Anda di halaman 1dari 6

 

Dana Moneter Internasional (IMF) mengindikasikan bahwa beberapa negara di dunia


seperti Amerika Serikat, Eropa, dan China akan mengalami perlambatan ekonomi
terdalam, bahkan berpotensi masuk ke jurang resesi 2023. Namun, investor masih bisa
mencari potensi cuan dari investasi di sektor dan kelas aset yang tepat menggunakan
strategi yang cocok pula. 
IMF dalam laporannya (11/10/2022) menyebutkan negara maju yang berpotensi
terkena resesi tersebut menyumbang sekitar sepertiga dari ekonomi global, sehingga
dampaknya akan meluas. Sebagai informasi, secara teori resesi adalah penurunan
ekonomi selama dua kuartal berturut-turut. Resesi ekonomi dapat memicu penurunan
keuntungan perusahaan, meningkatnya pengangguran, hingga kebangkrutan ekonomi. 

Resesi ini diawali dari krisis, yaitu perekonomian negara yang mengalami penurunan
secara drastis. Menurut kacamata Indonesia, setidaknya ada beberapa krisis yang
pernah terjadi yaitu krisis 1998, krisis 2008, 2013 dan 2020. Seberapa parah krisis yang
akan datang? 

Budi Hikmat, Chief Economist PT Bahana TCW Investment Management, menjelaskan


bahwa kondisi krisis 2022 ini ditandai dengan dua hal. Pertama, bank sentral
menaikkan suku bunga untuk menghadapi inflasi yang tidak terkendali. Kedua, krisis ini
juga disebabkan oleh ketegangan geopolitik. 
Baca juga Suku Bunga BI Naik Lagi, Bagaimana Potensi Investasi Reksadana?

"Ketegangan Rusia-Ukraina di Eropa itu baru sampiran. Yang utama nanti antara
Tiongkok dan Amerika Serikat, itu sudah ada tanda-tandanya," ujar Budi ketika ditemui
Bareksa, (18/10/2022). 
Dampak dari krisis ini sudah terlihat dari peningkatan imbal hasil (yield) obligasi, akibat
pengetatan Bank Sentral AS The Fed. Seperti diberitakan sebelumnya, The Fed sudah
menaikkan suku bunga 5 kali tahun ini, yang merupakan pengetatan tercepat dalam
sejarah. 
Naiknya yield obligasi itu memicu krisis keuangan di Inggris hingga mencapai resesi.
Sebab, posisi utang negara Inggris sudah tinggi dan tingkat pajak di negara tersebut
juga tinggi sehingga membebani masyarakat. 
Baca juga Inflasi Tinggi dan Risiko Resesi, Bagaimana Peluang Investasi Emas
dan Reksadana?
Bagaimana dampak resesi 2022 di Indonesia? 

Budi menjelaskan bahwa kondisi ekonomi Indonesia saat ini berbeda dengan krisis-
krisis sebelumnya. Dia melihatnya dengan indikator "Home Alone" yang terinspirasi dari
film. 
Home maksudnya apakah dalam krisis ini Indonesia terdampak dari segi
domestik/internal. Sementara Alone mempertanyakan apakah Indonesia terkena
dampaknya sendiri atau dengan negara lain. 
Pada krisis atau resesi 1998, terjadi krisis moneter di Indonesia sehingga Rupiah
melemah sangat dalam. Krisis terjadi di Home, dan ekonomi Indonesia yang
terdampak. 
Berbeda dengan krisis 2008 yang datangnya dari luar, saat itu terjadi karena kejatuhan
Lehman Brothers hingga aset-aset keuangan pun nilainya anjlok. "2008 Crisis is not in
home and we are not alone." 
Adapun krisis 2020 terjadi karena pandemi secara global, sehingga Indonesia pun tidak
sendiri. Meski belum punya teknologi vaksin, Indonesia punya jurus 1000 teman terlalu
sedikit dan satu musuh terlalu banyak. 

Makanya, Indonesia mendapatkan vaksin dari AS dan Tiongkok. Ekonomi juga


bertahan karena pemerintah tetap menggenjot infrastruktur. 

Saat ini, ekonomi Indonesia juga masih terbilang kuat, dengan inflasi yang masih
terjaga, dan pertumbuhan ekonomi diperkirakan masih di kisaran 5,1%. Walaupun dolar
AS menguat secara global, Rupiah terbilang masih bertahan dengan depresiasi hanya
sekitar 8,48% secara YTD hingga 20 Oktober. 

Depresiasi Rupiah masih lebih baik dibandingkan dengan mata uang China yang
melemah 12%, Jepang yang mencapai 23,2% dan Korea Selatan yang mencapai 17%.
Sementara Euro pun terdepresiasi 13,9% dan poundsterling di Inggris juga melemah
16,8% secara YTD hingga 20 Oktober. 

Nilai Tukar Rupiah Terhadap USD Relatif Kuat di Asia dan Global
Sumber: Bloomberg
Pasar saham Indonesia juga tercatat masih positif hingga saat ini, meski sebagian
besar bursa di negara Asia Pasifik justru melemah. Indeks Harga Saham Gabungan
(IHSG) masih tumbuh 6,63% dan mencatat kinerja tertinggi di Asia Pasifik. Sementara
bursa negara tetangga seperti Vietnam sudah anjlok 31,93%, Straits Times di
Singapura turun 4,79%, SETi di Thailand terkoreksi 3,81% dan FTSE Malaysia turun
8,09%. Indeks Dow Jones di AS juga sudah merosot 16,52% secara YTD.

Baca juga Harga Emas Pernah Naik 24,7% Saat Resesi, Ini Datanya
Peluang Cuan

Lantas, dengan kondisi ini bagaimana cara mencari peluang untuk cuan dari hasil
investasi? Budi menjelaskan bahwa investor perlu memiliki acuan untuk cuan. 

Contohnya, dengan melihat imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN) saat ini.
Untuk tenor acuan 10 tahun, yield SBN Indonesia sudah di kisaran 7,4-7,5%. Investor
asing sudah pergi membawa dana keluar lebih dari Rp100 triliun karena fokus ke aset
di AS. 
Ini menjadi peluang membeli SBN di harga murah. Atau, bisa menjadi acuan investor
bila memegang SBN tenor 10 tahun bisa mendapatkan yield hingga 7,4% per tahun.
Bandingkan itu dengan uang sew rumah atau properti, deposito dan inflasi. 
"Yield 7,4% ini bagus, menjadi acuan untuk cuan," kata Budi. 
Selain itu, lanjut Budi, saat ini dolar sedang menguat karena investor fokus ke AS.
Sehingga, perusahaan yang diuntungkan adalah mereka yang menjadi eksportir alias
menerima penghasilan dalam dolar. 

Contoh perusahaan atau emiten yang diuntungkan dari kondisi ini adalah eksportir batu
bara seperti PT Bukit Asam Tbk (PTBA). "Cek perusahaan batu bara itu mereka
punya cash, hitung berapa cash per saham. Bila angkanya besar, potensi membagikan
dividen besar. Contoh PTBA yang bisa membagikan 100% dividen dari profit," jelas
Budi. 
Tidak hanya dari segi pemilihan aset saja, investor juga bisa meraih cuan dengan
mengambil strategi pricing the value. Maksudnya, investor perlu bisa menilai valuasi
dari sebuah aset investasi. 
Sebagai contoh, investor bisa mengambil rata-rata valuasi atau target harga (target
price) suatu saham dari beberapa analis. Bila misalnya saham tersebut diperkirakan
bisa naik 20% dalam 12 bulan ke depan, investor bisa menetapkan margin of
safety sekitar 10% saja. 
Jadi, bila harga saham tersebut sudah naik 10%, tidak perlu menunggu hingga
mencapai target naik 20%, investor sudah bisa menjualnya. Dari sini tentu investor
sudah bisa mengambil untung (take profit) karena sudah memiliki acuan untuk cuan,
termasuk dalam investasi reksadana. 
Baca juga Promo OVO di Bareksa, Top Up Reksadana Raih Cashback Hingga
Rp300 Ribu
(Abdul Malik/Hanum K. Dewi)

Anda mungkin juga menyukai