Anda di halaman 1dari 18

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Perkembangan perekonomian global membawa pengaruh terhadap perkembangan hukum
terutama hukum ekonomi. Erman Radjagukguk menyebutkan bahwa globalisasi hukum akan
menyebabkan peraturan-peraturan Negara-negara berkembang mengenai investasi,perdagangan, jasa-
jasa dan bidang perekonomian lainnya mendekati Negara-negara maju. (Convergency).

Dalam rangka menyesuaikan dengan perekonomian global, Indonesia melakukan revisi terhadap
seluruh hukum ekonominya.Namun demikian tidak dapat disangkal bahwa perubahan terhadap hukum
ekonomi Indonesia dilakukan juga karena tekanan dari badan-badan dunia seperti WTO, IMF dan
World Bank. Bidang hukum yang mengalami revisi antara lain adalah hukum kepailitan. Hukum
kepailitan sendiri merupakan warisan dari pemerintahan Kolonial Belanda yang notabenenya bercorak
sistem hukum Eropa Kontinental. Di Indonesia saat ini dalam hukum ekonomi mendapat pengaruh yang
cukup kuat dari sistem hukum Anglo Saxon.

Kepailitan dapat terjadi karena makin pesatnya perkembangan perekonomian dan perdagangan
dimana muncul berbagai macam permasalahan utang piutang yang timbul dalam masyarakat. Begitu
juga dengan krisis moneter yang terjadi di Indonesia telah memberikan dampak yang tidak
menguntungkan terhadap perekonomian nasional sehingga menimbulkan kesulitas besar terhadap dunia
usaha dalam menyelesaikan utang piutang untuk meneruskan kegiatan usahanya.

Mempelajari perkembangan hukum kepailitan yang berlaku di Indonesia tidak terlepas dari
kondisi perekonomian nasional khususnya yang terjadi pada pertengahan tahun 1997. Dari sisi ekonomi
patut disimak data yang dikemukakan oleh Lembaga Konsultan (think tank) Econit Advisory Group,
yang menyatakan bahwa tahun 1997 merupakan ‘Tahun Ketidak pastian” (A Year of Uncertainty).
Sementara itu, Tahun 1998 merupakan “Tahun Koreksi” (A Year of Correction). Pada pertengahan
tahun 1997 terjadi depresiasi secara drastis nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, khususnya US
$ dari sekitar Rp. 2.300,00 pada sekitar bulan Maret menjadi sekitar Rp. 5.000,00 per US $ pada akhir
tahun 1997. Bahkan pada pertengahan tahun 1998 nilai tukar rupiah sempat menyentuh Rp. 16.000,00
per US $. Kondisi perekonomian ini mengakibatkan keterpurukan terhadap pertumbuhan ekonomi yang
sebelumnya positif sekitar 6-7 % telah terkontraksi menjadi minus 13-14 %. Tingkat inflasi meningkat
dari di bawah 10 % menjadi sekitar 70 %. Banyak perusahaan yang kesulitan membayar kewajiban

1
utangnya terhadap para kreditor dan lebih jauh lagi banyak perusahaan mengalami kebangkrutan
(Pailit).

Bila diteliti lebih jauh tentang hukum kepailitan di Indonesia yang tidak mengatur tentang adanya
kemungkinan untuk melakukan reorganisasi perusahaan, sesungguhnya lembaga reorganisasai
perusahaan ini mirip dengan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Suspension of Payment,
Surseance van Betaling (selanjutnya disingkat PKPU). PKPU dalam UU NO. 4 Tahun 1998 diatur
dalam Bab ke dua mulai Pasal 212 sampai dengan Pasal 279.

PKPU dilakukan bukan berdasarkan pada keadaan dimana debitur tidak mampu membayar
utangnya dan juga tidak bertujuan dilakukannya pemberesan terhadap harta kekayaan debitur (likuidasi
harta pailit).

PKPU adalah wahana Juridis Ekonomis yang disediakan bagi debitur untuk menyelesaikan
kesulitan finansialnya agar dapat melanjutkan kehidupannya. Sesungguhnya PKPU adalah suatu cara
untuk menghindari kepailitan yang lazimnya bermuara pada likuidasi harta kekayaan debitur. Bagi
perusahaan, PKPU bertujuan memperbaiki keadaan ekonomis dan kemampuan debitur membuat laba.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa PKPU bertujuan menjaga jangan sampai debitur, yang
karena suatu keadaan semisal keadaan tidak likuid dan sulit mendapat kredit dinyatakan pailit,
sedangkan kalau debitur tersebut diberi waktu dan kesempatan, besar harapan ia akan dapat membayar
utangnya. Putusan pailit dalam keadaan tersebut di atas akan berakibat pengurangan nilai perusahaan
dan ini akan merugikan para kreditur. Fred B.G. Tumbuan, Pokok-Pokok Penyempurnaan Aturan
Tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Makalah disampaikan dalam Lokakarya Undang-
undang Kepailitan, Jakarta, 3 –14 Agustus 1998.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Bertolak dari kerangka dasar berfikir sebagaimana diuraikan pada bagian latar belakang, maka
permasalahan yang akan diangkat dalam makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Kepailitan dan Penundaan Pembayaran

1.3 TUJUAN
Adapun maksud dan tujuan dari penyusunan makalah ini, yaitu :

1. Untuk memeuhi tugas mata kuliah Hukum Bisnis.


2. Untuk mengetahui konsep Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
3. Untuk mengetahui proses dijatuhkannya putusan pailit.

2
1.4 METODOLOGI PENELITIAN
Dalam penulisan ini penulis menggunakan metode/cara pengumpulan data atau informasi melalui
Penelitian kepustakaan ( Library Research ) yaitu penelitian yang dilakukan melalui studi literature,
internet, dan sebagainya yang sesuai atau yang ada relevansinya dengan masalah yang dibahas.

3
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 KEPAILITAN
Kepailitan perusahaan merupakan suatu fenomena hukum perseroan yang sering sangat ditakuti,
baik oleh pemilik perusahaan atau oleh manajemennya. Karena dengan kepailitan perusahaan, berarti
perusahaan tersebut telah gagal dalam membayar hutang – hutangnya.

2.1.1 PENGERTIAN DAN SYARAT – SYARAT KEPAILITAN


Dalam pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Undang-undang Kepailitan dan PKPU), “kepailitan”
diartikan sebagai sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya
dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Menurut kamus, pailit berarti
“bangkrut” atau “jatuh miskin”. Dengan demikian maka kepailitan adalah keadaan atau kondisi dimana
seseorang atau badan hukum tidak mampu lagi membayar kewajibannya (Dalam hal ini utangnya)
kepada si piutang.
Tampak bahwa inti kepailitan adalah sita umum (beslaang ) atas kekayaan debitor. Maksud dari
penyitaan agar semua kreditor mendapat pembayaran yang seimbang dari hasil pengelolaan asset yang
disita. Dimana asset yang disita dikelola atau yang disebut pengurusan dan pemberesan dilakukan oleh
Kurator.
Dalam hal terjadi kepailitan, yaitu Debitur tidak dapat membayar utangnya, maka jika Debitur
tersebut hanya memiliki satu orang Kreditur dan Debitur tidak mau membayar utangnya secara
sukarela, maka Kreditur dapat menggugat Debitur ke Pengadilan Negeri dan seluruh harta Debitur
menjadi sumber pelunasan utangnya kepada Kreditur. Namun, dalam hal Debitur memiliki lebih dari
satu Kreditur dan harta kekayaan Debitur tidak cukup untuk melunasi semua utang kepada para
Kreditur, maka akan timbul persoalan dimana para Kreditur akan berlomba-lomba dengan segala
macam cara untuk mendapatkan pelunasan piutangnya terlebih dahulu. Kreditur yang belakangan
datang kemungkinan sudah tidak mendapatkan lagi pembayaran karena harta Debitur sudah habis.
Kondisi ini tentu sangat tidak adil dan merugikan Kreditur yang tidak menerima pelunasan. Karena
alasan itulah, muncul lembaga kepailitan dalam hukum. Lembaga hukum kepailitan muncul untuk
mengatur tata cara yang adil mengenai pembayaran tagihan-tagihan para Kreditur dengan berpedoman
pada KUHPer, terutama pasal 1131 dan 1132, maupun Undang-undang Kepailitan dan PKPU.
Pasal 1131 KUHPer: “Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang
sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan perorangan debitur itu.”
4
Pasal 1132 KUHPer: “Barang-barang itu menjadi jaminan bersama bagi semua kreditur
terhadapnya; hasil penjualan barang-barang itu dibagi menurut perbandingan piutang masing-masing
kecuali bila di antara para kreditur itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan.”
Dari dua pasal tersebut, dapat kita simpulkan bahwa pada prinsipnya pada setiap individu
memiliki harta kekayaan yang pada sisi positif di sebut kebendaan dan pada sisi negatif disebut
perikatan. Kebendaan yang dimiliki individu tersebut akan digunakan untuk memenuhi setiap
perikatannya yang merupakan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan.
Mekanisme hukum kepailitan, konsep utang sangat menentukan, karena tanpa adanya utang,
kepailitan kehilangan esensinya sebagai pranata hukum untuk melikuidasi harta kekayaan debitor guna
membayar utang-utangnya kepada para kreditornya. Secara sederhana, utang adalah uang yang
dipinjam dari orang lain; kewajiban membayar kembali apa yang sudah diterima. Namun secara khusus
ketentuan Pasal 1 angka (6) Undang-Undang Kepailitan menyatakan utang adalah kewajiban yang
dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik secara langsung maupun yang akan timbul
di kemudian hari atau kontinen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib
dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat
pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.
Undang-Undang Kepailitan mengartikan utang secara luas, sehingga utang bukan hanya yang
timbul dari perjanjian pinjam-meminjam uang saja. Pengertian utang dalam Undang-Undang Kepailitan
yang demikian luas tersebut, mengakibatkan wanprestasi yang seharusnya diselesaikan melalui
mekanisme hukum perjanjiandapat dialihkan penyelesaiannya melalui mekanisme hukum kepailitan,
karena wanprestasi dalam hukum perjanjian dapat dianggap sebagai utang dalam hukum kepailitan. Hal
ini terjadi karena selain persoalan pengertian utang yang begitu luas juga disertai dengan begitu
longgarnya persyaratan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit yang tidak menegaskan
keadaan utang mana saja yang dapat dijadikan sebagai dasar pengajuan permohonan pernyataan pailit.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan kepailitan adalah suatu sitaan umum yang dijatuhkan
oleh pengadilan khusus, dengan adanya permohonan khusus, atas seluruh aset debitur ( badan hukum
atau orang pribadi ) yang mempunyai lebih dari 1 ( satu ) hutang/kreditur dimana debitur dalam keadaan
berhenti membayar hutang – hutangnya, sehingga debitur segera membayar hutang – hutangnya
tersebut.
Syarat Kepailitan dijelaskan dalam Pasal 2 ayat ( 1 ) UUK : “Debitor yang mempunyai dua atau
lebih kreditor dan tidak mambayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,
dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas
permohonan satu atau lebih kreditornya.”

5
Menurut pasal 2 ayat (1) Undang-undang Kepailitan dan PKPU di atas, supaya pasal 1131 dan
1132 KUHP berlaku sebagai jaminan pelunasan utang Kreditur, maka pernyataan pailit tersebut harus
dilakukan dengan putusan Pengadilan yang terlebih dahulu dimohonkan kepada Pengadilan Niaga.
Menurut Gunawan Widjaja, maksud dari permohonan dan putusan pailit tersebut kepada Pengadilan
adalah untuk memenuhi asas publisitas dari keadaan tidak mampu membayar Debitur. Asas tersebut
dimaksudkan untuk memberitahukan kepada khalayak umum bahwa Debitur dalam keadaan tidak
mampu membayar, dan hal tersebut memberi kesempatan kepada Kreditur lain yang berkepentingan
untuk melakukan tindakan.
Agar seorang debitur dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini Pengadilan Niaga,
maka berbagai persyaratan yuridis harus dipentingkan.
Persyaratan – persyaratan tersebut adalah sebagai berikut :
a. Debitur tersebut haruslah mempunyai lebih dari satu hutang.
b. Minimal satu hutang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih.
c. Permohonan pailit dimintakan oleh pihak yang memberikan kewenangan untuk itu, yaitu
pihak – pihak sebagai berikut :
1. Pihak debitur.
2. Pihak kreditur.
3. Pihak jaksa ( untuk kepentingan umum ).
4. Bank Indonesia, jika debiturnya adalah Bank.
5. Bapepam, jika debiturnya adalah perusahaan Efek, Bursa Efek Lembaga Kliring dan
Penjaminnya, dan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
6. Menteri Keuangan, jika debiturnya adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi,
Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dalam bidang kepentingan
publik.

2.1.2 DASAR HUKUM KEPAILITAN


Semula lembaga hukum kepailitan diatur undang-undang tentang Kepailitan dalam
Faillissements-verordening Staatsblad 1905:217 juncto Staatsblad 1906:348. Karena perkembangan
perekonomian dan perdagangan serta pengaruh globalisasi, serta modal yang dimiliki oleh para
pengusaha umumnya berupa pinjaman yang berasal dari berbagai sumber, undang-undang tersebut telah
menimbulkan banyak kesulitan dalam penyelesaian utang-piutang. Penyelesaian utang-piutang juga
bertambah rumit sejak terjadinya berbagai krisis keuangan yang merembet secara global dan
memberikan pengaruh tidak menguntungkan terhadap perekonomian nasional. Kondisi tidak
menguntungkan ini telah menimbulkan kesulitan besar terhadap dunia usaha dalam menyelesaikan
utang piutang untuk meneruskan kegiatannya. Undang-undang tentang Kepailitan (Faillissements
6
verordening, Staatsblad 1905:217 juncto Staatsblad 1906:348), sebab itu, telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang tentang Kepailitan, yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang berdasarkan Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1998. Perubahan tersebut juga ternyata belum memenuhi perkembangan dan
kebutuhan hukum di masyarakat, sehingga pada tahun 2004 pemerintah memperbaikinya lagi dengan
Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang (Undang-undang Kepailitan dan PKPU). Dan juga adapun BW secara umum khususnya pasal
1131 sampai dengan 1134.

2.1.3 PROSEDUR KEPAILITAN


Setelah permohonan pailit dikabulkan oleh hakim, maka segera diangkat pihak – pihak sebagai
berikut :
a. Panitia kreditur jika diperlukan.
b. Seorang atau lebih kurator.
c. Seorang hakim pengawas.

Kepailitan atas debitur tersebut baru akan berakhir manakala :

a. Setelah adanya akoord ( perdamaian ) yang telah dinegosiasikan.


b. Setelah insolvensi dan pembagian.
c. Atas saran kurator karena harta debitur tidak ada atau tidak cukup.
d. Dicabutnya kepailitan atas anjuran hakim pengawas.
e. Jika putusan pailit dibatalkan di tingkat kasasi atau peninjauan kembali.
f. Jika seluruh hutang dibayar lunas oleh debitur.

Prosedur beracara untuk kepailitan adalah di pengadilan khusus, yaitu di Pengadilan Niaga
dengan tata cara dan prosedur yang khusus pula. Tata cara berperkara dengan prosedur khusus tersebut
pada prinsipnya menyimpang dari prosedur hukum acara yang umum. Akan tetapi, jika tidak diatur
secara khusus dalam hukum acara kepailitan tersebut, maka yang berlaku adalah hukum acara perdata
yang umum.

Adapun yang merupakan kekhususan dari hukum acara kepailitan dibandingkan dengan hukum
acara perdata yang umum adalah sebagai berikut

a. Ditingkat pertama, hanya pengadilan khusus yang berwenang, yaitu Pengadilan Niaga.
b. Adanya hakim – hakim khusus di Pengadilan Niaga.
c. Jangka waktu berperkara yang singkat dan tegas.
d. Prosedur perkara dan pembuktian simpel.
7
e. Tidak mengenal upaya banding, tetapi langsung kasasi dan peninjauan kembali ke
Mahkamah Agung.
f. Adanya badan – badan khusus yang hanya berhak mengajukan permohonan pailit untuk
perusahaan tertentu. Misalnya Bank Indonesia jika termohon pailit adalah Bank, atau
Bapepam jika termohon pailit adalah perusahaan Efek.
g. Adanya lebaga hakim pengawas, panitia kreditur, dan kurator.
h. Prinsip “presumsi mengetahui” ( presumption of knowledge ) dan asas pembuktian terbalik
terhadap pengalihan debitur dalam hal – hal tertentu ( dalam hal terjadinya actio pauiana ).
i. Penangguhan hak eksekusi ( stay ) dari pemegang hak jaminan.
j. Prinsip verplichte procurer stelling ( para pihak wajib diwakili oleh advokat ).

Garis besar dari keseluruhan proses kepailitan adalah sebagai berikut :

a. Pengajuan permohonan pailit.


b. Pemeriksaan perkara dan pembuktian sederhana di Pengadilan Niaga.
c. Putusan pailit.
d. Penunjukan kurator.
e. Mulai berlaku tundaan eksekusi jaminan hutang.
f. Putusan pailit berkekuatan tetap.
g. Mulai dilakukan veritifikasi piutang.
h. Dicapai komposisi.
i. Pengadilan memberikan homologasi, yakni mengesahkan perdamaian tersebut.
j. Atau dinyatakan insolvensi.
k. Dilakukan pemberesan.
l. Kepailitan berakhir.
m. Dilakukan rehabilitasi.

2.1.4 ASAS UTAMA UNDANG – UNDANG KEPAILITAN


1) Cepat

Proses kepailitan lebih sering digunakan oleh pelaku usaha, sehingga memerlukan keputusan
yang cepat.

2) Adil

Melindungi kreditur dan debitur yang beritikad baik serta pihak ketiga yang tergantung dengan
usaha debitur.

8
3) Terbuka

Keadaan insolven suatu badan hukum harus diketahui oleh masyarakat sehingga tidak akan
menimbulkan efek yang negative dikemudian hari, dan mencegah debitur yang beritikad buruk untuk
mendapatkan dana dari masyarakt dengan cara menipu.

4) Efektif

Keputusan pengadilan harus dapat dieksekusi dengan cepat, baik keputusan penolakan
permohonan pailit, keputusan pailit, keputusan perdamaian ataupun keputusan PKPU.

2.1.5 FUNGSI UNDANG UNDANG KEPAILITAN


Adapun fungsi dari Undang –Undang kepailitan di Indonesia adalah sebagai berikut :

1. Mengatur tingkat Prioritas dan urutan masing-masing piutang para kreditor.


2. Mengatur tata cara agar seorang debitur dapat dinyatakan pailit.
3. Mengatur tata cara menentukan kebenaran mengenai adanya suatu piutan kreditur.
4. Mengatur mengenai sahnya piutang atau tagihan.
5. Mengatur mengenai jumlah yang pasti dari piutang.
6. Mengatur bagaimana cara membagi hasil penjualan harta kekayaan debitur untuk pelunasan
piutang masing-masing kreditur berdasarkan urutan tingkat prioritasnya.
7. Untuk eksekusi sita umum oleh pengadilan terhadap harta debitur sebelum pembagian hasil
penjualan.
8. Mengatur upaya perdamaian yang ditempuh oleh debitur dengan keditur sebelum pernyataan
pailit dan sesudah pernyatan pailit.

2.1.6 TUJUAN HUKUM KEPAILITAN


Tujuan hukum kepailitan adalah sebagai berikut.

1. Agar debitur tidak membayar utangnya dengan sukarela walaupun telah ada putusan pengadilan
yang menghukumnya supaya melunasi utangnya, atau karena tidak mampu untuk membayar
seluruh hutangnya, maka seluruh harta bendanya disita untuk dijual dan hasil penjualan itu
dibagi-bagikan kepada semua krediturnya menurut besar kecilnya piutang masing-masing,
kecuali ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan;
2. untuk menghindarkan kreditur pada waktu bersamaan meminta pembayaran kembali
piutangnya dari si debitur;

9
3. Menghindari adanya kreditur yang ingin mendapatkan hak istimewa yang menuntut hak-
haknya dengan cara menjual sendiri barang milik debitur, tanpa memperhatikan kepentingan
kreditur lainnya;
4. Menghindarkan kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh si debitur sendiri, misalnya
debitur melarikan atau menghilangkan semua harta kekayaannya dengan maksud melepaskan
tanggung jawabnya terhadap para kreditur, debitur menyembunyikan harta kekayaannya,
sehingga para kreditur tidak akan mendapatkan apa-apa.
5. Menghukum pengurus yang karena kesalahannya telah mengakibatkan perusahaannya
mengalami keadaan keuangan yang buruk sehingga perusahaan mengalami keadaan insolvensi.

2.1.7 AKIBAT KEPAILITAN


1. Kepailitan meliputi seluruh harta kekayaan debitur pada saat pernyataan pailit diucapkan serta
segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Kecuali tempat tidur, pakaian, alat-alat
pertukangan, buku-buku yang diperlukan dalam pekerjaan,makanan dan minuman untuk satu
bulan, alimentasi atau uang yang diterima dari pendapatan anak-anaknya.
2. Debitur demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus harta kekayaannya
yang termasuk dalam harta pailit. Sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan ( sejak
pukul 00.00 waktu setempat ).
3. Kepailitan hanya mengenai harta pailit dan tidak mengenai diri pribadi debitur pailit.
4. Harta pailit diurus dan dikuasai curator untuk kepentingan semua kreditur dan debitur. Hakim
pengawas memimpin dan mengawasi pelaksanaan jalannya kepailitan.
5. tuntutan dan gugatan mengenai hak dan kewajiban harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap
Kurator.
6. Segala perbuatan debitur yang dilakukan sebelum dinyatakan pailit, apabila dapat dibuktikan
bahwa perbuatan tersebut secara sadar dilakukan debitur untuk merugikan kreditur maka dapat
dibatalkan oleh curator atau kreditur atau gugatan yang diajukan curator demi menyelamatkan
keutuhan harta pailit demi kepentingan kreditur (Actio Pauliana ).
7. Hibah dapat dibatalkan sepanjang merugikan harta kepailitan ( boedel pailit ). Misal
penghibahan 40 hari menjelang kepailitan dianggap dibuat untuk merugikan para kreditur.
8. Perikatan selama kepailitan yang dilakukan debitur apabila perikatan tersebut menguntungkan
bisa diteruskan. Namun apabila perikatan tersebut dapat merugikan, maka kerugian sepenuhnya
ditanggung oleh debitur secara pribadi atau perikatan tersebut dapat dimintakan pembatalan.
9. Kepailitan suami atau istri yang kawin dalam satu persatuan harta, diperlakukan sebagai
kepailitan persatuan harta tersebut.

10
2.2 PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) diajukan oleh debitur yang mempunyai satu
kreditur atau oleh kreditur. Debitur yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan
membayar utang-utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat memohon PKPU dengan
maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau
seluruh utang kepada kreditur.

Kreditur yang memperkirakan bahwa debitur tidak dapat melanjutkan membayar utangnya yang
sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat memohon agar kepada debitur diberi PKPU, untuk
memungkinkan debitur mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian
atau seluruh utang kepada krediturnya.

2.2.1 AKIBAT ADANYA PENUNDAAN KEWAJIBAN


PEMBAYARAN UTANG
Akibat adanya PKPU adalah :

a. Debitortidak dapat melakukan tindakan kepengurusan atau memudahkan hak atas


sesuatu bagian dari hartanya, jika debitor melanggarpengurus berhak melakukan segala
sesuatu untuk memastikan bahwa harta debitor tidak dirugikan karena tindakan debitor
tersebut.
b. Debitor tidak dapat dipaksa membayar utang-utangnya dan semua tindakan eksekusi
yang telah dimulai guna mendapatkan pelunasanutang, harus ditangguhkan.
c. Debitor berhak membayar utangnya kepada semua kreditor bersama sama menurut
sumbangan piutang masing-masing.
d. Semua sitaan yang telah dipasang berakhir.

Debitor yang tidak dapat memperkirakan bahwa ia tidak dapat melanjutkan membayar utang-
utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran
utang, dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran
seluruh atau sebagian utang kepada para kreditor. Permohonan penundaan pembayaran itu harus
diajukan oleh debitor atau kreditor kepada pengadilan dan oleh penasihat hukumnya, disertai dengan
daftaryang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang debitor beserta surat bukti secukupnya. Surat

11
permohonan dan lampiran tersebut diletakkan di Kepaniteraan Pengadilan agar dapat dilihat oleh semua
pihak yang berkepentingan.

Pada hakekatnya tujuan PKPU adalah untuk perdamaian. Fungsi perdamaian dalam proses PKPU
sangat penting artinya, bahkan merupakan tujuan utama bagi si debitor, dimana si debitor sebagai orang
yang paling mengetahui keberadaan perusahaan, bagaimana keberadaan perusahaannya ke depan baik
potensi maupun kesulitan membayar utang-utangnya dari kemungkinan-kemungkinan masih dapat
bangkit kembali dari jeratan utang-utang terhadap sekalian kreditornya. Oleh karenanya langkah-
langkah perdamaian ini adalah untuk menyusun suatu strategi baru bagi si debitor menjadi sangat
penting. Namun karena faktor kesulitan pembayaran utang-utang yang mungkin segera jatuh tempo
yang mana sementara belum dapat diselesaikan membuat si debitor terpaksa membuat suatu konsep
perdamaian, yang mana konsep ini nantinya akan ditawarkan kepada pihak kreditor, dengan demikian
si debitor masih dapat nantinya, tentu saja jika perdamaian ini disetujui oleh para kreditor untuk
meneruskan berjalannya perusahaan si debitor tersebut.

Dengan kata lain tujuan akhir dari PKPU ini ialah dapat tercapainya perdamaian antara debitor
dan seluruh kreditor dari rencana perdamaian yang diajukan/ditawarkan si debitor tersebut. Apabila
rencana perdamaian tidak tercapai atau Pengadilan menolak rencana perdamaian, maka Pengadilan
wajib menyatakan Debitor dalam Keadaan Pailit. Pengadilan dapat menolak rencana perdamaian
karena.

1. Harta Debitor, termasuk benda untuk mana dilaksanakan hak untuk menahan benda, jauh
lebih besar dari pada jumlah yang disetujui dalam perdamaian.
2. Pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin.
3. Perdamaian itu dicapai karena penipuan, atau persengkokolan dengan satu atau lebih
kreditor, atau karena pemakaian upaya lain yang tidak jujur dan tanpa menghiraukan apakah
debitor atau pihak lain bekerja sama untuk mencapai hal ini.
4. Imbalan jasa dan biaya dikeluarkan oleh ahli dan pengurus belum dibayar atau tidak
diberikan jaminan untuk pembayaran.

PKPU pada dasarnya, hanya berlaku atau ditujukan pada para kreditor konkuren saja. Walaupun
dalam Undang-undang No.37 Tahun 2004 pada Pasal 222 ayat (2) tidak disebut lagi perihal kreditor
konkuren sebagaimana halnya Undang-undang No. 4 Tahun 1998 pada Pasal 212 jelas menyebutkan
bahwa debitor yang tidak dapat atau memperkirakan bahwa ia tidak akan dapat melanjutkan membayar
utang-utangnya yang sudah jatuhtempo dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban
pembayaran utang, dengan maksud pada umumnya untuk mengajukan rencana perdamaian yang
meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditor konkuren. Namun pada Pasal

12
244 Undang-undang No. 37 Tahun 2004 disebutkan : "Dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal
246, penundaan kewajiban pembayaran utang tidak berlaku terhadap :

a. Tagihan yang dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak
agunan atas kebendaan lainnya.
b. Tagihan biaya pemeliharaan, pengawasan atau pendidikan yang sudah harus dibayar dan
hakim pengawas harus menentukan jumlah tagihan yang sudah ada dan belum dibayar
sebelum penundaan kewajiban pembayaran utang yang bukan merupakan tagihan dengan
hak untuk diistimewakan.
c. Tagihan yang diistimewakan terhadap benda tertentu milik debitor maupun terhadap seluruh
harta debitor yang tidak tercakup pada point b.

Sejak diundangkannya Undang-Undang Kepailitan, maka pengadilan yang berhak memutus


pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang adalah Pengadilan Niaga yang berada di
lingkungan Peradilan Umum. Untuk pertama kalinya Pengadilan Niaga yang dibentuk adalah
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hukum acara yang dipakai pada Pengadilan
Niaga ini adalah hukum acara perdata yang umum berlaku pada Pengadilan Umum. Atas putusan
Pengadilan Niaga hanya dapat diajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung.

Selanjutnya atas putusan Pengadilan Niaga yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
tersebut tetap dapat diajukan upaya hukum lain yaitu Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung dengan
syarat :

- Terdapat bukti tertulis baru;

- Pengadilan Niaga telah melakukan kesalahan berat dalam Penetapan hukumnya.

Putusan atas permohonan peninjauan kembali harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk
umum yang harus diputus dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal
permohonan diterima panitera Mahkamah Agung.

Hakim Pengadilan Niaga diangka berdasarkan surat keputusan Ketua Mahkamah Agung dan
harus mempunyai syarat-syarat yang telah ditentukan, yaitu sebagai berikut.

a. Telah berpengalaman sebagai hakim dalam lingkungan Peradilan Umum;


b. Mempunyai dedikasi dan menguasai pengetahuan di bidang masalah-masalah yang
mengenai lingkup kewenangan Pengadilan Niaga;
c. Berwibawa, jujur dan berkelakuan tidak tercela.

13
d. Telah berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus sebagai hakim pada Pengadilan
Niaga.

2.2.2 PROSEDUR PERMOHONAN PKPU


Selanjutnya, prosedur permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang tersebut
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Kepailitan adalah sebagai berikut :

1. Setelah pengadilan menerima permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang, dalam


jangka waktu paling lambat tiga hari pengadilan harus mengabulkan permohonan untuk
sementara dengan memberikan izin penundaan pembayaran.
2. Seiring dengan pemberian izin sementara ini, pengadilan akan mengangkat Hakim Pengawas
dan seorang atau lebih pengurus yang bersama-sama debitor akan mengurus kepentingan
debitor dan kreditornya.
3. Pengurus wajib segera mengumumkan putusan penundaan kewajiban pembayaran utang
sementara dalam Berita NegaraRepublik Indonesia, dan paling sedikit dalam dua surat
kabarharian yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas, dan pengumuman tersebut harus memuat
undangan untuk hadir dalam persidangan yang merupakan rapat permusyawaratan hakim
berikut tanggal, tempat, dan waktu sidang tersebut, nama Hakim Pengawas, dan nama serta
alamat pengurus.
4. Hakim Pengadilan paling lambat 45 hari melalui para kreditor, debitor dan pengurus
diadakan sidang.
5. Dalam sidang tersebut akan diadakan pemungutan suara (jika perlu) untuk memutuskan
apakah penundaan kewajiban pembayaran utang tersebut dikabulkan atau ditolak.
Berdasarkan hasil pemungutan suara inilah pengadilan akan dapat memutuskan secara
definitif (tetap) terhadap permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang.
a. Permohonan penundaan pembayaran utang akan dikabulkan atau ditetapkan apabila
disetujui lebih dari seperdua kreditor konkuren yang hadir dan mewakili paling sedikit
dua pertiga bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau yang sementara diakui dari
kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam sidang tersebut. Dan persetujuan lebih
dari seperdua jumlah kreditor yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia,
hak tanggungan, hipotek, atau agunan atas kebendaan lainnya yang hadir sedikitnya dua
pertiga bagian dari seluruh tagihan kreditor atau kuasanya yang hadir dalam sidang
tersebut.
b. Permohonan penundaan pembayaran utang tidak akan dikabulkan apabila:

14
1. Adanya alasan yang mengkhawatirkan bahwa debitor selama penundaan
pembayaran akan mencoba merugikan kreditor-kreditornya.
2. Apabila tidak ada harapan bagi debitor selama penundaan kewajiban pembayaran
utang dan setelah itu,untuk memenuhi kewajibannya kepada kreditor.
6. Setelah pengadilan mengabulkan penundaan kewajiban pembayaran utang, panitera
pengadilan wajib mengadakan daftar umum perkara penundaan kewajiban pembayaran utang
dengan mencantumkan untuk setiap penundaan kewajiban pembayaran utang, di antaranya:
a. Tanggal putusan penundaankewajiban pembayaran utang sementara dan tetap berikut
perpanjangannya.
b. Kutipan putusan pengadilan yang menetapkan penundaan kewajiban pembayaran utang
sementara maupun tetap dan perpanjangannya.
c. Nama hakim pengawas dan pengurus yang diangkat.
d. Ringkasan isi perdamaian danpengesahan perdamaian tersebutoleh pengadilan.
e. Pengakhiran perdamaian.
7. Dalam putusan hakim yang mengabulkan penundaan kewajiban pembayaran utang tetap
(definitif) tersebut, ditetapkan pula lamanya waku penundaan kewajiban pembayaran utang
paling lama 270 hari terhitung sejak penundaan kewajiban pembayaran utang sementara
tetapkan.

Sepanjang jangka waktu yang ditetapkan untuk penundaan pembayaran, atas permintaan
pengurus, kreditor, hakim pengawas atau atau prakarsa pengadilan, penundaan kewajiban pembayaran
utang dapat diakhiri dengan alasan-alasan sebagaimana diatur dalam Pasal 255 UU No. 37 Tahun 2002,
berikut ini.

1. Debitor selama waktu penundaan kewajiban pembayaran utang bertindak dengan itikad tidak
baik dalam melakukan pengurusan terhadap hartanya.
2. Debitor mencoba merugikan para kreditornya.
3. Debitor tidak dapat melakukan tindakan kepengurusan atau memindahkan hak atas sesuatu
bagian dari hartanya.
4. Debitor lalai melakukan kewajiban yang ditentukan oleh pengadilan dan yang disyaratkan
oleh pengurus.
5. Keadaan harta debitor selama penundaan pembayaran tidak memungkinkan lagi bagi debitor
untuk melakukan kewajibannya pada waktunya.

15
Dengan dicabutnya penundaan kewajiban pembayaran utang, hakim dapat menetapkan si debitor
dalam keadaan pailit sehingga ketentuan kepailitan berlaku bagi si debitor. Debitor yang memohon
penundaan kewajiban pembayaran utang dapat mengajukan rencana perdamaian melalui peradilan.

Perdamaian itu diajukan pada saat atau setelah mengajukan permohonan penundaan kewajiban

pembayaran utang. Hal ini berbeda dengan perdamaian pada kepailitan, yaitu sebagai berikut:

1. Dari segi waktu, akor penundaan pembayaran diajukan pada saat atau setelah permohonan
penundaan pembayaran, sedangkan akor pada kepailitan diajukan setelah adanya putusan
hakim.
2. Pembicaraan (penyelesaian) akor dilakukan pada sidang pengadilan memeriksa permohonan
penundaan pembayaran, sedangkan akor kepailitan dibicarakan pada saat rapat verifikasi,yaitu
setelah adanya putusan pengadilan.
3. Syarat penerimaan akor pada penundaan pembayaran haruslah disetujui setengah dari jumlah
kreditor konkuren yang diakui atau sementara diakui yang hadir pada rapat permusyawaratan
hakim, yang bersama-sama mewakili dua pertiga bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau
sementara diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut, dan
mewakili tiga perempat dari jumlah piutang yang diakui. Sementara itu, akor pada kepailitan
harus disetujui oleh dua pertiga dari kreditorkonkuren, yang mewakili tiga perempat jumlah
semua tagihan yang tidak mempunyai tagihan istimewa.
4. Kekuatan mengikatnya akor pada penundaan kewajiban pembayaran utang berlaku pada semua
kreditor (baik konkuren maupun prepent), sedangkan akor kepailitan hanya berlaku baik
kreditor konkuren.

16
BAB 3
KESIMPULAN
1. Akibat hukum putusan pengadilan terhadap debitor yang dinyatakan pailit adalah sejak tanggal
putusan pernyataan pailit, si debitor (si pailit) kehilangan hak untuk melakukan pengurusan dan
penguasaan atas harta kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit. Sejak dinyatakan pailit
pengurusan dan penguasaan harta kekayaan si pailit beralih ke tangan kurator atau Balai Harta
Peninggalan.
2. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) adalah untuk perdamaian yang meliputi
tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditoruntuk menghindari kepailitan,
karena debitor (si berutang) masih sanggup dan mampu untuk membayar utang-utangnya hanya
saja dibutuhkan waktu tambahan untuk memperbaiki keadaan ekonominya. Seperti halnya
permohonan pernyataan pailit, permohonan PKPU juga harus diajukan oleh debitor kepada
pengadilan dengan ditandatangani oleh debitor dan oleh penasihat hukumnya.

17
DAFTAR PUSTAKA

 M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 34.
 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia: Pusat Bahasa, Edisi
Keempat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hlm. 154.
 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004
Tentang Kepailitan,Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2010, hlm. 72-73.,
 Richard Burton Simaputang, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Rineka Cipta, 2003, hlm. 162 dan
hlm 166.
 Fuady, Munir. 2012, Pengantar Hukum Bisnis dalam Menata Bisnis di Era Global, Bandung,
PT Citra Aditya Bakti
 www.hukumonline.com, diakses 4 Februari 2020
 Zainal Azikin, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran Utang Di Indonesia, PT Radj
Grafindo Persada, 2001, hlm. 112
 www.sarno.id , diakses 4 Februari 2020
 www.arifedisonlawyer.id , diakses 5 Februari 2020
 www.coursehero.com , diakses 5 Februari 2020

18

Anda mungkin juga menyukai