Oleh :
YOSHUA CAHYONO
20040704054
i
KATA PENGANTAR
Yoshua Cahyono
20040704054
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pungutan Liar atau sering dikenal dengan sebutan (pungli) kerap menjadi isu
umum dikalangan masyarakat Indonesia. Pungutan Liar merupakan salah satu
kejahatan yang dilakukan oleh Subjek Hukum yang dapat maupun tidak dapat
berdampak langsung menimbulkann kerugian pada keuangan negara ini. Untuk
Subjek Hukum ada dua yakni Manusia (Natuurlijk Persoon) dan Badan Hukum
(Rechtspersoon). Sebenarnya Pungutan Liar atau yang lebih akrab dikenal
dengan sebutan pungli itu sendiri sejatinya ialah sebutan untuk segala bentuk
pungutan yang tidak resmi, yang tidak mempunyai landasan hukum, oleh karena
1
itu tindakan pungutan tersebut dinamakan dengan pungutan liar atau pungli.
Dalam praktik kerjanya, pelaku pungli selalu saja dibarengi dengan tindakan
kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap pihak yang berada dalam posisi
lemah yang diakibatkan karena adanya kepentingan. Itu sebabnya, pungli lebih
cenderung mengarah kepada tindakan pemerasan yang di dalam hukum pidana
merupakan perbuatan yang dilarang atau tindak pidana. Pada Pasal 28G ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang
di bawah kekuasannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan
hak asasi.” Seperti yang terdapat dalam bunyi pasal 28G ayat (1) UUD 1945 itu
sejatinya sama juga dengan yang terdapat pada Pasal 30 UU Nomor 39 Tahun
1999 Tentang Hak Asasi Manusia dimana intinya tersebut sama yakni mengenai
pemberian jaminan kepada manusia (masyarakat Indonesia) terhadap
perlindungan dari segala bentuk kekerasan ataupun ancaman kekerasan, hak
dasar tersebut yang dimana di jamin didalam konstitusi negara merupakan pihak
yang di tuntut untuk menyediakan segala bentuk sarana dan prasarana agar hal
tersebut terrealisasikan dengan baik dan benar. Untuk itu dibutuhkan peranan
guna mewujudkan hal tersebut yakni misalnya dengan meningkatkan peran
aparat keamanan yang berwenang seperti Kepolisian Negara Republik Indonesia
dan Direktorat Lalu Lintas Angkutan Jalan dalam bidang Lalu Lintas terkhususnya
utuk mencegah berbagai macam kejahatan yang terjadi dalam kehidupan
bermasyarakat.
2
hukum sebagai upaya pamungkas Tujuan Penelitian. Dalam fenomena sosial
bermasyarakat ini sering kita dapati atau temui pada praktik lapangannya sendiri,
Pungli khususnya yang dilakukan oleh Pelaku Juru Parkir Liar, seringkali kita
temui dalam kegiatan bersosial dan bermasyarakat kita tidak dapat dipungkiri
bahwasanya masih ada banyak oknum-oknum nakal yang menjadi Juru Parkir
Liar tersebut. Tidak sedikit para oknum Juru Parkir Liar ini dalam menarik biaya
kepada setiap pengendara yang memarkirkan kendaraan ditempat umum
tersebut sering sekali menggunakan kekerasan dalam segala daya upayanya
apabila pengendara bermotor menolak memberikan uang parkir tersebut.
Tentunya hal tersebut menjadi keresahan umum masyarakat Indonesia terkait
Pungutan Liar yang dilakukan oleh Juru Parkir Liar tersebut. Sejatinya di dalamm
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak di temukan pasal yang
menyebutkan ataupun menjelaskan secara eksplisit mengenai tindak pidana
pemungutan liar ataupun delik pungutan liar. Namun dasarnya pemungutan liar
dan juga korupsi merupakan perbuatan yang sama yaitu kedua perbuatan itu
menggunakan kekuasaan (power abuse) untuk tujuan memperkaya diri dengan
cara melawan hukum. Sehingga secara tersirat dapat kita temukan di dalam
rumusan Pasal 1 Ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang
Pemberantasan TIndak Pidana Korupsi, dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi, yang kemudian dirumuskan ulang
pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Akan tetapi terkait juru parkir liar yang melakukan pungli dengan menggunakan
ancaman maka dapat dikenakan pidana sesua ketentuan di dalam KUHP (Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana) menerangkan terkait pemerasan dengan
ancaman yang terdapat dalam Pasal 368 ayat (1) KUHP dimana berbunyi “Barang
siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan untuk memberikan suatu barang, yang seluruh atau sebagiannya
adalah milik orang itu atau orang lain, atau supaya membuat utang maupun
3
menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara
paling lama sembilan bulan”.
Dalam hal ini kasus pungli yang terjadi di kota Surabaya sudah menjadi
masalah yang serius dikarenakan masih saja ada oknum-oknum juru parkir nakal
yang diluar penunjukkan oleh Kepala Dinas Perhubungan Kota Surabaya untuk
mengelola tempat parkir di tepi jalan umum. Hal itu terdapat pada Peraturan
Daerah Surabaya Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Penyelenggaraan Perparkiran Di
Kota Surabaya. Dilansir dari media kompas harian bahwasanya Surabaya realisasi
retribusi retribusi parkir tepi jalan umum atau yang disingkat dengan TJU ini di
kota Surabaya, baru mencapai 40 persennya. Pada hari Senin, 12 September
2022 dari target Rp. 35.000.000.000 Miliar hanya terkumpul sekitar Rp.
11.700.000.000 Miliar saja. Menanggapi hal tersebut, Baktiono, B.A., S.S. Ketua
Komisi C DPRD Kota Surabaya mengakui adanya kebocoran retribusi parkir TJU
tersebut. Selain di media Kompas, di media lain seperti suarasurabaya.net,
menjelaskan tentang keterbatasan jumlah pengawas juru parkir yang ditunjuk
oleh pihak DISHUB Kota Surabaya. Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Kota
Surabaya Tundjung Iswandaru mengatakan, pihaknya akan terus
menyosialisasikan soal karcis parkir ini kepada pengguna layanan maupun juru
parkir (jukir). Pasalnya, karcis parkir merupakan salah satu kontrol untuk bisa
memantau dalam meningkatkan PAD. Pengawasan akan tetap dilaksanakan di
seluruh jalan nantinya akan dibagi-bagi per wilayan guna supaya dapat tersentuh
dengan seluruhnya, ujar beliau. Menurut pak Tundjung menjelaskan bahwa saat
ini terdapat 1.200 titik parkir resmi yang tersebar di seluruh kota Surabaya.
Sebelum pandemi Covid-19 melanda sejatinya ada 1.700 titik parkir, hal ini
disebabkan oleh pandemi Covid-19 yang melanda tersebut. Beliau juga
mengatakan untuk selalu menghimbau masyarakat kota Surabaya untuk
meminta karcis parkir kepada juru parkir resmi untuk mencegah kebocoran PAD.
Selain itu, beliau menghimbau masyarakat untuk berani melapor apabila ada
4
yang menemukan kegiatan pungli parkir liar di harapkan agar segera melapor ke
Command Center (CC) 112 atau kanal media sosial Dishub Surabaya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dirumuskan permasalahan
sebagai berikut:
1. Bagaimana Implementasi kebijakan Tentang Penerapan Larangan Parkir oleh
Dinas Perhubungan kota Surabaya?
2. Bagaimana Pertanggungjawaban Pidana Pungutan Liar oleh Juru Parkir Liar?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui Implementasi kebijakan Tentang Penerapan Larangan
Parkir Oleh Dinas Perhubungan kota Surabaya terhadap kasus Pungutan
Liar oleh Parkir Liar
2. Untuk mengetahui bentuk Pertanggungjawaban Pidana Pungutan Liar
oleh Juru Parkir Liar di kota Surabaya
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis : Tulisan ini dapat menjadi referensi dalam perkembangan
ilmu hukum di Indonesia, khususnya dalam bidang Hukum Pidana terkait
dengan penegakan hukum terhadap pungutan liar yang dilakukan oleh juru
parkir liar.
2. Manfaat praktis : Diharapkan hasil penulisan penelitian ini dapat
bermanfaat bagi kalangan praktisi hukum yaitu hakim, jaksa, polisi, advokat
yang berkecimpung di ranah hukum serta menambah wawasan bagi
masyarakat pada umumnya.
5
E. Kerangka Berpikir
6
Pasal 368 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana yang memuat sanksi tentang ancaman
pemerasan
F. Orisinalitas Penelitian
7
KABUPATEN liar, sedangkan peraturan kebijakan
BATANGHARI miik Dila larangan parkir oleh
Qoriah ialah Dishub Surabaya.
pungli yang
dilakukan oleh
oknum
premanisme
angkutan batu
bara.
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum empiris atau penelitian hukum
sosiologis yaitu penelitian hukum yang memperoleh datanya dari data
primer atau data yang diperoleh langsung dari masyarakat (Soemitro 1983).
Atau dapat disebut pula dengan penelitian lapangan, yaitu mengkaji
ketentuan hukum yang berlaku serta apa yang terjadi dalam kenyataannya di
masyarakat atau dengan kata lain yaitu suatu penelitian yang dilakukan
terhadap keadaan sebenarnya atau keadaan nyata yang terjadi di
masyarakat dengan maksud untuk mengetahui dan menemukan fakta-fakta
dan data yang dibutuhkan, setelah data yang dibutuhkan terkumpul
kemudian menuju kepada identifikasi masalah yang pada akhirnya menuju
pada penyelesaian masalah(Soekanto 1982).
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur. Karena
berdasarkan isu hukum yang muncul pada awak media Kompas dan juga
Suara Surabaya.
3. Informan
8
Informan dalam penelitian ini adalah Petugas Dishub Kota Surabaya,
Juru Parkir Liar sekitar lokasi mini market dan warga yang menjadi korban
pungli parkir liar. Jumlah informannya adalah 7 orang, dengan pembagian
jumlah informan sebagai berikut:
a. Petugas Dishub kota Surabaya : 2 orang
b. Juru Parkir Liar di sekitaran lokasi mini market : 1 orang
c. Warga Surabaya yang menjadi korban pungli parkir liar : 4 orang
4. Jenis Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari data
primer dan sekunder.
1) Data primer adalah data yang diperoleh terutama dari hasil penelitian
yang dilakukan langsung di dalam masyarakat. Dapat dilihat sebagai data
yang merupakan perilaku hukum dari warga masyarakat.
Sumber data diperoleh dari lapangan dengan wawancara kepada :
a. Petugas Dishub Kota Surabaya
b. Juru Parkir Liar
c. Warga Surabaya yang menjadi korban pungli parkir liar
2) Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil penelaah
kepustakaan atau penelaahan terhadap berbagai literatur atau bahan
pustaka yang berkaitan dengan materi penelitian, dapat berupa buku,
jurnal, website, artikel, dan seterusnya(Mukti Fajar dan Yulianto Achmad
2010a). Adapun buku yang menjadi sumber data sekunder dalah buku-
buku tentang Hukum Pidana dan Undang-undang yang berkaitan dengan
Pungli.
9
tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Berkaitan dengan hal itu maka
untuk memperoleh data yang berhubungan dengan penelitian ini, peneliti
akan menggunakan teknik pengumpulan data :
1) Wawancara
Wawancara dilakukan terhadap informan yang dapat memberikan
informasi yang sesuai dengan fokus penelitian ini. Nazir mengemukakan
bahwa wawancara adalah proses memperoleh keterangan atau tujuan
penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara si penanya
atau pewawancara dengan si penjawab atau responden dengan
menggunakan alat yang dinamakan interview guide (pedoman wawancara)
(Nazir. Mohammad 2005). Untuk memperoleh data yang berhubungan
dengan penelitian ini maka wawancara dilakukan secara langsung kepada :
a. Petugas Dishub Kota Surabaya
b. Juru parkir liar sekitar lokasi minimarket
c. Warga Surabaya yang menjadi korban pungli parkir liar
2) Observasi
Observasi adalah motode pengumpulan data, dimana peneliti
mengadakan pengamatan terhadap gejala-gejala subyek yang diselidiki
dengan perantara alat ataupun langsung (tanpa alat) baik pengamatan itu
dilakukakan dalam situasi kesengajaan(Winarno Surakhmad 1990).
Selanjutnya observasi berfungsi sebagai eksplorasi dari hasil ini dapat
diperoleh gambaran yang jelas tentang masalahnya. Observasi ini dilakukan
oleh penulis di Daerah Kota Surabaya.
10
a. Editing, dengan maksud agar kelengkapan dan validitas data dan
informan terjamin.
b. Sistematisasi data, yaitu data harus diklasifikasikan secara sistematis,
artinya semua data harus ditempatkan dalam kategori-kategori artinya
semua data harus ditempatkan dalam kategori-kategori.
11
H. Sistematika Penulisan
Untuk mengetahui secara jelas isi dari proposal penelitian ini maka
sistematika penulisan disusun sebagai berikut :
1. BAB 1 : Pendahuluan
Pada BAB 1 dijelaskan mengenai :
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
E. Kerangka Berpikir
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
2. Lokasi Penelitian
3. Informan
4. Jenis Data
5. Teknik Pengumpulan Data
6. Teknik Pengolahan Data
7. Teknik Analisis Data
G. Sistematika Penulisan
2. BAB 2 : Kajian Pustaka
A. Tinjauan Umum tentang Pungli
B. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Hukum
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
13
bersifat konkrit dan memiliki perlindungan hukum dalam masyarakat. Sedangkan
langkah represif hukum administrasi memiliki dominan dalam tindak pidana
korupsi karena perbuatan tersebut muncul dari penyalahgunaan wewenang yang
dapat merugikan keuangan negara. Dalam perbuatan menyalahgunakan
kewenangan jabatan, dapat juga ditinjau dari dua sisi perbuatan secara
bersamaan ialah:
14
wujud perbuatan yang mengandung sifat melawan hukum tadi, yang
wujudnya merupakan salah satu bentuk perbuatan meyalahgunakan
kewenangan jabatan, memenuhi unsur dapat merugikan keuangan
negara atau perekenomian negara, maka perbuatan semacam itulah
yang dimaksud dengan perbuatan menyalahgunakan kewenangan
jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU No 31/1999 yang
diubah dengan UU No. 20/2001 (disingkat UU TPK).
Dalam KUHP tahun 1847 semula terdapat 48 jenis tindak pidana yang
oleh para perencananya telah di pandang sebagai kejahatan jabatan. Diantara 48
jenis tindak pidana yang disebutkan oleh perencananya ternyata :
15
b. Sanksi tindakan berupa rehabilitasi medis dan sosial. Pemberatan terhadap
tindak pidana berdasarkan pada jumlah ataupun narkotika, akibat yang
ditimbulkan, dilakukan secara terorganisasi, dilakukan oleh korporasi, dilakukan
dengan menggunakan anak yang belum cukup umur, dan apabila ada
pengulangan (recidive) dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun.
2. Perlindungan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidan
Narkotika
Anak merupakan subjek hukum yang bersifat khusus, yang dimana hak-
hak nya dilindungi dan diatur di dalam peraturan perundang-undangan yang
khusus pula. Terkait dengan kasus anak yang melakukan tindak pidana narkotika,
didalam Undang-Undang tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak diatur mengenai perlindungan hukum
terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Maka dalam hal ini sanksi orang
dewasa dan anak pun berbeda.
Berkaitan dengan ketentuan sanksi pidana terhadap anak sebagai pelaku tindak
pidana narkotika, di dalam Pasal 71 UU SPPA terdapat ketentuan sanksi pidana
yang dapat dijatuhkan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, yaitu:
1. Pidana Pokok, berupa :
a. Pidana peringatan
b. Pidana dengan syarat :
- Pembinaan di luar lembaga
- Pelayanan masyarakat
- Pengawasan
c. Pelatihan kerja
d. Pembinaan dalam lembaga
e. Penjara
2. Pidana Tambahan, berupa :
a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana
b. Pemenuhan kewajiban adat.
16
Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, terdapat asas-asas yang perlu diperhatikan dalam hal
perlindungan hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, antara lain:
a. Perlindungan
b. Keadilan
c. Nondiskriminasi
h. Proporsional
j. Penghindaran pembalasan
Di dalam UU SPPA dikenal istilah diversi, yang merupakan pengalihan dari
proses penyelesaian perkara di peradilan ke proses penyelesaian di luar
pengadilan. Meninjau pada pasal 9 ayat (2) UU SPPA, disebutkan bahwa
pelaksanaan diversi dalam peradilan pidana anak harus selalu diupayakan,
mengingat di pasal tersebut menyatakan bahwa diversi tetap dapat diterapkan
pada tindak pidana tanpa korban, dimana tindak pidana narkotika merupakan
kejahatan tanpa korban (crime without victim), maka anak sebagai pelaku disini,
juga sekaligus menjadi korban. Terkait hal ini, diversi hanya dapat dilakukan oleh
penyidik bersama pelaku dan/atau keluarganya, pembimbing kemasyarakatan,
serta dapat melibatkan tokoh masyarakat untuk bersama-sama mencari
penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan
semula dan bukan pembalasan atau yang lebih dikenal dengan istilah
pendekatan restorative justice (keadilan restoratif). Kesepakatan diversi yang
tercantum dalam pasal 11 UU SPPA dapat berbentuk penyerahan kembali
17
kepada orang tua/wali, rehabilitasi medis dan psikososial, serta mengikuti
pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS (Lembaga
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial) paling lama 3 (tiga) bulan. Penyelesaian
di luar proses peradilan tersebut diharapkan mampu memberikan rasa keadilan
terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan dengan mengutamakan
kepentingan yang terbaik bagi anak.
Penjatuhan sanksi terhadap anak patut diperhatikan, mengingat anak
adalah subyek hukum yang bersifat sangat khusus yang berbeda dengan subyek
hukum orang dewasa pada umumnya yang membutuhkan perlakuan yang
khusus pula. Artinya, apabila penerapan sanksi pada orang yang sudah dewasa
dianggap tidak efektif sebagai sarana penanggulangan kejahatan oleh karena
berbagai dampak negatif yang ditimbulkannya, maka penerapan sanksi terhadap
anak justru akan menimbulkan dampak negatif yang jauh lebih luas.
Menurut Made Sadhi Astuti, penerapan sanksi khususnya pidana perampasan
kemerdekaan terhadap anak akan menimbulkan berbagai dampak yang negatif
sebagai berikut :
a. Anak menjadi lebih ahli tentang kejahatan
b. Anak diberi cap jahat oleh masyarakat yang disebut stigma
c. Masyarakat menolak kehadiran mantan narapidana anak
d. Masa depan anak menjadi suram.
Adapun dalam penerapan pidana penjara terhadap anak mempunyai pengaruh
yang negatif terhadap pembinaan anak di masyarakat, antara lain:
1. Dehumanisasi
Dehumanisasi merupakan proses pengasingan yang dilakukan oleh
masyarakat terhadap mantan narapidana (anak). Hal ini dapat terjadi dalam
berbagai bentuk, misalnya sikap sinis terhadap mantan narapidana anak, sikap
penolakan terhadap kehadiran mantan narapidana anak baik secara langsung
maupun secara tidak langsung, pengejekan, dan semua perilaku yang dapat
menempatkan anak dalam keterasingan baik secara psikis maupun sosial.
2. Stigmatisasi
18
Stigmatiasasi pada dasarnya merupakan pemberian label atau cap jahat kepada
mereka yang pernah mengalami penerapan pidana khususnya pidana
perampasan kemerdekaan.Penjatuhan pidana berupa pidana penjara terhadap
anak, bukanlah satu-satunya cara atau solusi yang dapat dilakukan jika ditujukan
sebagai upaya preventif atau pencegahan untuk memperbaiki anak agar menjadi
manusia yang lebih baik kedepannya dan tidak mengulangi lagi kejahatannya.
Masih ada cara lain seperti Rehabilitasi Sosial yang dilakukan di LPKS
(Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial) untuk anak, Instansi atau
lembaga yang menangani perlindungan anak atau lembaga kesejahteraan sosial
anak, dan di lingkungan keluarga/keluarga pengganti. Rehabilitasi sosial
merupakan proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun
sosial, agar anak dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan di
masyarakat. Rehabilitasi sosial jauh lebih bermanfaat bagi masa depan anak.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
19
Hermana, A. (2017). Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pengguna Narkotika
Dihunbungkan Dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Jo. Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Jurnal Ilmiah Galuh
Justisi, 4(2), 241. https://doi.org/10.25157/jigj.v4i2.318
Nyoman, O. :, Yudha, K., Agung, A., & Utari, S. (2020). Perlindungan Hukum
Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika *. Kertha Wicara :
Journal Ilmu Hukum, 9(2), 1–15.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
WEBSITE
Badan Nakotika Nasional RI. 2021. “Data Statistik Penanganan Kasus Narkotika”
. BNN RI. Retrieved Kamis 14 Oktober 2021
(https://puslitdatin.bnn.go.id/portfolio/data-statistik-kasus-narkoba/)
20