Oleh :
Dr. Diah Ratu Sari Harahap S.H., M.H.
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NASIONAL
2018
HALAMAN PENGESAHAN
NIDN : 0329036404
Jabatan fungsional : Lektor
Fakultas : Hukum
Program Studi : Hukum
Alamat rumah : Jalan Baung nomor 45 Rt 3 Rw 1 Kel. Lenteng
Agung, Kec. Jagakarsa, Jakarta Selatan
Telepon : 081511149999
Email : diahratusari@yahoo.com
Jangka waktu penelitian : satu semester
Biaya : Rp 7.000.000,-
Mengetahui
Dekan Fakultas Hukum Peneliti
(Dr. Ismail Rumadan M.H.) (Dr.Diah Ratu Sari Harahap S.H., M.H.)
NIK. 130010099 NIP 0106090786
Menyetujui
Wakil Rektor Bidang PPMK,
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur diucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmatNya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan penelitian tentang
Kriminalisasi sebagai Upaya Penanggulangan Kejahatan di Indonesia.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Rektor, Bapak Wakil
Rektor Bidang Akademik, Ibu Wakil Rektor Bidang Penelitian dan Pengabdian
kepada Masyarakat dan Bapak Dekan serta Ibu Wakil Dekan Fakultas Hukum
Universitas Nasional serta berbagai pihak terkait yang memberikan kepercayaan
dan kesempatan kepada kami dan telah membantu kami melakukan kegiatan
penelitian ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas kebaikan yang telah
dilakukan. Amin.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
ABSTRAK
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan bermasyarakat banyak terjadi kejahatan. Kejahatan ini
beragam bentuknya sesuai dengan pelanggaran terhadap kepentingan hukum
yang dilindungi. Di antara bentuk-bentuk kejahatan yang ada, Penulis
melakukan penelitian tentang kejahatan kesusilaan. Lebih khusus lagi
penelitian difokuskan pada kejahatan kesusilaan mengenai perbuatan cabul
dengan sesama jenis kelamin.
Belakangan ini cukup banyak dibicarakan tentang Lesbian, Gay,
Biseksual dan Transgender yang disingkat LGBT. Dalam hukum pidana
positif Indonesia khususnya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUH Pidana), kejahatan kesusilaan mengenai perbuatan cabul dengan
sesama jenis kelamin diatur dalam Pasal 292 :
Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang
belum dewasa dari jenis kelamin yang sama sedang diketahuinya
atau patut harus disangkanya hal belum dewasa itu, dihukum penjara
selama-lamanya lima tahun.
Dua orang yang belum dewasa atau dua orang yang sudah dewasa
bersama-sama melakukan perbuatan cabul tidak dihukum menurut
pasal ini oleh karena yang diancam hukuman itu perbuatan cabul
dari orang dewasa terhadap orang belum dewasa.
1
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang
lain yang sama jenis kelaminnya yang diketahui atau patut
diduga belum berumur 18 (delapan belas) tahun dipidana
dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.
(2) Dipidana dengan pidana yang sama ditambah dengan sepertiga
jika perbuatan cabul sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan cara seks oral atau seks anal atau semua
bentuk pertemuan organ non-kelamin dengan alat kelamin yang
dilakukan secara homoseksual.
Dalam Rancangan KUH Pidana tampak bahwa subyek delik masih sama
yaitu orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang yang
belum dewasa namun terjadi perluasan bentuk perbuatan yang dilarang yaitu
perbuatan cabul dengan cara seks oral atau seks anal atau semua bentuk
pertemuan organ non-kelamin dengan alat kelamin yang dilakukan secara
homoseksual. Selain itu terdapat peningkatan lamanya ancaman pidana
penjara dari lima tahun menjadi sembilan tahun. Dalam Rancangan KUH
Pidana belum ada aturan tentang larangan melakukan perbuatan cabul antara
sesama orang dewasa yang jenis kelaminnya sama padahal perbuatan seperti
ini dicela oleh masyarakat dan dilarang dalam agama.
Disinilah perlunya dilakukan kriminalisasi. Menurut kamus terminologi
hukum pidana, kriminalisasi artinya pengaturan perbuatan yang semula tidak
merupakan delik kemudian dijadikan delik.1
Menurut Sudarto,
Kriminalisasi maksudnya adalah suatu proses yang menjadikan suatu
perbuatan yang tadinya bukan merupakan tindak pidana karena belum
diatur di dalam undang-undang hukum pidana, kemudian karena
perbuatan tersebut dapat mengakibatkan kerugian bagi masyarakat
bahkan dapat membahayakan kehidupan manusia, maka dirumuskan di
dalam undang-undang hukum pidana dan diancam dengan pidana,
sehingga perbuatan dimaksud dinyatakan sebagai tindak pidana.2
1
Andi Hamzah, Kamus Terminologi Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 90
2
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 31-32
2
Menurut Teguh Prasetyo,
Kriminalisasi ialah proses penetapan suatu perbuatan yang semula bukan
tindak pidana atau tidak ada diatur dalam hukum pidana, karena
perkembangan masyarakat kemudian menjadi tindak pidana atau dimuat
ke dalam hukum pidana. Artinya, tahap akhir proses kriminalisasi adalah
pembentukan hukum pidana.3
B. Kerangka Teoritis
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Kebijakan
Formulasi, Teori Manfaat dan Teori Penegakan Hukum.
1. Teori Kebijakan Formulasi
Dalam formulasi kebijakan hukum pidana terdapat dua masalah
sentral yang harus ditentukan, yaitu:
a. Perbuatan apa yang harusnya dijadikan tindak pidana;
b. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si
pelanggar.4
Kebijakan formulasi berkaitan dengan pembaharuan hukum pidana,
karena pada hakekatnya pembaharuan hukum pidana adalah bagian dari
kebijakan hukum pidana yang merupakan bagian dari penegakan hukum
pidana, kebijakan kriminal dan kebijakan sosial dalam rangka untuk
melindungi masyarakat dan mencapai kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan formulasi adalah kebijakan dalam merumuskan sesuatu
dalam bentuk perundang-undangan. Kebijakan formulasi menurut Barda
Nawawi Arief adalah “Suatu perencanaan atau program dari pembuat
undang-undang mengenai apa yang akan dilakukan dalam menghadapi
3
Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 3
4
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bhakti,
Bandung. 2005, hal. 35
3
problema tertentu dan cara bagaimana melakukan atau melaksanakan
sesuatu yang telah direncanakan atau diprogramkan itu”.5
Kebijakan formulasi merupakan awal dari perencanaan dalam usaha
untuk menanggulangi kejahatan, maka wajar apabila kebijakan formulasi
merupakan bagian dari kebijakan kriminal yang secara fungsional dapat
dilihat sebagai bagian prosedur usaha menanggulangi kejahatan. Secara
garis besar, perencanaan atau kebijakan penanggulangan kejahatan yang
dituangkan dalam perundang-undangan menurut Barda Nawawi Arief
meliputi:
a. Perencanaan atau kebijakan tentang perbuatan-perbuatan terlarang apa
yang akan ditanggulangi karena dipandang membahayakan atau
merugikan;
b. Perencanaan/kebijakan tentang sanksi apa yang dapat dibuat dikenakan
terhadap pelaku perbuatan yang dilarang itu (baik berupa pidana atau
tindakan) dan sistem penerapannya;
c. Perencanaan/kebijakan tentang prosedur atau mekanisme sistem
peradilan dalam rangka penegakan hukum pidana.6
Tujuan kebijakan kriminal adalah untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakan hukum inipun
termasuk dalam bidang kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional
untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.7
Salah satu sarana yang digunakan dalam merancang dan
melaksanakan kebijakan sosial adalah dengan menggunakan hukum dan
peraturan perundang-undangan pada suatu Negara. Penggunaan hukum
positif sebagai salah satu cara menanggulangi kejahatan harus
memperhatikan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat suatu bangsa.
5
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan
Pidana Penjara, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1994, hal. 63
6
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni,
1984), hal.198
7
Barda Nawawi Arief, OpCit, hal. 16
4
2. Teori Manfaat
Teori ini dipelopori oleh Jeremy Bentham dengan memegang
prinsip manusia akan melakukan tindakan untuk mendapatkan
kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan.8 Atas
dasar ini, baik buruknya suatu perbuatan diukur apakah perbuatan itu
mendatangkan kebahagiaan atau tidak. Demikianpun dengan perundang-
undangan baik buruknya ditentukan pula oleh ukuran tersebut diatas.
Jadinya, undang-undang yang banyak memberikan kebahagiaan pada
bagian terbesar masyarakat akan dinilai sebagaai undang-undang yang
baik.
Menurut Jeremy Bentham, hukum bertujuan semata-mata apa yang
berfaedah bagi orang. Pendapat ini dititikberatkan pada hal-hal yang
berfaedah bagi orang banyak dan bersifat umum tanpa memperhatikan
soal keadilan. Hukum pada dasarnya bertujuan untuk mewujudkan apa
yang berfaedah bagi orang yang satu dapat juga merugikan orang lain,
maka tujuan hukum ialah untuk memberikan faedah sebanyak-banyaknya.
Di sini kepastian melalui hukum bagi perorangan merupakan tujuan utama
dari hukum.9
Menurut Romli Atmasasmita, tujuan hukum pada umumnya,
khusus hukum pidana Indonesia adalah perdamaian (peace) dan
kemanfaatan (utility) bagi pihak-pihak yang berseteru dan juga bagi
masyarakat sekitar sebagai tujuan utama (ultimate goals) sedangkan
ketertiban, kepastian dan keadilan sebagai tujuan sekunder atau
alternatif.10
8
Lili Rasjidi dan Thania Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung: PT
Citra Aditya Bakti), 2010, hal. 64
9
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 58
10
Romli Atmasasmita, Rekonstruksi Asas Legalitas : Geen Straft Zonder Schuld, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2017), hal. 27
5
3. Teori Penegakan Hukum
Menurut Soerjono Soekanto, masalah pokok penegakan hukum
sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya.
Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak
positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-
faktor tersebut adalah sebagai berikut :
a. Faktor hukumnya sendiri
b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum
d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku
atau diterapkan
e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena
merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolok ukur
daripada efektivitas penegakan hukum.11
11
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2010)., hal. 8-9
12
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), hal. 2
6
hukum itu sendiri, substansi hukum dan budaya hukum menyangkut
13
perilaku.
C. Permasalahan
1. Faktor apa yang menjadi dasar dilakukannya kriminalisasi ?
2. Apakah perbuatan cabul antara orang-orang yang sama jenis kelaminnya
perlu dikriminalisasi ?
3. Apa upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi kejahatan
kesusilaan khususnya perbuatan cabul antara orang-orang yang sama jenis
kelaminnya ?
D. Urgensi Penelitian
Penulis tertarik untuk melakukan penelitian ini karena belakangan ini
masalah yang berkaitan dengan LGBT mengemuka termasuk pernikahan
antara orang-orang yang sama jenis kelaminnya. Walau terdapat sikap yang
pro dan kontra namun perbuatan seperti ini hingga kini belum dilarang dalam
peraturan perundang-undangan dan pelakunya tidak dapat dihukum.
E. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui faktor yang menjadi dasar dilakukannya kriminalisasi.
2. Untuk mengetahui perlu atau tidaknya perbuatan cabul antara orang-orang
yang sama jenis kelaminnya dikriminalisasi.
3. Untuk mengetahui upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi
kejahatan kesusilaan khususnya perbuatan cabul antara orang-orang yang
sama jenis kelaminnya.
13
Chairul Arrasyid, Dasar-dasar ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 47
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Penelitian Terdahulu
Penelitian yang berkaitan dengan kriminalisasi dan yang berkaitan dengan
perbuatan cabul dengan sesama jenis kelamin sudah pernah dilakukan
sebagaimana di bawah ini namun Penulis mengkhususkan ruang lingkup
penelitian tentang kriminalisasi terhadap perbuatan cabul dengan sesama jenis
kelamin sebagai upaya menanggulangi kejahatan.
Terdapat penelitian tentang Akibat Hukum terhadap Penggunaan Surat Palsu
dalam Perkawinan oleh Renaldy Muhamad Machanda.14 Permasalahan yang
diteliti dalam penelitian ini adalah tentang bentuk pertanggungjawaban pelaku
dalam tindak pidana pemalsuan surat, tentang akibat hukum secara pidana
terhadap studi kasus nomor 865/Pid.B/2011/PN.Bks dan tentang prosedur
pembatalan akta nikah pelaku.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertanggungjawaban dalam penggunaan
surat palsu dalam perkawinan wajib mempertanggungjawabkan apa yang telah
diperbuatnya kecuali terkena gangguan jiwa. Bentuk sanksi pidana yang
dikenakan diatur dalam Pasal 266 KUHP yaitu pidana penjara selama-lamanya
tujuh tahun. Dalam studi kasus yang diteliti terdakwa dijatuhkan pidana penjara
selama delapan bulan. Perkawinan yang dilakukan antara pelaku dengan korban
(sama jenis kelaminnya) menjadi batal demi hukum karena tidak memenuhi syarat
administrasi pengajuan perkawinan.
Ada lagi penelitian tentang Kriminalisasi terhadap Gratifikasi sebagai salah
satu tindak pidana korupsi oleh Zikril Akbar Tanjung. 15 Permasalahan yang
diteliti adalah tentang latar belakang timbulnya gratifikasi sebagai salah satu
14
Renaldy Muhamad Machanda, Akibat Hukum terhadap Penggunaan Surat Palsu
dalam Perkawinan, Skripsi, (Jakarta:Fakultas Hukum Universitas Nasional, 2012)
15
Zikril Akbar Tanjung, Kriminalisasi terhadap Gratifikasi sebagai Salah Satu Tindak
Pidana Korupsi, Skripsi, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Nasional, 2013)
8
tindak pidana korupsi di Indonesia dan tentang kedudukan gratifikasi sebagai
salah satu tindak pidana korupsi di Indonesia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada kecenderungan transformasi
terhadap gratifikasi atau pemberian hadiah yang diterima oleh pejabat publik.
Semula tradisi masyarakat melakukan memberi – menerima merupakan sebuah
bentuk solidaritas. Gratifikasi atau pemberian hadiah berubah menjadi suatu
perbuatan pidana suap khususnya pada seorang Penyelenggara Negara atau
Pegawai Negeri pada saat Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri tersebut
melakukan tindakan menerima suatu gratifikasi atau pemberian hadiah dari pihak
manapun sepanjang pemberian tersebut diberikan berhubungan dengan
jabatannya. Kedudukan gratifikasi ada dua macam. Gratifikasi aktif yaitu
memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang pejabat dengan maksud untuk
membujuknya supaya berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan
dengan kewajibannya. Gratifikasi pasif yaitu menerima hadiah atau janji padahal
dia tau atau seharusnya diduganya bahwa hadiah atau janji itu diberikan karena
kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya.
Selain itu ada penelitian tentang Fenomena LGBT di Indonesia dan Upaya
Pencegahannya.16 Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertambahan jumlah
pelaku LGBT di Indonesia terus mengalami peningkatan. Dalam kurun
waktu antara tahun 2009 sampai dengan 2012 diperkirakan mengalami
peningkatan sebesar 37%. Peningkatan tersebut juga diikuti peningkatan akses
internet, pornografi, narkoba dan munculnya banyaknya organisasi gerakan
LGBT. Selain faktor biologis, pengaruh lingkungan terdekat terutama
keluarga, teman bermain, kekerasan seksual, paparan konten pornografi dan
narkoba disinyalir kuat menjadi pemicu praktik LGBT. Guna mencegah
penyebaran LGBT maka diperlukan peran orang tua atau keluarga dalam
pendidikan seks sejak dini yang tepat (secara Islami) sesuai perkembangan
16
Yudiyanto, Fenomena LGBT di Indonesia dan Upaya Pencegahannya, Prosiding,
Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) Program Pascasarjana STAIN Jurai
Siwo Metro Lampung, 2016., hal. 62-74
9
nalar anak guna memberikan pemahaman dan membentuk perilaku
seksualitas yang sesuai dengan fitrahnya.
Ada lagi penelitian tentang Pro dan Kontra LGBT di Masyarakat Indonesia.17
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kaum LGBT (Lesbian, Gay, Bisexsual, dan
Transgender) di Indonesia masih menjadi pro dan kontra di masyarakat.
Keberadaan kaum LGBT dinilai tidak sejalan dengan nilai-nilai budaya dan
agama yang berkembang di Indonesia. Orientasi seksual yang mereka miliki
dianggap sebagai dampak buruk globalisasi yang melegalkan kaum ini dan
dikhawatirkan akan mempengaruhi masyarakat lainnya, bahkan kaum LGBT
cenderung dideskriminasi oleh masyarakat. Semakin masyarakat
mendiskriminasi, menghina bahkan banyaknya tindak kekerasan yang
diterima mengakibatkan mereka pergi dan berkumpul dengan sesama.
Akhirnya, komunitas LGBT terkesan bertindak sembunyi-sembunyi dan
semakin berkembang di kalangannya. Semakin banyak mereka membuat
komunitasnya sendiri, maka akan semakin sulit diketahui keberadaannya. Hal
tersebut menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah Indonesia, karena bila
ditinjau dari sisi lain, Indonesia sebagai negara hukum dan penegak HAM
dan merupakan salah satu negara yang turut meratifikasi International
Covenan on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) yang sudah
semestinya masyarakatnya mendapatkan perlakuan yang layak dan
perlindungan sama dalam berbagai kehidupan masyarakat, seperti akses
terhadap lapangan pekerjaan, pendidikan, dan jaminan keamanan sosial yang
lain.
Terdapat pula penelitian tentang LGBT dalam Perspektif HAM.18 Hasil
penelitian menunjukkan bahwa resolusi tentang pengakuan atas hak-hak LGBT
adalah resolusi PBB yang pertama yang secara spesifik mengangkat isu
pelanggaran HAM berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender. Resolusi
17
Tyas Desita Wengrum, Pro dan Kontra LGBT di Masyarakat Indonesia, Prosiding,
Ibid.,hal. 144-148
18
Meilanny Budiarti Santoso, LGBT dalam Perspektif HAM, Social Work Jurnal, Volume
6 nomor 2, hal 154-272
10
tentang pengakuan atas hak-hak LGBT inilah yang dijadikan sebagai landasan
tuntutan bagi kaum LGBT dalam menuntut hak-hak mereka dengan
mengatasnamakan hak asasi manusia. Namun demikian, di Indonesia, tentunya
berbicara mengenai penegakan hak asasi manusia, khususnya yang diperjuangkan
oleh komunitas LGBT, penegakannya harus disesuaikan dengan aturan hukum
dan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar Negara dan landasan falsafah kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Ada lagi penelitian tentang Perkawinan LGBT Perspektif Hukum Islam.19
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Islam adalah agama fitrah, ia memberi
pedoman kepada manusia sesuai fitrah hidupnya. Perkawinan adalah cara
hidup yang fitrah, bagi manusia yang bernaluri seksual dan berketurunan, diberi
pedoman hidup berkeluarga secara beradab dan berkehormatan melalui jalan
perkawinan. Dalam Islam, jenis perkawinan LGBT tidak dapat dibenarkan
(haram) karena bertentangan dengan pedoman hidup berkeluarga yang tercermin
dalam wahyu transendental (al-Qur’an dan hadis), karena perkawinan LGBT
mengancam eksistensi kemaslahatan manusia yang bersifat esensial, yakni
merusak keturunan, akal, jiwa, dan kehormatan manusia. Jika telah terjadi
perkawinan, maka status perkawinannya tidak sah karena terdapat syarat- rukun
yang tidak terpenuhi, yakni mengenai keniscayaan adanya pasangan laki-laki dan
perempuan.
Dari hasil-hasil penelitian di atas tampak bahwa penelitian yang penulis
lakukan belum ada.
19
Rohmawati, Perkawinan LGBT Perspektif Hukum Islam, Jurnal AHKAM IAIN Tulung
Agung, Volume 4 nomor 2, Nov 2016, hal 305-326
11
BAB III
METODE PENELITIAN
B. Bahan Hukum
Bahan hukum yang digunakan :
1. Bahan hukum primer yang digunakan adalah peraturan perundang-
undangan yaitu KUHP dan Rancangan KUHP.
2. Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah buku, skripsi, jurnal.
3. Bahan hukum tersier yang digunakan adalah kamus.
12
C. Desain Penelitian
Kesimpulan Pembahasan
D. Analisis Data
Data yang telah diperoleh dianalisis secara kualitatif yaitu dengan
menyampaikan hasilnya berupa kalimat-kalimat yang merupakan jawaban
terhadap permasalahan. Dalam menemukan jawaban dari permasalahan
digunakan beberapa teori sebagai pisau analisis.
13
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
20
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, OpCit., hal.198
14
kejahatan, juga harus didasarkan pada penemuan-penemuan ilmiah dan
pengkajian perbandingan hukum di negara lain.
21
Muhammad Rizki Akbar Pratama, Rahmaini Fahmi dan Fatmawati , Lesbian, Gay,
Biseksual dan Transgender: Tinjauan Teori Psikoseksual, Psokologi Islam dan Biopsikologi,
Jurnal UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, Volume 4 nomor 1, hal. 3, Juni 2018
15
memberikan faedah sebanyak-banyaknya bagi masyarakat dan untuk
memberikan suatu kepastian hukum. Undang-undang yang mengatur larangan
tentang perbuatan cabul antara orang-orang yang berjenis kelamin sama akan
dinilai sebagai undang-undang yang baik karena memberikan kebahagiaan
bagi masyarakat. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Romli Atmasasmita
bahwa tujuan hukum adalah memberi manfaat bagi masyarakat.
16
menyatakan suatu perbuatan dilarang dan pelakunya dapat dihukum, perlu
dirumuskan dalam sebuah peraturan perundang-undangan.
Langkah pre emtif dilakukan melalui sosialisasi peraturan yang terkait.
Masyarakat perlu diinformasikan tentang adanya larangan melakukan
perbuatan cabul dengan sesama jenis kelamin. Dalam penerapan peraturan
perundang-undangan memang dikenal asas fiksi hukum namun agar
masyarakat mengetahui adanya sebuah peraturan perundang-undangan perlu
dibantu dengan mensosialisasikan peraturan tersebut. Dengan demikian
masyarakat mengetahui akan adanya larangan melakukan suatu perbuatan
yang dirumuskan dalam sebuah peraturan perundang-undangan.
Langkah represif adalah dengan cara menjatuhkan hukuman bagi pelaku
tindak pidana. Menurut penulis bagi orang dewasa yang melakukan perbuatan
cabul dengan orang dewasa yang sama jenis kelaminnya tidak perlu
dijatuhkan pidana penjara melainkan cukup dengan pidana denda saja.
Walaupun perbuatan ini dikriminalisasi karena dinilai membahayakan
masyarakat namun penulis berpendapat pidana denda dengan kategori yang
cukup berat diharapkan dapat menanggulangi jenis kejahatan ini. Di satu sisi
dapat memberikan efek jera, di sisi lain dapat menghindarkan pelaku dari
stigmatisasi dalam pemidanaan.
17
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
1. Perlu dirumuskan sebuah pedoman yang lebih kongkrit tentang perbuatan
seperti apa yang perlu dikriminalisasi.
2. Larangan tentang perbuatan cabul antara orang-orang yang sama jenis
kelaminnya agar diatur lebih jelas dalam KUHP mendatang yaitu dengan
merumuskan subyek delik sesama orang dewasa.
18
3. Dalam rangka menanggulangi kejahatan perbuatan cabul antara orang-
orang yang sama jenis kelaminnya agar dirumuskan dalam peraturan
perundang-undangan kemudian peraturan itu disosialisasikan kepada
masyarakat. Jika pelaku melanggar peraturan tersebut agar dihukum sesuai
dengan ancaman hukumannya yaitu berupa pidana denda.
19
Ringkasan
20
Daftar Pustaka
Buku
Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya
Bhakti, Bandung. 2005
-------, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana
Penjara, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1994
Arrasyid, Chairul, Dasar-dasar ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2004
Atmasasmita, Romli, Rekonstruksi Asas Legalitas : Geen Straft Zonder Schuld,
Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2017
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung,
Alumni, 1984
Rasjidi, Lili dan Thania Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum,
Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 2010
Peraturan
Jurnal
21
Rohmawati, Perkawinan LGBT Perspektif Hukum Islam, Jurnal AHKAM IAIN
Tulung Agung, Volume 4 nomor 2, Nov 2016
Santoso, Meilanny Budiarti, LGBT dalam Perspektif HAM, Social Work Jurnal,
Volume 6 nomor 2
Prosiding
Skripsi
22