Anda di halaman 1dari 9

BUKU III

PERIKATAN

A. Perikatan secara Umum

Dalam buku III KUHPerdata dibahas secara khusus  tentang perikatan, menurut ilmu
pengetahuan hukum, perikatan merupakan hubungan antara dua orang atau lebih, yang
terletak dalam lapangan harta kekayaan, dimana terdapat pihak yang wajib memenuhi
prestasi dan pihak yang berhak atas prestasi tersebut.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa perikatan mengandung 4


unsur, yang meliputi:

1. Hubungan hukum, yaitu yang melekatkan hak terhadap satu pihak dan kewajiban bagi
pihak lain.
2. Kekayaan, yang berarti kriteria perikatan adalah ukuran-ukuran yang dapat memiliki
nilai dalam suatu hubungan hukum. 
3. Pihak-pihak, yang berarti di dalam perikatan harus terdiri dari dua orang atau lebih.
4. Prestasi atau dikenal juga dengan istilah kontraprestasi adalah bagian dari pelaksanaan
perikatan, yang menurut Pasal 1234 KUHPerdata dibedakan atas memberikan
sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu.

B. Subyek Perikatan

Dalam hukum perikatan terdapat pihak-pihak yang terlibat dalam perikatan. Pihak-pihak
tersebut merupakan subyek perikatan.

Dalam perikatan ada pihak yang berhak atas prestasi dan di bagian lain ada pihak yang
berkewajiban memenuhi prestasi. Untuk pihak yang berhak atas prestasi dalam hukum
perikatan diistilahkan dengan kreditur, sedangkan untuk pihak yang berkewajiban atas
prestasi diistilahkan dengan debitur. 

Lebih lanjut kreditur diistilahkan sebagai pihak yang aktif sedangkan debitur sebagai pihak
yang pasif. 
Dengan kreditur yang diistilahkan sebagai pihak yang aktif, maka kreditur dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap debitur, yaitu:

1. Mengajukan gugatan ke pengadilan jika debitur tidak memenuhi kewajibannya yang


menjadi  obyek dari perikatan.
2. Memberikan somasi atau peringatan jika debitur ingkar janji atau tidak memenuhi
kewajibannya.

C. Obyek Perikatan

Dalam Pasal 1234 KUHPerdata disebutkan bahwa obyek perikatan adalah untuk memberikan
sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu.

Kata yang dimaksud sesuatu itu merupakan objek yang dinamakan prestasi, yang mana
prestasi tersebut wujudnya antara lain sebagai berikut:

1. Memberi sesuatu

Dalam Pasal 1234 KUHPerdata tidak memberikan pengertian mengenai perikatan untuk
memberi sesuatu. 

Namun dalam ketentuan Pasal 1235 KUHPerdata menjelaskan bahwa perikatan untuk
memberi sesuatu adalah perikatan yang mewajibkan debitur menjualkan sesuatu kebendaan.

Dalam pasal 499 KUHPerdata disebutkan bahwa kebendaan yang dimaksud adalah benda
yang dapat dikuasai oleh hak milik.

Dari Pasal 503 KUHPerdata dan Pasal 504 KUHPerdata mengenai kebendaan, dapat berupa:

1. Benda berwujud
2. Benda tidak berwujud
3. Benda bergerak
4. Benda tidak bergerak 
2. Berbuat sesuatu

Berbuat sesuatu menitik beratkan pada suatu perbuatan nyata yang diberikan oleh salah satu
pihak dalam perikatan sebagai suatu prestasi. Pengaturan berbuat sesuatu terdapat dalam
Pasal 1239 KUHPerdata.

3. Tidak berbuat sesuatu

Tidak berbuat sesuatu merupakan perbuatan yang secara pasif membiarkan sesuatu atau
mempertahankan suatu keadaan yang ada sebagai suatu prestasi. 

Pengaturan mengenai perikatan tidak berbuat sesuatu terdapat dalam Pasal 1239 sampai
dengan pasal 1142 KUHPerdata.

Sebagai contoh: A dan B mengadakan perjanjian bahwa di atas tanah hak milik mereka
berdua yang berdampingan untuk tidak dijadikan tempat parkir mobil. Maka janji untuk tidak
menjadikan tanah tersebut sebagai tempat parkir mobil merupakan prestasi untuk tidak
berbuat sesuatu.

D. Sumber Perikatan

Dalam perikatan terdapat 2 sumber perikatan, yaitu perikatan yang lahir karena perjanjian
dan perikatan yang lahir karena undang-undang. Hal demikian telah diatur dalam Pasal 1233
KUHPerdata. 

Dengan begitu hubungan hukum antara debitur dan kreditur dapat terjadi karena adanya
perjanjian sebagai perbuatan hukum, artinya hal ini didasarkan atas kesepakatan untuk
menjalin hubungan hukum sebagai perikatan.

Pada bagian lain hubungan hukum perikatan juga dapat terjadi karena berdasar undang-
undang.

Berdasarkan Pasal 1352 KUHPerdata, perikatan yang lahir dari undang-undang terdiri dari
dua bagian, yaitu:

1. Perikatan yang bersumber dari undang-undang saja.


2. Perikatan yang bersumber dari undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia.
E. Keterkaitan Hak Tanggungan dengan Perikatan

Sebelum berlakunya Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar


Pokok-pokok Agraria (UUPA) dualisme hukum pertanahan yang berlaku di Indonesia yaitu
hukum adat dan hukum barat. Dualisme hukum ini berakibat pada dualisme sistem hukum
jaminan seperti hypothek dan credietverband. Hypothek digunakan sebagai jaminan atas hak-
hak atas tanah yang tunduk pada Hukum Barat diatur dalam KUH Perdata sedangkan
credietverband digunakan sebagai jaminan atas hak-hak atas tanah yang tunduk pada Hukum
Adat diatur dalam Staatsblad 1908 No. 542, sebagai yang telah diubah dengan Staatsblad
1937 No. 190.
Pada pasal 51 UUPA menjelaskan hak tanggungan secara pokok saja dari hukum
agaria yang baru, ketentuan mengenai hypothek dan credietverband tetap berlaku sampai
Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-
benda yang Berkaitan dengan Tanah (UUHT). Dengan dikeluarkannya UUHT maka
hypothek dan credietverband pada hak atas tanah berserta benda-benda berkaitan dengan
tanah tidak berlaku lagi sesuai dengan asas lex specialis derogat legi generalis.
Keterkaitan hak tanggungan dengan buku Buku 3 Kitab Undang-undang Perdata
adalah bahwa hak tanggungan menurut sifatnya merupakan ikutan atau accessoir pada suatu
piutang tertentu (Pasal 1171 KUH Perdata dan diperbarui dalam Pasal 10 UUHT). Perjanjian
Hak Tanggungan bukan merupakan perjanjian yang berdiri sendiri tetapi keberadaannya
adalah karena adanya perjanjian lain, yang disebut perjanjian induk. Perjanjian induk bagi
perjanjian Hak Tanggungan adalah perjanjian utang piutang yang menimbulkan utang yang
dijamin itu. Sifat accessoir dari hak jaminan dapat menimbulkan akibat hukum sebagai
berikut:
1. Adanya dan hapusnya perjanjian tambahan tergantung pada perjanjian pokok.
2. Jika perjanjian pokok batal, maka perjanjian tambahan juga batal.
3. Jika perjanjian pokok beralih, maka perjanjian tambahan ikut beralih.
4. Jika perjanjian pokok beralih karena cessie atau subrogatie, maka perjanjian
tambahan juga beralih tanpa penyerahan khusus.
Sistem pertanahan masih memberlakukan asas pemisahan horizontal sehingga hak
tanggungan yang meliputi bangunan, tanaman, dan hasil karya yang merupakan kesatuan
dengan tanah bersangkutan dilakukan bersamaan dengan pemberian Hak Tanggungan atas
tanah dan dinyatakan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang ditandatangani oleh
pemiliknya dan pemegang hak atas tanah sebagai pihak pemberi hak tanggungan. Di KUH
Perdata disebutkan dalam pasal 1164 dan 1165 dan diperbarui dalam UUHT Pasal 4 ayat 5.
Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan juga dapat dicantumkan janji-janji lain
seperti yang dijelaskan dalam Pasal 11 ayat 2 UUHT. Janji-janji yang dicantumkan pada ayat
ini sifatnya fakultatif dan tidak mempunyai pengaruh terhadap sahnya akta. Pihak-pihak
bebas menentukan untuk menyebutkan atau tidak menyebutkan janji-janji ini dalam Akta
Pemberian Hak Tanggungan. Dengan dimuatnya janji-janji tersebut dalam Akta Pemberian
Hak Tanggungan yang kemudian didaftar pada Kantor Pertanahan, janji-janji tersebut juga
mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga.

Istilah “jaminan” merupakan terjemahan dari istilah zekerheid atau cautie, yaitu


kemampuan debitur untuk memenuhi atau melunasi perutangannya kepada kreditur, yang
dilakukan dengan cara menahan benda tertentu yang bernilai ekonomis sebagai tanggungan
atas pinjaman atau utang yang diterima debitur terhadap krediturnya. Sedangkan dalam
bahasa Indonesia, istilah “jaminan” berasal dari kata “jamin” yang berarti “tanggung”,
sehingga jaminan dapat diartikan sebagai tanggungan.

Menurut Pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.
23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit dikemukakan
bahwa jaminan adalah suatu keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit
sesuai dengan perjanjian.

Beberapa pengertian jaminan menurut para ahli, di antaranya:

1. Mariam Darus Badrulzamanmerumuskan jaminan sebagai suatu tanggungan yang


diberikan oleh seorang debitur dan/atau pihak ketiga kepada kreditur untuk menjamin
kewajibannya dalam suatu perikatan.

2. Hartono Hadisoeprapto, berpendapat bahwa jaminan adalah sesuatu yang diberikan


kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi
kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan.

3. M. Bahsan, berpendapat bahwa jaminan adalah segala sesuatu yang diterima kreditur
dan diserahkan debitur untuk menjamin suatu utang piutang dalam masyarakat.
Dapat disimpulkan bahwa jaminan adalah suatu bentuk tanggungan yang dapat dinilai dengan
uang , dengan kebendan tertentu yang diserahkan debitur sebagai penjamin dari hubungan
perjanjian utan piutang atau perjanjian lain. Dengan kata lain, jaminan di sini berfungsi
sebagai sarana atau menjamin pemenuhan pinjaman atau utang debitur seandainya
wanprestasi sebelum sampai jatuh tempo pinjaman atau utangnya berakhir.

Jaminan dapat dibagi menjadi dua jenis yakni jaminan :

1. Umum : Jaminan yang timbul karena Undang – Undang

2. Khusus : Jaminan yang timbul karena Perjanjian


Jaminan umum dilandasi oleh Pasal 1131 dan 1132 BW yang menjelaskan “Segala
barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang
akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu.” dan dilanjutkan
, “Barang-barang itu menjadi jaminan bersama bagi semua kreditur terhadapnya hasil
penjualan barang-barang itu dibagi menurut perbandingan piutang masing-masing kecuali
bila di antara para kreditur itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan. “. Namun pengaturan
dalam BW tersebut hanya memberikan segala barang tanpa mensepsifikan barang apa yang
dapat dikategorikan sebagai jaminan. Agar seorang kreditur mem[unyai kedudukan yang
lebih baik dibanding kreditur lainnya, maka utang kreditur tersebut dapat diikat dengan hak
jaminan khusus sehingga kreditur tersebut memiliki hak preferensidalam pelunasan utangnya.
Hak preferensi ini dapat kita lihat pada klausul terakhir Pasal 1132 KUH Perdata, yakni: “…
kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk
didahulukan.”

Mengeani siapa saja orang yang memiliki hak preferensi ini menurut Pasal 1133 KUH
Perdata ialah orang-orang yang berpiutang terbit dari hak istimewa, dari gaai dan dari
hipotek. Dari ketentuan pasal ini pula diketahui hak jaminan yang bersifat khusus itu terjadi:

o Diberikan atau ditentukan oleh undang-undang sebagai piutang yang diistimewakan


(Pasal 1134 KUH Perdata).

o Diperjanjikan antara debitur dan kreditur, sehingga menimbulkan hak preferensi bagi
kreditur atas benda tertentu yang diserahkan debitur (Pasal 1150 dan Pasal 1162 KUH
Perdata, Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 27 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 dan
Pasal 1180 KUH Perdata).
Dengan demikian, kedudukan kreditur dalam pelunasan piutangnya bergantung pada
hak jaminan yang dipegangnya. Karena kreditur yang memiliki hak preferensi atau
memegang hak jaminan khusus akan lebih baik kedudukannya dari kreditur yang memegang
hak jaminan umum. Adapun hak jaminan khusus ini timbul timbul karena diperjanjikan
secara khusus antara debitur dan kreditur. Untuk memahami Pola Jaminan lebih lanjut dapat
melihat gambar diagram yang diambil dalam hukum online:

Dari grafik diatas dapat menjelaskan bahwa jaminan khusus dapat dibagi menjadi dua
yakni jaminan perorangan dan jaminan kebendaan. Jaminan kebendaan pada praktiknya dapat
dikateogirkan menjadi dua yakni benda bergerak dan benda tetap / tidak bergerak. 

1. Jaminan perorangan 
Menurut Pasal 1820 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) merupakan
suatu persetujuan dimana pihak ketiga, demi kepentingan kreditur, mengikatkan diri untuk
memenuhi perikatan debitur, bila debitur itu tidak memenuhi perikatannya.

Penanggungan adalah jaminan yang tidak memberikan hak mendahului atas benda-benda
tertentu, tetapi hanya dijamin oleh harta kekayaan lewat pihak yang menjamin pemenuhan
perikatan yang bersangkutan.

Dalam praktik pada umumnya Penanggungan yang digunakan dalam pemberian kredit di
Indonesia terdiri dari 2 (dua) macam, yaitu:

o Jaminan Perorangan: yang diberikan oleh suatu individu untuk menjamin pemenuhan
perikatan oleh debitur; dengan syarat  : Wajib mendapatkan persetujuan pasangan
bagi pihak yang tidak memiliki perjanjian pemisahan harta dengan pasangan
(suami/istri)”

o Jaminan Perusahaan/Corporate Guarantee: yang diberikan oleh suatu Perseroan,


untuk menjamin pemenuhan perikatan oleh debitur. Dengan syarat : Perseroan yang
akan memberikan Jaminan Perusahaan dengan menjaminkan lebih dari 50% (lima
puluh persen) jumlah kekayaan bersih Perseroan dalam 1 (satu) transaksi atau lebih,
Direksi wajib meminta persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham.
Jaminan Perseorangan memiliki tiga unsur utama yakni :

1. Mempunyai Hubungan langsung pada orang tertentu

2. Hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu


3. Terhadap harta kekayaan debitur umumnya.
Yang termasuk jaminan perorangan, antara lain:

1.  Perjanjian Penanggungan (Borgtocht)


Perjanjian Penaggungan ini diatur dalam Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 KUH
Perdata. Menurut ketentuan Pasal 1820 KUH Perdata, penanggungan ialah suatu persetujuan
dimana pihak ketiga demi kepentingan kreditur mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan
debitur, bila debitur itu tidak memenuhi perikatannya.

A. Perjanjian Garansi

Pasal 1316 KUH Perdata amengatur tentang peranjian garansi, dimana pemberi garansi
menjamin bahwa seorang pihak ketiga akan berbuat sesuatu yang biasannya (tidak selalu)
berupa tindakan “menurut suatu perjanjian tertentu”. Seorang pemberi garansi mengikatkan
diri untuk memberi ganti rugi jika pihak ketiga yang menjamin tidak melakukan perbuatan
yang digaransinnya.

B. Perjanjian Tanggung Menanggung atau Tanggung Renteng

Menurut Pasal 1278 KUH Perdata, dalam perikatan tanggung menanggung atau tanggung
renteng salah satu pihak atau masing-masing pihak lebih dari satu orang. Dalam perikatan ini
dikenal adagium: “satu untuk seluruhnya atau seluruhnya untuk satu”.

Sebagai contoh dapat dikemukakan antara lain, Pasal 1749 KUH Perdata yang berbunyi: Jika
beberapa orang bersama-sama meminjam satu barang, maka mereka masing-masing wajib
bertanggung jawab atas keseluruhannya kepada pemberi pinjaman. Demikian pula Pasal 1836
KUH Perdata, menyatakan: jika beberapa orang telah mengikatkan diri sebagai penanggung
untuk seorang debitur yang sama dan untuk utang yang sama, maka masing-masing
penanggung terikat untuk seluruh utang itu

2. Jaminan Kebendaan 

Merupakan jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda, mempunyai hubungan
langsung atas benda tertentu, dapat dipertahankan terhadap siapapun, dan mempunyai ciri-ciri
“kebendaan” dalam arti memberikan hak mendahului di atas benda-benda tertentu serta
mempunyai sifat melekat dan mengikuti benda yang bersangkutan.
Subekti menyatakan bahwa suatu hak kebendaan adalah sesuatu hak yang memberikan
kekuasaan langsung atas suatu benda, yang dapat dipertahankan terhadap tiap orang.

Hak kebendaan dalam KUHPer dapat dibedakan menjadi sebagai berikut:

1. Zakelijk Zekenheidsrecht, yaitu hak kebendaan yang memberikan jaminan, antara lain
gadai, hipotek, hak tanggungan, fidusia; dan

2. Zakelijk Genotsrecht, yaitu hak kebendaan yang memberikan kenikmatan, antara lain
hak milik dan bezit.

Anda mungkin juga menyukai