Anda di halaman 1dari 16

Kepailitan - Pengaruh Kepailitan Terhadap Harta Bersama

( Suami – Istri ) dan Upaya Hukum Kepailitan


Evan Natanael Raja Panaor. 8111421602

Abstrak
kemampuan membayar (solvabilitas) seorang pengusaha merupakan perhatian yang paling
utama bagi mitra usahanya dan bahkan menjadi pertimbangan utama dalam melakukan
transaksi dalam arti apakah ia akan membayar dengan pihak yang bersangkutan. Penyebab
suatu hubungan bisnis adalah kegiatan yang keseluruhannya diarahkan untuk memperoleh
dan mempertahankan keuntungan atau laba. oleh karena itu, keadaan tidak akan membayar
(insolvent) dari seorang pengusaha (mitra) akan mempunyai dampak yang lumayan besar,
dari segi kegiatann usaha perusahaan sendiri atau pun kepentingan dari pihak - pihak
( kreditur ). Pailit  ditetapkan secara resmi Pasal 2 Ayat (1) Undang Undang Nomor 37 tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dengan suatu
keadaan dimana debitor tidak membayar lunas satu utang yang memiliki jatuh waktu και
dapat ditagih. Pada kepailitan tidak semua orang tidak memiliki pasangan dalam hal ini
pengaruh pernyataan pailit terhadap harta perkawinan. Harta Perkawinan adalah harta
yang diperoleh selama perkawinan yang menjadi milik suami dan istri, terlepas dari siapa
yang membuatnya (suami atau istri semata-mata, atau suami dan istri). Suami istri yang
pailit yang menikah dalam satu kesatuan harta dianggap sebagai kohesi harta pailit.
Instrumen kriteria penundaan pembayaran utang sesuai dengan pedoman peraturan
perundang-undangan yang berlaku dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa
kepailitan.
Kata Kunci : Kepailitan, Harta Perkawinan, Bisnis, Utang, Sengketa

A. Pendahuluan

Hukum nasional yang menjamin kepastian, ketertiban, penegakan, dan perlindungan


hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran diharapkan mampu mendukung
pertumbuhan dan perkembangan perekonomian nasional, serta mengamankan dan
mendukung hasil pembangunan nasional.

Peraturan Kepailitan yang diatur dalam Verordening Op het failissement en de


surseance van Betaling voor de Europeanen in Nederlands Indie (Peraturan Kepailitan
dan Penundaan Pembayaran Utang untuk golongan Eropa di Hindia Belanda), yang
dicantumkan di dalam Staatblad Tahun 1905 nomor 217 Jo Staatblas Tahun 1906 nomor
348 yang diterapkan di indonesia sejak zaman pemerintah Hindia Belanda hal itu disebut
dengan kebangkrutan. Syarat Objektif yang menjadi dasar pengertian dari Kepailitan
ialah jika debitur berada dalam kondisi " menghentikan pembayaran " atau tidak memiliki
kesanggupan dalam hal pemenuhan kewajiban,  ketidak sanggupan dalam menjalankan
usaha merupakan kondisi yang terjadi pada perusahaan atau debitur. Pemenuhan
kewajiban kepada kreditur tidak tertutupi maka harta kekayaan yang dikuasai debitur
menyebabkan hilangnya nilai piutang hal ini sebagai penerjemahan dari pernyataan pailit.
Untuk menuju Analisa kedudukan hirarki hukum harta gono – gini suami dan isteri,
dampak hukum kepailitan suami terhadap harta bersama, bentuk penyelesaian hukum
kepailitan suami pada harta gono – gini.

Masuk pada pengaruh kepailitan terhadap harta perkawinan (harta bersama) atau dengan
bahasa yang dipergunakan sehari – hari disebut harta gono gini. Selama masa perkawinan
berjalan, jika diperoleh sebuah atau beberapa harta ( uang atau asset ) harta yang
diperoleh tersebut dikatakan sebagai harta bersama (gono – gini) dan harta sifatnya harta
tersebut menjadi milik kedua belah pihak (suami dan isteri). Surat – surat berharga, benda
tidak bergerak, benda bergerak, tidak berwujud (Hak dan Kewajiban) diklasifikasi
sebagai harta bersama atau harta yang diraih selama masa perkawinan.

Kepailitan dapat menciptakan dampak hukum terhdap pasangan (suami ataupun isteri),
terjadinya penyatuan harta didalam perkawinan yang sah mengikat debitur pailit dikala
debitur dinyatakan pailit. Pasal 23 Undang Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, menetapkan jika kepailitan
dinyatakan terhadap seseorang, maka kepailitan itu meliputi isteri atau suami dari debitur
pailit dalam perkawinan yang sah adanya penyatuan harta. Disamping perbuatan –
perbuatan debitur pailit tidak mengandung akibat hukum atas harta kekayaan yang
terliput dalam kepailitan.

UUK – PKPU ( Undang Undang Kepailitan – Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang )


yang terjadi perubahan, yang mana salah satu asas pada undang undang ini menganut asas
kelangsungan usaha. Pada UUK – PKPU menyebutkan perusahaan debitor yang
prospektif dimungkinkan tetap dilangsungkan.
Asas hukum berfungsi sebagai :
a) Sebagai satu ikatan yang dijamin keterkaitan kaidah, mengikat kaidah – kaidah
hukum
b) Sebagai penjamin tujuan hukum yang berkeadilan dan memiliki kepastian, dibentuk
dan dilaksanakan dengan tepat.
c) Sebagai pengadaptasian pada suatu situasi konkret atas kaidah hukum yang sifatnya
fleksibel.
d) Sebagai komponen untuk menngatur pelaksanaan aturan hukum yang akan bertolak
belakang dengan prinsip – prinsip hukum umum lain yang berlaku.
Memresentasikan peninjauan nilai – nilai moral yang berpartisipasi sebagai tuntunan
hidup orang banyak, merupakan kekhususan sifat dari suatu perundang – undangan yang
terbarukan pada suatu prinsip hukum tampak melalui evaluasi oleh perancang undang –
undang.

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian diatas, masalah yang diketahui dapat disebutkan sebagai berikut :
a) Kepailitan dan utang.
b) Apa saja syarat dinyatakan pailit?
c) Bagaimana pailit berjalan?
d) Bagaimana pengaruh kepailitan terhadap harta bersama?
e) Upaya hukum apa yang dapat diambil dalam mengalami kepailitan?

C. Pembahasan

Pasal 1 angka 1 Undang – Undang No. 32 tahun 2004, memberikan penjelasan tentang
pengertian kepailitan secara kredibel, dengan bunyi : “kepailitan adalah sita umum atas
semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh
kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-
undang ini.”

Beriringan dengan perkembangan dan diterimanya ajaran sosiologis dari kepailitan,


konsep kepailitan ini mengalami pergesaran paradigma sebagai penyelesaian aset
perusahaan bangkarut menjadi paradigma penagihan utang. As Lee A
Weng mengartikan sita atas harta kekayaan ( Vermogen ) and dan tidak menyentuh harta
kekayaan debitur bakal kepentingan para kreditur in pelunasan piutang mereka.

Proses ini sanggup diartikan menjadi aksi kolektif ( collective action ) dalam pemungutan
utang. Pasal 2 ( 1 ) UU No. 37 Tahun 2004 mengenai Kepailitan & Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang adapun secara tegas memilih adanya 2 kreditur atau lebih
buat mampu memailitkan pihak debitur. Ketentuan ini sesuai dengan falsafah pokok
kepailitan, yaitu mekanisme pembagian harta kekayaan yang adil dan merata kepada
kreditur sehubungan dengan tidak dibayar oleh debitur akibat ketidakmampuan debitur
memenuhi kewajiban tersebut. Jika debitur hanya mempunyai satu kreditur, maka arti
pailit tidak ada harta milik debitur tidak perlu diperebutkan oleh kreditur yang disebabkan
oleh debitur tidak melakukan apa yang seharusnya debitur lakukan.

Memberentang konsep yang dikemukakan oleh Frank H.E. Brook demikian “ Coporate
bankcruptcy has two functions (1) to deliver the penalty for failure by forcing a wrapping
up when a business cannot pay it debt; and (2) to reduce the social cost of failure. “
Untuk mengkontrol situasi ekonomi secara totalitas merupakan kegunaan hakiki dari
kepilitan, anasir ini yang dituntun di teori hukum kepilitan modern. Hanya menaungi hak
– hak kreditur berkenaan asset debitur dalam kesibukan bisnis tidak mampu dipandang
oleh kepailitan sebagai fungsi hukum, melainkan mengandung kegunaan sosial yang
berperan menjadi metode penyaringan dalam atmosfer bisnis yang mana menyortir usaha
yang bertepat guna.

Sistematika kepailitan memiliki dua sasaran klasik ialah pertama, adanya kesepadanan
pemecahan kekayaan / aset oleh debitur kepada para kreditur ( mengandung prinsip pari
passu pro rata parte ); kedua, untuk memberikan peluang kepada debitur boleh jadi
membangun usaha baru dengan kondisi sehat ( fresh and starting ) setelah melewati masa
sulit pada keuangan yang substansial. Prinsip Pari passu pro rata parte serta prinsip
Paritas creditorium sebagai suatu prinsip memiliki sistem penggerak yang diketahui
sebagai kepailitan.
- Paritas creditorium, mengajarkan bahwa semua harta debitur, baik berupa barang
bergerak maupun tidak bergerak atau barang yang sudah ada atau yang akan datang,
terikat pada pembayaran kewajiban debitur.
- Pari passu pro rata parte, bahwa harta itu menjadi jaminan bersama para kreditur,
yang harus dibagi secara proporsional di antara mereka, kecuali ditentukan lain oleh
undang-undang.
Seperti yang diatur dalam KUHPer ( Kitab Undang – Undang Hukum Perdata ) serta
mengutip pendapat Kartini Mulyadi bahwasanya Pasal 1131 KUHPer menerangkan
setiap perbuatan yang dilaksanakan seseorang akan harta kekayaannya sering
memberikan dampak meningkatkan atau memangkas. Serupa itu ajeg pada keadaan yang
dinamis dan berfluktuasi antar waktu. Apabila dengan kondisi adanya suatu hubungan
hukum harta kekayaan berkondisi seseorang menyandang beban terhadap lebih dari satu
pihak kreditur, maka berlaku Pasal 1132 KUHPer tiap – tiap kreditur haruslah
memperoleh solusi dari harta kepemilikan debitur melalui langkah (1) Pari passu, yakni
dengan cara sejalan sonder ada pihak yang diutamakan; (2) Pro rata, yakni dengan cara
bersahaja diaudit berlandaskan tingginya hak tagih tiap – tiap pihak dipadankan
berhubungan piutang mereka secara akumulasi akan semua harta debitur tertera.
Lahirnya Undang Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang mengandung prinsip – prinsip bersifat umum dari hukum
kepailitan yang uraikan sebagai berikut :
a) Prinsip Keseimbangan ialah prinsip yang bertujuan bakal mengahalau kasus
penyimpangan etik dan lembaga kepailitan yang disebabkan debitur tidak jujur
dan prinsip memiliki guna untuk menangkal masalah penyimpangan etik dan
lembaha kepailitan yang dilakukan kreditur yang tidak memiliki integritas.
b) Prinsip kelangsungan usaha ialah prinsip yang memberikan peluang kepada
perusahaan debitur yang memiliki kemungkinan tetap berlangsung.
c) Prinsip keadilan ialah prinsip untuk menghindari terlaksananya penyelewengan
wewenang berkenaan tagihan tiap – tiap pihak ke debitur dengan tidak
memerhatikan kreditur lain.
d) Prinsip integrasi ialah ketentuan peraturan yang dikodifikasikan pada materi
hukum yang mengandung material dan formal.
Pengajaran yang dikemukakan oleh tokoh hukum Paul Scholten bahwasanya asas
hukum pengejawantah-an pikiran – pikiran mendasar yang terwalak di dalam dan di
belakang mekanisme hukum tiap – tiap itu dipadukan di dalam tertib perundang –
undangan dan putusan – putusan hakim yang berhubungan lewat akidah dan keputusan –
keputusan pribadi.
Di dalam UU ( Undang – Undang ) Kepailitan berisi norma yang mencantumkan
prinsip – prinsip hukum, seperti :
a) Prinsip Paritas Creditorium

Kedudukan para kreditur berkenaan dengan semua aset debitur sesuai dengan
prinsip kesetaraan menempatkan hak yang sama.
b) Prinsip Pari Passu Pro Rata Parte

Seumpama undang – undang tidak menetapkan pengecualian, maka pemecahan


harta debitur kepada semua krediturnya dilakukan dengan bersahaja. Prinsip
berpegang teguh pada keadilan dengan implementasi pemecahan harta kekayaan
berpadanan dengan ukuran nya ( pond – pond gewijs ), bukan dengan pemisahan
sama rata.

c) Prinsip Structured Creditors / Structured Pro Rata

Tampak strata golongan atau tingkatan klasifikasi dari tiap – tiap kreditur.
Penglompokkan kreditur dalam kepailitan menjadi :
1) Kreditur sparatis : Hak gadai, fidusia, hak tanggungan serta hak hipotek yang
termasuk pada hak kebendaan merupakan wilayah kekuasaan kreditur.
2) Kreditur preferen : kreditur yang menyandang hak privilege sesuai dengan
perintah undang – undang yang mana kreditur preferen patut didahulukan
pembayaran piutangnya.
3) Kreditur konkuren : mengacu petunjuk beralaskan undang – undang tidak
mempunyai wilayah kekuasaan atas hak kebendaan maupun pendahuluan
pembayaran piutang.

d) Prinsip Utang

Unsur vital pada kepailitan ialah Utang. Maka dari itu, ketidak tersediaannya
utang menjadi sebab tidak terjadinya kepailitan. Utang dalam pengertiannya ialah
suatu kewajiban yang harus dilaksanakan dalam rangka pemenuhan prestasi dari
suatu perikatan yang dibuat. Berpadanan dengan teori pada Hukum Perdata
melalui undang – undang ataupun perjanjian dapat melahirkan utang.

e) Prinsip Debt Collection

Konsep penuntasan yang berasal dari kreditur kepada debitur pailit melalui
penagihan claimnya berkaitan dengan harta debitur menjadi landasan prinsip debt
collection. Prosedur kepailitan merupakan langkah hukum yang dipergunakan
untuk alat menekan debitur yang bersifat mendesak dalam rangka memenuhi
kewajiban debitur ke kreditur.

f) Prinsip Debt Pooling

Prinsip debt pooling ialah prinsip yang menuntun seperti apa asset (harta) debitur
harus dipecah untuk diberikan kepada para kreditur. Dalam hal peredaran harta
yang dilakukan kurator, bertumpu pada prinsip pari passu pro rata parte dan
paritas creditorum serta pemberian hak juga berdasarkan penggolongan kreditur (
structured creditors )

g) Prinsip Universal dan Prinsip Teritorial

Putusan pailit yang dijatuhkan pada suatu wilayah negara tersebut juga berlaku
atas semua aset debitur, baik yang berada di wilayah negara dimana putusan pailit
ditetapkan maupun terhadap aset yang berada di luar wilayah negara tersebut.

Supaya suatu perusahaan memperoleh pernyataan pailit maka dibutuhkan beberapa unsur
yang akan menjadi syarat yang selanjutnya dikatakan sebagai syarat yuridis. Syarat –
syarat yuridis tersebut terdiri dari :
a) Adanya utang;
b) Paling sedikit satu dari utang sudah bisa ditagih dan jatuh waktu;
c) Adanya debitur;
d) Adanya kreditur;
e) Memiliki kreditur yang lebih dari satu;
f) Pengadilan niaga sebagai pengadilan khusus yang mengeluarkan pernyataan pailit.
g) Pihak yang berkuasa mengajukan tuntutan pernyataan pailit, sebagai berikut :
(1) Pihak debitur;
(2) Satu atau para kreditur
(3) Jaksa, mewakili kepentingan umum;
(4) Jika debiturnya Perusahaan efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga
penyelesaian dan penyimpanan yang mengajukan Badan Pengawas Pasar Modal;
(5) Jika debiturnya Bank yang mengajukan Bank Indonesia;
(6) Jika debiturnya perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dan pension, atau
BUMN yang berada pada sektor kepentingan public yang mengajukan Menteri
Keuangan;
h) Penyebutan syarat – syarat yuridis lain yang terkandung di dalam undang – undang
kepailitan;
i) Andaikata syarat – syarat terwujud, hakim tidak ‘dapat menyatakan pailit’ melainkan
‘menyatakan pailit’.
Pengaruh Kepailitan Terhadap Harta Bersama.
Pasal 8 Ayat (4) UUK – PKPU yang berperan sebagai acuan ketentuan norma yang
berkenaan dengan penjatuhan putusan pailit, pasal tersebut berbunyi demikian :
“permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan
yang terbukti secara sedergana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi”.
Dilandasi pada ketentuan yang dinyatakan pada Pasal 2 ayat (1) justru undang – undang
mengutarakan dengan kalimat “harus dikabulkan”. Dari pasal 2 ayat (1) ini dapat di
simak bahwa pasal tersebut memberikan suatu ketegasan yang mana menjadi ukuran
hakim bakal meratifikasikan permohonan pailit.
Harta yang dipunyai debitur yang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan ialah
disebut Harta pailit.
Menurut Pasal 21 UU No. 37 tahun 2004 memberikan keterangan “kepailitan meliputi
seluruh kekayaan debitur…”. Dalam Pasal 21 dapat diterjemahkan bahwa semua harta
milik debitur akan menjadi harta pailit disamping itu, Pada pasal 23 seumpama kondisi
debitur merupakan debitur perorangan yang dijatuhi putusan pailit secara khusus dampak
penjatuhan penyataan pailit mengikat suami atau istri yang kawin dan mengadakan
perjanjian penyatua harta dengan debitur pailit.
Pengecualian terhadap harta benda yang tidak termasuk golongan harta pailit menurut
ketentuan Pasal 22 UU No. 37 tahun 2004 :
a) Benda, sehubungan dengan pekerjaan si debitur yang membutuhkan kekuatan atau
bantuan hewan; debitur dan keluarga yang mempergunakan alat – alat medis; bahan
makanan yang tersedia ditempatnya debitur dan keluarga hanya berjangka waktu 30
(tiga puluh) hari
b) Sejauh yang ditetapkan hakim pengawas seperti uang tunggu atau uang tunjangan,
upah, pensiun, pengujian dari suatu jabatan atau jasa merupakan pekerjaan debitur
untuk memperoleh segala sesuatu
c) Menurut undang – undang, uang yang diserahkan kepada debitur bakal
merealisasikan kewajiban berupa memberi nafkah.
Konsekuensi yang dinyatakan melalui pasal 22 UU No. 37 tahun 2004, masing – masing
dan segenap perikatan antara pihak ketiga dengan debitur yang dijatuhi pernyataan pailit,
perikatan yang dijalin setelah dinyatakannya pailit tidak akan dan tidak bisa dipenuhi
pembayarannya menggunakan harta pailit, dengan kondisi lain perikatan – perikatan yang
dijalin mendatangkan laba berasal dari kekayaan tersebut. Sebab itu, pengajuan atas para
gugatan memiliki tujuan untuk meraih penyelesaian kewajiban perikatan dari harta pailit,
semasa dalam kepailitan, debitur pailit menerima pengajuan dengan cara serta – merta,
dalam bentuk laporan sajalah pengajuan dapat dilakukan dengan maksud pencocokan.
Untuk mencegah berlakunya daluarsa atas hak dalam gugatan, meskipun hanya bentuk
pencocokan yang bisa diberikan gugatan sebagai sebuah akibat hukum, disebabkan tidak
diperkenankannya pencocokan lalu pihak yang tidak berkenan atas pencocokan untuk
kepentingan hukum menggantikan posisi debitur pailt pada gugatan yang selagi berjalan
tersebut.
Seumpama calon pasangan salah satu atau keduanya punya usaha beresiko tinggi, maka
kedua belah pihak mengadakan kesepakatan (perjanjian) perkawinan. Banyak terjadinya
hal yang tak disangka apalagi di tengah dunia perekonomian Indonesia berjalannya
pengelolaan sebuah usaha.
Bank beranggapan bahwasanya harta suami dan istri merupakan harta bersama, sehingga
perutangan masuk pada tanggungan bersama, hal ini sering disaksikan pada pengajuan
kredit.
Menurut KUHPer, dampak perkawinan atas harta benda suami dan istri merupakan harta
campuran bulat, mengacu pada Pasal 119 KUHPer bahwa harta benda yang dihasilkan
sepanjang masa kawin termasuk harta bersama mencakup segenap harta perkawinan
yakni : harta yang tersedia pada masa perkawinan, harta yang didapat selama masa
perkawinan.
Pada dasarnya perkawinan akan mengembangkan suatu aturan harta yang disebut harta
gono – gini. Kerangka prinsip harta bersama ini dikandung oleh KUHPer dan Undang –
undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ( UUP ), disamping itu antara kedua
peraturan perundangan – undangan memuat kerangka yang berbeda.
Mempertimbangkan sederajatnya tingkatan suami dan isteri dalam perkawinan mengikuti
UU No. 1 tahun 1974, bahwasanya ketentuan tersebut kelihatannya tidak memiliki
banyak makna lagi. Serupa itu patut dimengerti bahwa sekali waktu sangat sulit dalam
memutuskan parameter harta bawaan dan harta gono -gini, menjunjung kepentingan
bersama, atau harta benda yang terkandung di dalam sudah menyatu hak bersama, seperti
halnya pertukaran dengan nilai tambah, penjualan, ataupun pembelian kembali.
Menilik Pasal 4 ayat (2) UU No. 37 tahun 2004, secara konkret bahwa undang – undang
ini masih mengandung konsep harta bersama yang ada pada KUHPer, yakni tidak
mengakui suatu perkawinan dengan penggabungan harta dari suami dan isteri.
Harta bersama memiliki pengaruh yang sangat superior dalam rangka mencukupi
kebutuhan sehari hari suami dengan istri dalam persoalan perkawinan (rumah tangga),
disebabkan aktivitas perkawinan suami dengan isteri sangat jelas membutuhkan
keperluan yang harus terwujud, dari segi sandang, pangan serta papan. Untuk pemenuhan
keperluan keluarga tersebut suami – isteri tidak bimbang bakal mengajukan peminjaman
sejumlah nominal terhadap pihak perseorangan ataupun bank. Menurut pendapat sarjana
hukum harta yang diraih suami dan isteri disebabkan usahanya, dari mereka bertugas
secara seksama maupun hanya suami yang berkerja melainkan isteri cuma mengurus
rumah tangga serta anak -anak dirumah, sifatnya mereka itu terikut dalam sebuah
perjanjian perkawinan tatkala suami dan isteri lalu seluruhnya menyatu dalam hal harta
ataupun para anak.
Suami atau isteri yang membawa harta masuk pada perkawinan tidak tergabung sebagai
harta kepunyaan bersama dengan alasan perkawinan, pasti terbagi urusan demikian
dikarenakan harta itu telah diperoleh mulai isteri dan suami belum melangsungkan
perkawinan. Barang asal kalimat yang secara teknis hukum dirujuk pada harta.
Pemahaman barang asal melingkupi hadiah dan warisan, yang diraih suami maupun isteri
selaku pribadi semasa perkawinan. Pasal 35 ayat (2) UU No. 1 tahun 1974, berbunyi ;
“harta bawaan dari masing masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh
masing masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain”. Pada pasal ini dapat kita
nilai bahwa suami isteri dapat mengambil langkah atas mufakat kedua belah pihak,
disamping itu mengenai harta bawaan masing – masing suami maupun isteri melekat hak
secara total untuk melakukan perbuatan hukum atas harta benda mereka.
KUHPer mengandung ketentuan yang sangat jelas bahwasanya kekayaan bersama suami
dan isteri dikatakan bersumber dari harta bawaan suami serta isteri yang sifatnya menyatu
dengan sendirinya, menjadi lain kalau pra perkawinan mereka membentuk perjanjian
perkawinan yang menerterakan klausul dengan perkawinan tidak terjadinya
penggabungan kekayaan. Bertolak belakang dengan konsep yang terkandung dalam UU
No. 1 Tahun 1974, kekayaan masing – masing pihak tidak terpengaruh atas dampak yang
disebabkan oleh perkawinan. Kekuasaan isteri akan hartanya menjadi wilayah kuasa sang
isteri begitupula sebaliknya pada suami, kekuasaan suami akan hartanya menjadi wilayah
kuasa sang suami. Isteri memiliki kuasa seutuhnya untuk menggeser, mengurangi,
meningkatkan atau menghadiahkan kepemilikannya diluar perkenan suami.
Mengenai harta bersama suami dan isteri mampu berbuat berkenaan kesepakatan kedua
belah pihak hal ini diatur dalam pasal 36 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 yang mengatur
terkait hak dan kewajiban suami dan isteri berhubungan dengan pengelolaan harta
bersama.
Besarnya ruang lingkup penyatuan harta dalam perkawinan, dapat disaksikan dari 3
kerangka, yakni :
a) Undang – undang yang menyebabkan penggabungan harta kekayaan. Dalam teori ini
harta yang bergabung atau harta bersama suami isteri yang dikenal, berdasarkan
undang – undang harta bawaan dari masing – masing pihak tidak dikenal, seluruh
harta kepemilikan suami dan isteri (harta yang dibawa) dikatakan sebagai harta
bersama.
b) Berdasarkan kesepakatan, tidak terjadinya penyatuan harta sama sekali dapat
dilakukan melalui kesepakatan. Teori atau kata lainnya konsep yang terealisasikan
berdasarkan kesepakatan ini, suami dan isteri berkuasa atas harta mereka masing-
masing, dalam kondisi dibawa ke perkawinan atau yang diraih oleh masing -masing
pihak selama masa perkawinan berlangsung.
c) Dalam konteks yang berbeda tetapi didasar dengan hal yang sama yaitu berdasar
kesepakatan; harta yang disatukan ditentukan antara suami dan isteri beberapa saja,
diluar harta yang disepakati masuk dalam penyatuan menjadi wilayah kuasa masing –
masing pihak.

Kembali pada prinsip yang diterapkan pada UU No. 1 Tahun 1974, harta bersama ini
tidak lahir dari kesepakatan kawin, melainkan tercipta disebabkan oleh undang -undang.
Maka itu, seumpama menginginkan pengajuan permohanan pailit atas debitor yang
berada dalam perkawinan yang sah,wajib diamati kondisi perkawinan pada debitur
mengikuti terhadap UU No. 1 tahun 1974 atau KUHPerdata. Kondisi ini menjadi
fundamental untuk dipahami berhubungan dengan diadakannya harta bersama dan pihak
– pihak yang patut dimohonkan pailit.
Pada kondisi yang terjadi apabila suami atau isteri yang dinyatakan pailit maka suami dan
isteri ikut terlibat dalam kepailitan tersebut. perlu diperhatikan pernyataan sebelumnya
harus didukung dengan kondisi antara suami dan isteri mengadakan perjanjian penyatuan
harta kekayaan atau dengan maksud lain perjanjian kedua belah pihak ini tidak mendasari
adanya pemisahan atau tidak digabungnya harta kekayaan.

Didukung dengan ketentuan perundangan – undangan pasal 64 (1) UU No. 37 tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ialah dikatakan sebagai
kepailitan bersama sebagai akibat hukum atas pernyataan kepailitan yang dituntut
terhadap suami dan isteri atas harta gono – gini mereka. Bunyi dari pasal 64 ayat (1) UU
No. 37 tahun 2004 UUK – PKPU sebagai dasar hukum : “kepailitan suami dan isteri
yang kawin dalam persatuan harta, diperlakukan sebagai kepailitan persatuan harta
tersebut.”. Di dukung dengan pasal 23 UU No. 37 tahun 2004 bahwasanya kondisi suami
atau isteri dinyatakan pailit, maka suami atau isteri yang dalam perkawinan mengadakan
perjanjian penggabungan harta kekayaan juga ikut dalam kepailitan tersebut, kendatipun
kecakapan perbuatan hukum ( volkomen handelingsbevoegd ) masih ada, sedangkan
perbuatan – perbuatan atas harta kekayaan yang dilingkupi kepailitan tidak mempunyai
akibat hukum.

Sebagai contoh kasus : Putusan Mahkamah Agung Indonesia Nomor 057


PK/Pdt.Sus/2010 yang penjatuhan kepailitan ditujukan pada Gunawan Alie, sebagai
pribadi. Berdasarkan pasal 64 ayat (1) UU No. 37 tahun 2004 menentukan bahwa:
“kepailitan suami atau isteri yang kawin dalam suatu persatuan harta harta,
diperlakukan sebagai kepailitan persatuan harta tersebut.”. Yang dijadikan jaminan dan
tanggungan atas kepailitan ialah harta bersama. Berkenaan Gunawan Alie sudah
menjalani perkawinan pada saat penjatuhan putusan kepailitan dan selama masa
perkawinan tersebut sudah mengadakan penggabungan harta atau harta bersama maka
disebabkan oleh itulah harta tersebut berperan sebagai jaminan atas Tindakan salah satu
dari antara suami – isteri. Disebabkan oleh hukum yang juga sebagai dasar yang
memberikan status jaminan dan tanggungan atas kepailitan terhadap kekayaan yang
dimiliki Gunawan Alie dan isteri (harta selama perkawinan).l
Satu utang atau lebih yang telah jatuh waktu dan bisa ditagih sesuai yang diakadkan bagi
para kreditorwnya tetapi dengan keadaan suami dan isteri tidak mampu memenuhi
kewajibannya maka dinyatakan pailit.
Keharusan akan utang, dari sisi utang suami atau utang isteri, pada umumnya
dilimpahkan pada harta milik masing – masing, di kondisi yang lain apabila utang dibuat
untuk kepentingan, lalu dilimpahkan pada harta milik suami. Dalam hal utang untuk
kepentingan keluarga harta milik isteri dapat dibebankan apabila harta kepemilikan suami
tidak ada atau tidak menutup segala utang. Prinsip penguasaan harta oleh masing –
masing suami dan isteri, apabila tidak ada kesepakatan lain masih berlaku.
Apabila suami dan isteri kawin dengan perjanjian kawin serta apabila suami dan isteri
kawin dengan penyatuan bulat dan antar salah satu pihak memperoleh hibah/warisan
yang tidak diperkenankan masuk dalam harta bersama, maka tanggung jawab akan utang
- utang persatuan akan timbul. Utang yang timbul karena individu menjadi kewajiban
individu yang bersangkutan dan seksama dapat terbebani untuk melakukan pelunasan.
Selebihnya terhadap tanggung jawab atas utang bersama, bahwa apabila harta gono – gini
tidak menutupi utang untuk dibayar, harta milik pribadi si suami atau isteri dapat juga
dipergunakan untuk melunasi utang.
Pasal 132 KUHPer menghapus utang – utang bersama setelah harta kekayaan bersama
dengan penguraian sebagai berikut :
a. Utang – utang yang sudah dibuat lalu suami dan isteri harus bertanggungjawab akan
itu;
b. Utang – utang yang ditimbulkan oleh isteri, penuntutan dapat ditujukan pada suami;
c. Utang – utang yang ditimbulkan oleh suami, penuntutan terhadap isteri hanya
setengah utang;
d. Utang yang ditimbulkan pihak lain sebelum kawin, tidak bisa kembali dituntut oleh
pihak lain setelah diselenggarakan pembagian.

Kuantitas pinjaman yang dilalukan sangat banyak, disamping itu harta bersama yang
dimiliki tidak mencukupi untuk pelunasan segenap utang kepada jalinan yang
memberikan utang. Terjadinya ketidaksanggupan suami atau isteri dalam memenuhi
kewajiban akan semua perutangannya.
Terkait dengan utang dalam perkawinan diperbedakan menjadi 2 (dua), ialah utang
pribadi ( prive debt ) dengan utang persatuan ( utang gemeenschap; utang dalam rangka
kepentingan bersama ). Penyitaan yang harus dieksekusi pertama sekali terhadap utang
pribadi ditujukan atas benda pribadi. Seumpama benda pribadi tidak tersedia atau tersedia
melainkan tidak menutup nilai utang yang terjadi, maka diizinkan penyitaan atas benda
bersama. Di sisi lain utang yang ditimbulkan oleh suami, penyitaan tidak diperbolehkan
yang tertuju pada benda milik isteri. Sementara itu benda pribadi milik suami dan isteri
yang membuat utang disita juga, hal ini melihat kondisi cukup atau tidaknya benda
gemeenschap (benda bersama) seandainya cukup sehingga benda pribadi milik suami dan
isteri tidak disita.
Upaya Hukum Kepailitan.
Kondisi keuangan perusahaan dapat dipengaruhi dampak negatif jika kondisi usaha
berhenti. Kewajiban untuk memulangkan tunggakan kepada pihak lain salah satu
problematika keuangan yang begitu dalam tatkala dialami oleh suatu perusahaan. Masuk
pada klasifikasi bangkrut apabila suatu harta kekayaan perusahaan (debitur) tidak bisa
mencukupi pelunasan yang diperlukan.
Dengan kondisi kepailitan, UU No. 37 tahun 2004 penundaaan kewajiban pembayaran
utang ( suspension of payment atau surseance van betaling ) diatur pula dalam undang –
undang ini, seperti suatu periode diberikan undang – undang melalui putusan hakim
niaga, yang mana hakim dalam periode yang ditentukan memberikan momen diskusi
(musyawarah) kepada kreditur dan debitur untuk mendiskusikan langkah – langkah atau
bentuk – bentuk pelunasan utang dengan pilihan pembayaran akan diberikan seluruhnya,
Sebagian terlebih dahulu, atau hanya sebagian termasuk seumpama diperlukan segenap
utangnya direstrukturisasi.
Pada umumnya langkah – langkah yang diambil guna menrestrukturisasi utang, sebagai
berikut :
a. Moratorium, ialah pembayarn utang yang sudag jatuh tempo dapat ditunda;
b. Haircut, ialah pokok pinjaman dan bunga yang dipotong;
c. Tingkat suku bunga yang dikurangi;
d. Saham yang mengalami konversi utang;
e. Debt forgiveness, (pembebasan utang);
f. Bailout, ialah utang – utang yang diambil alih, dengan contoh pemerintah melakukan
pengambilalihan terhadap utang – utang perusahaan swasta;
g. Write –off, ialah utang – utang yang dihapusbukukan;

Berkenaan moratorium, dalam konteks legal moratorium penundaan kewajiban


pembayaran utang juga termasuk.
Pihak debitur dalam kepailitan mengambil peran sebagau pihak yang wajib memrakarsai
pengajuan penundaan kewajiban membayar utang, ialah debitur memang telah diketahui
atau diduga tidak bakal mampu untuk melanjutkan pelunasan utangnya. Penandatanganan
permohonan oleh debitur dan kreditur dilaksanakan berdampingan dengan pengacara
( Lawyer ), lawyer yang mendampingi harus disertakan izin praktik ( vide pasal 224 UU
No. 37 tahun 2004).
Lazimnya perkara yang diajukan di pengadilan bisa dilawan atau bahasa yang sering
digunakan (familiar) disebut dengan eksepsi, sesuai peraturan perundang - undangan
Pasal 246 UUK – PKPU diwaktu yang bersamaan debitur dapat mengajukan
penangguhan pelunasan. Penundaan pembayaran ini sebagai bentuk upaya permohonan
kepailitan yang dimohonkan oleh kreditornya. Kesempatan melawan permohonan
krediturnya dikemukakan setelah gugatan atau permohonan dibacakan di muka
pengadilan. Begitu pula halnya perkara dalam kepailitan, pihak yang dimohonkan
memiliki keleluasaan mengutarakn perlawannanya. Penerapan saat bersidang di
pengadilan, penundaan kewajiban pembayaran yang dipergunakan guna menangkis atau
melawan.
Seumpama perusahaan ditawarkan keleluasaan waktu yang pantas guna mengatur ulang
persoalan finansialn perusahaannya, dan tampaknya itikad baik dari debitur untuk
menangani urusan utang, bahwa secara konservatif besar peluang bahwa perusahaan akan
kembali sehat, dan kepailitan yang dialami debitur mampu dibendung.
Karena kepailitan, perusahaan tidak konstan secara impulsif memicu perseroan berakhir
menjalankan seluruh perbuatannya dalam koridor hukum begitu pula dalam melakukan
kegiatan usaha. Terdapat beberapa pihak termasuk hakim pengawas serta kurator yang
menyandang hak dalam penilaian dan meninjau akibat hukum kepailitan yang berlaku,
salah satunya ialah menetapkan kelangsungan usaha perusahaan (asas kelangsungan
usaha).
Penjelasan umum yang diterterakan dalam UUK – PKPU dan juga sebagai pengertian
dasar dari asas kelangsungan usaha ialah perusahaan debitur yang menjanjikan maka
diberikan peluang untuk tetap menggerakkan perusahaannya.
Evaluasi elegan akan asas kelangsungan usaha sekurang – kurangnya mengandung nilai
kemaslhatan bagi kehidupan banyak orang terlebih kedua belah pihak khususnya
spektrum aktivitas bisnis. Terselenggaranya aktivitas bisnis sebagai batu loncatan untuk
menimbulkan dampak yang positif bagi pemilik perusahaan, seluruh tenaga kerja, bagi
pemasok, negara ataupun masyarakat.
Etik antar sesama pelaku bisnis dalam cara menangani persengketaan juga sebagai
landasan evaluasi yang elegan. Posisi kreditor yang bakal berganti sebagai debitor
dikemudian hari dalam perikatan maupun perjanjian yang lain. Maka dari itu
diperlukannya batasan perlakuan seumpama debitur berada pada keadaan keuangan yang
sedang sulit.
Peninjauan primer untuk menyinambungkan aktivitas usaha atas perusahaan yang sudah
dinytakan pailit ialah nilai asset fisik yang terunsur dalam perusahaan lebih rendah jika
dipadankan dengan nilai ekonomis ( economic value ), perusahaan – perusahaan yang
bisa dikatakan pada pernytaan sebelumnya seperti perusahaan sekuritas, perusahaan
pembiayaan, perusahaan pengembang ( developer ), perusahaan sekuritas. Perusahaan
tersebut selalu mengalami negative cash flow karena memiliki aset yang positif.
Perusahaan yang mengalami masalah aset yang negatif akan berbeda penindakannya
dengan perusahaan yang mengalami masalah aset yang positif. Kepailitan sesungguhnya
ditujukan kepada perusahaan yang memiliki aset negatif dan tidak difokuskan ke
perusahaan yang hanya berkaitan dengan masalah fluktuatif nya keuangan.
Sebagai kasus yang dijadikan contoh dari pertimbangan Majelis Hakim Peninjauan
kembali (PK) yang tertera dalam putusan nomor : 024/PK/N/1999 pihak yang berperkara
PT. Citra Jimbaran Indah Hotl melawan Sangyong Enginering & Construction Co.Ltd,
pada perkara ini peninjauan kembali (PK) dikabulkan dengan pertimbangan majelis
hakim memutuskan:
“pertimbangan secara baik atas potensi dan prospek dari usaha debitur. Jika prospek dan
potensi masih dimiliki oleh debitur, kesempatan untuk hidup dan berkembang seyogyia
nya patut untuk diberi kesempatan karena berupa tunas – tunas yang masih dapat
berkembang”
Penerapan hukum oleh seluruh hakim seharusnya selalu mencermati ketentuan asas
kelangsungan usaha yang bermakna tetap memantau kemampuan dan peluang perusahaan
debitur dan ultimum remidium merupakan sifat kepailitan. Seumpama, perusahaan yang
mengalami kepailitan, diberikannya peluang perusahaan debitur on going concern
dipantau oleh kurator dengan perkenan kreditor dan hakim pengawas hal ini diharapkan
meningkatkan harta pailit berbentuk barang tentu menguntungkan seluruh kreditor.
Contoh lain dalam hal mempertimbangkan kelangsungan usaha sebagai dasar putusan
penundaan kewajiban pembayaran utang, pertimbangan yang dikemukakan oleh
pengadilan niaga seprti :
a. Dalam perkara No.08/PKPU/1998/PN.Niaga.Jkt.Pst, antara lain
mempertimbangkan : “… apabila tenggang waktu untuk menunda pembayaran utang,
pengadilan melihat masih ada kemungkinan perusahaan dapat dijalankan.”
b. Dalam perkara No. 09/PKPU/1998/PN.Niaga.Jkt.Pst, antara lain
mempertimbangkan : “ … tawaran pembayaran seluruh atau sebagian kepada kreditur
konkuren yang mana pengadilan beralasan menurut hukum memberi peluang untuk
mengajukan rencana perdamaian.”
Ketentuan yang dinyatakan memalui pasal 24 ayat (1) UUK – PKPU, demi hukum
berakhirnya hak untuk berkuasa dan mengelola atas kekayaan yang menjadi bagian dalam
harta pailit, dimulai pada tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan hakim.
Dan juga melalui ketentuan pasal 64 ayat (1) UUK PKPU menyatakan secara tersirat
ialah tugas dari kurator dalam kepailitan tidak hanya berkaitan dengan pengurusan harta
pailit, melainkan bisa jadi pada “pemberedan harta pailit” yang mampu mengembangkan
nilai harta pailit dengan cara kelangsungan usaha perusahaan.
D. Penutup
Kesimpulan
Dengan terjadinya perkawinan suami dengan isteri terdapat penggabungan bulat harta
kekayaan, lalu harta tersebut disatukan menjadi satu kesatuan kekayaan milik bersama.
Akibat hukum atas kepailitan suami akan harta bersama dapat diterapkan sebagai
kepailitan bersama karena disadari dengan penyatuan harta, penggabungan harta ini
sifatnya tidak semata – mata harta yang digabungkan, melainkan juga keharusan
pembayaran.
Dasar – dasar pengajuan permohonan PKPU oleh debitur harus sama (sinkron) dengan
anasir yang dimohonkan ialah penundaan pembayaran. Sehingga alasa yang diutarakan
oleh debitur harus menunjang positumnya.
Daftar Pustaka

Catur Irianto. 2015. “PENERAPAN ASAS KELANGSUNGAN USAHA DALAM PENYELESAIAN PERKARA KEPAILITAN
DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG.” Hukum dan Peradilan 4: 400.

Dr. Djoko Imbawani Atmadjaja, S.h, M.H. 2016. HUKUM DAGANG INDONESIA. 4th ed. Malang: Cita Intrans
Selaras (CIS).

Drs Munif Rochmawanto, S.H, M.H, M.M. “UPAYA HUKUM DALAMPERKARA KEPAILITAN.” Independen 2: 25–
28.

Sidik meliasta Sebayang. 2017. “AKIBAT HUKUM KEPAILITAN SUAMI TERHADAP HARTA BERSAMA MENURUT
UNDANG- UNDANG KEPAILITAN.” Notarius 3: 113–29.

Sumber Perundang – undangan


UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Anda mungkin juga menyukai