Anda di halaman 1dari 8

 Hukum Sistem Bayar Hutang

Julius

Saya ingin Bertanya. Istri Paman Saya memiliki Hutang pada

seseorang sekitar 10 Tahun yang lalu sebesar 15juta rupiah. dan

saat ini istrinya telah meninggal dan pemberi hutang tersebut

saat ini 2020 menagih. namun dengan sistem uang 15juta

dikonversikan ke emas pada saat harga emas di Tahun 2010. dan

hutang menjadi berupa Gram emas. dan saat ini harus

dikembalikan berupa emas di tahun saat ini.. dimana suatu tidak

adil dikarenakan pada tahun lalu emas masih murah beberda

dengan sekarang yang sudah tinggi harganya. apakah ada Dalil

Hukum yang kuat atas terjadinya hal itu untuk melawan

statement hal itu? terima Kasih

 Dijawab Oleh -

Dijawab oleh: Mursalim, S.H. (Penyuluh Hukum Ahli Madya)

Terima kasih atas pertanyaan yang disampaikan Yth. Saudara


Julius dari Provinsi DKI Jakarta, maka atas pertanyaan dapat di

sampaikan sebagai berikut: Hutang Piutang Hutang piutang

adalah bagian dari kegiatan sosial ekonomi yang biasa terjadi di

tengah-tengah masyarakat yang didasarkan kebutuhan untuk

memenuhi kebutuhan rumah tangga atau modal usaha (bisnis).

Orang yang meminjam disebut debitur, yang memberi pinjaman

disebut kreditur. Yang menjadi persoalan adalah apabila hutang

tidak dapat dibayar sesuai kesepakatan/perjanjian karena debitur

mengalami kesulitan keuangan (finansial). Maka debitur yang

tidak dapat membayar disebut ingkar janji (wanprestasi)

sehingga dapat ditagih bahkan di gugat. Dalam agama, hutang

piutang bukan persoalan ringan karena merupakan kewajiban

yang harus ditunaikan baik oleh dirinya sendiri maupun oleh ahli

waris karena bisa dibawa mati. Pada umumnya transaksi hutang

piutang diwali dengan kesepakatan/perjanjian baik lisan atau

tertulis adalah perikatan yang berisi hak dan kewajiban kedua

belah pihak, dan berfungsi sebagai alat bukti penyelesaian di

kemudian hari. Pada asasnya setiap perjanjian harus

dilaksanakan dengan itikad baik (good faith). Dan perjanjian yang


dibuat oleh kedua belah pihak berlaku sebagai undang-undang

bagi mereka yang membuatnya (asas pacta shun servanda).

Sebagaimana Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(“KUHPerdata”), yang berbunyi: “Semua persetujuan yang dibuat

sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang

bagi mereka yang membuatnya”. “Persetujuan itu tidak dapat

ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak,

atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undangundang.

Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik” Namun

perjanjian utang piutang lebih baik dilakukan dengan perjanjian

tertulis karena tercatat baik jumlah, tanggal, dan waktu sehingga

dapat memberikan bukti yang kuat. Berdasarkan Pasal 1338

KUHPerdata terkait perjanjian yang dibuat kedua belah pihak

maka para pihak berkewajiban untuk menunaikan isi perjanjian

hutang piutang tersebut. Sehingga apabila perjanjian tidak

dilaksanakan dengan baik maka berarti terjadi cedera janji/ingkar

janji (wanprestasi). Apa itu “wanprestasi” atau ingkar janji.

Wanprestasi dapat diartikan sebagai tidak terlaksananya

prestasi karena kesalahan debitur baik karena kesengajaan atau


kelalaian. Wanprestasi diatur pada Pasal 1238 KUHPerdata,

debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta

sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri,

yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap

lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan. Bentuk-bentuk

wanprestasi : Tidak melaksanakan prestasi sama sekali;

Melaksanakan tetapi tidak tepat waktu (terlambat);

Melaksanakan tetapi tidak seperti yang diperjanjikan; dan

Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh

dilakukannya Somasi minimal telah dilakukan sebanyak tiga kali

oleh kreditor atau juru sita. Apabila somasi itu tidak

diindahkannya, maka kreditor berhak membawa persoalan itu ke

pengadilan. Dan pengadilanlah yang akan memutuskan, apakah

debitor wanprestasi atau tidak. Somasi adalah teguran dari si

berpiutang (kreditor) kepada si berutang (debitor) agar dapat

memenuhi prestasi sesuai dengan isi perjanjian yang telah

disepakati antara keduanya. Somasi ini diatur di dalam Pasal

1238 KUHPerdata dan Pasal 1243 KUHPerdata. Dari sisi hukum

perdata, segala hutang piutang dijamin dengan harta benda si


berutang (debitur). Segala kebendaan si berutang (debitur)

menjadi jaminan atas hutang-hutangnya. Sebagaimana Pasal

1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) yang

menyebutkan : “Segala kebendaan si berutang, baik yang

bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada

maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi

tanggungan untuk segala perikatannya -perikatan perseorangan.”

Secara khusus, mengenai perjanjian utang-piutang sebagai

perbuatan pinjam-meminjam diatur dalam Pasal 1754 KUH

Perdata: “Pinjam pakai habis adalah suatu perjanjian, yang

menentukan pihak pertama menyerahkan sejumlah barang yang

dapat habis terpakai kepada pihak kedua dengan syarat bahwa

pihak kedua itu akan mengembalikan barang sejenis kepada

pihak pertama dalam jumlah dan keadaan yang sama.” Dengan

demikian, pengertian/definisi pinjam-meminjam menurut Pasal

1754 KUHPerdata adalah suatu perjanjian dengan mana pihak

yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah

tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian, dengan

syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan


sejumlah uang yang sama dengan jenis dan mutu yang sama

pula. Mengacu pada bunyi pasal KHUPerdata tersebut, maka

hutang yang sudah berlangsung lamapun masih tetap dapat di

tagih walaupun si peminjam telah tiada, karena hal tersebut

menjadi tanggung jawab ahli waris. Mengenai teknis peritungan

apakah pada saat hutang piutang tersebut kedua belah pihak

menggunakan nilai emas sebagai dasar perhitungan. Maka hal itu

diserahkan kepada perjanjian yang telah dibuat oleh kedua belah

pihak. Asal dilakukan secara wajar. Asas hukum yang berbunyi,

“hukum memberi tidak lebih dari yang dibutuhkan (Droil Ne Done,

Pluis Que Soit Demaunde – The give no more than is demanded)”.

Jadi dari Jika kedua belah pihak memahami hak dan kewajiban

masing-masing maka persoalan dapat selesai dengan baik. Apa

yang adil dan baik adalah hukumnya hukum (Equum Et Bonum

Est Lex Legum). Menjawab Pertanyaan Anda Apakah ada dalil

hukum yang kuat atas terjadinya hal itu untuk melawan

statement hal itu? Untuk mencari dalil untuk melawan statement

tersebut, dari sisi hukum adalah sebagaimana yang disampaikan

diatas. Namun untuk membantu menyelesaiakan hal tersebut,


maka pertama anda harus melakukan pendekatan kekeluargaan

kepada kreditur. Kemudian perlu melihat kembali kepada isi

kesepakatan/perjanjian yang telah dibuat. Untuk itu, ada baiknya

jika anda memiliki dokumen perjanjian tersebut. Karena hal

tersebut akan membantu mempermudah penyelesaian persoalan

istri paman anda yang telah tiada. Hapusnya perikatan diatur

pada Pasal 1381 KUHPerdata, adalah sebagai berikut: karena

pembayaran; karena penawaran pembayaran tunai, diikuti

dengan penyimpanan atau penitipan; karena pembaruan utang;

karena perjumpaan utang atau kompensasi;v karena

percampuran utang; karena pembebasan utang; karena

musnahnya barang yang terutang; karena kebatalan atau

pembatalan; karena berlakunya suatu syarat pembatalan, yang

diatur dalam Bab I buku ini; dan karena lewat waktu, yang akan

diatur dalam suatu bab sendiri. Hutang Piutang dan HAM

Berdasarkan Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”), telah mengatur sebagai

berikut: “Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh

dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan


ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam

perjanjian utang piutang” Ini berarti, dari sisi hak asasi manusia,

maka pengadilan tidak boleh memidanakan seseorang karena

ketidakmampuannya membayar utang. Walaupun demikian, demi

kemaslahatan bersama ada baiknya semua pihak terkait

perjanjian yang telah dibuat untuk memenuhi hak dan kewajiban

sesuai perjanjian tersebut. Demikian yang dapat disampaikan,

semoga bermanfaat.

Anda mungkin juga menyukai