailit, artinya hakhak eksekusi mereka tetap dapat dijalankan
seperti tidak ada kepailitan debitur. Kreditur pemegang gadai, jaminan fidusia,
hak tanggungan, dan hipotek atau hak agunan atas kebendaan lainnya
merupakan karakteristik kreditur separatis,
2. Kreditur preferen, yaitu kreditur yang memiliki hak istimewa atau hak
prioritas. Hak istimewa mengandung makna “hak yang oleh undang-undang
diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatannya lebih tinggi
daripada orang berpiutang lainnya.
3. Kreditur konkuren, yaitu kreditur yang harus berbagi dengan para kreditur
lainnya secara proporsional (pari passu), yaitu menurut perbandingan
besarnya masing-masing tagihan, dari hasil penjualan harta kekayaan debitur
yang tidak dibebani dengan hak jaminan.
Diatas adalah pembagian kreditur berdasarkan hak tagih mereka. Yang
mendapat hak tagih pertama menurut Undang-Undang Kepailitan pasal 2 yaitu
kreditur separatis, lalu kreditur preferen dan yang terakhir kreditur konkuren.
setelah itu pertanyaannya terdapat pada kreditur mana pekerja yang terkena
dampak pailit. Jika merujuk kepada pembagian kreditur diatas maka pekerja
berada pada posisi kreditur konkuren., jelas alasannya karena pekerja bukan
kreditur pemegang hak jaminan kebendaan dan bukan pemegang hak istimewa.
Jika pekerja dibuat untuk bersaing dengan kreditur lain, tidak menutup
kemungkinan pekerja tidak akan mendapat apapun dari penjualan harta pailit.
Beberapa alasan yang akan dijabarkan penulis, dapat menjadi referensi baru yang
mana menerangkan hak pekerja khususnya upah dapat didahulukan daripada
pelunasan kreditur lain.
Salah satu alasannya, diantara kreditur lain pekerja mendapatkan posisi
yang paling lemah jika mendapat pelunasan terakhir, dapat dibayangkan mereka
hanya bergantung pada perusahaan ditambah lagi dengan jumlah yang banyak,
12

berapa pekerja yang akan menganggur dan bagaimana Indonesia mengatasi


penambahan jumlah pengangguran. Dengan banyaknya pekerja yang menganggur,
bagaimana Negara menjamin kelangsungan kesejahteraan mereka setelah
pemutusan hubungan kerja. Tidak dipungkiri pekerja merupakan roda penggerak
ekonomi Indonesia, berapa banyak pekerja yang menggatungkan hidup pada
perusahaan yang nantinya menjadi keuntungan.

1. Ditinjau berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang


Cipta Kerja
Undang-Undang Cipta kerja mengubah pasal 95 Undang-undang Nomor 13/2003
menjadi :

1. Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan


ketentuan peraturan perundang-undangan, upah dan hak lainnya yang
belum diterima oleh pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan
pembayarannya.
2. Upah pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan
pembayarannya sebelum pembayaran kepada semua kreditur.
3. Hak lainnya dari pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didahulukan pembayarannya atas semua kreditur kecuali para kreditur
pemegang hak jaminan kebendaan.

2. Ditinjau berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang


kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang

Dalam pasal 39 ayat 2 UU Kepailitan dan Kewajiban Pembayaran Hutang


menyatakan Sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, upah yang
terutang sebelum maupun sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan
merupakan utang harta pailit. Utang harta pailit memiliki pengertian kewajiban
yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang
Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan
13

timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau
undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi
memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan
Debitor. Telah juga disebutkan diatas mengenai utang pailit ini.
Pasal 55 ayat 1 menyebutkan bahwa Dengan tetap memperhatikan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap
Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak
agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak
terjadi kepailitan.

Pasal 138 menyebutkan bahwa Kreditor yang piutangnya dijamin dengan


gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, hak agunan atas kebendaan
lainnya, atau yang mempunyai hak yang diistimewakan atas suatu benda tertentu
dalam harta pailit dan dapat membuktikan bahwa sebagian piutang tersebut
kemungkinan tidak akan dapat dilunasi dari hasil penjualan benda yang menjadi
agunan, dapat meminta diberikan hak-hak yang dimiliki kreditor konkuren atas
bagian piutang tersebut, tanpa mengurangi hak untuk didahulukan atas benda yang
menjadi agunan atas piutangnya.

3. Ditinjau Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945

Pasal 28 D ayat 2 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia

“Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang
adil dan layak dalam hubungan kerja”.

Pasal 28 Undang-undang dasar mengatur mengenai Hak Asasi Manusia,


yang mana dalam pasal 28 Undang-undang dasar melindungi Hak Asasi Manusia
dalam berbagai bidang. Penulis mengambil 28 D ayat 2 karena sangat berkaitan
dengan topic yang dibahas. Dikatakan setiap orang berhak untuk bekerja serta
mendapatkan imbalan. Imbalan disini diatikan sebagai upah yang mana
konsekuensi seorang pekerja yang telah melakukan pekerjaannya sesuai perjanjian
14

kerja. Dan perlakuan adil dan layak dalam hubungan kerja, kata adil dan layak
dapat penulis artikan sebagai penghasilan yang layak karena penulis menyoroti
masalah upah. Penghasilan yang layak merupakan jumlah penerimaan atau
pendapatan Pekerja/Buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi
kebutuhan hidup Pekerja/Buruh dan keluarganya secara wajar. Jadi dapat diambil
kesimpulan bahwa pasal 28 D ayat 2 menerangkan bahwa pekerja yang telah
melakukan pekerjaannya wajib mendapat imbalan berupa upah yang mampu
memenuhi kebutuhan sehari-hari.

4. Ditinjau Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Pasal 1134 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan


bahwa Hak istimewa adalah suatu hak yang diberikan oleh undang-undang kepada
seorang kreditur yang menyebabkan ia berkedudukan lebih tinggi daripada yang
lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutang itu. Gadai dan hipotek lebih tinggi
daripada hak istimewa, kecuali dalam hal undang-undang dengan tegas
menentukan kebalikannya.
Pernyataan diatas dapat diartikan ditujukan untuk kreditur separatis yaitu
kreditur pemegang hak jaminan kebendaan, namun dalam akhir bunyi pasal
menjelaskan kecuali dalam hal undangundang dengan tegas menentukan
kebalikannya. Hal ini jika disoroti lebih lanjut terjadi multi tafsir yaitu dilain sisi
menyatakan bahwa kreditur pemegang jaminan kebendaan didahulukan
pelunasannya, namun dalam undang-undang ketenagakerjaan juga berpendapat
bahwa upah pekerja harus didahulukan diantara kreditur lainnya yang mana
kedudukan pekerja sebagai kreditur konkuren yang mendapatkan hak istimewa
atau privilege untuk didahulukan pelunasannya. Namun merujuk pada pernyataan
berdasarkan sifat piutangnya, sifat piutang pekerja menurut penulis lebih istimewa
daripada kreditur lainnya dilihat dari seberapa penting piutang tersebut bagi
kehidupan kreditur.
15

5. Ditinjau Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomer 36 Tahun 2021


Tentang Pengupahan

Peraturan Pemerintah atau selanjutnya disebut PP nomer 36 Tahun 2021


pasal 49 ayat 1 menyatakan Perusahaan yang dinyatakan pailit atau dilikuidasi
berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan, Upah dan hak lainnya
yang belum diterima oleh Pekerja/Buruh merupakan utang yang didahulukan
pembayarannya.
Peraturan Pemerintah atau selanjutnya disebut PP nomer 36 Tahun 2021
pasal 49 ayat 2 menyatakan Upah Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) didahulukan pembayarannya sebelum pembayaran kepada semua
kreditur.
Peraturan Pemerintah atau selanjutnya disebut PP nomer 36 Tahun 2021
pasal 49 ayat 3 menyatakan Hak lainnya dari Pekerja/Buruh sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya atas semua kreditur kecuali
kepada para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan.
Peraturan Pemerintah atau selanjutnya disebut PP nomer 36 Tahun 2021
pasal 50 menyatakan Apabila Pekerja/Buruh jatuh pailit, Upah dan segala
pembayaran yang timbul dari Hubungan Kerja tidak termasuk dalam kepailitan
kecuali ditetapkan lain oleh hakim dengan ketentuan tidak melebihi 25% (dua
puluh lima persen) dari Upah dan segala pembayaran yang timbul dari Hubungan
Kerja yang harus dibayarkan.
Hal yang disampaikan diatas sama halnya dengan keputusan Mahkamah
Konstitusi yang menyatakan bahwa upah buruh harus didahulukan pembayaranya
daripada kreditur lainnya. Peraturan ini dibuat setelah adanya putusan mahkamah
konstitusi dan undangundang ketenagakerjaan, dimana peraturan ini dibuat
dengan tujuan untuk mempertegas peraturan-peraturan yang lama yang sudah
dibuat sebagai bentuk khusus dalam pembahasan mengenai upah pekerja.
Peraturan ini dapat dijadikan referensi baru dalam merevisi peraturan-peraturan
yang sudah perlu perbaikan sehingga hukum dapat berkembang seiring arus
perkembangan jaman.
16

6. Ditinjau dari Asas Keadilan Undang-Undang Kepailitan

Dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentuan


mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang
berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya Kesewenang-
wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-
masing terhadap Debitor, dengan tidak mempedulikan Kreditor lainnya.
Dalam penjelasan pernyataan asas keadilan bertujuan memenuhi keadilan
bagi semua pihak yang ada dalam proses kepailitan. Meskipun dilihat pada
pernyataan kalimat terakhir yang lebih condong melindungi debitur dari tindak
kesewenangwenangan. Namun menurut penulis hakikat keadilan disini tetaplah
untuk semua pihak baik bagi debitur maupun kreditur untuk menjaga pemenuhan
hak masing-masing secara adil. Bukan berarti pihak debitur tenang-tenang saja
dan lepas tanggung jawab untuk memnuhi haknya namun mereka juga harus
mengusahakan yang terbaik bagi para kreditur, meskipun telah ada kurator untuk
pengurusan harta. Dengan itu berdasarkan prinsip ini pentingnya memberikan
keadilan bagi pekerja dengan membayarkan utangnya berupa upah terlebih dahulu
dengan alasan-alasan manusiawi yang mana mereka kaum yang lebih lemah
dibanding kreditur lain apalagi jika mereka harus berada pada posisi kreditur
konkuren.

7. Ditinjau Dari Prinsip Pari Passu Prorata Parte.


Harta kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditor
& hasilnya harus dibagikan secara proporsional (prorata) antara mereka, kecuali
jika antara para kreditor itu ada yang menurut UU harus didahulukan dalam
menerima pembayaran tagihannya. Prinsip ini menekankan padapembagian harta
debitur untuk melunasi utang-utangnya terhadap kreditur secara lebih berkeadilan
dengan cara sesuai dengan proporsinya dan bukan dengan cara sama rata.
Ketidakadilan pembagian secara paritas creditorium dalam kepailitan akan
muncul ketika harta kekayaan debitur pailit lebih kecil dari jumlah utang-utang
debitur. Seandainya harta kekayaan debitur pailit lebih besar jumlah seluruh
17

utang-utang debitur, maka penerapan prinsip pari passu prorate parte kurang
relevan. Demikian pula penggunaan lembaga hukum kepailitann terhadap debitur
yang memiliki aset lebih besar dari jumlah seluruh utang-utangnya adalah tidak
tepat dan kurang memiliki relevansinya. Sejatinya kepailitan akan terjadi jika
aktiva lebih kecil dari pasiva. Kepailitan adalah sarana untuk mengindari
perebutan harta debitur setelah debitur tidak lagi memiliki kemampuan untuk
membayar utang-utangnya. Sejatinya pula kepailitan digunakan untuk melindungi
kreditur yang lemah terhadap kreditur yang kuat dalam memperebutkan harta
debitur. Sehingga pada hakikinya, prinsip pari passu prorate parte adalah inheren
dengan lembaga kepailitan itu sendiri.

Berdasarkan penjabaran diatas, privilege dalam hukum perjanjian sendiri


diartikan sebagai hak yang didahulukan saat seorang kreditur membutuhkan hak
tersebut. Dan saat perusahaan mengalami pailit, maka semua kreditur akan
berkeinginan untuk hutangnya dilunasi terlebih dahulu. Namun dengan adanya
pembagian kreditur maka prosedur harus dilakukan sesuai dengan kapasitas
kreditur. Sebagai kaum yang lemah dibanding kreditur lain, pekerja sudah
sepantasnya mendapatkan hak privilege itu sendiri bukan sebagai kreditur
preferen lagi namun kreditur diatas kreditur separatis. Bukan karena mengabaikan
hak kreditur lain namun dilihat dari betapa pentingnya upah bagi pekerja,
selayaknya hak upah pekerja didahulukan. Adanya pertentangan antara
UndangUndang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Kepailitan seperti contoh
pasal 55 dan pasal 138 Undang-Undang Kepailitan ini tumpang tindih dengan
pasal 95 ayat 4 Undang-Undang Ketenagakerjaan hal ini menyebabkan
penyelesaian permasalahan ini tidak berjalan dengan baik meskipun sudah ada
peraturan yang tegas mendahulukan kepentingan pekerja yang mana ialah upah.
Opini penulis disini yang mendukung pekerja untuk didahulukan haknya yang
juga menyetujui alasan yang dijabarkan oleh Mahkamah Konstitusi yang
mendukung pekerja dengan alasan mereka kreditur yang lebih lemah dibanding
yang lain. Kemudian berrjalannya sebuah perusahaan tentu tidak lepas dari kerih
payah para pekerjanya, tidak mungkin perusahaan dapat beroperasional tanpa
18

adanya kerja keras pekerja didalamnya. Maka dengan asas saing menguntungkan
inilah bukan hanya diterapkan ketika perusahaan sedang stabil saja namun juga
ketika perusahaan mengalami masalah salah satunya pailit ini, sudah seharusnya
perusahaan mendahulukan komposisi paing penting bagi perusahaannya yaitu hak
pekerja.

B. PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA DI PERUSAHAAN YANG


TELAH DI NYATAKAN PAILIT

Perlindungan bagi pekerja/buruh dapat di klasifikasikan menjadi menjadi


empat macam yakni :

1. Perlindungan secara ekonomi, yang dimana perlindungan pekerja ini dalam


bentuk pengahsilan yang cukup.
2. Perlindungan sosial, yang dimana perlindungan ini dalam bentuk jaminan
kesehatan kerja, dan kebebasan untuk berserikat dan benegosiasi
3. Perlindungan teknik, yaitu perlindungan pekerja dalam bentuk keamaan dan
keselamatan para pekerja.
4. Perlindungan terhadap upah, Perlindungan upah merupakan aspek
perlindungan yang paling penting bagi tenaga kerja.

Bentuk perlindungan pengupahan merupakan tujuan dari pekerja/buruh


dalam melakukan pekerjaan untuk mendapatkan penghasilan yang cukup untuk
membiayai kehidupannya bersama dengan keluarganya, yaitu penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan. Selama pekerja/buruh melakukan pekerjaannya, ia
berhak atas pengupahan yang menjamin kehidupannya bersama dengan
keluarganya. Selama itu memang majikan wajib membayar upah itu. Suatu
hubungan hukum yang selalu lahir baik dari perikatan maupun peraturan perundang-
undangan selalu menyertakan dua aspek yaitu hak dan kewajiban. Menurut Subekti,
perjanjian (overeenkomst) adalah suatu persitiwa dimana seorang berjanji kepada
seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.
Sebagai pekerja/buruh maka hak atas upah yang adil merupakan hak legal yang diterima
19

dan dituntut seseorang sejak para pekerja/buruh mengikatkan diri untuk bekerja
pada suatu perusahaan baik pada perusahaan swasta maupun instansi pemerintah.
Hak dasar tenaga kerja yaitu :

1. Hak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi

2. Hak memperoleh pelatihan kerja

3. Hak Pengakuan Kompetensi dan Kualifikasi Kerja

4. Hak Memilih Penempatan Kerja

5. Hak-Hak Pekerja Perempuan

6. Hak Lamanya Waktu Bekerja

7. Hak Bekerja Lembur

8. Hak Istirahat dan Cuti Bekerja

9. Hak Beribadah

10. Hak Perlindungan Kerja

11. Hak Mendapatkan Upah

12. Hak Kesejahteraan

13. Hak bergabung dengan serikat pekerja

14. Hak Mogok Kerja

15.Hak Uang Pesangon

Pada asasnya, upah tidak dibayar apabila pekerja tidak melaksanakan


pekerjaan.11 Upah yang diterima oleh Pekerja/buruh merupakan bentuk prestasi
dari suatu pengusaha ketika dari buruh itu sendiri telah memberikan suatu prestasi
kepada pengusaha yang dalam hal ini suatu pekerjaan dan jasa yang telah
dilakukan oleh pekerja/buruh tersebut. karena menjadi suatu hak normatif, maka
20

Peraturan Perundang-undangan yang mengatur tentang pengupahan memuat suatu


sanksi bagi pengusaha yang dalam hal ini mengabaikan peraturan perundang-
undangan terkait masalah pengupahan dan perlindungan upah. Jika pengusaha
melanggar peraturan tersebut, maka pengusaha tersebut termasuk dalam tindak
pidana kejahatan. Dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 27 ayat (2)
menjelaskan :

“Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan” .

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang pengupahan,


diatur juga Pembayaran Upah dalam Keadaan Kepailitan :

Pasal 49 ayat :

(1) Perusahaan yang dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan ketentuan


peraturan perundang- undangan, Upah dan hak lainnya yang belum diterima oleh
Pekerja/Buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.

(2) Upah Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan


pembayarannya sebelum pembayaran kepada semua kreditur.

(3 Hak lainnya dari Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


didahulukan pembayarannya atas semua kreditur kecuali kepada para kreditur
pemegang hak jaminan kebendaan.

Salah satu yang menjadi kewajiban seorang majikan, pengusaha, atau pemberi
kerja yaitu memberikan upah kepada pekerja tepat pada waktunya. Adapun di
dalam KUH Perdata ketentuan mengenai kewajiban buruh/pekerja diatur dalam
pasal sebagai berikut : a. Pasal 1603 12Griselda Nadya billy, 2019, “Kewajiban
Pengusaha Dalam Pemberian Upah Minimum Pekerja Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor:72/PUU-XIII/2015”, Jurnal Ilmiah Vol 07 no 04 maret 2019,
Kertha Semay. Buruh wajib melakukan pekerjaan yang diperjanjikan menurut
kemampuannya dengan sebaik-baiknya. Jika sifat dan luasnya pekerjaan yang
21

harus dilakukan tidak dirumuskan dalam perjanjian atau reglemen, maka hal itu
ditentukan oleh kebiasaan.

a. Pasal 1603 a Buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya, hanya dengan


ijin majikan ia dapat menyuruh orang lain menggantikannya.
b. Pasal 1603 b Buruh wajib menaati aturan-aturan pelaksana pekerjaan dan
aturan-aturan yang dimaksudkan untuk perbaikan tata tertib perusahaan
majikan yang diberikan oleh atau atas nama majikan yang diberikan oleh
atau atas nama majikan dalam batas-batas aturan perundang-undangan,
perjanjian atau reglemen, atau jika ini tidak ada, dalam batas-batas
kebiasaan.
c. Pasal 1603 c Buruh yang tinggal menumpang dirumah majikan wajib
berkelakuan menurut tata tertib rumah tangga majikan.
d. Pasal 1603 d Pada umumnya buruh wajib melakukan atau tidak melakukan
segala sesuatu yang dalam keadaan yang sama seharusnya dilakukan atau
tidak dilakukan oleh seorang buruh yang baik.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa


salah satu tujuan utama Negara Indonesia adalah menciptakan suatu kehidupan
berbangsa dan bernegara yang adil dan sejahtera demi mewujudkan suatu keadilan
sosial, dengan cara pemenuhan hak setiap warga negara untuk mendapatkan
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika
ditelusuri sejarah hukum tentang kepailitan, diketahui bahwa hokum tentang
kepailitan itu sendiri sudah ada sejak zaman Romawi. Pada prinsipnya,
pengaturan masalah kepailitan merupakan suatu perwujudan dari pasal 1131 dan
Pasal 1132 KUH Perdata. Istilah kepailitan sering kali masih terasa awam bagi
sebagian orang, walau istilah ini sering digunakan dalam dunia bisnis dan usaha.
Kegiatan usaha perusahaan merupakan kegiatan yang sah menurut hukum, bukan
kegiatan yang melanggar hukum atau bertentangan dengan undang-undang,
ketertiban umum dan kesusilaan. Dengan demikian persoalan kepailitan adalah
persoalan ketidakmampuan untuk membayar utang-utangnya. Perusahaan telah
menjadi salah satu objek pengaturan hukum di Indonesia, sejak zaman kolonial.
Kepailitan merupakan putusan pengadilan. Ketentuan mengenai pemutusan
hubungan kerja karena perusahaan pailit diatur pada pasal 81 butir 42 Undang-
undang nomor 11 Tahun 2020 tentang cipta kerja, yang menyisipkan pasal 154A
pada pasal 154 Undang-undang nomor 1 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Namun secara khusus ketentuan Pasal 1 angka (6) Undang-Undang Kepailitan
menyatakan utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam
jumlah uang, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari
atau kontinen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib
dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk
mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor. Berdasarkan ketentuan

22
23

Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Kepailitan, permohonan pernyataan pailit dapat


diajukan terhadap debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak
membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih,
dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan baik atas permohonannya sendiri
maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditornya. Ada beberapa faktor
penyebab perusahaan pailit, diantaranya adalah tidak mampu menangkap
kebutuhan konsumen, sehingga perusahaan dapat memberikan layanan atau
produk yang diterima pasar, terlalu fokus pada pengembangan produk, sehingga
perusahaan dapat melupakan kebutuhan konsumen, mengalami ketakutan yang
berlebihan, seperti takut bangkrut, takut rugi, takut tidak dapat melayani
konsumen, takut pada ketidakmampuan mengatasi masalah, dan lainnya, berhenti
untuk melakukan inovasi dalam berbisnis, kurang mengamati pergerakan
kompetitor atau pesaing, sehingga akan menyebabkan sebuah perusahaan kalah
bersaing dan tertinggal jauh di belakang, menetapkan harga yang terlalu mahal.
Memang ada beberapa orang percaya bahwa harga mahal akan membuat produk
sebuah perusahaan tampak lebih bagus dan lebih mewah dari aslinya. Namun,
bagaimana jadinya jika ada perusahaan baru yang mengeluarkan produk mirip
dengan barang perusahaan Anda dan menjualnya jauh lebih murah. Maka
kemungkinan perusahaan Anda akan ditinggal konsumen.
24

B. SARAN

Sebagai Direksi yang karena kelalaian dan kesalahannya harus


bertanggung jawab atas Perseroan yang telah dinyatakan pailit yaitu bertanggung
jawab secara tanggung renteng atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari
harta pailit kecuali ia dapat membuktikan bahwa Direksi tersebut tidak harus
bertanggung jawab. Lalu sebagai Kurator tidak dapat menggantikan posisi dari
Direksi sebagai pengurus Perusahaan karena kedudukan Kurator dalam hal
kepailitan dari suatu Perusahaan sebatas mengurus dan membereskan harta pailit.
Sebagai Kurator haruslah teliti dalam menentukan para Kreditur dari Perseroan
pailit, karena nantinya hal ini sangat berguna dalam hal pembagian harta pailit
yang adil kepada seluruh para Kreditur sehingga tidak ada lagi menimbulkan
suatu permasalahan baru yang akan menimpa seorang Kurator. Harus adanya
suatu lembaga penyanderaan yaitu lembaga Gijzeling atau yang sering disebut
lembaga pemaksaan (paksa badan) terhadap perusahaan yang telah dinyatakan
pailit untuk mengantisipasi jika pada kemudian hari semua utang perusahaan tidak
tertutupi maka lembaga tersebut dapat mencari kesalahan-kesalahan yang
ditimbulkan oleh salah satu Organ Perseroan seperti Direksi dari suatu perusahaan
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

http://scholar.unand.ac.id/16961/3/BAB%204%20Penutup.pdf

jono,S.H.2013.Hukum Kepailitan.jakarta.sinar grafika

https://yuridis.id/isi-bunyi-pasal-1603-a-kuhperdata-kitab-undang-undang-
hukum-perdata/

https://learning.hukumonline.com/wp-content/uploads/2021/03/Peraturan-
Pemerintah-Nomor-36-tahun-2021-tentang-Pengupahan.pdf

https://mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=10193

https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/161909/pp-no-36-tahun-2021

richard burton simatupang,S.M.2018.aspek hokum dalam bisnis.jakarta

25

Anda mungkin juga menyukai