Anda di halaman 1dari 33

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun dan
menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Dalam makalah
ini kami membahas mengenai “E-COMMERCE PERKARA PERDATA” untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Kapita Selekta Hukum Perdata.

Kami mengucapkan terimakasih kepada ibu Jumiati Ukkas, S.H., M.H


selaku dosen Mata Kuliah Kapita Selekta Hukum Perdata yang telah memberikan
tugas ini sehingga dapat menambah wawasan sesuai dengan bidang studi.

Kami menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, kami
berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.

Kendari, 15 Oktober 2023

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum yang
menganut sistem hukum civil law, dimana sumber hukum dalam arti formalnya
berupa peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, traktat, doktrin atau
pendapat ahli dan kebiasaan. Dalam bidang hukum perdata, salah satu sumber
hukum formal yang berlaku adalah Kitab Undang -Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata telah membedakan
secara jelas antara perikatan yang timbul akibat adanya perjanjian dan
perikatan yang timbul akibat undang-undang. Perikatan yang timbul akibat dari
perjanjian merupakan perikatan yang memang telah dikehendaki oleh para
pihak yang sepakat mengikatkan diri mereka. Sedangkan perikatan yang timbul
akibat dari adanya undang - undang bisa saja tidak dikehendaki oleh para pihak
yang terikat, akan tetapi undang - undang yang menentukan antara hubungan
serta akibat hukumnya. Dalam bidang hukum perdata, hukum perikatan
merupakan salah satu hal yang sangat penting dan dibutuhkan dalam
hubungan-hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang dilakukan sehari-
hari.1
Hukum perikatan diatur dalam Buku III BW (Buku III KUHPerdata) yang
secara garis besar dibagi atas dua bagian, yaitu pertama, perikatan pada
umumnya, baik yang lahir dari perjanjian maupun yang lahir dari undang-
undang dan yang kedua, adalah perikatan yang lahir dari perjanjian-perjanjian
tertentu.2
Ketentuan tentang perikatan pada umumnya ini berlaku juga terhadap
perikatan-perikatan yang lahir dari perjanjian tertentu, seperti jual beli,
sewamenyewa, pinjam-meminjam, dan lain-lain. Bahkan ketentuan tentang
perikatan pada umumnya, ini berlaku pula sebagai ketentuan dasar atas semua
perjanjian yang dibuat oleh para pihak, yang jenis perjanjiannya tidak diatur
dalam BW sehingga perjanjian apapun yang dibuat acuannya adalah pada
ketentuan umum tentang perikatan sebagaimana diatur dalam Pasal 1233
sampai dengan Pasal 1456 BW.3
Perikatan dikatakan sebagai hubungan hukum antara dua orang atau dua
pihak, dimana peran kedua pihak adalah pihak yang satu berhak menuntut
suatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lain berkewajiban untuk
memenuhi tuntutan itu. Lebih lanjut dikatakan bahwa pihak yang berhak

1
Miru Ahmadi dan Pati Sakka, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW,
Depok : PT Raja Grafindo Persada, 2018, hlm.1
2
Ibid
3
Ibid,hlm .2
menuntut sesuatu dinamakan kreditur atau si berpiutang, sedangkan pihak yang
berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debitur atau si berutang.4
Oleh karena hubungan antara debitur dan kreditur ini merupakan hubungan
hukum, maka ini berarti bahwa hak si kreditur itu dijamin oleh hukum (undang
- undang). Hal ini dipertegas lagi berdasarkan ketentuan Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua persetujuan yang dibuat secara
sah dan dalam hal itu salah satu pihak tidak memenuhi tuntutan lawannya
secara sukarela, kreditur dapat menuntutnya di pengadilan.5
Dalam suatu kontrak baku sering dijumpai bahwa pihak telah bersepakat
untuk menyimpang dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1266 Kitab
Undang - undang Hukum Perdata. Akibat hukumnya jika terjadi wanprestasi,
maka perjanjiian tersebut tidak perlu dimintakan pembatalan kepada hakim,
tetapi dengan sendirinya sudah batal demi hukum. Dalam hal ini wanprestasi
merupakan syarat batal. Akan tetapi, beberapa ahli hukum berpendapat
sebaliknya, bahwa dalam hal terjadi wanprestasi perjanjian tidak batal demi
hukum, tetapi harus dimintakan pembatalan kepada hakim dengan alasan
antara lain bahwa sekalipun debitur sudah wanprestasi hakim masih berwenang
untuk memberi kesempatan kepadanya untuk memenuhi perjanjian.6
Untuk melihat persoalan ini dengan jernih, penerapan klausula yang
melepaskan ketentuan Pasal 1266 Kitab Undang - undang Hukum Perdata
harus dilihat kasus demi kasus. Dalam kasus yang melibatkan pelaku usaha dan
konsumen, memang perlu diberikan perlindungan hukum kepada dari tindakan
sepihak yang dilakukan oleh pelaku usaha tanpa melalui putusan hakim. Akan
tetapi, dalam kasus antara pelaku usaha melawan pelaku usaha atau business to
businness perlu adanya kepastian hukum agar para pihak mentaati hak dan
kewajibannya.7

4
Setiawan I Ketut Oka, Hukum Perikatan, Jakarta : Sinar Grafika, 2015, hlm 1
5
Ibid, hlm. 2
6
Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Jakarta : KENCANA Prenadamedia
Group, 2008. hlm. 63
7
Ibid, hlm. 64
Terhadap penuntutan hak di pengadilan, orang yang merasa haknya telah
dilanggar dan merasa dirugikan maka dapat diajukan gugatan atau menggugat
kepada pengadilan. Gugatan dapat disimpulkan sebagai suatu tuntutan hak dari
setiap orang atau pihak (kelompok) atau badan hukum yang merasa hak dan
kepentingannya dirugikan dan menimbulkan perselisihan yang ditujukan
kepada orang lain atau pihak lain yang menimbulkan kerugian itu melalui
pengadilan.8 Tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan memperoleh
perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah
eigenrichting. Orang yang mengajukan tuntutan hak memerlukan atau
berkepentingan akan perlindungan hukum.9
Apabila atas perjanjian yang disepakati terjadi pelanggaran, maka dapat
diajukan gugatan wanprestasi, karena ada hubungan kontraktual antara pihak
yang menimbulkan kerugian dan pihak yang menderita kerugian. Apabila tidak
ada hubungan kontraktual antara pihak yang menimbulkan kerugian dan pihak
yang menderita kerugian, maka dapat diajukan gugatan perbuatan melanggar
hukum. Menurut teori klasik yang membedakan antara gugatan wanprestasi
dan gugatan perbuatan melanggar hukum, tujuan gugatan wanprestasi adalah
untuk menempatkan penggugat pada posisi seandainya perjanjian tersebut
terpenuhi (put the plaintiff to the position if he would have been in had the
contract been performed). Dengan demikian ganti rugi tersebut adalah berupa
kehilangan keuntungan yang diharapkan atau disebut dengan istilah
expectation loss atau winstderving. Sedangkan tujuan gugatan perbuatan
melanggar hukum adalah untuk menempatkan posisi penggugat kepada semula
sebelum terjadinya perbuatan melanggar hukum. Sehingga ganti rugi yang
diberikan adalah kerugian yang nyata atau reliance loss.10
Surat gugatan bentuknya tidak selalu tertulis, dapat juga diajukan secara
lisan, misalnya apabila pihak penggugatnya buta huruf atau cacat secara
fisik/jasmani, seperti buta. Namun demikian, apabila gugatan diajukan secara

8
Hutagalung Sophar Maru, Praktik Peradilan Perdata, Jakarta : Sinar Grafika, 2010, hlm. 1.
9
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Liberty, 2009, hlm. 52
10
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata.Jakarta : PT Intermasa. 2010. hlm. 147
lisan, hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 120 HIR (Het Herziene
Indonesia Reglement) yang berbunyi :
“Jika penggugat tidak cakap menulis, maka tuntutan boleh diajukan secara
lisan kepada ketua pengadilan negeri; Ketua itu akan mencatat tuntutan itu
atau menyuruh mencatatnya.’’
Namun sebelum diajukannya gugatan wanprestasi ke pengadilan, hal
kelalaian atau wanprestasi pada pihak si berhutang ini harus dinyatakan dahulu
secara resmi, yaitu dengan memperingatkansi berhutang itu, bahwa si
berpiutang menghendaki pembayaran seketika atau dalam jangka waktu yang
pendek.11 Biasanya peringatan (somatie) itu dilakukan oleh seorang jurusita
dari pengadilan, yang membuat proses verbal tentang pekerjaannya itu, atau
juga cukup dengan surat tercatat atau surat kawat, asal saja jangan sampai
dengan mudah dimungkiri oleh si berhutang.12 Peringatan tidak perlu, jika si
berhutang pada suatu ketika sudah dengan sendirinya dapat dianggap lalai.
Misalnya dalam hal perjanjian untuk membikin pakaian mempelai, tetapi pada
hari perkawinan pakaian tersebut belum selesai dibuat. Dalam hal ini meskipun
prestasi itu dilakukann si berhutang, tetapi karena tidak menurut perjanjian,
maka prestasi yang dilakukan itu dengan sendirinya dapat dianggap suatu
kelalaian. Ada kalanya, dalam kontrak itu sendiri sudah ditetapkan, kapan atau
dalam hal - hal mana si berhutang dapat dianggap lalai. Di sini tidak diperlukan
suatu somatie atau peringatan.13
Berdasarkan ketentuan Pasal 1238 KUH Perdata, cara memberikan somasi
itu adalah dengan surat perintah atau dengan akta sejenis itu surat perintah
pemberitahuannya dilakukan oleh jurusita sedangkan mengenai akta sejenis itu
ada dua pendapat yaitu :
1. Suatu peringatan tertulis dengan kata - kata yang keras;
2. Suatu perbuatan hukum dan karenanya tidak perlu ditulis.14

11
Ibid
12
Ibid.
13
Setiawan I Ketut Oka, Op.cit. Hlm. 38
14
Setiawan I Ketut Oka, Op.cit. Hlm. 38
Peringatan Pasal 1238 KUH Perdata adalah peringatan tertulis.
Penyampaian Somasi melalui juru sita dipandang lebih aman karena ada berita
acara penyampaiannya.15
Dalam perbuatan ingkar janji atau wanprestasi, terdapat beberapa bentuk
perbuatan wanprestasi tersebut. Bentuk-bentuk wanprestasi tersebut antara lain
adalah :
a. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat pada waktunya.
b. Tidak memenuhi prestasi, artinya prestasi itu tidak hanya terlambat, tetapi
juga tidak bisa lagi dijalankan. Hal semacam ini disebabkan karena :
1) Pemenuhan prestasi tidak mungkin lagi dilaksanakan karena barangnya
telah musnah;
2) Prestasi kemudian sudah tidak berguna lagi, karena saat penyerahan
mempunyai arti yang sangat penting. Misalnya pesanan gaun pengantin
pada waktu perkawinan.16
c. Memenuhi prestasi tidak sempurna, artinya prestasi diberikan, tetapi tidak
sebagaimana mestinya.17
Perlu dijelaskan disini tentang “tidak dapat atau tidak sempurna memenuhi
suatu perikatann tidak selamanya merupakan suatu wanprestasi”. kecuali
memenuhi dua unsur yaitu adanya peringatan (aanmaning atau somatie) dan
unsur jika prestasi tidak dapat dilaksanakan karena adanya keadaan memaksa
(overmacht).18
Sedangkan pada gugatan perbuatan melanggar hukum tidak perlu diajukan
somasi terlebih dahulu. Gugatan perbuatan melangggar hukum dapat diajukan
langsung ke pengadilan. Dalam KUHPerdata, unsur-unsur perbuatan
melanggar hukum yakni, adanya perbuatan, perbuatan tersebut melanggar
hukum, ada hubugan sebab dan akibat antara perbuatan melawn hukum dan
kerugian, adanya kesalahan, dan terdapat kerugian.19
15
Ibid.
16
Ibid, hlm 19
17
Ibid
18
Ibid, hlm 20
19
Ibid, hlm 107
Dalam praktiknya pembuatan gugatan antara gugatan wanprestasi dan
gugatan perbuatan melanggar hukum banyak sekali kekeliruan yang terjadi,
dimana pihak penggugat yang mengalami sengketa wanprestasi menyebutkan
dalil - dalil yang berisikan gugatan perbuatan melanggar hukum, dan
sebaliknya pihak penggugat yang mengalami sengketa perbuatan melanggar
hukm malah menyebutkan dalil - dalil yang berisikan gugatan wanprestasi. Hal
tersebut merupakan celah dimana pihak lawan atau pihak tergugat akan
menggunakannya untuk memenangkan perkara tersebut dan bebas dari tuntutan
ganti kerugian.
Berbicara tentang ganti rugi, ketika seseorang membuat gugatan maka ada
bagian yang disebut dengan petita. Bagian tersebut merupakan bagian dimana
pihak penggugat mencantumkan keadaan kerugian yang dideritanya dan
menuntut pihak lawan atau pihak tergugat untuk membayar kerugian yang
diderita agar kembali kepada keadaan semula. Namun, yang menjadi persoalan
berikutya adalah apakah yang menjadi tuntutan rugi suatu gugatan wanprestasi
dan gugatan perbuatan melanggar hukum, apakah yang membedakan tuntutan
ganti rugi pada sengketa wanprestasi dengan tuntutan ganti rugi pada sengketa
perbuatan melanggar hukum. Serta apa saja yang menjadi batasan saat
menuntut ganti rugi kepada pihak lawan atau pihak tergugat, baik itu dalam
sengketa wanprestasi maupun sengketa perbuatan melanggar hukum. Dalam
pembahasan penelitian ini penulis akan memfokuskan pada tuntutan yang
diajukan dalam lingkup lingkungan, terutama pada sengketa lahan
pertambangan.

Belakangan ini sering terjadi kasus wanprestasi salah satunya ialah kasus
yang terjadi di Jawa Tengah terjadi kesepakatan jual beli 1 (1) satu bidang
tanah yang berlokasi di Perumahan Mustika Imperium Blok D-2 beserta
bangunan yang akan di bangun kemudian diserahterimakan pada tanggal 1
Januari 2020 seharga Rp.250.000.000,00 (Dua Ratus Lima Puluh Juta Rupiah),
telah dibayar.
Tetapi Adris Surrisal tidak melaksanakan kewajibannya yakni menyerahkan
tanah beserta bangunan rumah sesuai dengan yang sudah disepakati yang
seharusnya telah diserahterimakan kepada penggugat.
Atas perbuatannya Adris Surrisal telah wanprestasi tidak melaksanakan
perjanjian secara sempurna, maka disepakati Adris Surrisal mengembalikan
uang Faisal Amin sejumlah Rp.280.000.000.00, namun dibayar sejumlah
Rp.250.000.000.00, sehingga masih terdapat kekurangan pegembalian
sejumlah Rp.30.000.000.00.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti,
membahas serta mengangkatnya menjadi sebuah karya tulis yang berjudul
“ANALISIS TUNTUTAN GANTI RUGI DALAM WANPRESTASI DAN
PERBUATAN MELANGGAR HUKUM Studi Kasus (Putusan Nomor 603
K/Pdt/2023)”
B. RUMUSAN MASALAH
Pokok permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini meliputi dua hal
berikut, yaitu :
1. Bagaimana pengaturan tuntutan ganti kerugian dalam sengketa wanprestasi
dan sengketa perbuatan melanggar hukum dalam KUHPerdata?
2. Apa perbedaan antara tuntutan ganti kerugian sengketa wanprestasi dan
perbuatan melanggar hukum?
3. Bagaimana cara menentukan jumlah ganti kerugian sengketa wanprestasi
dan perbuatan melanggar hukum?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari dibuatnya penelitian
ini adalah :
1. Untuk mengetahui serta memahami apa yang menjadi batasan nilai tuntutan
ganti rugi antara gugatan wanprestasi dan gugatan perbuatan melanggar
hukum.
2. Untuk mengetahui perbedaan tuntutan ganti rugi dalam gugatan wanprestasi
dan perbuatan melanggar hukum.
D. Manfaat Penelitian
Dengan adanya penelitian ini, maka penulis berharap penelitian ini memiliki
manfaat bagi penulis sendiri dan juga bagi masyarakat umum. Manfaat
peneletian ini meliputi :
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan kajian
untuk mengembangkan wawasan hukum khusunya dalam hukum perikatan;
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan berguna sebagai wawasan bagi
masyarakat yang akan beracara dibidang perdata khususnya dalam
merumuskan tuntutan ganti rugi dalam pengajuan gugatan wanprestasi
maupun gugatan perbuatan melanggar hukum.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan umum tentang perbuatan melawan hukum.
1. Teori Wanprestasi secara umum
Wanprestasi artinya tidak memenuhi atau lalai dalam melaksanakan
sesuatu yang diwajibkan atau prestasi, seperti yang telah disepakati dalam
suatu perikatan.20 Tidak dipenuhinya suatu kewajiban atau prestasi oleh
debitur disebabkan dua kemungkinan alasan, yaitu:
a. Karena kesalahan debitur, baik sengaja tidak dipenuhi maupun karena
ketidaksengajaan atau kelalaian dari pihak debitur;
b. Karena adanya keadaan yang memaksa (overmacht), force majeur, yang
artinya keadaan tersebut berada diluar kemampuan dari pihak debitur.21
Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa pihak debitur wanprestasi
apabila:
a. Debitur sama sekali tidak memenuhi prestasi yang telah ditetapkan dalam
perikatan;
b. Debitur terlambat dalam memenuhi prestasi yang telah ditetapkan dalam
perikatan;
c. Debitur keliru atau tidak pantas memenuhi prestasi yang telah ditetapkan
dalam perikatan.
2. Teori Perbuatan Melanggar Hukum
Menurut H.R. 1919 perbuatan melawan hukum adalah berbuat atau tidak
berbuat yang disebutkan sebagai berikut:22
a. Melanggar hak orang lain
Hak orang lain, bukan semua hak, tetapi hanya hakhak pribadi, seperti
integritas tubuh, kebebasan, kehormatan, dan lain-lain, serta hak-hak
absolut, seperti hak kebendaan, octroi, nama perniagaan, hak cipta, dan
lain-lain;
b. Bertentangan dengan kewajban hukum pelaku
Kewajiban hukum hanya kewajiban yag dirumuskan dalam aturan
undang-undang;
c. Bertentangan dengan kesusilaan.

20
Hariri Wawan Muhwan, Hukum Perikatan, Dilengkapi Hukum dalam Islam. Bandung: Pustaka
Setia,2011.hlm.103
21
Ibid.
22
Hariri Wawan Muhwan, Op.cit. hlm. 32.
Artinya, perbuatan yang dilakukan seseorang bertentangan dengan
sopan santun yang tidak tertulis, yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat;
d. Bertentangan dengan kecermatan yang harus diindahkan dalam
masyarakat. Aturan tentang kecermatan terdiri atas dua kelompok yaitu:
1) Aturan-aturan yang mencegah orag lain terjerumus dalam bahaya;
2) Aturan-aturan yang melarang merugikan orang lain ketika hendak
menyelenggarakan kepentingannya
3. Teori Tanggung Jawab
Dalam kamus hukum, terdapat dua kata yang merujuk pada
pertanggungajawaban yaitu liability dan responsibility. Liability merupakan
istilah hukum yang luas yang menunjuk hampir semua karakter risiko atau
tanggung jawab yang pasti, yang bergantung atau yang mungkin meliputi
semua karakter hak dan kewajiban secara aktual atau potensial seperti
kerugian, ancaman, kejahatan, biaya atau kondisi yang menciptakan tugas
untuk melaksanakan undang-undang yang dilaksanakan. Dalam pengertian
dan penggunaan praktis, istilah liability menunjuk pada
pertanggungjawaban hukum yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang
dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan istilah responsibility mengarah
pada pertanggungjawaban dibidang politik. Prinsip-prinsip umum tanggung
jawab dalam hukum dapat dibedakan menjadi :23
a. Prinsip Tanggung Jawab
Berdasarkan Unsur Kesalahan Prinsip tanggung jawab berdasarkan
unsur kesalahan (fault liability atau liability based on fault) adalah
prinsip umum yang berlaku baik dalam hukum pidana dan perdata.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1365 sampai dengan
Pasal 1367, prinsip ini menyatakan seseorang baru dapat dimintakan
pertanggungjawabannya apabila seseorang tersebut secara hukum telah
melakukan kesalahan. Contohnya pada Pasal 1365 yang sering disebut
23
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta, Gramedia
Widiasarana Indonesia, 2006, hlm.73-79.
dengan Pasal tentang perbuatan melanggar hukum, mengharuskan
terpenuhinya empat unsur pokok yaitu, adanya perbuatan, adanya unsur
kesalahan, adanya kerugian yang diderita, adanya hubungan kausalitas
antara kesalahan dan kerugian.
b. Prinsip Praduga Untuk Selalu
Bertanggung Jawab Prinsip ini menyatakan bahwa bagi pihak
Tergugat akan selalu dianggap bertanggung jawab (presumption of
liability principle) hingga ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah.
c. Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab
Bertolak belakang dengan prinsip praduga untuk selalu bertanggung
jawab, prinsip ini hanya dikenal didalam lingkungan transaksi konsumen
yang sangat terbatas.
d. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak
Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan
dengan prinsip tanggung jawab absolut. Namun, ada para ahli yang
membedakan kedua terminologi diatas. Ada pendapat yang menyatakan
bahwa strict liability merupakan prinsip tanggung jawab yang mentapkan
kesalahan bukanlah suatu faktor utama yang menentukan seseorang harus
bertanggung jawab atau tidak. Namun ada pengecualian yang
memungkinkan untuk seseorang tersebut dapat dibebaskan dari tanggung
jawabnya, contohnya adalah apabila terdapat keadaan yang memaksa.
Sedangkan dalam tanggung jawb absolut tidak mengenal adanya
pengecualian yang memungkinkan seseorang untuk dapat terbebas dari
tanggung jawabnya.
e. Prinsip Tanggung Jawab Dengan Pembatasan
Prinsip ini merupakan prinsip favorit bagi pelaku usaha untuk dimuat
dalam kontrak perjanjian yang dibuat olehnya. Prinsip ini kerap dijadikan
sebagai klausula eksonerasi atau dapat diartikan sebagai klausula
pengecualian kewajiban atau tanggung jawab dalam sebuah perjanjian.
4. Teori Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum merupakan perlindungan terhadap harkat serta
martabat, dan juga pengakuan akan hak-hak asasi manusia yang dimiliki
oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan atau
sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang dapat melindungi suatu hal
dariya.
Perlindungan hukum merupakan pemberian pengayoman kepada hak
asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut
diberikan pada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak mereka
yang diberikan oleh hukum. Perlindungan hukum dapat juga diartikan
sebagai upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum
untuk memberika rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari
gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun.24

BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Metode adalah proses, prinsip serta tata cara dalam memecahkan suatu masalah,
sedangkan penelitian merupakan pemeriksaan yang dilakukan dengan hati-hati, tekun,
serta tuntas mengenai suatu gejala untuk menambah pengetahuan manusia. Dengan

24
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti. 2000. hlm. 74
kata lain, metode penelitian merupakan suatu proses, prinsip serta tata cara untuk
memecahkan gejala atau masalah yang dihadapi dalam melakukan suatu penelitian. 25
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif
yang didukung data lapangan. Penelitian hukum normatif ialah penelitian yang
meneliti hukum dari perspektif internal dengan objek penelitiannya adalah norma
hukum.
2. Metode Pendekatan
Pendekatan adalah cara pandang peneliti dalam memilih ruang pembahasan
yang dirasa mampu memberi penjelasan terhadap uraian suatu substansi karya
ilmiah. Umumnya, metode pendekatan yang paling sering digunakan dalam
penelitian hukum normatif yaitu, pendekatan perundangundangan, pendekatan
sejarah, pendekatan konsep, pendekatan kasus,dan perbandingan komparatif atau
perbandingan.26
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan atau memilih metode pendekatan
berikut:
a. Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach), dimana pendekatan ini
dilakukan dengan cara menelaah perundang-undangan yang berlaku terhadap
isu penelitian.27
b. Pendekatan konseptual (Conceptual Approach), dalam pendekatan ini penulis
akan menelusuri sumber hukum sekunder yang memberi berbagai informasi
tentang konsep yang terdapat dalam buku-buku hukum, artikel-artikel hukum,
ensiklopedi hukum.28
c. Pendekatan kasus (Case Approach) yakni pendekatan yang dilakukan dengan
cara menelaah kasus-kasus terkait dengan isu yang dihadapi dan telah menjadi
putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap.29
3. Sumber Bahan Hukum
Bahan-bahan hukum yang penulis gunakan adalah sebagai berikut:

25
Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI press. 1998.hlm.6
26
Ibid, hlm. 156
27
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2011,
hlm.93
28
Ibid
29
Ibid
a. Bahan Hukum Primer yang penulis gunakan adalah Kitab Undang - Undang
Hukum Perdata atau KUHPerdata.
b. Bahan Hukum Sekunder yang penulis gunakan ialah, buku-buku hukum,
artikel-artikel hukum, literatur, skripsi, makalah, disertasi dan bahan-bahan
hukum lainnya yang penulis baca sebagai informasi guna memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer.
c. Bahan Hukum Tersier yang penulis gunakan ialah, ensiklopedi hukum guna
untuk memberikan petunjuk dan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan
sekunder.
4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Penulis menggunakan teknik pengumpulan bahan hukum dengan cara mencari,
menelaah serta mengidentifikasi bahan hukum primer yang sesuai dengan
permasalahan penelitian. Kemudian penulis menggunakan bahan hukum sekunder
sebagai penjelasan atas bahan hukum sekunder. Kedua sumber bahan hukum
tersebut ditunjang oleh bahan hukum tersier seperti putusan pengadilan maupun
perundang-undangan yang berlaku.
5. Analisis Bahan Hukum
Pada penelitian ini penulis menggunakan metode analisis bahan hukum dengan
teknik sebagai berikut:
a. Teknik Deskriptif, yaitu tipe analisis bahan hukum yang akan mengungkapkan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan isu atau objek penelitian,
lalu dilihat bagaimana pelaksanaannya dilapangan.
b. Teknik Komparatif, penulis membandingkan perbedaan bahan hukum yang
berkaitan dengan objek penelitian penulis dalam hal ini ganti rugi wanprestasi
dengan ganti rugi perbuatan melawan hukum. Teknik Penarikan Kesimpulan
Penulis dalam menarik kesimpulan pada penelitian ini menggunakan cara
berfikir deduktif. Artinya, penulis berawal pada pemikiran yang mendasar
terlebih dahulu, kemudian penulis akan menarik kesimpulan yang bersifat
khusus.
BAB IV
ISI DAN PEMBAHASAN
A. Persamaan dan Perbedaan Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi
Wanprestasi atau juga disebut dengan cidera janji atau ingkar janji
merupakan konsekuensi atau akibat tidak dipenuhinya suatu prestasi. Kamus
Hukum,30 mengartikan prestasi sebagai hasil yang telah dicapai dari apa yang
telah dikerjakan.

30
M. Marwan dan Jimmy P., Op Cit, hlm. 513.
1. Menurut Pasal 1234 KUHPerdata, disebutkan bahwa “Tiap-tiap perikatan
adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak
berbuat sesuatu.”31 Dari keterangan tersebut ada tiga kemungkinan wujud
prestasi, yaitu: Memberikan sesuatu, misalnya menyerahkan benda,
membayar harga benda, dan memberikan hibah penelitian;
2. Melakukan sesuatu, misalnya membuat pagarpekarangan rumah,
mengangkut barang tertentu, dan menyimpan rahasia perusahaan;
3. Tidak melakukan sesuatu, misalnya tidak melakukan persaingan curang,
tidak melakukan dumping, dan tidak menggunakan merek orang lain.32
Penulis berpendapat bahwa, dari uraian tersebut, wanprestasi merupakan
kebalikan dari prestasi. Tidak dipenuhinya suatu prestasi sudah barang tentu
menimbulkan kerugian bagi pihak lainnya. Sedangkan ditinjau dari sifatnya
prestasi tersebut, menurut Abdulkadir Muhammad, prestasi adalah objek
perikatan. Agar objek perikatan dapat dipenuhi oleh debitur, maka perlu
diketahui sifat-sifatnya, yaitu:
1. Prestasi harus sudah tertentu atau dapat ditentukan. Sifat ini memungkinkan
debitur memenuhi perikatan. Jika prestasi itu tidak ditentukan atau tidak
dapat ditentukan, mengakibatkan perikatan itu batal (nietig).
2. Prestasi itu harus mungkin. Artinya, prestasi itu dapat dipenuhi oleh debitur
secara wajar dengan segala upayanya. Jika tidak demikian, perikatan itu
dapat dibatalkan (vernietigbaar).
3. Prestasi itu harus dibolehkan (halal). Artinya, tidak dilarang oleh undang-
undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan
dengan kesusilaan masyarakat. Jika prestasi tidak halal, perikatan itu batal
(nietig).
4. Prestasi itu harus ada manfaat bagi kreditur Artinya, kreditur dapat
menggunakan, menikmati, dan mengambil hasilnya. Jika tidak demikian,
perikatan itu dapat dibatalkan (nietigbaar).

31
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Op Cit, hlm. 323.
32
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Op Cit, hlm. 239.
5. Prestasi itu terdiri atas satu perbuatan atau serentetan perbuatan. Jika
prestasi berupa satu perbuatan dilakukan lebih dari satu kali, dapat
mengakibatkan pembatalan perikatan (vernietigbaar). Satu kali perbuatan itu
maksudnya pemenuhan mengakhiri perikatan, sedangkan lebih dari satu kali
perbuatan maksudnya pemenuhan yang terakhir mengakhiri perikatan.33
Pada wanprestasi terjadi oleh karena adanya suatu perjanjian atau kontrak di
antara para pihak. Menurut Pasal 1313 KUHPerdata disebutkan bahwa “Suatu
perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” 34 Sedangkan menurut
Kamus Hukum,35 perjanjian diartikan sebagai persetujuan secara tertulis atau
lisan yang dibuat dua pihak atau lebih di mana masingmasing berjanji akan
menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu sebagai kesepakatan bersama.
Istilah yang mirip dengan perjanjian ialah kontrak sehingga disebut pula
sebagai hukum kontrak, yang memberikan penekananpenekanan terhadap hal-
hal sebagai berikut:
1. Hukum kontrak dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur tentang
perjanjian-perjanjian yang tertulis semata-mata. Jika orang menanyakan
mana kontraknya, berarti bahwa dia menanyakan mana kontrak tertulisnya.
2. Hukum kontrak dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur tentang
perjanjian-perjanjian dalam bidang bisnis semata-mata.
3. Hukum kontrak dimaksudkan semata-mata hukum yang mengatur terhadap
perjanjianperjanjian internasional, multinasional atau perjanjian dengan
perusahaan-perusahaan multinasional.
4. Hukum kontrak semata-mata dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur
tentang perjanjianperjanjian yang prestasinya dilakukan oleh kedua belah
pihak. Jadi akan janggal jika digunakan istilah kontrak untuk ‘kontrak
hibah’ dan ‘kontrak warisan’ dan sebagainya.36

33
bid, hlm. 239-240
34
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Op Cit, hlm. 338.
35
M. Marwan dan Jimmy P., Op Cit, hlm. 507.
36
MunirFuady, Konsep Hukum Perdata, Op Cit, hlm. 180.
Tidak dipenuhinya perjanjian atau kontrak, sudah tentu dapat menimbulkan
kerugian bagi pihak lainnya sehingga dinamakan sebagai terjadi suatu cedera
janji, ingkar janji atau wanprestasi. Menurut I Ketut Oka Setiawan, bentuk-
bentuk wanprestasi, adalah:
1. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat pada waktunya. Dengan perkataan lain,
terlambat melakukan prestasi. Artinya, meskipun prestasi itu dilaksanakan
atau diberikan, tetapi tidak sesuai dengan waktu penyerahan dalam
perikatan. Prestasi yang demikian itu disebut juga kelalaian.
2. Tidak memenuhi prestasi. Artinya, prestasi itu tidak hanya terlambat, tetapi
juga tidak bisa lagi dijalankan. Hal semacam ini disebabkan karena:
a. Pemenuhan prestasi tidak mungkin lagi dilaksanakan karena barangnya
telah musnah;
b. Prestasi kemudian sudah tidak berguna lagi, karena saat penyerahan
mempunyai arti yang sangat penting. Misalnya, pasangan gaunpengantin
untuk dipakai pada waktu perkawinan, apabila tidak diserahkan pada
waktu sebelum perkawinan, maka penyerahan kemudian tidak
mempunyai arti lagi.
3. Memenuhi prestasi tidak sempurna. Artinya, prestasi diberikan tetapi tidak
sebagaimana mestinya. Misalnya, prestasi mengenai penyerahan satu truk
kacang kedelai berkualitas nomor 1, namun yang diserahkan adalah kacang
kedelai yang berkualitas nomor 2.19
Timbulnya wanprestasi menjadi alasan penting untuk melakukan gugatan
karena wanprestasi, seperti gugatan ganti kerugian. Hal tersebut merupakan
konsekuensi atau akibat wanprestasi itu sendiri sehingga apabila debitur
wanprestasi, maka sebagai akibatnya ialah:
1. Kreditur tetap berhak atas pemenuhan perikatan, jika hal itu masih
dimungkinkan;
2. Kreditur juga mempunyai hak atas ganti kerugian, baik bersamaan dengan
pemenuhan prestasi maupun sebagai gantinya pemenuhan prestasi;
3. Sesudah adanya wanprestasi, maka overmachttidak mempunyai kekuatan
untuk membebaskan debitur;
4. Pada perikatan yang lahir dari kontrak timbal balik, maka wanprestasi dari
pihak pertama memberi hak kepada pihak lain untuk minta pembatalan
kontrak pada Hakim, sehingga penggugat dibebaskan dari kewajibannya.
Dalam gugatan pembatalan kontrak ini dapat juga dimintakan ganti
kerugian.37
Pembahasan tentang wanprestasi perlu penulis kemukakan bahwa
wanprestasi terjadi dalam lingkup perjanjian atau kontrak, sehingga hubungan
hukum yang terjalin di antara para pihak menjadi dasar untuk menentukan
apakah pelaksanaan prestasi terjadi atau tidak. Bilamana tidak terjadi sesuai
yang dijanjikan, maka disitulah telah terjadi wanprestasi.
Ganti kerugian hanyalah salah satu upaya yang dapat digugat karena
terjadinya wanprestasi. Namun perlu diperhatikan bahwa di dalam pemenuhan
prestasi dapat saja terjadi beberapa kemungkinan sebagai penyebabnya, yaitu:
1. Karena kesalahan debitur, baik karena kesengajaan maupun kelalaian; dan
2. Karena keadaan memaksa (force majeure), di luar kemampuan debitur.
Jadi, debitur tidak bersalah.38 Dapat penulis kemukakan sebagai contohnya
dalam hal kesalahan debitur sendiri, misalnya pada perjanjian membangun
rumah oleh karena kualitas bahan bangunannya kurang diperhatikan dan
debitur pun menentukan kualitasnya, walaupun rendah mutunya akan tetapi
bangunan tersebut terus dilaksanakan, kemudian runtuh, maka debitur tidak
sepenuhnya dapat dipersalahkan.
Kemudian dalam keadaan memaksa, misalnya diperjanjikan membangun
rumah pada kemiringan tertentu yang mudah longsor, namun hal demikian
merupakan keinginan debitur yang dijanjikan bersama dengan kreditur,
kemudian diterjang tanah longsor dan roboh. Maka, dalam keadaan semacam
itu, alasan karena keadaan memaksa merupakan bagian yang patut
dipertimbangkan.
37
Ibid, hlm. 20.
38
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Op Cit, hlm. 241.
Pembahasan tentang persamaan dan perbedaan antara perbuatan melawan
hukum dengan wanprestasi penting sekali, oleh karena sekilasmempunyai
persamaan, namun di lain pihak mempunyai perbedaan yang mendasar.
Persamaannya antara lain dapat diajukannya gugatan ganti kerugian akibat
perbuatan melawan hukum maupun karena wanprestasi.
Perbuatan melawan hukum dalam yurisprudensi menurut hukum dan praktik
peradilan di Indonesia adalah bertolak dari ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata
sebagai sumber hukumnya, sedangkan sumber hukum wanprestasi ialah
ketentuan Pasal 1243 KUHPerdata. Perbedaan dari sumber hukumnya tersebut
jika ditinjau dari segi persamaannya, keduanya sama-sama diatur dalam Buku
Ketiga KUHPerdata tentang Perikatan.
Ditinjau dari timbulnya hak menuntut, pada perbuatan melawan hukum, hak
menuntut ganti rugi karena perbuatan melawan hukum tidak perlu dengan
peringatan atau somasi. Pihak yang merasa dirugikan dapat langsung
memperoleh hak untuk menuntut ganti rugi. Sementara pada wanprestasi, hak
menuntut ganti rugi akibat wanprestasi timbul dari Pasal 1243 KUHPerdata,
yang pada prinsipnya membutuhkan pernyataan lalai (somasi).
Terhadap ganti rugi, baik perbuatan melawan hukum maupun wanprestasi
mengenal adanya ganti rugi. Namun dalam wanprestasi, telah diatur tentang
jangka waktu perhitungan ganti rugi yang dapat dituntut, serta jenis dan jumlah
ganti rugi yang dapat dituntut dalam wanprestasi. Sementara itu, KUHPerdata
tidak mengatur bagaimana bentuk dan rincian ganti rugi. Dengan demikian,
bisa diduga ganti rugi nyata dan kerugian immateriil.39
Walaupun demikian, menurut Abdulkadir Muhammad, 40 perihal kerugian ini
dapat bersifat kerugian materiil atau kerugian immateriil. Apa ukurannya, apa
yang termasuk kerugian itu, tidak ada ketentuan lebih lanjut dalam undang-
undang sehubungan dengan perbuatan melawan hukum. Menurut
yurisprudensi, kerugian yang timbul karena perbuatan melawan hukum

39
“Perbedaan Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi,” Loc Cit
40
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Op Cit, hlm. 146-147.
ketentuannya sama dengan ketentuan kerugian yang timbul karena wanprestasi
dalam perjanjian. Ketentuan tersebut diperlakukan secara analogi.
Dalam Pasal 1243 sampai dengan Pasal 1248 KUHPerdata diatur secara
rinci tentang ganti rugi akibat wanprestasi. Kerugian akibat wanprestasi itu
meliputi tiga unsur, yaitu biaya, kerugian yang sungguh-sungguh diderita, dan
keuntungan yang diharapkan. Dengan demikian, kerugian dalam perbuatan
melawan hukum juga meliputi tiga unsur tersebut. Demikian juga ukuran yang
dipakai, yaitu uang.
Persamaan dan perbedaan antara perbuatan melawan hukum dengan
wanprestasi terus terjadi, mengingat dalam masyarakat, gugatan dan perkara
berdasarkan perbuatan melawan hukum serta berdasarkan wanprestasi banyak
terjadi.
B. Konsep Ganti Rugi dalam Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi
Dari segi kacamata yuridis, konsep ganti rugi dalam hukum dikenal dalam
dua bidang, yaitu sebagai berikut: yang pertama konsep ganti rugi karena
wanprestasi kontrak, dan yang kedua: konsep ganti rugi karena perikatan
berdasarkan undang-undang termasuk ganti rugi karena perbuatan melawan
hukum. Banyak persamaan antara konsep ganti rugi karena wanprestasi
kontrak dengan konsep ganti rugi karena perbuatan melawan hukum, akan
tetapi perbedaannya juga banyak. Ada juga konsep ganti rugi yang dapat
diterima dalam system ganti rugi karena perbuatan melawan hukum, tetapi
terlalu keras jika diberlakukan terhadap ganti rugi karena wanprestasi kontrak.
Misalnya ganti rugi yang menghukum (punitive damages) yang dapat
diterima dengan baik dalam ganti rugi karena perbuatan melawan hukum,
tetapi dalam prinsipnya sulit diterima dalam ganti rugi karena wanprestasi
kontrak. Ganti rugi dalam bentuk menghukum ini adalah ganti rugi yang harus
diberikan kepada korban dalam jumlah yang melebihi dari kerugian yang
sebenarnya. Ini dimaksudkan untuk menghukum pihak pelaku perbuatan
melawan hukum tersebut. Karena jumlahnya yang melebihi dari kerugian yang
nyata di derita, maka untuk ganti rugi menghukum ini sering disebut juga
dengan istilah “uang cerdik” (smart money).41
Bentuk ganti rugi terhadap perbuatan melawan hukum yang dikenal dalam
hukum adalah sebagai berikut:
1. Ganti rugi nominal: jika ada perbuatan melawan hukum yang serius, seperti
perbuatan yang mengandung unsur kesengajaan, tetapi tidak menimbulkan
kerugian yang nyata bagi korban, maka kepada korban dapat diberikan
sejumlah uang tertentu sesuai dengan rasa keadilan tanpa menghitung
berapa sebenarnya kerugian tersebut. Inilah yang disebut dengan ganti rugi
nominal.
2. Ganti rugi kompensasi: merupakan ganti rugi yang merupakan pembayaran
kepada korban atas dan sebesar kerugian yang benar-benar telah dialami
oleh pihak korban dari suatu perbuatan melawan hukum. Karena itu ganti
rugi seperti ini disebut juga dengan ganti rugi actual. Misalnya ganti rugi
atas segala biaya yang dikeluarkan oleh korban, kehilangan
keuntungan/gaji, sakit dan penderita, termasuk penderitaan mental seperti
stres, malu, jatuh nama baik, dan lain-lain.
3. ganti rugi penghukuman, merupakan suatu ganti rugi dalam jumlah besar
yang melebihi dari jumlah kerugian yang sebenarnya. Besarnya jumlah
ganti rugi tersebut dimaksudkan diterapkan terhadap kasus-kasus
kesengajaan yang berat atau sadis. Misalnya diterapkan terhadap
penganiayaan berat atas seseorang tanpa rasa perikemanusiaan.
Dilain pihak kedudukan dari korban dari perbuatan melawan hukum
berbeda dengan pihak dalam kontrak yang terhadapnya telah dilakukan
wanprestasi oleh lawannya dalam kontrak tersebut, pihak yang telah berani
menandatangani kontrak, berarti dia sedikit banyaknya sudah berani
mengambil resiko-resiko tertentu, termasuk resiko kerugian yang terbit dari
kontrak tersebut. Sehingga ganti rugi yang diberikan kepadanya tidaklah terlalu
keras berlakunya. Akan tetapi, lain halnya bagi korban dari perbuatan melawan
41
Munir Fuady: PT Citra Aditya Bakti: 2013
hukum, yang kadang-kadang datang dengan sangat mendadak dan tanpa
diperhitungkan sama sekali. Karena pihak korban dari perbuatan melawan
hukum sama sekali tidak siap menerima risiko dan sama sekali tidak pernah
berfikir tentang risiko tersebut, maka seyogyanya dia lebih dilindungi,
sehingga ganti rugi yang berlaku kepadanya lebih luas dan lebih tegas
berlakunya.
Orang sering mencampuradukkan antara gugatan wanprestasi dan gugatan
perbuatan melawan hukum. Adakalanya, orang mengajukan gugatan perbuatan
melawan hukum. Namun dari dalil-dalil yang dikemukakan, sebenarnya lebih
tepat kalau diajukan gugatan wanprestasi. Ini akan menjadi celah yang akan
dimanfaatkan tergugat dalam tangkisannya. Membedakan antara perbuatan
melawan hukum dan wanprestasi sebenarnya gampang-gampang susah.
Sepintas, kita bisa melihat persamaan dan perbedaanya dengan gampang. Baik
perbuatan melawan hukum dan wanprestasi, sama-sama dapat diajukan
tuntutan ganti rugi.
Sementara perbedaannya, seseorang dikatakan wanprestasi apabila ia
melanggar suatu perjanjian yang telah disepakati dengan pihak lain. Tiada
wanprestasi apabila tidak ada perjanjian sebelumnya. Sedangkan seseorang
dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum apabila perbuatannya
bertentangan dengan hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban
hukumnya sendiri, atau bertentangan dengan kesusilaan.
Beberapa sarjana hukum bahkan berani menyamakan perbuatan melawan
hukum dengan wanprestasi dengan batasan-batasan tertentu. Asser Ruten,
sarjana hukum Belanda, berpendapat bahwa tidak ada perbedaan yang hakiki
antara perbuatan melawan hukum dan wanprestasi. Menurutnya, wanprestasi
bukan hanya pelanggaran atas hak orang lain, melainkan juga merupakan
gangguan terhadap hak kebendaan.
Senada dengan Rutten, Yahya Harahap berpandapat bahwa dengan tindakan
debitur dalam melaksanakan kewajibannya yang tidak tepat waktu atau tak
layak, jelas itu merupakan pelanggaran hak kreditur. Setiap pelanggaran hak
orang lain berarti merupakan perbuatan melawan hukum. Dikatakan pula,
wanprestasi adalah species, sedangkan genusnya adalah perbuatan melawan
hukum. Selain itu, bisa saja perbuatan seseorang dikatakan wanprestasi
sekaligus perbuatan melawan hukum. Misalnya A yang sedang mengontrak
rumah B, tidak membayar uang sewa yang telah disepakati. Selain belum
membayar uang sewa, ternyata A juga merusak pintu rumah B. Namun apabila
kita cermati lagi, ada suatu perbedaan hakiki antara sifat perbuatan melawan
hukum dan wanprestasi. Bahkan, Pitlo menegaskan bahwa baik dilihat dari
sejarahnya maupun dari sistematik undang-undang, wanprestasi tidak dapat
digolongkan pada pengertian perbuatan melawan hukum.
M.A. Moegni Djojodirdjo dalam bukunya yang berjudul “Perbuatan
Melawan Hukum”, berpendapat bahwa amat penting untuk mempertimbangkan
apakah seseorang akan mengajukan tuntutan ganti rugi karena wanprestasi atau
karena perbuatan melawan hukum. Menurut Moegni, akan ada perbedaan
dalam pembebanan pembuktian, perhitungan kerugian, dan bentuk ganti
ruginya antara tuntutan wanprestasi dan perbuatan melawan hukum. Dalam
suatu gugatan perbuatan melawan hukum, penggugat harus membuktikan
semua unsur-unsur perbuatan melawan hukum selain harus mampu
membuktikan adanya kesalahan yang diperbuat debitur. Sedangkan dalam
gugatan wanprestasi, penggugat cukup menunjukkan adanya wanprestasi atau
adanya perjanjian yang dilanggar. Kemudian dalam suatu gugatan perbuatan
melawan hukum, penggugat dapat menuntut pengembalian pada keadaan
semula (restitutio in integrum). Namun, tuntutan tersebut tidak diajukan
apabila gugatan yang diajukan dasarnya adalah wanprestasi.(pkbh.uad.ac.id)
B. Sistem Ganti Rugi dalam KUH Perdata
Seperti telah diuraikan di atas, seorang yang melakukan perbuatan melawan
hukum maupun wanprestasi wajib mengganti kerugian. Untuk itu kita perlu
lebih memahami mengenai tuntutan-tuntutan apa yang dimungkinkan dalam
perbuatan melawan hukum maupun wanprestasi. Terlebih dahulu kita akan
membahas mengenai tuntutan dalam perbuatan melawan hukum. Dalam pasal
1365 KUHPerdata memberikan kemungkinan beberapa jenis penuntutan,
antara lain:42
1. ganti kerugian atas kerugian dalam bentuk uang;
2. ganti kerugian dalam bentuk natura atau pengembalian keadaan pada
keadaan semula;
3. pernyataan bahwa perbuatan yang dilakukan dalah bersifat melawan hukum;
4. larangan untuk melakukan suatu perbuatan;
5. meniadakan sesuatu yang diadakan secara melawan hukum;
6. pengumuman daripada keputusan atau dari sesuatu yang telah diperbaiki.
Pembayaran ganti kerugian tidak selalu harus berwujud uang. Hoge Raad
dalam Keputusan tanggal 24 Mei 1918 telah mempertimbangkan bahwa
pengembalian pada keadaan semula adalah merupakan pembayaran ganti
kerugian yang paling tepat. Maksud ketentuan pasal 1365 KUHPerdata adalah
untuk seberapa mungkin mengembalikan penderita pada keadaan semula,
setidak-tidaknya pada keadaan yang mungkin dicapainya, sekiranya tidak
dilakukan perbuatan melawan hukum. Maka yang diusahakan adalah
pengembalian yang nyata yang kiranya lebih sesuai dari pada pembayaran
ganti kerugian dalam bentuk uang karena pembayaran sejumlah uang hanyalah
merupakan nilai yang equivalen saja.
Seorang penderita perbuatan melawan hukum berwenang meminta
penggantian natura. Selain daripada haknya untuk meminta ganti kerugian atau
untuk menuntut pengembalian pada keadaan semula (restitutio in integrum),
maka penderita berwenang untuk mengajukan nilai-nilai tuntutan yakni agar
pengadilan menyatakan bahwa perbuatan yang dipersalahkan pada pelaku
merupakan perbuatan melawan hukum. Dalam hal ini penderita dapat juga
mengajukan tuntutan kehadapan Pengadilan agar Pengadilan Negeri
memberikan keputusan dieclaratoir tanpa menuntut pembayaran ganti
kerugian. Demikian juga penderita dapat menuntut agar Pengadilan Negeri
menjatuhkan keputusannya dengan melarang pelaku untuk melakukan

42
M.A. Moegni Djojodirdjo1976 : 102
perbuatan melawan hukum lagi dikemudian hari. Bilamana si pelaku tetap
tidak mentaati keputusan untuk mengembalikan pada keadaan semula, maka si
43
pelaku tersebut dapat dikenakan uang paksa. (Sri Redjeki Slamet- Lex
Jurnalica Volume 10 Nomor 2, Agustus 2013)
Kitab Undang-undang hukum perdata yang merupakan kiblatnya hukum
perdata di Indonesia, termasuk kiblat bagi hukum yang berkenaan dengan
perbuatan melawan hukum, mengatur kerugian dang ganti rugi dalam
hubungannya dengan perbuatan melawan hukum dengan 2 (dua) pendekatan
sebagai berikut yaitu ganti rugi umum dang anti rugi khusus. Selain dari ganti
rugi umum yang diatur mulai dari Pasal 1243 KUHPerdata, KUHPerdata juga
mengatur ganti rugi khusus, yakni ganti rugi khusus terhadap kerugian yang
timbul dari perikatan-perikatan tertentu. Dalam hubungan dengan ganti rugi
yang terbit dari suatu perbuatan melawan hukum, selain dari ganti rugi dalam
bentuk yang umum, KUHPerdata juga menyebutkan pemberian ganti rugi
terhadap hal-hal sebagai berikut:
1. Ganti rugi semua perbuatan melawan hukum (Pasal 1365).
2. Ganti rugi untuk perbuatan yang dilakukan oleh orang lain (Pasal 1366-
Pasal 1367).
3. Ganti rugi untuk pemilik binatang (Pasal 1368).
4. Ganti rugi untuk pemilik gedung yang ambruk (Pasal 1369).
5. Ganti rugi untuk keluarga yang ditinggalkan oleh orang yang dibunuh (Pasal
1370)
6. Ganti rugi karena orang telah luka atau cacat anggota badan (Pasal 1371).
7. Ganti rugi karena tindakan penghinaan (Pasal 1372-1380).
Disamping itu, menurut KUHPerdata ketentuan ganti rugi karena akibat dari
perbuatan melawan hukum tidak jauh beda dengan ganti rugi karena
wanprestasi. Dalam Pasal 1249 KUHPerdata, ditentukan bahwa penggantian
kerugian yang disebabkan karena wanprestasi hanya ditentukan dalam bentuk

43
Sri Redjeki Slamet- Lex Jurnalica Volume 10 Nomor 2, Agustus 2013
uang. Namun dalam perkembangannya, menurut para ahli dan yurisprudensi
bahwa kerugian dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu ganti rugi materiil
dan ganti rugi inmateriil. (Asser’s 1988:274). Kerugian materiil adalah suatu
kerugian yang diderita kreditor dalam bentuk uang/kekayaan/benda, sedangkan
kerugian inmateriil adalah suatu kerugian yang diderita oleh kreditor yang
tidak bernilai uang, seperti rasa sakit, mukanya pucat, dan lain-lain.44
Pedoman selanjutnya mengenai ganti kerugian dalam Perbuatan Melawan
Hukum kita bisa lihat dalam Pasal 1372 ayat (2) KUHPerdata yang isinya:
“Dalam menilai suatu dan lain, Hakim harus memperhatikan berat ringannya
penghinaan, begitu pula pangkat, kedudukan dan kemampuan kedua belah
pihak, dan pada keadaan”.
Prof. Rosa Agustina dalam bukunya “Perbuatan Melawan Hukum”
menerangkan bahwa kerugian akibat Perbuatan Melawan Hukum sebagai
“scade” (rugi) saja, sedangakan kerugian akibat Wanprestasi oleh Pasal 1246
KUHPerdata dinamakan “Konsten, scaden en interessen” (biaya, kerugian dan
bunga). Kemudian, dalam buku yang sama Prof. Rosa Agustina juga
menerangkan bahwa kerugian dalam Perbuatan Melawan Hukum menurut
KUHPerdata, Pemohon dapat meminta kepada si pelaku untuk mengganti
kerugian yang nyata telah dideritanya (Materil) maupun keuntungan yang akan
diperoleh di kemudian hari (Immateril).

44
salim HS: Sinar Grafika.2001
DAFTAR PUSTAKA
FuadyMunir, Konsep Hukum Perdata, RajaGrafindo Persada, Cetakan ke-2,
Jakarta, 2015.
Hutagalung Sophar Maru, 2010, Praktik Peradilan Perdata, Jakarta : Sinar
Grafika.
Hariri Wawan Muhwan, 2011, Hukum Perikatan, Dilengkapi Hukum dalam Islam.
Bandung: Pustaka Setia.
Miru Ahmadi dan Pati Sakka, 2018, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal
1233 sampai 1456 BW, Depok : PT Raja Grafindo Persada.
Marwan M. dan Jimmy. P., Kamus Hukum, Reality Publisher, Cetakan Pertama,
Surabaya,2009.
MuhammadAbdulkadir, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Cetakan
ke-5, Bandung, 2014.
Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada
Media Grup.
Setiawan I Ketut Oka, Hukum Perikatan, Sinar Grafika, Cetakan Pertama, Jakarta,
2016.
Subekti R. dan R. Tjitrosudibio, Kitab UndangUndang Hukum Perdata, Pradnya
Paramita, Cetakan ke-32, Jakarta, 2002.
Suharnoko, 2008, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Jakarta :
KENCANA Prenadamedia Group.
Sudikno Mertokusumo, 2009, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta :
Liberty.
Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia.
Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Soerjono Soekamto, 1998, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI press.
Subekti, 2010, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta : PT Intermasa.
Website

“Perbuatan melawan hukum dan wanprestasi sebagai Dasar Gugatan”, dimuat pada:

Anda mungkin juga menyukai