Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENELITIAN STIMULUS

Kriminalisasi sebagai Upaya Penanggulangan


Kejahatan di Indonesia

Oleh :
Dr. Diah Ratu Sari Harahap S.H., M.H.

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NASIONAL

2018
HALAMAN PENGESAHAN

Judul penelitian : Kriminalisasi sebagai Upaya Penanggulangan


Kejahatan di Indonesia
Identitas peneliti

Nama : Dr. Diah Ratu Sari Harahap S.H., M.H.

NIDN : 0329036404
Jabatan fungsional : Lektor
Fakultas : Hukum
Program Studi : Hukum
Alamat rumah : Jalan Baung nomor 45 Rt 3 Rw 1 Kel. Lenteng
Agung, Kec. Jagakarsa, Jakarta Selatan
Telepon : 081511149999
Email : diahratusari@yahoo.com
Jangka waktu penelitian : satu semester
Biaya : Rp 7.000.000,-

Jakarta, November 2018

Mengetahui
Dekan Fakultas Hukum Peneliti

(Dr. Ismail Rumadan M.H.) (Dr.Diah Ratu Sari Harahap S.H., M.H.)
NIK. 130010099 NIP 0106090786

Menyetujui
Wakil Rektor Bidang PPMK,

(Prof. Dr. Ernawati Sinaga M.S., Apt)


NIP 195507311981032001

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmatNya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan penelitian tentang
Kriminalisasi sebagai Upaya Penanggulangan Kejahatan di Indonesia.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Rektor, Bapak Wakil
Rektor Bidang Akademik, Ibu Wakil Rektor Bidang Penelitian dan Pengabdian
kepada Masyarakat dan Bapak Dekan serta Ibu Wakil Dekan Fakultas Hukum
Universitas Nasional serta berbagai pihak terkait yang memberikan kepercayaan
dan kesempatan kepada kami dan telah membantu kami melakukan kegiatan
penelitian ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas kebaikan yang telah
dilakukan. Amin.

Jakarta, November 2018

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ i


KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
ABSTRAK ..................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Kerangka Teoritis ........................................................................ 3
C. Permasalahan............................................................................... 7
D. Urgensi Penelitian ....................................................................... 7
E. Tujuan Penelitian ........................................................................ 7
BAB II KAJIAN PUSTAKA
Penelitian Terdahulu .......................................................................... 8
BAB III METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Lokasi Penelitian ..................................................... 12
B. Bahan Hukum.............................................................................. 12
C. Desain Penelitian......................................................................... 13
D. Analisis Data ............................................................................... 13
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Faktor yang Menjadi Dasar Dilakukannya Kriminalisasi .......... 14
B. Perlunya Perbuatan Cabul antara Orang-orang yang Sama
Jenis Kelaminnya Dikriminalisasi ............................................. 15
C. Upaya yang Dapat Dilakukan untuk Menanggulangi
Kejahatan Kesusilaan Khususnya Perbuatan Cabul antara
Orang-orang yang Sama Jenis Kelaminnya ............................... 16
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 18
B. Saran............................................................................................ 18
RINGKASAN
DAFTAR PUSTAKA

iii
ABSTRAK

Belakangan ini masalah perbuatan cabul yang dilakukan oleh orang-orang


yang jenis kelaminnya sama cukup banyak dibicarakan. Bahkan ada yang
melangsungkan pernikahan. Istilah yang digunakan adalah lesbian, gay, biseksual
dan transgender (LGBT). Perbuatan seperti ini dilarang oleh agama dan dicela
oleh masyarakat. Namun pelakunya tidak dapat dihukum karena belum ada
peraturan perundang-undangan yang melarangnya.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah tentang: faktor yang menjadi dasar
dilakukannya kriminalisasi, perlu atau tidaknya perbuatan cabul antara orang-
orang yang sama jenis kelaminnya dikriminalisasi dan upaya yang dapat
dilakukan untuk menanggulangi kejahatan kesusilaan khususnya perbuatan cabul
antara orang-orang yang sama jenis kelaminnya.
Penelitian ini bersifat normatif dengan menggunakan bahan hukum primer
yaitu perundang-undangan dan bahan hukum sekunder yaitu buku dan hasil-hasil
penelitian serta bahan hukum tersier yaitu kamus. Data yang telah diperoleh
dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang menjadi dasar
dilakukannya kriminalisasi adalah jika sebuah perbuatan dinilai membahayakan
masyarakat dan bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat
serta untuk memenuhi tuntutan atau kebutuhan masyarakat. Perbuatan cabul
antara orang-orang yang sama jenis kelaminnya perlu dikriminalisasi karena
perbuatan seperti ini dilarang agama, dinilai membahayakan masyarakat dan
bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat serta untuk
kepastian hukum dalam penegakan hukum. Upaya yang dapat dilakukan untuk
menanggulangi kejahatan kesusilaan khususnya perbuatan cabul antara orang-
orang yang sama jenis kelaminnya dapat dilakukan melalui langkah preventif
yang ditempuh melalui kebijakan formulasi, langkah pre emtif yaitu melalui
sosialisasi peraturan dan langkah represif yaitu dengan menjtuhkan hukuman.

Kata kunci : Kriminalisasi, Perbuatan cabul dengan sesame jenis

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam kehidupan bermasyarakat banyak terjadi kejahatan. Kejahatan ini
beragam bentuknya sesuai dengan pelanggaran terhadap kepentingan hukum
yang dilindungi. Di antara bentuk-bentuk kejahatan yang ada, Penulis
melakukan penelitian tentang kejahatan kesusilaan. Lebih khusus lagi
penelitian difokuskan pada kejahatan kesusilaan mengenai perbuatan cabul
dengan sesama jenis kelamin.
Belakangan ini cukup banyak dibicarakan tentang Lesbian, Gay,
Biseksual dan Transgender yang disingkat LGBT. Dalam hukum pidana
positif Indonesia khususnya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUH Pidana), kejahatan kesusilaan mengenai perbuatan cabul dengan
sesama jenis kelamin diatur dalam Pasal 292 :
Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang
belum dewasa dari jenis kelamin yang sama sedang diketahuinya
atau patut harus disangkanya hal belum dewasa itu, dihukum penjara
selama-lamanya lima tahun.

Menurut Penjelasan pasal ini :

Dua orang yang belum dewasa atau dua orang yang sudah dewasa
bersama-sama melakukan perbuatan cabul tidak dihukum menurut
pasal ini oleh karena yang diancam hukuman itu perbuatan cabul
dari orang dewasa terhadap orang belum dewasa.

Pada kenyataannya terjadi pernikahan antara orang-orang yang sama jenis


kelaminnya namun pelakunya tidak dapat dihukum karena belum ada aturan
yang melarangnya. Hal ini sesuai dengan asas legalitas yang diatur dalam
Pasal 1 ayat (1) KUH Pidana bahwa : Tiada suatu perbuatan boleh dihukum
melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada
terdahulu daripada perbuatan itu.
Dalam Rancangan KUH Pidana ketentuan seperti yang diatur dalam Pasal
292 KUH Pidana sekarang diatur dalam Pasal 495 :

1
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang
lain yang sama jenis kelaminnya yang diketahui atau patut
diduga belum berumur 18 (delapan belas) tahun dipidana
dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.
(2) Dipidana dengan pidana yang sama ditambah dengan sepertiga
jika perbuatan cabul sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan cara seks oral atau seks anal atau semua
bentuk pertemuan organ non-kelamin dengan alat kelamin yang
dilakukan secara homoseksual.

Dalam Rancangan KUH Pidana tampak bahwa subyek delik masih sama
yaitu orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang yang
belum dewasa namun terjadi perluasan bentuk perbuatan yang dilarang yaitu
perbuatan cabul dengan cara seks oral atau seks anal atau semua bentuk
pertemuan organ non-kelamin dengan alat kelamin yang dilakukan secara
homoseksual. Selain itu terdapat peningkatan lamanya ancaman pidana
penjara dari lima tahun menjadi sembilan tahun. Dalam Rancangan KUH
Pidana belum ada aturan tentang larangan melakukan perbuatan cabul antara
sesama orang dewasa yang jenis kelaminnya sama padahal perbuatan seperti
ini dicela oleh masyarakat dan dilarang dalam agama.
Disinilah perlunya dilakukan kriminalisasi. Menurut kamus terminologi
hukum pidana, kriminalisasi artinya pengaturan perbuatan yang semula tidak
merupakan delik kemudian dijadikan delik.1
Menurut Sudarto,
Kriminalisasi maksudnya adalah suatu proses yang menjadikan suatu
perbuatan yang tadinya bukan merupakan tindak pidana karena belum
diatur di dalam undang-undang hukum pidana, kemudian karena
perbuatan tersebut dapat mengakibatkan kerugian bagi masyarakat
bahkan dapat membahayakan kehidupan manusia, maka dirumuskan di
dalam undang-undang hukum pidana dan diancam dengan pidana,
sehingga perbuatan dimaksud dinyatakan sebagai tindak pidana.2

1
Andi Hamzah, Kamus Terminologi Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 90
2
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 31-32

2
Menurut Teguh Prasetyo,
Kriminalisasi ialah proses penetapan suatu perbuatan yang semula bukan
tindak pidana atau tidak ada diatur dalam hukum pidana, karena
perkembangan masyarakat kemudian menjadi tindak pidana atau dimuat
ke dalam hukum pidana. Artinya, tahap akhir proses kriminalisasi adalah
pembentukan hukum pidana.3

Berdasarkan hal-hal yang telah disampaikan di atas maka Penulis tertarik


untuk melakukan penelitian tentang upaya yang dapat dilakukan untuk
menanggulangi kejahatan kesusilaan seperti ini di Indonesia dengan judul
Kriminalisasi sebagai Upaya Penanggulangan Kejahatan di Indonesia.

B. Kerangka Teoritis
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Kebijakan
Formulasi, Teori Manfaat dan Teori Penegakan Hukum.
1. Teori Kebijakan Formulasi
Dalam formulasi kebijakan hukum pidana terdapat dua masalah
sentral yang harus ditentukan, yaitu:
a. Perbuatan apa yang harusnya dijadikan tindak pidana;
b. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si
pelanggar.4
Kebijakan formulasi berkaitan dengan pembaharuan hukum pidana,
karena pada hakekatnya pembaharuan hukum pidana adalah bagian dari
kebijakan hukum pidana yang merupakan bagian dari penegakan hukum
pidana, kebijakan kriminal dan kebijakan sosial dalam rangka untuk
melindungi masyarakat dan mencapai kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan formulasi adalah kebijakan dalam merumuskan sesuatu
dalam bentuk perundang-undangan. Kebijakan formulasi menurut Barda
Nawawi Arief adalah “Suatu perencanaan atau program dari pembuat
undang-undang mengenai apa yang akan dilakukan dalam menghadapi

3
Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 3
4
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bhakti,
Bandung. 2005, hal. 35

3
problema tertentu dan cara bagaimana melakukan atau melaksanakan
sesuatu yang telah direncanakan atau diprogramkan itu”.5
Kebijakan formulasi merupakan awal dari perencanaan dalam usaha
untuk menanggulangi kejahatan, maka wajar apabila kebijakan formulasi
merupakan bagian dari kebijakan kriminal yang secara fungsional dapat
dilihat sebagai bagian prosedur usaha menanggulangi kejahatan. Secara
garis besar, perencanaan atau kebijakan penanggulangan kejahatan yang
dituangkan dalam perundang-undangan menurut Barda Nawawi Arief
meliputi:
a. Perencanaan atau kebijakan tentang perbuatan-perbuatan terlarang apa
yang akan ditanggulangi karena dipandang membahayakan atau
merugikan;
b. Perencanaan/kebijakan tentang sanksi apa yang dapat dibuat dikenakan
terhadap pelaku perbuatan yang dilarang itu (baik berupa pidana atau
tindakan) dan sistem penerapannya;
c. Perencanaan/kebijakan tentang prosedur atau mekanisme sistem
peradilan dalam rangka penegakan hukum pidana.6
Tujuan kebijakan kriminal adalah untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakan hukum inipun
termasuk dalam bidang kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional
untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.7
Salah satu sarana yang digunakan dalam merancang dan
melaksanakan kebijakan sosial adalah dengan menggunakan hukum dan
peraturan perundang-undangan pada suatu Negara. Penggunaan hukum
positif sebagai salah satu cara menanggulangi kejahatan harus
memperhatikan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat suatu bangsa.

5
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan
Pidana Penjara, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1994, hal. 63
6
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni,
1984), hal.198
7
Barda Nawawi Arief, OpCit, hal. 16

4
2. Teori Manfaat
Teori ini dipelopori oleh Jeremy Bentham dengan memegang
prinsip manusia akan melakukan tindakan untuk mendapatkan
kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan.8 Atas
dasar ini, baik buruknya suatu perbuatan diukur apakah perbuatan itu
mendatangkan kebahagiaan atau tidak. Demikianpun dengan perundang-
undangan baik buruknya ditentukan pula oleh ukuran tersebut diatas.
Jadinya, undang-undang yang banyak memberikan kebahagiaan pada
bagian terbesar masyarakat akan dinilai sebagaai undang-undang yang
baik.
Menurut Jeremy Bentham, hukum bertujuan semata-mata apa yang
berfaedah bagi orang. Pendapat ini dititikberatkan pada hal-hal yang
berfaedah bagi orang banyak dan bersifat umum tanpa memperhatikan
soal keadilan. Hukum pada dasarnya bertujuan untuk mewujudkan apa
yang berfaedah bagi orang yang satu dapat juga merugikan orang lain,
maka tujuan hukum ialah untuk memberikan faedah sebanyak-banyaknya.
Di sini kepastian melalui hukum bagi perorangan merupakan tujuan utama
dari hukum.9
Menurut Romli Atmasasmita, tujuan hukum pada umumnya,
khusus hukum pidana Indonesia adalah perdamaian (peace) dan
kemanfaatan (utility) bagi pihak-pihak yang berseteru dan juga bagi
masyarakat sekitar sebagai tujuan utama (ultimate goals) sedangkan
ketertiban, kepastian dan keadilan sebagai tujuan sekunder atau
alternatif.10

8
Lili Rasjidi dan Thania Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung: PT
Citra Aditya Bakti), 2010, hal. 64
9
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 58
10
Romli Atmasasmita, Rekonstruksi Asas Legalitas : Geen Straft Zonder Schuld, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2017), hal. 27

5
3. Teori Penegakan Hukum
Menurut Soerjono Soekanto, masalah pokok penegakan hukum
sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya.
Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak
positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-
faktor tersebut adalah sebagai berikut :
a. Faktor hukumnya sendiri
b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum
d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku
atau diterapkan
e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena
merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolok ukur
daripada efektivitas penegakan hukum.11

Bambang Waluyo berpendapat,

Antisipasi atas kejahatan diantaranya dengan memfungsikan


instrument hukum (pidana) secara efektif melalui penegakan
hukum (Law Enforcement). Melalui instrument hukum,
diupayakan perilaku yang melanggar hukum ditanggulangi secara
preventif, maupun represif. Mangajukan ke depan sidang
pengadilan dan selanjutnya penjatuhan pidana bagi anggota
masyarakat yang terbukti melakukan perbuatan pidana, merupakan
tindakan yang represif.12
Lawrence Milton Friedman menekankan dalam penegakan hukum
adalah pada aspek kinerja aparatur hukum serta sarana dan prasarana

11
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2010)., hal. 8-9
12
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), hal. 2

6
hukum itu sendiri, substansi hukum dan budaya hukum menyangkut
13
perilaku.
C. Permasalahan
1. Faktor apa yang menjadi dasar dilakukannya kriminalisasi ?
2. Apakah perbuatan cabul antara orang-orang yang sama jenis kelaminnya
perlu dikriminalisasi ?
3. Apa upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi kejahatan
kesusilaan khususnya perbuatan cabul antara orang-orang yang sama jenis
kelaminnya ?

D. Urgensi Penelitian
Penulis tertarik untuk melakukan penelitian ini karena belakangan ini
masalah yang berkaitan dengan LGBT mengemuka termasuk pernikahan
antara orang-orang yang sama jenis kelaminnya. Walau terdapat sikap yang
pro dan kontra namun perbuatan seperti ini hingga kini belum dilarang dalam
peraturan perundang-undangan dan pelakunya tidak dapat dihukum.

E. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui faktor yang menjadi dasar dilakukannya kriminalisasi.
2. Untuk mengetahui perlu atau tidaknya perbuatan cabul antara orang-orang
yang sama jenis kelaminnya dikriminalisasi.
3. Untuk mengetahui upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi
kejahatan kesusilaan khususnya perbuatan cabul antara orang-orang yang
sama jenis kelaminnya.

13
Chairul Arrasyid, Dasar-dasar ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 47

7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

Penelitian Terdahulu
Penelitian yang berkaitan dengan kriminalisasi dan yang berkaitan dengan
perbuatan cabul dengan sesama jenis kelamin sudah pernah dilakukan
sebagaimana di bawah ini namun Penulis mengkhususkan ruang lingkup
penelitian tentang kriminalisasi terhadap perbuatan cabul dengan sesama jenis
kelamin sebagai upaya menanggulangi kejahatan.
Terdapat penelitian tentang Akibat Hukum terhadap Penggunaan Surat Palsu
dalam Perkawinan oleh Renaldy Muhamad Machanda.14 Permasalahan yang
diteliti dalam penelitian ini adalah tentang bentuk pertanggungjawaban pelaku
dalam tindak pidana pemalsuan surat, tentang akibat hukum secara pidana
terhadap studi kasus nomor 865/Pid.B/2011/PN.Bks dan tentang prosedur
pembatalan akta nikah pelaku.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertanggungjawaban dalam penggunaan
surat palsu dalam perkawinan wajib mempertanggungjawabkan apa yang telah
diperbuatnya kecuali terkena gangguan jiwa. Bentuk sanksi pidana yang
dikenakan diatur dalam Pasal 266 KUHP yaitu pidana penjara selama-lamanya
tujuh tahun. Dalam studi kasus yang diteliti terdakwa dijatuhkan pidana penjara
selama delapan bulan. Perkawinan yang dilakukan antara pelaku dengan korban
(sama jenis kelaminnya) menjadi batal demi hukum karena tidak memenuhi syarat
administrasi pengajuan perkawinan.
Ada lagi penelitian tentang Kriminalisasi terhadap Gratifikasi sebagai salah
satu tindak pidana korupsi oleh Zikril Akbar Tanjung. 15 Permasalahan yang
diteliti adalah tentang latar belakang timbulnya gratifikasi sebagai salah satu

14
Renaldy Muhamad Machanda, Akibat Hukum terhadap Penggunaan Surat Palsu
dalam Perkawinan, Skripsi, (Jakarta:Fakultas Hukum Universitas Nasional, 2012)

15
Zikril Akbar Tanjung, Kriminalisasi terhadap Gratifikasi sebagai Salah Satu Tindak
Pidana Korupsi, Skripsi, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Nasional, 2013)

8
tindak pidana korupsi di Indonesia dan tentang kedudukan gratifikasi sebagai
salah satu tindak pidana korupsi di Indonesia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada kecenderungan transformasi
terhadap gratifikasi atau pemberian hadiah yang diterima oleh pejabat publik.
Semula tradisi masyarakat melakukan memberi – menerima merupakan sebuah
bentuk solidaritas. Gratifikasi atau pemberian hadiah berubah menjadi suatu
perbuatan pidana suap khususnya pada seorang Penyelenggara Negara atau
Pegawai Negeri pada saat Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri tersebut
melakukan tindakan menerima suatu gratifikasi atau pemberian hadiah dari pihak
manapun sepanjang pemberian tersebut diberikan berhubungan dengan
jabatannya. Kedudukan gratifikasi ada dua macam. Gratifikasi aktif yaitu
memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang pejabat dengan maksud untuk
membujuknya supaya berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan
dengan kewajibannya. Gratifikasi pasif yaitu menerima hadiah atau janji padahal
dia tau atau seharusnya diduganya bahwa hadiah atau janji itu diberikan karena
kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya.
Selain itu ada penelitian tentang Fenomena LGBT di Indonesia dan Upaya
Pencegahannya.16 Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertambahan jumlah
pelaku LGBT di Indonesia terus mengalami peningkatan. Dalam kurun
waktu antara tahun 2009 sampai dengan 2012 diperkirakan mengalami
peningkatan sebesar 37%. Peningkatan tersebut juga diikuti peningkatan akses
internet, pornografi, narkoba dan munculnya banyaknya organisasi gerakan
LGBT. Selain faktor biologis, pengaruh lingkungan terdekat terutama
keluarga, teman bermain, kekerasan seksual, paparan konten pornografi dan
narkoba disinyalir kuat menjadi pemicu praktik LGBT. Guna mencegah
penyebaran LGBT maka diperlukan peran orang tua atau keluarga dalam
pendidikan seks sejak dini yang tepat (secara Islami) sesuai perkembangan

16
Yudiyanto, Fenomena LGBT di Indonesia dan Upaya Pencegahannya, Prosiding,
Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) Program Pascasarjana STAIN Jurai
Siwo Metro Lampung, 2016., hal. 62-74

9
nalar anak guna memberikan pemahaman dan membentuk perilaku
seksualitas yang sesuai dengan fitrahnya.
Ada lagi penelitian tentang Pro dan Kontra LGBT di Masyarakat Indonesia.17
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kaum LGBT (Lesbian, Gay, Bisexsual, dan
Transgender) di Indonesia masih menjadi pro dan kontra di masyarakat.
Keberadaan kaum LGBT dinilai tidak sejalan dengan nilai-nilai budaya dan
agama yang berkembang di Indonesia. Orientasi seksual yang mereka miliki
dianggap sebagai dampak buruk globalisasi yang melegalkan kaum ini dan
dikhawatirkan akan mempengaruhi masyarakat lainnya, bahkan kaum LGBT
cenderung dideskriminasi oleh masyarakat. Semakin masyarakat
mendiskriminasi, menghina bahkan banyaknya tindak kekerasan yang
diterima mengakibatkan mereka pergi dan berkumpul dengan sesama.
Akhirnya, komunitas LGBT terkesan bertindak sembunyi-sembunyi dan
semakin berkembang di kalangannya. Semakin banyak mereka membuat
komunitasnya sendiri, maka akan semakin sulit diketahui keberadaannya. Hal
tersebut menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah Indonesia, karena bila
ditinjau dari sisi lain, Indonesia sebagai negara hukum dan penegak HAM
dan merupakan salah satu negara yang turut meratifikasi International
Covenan on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) yang sudah
semestinya masyarakatnya mendapatkan perlakuan yang layak dan
perlindungan sama dalam berbagai kehidupan masyarakat, seperti akses
terhadap lapangan pekerjaan, pendidikan, dan jaminan keamanan sosial yang
lain.
Terdapat pula penelitian tentang LGBT dalam Perspektif HAM.18 Hasil
penelitian menunjukkan bahwa resolusi tentang pengakuan atas hak-hak LGBT
adalah resolusi PBB yang pertama yang secara spesifik mengangkat isu
pelanggaran HAM berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender. Resolusi

17
Tyas Desita Wengrum, Pro dan Kontra LGBT di Masyarakat Indonesia, Prosiding,
Ibid.,hal. 144-148
18
Meilanny Budiarti Santoso, LGBT dalam Perspektif HAM, Social Work Jurnal, Volume
6 nomor 2, hal 154-272

10
tentang pengakuan atas hak-hak LGBT inilah yang dijadikan sebagai landasan
tuntutan bagi kaum LGBT dalam menuntut hak-hak mereka dengan
mengatasnamakan hak asasi manusia. Namun demikian, di Indonesia, tentunya
berbicara mengenai penegakan hak asasi manusia, khususnya yang diperjuangkan
oleh komunitas LGBT, penegakannya harus disesuaikan dengan aturan hukum
dan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar Negara dan landasan falsafah kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Ada lagi penelitian tentang Perkawinan LGBT Perspektif Hukum Islam.19
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Islam adalah agama fitrah, ia memberi
pedoman kepada manusia sesuai fitrah hidupnya. Perkawinan adalah cara
hidup yang fitrah, bagi manusia yang bernaluri seksual dan berketurunan, diberi
pedoman hidup berkeluarga secara beradab dan berkehormatan melalui jalan
perkawinan. Dalam Islam, jenis perkawinan LGBT tidak dapat dibenarkan
(haram) karena bertentangan dengan pedoman hidup berkeluarga yang tercermin
dalam wahyu transendental (al-Qur’an dan hadis), karena perkawinan LGBT
mengancam eksistensi kemaslahatan manusia yang bersifat esensial, yakni
merusak keturunan, akal, jiwa, dan kehormatan manusia. Jika telah terjadi
perkawinan, maka status perkawinannya tidak sah karena terdapat syarat- rukun
yang tidak terpenuhi, yakni mengenai keniscayaan adanya pasangan laki-laki dan
perempuan.
Dari hasil-hasil penelitian di atas tampak bahwa penelitian yang penulis
lakukan belum ada.

19
Rohmawati, Perkawinan LGBT Perspektif Hukum Islam, Jurnal AHKAM IAIN Tulung
Agung, Volume 4 nomor 2, Nov 2016, hal 305-326

11
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Lokasi Penelitian


Penelitian dilakukan pada semester genap 2017/2018 sebagai beban tugas
melakukan tri dharma perguruan tinggi yang harus Penulis penuhi pada
semester tersebut. Penelitian dilakukan di perpustakaan guna mendapatkan
bahan hukum.

B. Bahan Hukum
Bahan hukum yang digunakan :
1. Bahan hukum primer yang digunakan adalah peraturan perundang-
undangan yaitu KUHP dan Rancangan KUHP.
2. Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah buku, skripsi, jurnal.
3. Bahan hukum tersier yang digunakan adalah kamus.

12
C. Desain Penelitian

Latar belakang Permasalahan Metode


Belakangan ini hal-hal 1. Faktor apa yang penelitian
yang berkaitan dengan menjadi dasar
Lesbian, Gay, Biseksual dilakukannya
kriminalisasi ? Waktu penelitian
dan Transgender (LGBT)
mengemuka termasuk Semester genap
pernikahan antara orang- 2. Apakah perbuatan 2017/2018
cabul antara orang-
orang yang sama jenis orang yang sama jenis Lokasi penelitian
kelaminnya namun kelaminnya perlu Perpustakaan
perbuatan ini hingga kini dikriminalisasi?
belum dilarang dalam Bahan hukum
peraturan perundang- 3. Apa upaya yang dapat Bahan hukum
undangan maka dilakukan untuk primer, sekunder,
pelakunya tidak dapat menanggulangi
dihukum. Disini perlu kejahatan kesusilaan tersier
dilakukan kriminalisasi khususnya perbuatan Analisis data
dalam rangka cabul antara orang-
Secara kualitatif
menanggulangi kejahatan orang yang sama jenis
kesusilaan ini. kelaminnya ?

Kesimpulan Pembahasan

D. Analisis Data
Data yang telah diperoleh dianalisis secara kualitatif yaitu dengan
menyampaikan hasilnya berupa kalimat-kalimat yang merupakan jawaban
terhadap permasalahan. Dalam menemukan jawaban dari permasalahan
digunakan beberapa teori sebagai pisau analisis.

13
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Faktor yang Menjadi Dasar Dilakukannya Kriminalisasi


Dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari, individu yang menjadi
bagian dari masyarakat dapat berbenturan kepentingan dengan individu lain
bahkan dapat melakukan pelanggaran hukum. Bicara tentang pelanggaran
hukum harus ada kesepakatan mengenai apakah suatu perbuatan dikatakan
melanggar sebuah peraturan perundang-undangan.
Yang menjadi ukuran adalah perbuatan tersebut merugikan atau
membahayakan masyarakat sehingga perbuatan itu harus dilarang atau
dikriminalisasi. Perbuatan yang dilarang tersebut dirumuskan dalam sebuah
peraturan perundang-undangan.20 Merumuskan suatu perbuatan yang dilarang
ke dalam sebuah peraturan perundang-undangan disebut kebijakan formulasi.
Kebijakan formulasi merupakan tahap awal dalam penegakan hukum
yaitu berupa penegakan hukum oleh pembuat undang-undang dan disebut juga
tahap legislatif. Pada tahap inilah dilakukan kriminalisasi yaitu dengan
merumuskan perbuatan yang dilarang dan sanksi dari perbuatan tersebut ke
dalam sebuah peraturan perundang-undangan. Hal ini dapat dilakukan dengan
merumuskan pasal baru atau dengan mengamandemen pasal yang sudah ada.
Untuk masalah dua orang yang sudah dewasa bersama-sama melakukan
perbuatan cabul yang belum diatur dalam KUHP dapat dilakukan dengan cara
menambahkan ayat baru di KUHP mendatang (sekarang Rancangan KUHP)
pada Pasal 495. Keinginan untuk mengkriminalisasi masalah ini sesuai dengan
tujuan kebijakan legislatif yaitu untuk menyempurnakan peraturan perundang-
undangan yang sudah ada selama ini namun tidak sesuai dengan tuntutan dan
kebutuhan masyarakat. Selain memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat, dalam melakukan kriminalisasi sebagai upaya menanggulangi

20
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, OpCit., hal.198

14
kejahatan, juga harus didasarkan pada penemuan-penemuan ilmiah dan
pengkajian perbandingan hukum di negara lain.

B. Perlunya Perbuatan Cabul antara Orang-orang yang Sama Jenis


Kelaminnya Dikriminalisasi
Di Indonesia terdapat tiga sikap masyarakat dalam merespon fenomena
LGBT yaitu pro, kontra dan tidak peduli. Bagi yang pro, mereka menghargai
setiap hak asasi manusia dan terus menyuarakan tentang kebebasan dalam
menentukan hidupnya. Sedangkan bagi yang kontra, mereka beranggapan
bahwa LGBT adalah virus yang dapat mencoreng norma-norma sosial, agama
dan memutuskan garis keturunan. Sedangkan bagi yang tidak peduli terhadap
fenomena LGBT memilih biasa-biasa saja dan tidak mengusik kehidupan
LGBT selama LGBT tidak mengusik kehidupan mereka.21 Berdasarkan
keadaan seperti ini tampak tidak adanya kesamaan sikap dalam masyarakat.
Sesungguhnya perlukah dilakukan kriminalisasi terhadap masalah perbuatan
cabul yang dilakukan oleh golongan ini atau dirumuskan sebagai perbuatan
melawan hukum dalam sebuah undang-undang ?
Penulis berpendapat bahwa masalah perbuatan cabul yang dilakukan oleh
golongan LGBT perlu dikriminalisasi karena cukup membahayakan
masyarakat dan bertentangan dengan nilai-nilai dalam masyarakat. Pada
dasarnya tujuan dari sebuah perkawinan adalah untuk memperoleh keturunan
yang mana hal ini hanya dapat dilakukan jika pasangan terdiri dari dua orang
yang berbeda jenis kelamin. Perbuatan cabul antara orang-orang yang berjenis
kelamin sama yang juga dilarang dalam agama jika tidak dilarang akan
memberi contoh yang buruk bagi masyarakat. Jika hal ini tidak dilarang dalam
sebuah undang-undang maka akan sulit penegakan hukumnya. Jadi demi
kepastian hukum, hal ini perlu diatur dalam undang-undang. Hal ini sesuai
dengan pendapat Jeremy Bentham bahwa tujuan hukum adalah untuk

21
Muhammad Rizki Akbar Pratama, Rahmaini Fahmi dan Fatmawati , Lesbian, Gay,
Biseksual dan Transgender: Tinjauan Teori Psikoseksual, Psokologi Islam dan Biopsikologi,
Jurnal UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, Volume 4 nomor 1, hal. 3, Juni 2018

15
memberikan faedah sebanyak-banyaknya bagi masyarakat dan untuk
memberikan suatu kepastian hukum. Undang-undang yang mengatur larangan
tentang perbuatan cabul antara orang-orang yang berjenis kelamin sama akan
dinilai sebagai undang-undang yang baik karena memberikan kebahagiaan
bagi masyarakat. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Romli Atmasasmita
bahwa tujuan hukum adalah memberi manfaat bagi masyarakat.

C. Upaya yang Dapat Dilakukan untuk Menanggulangi Kejahatan


Kesusilaan Khususnya Perbuatan Cabul antara Orang-orang yang Sama
Jenis Kelaminnya
Penanggulangan sebuah kejahatan tentu dilakukan melalui penegakan
hukum yang baik. Sebagaimana disampaikan oleh Soerjono Soekanto bahwa
salah satu faktor yang mempengaruhi berhasilnya penegakan hukum adalah
hukumnya sendiri, maka untuk menanggulangi masalah perbuatan cabul
antara orang-orang yang sama jenis kelaminnya perlu dibuat peraturan yang
mengkriminalisasi perbuatan tersebut. Demikian pula Lawrence Milton
Friedman berpendapat bahwa penegakan hukum tergantung pada substansi
hukumnya.
Penanggulangan sebuah kejahatan dapat dilakukan dengan langkah
preventif, pre emtif atau represif.
Langkah preventif ditempuh melalui kebijakan formulasi yaitu dengan
membuat peraturan baru atau memperbaiki peraturan yang sudah ada. Masalah
perbuatan cabul yang dilakukan oleh orang dewasa dengan orang dewasa yang
sama jenis kelaminnya belum diatur dalam KUHP yang berlaku sekarang
yaitu dalam Pasal 292 maupun dalam Rancangan KUHP yaitu dalam Pasal
495 maka masalah ini perlu diatur dalam KUHP mendatang. Langkah ini
adalah sebagai upaya memenuhi kebutuhan masyarakat akan adanya sebuah
dasar hukum agar hubungan seperti ini dilarang. Sejalan dengan hal ini,
menempuh kebijakan formulasi sebagai upaya preventif adalah dalam rangka
memenuhi asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP karena untuk dapat

16
menyatakan suatu perbuatan dilarang dan pelakunya dapat dihukum, perlu
dirumuskan dalam sebuah peraturan perundang-undangan.
Langkah pre emtif dilakukan melalui sosialisasi peraturan yang terkait.
Masyarakat perlu diinformasikan tentang adanya larangan melakukan
perbuatan cabul dengan sesama jenis kelamin. Dalam penerapan peraturan
perundang-undangan memang dikenal asas fiksi hukum namun agar
masyarakat mengetahui adanya sebuah peraturan perundang-undangan perlu
dibantu dengan mensosialisasikan peraturan tersebut. Dengan demikian
masyarakat mengetahui akan adanya larangan melakukan suatu perbuatan
yang dirumuskan dalam sebuah peraturan perundang-undangan.
Langkah represif adalah dengan cara menjatuhkan hukuman bagi pelaku
tindak pidana. Menurut penulis bagi orang dewasa yang melakukan perbuatan
cabul dengan orang dewasa yang sama jenis kelaminnya tidak perlu
dijatuhkan pidana penjara melainkan cukup dengan pidana denda saja.
Walaupun perbuatan ini dikriminalisasi karena dinilai membahayakan
masyarakat namun penulis berpendapat pidana denda dengan kategori yang
cukup berat diharapkan dapat menanggulangi jenis kejahatan ini. Di satu sisi
dapat memberikan efek jera, di sisi lain dapat menghindarkan pelaku dari
stigmatisasi dalam pemidanaan.

17
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Faktor yang menjadi dasar dilakukannya kriminalisasi adalah jika sebuah


perbuatan dinilai membahayakan masyarakat dan bertentangan dengan
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat serta untuk memenuhi tuntutan
atau kebutuhan masyarakat.
2. Perbuatan cabul antara orang-orang yang sama jenis kelaminnya perlu
dikriminalisasi karena perbuatan seperti ini dilarang agama, dinilai
membahayakan masyarakat dan bertentangan dengan nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat serta untuk kepastian hukum dalam penegakan
hukum.
3. Upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi kejahatan kesusilaan
khususnya perbuatan cabul antara orang-orang yang sama jenis
kelaminnya dapat dilakukan melalui langkah preventif yang ditempuh
melalui kebijakan formulasi yaitu dengan membuat peraturan baru berupa
kriminalisasi perbuatan seperti ini atau memperbaiki peraturan yang sudah
ada, langkah pre emtif dilakukan melalui sosialisasi peraturan yang terkait
dimana masyarakat perlu diinformasikan tentang adanya larangan
melakukan perbuatan cabul dengan sesama jenis kelamin dan langkah
represif adalah dengan cara menjatuhkan hukuman bagi pelaku tindak
pidana.

B. Saran
1. Perlu dirumuskan sebuah pedoman yang lebih kongkrit tentang perbuatan
seperti apa yang perlu dikriminalisasi.
2. Larangan tentang perbuatan cabul antara orang-orang yang sama jenis
kelaminnya agar diatur lebih jelas dalam KUHP mendatang yaitu dengan
merumuskan subyek delik sesama orang dewasa.

18
3. Dalam rangka menanggulangi kejahatan perbuatan cabul antara orang-
orang yang sama jenis kelaminnya agar dirumuskan dalam peraturan
perundang-undangan kemudian peraturan itu disosialisasikan kepada
masyarakat. Jika pelaku melanggar peraturan tersebut agar dihukum sesuai
dengan ancaman hukumannya yaitu berupa pidana denda.

19
Ringkasan

Belakangan ini cukup banyak dibicarakan tentang Lesbian, Gay, Biseksual


dan Transgender yang disingkat LGBT. Dalam hukum pidana positif Indonesia
khususnya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUH Pidana), kejahatan
kesusilaan mengenai perbuatan cabul dengan sesama jenis kelamin diatur dalam
Pasal 292. Pada pasal ini yang diatur adalah perbuatan cabul antara orang dewasa
dengan orang belum dewasa. Pada kenyataannya terjadi pernikahan antara orang-
orang yang sama jenis kelaminnya namun pelakunya tidak dapat dihukum karena
belum ada aturan yang melarangnya. Rancangan KUHP (Pasal 495) juga belum
mengatur hal ini. Pengaturannya masih sama dengan Pasal 292 KUHP.
Sikap masyarakat terhadap masalah perbuatan cabul dengan sesama jenis
kelamin ini berbeda-beda. Ada yang pro, ada yang kontra, ada juga yang bersikap
tidak peduli. Menurut penulis perbuatan cabul dengan sesama jenis kelamin perlu
dikriminalisasi karena dilarang dalam agama dan dinilai membahayakan
masyarakat. Ini sesuai dengan asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP bahwa
untuk dapat menyatakan suatu perbuatan dilarang dan agar pelakunya dihukum
maka perlu diatur dalam undang-undang. Hal ini adalah demi kepastian hukum
dalam penegakan hukum.
Untuk menanggulangi masalah perbuatan cabul dengan sesama jenis kelamin
dapat melalui langkah preventif yaitu dengan membuat peraturan kemudian
peraturan yang ada disosialisasikan agar masyarakat mengetahuinya (langkah pre
emtif). Selain itu dapat ditempuh upaya represif yaitu dengan menjatuhkan
hukuman bagi pelaku. Penulis berharap agar dalam KUHP mendatang masalah
perbuatan cabul dengan sesama jenis kelamin diatur secara jelas yaitu dengan
merumuskan subyek delik sesama orang dewasa. Penulis berpendapat ancaman
hukuman bagi pelaku kejahatan seperti ini cukup dengan pidana denda.

20
Daftar Pustaka

Buku

Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya
Bhakti, Bandung. 2005
-------, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana
Penjara, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1994
Arrasyid, Chairul, Dasar-dasar ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2004
Atmasasmita, Romli, Rekonstruksi Asas Legalitas : Geen Straft Zonder Schuld,
Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2017

Hamzah, Andi, Kamus Terminologi Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika,


2008

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung,
Alumni, 1984
Rasjidi, Lili dan Thania Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum,
Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 2010

Soekanto, Soerjono, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,


Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2010

Soeroso, R, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2011


Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, Alumni, 1986
Syamsuddin, Aziz, Tindak Pidana Khusus, Jakarta, Sinar Grafika, 2011
Waluyo, Bambang, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta, Sinar Grafika, 2004

Peraturan

Indonesia, Kitab Undang-undang Hukum Pidana


-------,Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Jurnal

Pratama, Muhammad Rizki Akbar, Rahmaini Fahmi dan Fatmawati , Lesbian,


Gay, Biseksual dan Transgender: Tinjauan Teori Psikoseksual, Psokologi
Islam dan Biopsikologi, Jurnal UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, Volume 4
nomor 1, hal. 3, Juni 2018

21
Rohmawati, Perkawinan LGBT Perspektif Hukum Islam, Jurnal AHKAM IAIN
Tulung Agung, Volume 4 nomor 2, Nov 2016
Santoso, Meilanny Budiarti, LGBT dalam Perspektif HAM, Social Work Jurnal,
Volume 6 nomor 2

Prosiding

Tyas Desita Wengrum, Pro dan Kontra LGBT di Masyarakat Indonesia


Yudiyanto, Fenomena LGBT di Indonesia dan Upaya Pencegahannya, Prosiding,
Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) Program
Pascasarjana STAIN Jurai Siwo Metro Lampung, 2016

Skripsi

Renaldy Muhamad Machanda, Akibat Hukum terhadap Penggunaan Surat Palsu


dalam Perkawinan, Skripsi, Jakarta, Fakultas Hukum Universitas
Nasional, 2012
Zikril Akbar Tanjung, Kriminalisasi terhadap Gratifikasi sebagai Salah Satu
Tindak Pidana Korupsi, Skripsi, Jakarta, Fakultas Hukum Universitas
Nasional, 2013

22

Anda mungkin juga menyukai