Anda di halaman 1dari 25

Tugas Mata Kuliah Metode Penelitian Hukum

Tinjauan Yuridis Penerapan Restorative Justice dalam


Penghentian Kasus Kekerasan Seksual di Kepolisian

DISUSUN OLEH:

Nama : Megawati Iskandar Putri

NIM: D1A020328

Mata Kuliah : Metode Penelitian Hukum B2

Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Sudiarto, SH. M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MATARAM

2023

i
LEMBAR ORISINALITAS

1. Judul

2. Identitas
Nama Lengkap
Nomor Mahasiswa
Jurusan
Universitas
Alamat
No. Hp
Email
3. Dosen Pembimbing
Nama Lengkap
NIP
Alamat
No. Hp
Email

Dosen Pembimbing, Mahasiswa,

Megawati Iskandar Putri,


D1A 020 328

ii
KATA PENGANTAR

Segala bentuk puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha
Esa, karena berkat segala nikmat dan karuina-Nya, penulis dapat menyelesaikan
proposal yang berjudul “Tinjauan Yuridis Penerapan Restorative Justice dalam
Penghentian Kasus Kekerasan Seksual. Adapun tujuan dibentuknya tulisan ini
adalah untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Metodelogi dan Penelitian Hukum.

Menurut penulis, dengan terus meningkatnya kasus kekerasan seksual,


seharusnya menjadi alarm kesadaran bagi kita semua untuk memperbaiki, baik
siste dan kebijakan pencegahan serta penanganan kasus kekerasan seksual.
Namun, yang penulis lihat saat ini adalah masih belum terpenuhinya keadilan bagi
korban kekerasan seksual sebab system dan kebijakan penanganannya yang belum
tepat. Oleh karena itu, penulis menghadirkan tulisan ini sebagai sarana
menghadirkan analisis untuk memperbaiki proses penanganan kasus kekerasan
seksual

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu kami dalam proses penyelesaian tulisan ini, mulai dari proses
penyusunan kerangka tulisan sampai pada pembahasan. Penulis sangat menyadari
bahwa tulisan ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu, setiap koreksi
dan masukan yang ditujukan dalam penyempurnaan tulisan ini akan sangat
penulis harapkan. Semoga tulisan ini mampu menjadi bahan kajian bagi siapapun
yang membaca, terlebih lagi dalam upaya memberikan pencegahan dan
penanganan terbaik untuk kasus kekerasan seksual

Mataram, 31 Maret 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................iii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iv
ABSTRAK...............................................................................................................v
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1. Latar Belakang..............................................................................................1

1.2. Rumusan Masalah.........................................................................................6

1.3. Tujuan............................................................................................................6

1.4. Manfaat Penelitian.........................................................................................6

BAB II......................................................................................................................7
TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................7
2.1 Kekerasan Seksual.....................................................................................7

2.2 Keadilan Restoratif....................................................................................9

2.3. Teori Perlindungan Hukum....................................................................10

2.4. Budaya Patriarki......................................................................................11

2.5. Restitusi...................................................................................................12

BAB III..................................................................................................................13
METODE PENELITIAN.......................................................................................13
3.1 Jenis Penelitian........................................................................................13

3.2 Pendekatan Penelitian..............................................................................13

3.3 Jenis dan Sumber Data............................................................................14

3.4 Tempat dan Waktu Penelitian.................................................................17

iv
ABSTRAK

Angka kasus kekerasan seksual terus meningkat tiap tahunnya. Hal ini seharusnya
menjadi alarm kesadaran bagi kita semua untuk memperbaiki system dan
kebijakan perlindungan hukum bagi korban kekerasan seksual. Korban kekerasan
seksual sudah banyak menderita baik secara fisik maupun psikis. Oleh karena itu,
korban kekerasan seksual berhak untuk mendapatkan keadilan dan restitusi atas
kejadian yang menimpanya. Namun, dalam proses penanganannya beberapa kasus
kekerasan seksual justru dihentikan proses hukumnya dengan alasan telah
diselesaikan secara “damai” melalui restorative justice. Hal ini tentunya hanya
akan memberikan lebih banyak penderitaan bagi korban yang dipaksa berdamai
oleh pelaku yang melakukan kejahatan terhadapnya. Maka dari itu, penelitian inii
dihadirkan untuk mengkaji penerapan restorative justice dalam penghentian kasus
kekerasan seksual. Metode penelitian yang diterapkan penulis adalah pendekatan
perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian menunjukkan
bahwasanya prinsip penerapan restorative justice dalam tindak pidana yang diatur
di dalam Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021 tidak sesuai dengan prinsip-
prinsip penanganan korban kekerasan seksual yang telah diatur di dalam Undang-
Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Oleh karena itu, sudah seharusnya
tindak pidana kekerasan seksual masuk dalam tindak pidana yang dikecualikan
dalam penerapan restorative justice.

Kata kunci: Kekerasan Seksual, Perlindungan Hukum, Keadilan Restoratif,


Restitusi

v
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Setiap orang memiliki hak asasi manusia yang dianugerahi oleh Tuhan YME
sejak dalam kandungan yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia tersebut
sepanjang hidupnya. Seperangkat hak asasi manusia ini harus dihormati, dihargai, dan
dijunjunng tinggi oleh negara, hukum, pemerintah, dan masyarakat. Pelanggaran terhadap
hak asasi manusia ini merupakan salah satu bentuk kejahatan kemanusiaan.
Kekerasan seksual merupakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap hak asasi
manusa, sebab kekerasan seksual tidak hanya mencederai fisik dan psikis korban, tetapi
juga martabat kemanusiaannya. Tidak hanya itu, kekerasan seksual tentunya melanggar
hak seseorang untuk dapat hidup denga nyaman dan bebas dari segala bentuk siksaan,
termasuk juga kekerasan seksual.
Nyatanya, angka kekerasan seksual di Indonesia sangat tinggi dan terus
meningkat tiap tahunnya. Komnas Perempuan bahkan menyebutkan bahwa Indonesia
adalah negara darurat kekerasan seksual. Hal ini dibuktikan dengan penjabaran dalam
Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2021 yang mecatat Kekerasan terhadap
Perempuan yang terjadi di ranah komunitas/publik sebesar 21 % (1.731 kasus) dengan
kasus paling menonjol adalah kekerasan seksual sebesar 962 kasus (55%) yang terdiri
dari dari pencabulan (166 kasus),perkosaan (229 kasus), pelecehan seksual (181 kasus),
persetubuhan sebanyak 5 kasus, dan sisanya adalah percobaan perkosaan dan kekerasan
seksual lain1. Hasil survei Badan Pusat Statistik Tahun 2017 pula menunjukkan bahwa
sebanyak 1 dari 3 perempuan berusia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik
dan/atau seksual selama hidupnya, baik oleh pasangan maupun selain pasangan. Selain
itu, hasil survei daring yang dilakukan oleh Lentera Sintas Indonesia (2016)

1
Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2021

1
menunjukkan bahwa sebanyak 46,7% dari 25.213 responden pernah mengalami
kekerasan seksual dalam berbagai bentuk2.
Kekerasan seksual identik dengan kaum perempuan, tetapi bukan berarti kasus
kekerasan seksual tidak terjadi pada laki-laki, hanya saja korban kekerasan seksual
didominasi oleh perempuan. Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun
2022 terdapat sebanyak 459.094 kasus, sebanyak 338.496 adalah kasus kekerasan KBG
terhadap perempuan, bersumber dari laporan Komnas Perempuan 3.838 kasus, laporan
Lembaga layanan 7.029 kasus, dan BADILAG 327.629 kasus. Artinya, terjadi
peningkatan signifikan 50% kasus KBG terhadap perempuan di tahun 2021 dari 226.062
kasus di tahun 2020. Lonjakan tajam terjadi pada data BADILAG dari 215.694 di tahun
2020 menjadi 327.629 di tahun 2021 (52%). Peningkatan 80% juga terjadi pada sumber
data pengaduan ke Komnas Perempuan, yaitu dari 2.134 kasus pada 2020 menjadi 3.838
kasus di tahun 2021. Sedangkan data yang berasal dari lembaga layanan menurun 1.205
kasus (15%)3.
Patut disayangkan bahwa berdasarkan survei daring yang dilakukan oleh yang
diadakan oleh Lentera Sintas Indonesia dan Magdalene.co serta difasilitasi oleh
Change.org Indonesia, ditemukan fakta bahwa 93% penyintas pemerkosaan tidak pernah
melaporkan kasus mereka ke aparat hukum dan 6 persen yang melaporkan pada akhirnya
menyaksikan pelaku bebas dari jerat hukum4, Namun, sejatinya kasus kekerasan seksual
bagikan gunung es, yang hanya sedikit nampak di permukaan, tetapi di dalamnya terdapat
segunung kasus yang lebih besar dan lebih banyak. Artinya, kasus-kasus kekerasan
seksual yang nampak saat ini hanyalah sebagian kecil dari kasus kekerasan seksual yang
terjadi sebenarnya. Masih ada lebih banyak kasus-kasus kekerasan seksual yang tidak
terlihat, tidak terlapor, atau tidak tercatat bahkan di dalam Catatan Tahunan Komnas
Perempuan
Berdasarkan data-data tersebut menunjukkan bahwa adanya ketimpanga
hubungan relasi antara laki-laki dan perempuan yang tidak dapat ditutupi bahwa
ketimpangan atau ketidaksetaraan gender yang terbangun dalam budaya masyarakat turut
2
https://www.bps.go.id/pressrelease/2017/03/30/1375/satu-dari-tiga-perempuan-usia-15---64-tahun-pernah-
mengalami-kekerasan-fisik-dan-atau-seksual-selama-hidupnya.html pada 29 Maret 2023 pukul 13.55 WITA
3
Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2022
4
https://magdalene.co/story/93-persen-penyintas-tak-laporkan-pemerkosaan-yang-dialami-survei diakses pada 29
Maret 2023 pukul 13.55 WITA

2
pula memengaruhi kasus kekerasan seksual yang terjadi. Ketidaksetaraan gender yang
ada akibat budaya patriarki menjadi akar permasalahan utama kasus kekerasan seksual
yang didominasi oleh korban perempuan. Budaya patriarki menempatkan laki-laki dalam
posisi sentris dengan gambaran yang gagah, kuat, dan berani. Sedangkan, perempuan
ditempatkan dalam posisi subordinat dengan gambaran yang lemah lembut. Kontruksi
social yang dibangun oleh masyarakat menjadikan laki-laki berada dalam posisi yang
kuat dan seakan-akan lebih tinggi tingkatannya dibandingkan perempuan yang
ditempatkan dalam posisi pinggir yang lemah. Perempuan tidak hanya menjadi korban
kekerasan seksual, tetapi juga menjadi korban atas ketimpangan gender yang juga sering
kali menjadi alasan perempuan mendapat perlakuan yang diskriminatif dan tidak
sepantasnya bahkan dalam memperjuangkan keadilan atas kasus kekerasan seksual yang
dialaminya.
Korban kekerasan seksual harus menanggung beban penderitaan atas perisiwa
yang dialaminya. Lalu, dalam perjalanan korban untuk mendapat keadilan sering kali
dihadapkan dengan rintangan celaan dari masyarakat yang patriarkis. Korban sering kali
menutup diri atau bahkan mengubur dalam-dalam kejahatan yang telah merampas
martabat kemanusiaannya hanya karena takut akan respon masyarkat dan aparat penegak
hukum yang patriarkis dan tidak berpihak pada korban. Korban sering kali disalahkan
bahkan atas kejahatan yang menimpanya dan tidak mendapat kedilan dan hak-haknya
dalam proses penyelesaian kasus kekerasan seksual.
Salah satu yang menunjukkan ketidakadilan yang dialami korban kekerasan
seksual, yaitu pada kasus pemerkosaan yang terjadi antara pegawai Kementerian
Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) pada tahun 2019. Korban
diperkosa oleh empat rekan kerja pegawai laki-laki Kemenkop UKM pada saat
perpisahan purnatugas Kepala Biro Umum Hardiyanto di Hotel Permata, Kota Bogor.
Korban diajak ke bar dan dicekoki alkohol hingga tidak sadarkan diri, kemudian dibawa
ke kamar pimpinan kantor dan diperkosa di sana. Korban kemudian melaporkan kasus
pemerkosaan ini ke Polresta Kota Bogor dengan membawa bukti CCTV. Keempat pelaku
pun kemudia ditahan polisi, tetapi baru dua minggu ditahan keempat pelaku dibebaskan.
Hal ini karena adanya desakan dari kepolisian kepada korban agar mau menikah dengan
pelaku sebagai upaya “damai” diluar hukum. Dengan upaya “damai” ini, polisi

3
memutuskan menutup kasus tersebut (SP-3) dengan alasan sudah diselesaikan
lewat restorative justice5. Upaya “damai” ini tentunya jelas tidak berujung baik, dua
tahun berselang, keluarga korban kembali membuka kasus ini sebab pelaku tidak
memberikan jaminan ganti rugi yang sepantasnya dan malah menceraikan korban. Hal ini
menjadi salah satu bukti bahwa upaya “damai” melalui restorative justice hanya akan
menambah penderitaan kepada korban.
Praktik menikahkan korban dengan pelaku yang dianggap juga sebagai bentuk
perdamaian atau akhir dari suatu tindak pidana menjadi bukti bahwa masyarakat dan
aparat penegak hukum yang belum mampu untuk melihat kasus dari perspektif korban
dan mementingkan kepentingan korban. Bagaimana bisa korban kekerasan seksual
dengan segala trauma akibat kekerasan seksual yang diterimanya dipaksa untuk menikah
dan menjalin hidup bersama dengan pelaku yang telah memberikan penderitaan
kepadanya. Hal ini tentunya hanya akan memperparah penderitan korban.
Restorative justice memang tengah menjadi perbincangan hangat dalam diskursus
penegakan hukum di Indonesia. Restorative justice atau keadilan restoratif mengandung
arti "suatu pemulihan hubungan dan penebusan kesalahan yang ingin dilakukan oleh
pelaku tindak pidana (keluarganya) terhadap korban tindak pidana tersebut keluarganya)
(upaya perdamaian) di luar pengadilan dengan maksud dan tujuan agar permasalahan
hukum yang timbul akibat terjadinya perbuatan pidana tersebut dapat diselesaikan dengan
baik dengan tercapainya persetujuan dan kesepakatan di antara para pihak"6. Keadilan
restoratif ini dianggap sebagai alternatif penyelesaian baru dalam mengatasi tindak
pidana di Indonesia.
Akan tetapi, dalam penerapannya, alih-alih memberikan atau merestorasi keadilan
korban, penerapan keadilan restoratif dalam penanganan kasus kekerasan seksual justru
mengesampingkan hak-hak korban hanya untuk menuju kata “damai” sebagai penyelesaian kasus
di antara korban dan pelaku. Korban memang harus mendapatkan restitusi atau ganti rugi atas
penderitaan yang dialami, tetapi bukan berarti hal ini menjadi alasan pula untuk membebaskan
pelaku dari pertanggungjawab pidana yang harus diterimanya.

5
https://www.vice.com/id/article/jgpaad/pemerkosaan-pegawai-honorer-kemenkop-ukm-disorot-usai-korban-
dipaksa-nikahi-pelaku-oleh-polisi-bogor diakses pada 28 Maret 2023 pukul 17.56
6
Apong Herlina dkk, Perlindungan Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2004.

4
Korban kekerasan seksual yang telah mengalami berbagai penderitaan, kemudian
harus menanggung beban penderitaan lain atas dasar upaya “damai”. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh NGO Forum on Indonesian Development (INFID)
menemukan fakta bahwa hampir 60% responden yang pernah mengalami kekerasan
seksual tidak memperoleh penyelesaian atas tindak pidana yang mereka alami. Ada
sekitar 39,9% responden memperoleh penyelesaian dengan pelaku membayar sejumlah
uang dan 26,2% responden menikah dengan pelaku sebagai bentuk akhir atau perdamaian
atas tindak pidana yang mereka alami7.
Tidak hanya itu,berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Indonesia Judicial Research
Society (IJRS) terhadap 735 putusan pengadilan, ditemukan fakta bahwa korban sangat
rentan mengalami berbagai dampak psikis, mulai dari trauma mendalam, rasa takut, rasa
malu hingga perubahan perilaku akibat kekerasan seksual yang dialaminya. Sedangkan,
dampak fisik yang dialami korban mulai dari lebam, luka parah seperti patah tulang
hingga kerusakan organ reproduksi. Selain itu, penelitian tersebut juga menunjukkan
bahwa korban kekerasan seksual juga mengalami dampak finansial. Meskipun demikian,
melalui penelitian yang sama, hanya ditemukan 0.1 persen perempuan korban yang
dikabulkan untuk memperoleh restitusi dan 19.2 persen lainnya tidak mengajukan
permohonan, terlepas dari berbagai dampak yang dialami korban. Sedangkan, mayoritas
dari putusan tidak diperoleh informasi mengenai pemulihan yang diajukan dan
dikabulkan8.
Ada banyak penderitaan yang dialami oleh korban kekerasan seksual mulai dari
saat kejahatan tersebut dialaminya hingga dalam proses mendapatkan keadilan atas
kejahatan tersebut korban harus menanggung penderitaan lainnya akibat dari penangan
kasus yang tidak berpihak pada korban dan cenderung patriarki. Hanya saja, kepolisian
memang memiliki aturan tersendiri terkait penerapan restorative justice dalam penangan
kasus, yaitu melalui Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
2021 tentang Penangan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif. Akan tetapi,
peraturan tersebut tidak mengecualikan kekerasan seksual sebagai tindak pidana yang
tidak seharusnya diberlakukan restorative justice, meskipun dalam penerapannya sudah

7
https://ijrs.or.id/rilis-pers-mengurai-benang-kusut-restorative-justice-dalam-kasus-kekerasan-seksual/ diakses pada
29 Maret 2023 pukul 17.45
8
Ibid.

5
banyak terlihat bahwa pemberlakuan peraturan tersebut bertentangan dengan Undang-
Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang berpihak pada korban. Kegagalan
melihat kasus kekerasan dari perspektif gender dan korban membuat korban kekerasan
harus mengalami penderitaan berkali-kali. Hal ini tentunya menjadi lubang buruk yang
harus dibenahi dalam penangan kasus kekerasan seksual di Indonesia.

Oleh karena itu, melalui penelitian ini penulis bermaksud untuk meneliti lebih
dalam bagaimana penerapan restorative justice dalam penanganan kasus kekerasan
seksual berlandaskan peraturan yang ada untuk melihat apakah benar penerapan keadilan
restoratif dalam penangan tindak pidana sudah sesuai dengan prinsip-prinsip kepentingan
korban dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

1.2. Rumusan Masalah

1) Bagaimana problematika penanganan kasus kekerasa seksual menggunakan prinsip


keadilan restoratif?
2) Bagaimana kesesuaian peraturan hukum dalam penanganan kasus kekerasan seksual
dengan prinsip penanganan kasus berdasarkan keadilan restoratif?

1.3. Tujuan

1) Untuk mengetahui problematika penanganan kasus kekerasa seksual menggunakan


prinsip keadilan restoratif
2) Untuk mengetahui kesesuaian peraturan hukum dalam penanganan kasus kekerasan
seksual dengan prinsip penanganan kasus berdasarkan keadilan restoratif

1.4. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis
Diharapkan bisa menjadi rujukan atau referensi dari penulisan-penulisan lainnya
yang membahas hal serupa, ataupun menjadi pengembangan ilmu pengetahuan dari
pembahasan yang sudah ada.
2. Manfaat Praktis
Menjadi instrumen pendukung bagi pembaca ataupun penulis dalam hal
memecahkan masalah yang timbul di tengah masyarakat

6
.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kekerasan Seksual

Kekerasan atau violence merupakan istilah yang terdiri dari dua kata, yaitu “vis”
yang berarti (daya, kekuatan) dan “latus” berarti (membawa), yang kemudian
diterjemahkan sebagai membawa kekuatan. Kamus esar Bahasa Indonesia memberikan
pengertian mengenai kekerasan dalam arti sempit yaitu hanya mencakup kekerasan fisik.
Menurut KBBI kekerasan adalah perbuatan yang dapat menyebabkan cidera atau matinya
orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain9. Menurut Yesmil
Anwar kekerasan adalah tindakan yang menggunakan kekuatan fisik dan kekuasaan,
ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan, sekelompok orang atau
masyarakat yang mengakibatkan memar atau trauma, kematian, kerugian psikologis,
kelainan perkembangan dan perampasan hak10.

Kekerasan terhadap perempuan digolongkan ke dalam beberapa bentuk, yaitu


kekerasan fisik, seksual, psikologis, ekonomi, dan perampasan kemerdekaan. Kekerasan
fisik adalah perbuatan yang menimbulkan rasa sakit, cedera, luka atau cacat pada tubuh
seseorang dan atau dapat menyebabkan kematian. Kekerasan fisik dapat berupa cubitan,
pemukulan, cekikan, dan lain- lain. Kemudian, kekerasan psikologis adalah setiap
perbuatan dan ucapan yang menyebabkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri dan

9
Mulida H. Syaiful Tency dan Ibnu Elmi, Kekerasan Seksual dan Perceraian, Intimedia, Malang, 2009,
hlm. 17.
10
Yesmil Anwar, Saat Menuai Kejahatan: Sebuah Pendekatan Sosiokultural Kriminologi, Hukum dan
HAM, UNPAD Press, Bandung, 2004, hlm. 54

7
kemampuan untuk bertindak, serta timbulnya rasa tidak berdaya pada seseorang.
Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang mencakup pelecehan seksual hingga
perbuatan memaksa seseorang untuk melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan
korban atau di saat korban tidak menghendaki, dan atau melakukan hubungan seksual
dengan cara-cara yang tidak wajar atau tidak disukai korban serta menjauhkan
(mengisolasi) dari kebutuhan seksualnya11.

Kekerasan seksual berasal dari dua kata, yaitu kekerasan dan seksual, yang di
dalam bahasa Inggris disebut dengan sexual hardness. Kata hardness mempunyai arti
kekerasan, tidak menyenangkan dan tidak bebas. Kata seksual tidak dapat dilepaskan dari
seks dan seksualitas. Seks adalah perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki atau
yang sering disebut dengan jenis kelamin. Sedangkan, seksualitas menyangkut berbagai
dimensi yang luas yaitu dimensi biologis, dimensi sosial, dimensi psikologis dan dimensi
kultural. Secara umum,seksualitas dapat dikelompokkan menjadi beberapa bentuk, yaitu:
Kekerasan seksual adalah segala serangan yang mengarah pada seksualitas seseorang
(baik laki-laki maupun perempuan) yang dilakukan dibawah tekanan.Kekerasan seksual
adalah termasuk, tetapi tidak terkecuali pada perkosaan, perbudakan seksual,
perdagangan orang untuk eksploitasi seksual, pelecehan seksual, sterilisasi paksa,
pengambilan paksa dan prostitusi paksa12.

Pengertian kekerasan seksual menurut RUU PKS, adalah setiap perbuatan


merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat
seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan
kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan
persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi
gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik,
psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik. Menurut
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual,
tindak Pidana Kekerasan Seksual adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur tindak
pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dan perbuatan kekerasan seksual
11
Munandar Sulaeman dan Siti Homzah (Ed.), Kekerasan Terhadap Perempuan Tinjauan dalam Berbagai
Disiplin Ilmu dan Kasus Kekerasan, Refika Aditama, Bandung, 2010,
12
International Criminal Tribunal for Rwanda, Chamber 1.,dalam Betty Itha Omas, Dkk., Kekerasan
Terhadap Perempuan Sebagai Pelanggaran HAM, Glosari, (Indonesia, Desember, 2006), hlm. 44

8
lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang sepanjang ditentukan dalam Undang-
Undang ini.

Menurut Komnas Perempuan terdapat 15 bentuk kekerasan seksual, yaitu sebagai


berikut13 :

1. Perkosaan;
2. Intimidasi Seksual termasuk Ancaman atau Percobaan Perkosaan;
3. Pelecehan Seksual;
4. Eksploitasi Seksual;
5. Perdagangan Perempuan untuk Tujuan Seksual;
6. Prostitusi Paksa;
7. Perbudakan Seksual;
8. Pemaksaan perkawinan, termasukcerai gantung;
9. Pemaksaan Kehamilan;
10. Pemaksaan Aborsi;
11. Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi;
12. Penyiksaan Seksual;
13. Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual;
14. Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau
mendiskriminasi perempuan;
15. Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas
dan agama.

2.2 Keadilan Restoratif

Keadilan restoratif atau Restorative Justice mengandung pengertian yaitu: "suatu


pemulihan hubungan dan penebusan kesalahan yang ingin dilakukan oleh pelaku tindak
pidana (keluarganya) terhadap korban tindak pidana tersebut (keluarganya) (upaya
perdamaian) di luar pengadilan dengan maksud dan tujuan agar permasalahan hukum yang
timbul akibat terjadinya perbuatan pidana tersebut dapat diselesaikan dengan baik dengan
tercapainya persetujuan dan kesepakatan diantara para pihak". Jadi, sederhananya, Keadilan

13
https://komnasperempuan.go.id/instrumen-modul-referensi-pemantauan-detail/15-bentuk-kekerasan-
seksual-sebuah-pengenalan diakses pada 29 Maret 2023 pukul 14.45

9
Restoratif adalah model penyelesaian perkara pidana yang mengedepankan pemulihan
terhadap korban, pelaku, dan masyarakat. Prinsip utama restorative justice adalah adanya
partisipasi korban dan pelaku, partisipasi warga sebagai fasilitator dalam penyelesaian kasus,
sehingga ada jaminan anak atau pelaku tidak lagi mengganggu harmoni yang sudah tercipta
di masyarakat.14.

Sementara itu, menurut Agustinus Pohan, keadilan restoratif adalah konsep keadilan yang
sangat berbeda dengan apa yang kita kenal saat ini dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia
yang bersifat retributif, keadilan restoratif (restorative justice) merupakan sebuah pendekatan
untuk membuat pemindahan dan pelembagaan menjadi sesuai dengan keadilan. Keadilan
restoratif juga dapat diartikan sebagai model penyelesaian perkara pidana yang
mengedepankan pemulihan korban, pelaku dan masyarakat. Prinsip utama keadilan restoratif
adalah adanya partisipasi korban dan pelaku, partisipasi warga sebagai sukarelawan mediator
atau fasilitator penyelesaian kasus15.Prinsip keadilan restoratif mengedepankan pelaku untuk
bertanggung jawab memperbaiki kerusakan akibat dari kejahatannya, memberikan
kesempatan pada pelaku untuk membuktikan kapasitas dan kualitasnya sebaik dia mengatasi
rasa bersalahnya dengan cara yang konstruktif, melibatkan korban, orang tua, keluarga,
sekolah atau teman bermainnya, membuat forum kerja sama, juga dalam masalah yang
berhubungan dengan kejahatan untuk mengatasinya16.

2.3. Teori Perlindungan Hukum

Perindungan hukum merupakan bentuk dari gambaran fungsi hukum yang mana hukum
dapat memberikan kepastian, manfaat, ketertiban, keadilan dan kedamaian. Perlindungan
hukum menurut Phillipus M. Hadjon adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap
subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik bersifat preventif maupun respresif baik
tertulis maupun tidak tertulis17. Beliau juga menuturkan bahwa perlindungan hukum
merupakan suatu usaha untuk melindungi ha-hak dari pihak tertentu sesuai dengan kewajiban
14
Apong Herlina dkk, PerlindunganTerhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
15
Buletin Komisi Yudisial, “Hakim dan Penerapan Keadilan Restoratif,” Vol. VI No 4, JanuariPebruari
2012.
16
Melani, “Membangun Sistem Hukum Pidana dari Retributif ke Restoratif”, Litigasi, Volume 6 Nomor 3
Oktober 2005.
17
Phillipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987)
(selanjutnya disebut Philipus M. Hadjon II) hal. 2.

10
yang dilakukannya.18Terdapat dua hal dalam perlindungan hukum yang dijabarkan Phillipus
M. Hadjon yaitu:
1) Perlindungan hukum preventif, yang mana memberikan kesempatan kepada rakyar untuk
mengajukan keberatan atas pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat
bentuk yang definitif.
2) Perlindungan hukum respresif, yang mana memberikan perlindungan akhir berupa sanksi
seperti denda penjara dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi
sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.19
Sudikno Mertokusumo menambahkan, perlindungan hukum bisa berarti perlindungan
yang diberikan agar hukum tidak menjadi multitafsir sehingga tidak diciderai aparat penegak
hukum. Perlindungan hukum juga bisa bermakna perlindungan yang diberikan hukum atas
suatu hal atau objek tertentu.20

2.4. Budaya Patriarki

Patriarki yang berasal dari bahasa inggris yaitu ‘patriarchy’ yang memiliki makna yaitu
‘rules of the father’ atau istilahnya berarti aturan yang mengikuti tradisi kebapakan. Maksud
dari tradisi ini adalah nilai kebudayaa, sosial, dan politik didasarkan pada kaum laki-laki. 21
Menurut KBBI, patriarki merupakan suatu perilaku yang mengutamakan laki-laki daripada
perempuan dalam masyarakat atau kelompok tertentu.
Alfian Rokhmansyah dibukunya yang berjudul “Pengantar Gender dan Feminisme”,
patriarki berasal dari patriarkat yang artinya struktur yang menempatkan peran laki-laki
menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral dan segala-galanya. 22
Kebudayaan masyarakat yang didominasi oleh sistem patriarki menyebabkan adanya ketidak
seimbangan dan ketidakadilan gender yang mempengaruhi hingga keberbagai aspek kegiatan
manusia. Laki-laki yang dipandang sebagai kontrol utama masyarakat di berbagai wilayah
umum di lingkungan masyarakat, baik di bidang ekonomi, sosial, politik dan institusi

18
Ibid.
19
Ibid hlm 2-5
20
Sudikno Metrokusumo, Penemuan Hukum, (Jakarta: Citra Adidaya Bakti, 2009).
21
CNN INDONESIA, Bagaimana Islam Memandang Budaya Patriarki?.
https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20200423151949-289-496595/bagaimana-islam-memandang-budaya-
patriarki diakses pada 31 Maret 2023 pukul 19.20 WITA
22
Sakina Ade i., Siti Dessy H. Menyoroti Budaya Patriarki di Indonesia. Social Work Jurnal Vol,7 No,1.
Hlm. 72

11
membuat perempuan ditempatkan pada posisi subordinat yang memiliki sedikit pengaruh
atau bahkan terkadang tidak memiliki hak untuk memiliki atau memilih haknya. Budaya
patriarki membuat peran perempuan terbatas sehingga perempuan menjadi terbelenggu dan
otomatis mengundang perlakuan diskriminasi.

2.5. Restitusi

Menurut Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian
Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban, restitusi adalah ganti
kerugian yang diberikan kepada Korban atau Keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga,
dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau
penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu.
Berdasarkan juga dijelaskan bahwa seluruh korban tindak pidana berhak untuk
memperoleh restitusi. Selanjutnya, dijelaskan lebih detail, yaitu permohonan untuk
memperoleh Restitusi dapat diajukan oleh korban, keluarga, atau kuasanya dengan surat
kuasa khusus. Permohonan untuk memperoleh Restitusi diajukan secara tertulis dalam
bahasa Indonesia di atas kertas bermeterai cukup kepada pengadilan melalui LPSK.
Pelaksanaan restitusi harus sesuai dengan prinsip Pemulihan dalam Keadaan Semula
(restutio in integrum), hal tersebut merupakan suatu upaya yang dapat dilakukan
bahwa korban kejahatan harus dikembalikan pada kondisi semula sebelum kejahatan
terjadi. Meskipun didasari bahwa tidak akan mungkin korban tindak pidana kembali
pada kondisi pada saat sebelum mengalami kerugian yang ia derita. Prinsip ini juga
menegaskan bahwa bentuk pemulihan yang hendak dilakukan pada korban haruslah
mencapai suatu kelengkapan dalam pemulihan dan mencakup berbagai aspek yang
ditimbulkan akibat kejahatan. Melalui pengajuan restitusi, korban diharapkan dapat
dipulihkan kebebasan, hak-hak hukum, status sosial, kehidupan keluarga dan
kewarganegaraan, pemulihan pekerjaannya serta dipulihkan asetnya23.

23
Sapti Prihatmini et al., “Pengajuan dan Pemberian Hak Restitusi Bagi Anak Yang Menjadi Korban
Kejahatan Seksual,” 2019 <https://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/92199/F.
H_Jurnal_Sapti P_Pengajuan dan Pemberian Hak Restitusi.pdf?sequence=1&isAllowed=y>.

12
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif dan
empiris. Menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum normatif adalah suatu proses
untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin
hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.24 Selain itu, menurut Ronny Soemitro,
penelitian hukum empiris atau sosiologis adalah penelitian hukum dengan data primer atau
suatu data yang diperoleh langsung dari sumbernya25. Dengan demikian, penggabungan kedua
jenis penelitian ini menitikberatkan dalam tataran norma, kaidah, asas-asas, teori, filosofi, dan
aturan hukum disertai data dalam deskriptif guna mengetahui keadaan sebenarnya sebagai
kenyataan sosial demi mencari solusi atau jawaban atas permasalahan26.

3.2 Pendekatan Penelitian

Menurut Mukti Fajar dan Yulianto Achmad pendekatan dalam penelitian hukum
normatif dimaksudkan adalah sebagai bahan untuk mengawali sebagai dasar sudut pandang
dan kerangka berpikir seorang peneliti untuk melakukan analisis 27. Dalam pendekatan
penelitian, penulis menggunakan pendekatan, diantaranya: Pendekatan Perundang-
Undangan (statute approach); Pendekatan Konseptual (conceptual approach), Pendekatan
Analitis (analitycal approach), dan Pendekatan Kasus (case approach).

24
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta,:Kencana Prenada, 2010) hal. 35.
25
Ronny Hanitijo Soemitro, Dualisme Penelitian Hukum (Normatif dan Empiris), (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010) hal. 154.
26
Nurhayati, Y., Ifrani, I., & Said, M. Y., “Metodologi Normatif Dan Empiris Dalam Perspektif Ilmu
Hukum”. Jurnal Penegakan Hukum Indonesia, 2(1) (2021): 1-20.
27
Fajar Mukti dan Yulianto Achmad, 2009, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, hlm. 185-192.

13
3.3 Jenis dan Sumber Data

1) Jenis Data
Oleh karena penulis menggunakan jenis penelitian normatif-empiris, maka
jenis data dan bahan hukum yang digunakan, antara lain:
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari masyarakat. Data
Primer dalam suatu penelitian ini penulis peroleh melalui pengamatan. 28 Sumber
data primer yaitu data yang diambil dari sumbernya atau dari lapangan, melalui
wawancara dengan pihak berkepentingan atau responden yang dapat memberikan
informasi yang dibutuhkan berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti.

b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data primer yang telah diolah lebih lanjut dan
disajikan baik oleh pihak pengumpul data primer atau pihak lain. 29 Data sekunder
terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier
yaitu:
a) Bahan Hukum Primer
Menurut Peter Mahmud Marzuki, bahan hukum primer adalah bahan hukum
yang bersifat autoritatif yang artinya mempunyai otoritas 30. Dalam penelitian
ini, penulis menggunakan bahan hukum primer sebagai berikut:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
3) Kitab Undang-Undang Hukum acara Pidana (KUHAP)
4) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
5) Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual
6) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban;
dan;

28
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang:Bayumedia Publishing,
2006. hal.49.
29
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta:PT.Rineka Cipta, 1996, hal.20-22.
30
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 66-67

14
7) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian
Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban
b) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang dapat membantu
menganalisis dan memahami bahan hukum primer. Adapun macam dari bahan
hukum sekunder, yaitu:
1) Buku-buku Hukum dan ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan yang
akan diteliti.
2) Jurnal-jurnal Hukum dan sosial yang berkaitan dengan permasalahan yang
akanditeliti.
3) Hasil Penelitian yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti.
4) Makalah-makalah, artikel-artikel, dan karya tulis yang berkaitan dengan
permasalahan yang akan diteliti.
5) Internet yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti.
c) Bahan Hukum Tersier
Bahan Hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder,
seperti kamus hukum, kamus bahasa, ensiklopedia, dan ensiklopedia hukum.31
2) Sumber Data
Sumber data diperoleh dari studi lapangan dan studi kepustakaan. Adapun
studi kepustakaan menyangkut pengumpulan data melalui membaca, mengutip,
mencatat, dan memahami berbagai literatur, peraturan perundang-undangan, dan
peraturan lainnya baik dari buku-buku literatur ilmu hukum serta tulisan-tulisan
hukum lainnya.
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam melakukan penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1) Dalam Penelitian Hukum Normatif
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini diperoleh melalui studi
pustaka. Studi pustaka (bibliography study) adalah pengkajian informasi tertulis

31
Muhaimin. 2020. Metode Penelitian Hukum. Mataram: Mataram University Press. Hlm. 62

15
mengenai hukum yang berasal dari berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas serta
dibutuhkan dalam penelitian hukum normatif.32
2) Dalam Penelitian Hukum Empiris
Dalam penelitian hukum empiris, teknik pengumpulan data terdapat 2
(dua) teknik yang dapat digunakan, baik gunakan secara sendiri-sendiri maupun
digunakan secara bersama-sama sekaligus.
a) Wawancara
Wawancara adalah melakukan tanya jawab secara langsung antara peneliti dengan
responden atau narasumber untuk mendapat informasi. Wawancara merupakan salah
satu teknik yang sering dan paling lazim digunakan dalam penelitian hukum empiris
karena tanpa wawancara, peneliti akan kehilangan informasi yang hanya diproleh
dengan dalan bertanya secara langsung oleh responden atau narasumber 33. Responden
yang diwawancarai, meliputi:
1. Kapolda NTB Irjen Pol Djoko Poerwanto 
2. Ketua LBH Apik NTB
3. Pimpinan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak,
Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana NTB
b) Observasi
Observasi adalah teknik pengumpulan data yang dilakukaan melalui sesuatu
pengamatan, dengan disertai pencatatan-pencatatan terhadap keadaan atau prilaku
objek sasaran34. Menurut Nana Sudjana observasi adalah pengamatan dan pencatatan
yang sistematis terhadap gejala-gejala yang diteliti. Teknik observasi adalah
pengamatan dan pencatatan secara sistematis fenomena-fenomena yang diselidiki.
Dalam arti yang luas, observasi sebenarnya tidak hanya terbatas pada pengamatan
yang dilaksanakan baik secara langsung maupun tidak langsung35.
Sedangkan menurut Sutrisno Hadi metode observasi diartikan sebagai
pengamatan, pencatatan dengan sistematis fenomena-fenomena yang diselidiki.
Pengamatan (observasi) adalah metode pengumpulan data dimana penelitian atau
32
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakdi, Bandung, 2004, hlm. 81-84
33
Soejono Soekamto, 2007, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hlm 12
34
Abdurrahman Fatoni, Metodologi Penelitian dan Teknik Penyususna Skripsi (Jakarta: Rineka
Cipta,2011), hlm.104
35
Nana Sudjana, Penelitian dan Penilaian ( Bandung: Sinar Baru,1989),hlm.84

16
kolaboratornya mencatat informasi sebagaimana yang mereka saksikan selama
penelitian36. Dari pengertian di atas metode observasi dapat dimaksudkan suatu cara
pengambilan data melalui pengamatan langsung terhadap situasi atau peristiwa yang
ada dilapangan.

3.5. Analisis Data


Dalam menganalisis data yang diperoleh menggunakan sifat analisis
deskriptif-analisis (descriptive-analysis) dengan memberikan gambaran atau pemaparan atas
subjek dan objek penelitian, sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan yang dapat berarti
menentang, mengkritik, mendukung, menambah atau memberi komentar dan kemudian
membuat suatu kesimpulan terhadap hasil penelitian dengan pikiran sendiri dan bantuan
teori.

3.4 Tempat dan Waktu Penelitian

1) Lokasi Penelitian Kepustakaan (data sekunder)


- Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Mataram
- Perpustakaan Universitas Mataram
- Perpustakaan Daerah Provinsi NTB
2) Lokasi Penelitian Lapangan (data primer)
Lokasi penelitian guna mendukung dan menjawab permasalahan dalam penelitian
ini adalah Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat, khususnya Polda NTB
sebagai lembaga penegakan hukum tempat korban kekerasan seksual melaporkan
kasus kekerasan seksual dan tempat di mana kasus kekerasan seksual tersebut
diproses untuk selanjutnya dilanjutkan ke pengadilan atau dihentikan. Selain itu,
Kantor Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian
Penduduk dan Keluarga Berencana NTB, Kantor LBH Apik NTB, dan BKBH
Fakultas Hukum Unram, sbagai lembaga atau tempat korban kekerasan seksual
melaporkan kasusnya dan lembaga yang mendapingi korban dalam menjalankan
proses hukum.

36
Sutrisno Hadi, Metodologi Reserch (Yogyakarta:Andi Ofset,Edisi Refisi,2002), hlm.136.

17
Jadwal Penelitian

No Kegiatan Agustus September Oktober


I II III I I II III I I II III IV
V V
1. Penyusunan Proposal
2. Bimbingan Proposal
3. Perbaikan
4. Seminar Proposal
5. Bimbingan dan Perbaikan
Sebelum Seminar Hasil
6. Seminar Hasil
7. Perbaikan
9. Seminar Tertutup

18
DAFTAR PUSTAKA

Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2021

Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2022

Buku dan Jurnal

Soekamto, Soejono. 2007. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press

Fatoni, Abdurrahman. 2011. Metodologi Penelitian dan Teknik Penyususna Skripsi. Jakarta: Rineka Cipta

Sudjana, Nana. 1989. Penelitian dan Penilaian. Bandung: Sinar Baru

Hadi, Sutrisno. 2002. Metodologi Reserch. Yogyakarta:Andi Ofset

Muhaimin. 2020. Metode Penelitian Hukum. Mataram: Mataram University Press.

Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakdi,

Hadjon, Phillipus M. (1987). Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. Surabaya: PT. Bina
Ilmu (selanjutnya disebut Philipus M. Hadjon II)

Ibrahim, Johnny. (2006). Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:
Bayumedia Publishing.

Marzuki, Peter Mahmud. (2010). Penelitian Hukum,. Jakarta,:Kencana Prenada.

Metrokusumo, Sudikno. (2009). Penemuan Hukum. Jakarta: Citra Adidaya Bakti

Bagir Manan. (2015). Restorative Justice (Suatu Perkenalan): Refleksi Dinamika Hukum
Rangkaian dalam Dekade Terakhir, Jakarta: Perum Percetakan Negara RI
Herlina, Apong. 2012. Perlindungan Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum, Jakarta: PT. Raja
Grafindo
Persada,
Mulida, Syaiful Tency dan Ibnu Elmi. 2009. Kekerasan Seksual dan Perceraian. Malang: Intimedia,
Yesmil, Anwar. 2004. Saat Menuai Kejahatan: Sebuah Pendekatan Sosiokultural Kriminologi, Hukum
dan HAM. Bandung: UNPAD Press

Sulaeman, Munandar dan Siti Homzah (Ed.) 2010. Kekerasan Terhadap Perempuan Tinjauan dalam
Berbagai Disiplin Ilmu dan Kasus Kekerasan. Bandung: Refika Aditama,

19
Jurnal

Sakina Ade i., Siti Dessy H. Menyoroti Budaya Patriarki di Indonesia. Social Work Jurnal Vol,7 No,1.
Buletin Komisi Yudisial, “Hakim dan Penerapan Keadilan Restoratif,” Vol. VI No 4, JanuariPebruari
2012.
Melani, “Membangun Sistem Hukum Pidana dari Retributif ke Restoratif”, Litigasi, Volume 6 Nomor 3
Oktober 2005.

Sapti Prihatmini et al., “Pengajuan dan Pemberian Hak Restitusi Bagi Anak Yang Menjadi
Korban
Kejahatan Seksual,” 2019 <https://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/92199/F.
H_Jurnal_Sapti P_Pengajuan dan Pemberian Hak Restitusi.pdf?sequence=1&isAllowed=y>.

Internet

https://www.bps.go.id/pressrelease/2017/03/30/1375/satu-dari-tiga-perempuan-usia-15---64-tahun-pernah-
mengalami-kekerasan-fisik-dan-atau-seksual-selama-hidupnya.html pada 29 Maret 2023 pukul 13.55 WITA

https://magdalene.co/story/93-persen-penyintas-tak-laporkan-pemerkosaan-yang-dialami-survei diakses
pada 29 Maret 2023 pukul 13.55 WITA

https://ijrs.or.id/rilis-pers-mengurai-benang-kusut-restorative-justice-dalam-kasus-kekerasan-seksual/
diakses pada 29 Maret 2023 pukul 17.45

https://www.vice.com/id/article/jgpaad/pemerkosaan-pegawai-honorer-kemenkop-ukm-disorot-usai-
korban-dipaksa-nikahi-pelaku-oleh-polisi-bogor diakses pada 28 Maret 2023 pukul 17.56

CNN INDONESIA, Bagaimana Islam Memandang Budaya Patriarki?.


https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20200423151949-289-496595/bagaimana-islam-memandang-
budaya-patriarki diakses pada 31 Maret 2023 pukul 19.20 WITA

20

Anda mungkin juga menyukai