Anda di halaman 1dari 6

MAKALAH ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI

DASAR HUKUM DAN AZAS-AZAS PERIKATAN SERTA WANPRESTASI DAN


HAPUSNYA PERIKATAN

Disusun Oleh :
Tasya Nabila
26219296
2EB14

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS GUNADARMA
BEKASI
2021
1.1 Pengertian dan Dasar Hukum Perikatan
Perikatan merupakan terjemahan istilah dalam bahasa Belanda verbintenis. Perikatan
adalah suatu perbuatan hukum yang mengikat antara dua orang atau lebih dimana satu pihak
mempunyai hak dan pihak yang lain mempunyai kewajiban atas suatu prestasi. Hal yang mengikat
itu adalah peristiwa hukum yang dapat berupa: jual beli, utang-piutang, hibah, kelahiran dan
kematian. Peristiwa hukum tersebut menciptakan suatu hubungan hukum.
Dalam hubungan hukum tersebut, para pihak mempunyai hak dan kewajiban. Pihak yang
berhak menuntut disebut kreditur, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan disebut debitur
dan sesuatu yang dituntut disebut prestasi.Dengan demikian perikatan dapat dirumuskan sebagai
hubungan hukum mengenai harta kekayaan yang terjadi antara kreditur dan debitur.
Hukum Perikatan memiliki pengertian dimana adanya hubungan hukum antara satu orang
dengan orang lainnya, dimana satu pihak mengikatkan diri kepada satu orang lain atau lebih.
Diantara orang-orang yang saling mengikatkan dirinya ini terdapat hak dan kewajiban yang harus
dipenuhi masing-masing pihak untuk pemenuhan prestasi. Contoh dari hukum perikatan ini sendiri
yakni sewa menyewa dan jual beli.
2.2 Azas-Azas Dalam Hukum Perikatan
A. Pacta Sund Servanda, memiliki pengertiaan sebagaimana yang ada di dalam pasal 1338
KUHPerdata: “Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik
kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang
ditentukan oleh undangundang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
B. Kepastian Hukum, Menurut Sudikno Mertokusumo Kepastian Hukum ialah jaminan
bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Jadi didalam suatu
perikatan masing-masing pihak harus menjalankannya sesuai dengan hukum dan perikatan
tersebut menjadi UU bagi para pihak yang membuatnya.
C. Konsensualisme, dalam hal ini mengacu pada pasal 1320 KUHPerdata, yakni: Supaya
terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat; kesepakatan mereka yang
mengikatkan dirinya; kecakapan untuk membuat suatu perikatan; suatu pokok persoalan
tertentu; suatu sebab yang tidak terlarang.
D. Kebebasan kontrak, yakni dimana para pihak dapat: Mengadakan perjanjian; Berbuat atau
tidak berbuat sesuatu; Menentukan isi perjanjian
E. Kepatutan, sesuai dengan apa yang ada di dalam pasal 1339 KUHPerdata, yakni:
“Persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya,
melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan
keadilan, kebiasaan, atau undang-undang.”
F. Keseimbangan,yakni asas yang dimana para pihak harus melakukan hak dan kewajibannya
sesuai dengan apa yang diperjanjikan namun apabila salah satu pihak tidak memenuhi
prestasinya maka pihak yang merasa dirugikan dapat menuntut prestasinya sesuai dengan
apa yang diperjanjikan, dalam hal ini asas keseimbangan dapat dipertanggungjawabkan.
G. Kepercayaan, memiliki arti bahwa setiap pihak yang mengadakan perjanjian harus saling
percaya satu dengan yang lainnya agar perjanjian yang diadakan dapat dijalankan dengan
itikad baik sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan sampai pada perjanjian tersebut
selesai. Tanpa adanya kepercayaan anatara pihak yang mengadakan perjanjian, maka tidak
dapat dilakukan suatu perjanjian karena perjanjian tersebut memiliki kekuatan yang
mengikat sebagai Undang-undang.
H. Persamaan hukum, memiliki arti bahwa setiap manusia memiliki kedudukan yang sama di
depan hukum. Tidak membedakan dari suku, agama, warna kulit, dan lainnya. Dalam hal
ini hukum menggangap setiap manusia sama.

2.3 Wanprestasi dan Akibat-Akibatnya


Kegagalan pelaksanaan pemenuhan kewajiban sebuah kontrak atau perjanjian dapat terjadi
karena faktor internal para pihak maupun faktor eksternal yang berpengaruh terhadap eksistensi
kontrak yang bersangkutan. Salah satu faktor yang mengakibatkan gagalnya pelaksanaaan
pemenuhan kewajiban kontrak yaitu wanprestasi. Syukurnya kita hidup dengan telah diatur oleh
hukum positif Indonesia, bahwa pihak pelaku yang berwanprestasi wajib bertanggung jawab
dengan memberikan sejumlah ganti rugi sesuai yang telah diperjanjikan.
Wanprestasi atau cidera janji adalah kondisi dimana debitur tidak dapat melaksanakan
kewajiban prestasinya yang ditentukan di dalam perikatan khususnya perjanjian. Sehingga
tindakan wanprestasi tersebut bisa digolongan sebagai pelanggaran kewajiban kontraktual.
Pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya disebabkan oleh dua hal, yaitu: karena
kesalahan pihak debitur), baik dengan sengaja tidak dipenuhi kewajibannya oleh debitur maupun
karena kelalaian dan karena keadaan terpaksa (overmacht atau force majeure) di luar kemampuan
debitur.
Berikut ini adalah bentuk-bentuk wanprestasi dapat berupa:
 Terdapat pihak yang tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan;
 Melaksanakan yang diperjanjikan tapi tidak sebagaimana mestinya;
 Melaksanakan apa yang diperjanjikan tapi terlambat; atau
 Salah satu pihak yang terikat kontrak melakukan sesuatu yang menurut perjanjian
tidak boleh dilakukan. Akibat hukum adanya wanprestasi adalah hukuman atau
sanksi hukum berikut ini:
1. Debitur harus membayar ganti rugi kepada kreditur (Pasal 1243 Kitab Undang-
undang Hukum Perdata).
2. Jika perikatan itu timbal balik, kreditur dapat membebaskan diri dari
kewajibannya memberikan kontra prestasi dengan menggunakan Pasal 1266 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, yaitu syarat batal dianggap selalu dicantumkan
dalam persetujuan timbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi
kewajibannya.
3. Pasal 1237 ayat (2) KUHPerdata menyebutkan apabila perjanjian itu untuk
memberikan sesuatu, maka risiko beralih kepada debitur sejak terjadi wanprestasi.
4. Debitur diwajibkan memenuhi pelaksanaan perikatan jika masih dapat
dilakukan, atau pembatalan perikatan disertai kewajiban debitur untuk melakukan
pembayaran ganti kerugian (Pasal 1267 KUHPerdata).
5. Debitur harus membayar biaya perkara jika perkara tersebut di bawa ke muka
Pengadilan Negeri, dan debitur dinyatakan bersalah.

2.4 Hapusnya Perikatan


Menurut Pasal 1381 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) cara hapusnya
perikatan sebagai berikut:
1. Pembayaran (Pasal 1382-1403 KUHPerdata), Yaitu pelunasan utang (uang, jasa, barang)
atau tindakan pemenuhan prestasi oleh debitur kepada kreditur. Misalnya perjanjian jual
beli sepeda. A membeli sepeda milik B, maka saat A membayar harga sepeda dan sepeda
tersebut diserahkan B kepada A yang berarti lunas semua kewajiban masing-masing pihak
(A dan B) maka perjanjian jual beli antara A dan B dianggap berakhir/hapus.
2. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan/konsinyasi (Pasal 1404-14012
KUHPerdata), Yaitu suatu cara hapusnya perikatan dimana debitur hendak membayar
utangnya namun pembayaran ini ditolak oleh kreditur, maka kreditur bisa menitipkan
pembayaran melalui Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat. Misalnya, A punya utang
kepada B. Akhirnya A membayar utang tersebut kepada B tapi B menolak menerimanya.
Dalam kondisi demikian, A bisa menitipkan pembayaran utangnya tersebut melalui
Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat nanti pengadilan akan meneruskannya kepada
B.
3. Novasi/pembaharuan utang (Pasal 1425-1435 KUHPerdata), Adalah perjanjian antara
kreditur dengan debitur dimana perikatan yang sudah ada dihapuskan dan kemudian suatu
perikatan yang baru. Misalnya, A punya utang Rp. 1.000.000,- kepada B, tapi A tidak
sanggup bayar utangnya tersebut. Lalu B mengatakan bahwa B tidak perlu lagi membayar
utangnya sebesar Rp. 1.000.000,- tersebut, melainkan cukup bayar Rp. 500.000,- saja, dan
utang dianggap lunas. Dalam hal ini perjanjian utang piutang antara A dan B yang sebesar
Rp. 1.000.000,- dihapuskan dan diganti perjanjian utang piutang yang sebesar Rp. 500.000,
– saja.
4. Perjumpaan utang/kompensasi (Pasal 1425-1435 KUHPerdata), Yaitu penghapusan utang
masing-masing dengan jalan saling memperhitungkan utang yang sudah dapat ditagih
secara timbal balik antara debitur dan kreditur. Misalnya A punya utang kepada B sebesar
Rp. 500.000,- tapi pada saat yang sama B juga ternyata punya utang kepada A sebesar Rp.
500.000,-. Dalam hal demikian maka utang masing-masing sudah dianggap lunas karena
“impas”, dan perjanjian utang-piutang dianggap berakhir.
5. Konfisio/percampuran utang (Pasal 1436-1437 KUHPerdata), Adalah percampuran
kedudukan sebagai orang yang berutang dengan kedudukan sebagai kreditur menjadi satu.
Misalnya, A punya utang kepada B. Ternyata karena berjodoh A akhirnya menikah dengan
B. Dalam kondisi demikian maka terjadilah percampuran utang karena antara A dan B telah
terjadi suatu persatuan harta kawin akibat perkawinan. Padahal dulunya A mempunyai
utang kepada B.
6. Pembebasan utang (Pasal 1438-1443 KUHPerdata), Yaitu pernyataan sepihak dari kreditur
kepada debitur bahwa debitur dibebaskan dari utang-tangnya. Misal, A punya utang kepada
B. Tapi B membebaskan A dari utangnya tersebut.
7. Musnahnya barang terutang (Pasal 1444-1445 KUHPerdata), Yaitu perikatan hapus
dengan musnahnya atau hilangnya barang tertentu yang menjadi prestasi yang diwajibkan
kepada debitur untuk menyerahkannya kepada kreditur. Musnahnya barang yang terutang
ini digantungkan pada dua syarat (Miru dan Pati, 2011: 150): Musnahnya barang tersebut
bukan karena kelalaian debitur; Debitur belum lalai menyerahkan kepada kreditor.
8. Kebatalan dan pembatalan perjanjian (Pasal 1446-1456 KUHPerdata),Yang dimaksud
“batal demi hukum” di dalam Pasal 1446 KUHPerdata adalah “dapat dibatalkan”.
(Komandoko dan Raharjo, 2009: 11).Misalnya, suatu perjanjian yang dibuat oleh
seseorang yang belum dewasa (belum cakap hukum) perjanjian tersebut bisa dimintakan
kebatalannya melalui pengadilan. Dan saat dibatalkan oleh pengadilan maka perjanjian
tersebut pun berakhir
9. Berlakunya syarat batal (Pasal 1265 KUHPerdata), Artinya syarat-syarat yang bila
dipenuhi akan menghapuskan perjanjian dan membawa segala sesuatu pada keadaan
semula yaitu seolah-olah tidak ada suatu perjanjian. Misalnya perjanjian yang dibuat
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum (Pasal 1337
KUHPerdata) adalah batal demi hukum.
10. Lewatnya waktu/daluwarsa (Pasal 1946-1993 Bab VII Buku IV KUHPerdata), Menurut
Pasal 1946 KUHPerdata, daluwarsa adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau untuk
dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-
syarat yang ditentukan oleh undang-undang.
DAFTAR PUSTAKA

https://sinta.unud.ac.id/uploads/dokumen_dir/45321b6a94f3b80aa73542a132e1e985.pdf
https://menuruthukum.com/2020/04/07/asas-asas-hukum-perikatan/
https://www.pengadaan.web.id/2020/08/apa-itu-wanprestasi-dan-akibat-hukumnya.html
https://konsultanhukum.web.id/10-cara-hapusnya-perjanjian-menurut-hukum

Anda mungkin juga menyukai