Anda di halaman 1dari 8

Nama: Megawati Iskandar Putri

NIM: D1A020328

Mata Kuliah: Hukum Perjanjian D1

Dosen Pengampu: Lalu Hadi Adha, SH.,MH.

UAS HUKUM PERJANJIAN

1. Jelaskan apakah Jual-beli dapat memutuskan perjanjian Sewa-menyewa yang telah terjadi
sebelumnya ?
Menurut Pasal 1567 KUH Perdata bahwa “Dengan dijualnya barang yang disewa, suatu
persewaan yang dibuat sebelumnya tidaklah diputuskan kecuali apabila
ini telah diperjanjikan pada waktu menyewakan barang.” Oleh karena itu, Jual-Beli
tidak dapat memutuskan perjanjian sewa-menyewa yang telah terjadi sebelumnya.

2. Yang menjadi objek perikatan adalah prestasi, yaitu hal pemenuhan perikatan. Jelaskan
sifat atau karakter prestasi yang dimaksud
Objek perikatan adalah prestasi atau hak pada kreditur dan kewajiban pada debitur, yang
dapat berupa memberikan suatu benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak
berwujud; melakukan suatu perbuatan tertentu; atau tidak melakukan perbuatan tertentu.
Hal ini sesuai Pasal 1234 KUHPerdata wujud prestasi ada tiga, yaitu:
a. Memberikan sesuatu
b. Berbuat sesuatu
c. Tidak berbuat sesuatu.

Selanjutnya, menurut Pasal 1235 ayat (1) KUHPerdata, memberikan sesuatu adalah
menyerahkan kekuasaan nyata atas suatu benda dari debitur kepada kreditur. Contohnya,
dalam jual beli, sewa-menyewa, hibah, gadai, hutang-piutang, dan lain-lain. Lalu, dalam
perikatan yang objeknya “berbuat sesuatu”, debitur wajib melakukan perbuatan tertentu
yang telah ditetapkan dalam perikatan. Contohny, membangun rumah / gedung atau
mengosongkan rumah/gedung, dna lain-lain. Kemudian, dalam perikatan yang objeknya
“tidak berbuat sesuatu”, debitur tidak melakukan perbuatan yang telah ditetapkan dalam
perikatan. Contohnya, tidak membangun rumah, tidak membuat pagar, tidak
menggunakan nama yang sama untuk suatu perusahaan.

3. Jelaskan apakah Akibat hukum bagi debitur yang wanprestasi?


Adapun akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi dalam suatu
perjanjian adalah hukuman atau sanksi hukum berikut ini:
a) Debitur diwajibkan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur
(pasal 1234 KUHPerdata).
Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) yang berbunyi:
“Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan
mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk
memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya
hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang
telah ditentukan”.
Ganti rugi adalah membayar segala kerugian karena musnahnya atau rusaknya
barang-barang milik kreditur akibat kelalaian debitur. Untuk menuntut ganti rugi
harus ada penagihan atau (somasi) terlebih dahulu, kecuali dalam peristiwa-peristiwa
tertentu yang tidak memerlukan adanya teguran. Pasal 1246 KUHPerdata yang berisi
“Biaya, ganti rugi, dan bunga yang boleh dituntut kreditur terdiri atas kerugian yang
telah dideritanya dan keuntungan yang sedianya dapat diperolehnya, tanpa
mengurangi pengecualian dan perubahan yang disebut dibawah ini”
Ketentuan tentang ganti rugi diatur dalam pasal 1246 KUHPerdata, yang terdiri dari
tiga macam, yaitu: biaya, rugi dan bunga. Biaya adalah segala pengeluaran atas
pengongkosan yang nyata-nyata telah dikeluarkan oleh kreditur sedangkan bunga
adalah segala kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan
atau yang sudah diperhitungkan sebelumnya.
b) Pembatalan perjanjian
Apabila perikatan itu timbal balik. Kreditur dapat menuntut pembatalan/dapat
dibatalkan perikatannya melalui hakim (Pasal 1266 KUHPerdata). Sebagai sanksi
yang kedua akibat kelalaian seorang debitur yaitu berupa pembatalan
perjanjian.adapun syarat batal menurut Pasal 1266 yakni “Syarat batal dianggap
selalu dicantumkan dalam persetujuan yang timbal balik, andaikata salah satu pihak
tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian persetujuan tidak batal demi
hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada Pengadilan.
Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak
dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam persetujuan. Jika syarat batal tidak
dinyatakan dalam persetujuan, maka Hakim dengan melihat keadaan, atas permintaan
tergugat, leluasa memberikan suatu jangka waktu untuk memenuhi kewajiban, tetapi
jangka waktu itu tidak boleh lebih dan satu bulan.”
c) Peralihan risiko
Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, resiko beralih kepada debitur sejak
terjadi wanprestasi (pasal 1237 ayat 2 KUHPerdata).
Akibat wanprestasi yang berupa peralihan risiko ini berlaku pada perjanjian yang
objeknya suatu barang yakni bersadarkan Pasal 1237 ayat 2 KUH Perdata “Jika
debitur lalai untuk menyerahakan barang yang bersangkutan, maka barang itu
semenjak perikatan dilakukan menjadi tanggungannya.”
d) Debitur diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat dilakukan, atau
pembatalan disertai pembayaran ganti kerugian (pasal 1267 KUHPerdata).
Berdasarkan Pasal 1267 KUH Perdata bahwa “Pihak yang terhadapnya perikatan
tidak dipenuhi, dapat memilih; memaksa pihak yang lain untuk memenuhi
persetujuan, jika hal itu masih dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan
persetujuan, dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga.”
d. Pembayaran biaya perkara
Sanksi ini hanya dapat dimintakan ketika sudah terbukti di muka hakim dengan
adanya penetapan dari hakim sehingga debitur dapat membayar ganti rugi berupa
uang yang timbul karena perselisihan dalam menyelesaikan sengketa.

4. Sebutkan syarat subyektip dan Syarat obyektip dari syarat sahnya Perjanjian menurut
pasal 1320 KUHPerdata, dan Kenapa dikatakan syarat Subyektip dan Obyektip tersebut ?
Sesuai dengan syarat sah perjanjian sesuai dengan Pasal 1320 KUH Perdata:
1) Sepakat
Sepakat dalam hal ini artinya para pihak dalam perjanjian telah sama-sama setuju.
Kata “sepakat” disini tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakekat
barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak
lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut;
adanya paksaan dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut ancaman (Pasal
1324 BW); adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga
adanya tipu muslihat (Pasal 1328 BW). Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar
“sepakat” berdasarkan alasan-alasan tersebut, dapat diajukan pembatalan.
2) Cakap untuk membuat perikatan
Para pihak harus cakap atau mampu dalam membuat suatu perjanjian. Kata mampu
dalam hal ini adalah bahwa para pihak telah dewasa, tidak dibawah pengawasan
karena prerilaku yang tidak stabil dan bukan orang-orang yang dalam undang-undang
dilarang membuat suatu perjanjian. Pasal 1330 BW menentukan yang tidak cakap
untuk membuat perikatan:
a. Orang-orang yang belum dewasa
b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undangundang, dan
pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang
membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah
Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September
1963, orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap.
Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin
suaminya. Akibat dari perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap adalah
batal demi hukum (Pasal 1446 BW).
3) Suatu hal tertentu
Dalam perjanjian harus terdapat jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka
perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 BW menentukan hanya barang-barang
yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan
Pasal 1334 BW barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi
obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas
4) Suatu sebab atau causa yang halal.
Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian
tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-
undang

Syarat pertama dan kedua adalah syarat subjektif, sedangkan syarat ketiga dan keempat
adalah syarat objektif. Syarat Pertama dan Kedua dikatakan sebagai syarat subjektif
karena menyangkut hal-hal yang berasal dari dalam pelaku/subjek/para pihak dalam
perjanian. Sementara itu, syarat ketiga dan keempat dikatakan sebagai syarat objektif
karena menyangkut objek atau barang yang menjadi objek perjanjian. Jika syarat
subjektif tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Artinya, dapat
dimintakan pembatalan (kepada hakim) oleh pihak yang tidak mampu termasuk wali atau
pengampunya dan apabila tidak dimintakan pembatalan maka perjanjian tersebut tetap
mengikat para pihak. Sedangkan jika syarat objektif yang tidak dipenuhi, maka perjanjian
tersebut batal demi hukum atau dianggap tidak pernah ada yang artinya tidak memiliki
dasar penuntutan di depan hakim.

5. Adanya barang dan harga merupakan unsur pokok dalam perjanjian jual beli. Jelaskan
kapan saat terjadinya Perjanjian Jual- Beli menurut KUHPerdata
Menurut Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian sendiri adalah suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dijelaskan
mengenai saat terjadinya perjanjian jual-beli dalam Pasal 1458 KUHPerdata yang
menyatakan “Jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak setelah kedua
belah pihak mencapai kata sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum
diserahkan maupun harganya belum dibayar.”
Jadi, dalam pasal ini tercantum asas konsesualisme, yakni yakni asas yang menyatakan
bahwa pada umumnya perjanjian tidak dilakukan secara formal, melainkan cukup dengan
adanya kesepakatan antara kedua belah pihak yang terlibat. Jadi, perjanjian jual-beli
terjadi setelah adanya kesepakatan antara kedua belah pihak yang terlibat.
6. Sewa-menyewa merupakan salah satu bentuk perjanjian yang dapat kita temukan dalam
KUHPerdata, pemberi sewa dan penerima sewa adalah para pihak dalam perjanjian ini.
Jelaskan kewajiban para pihak dalam perjanjian sewa-menyewa ini.
Berdasarkan pasal 1548 KUH Perdata yang menyatakan bahwa “Sewa menyewa adalah
suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberikan
kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu tertentu, dengan
pembayaran sutau harga yang disangupi oleh pihak tersebut terakhir itu. orang dapat
menyewakan pelbagai jenis barang baik yang tetap maupun yang bergerak”. Sewa
menyewa adalah suatu perjanjian konsensuil, artinya ia sudah sah dan mengikat pada
detik tercapainya sepakat mengenai unsur-unsur pokok, yaitu barang dan harga
Berdasarkan Pasal 1550 KUH Perdata Pihak yang Menyewakan karena sidat persetujuan
dan tanpa perlu adanya suatu janji berkewajiban untuk:
a) Menyerahkan barang yang disewakan kepada penyewa
b) Memelihara barang yang disewakan sedemikian, hingga barang itu dapat dipakai
untuk keperluan yang dimaksudkan;
c) Memberikan hak kepada penyewa untuk menikmati barang yang disewakan
tersebut dengan tenteram selama berlangsungnya sewa.

Kewajiban Pihak yang Disewakan

Berdasarkan Pasal 1551 KUH Perdata Pihak yang menyewakan berkewajiban untuk
menyerahkan barang yang disewakan dalam keadaan terpelihara segala-galanya. Selama
waktu sewa, Ia menyuruh melakukan pembetulan-pembetulan yang perlu dilakukan pada
barang yang disewakan, kecuali pembentukan yang menjadi kewajiban penyewa.

Dalam Pasal 1552 KUH Perdata dijelaskan lebih lanjut bahwa pihak yang menyewakan
harus menanggung penyewa terhadap semau cacat barang yang disewakan yang
merintangi pemakaian barang itu, meskipun pihak yang menyewakan tidak mengetahui
adanya cacat pada waktu persetujuan sewa-menyewa dibuat. Jika cacat tersebut
memberikan kerugian bagi penyewa maka pihak yang menyewakan wajib memeberikan
ganti rugi.
Hak Penyewa

Adapun kewajiban dari pihak yang menyewakan ini menjadi hak dari penyewa seperti,
medapatkan barang yang disewakan dalam keadaan baik sehingga dapat dinikmati selama
berlangsungnya masa sewa-menyewa dan berhak mendapatkan ganti rugi apabila cacat
pada barang yang disewakan tersebut menyebabkan kerugian pada penyewa.

Kewajiban Pihak Penyewa

Menurut Pasal 1560 KUH Perdata Penyewa harus menempati dua kewajiba utama:

a) Memakai barang sewa sebagai seorang kepala rumah tangga yang baik, sesuai dengan
tujuan barang itu menurut persetujuan sewa atau jika tidak ada persetujuan mengenai
hal itu, sesuai dengan tujuan barang itu menurut persangkaan menyangkut keadaan;
dan
b) Membayar harga sewa pada waktu yang telah ditentukan.

Hak Pihak yang Disewakan

Adapaun kewajiban pihak penyewa ini menjadi hak bagi pihak yang disewakan, yakni
hak untuk barang yang disewakan digunakan dengan baik sesuai dengan tujuannya dan
hak untuk mendapatkan uang/bayaran sesuai harga sewa pada waktu yang telah
ditentukan.

7. Pada dasarnya hibah tidak dapat dicabut dan dibatalkan (sesuai dengan ketentuan pasal
1666 KUHPerdata), kecuali dalam hal-hal tertentu yang telah ditetapkan oleh undang-
undang. Jelaskan hal-hal tertentu yang dimaksud tersebut.
Sesuai dengan Pasa 1666 KUH Perdata yang berbunyi “Penghibahan adalah suatu
persetujuan dengan mana seornag penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-
Cuma, tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseornag yang menerima
penyerahan barang itu. Undang-Undang hanya mengakui penghibahan-penghibahan
antara orang-orang yang masih hidup
Hibah tidak dapat dicabut dan dibatalkan, kecuali dengan hal-hal tertentu yang diatur di
dalam Pasal 1688 KUH Perdata yakni:
a) Jika syarat-syarat penghibahan itu tidak dipenuhi oleh penerima hibah;
Adapun syarat-syarat penghibahan sebagai berikut:
- Harta yang dihibahkan harus berwujud sebelum terjadinya hibah
- Diserahkan tanpa adanya kewajiban atau syarat atau beban lain, seperti melunasi
utang dll.
- Pihak yang memberi dan menerima hibah masih hidup
- Tanpa terdapat pengganti
- Barang dihibahkan dikategorikan sebagai hibah berdasarkan adat dengan lafaz
hibah atau tamlik (menjadi pemilik).
b) Jika orang yag diberi hibah bersalah dengan melakukan atau ikut melakukan
suatu usaha pembunuhan atau suatu kejahatan lain atas diri penghibah;
c) Jika penghibah jatuh miskin sedang yang diberi hibah menolak untuk memberi
nafkah padanya.

Anda mungkin juga menyukai