Anda di halaman 1dari 59

Rangkuman Buku Ketiga tentang

Perikatan
A. Perikatan Pada Umumnya
Perikatan adalah suatu hubungan
hukum (mengenai kekayaan harta
benda) antara dua orang, yang
memberi hak pada yang satu untuk
menuntut barang sesuatu dari yang
lainnya, sedangkan orang yang
lainnya ini diwajibkan memenuhi
tuntutan itu. Pasal 1313 BW
memberikan pengertian tentang
persetujuan, yaitu “Suatu
persetujuan adalah suatu perbuatan
di mana satu orang atau lebih
mengikatkan diri terhadap satu
orang lain atau lebih.” Sedangkan,
yang dimaksud dengan perjanjian
adalah suatu peristiwa di mana
seseorang berjanji kepada orang
lain atau di mana dua orang itu
saling berjanji untuk melaksanakan
hal. Perjanjian dapat melahirkan
sebuah
perikatan.
Pihak yang berhak menuntut
disebut dengan pihak berpiutang
atau “kreditur”, sedangkan pihak
yang wajib memenuhi tuntutan
dinamakan pihak berhutang atau
“debitur.” Barang sesuatu yang
dapat dituntut dinamakan “prestasi,”
yang menurut undang-undang
dapat berupa:
1. Memberikan sesuatu
Pasal 1235 BW memberikan
ketentuan bahwa perikatan untuk
memberikan sesuatu mewajibkan
debitur untuk menyerahkan suatu
kebendaan dan merawatnya
sebagai seorang kepala rumah
tangga yang baik sampai pada
waktu penyerahan. Dalam hal ini
menyerahkan kebendaan adalah
kewajiban pokok. Sedangkan
merawat adalah
kewajiban preparatoir, yaitu hal-hal
yang harus dilakukan oleh debitur
menjelang penyerahan dari benda
tersebut.
Contohnya memberikan sejumlah
uang, sewa menyewa, dan
sebagainya.
2. Berbuat sesuatu
Berbuat sesuatu berarti melakukan
perbuatan sesuai dengan apa yang
telah ditetapkan dalam perikatan
(perjanjian). Misalnya perjanjian
untuk membangun rumah.
3. Tidak berbuat sesuatu
Yang dimaksud dengan tidak
berbuat sesuatu adalah tidak
melakukan perbuatan seperti apa
yang telah diperjanjikan. Contohnya
ketika menjual
apoteknya, A membuat perjanjian
dengan B agar tidak menjalankan
usaha apotek di daerah yang sama.
Unsur-unsur perikatan:
1. Hubungan hukum adalah
hubungan yang didalamnya melekat
hak pada salah satu pihak dan
melekat kewajiban pada pihak
lainnya. Perikatan adalah suatu
hubungan hukum yang artinya
hubungan yang diatur dan diakui
oleh hukum.
Hubungan hukum dapat lahir
karena kehendak para pihak
(persetujuan/perjanjian) dan karena
UU (Pasal 1233 BW).
2. Harta kekayaan. Dalam
pandangan klasik, suatu hubungan
dikategorikan
sebagai perikatan apabila dapat
dinilai dengan sejumlah uang.
Namun, dalam pandangan baru,
walaupun tidak dapat dinilai dengan
sejumlah uang, apabila masyarakat
menghendaki hubungan itu memiliki
akibat hukum, hukum akan
meletakkan akibat hukum dalam
hubungan tersebut sebagai sebuah
perikatan.
3. Pihak-pihak. Pihak-pihak dalam
perikatan terdapat kreditur dan
debitur.
4. Objek hukum (prestasi). Terdapat
syarat-syarat yang harus dipenuhi
sebagai objek perikatan:
a. Objeknya harus tertentu (Pasal
1320 sub 3) yang dapat ditafsirkan
sebagai dapat ditentukan. Misalnya,
ingin membangun rumah,
disebutkan bentuk dan ukuran
luasnya;
b. Objeknya harus diperbolehkan,
artinya tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang,
kesusilaan, atau ketertiban umum;
c. Objeknya dapat dinilai dengan
uang.
B. Macam-Macam Perikatan
1. Perikatan bersyarat adalah suatu
perikatan yang digantungkan pada
suatu kejadian di kemudian hari,
yang masih belum tentu akan atau
tidak terjadi. Perikatan bersyarat
diatur dalam Pasal 1253 sampai
Pasal 1267 BW. Prof. Subekti
menggolongkan perikatan bersyarat
dalam Pasal 1253 BW ini menjadi:
a. Perikatan baru akan lahir, apabila
syaratnya terpenuhi (kejadian yang
belum tentu itu timbul). Contohnya,
A akan membeli mobil B, apabila
A berhasil menjadi direktur;
b. Perikatan yang akan berlaku
akan batal, apabila syaratnya
dipenuhi. Contohnya X mengizinkan
Y untuk tinggal di rumahnya, tetapi
perjanjian itu akan batal apabila X
diberhentikan dari pekerjaannya.
Pasal 1264 BW mengatur tentang
risiko perikatan bersyarat, yaitu jika
barangnya musnah di luar
kesalahan debitur, kedua belah
pihak dibebaskan dari kewajibannya
masing-masing. Jika harga barang
merosot bukan disebabkan
kesalahan debitur, maka kreditur
dapat memilih membatalkan
perikatan atau menuntut
penyerahan barangnya tanpa
mendapat
pengurangan harga yang telah
diperjanjikan.
2. Perikatan dengan waktu yang
ditetapkan adalah perikatan yang
pemenuhan prestasinya
digantungkan pada waktu yang
tertentu. Perikatan jenis ini diatur
dalam Pasal 1268 sampai Pasal
1271 BW. Waktu dan peristiwa yang
telah ditentukan dalam perikatan
dengan ketentuan waktu itu pasti
terjadi sekalipun belum diketahui
bila akan terjadi. Waktunya dapat
juga telah ditentukan secara pasti,
misalnya pada tanggal 8 Juni 2021.
Atau waktunya tidak pasti, misalnya
meninggalnya seseorang.
3. Perikatan yang membolehkan
memilih, artinya dalam suatu
perikatan terdapat dua atau lebih
macam prestasi, sedangkan kepada
si debitur diserahkan mana yang
akan ia lakukan. Hal ini diatur dalam
Pasal 1272 BW. Contohnya
memberikan mobil atau uang
Rp50.000.000.
4. Perikatan tanggung-
menanggung, yaitu beberapa orang
(debitur) berhadapan dengan satu
orang kreditur atau sebaliknya.
Perikatan ini diatur dalam Pasal
1278 BW. Beberapa orang yang
bersama-sama menghadapi satu
orang kreditur, masing-masing
dapat dituntut untuk membayar
utang itu seluruhnya. Misalnya A
dan B berhutang kepada Z sebesar
Rp100.000, maka A dan B dapat
dituntut masing-masing untuk
membayar Rp100.000.
5. Perikatan-perikatan yang dapat
dibagi-bagi dan perikatan yang tidak
dapat dibagi-bagi (Pasal 1296 BW).
Perikatan yang dapat dibagi-bagi
ialah perikatan yang
prestasinya dapat dibagi-bagi.
Sedangkan perikatan yang tidak
dapat dibagi-bagi adalah perikatan
yang prestasinya tidak dapat dibagi-
bagi. Pasal 1299 BW menentukan
bahwa jika hanya ada satu debitur
atau satu kreditur prestasinya harus
dilaksanakan sekaligus, walaupun
prestasinya dapat dibagi-bagi.
6. Perikatan dengan perjanjian
hukuman (Pasal 1304 BW) adalah
suatu perjanjian yang
menempatkan seseorang sebagai
jaminan pelaksanaan suatu
perikatan yang mewajibkannya
melakukan sesuatu, jika ia tidak
melaksanakan hal itu. Berdasarkan
Pasal 1307 BW, penetapan
hukuman itu bertujuan sebagai
pengganti biaya, kerugian dan
bunga yang diderita kreditur karena
tidak dipenuhi perikatan pokok.
7. Perikatan yang lahir dari undang-
undang. Perikatan ini terbagi
menjadi:
a. yang lahir dari undang-undang
saja (Pasal 1352 BW). Perikatan
yang lahir dari undang-undang saja
ialah perikatan-perikatan yang
timbul oleh hubungan
kekeluargaan;
b. yang lahir dari undang-undang
akibat perbuatan orang, perbuatan
orang ini dapat berupa perbuatan
yang diperbolehkan atau yang
melanggar hukum (Pasal 1353
BW). Perikatan yang lahir akibat
perbuatan yang diperbolehkan
contohnya jika seseorang
melakukan “pembayaran yang tidak
diwajibkan” (Pasal 1359 BW).
Selain itu, ada yang disebut dengan
“zaakwarneming,” yaitu ketika
seseorang dengan sukarela dan
dengan tidak diminta, mengurus
kepentingan-kepentingan yang lain
(Pasal 1354 BW).
Perikatan yang lahir karena
perbuatan yang melanggar hukum
diatur dalam Pasal 1365 BW. Jika,
karena perbuatan yang melanggar
hukum itu mengakibatkan kerugian,
orang tersebut wajib membayar
kerugian tersebut.
8. Perikatan yang lahir dari
perjanjian. Pengertian perjanjian
terdapat dalam Pasal 1313 BW.
Terdapat syarat-syarat yang harus
dipenuhi supaya perjanjian sah
(Pasal 1320 BW):
a. Kesepakatan mereka yang
mengikatkan dirinya;
Untuk menentukan kesepakatan di
antara para pihak, terdapat
beberapa teori:
● Teori penerimaan;
● Teori pernyataan;
● Teori pengiriman;
● Teori pengetahuan;
● Teori pengetahuan yang objektif;
● Teori kepercayaan; ● Teori
kehendak.
b. Kecakapan untuk membuat suatu
perikatan;
Yang dinyatakan cakap meliputi: (1)
Mereka yang telah dewasa; (2)
Sehat akal pikirannya; (3) Tidak
dilarang atau dibatasi oleh undang-
undang untuk melakukan perbuatan
hukum; dan (4) Belum mencapai
usia dewasa, tetapi sudah kawin.
Mereka yang dinyatakan tidak
cakap dalam Pasal 1330 BW jo.
Pasal 330 BW jo. Pasal 433 BW.
c. Suatu pokok persoalan tertentu;
Prestasi tersebut harus jelas, dapat
dihitung, dan dapat ditentukan
jenisnya.
d. Suatu sebab yang tidak terlarang
(sebab yang halal).
Maksud dari sebab yang halal
adalah isi suatu perjanjian tidak
boleh bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban umum,
dan kesusilaan.
Syarat huruf a dan b disebut
sebagai syarat subjektif, sedangkan
syarat huruf c dan d disebut
sebagai syarat objektif. Akibat
hukum dari pelanggaran syarat
subjektif adalah perjanjiannya dapat
dibatalkan. Salah satu pihak yang
merasa dirugikan dapat
mengajukan permohonan kepada
hakim. Akibat hukum dari
pelanggaran subjek objektif adalah
perjanjiannya batal demi hukum,
maka perjanjian tersebut tidak
memiliki kekuatan hukum sejak
semula dan tidak mengikat para
pihak yang membuat perjanjian.
C. Asas-Asas Hukum Perikatan 1.
Asas Konsensualisme
Perjanjian sudah mengikat para
pihak yang membuatnya, sejak ada
kata sepakat mengenai hal-hal yang
diperjanjikan. Asas konsensualisme
ini tercermin pada Pasal 1458 BW
tentang jual beli. Dalam pasal
tersebut ditentukan bahwa jual beli
dianggap sudah terjadi dan
mengikat secara hukum sejak
disepakatinya barang
dan harga, walaupun harga belum
dibayar dan barang belum
disahkan.
Terdapat pengecualian bagi
perjanjian formil dan riel.
a. Perjanjian formil selain
memenuhi syarat sepakat juga
harus memenuhi formalitas tertentu.
Contohnya perjanjian perdamaian
(Pasal 1851 ayat
(2) BW) dan perjanjian jual beli
tanah;
b. Perjanjian riel, adanya syarat
sepakat dan pelaksanaan perjanjian
(riel) untuk melahirkan perjanjian
tersebut. Contohnya penitipan
barang (Pasal 1694 BW) dan
perjanjian tukar menukar (Pasal
1541 BW).
2. Asas Kekuatan Mengikat
Setiap perjanjian yang dibuat oleh
pihak-pihak berlaku secara
mengikat dan tidak dapat ditarik
kembali secara pihak.
3. Asas Kebebasan Berkontrak
Dalam Pasal 1338 ayat (1) BW
menentukan bahwa setiap
perjanjian yang dibuat secara sah,
mengikat sebagai undang-undang
bagi para pihak yang membuatnya.
Maka, para pihak bebas untuk
menentukan isi dari sebuah
perjanjian selama tidak
bertentangan dengan undang-
undang, ketertiban umum, dan
kesusilaan.
4. Asas Itikad Baik
Pasal 1338 ayat (3) BW
menyatakan bahwa perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik.
Dalam praktik, hakim
dapat mencampuri isi perjanjian
yang lebih berat, yaitu yang
merugikan pihak yang lemah dan
tidak sesuai dengan keadilan.
Pembatasan lainnya terdapat dalam
Pasal 18 ayat (1) UU No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
5. Asas Kepribadian
Asas kepribadian terdapat dalam
Pasal 1315 BW bahwa tidak ada
seorang pun dapat mengikatkan diri
atas nama sendiri atau meminta
ditetapkannya suatu janji,
melainkan untuk dirinya sendiri.
Suatu perjanjian hanya meletakkan
hak-hak dan kewajiban-kewajiban
antara para pihak yang
membuatnya, sedangkan pihak
ketiga yang tidak ada kaitannya
tidak terikat.
Pengecualinnya berupa janji
terhadap
pihak ketiga (Pasal 1317 BW),
perjanjian garansi (Pasal 1316 BW),
perjanjian meliputi juga para ahli
waris dari pihak-pihak yang
mengadakan perjanjian (Pasal 1318
BW).
D. Wanprestasi dan Keadaan
Memaksa ● Wanprestasi
Para debitur memiliki kewajiban
untuk memenuhi prestasi dan
apabila ia tidak memenuhi
kewajibannya tersebut dan bukan
karena keadaan memaksa, maka ia
dianggap sudah melakukan ingkar
janji. Sehingga, wanprestasi
didefinisikan sebagai keadaan
debitur yang tidak memenuhi
prestasi yang telah diperjanjikan.
Dalam perjanjian, biasanya
ditentukan waktu kapan seseorang
harus melaksanakan kewajibannya,
seperti menyerahkan sesuatu atau
berbuat
sesuatu. Namun, apabila tidak
ditentukan, maka kreditur harus
memberikan somasi bahwa debitur
telah lalai dan agar memenuhi
kewajibannya dalam jangka waktu
tertentu (Pasal 1238 BW).
Terdapat empat hal yang
menyebabkan seseorang dianggap
melakukan wanprestasi:
a. Tidak melaksanakan
kewajibannya sesuai dengan apa
yang ada di perjanjian;
b. Melaksanakan kewajibannya,
tetapi tidak sesuai dengan apa yang
diperjanjikan;
c. Terlambat dalam melaksanakan
perjanjian;
d. Melaksanakan hal-hal yang
dilarang dalam perjanjian.
Akibat hukum dari wanprestasi:
a. Ganti rugi terdiri dari tiga unsur,
yaitu biaya, rugi, dan bunga. Biaya
adalah segala ongkos yang telah
dikeluarkan kreditur, contohnya
biaya notaris, perjalanan, dan
sebagainya. Rugi adalah kerugian
yang diderita kreditur karena
rusaknya barang-barang atau
berkurangnya nilai barang milik
kreditur. Sedangkan, bunga terbagi
menjadi kehilangan keuntungan
yang diharapkan dan bunga
moratoir.
Ganti rugi yang dapat dituntut oleh
kreditur hanyalah kerugian yang
timbul sebagai akibat langsung dari
kelalaian debitur dan kerugian
tersebut sudah dapat diduga (Pasal
1247 dan 1248 BW).
b. Pembatalan perjanjian (Pasal
1266
BW).
c. Peralihan risiko (Pasal 1237 BW),
risiko adalah kewajiban untuk
menanggung kerugian akibat
peristiwa yang terjadi di luar
kesalahan para pihak. Contohnya
perjanjian sewa menyewa (Pasal
1553 BW) dan perjanjian tukar
menukar (Pasal 1545 BW).
● Keadaan Memaksa (Overmacht)
Pasal 1244 dan Pasal 1245 BW
Keadaan memaksa adalah suatu
peristiwa yang terjadi di luar dugaan
dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepada
debitur yang mengakibatkan suatu
perjanjian tidak dapat dilaksanakan.
Apabila, terdapat keadaan
memaksa, debitur dibebaskan dari
kewajibannya untuk membayar
kerugian dan melaksanakan
perjanjian
tersebut jika objeknya musnah.
Contohnya terjadi kebakaran, tanah
longsor, dan sebagainya.
Unsur-unsur overmacht:
a. Tidak dipenuhinya prestasi
karena suatu keadaan yang
memusnahkan benda yang menjadi
objek perikatan;
b. Tidak dapat dipenuhinya prestasi
karena suatu keadaan yang
menghalangi perbuatan debitur
untuk berprestasi;
c. Keadaan tersebut tidak dapat
diketahui atau diduga akan terjadi
waktu perjanjian dibuat.
Keadaan memaksa terbagi menjadi
dua:
a. Keadaan memaksa bersifat
mutlak
Keadaan memaksa yang
mengakibatkan musnahnya barang
sebagai objek perjanjian. Sehingga,
perjanjian tidak mungkin
dilaksanakan lagi.
b. Keadaan memaksa bersifat relatif
Perjanjian masih bisa dilaksanakan
dengan pengorbanan-pengorbanan
yang besar dari debitur. Contohnya
Selat Malaka ditutup dan berakibat
pada tidak bisa dikirimnya barang.
Padahal, jalur tersebut banyak
dipakai orang untuk mengirim
barang. Jalur lain bisa dipakai,
tetapi butuh biaya yang besar untuk
dikeluarkan.
E. Hapusnya Suatu Perikatan
Berdasarkan Pasal 1381 BW,
terdapat sepuluh hal yang
mengakibatkan
hapusnya suatu perikatan:
1. Pembayaran adalah pelaksanaan
prestasi secara sukarela, artinya
tidak ada eksekusi dari pengadilan.
Pembayaran di sini adalah dalam
arti luas, tidak hanya pembayaran
sejumlah uang, tetapi juga
pelaksanaan prestasi yang berupa
penyerahan barang atau
pelaksanaan pekerjaan.
Yang membayar boleh siapa saja,
baik debitur sendiri atau orang yang
bertindak untuk dan atas nama
debitur kepada kreditur atau kepada
kuasanya dan kreditur harus
menerimanya (Pasal 1382 BW).
2. Penawaran pembayaran tunai
diikuti dengan penitipan
Penawaran pembayaran yang
diikuti oleh penitipan hanya berlaku
bagi perikatan untuk membayar
sejumlah uang dan penyerahan
barang bergerak. Maksud dari
penawaran pembayaran diikuti
dengan penitipan adalah jika si
kreditur tidak bersedia menerima
pembayaran dari debitur, debitur
dapat melakukan penawaran
pembayaran dengan penitipan.
Penawaran ini harus dilakukan oleh
notaris atau juru sita dan penitipan
dapat dilakukan di kepaniteraan
Pengadilan Negeri dengan
diberitahukan kepada si kreditur.
3. Pembaharuan utang (novasi)
Novasi terjadi jika seorang kreditur
membebaskan debitur dari
kewajiban membayar utang,
sehingga perikatan antara kreditur
dan debitur hapus, tetapi
dibuat satu perjanjian baru antara
kreditur dan debitur untuk
menggantikan perikatan yang
dihapuskan.
4. Kompensasi
Jika seseorang mempunyai piutang
kepada orang lain, tetapi pada saat
yang sama orang tersebut juga
berhutang pada orang yang sama,
maka menurut undang-undang,
utang-piutang mereka dapat
diperhitungkan atas jumlah yang
sama. Menurut Pasal 1426 BW,
perhitungan itu terjadi dengan
sendirinya. Artinya, tidak perlu para
pihak yang menuntut diadakannya
perhitungan itu. Namun, dalam
Pasal 1429 BW, terdapat tiga
pengecualian piutang-piutang yang
tidak boleh diperhitungkan satu
sama lain.
5. Percampuran utang
Percampuran utang terjadi apabila
kedudukan sebagai kreditur dan
debitur berkumpul pada satu orang.
Contohnya seorang kreditur
menikah dengan seorang debitur
dan bersepakat untuk mengadakan
percampuran utang. 6.
Pembebasan utang
Pasal 1439 BW mengatur bahwa
apabila si berpiutang dengan
sukarela memberikan surat
perjanjian hutang pada yang
berhutang, itu dapat dianggap
sebagai suatu pembuktian adanya
pembebasan utang. Perikatan
utang-piutang dapat hapus karena
pembebasan, apabila pembebasan
itu diterima baik oleh debitur.
7. Hapusnya barang yang
dimaksudkan dalam perjanjian
Berdasarkan Pasal 1444 BW, jika
suatu
barang yang menjadi objek
perjanjian musnah bukan karena
kesalahan debitur dan ia tidak
melakukan wanprestasi atau terjadi
overmacht, sebelum diadakan
penyerahan, maka perikatan hapus.
8. Pembatalan perjanjian
Pembatalan perjanjian dapat
diputuskan oleh hakim atas
permintaan orang-orang yang
memberikan kesepakatan karena
khilaf, paksaan, atau penipuan dan
permintaan wali atas perjanjian
yang dibuat oleh orang yang tidak
cakap yang berada di bawah
perwaliannya.
9. Berlakunya suatu syarat batal
Hal ini diatur dalam Pasal 1265 BW
bahwa jika perjanjian batal maka
prestasi yang sudah dilakukan oleh
salah satu pihak
harus dikembalikan, sehingga
dikembalikan ke dalam keadaan
semula. Syara batal dalam hal ini
adalah suatu syarat yang apabila
syarat tersebut terpenuhi, maka
perjanjian berakhir.
10. Lewat waktu
Lewat waktu menimbulkan dua
akibat hukum, yaitu lewat waktu
untuk memperoleh hak dan lewat
waktu yang membebaskan dari
adanya suatu perikatan (Pasal 1946
BW). Dengan lewatnya waktu,
kreditur kehilangan hak untuk
menuntut prestasi yang menjadi
kewajiban debitur (Pasal 1967 BW).
F. Perjanjian Khusus
1. Perjanjian jual beli
Suatu perjanjian di mana pihak
yang satu menyanggupi akan
menyerahkan hak milik atas suatu
barang, sedang pihak lainnya
menyanggupi akan membayar
sejumlah uang sebagai harganya.
Penjual mempunyai dua kewajiban
pokok:
a. Menyerahkan barang serta
menjamin si pembeli dapat memiliki
barang itu dengan tentram;
b. Bertanggung jawab terhadap
cacad-cacad yang tersembunyi.
Kewajiban dari pembeli adalah
membayar harga pada waktu dan
tempat yang telah ditentukan.
Barang harus diserahkan pada
waktu perjanjian jual beli ditutup
dan di tempat barang itu berada.
Saat ditutupnya perjanjian itu,
“risiko” mengenai barangnya sudah
beralih ke pembeli. Sampai waktu
penyerahan, penjual harus merawat
barangnya baik-baik. Barang-
barang yang dijual atas dasar
beratnya, jumlah atau ukurannya,
mulai menjadi tanggungan si
pembeli setelah barang-barang itu
ditimbang, dihitung atau diukur.
2. Perjanjian sewa-menyewa
Suatu perjanjian di mana pihak satu
menyanggupi akan menyerahkan
suatu benda untuk dipakai selama
jangka waktu tertentu, sedangkan
pihak lainnya menyanggupi akan
membayar harga yang telah
ditetapkan untuk pemakaian pada
waktu-waktu yang ditentukan. Pihak
penyewa memiliki dua kewajiban
pokok:
a. Membayar uang sewa pada
waktunya;
b. Memelihara barang yang disewa
itu
sebaik-baiknya seolah-olah barang
miliknya sendiri.
Perjanjian sewa-menyewa hanya
memberikan hak pemakaian tanpa
perpindahan hak milik. Serta
perjanjian sewa-menyewa hanya
memberikan hak perseorangan,
tidak memberikan hak kebendaan.
Contohnya jika si penyewa
diganggu oleh pihak ketiga dalam
melakukan haknya itu, ia tidak
dapat menuntut langsung orang
tersebut, melainkan harus
mengajukan tuntutannya pada
orang yang menyewa.
3. Pemberian atau hibah
Pemberian adalah suatu perjanjian,
di mana pihak yang satu
menyanggupi dengan cuma-cuma
dengan secara mutlak memberikan
suatu benda pada pihak yang
lainnya. Perbedaan dengan hibah
wasiat adalah dalam hibah wasiat,
kekuatan mutlak diperoleh apabila
orang yang memberikan benda
telah meninggal dan sebelumnya ia
selalu dapat ditarik kembali.
Pemberian benda-benda tak
bergerak dan hak-hak piutang atas
nama harus dilakukan dengan akta
notaris. Namun, barang-barang
yang bergerak dan piutang-piutang
yang berupa surat bawa cukup
diserahkan begitu saja.
4. Persekutuan
Suatu perjanjian di mana beberapa
orang bermufakat untuk bekerja
sama dalam lapangan ekonomi,
dengan tujuan membagi
keuntungan yang akan diperoleh.
Cara pembagian keuntungannya
diatur dalam perjanjian pendirian
persekutuan itu. Apabila tidak
diperjanjikan tentang bagaimana
membagi keuntungan itu, maka
pembagiannya berdasarkan jumlah
pemasukan modal masing-masing.
5. Penyuruhan
Penyuruhan adalah suatu perjanjian
di mana pihak yang satu
memberikan perintah kepada pihak
yang lain untuk melakukan suatu
perbuatan hukum, perintah mana
diterima oleh yang belakangan ini.
Apabila orang yang disuruh
memberi tahu bahwa ia berbuat
atas suruhan orang lain, hal ini
disebut sebagai perwakilan secara
langsung. Namun, apabila
sebaliknya, maka disebut sebagai
perwakilan secara tidak langsung.
6. Perjanjian pinjam
Perjanjian pinjam dibagi menjadi:
a. Perjanjian pinjam barang yang
tidak dapat diganti
Barang yang tidak dapat diganti
misalnya sebuah mobil ataupun
motor. Hak milik atas barang yang
dipinjam tetap berada di pemiliknya
dan selama waktu peminjaman, si
peminjam harus memelihara barang
tersebut seperti miliknya sendiri.
b. Perjanjian pinjam barang yang
dapat diganti
Barang yang dapat diganti misalnya
uang, beras, dan sebagainya.
Barang yang dipinjam menjadi milik
si peminjam, sedangkan bagi pihak
yang meminjamkan memiliki hak
untuk menuntut (piutang)
terhadap si peminjam untuk
mengembalikan barang dengan
jumlah dan kualitas yang sama.
7. Penanggung hutang
Dalam perjanjian ini, terdapat satu
pihak (borg) yang menyanggupi
pada pihak lainnya bahwa ia
menanggung pembayaran suatu
hutang, apabila si berhutang tidak
menepati kewajibannya. Seorang
borg hanya menanggung
pembayaran saja, artinya yang
harus memikul hutang itu si
berhutang sendiri. Jadi, apabila
seorang borg telah melunasi hutang
ini, ia berhak untuk menagihnya
kembali dari si berhutang. Terdapat
dua hal yang mengakibatkan
seorang borg kehilangan haknya
untuk menagih kembali dari si
berhutang:
a. Jika ia membayar hutang itu
dengan tidak memberitahukan si
berhutang, sehingga si berhutang
juga telah membayar hutangnya
dan si berpiutang dengan begitu
telah menerima pembayaran
sebanyak dua kali;
b. Jika ia membayar dengan tidak
memberitahukan si berhutang,
sedangkan sebetulnya si berhutang
ini dapat menolak penagihan
hutang itu hingga ia pasti
dibebaskan dari pembayaran.
8. Perjanjian perdamaian
Suatu perjanjian antara dua pihak
yang membuat suatu perdamaian
untuk mengakhiri suatu perkara,
dalam perjanjian masing-masing
melepaskan sementara hak-hak
atau tuntutannya. Perjanjian
semacam ini harus diadakan
secara tertulis.
9. Perjanjian kerja
Perjanjian kerja dalam arti luas
dapat dibagi menjadi:
a. Perjanjian perburuhan yang sejati
Dalam perjanjian ini, terdapat
hubungan antara buruh dan
majikan, selalu diperjanjikan suatu
gaji atau upah yang lazimnya
berupa uang, dan dibuat suatu
waktu tertentu atau sampai diakhiri
oleh salah satu pihak. Namun,
dalam pengakhiran itu, salah satu
pihak dapat menuntut kerugian.
Apabila yang memutuskan itu dapat
membuktikan di depan hakim
bahwa terdapat sebab yang
mendesak dan mendadak, ia dapat
dibebaskan dari tuntutan itu.
b. Pemborongan pekerjaan
Suatu perjanjian antara pihak yang
menyanggupi untuk keperluan hal
lainnya, melakukan suatu pekerjaan
tertentu dengan pembayaran upah
yang ditentukan pula. Contohnya
seorang penjahit yang membuat
pakaian.
c. Perjanjian untuk melakukan suatu
jasa atau pekerjaan terlepas
Contoh dari perjanjian ini adalah
seorang dokter gigi yang mencabut
gigi atau seorang kuli yang
mengangkut barang.
DAFTAR PUSTAKA
Cahyono, Akhmad Budi dan Surini
Ahlan Syarif. Mengenal Hukum
Perdata. Cet.1.
Jakarta:
CV. Gitama Jaya, 2008.
Tim Redaksi BIP. Himpunan
Peraturan Undang-Undang KUHPer
(Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata). Jakarta: Bhuana Ilmu
Populer, 2017.

Anda mungkin juga menyukai