Anda di halaman 1dari 23

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP JURU PARKIR LIAR

SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PUNGUTAN LIAR


DI KOTA SURABAYA

Oleh :

YOSHUA CAHYONO

20040704054

Universitas Negeri Surabaya


Fakultas Ilmu Sosial Dan Hukum
Jurusan Hukum
Program Studi Ilmu Hukum
2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantia penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus,


sehingga Penulis dapat menyesaikan propososal penelitian ini dengan judul
“Penegakan Hukum Terhadap Juru Parkir Liar Sebagai Pelaku Tindak Pidana
Pungutan Liar Di Kota Surabaya” guna menyelesaikan tugas Mata Kuliah Metode
Penelitian Hukum pada Jurusan Hukum Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum
Universitas Negeri Surabaya.
Pada kesempatan ini Penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tiada
hingga kepada para pihak yang berkenan membantu dalam proses ini karena
proposal penelitian ini pada akhirnya bisa diselesaikan tepat waktu. Selanjutnya,
dengan segala kerendahan hati Penulis menyadari bahwa tanpa adanya bantuan
dari para dosen pengajar dan pihak terkait lainnya proposl penelitian ini tidak
dapat diselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa proposal penelitian ini masih jauh
dari kesempurnaan, sebab keterbatasan Penulis tentang pengetahuan dan
pengalamannya, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari para
pembaca, Penulis harapkan untuk sedia dan selalu membantu dalam
penyempurnaan proposal penelitian ini ke depannya.

Surabaya, 28 November 2022

Yoshua Cahyono

20040704054

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN.................................................................i


KATA PENGANTAR...............................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................iii
BAB 1. PENDAHULUAN.........................................................................1
A. Latar Belakang Masalah.................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................4
C. Tujuan penelitian............................................................................4
D. Manfaat penelitian..........................................................................5
E. Batasan Masalah.............................................................................5
F. Kerangka Berpikir..........................................................................5
G. Metode Penelitian..........................................................................6
1. Jenis Penelitian..........................................................................6
2. Lokasi Penelitian.......................................................................6
3. Informan....................................................................................7
4. Jenis Data...................................................................................7
5. Teknik Pengumpulan Data........................................................7
6. Teknik Pengolahan Data............................................................8
7. Teknik Analisis Data.................................................................9
I. Sistematika Penulisan....................................................................10
BAB 2. KAJIAN PUSTAKA...................................................................11
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................17

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28D


ayat 1 yang berbunyi “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum Kepastian hukum yang adil adalah hasil dari terpenuhinya
pengakuan, jaminan dan perlindungan”. Selain itu, kepastian hukum dapat
terpenuhi salah satunya dengan menindak pelanggar hukum melalui penegakan
hukum pidana. Didalam penegakan hukum pidana, ada 3 (tiga) unsur yang harus
diperhatikan, yaitu; Kepastian hukum (Rechtssicherheit), Kemanfaatan
(Zweckmassigkeit), dan Keadilan (Gerechtigkeit). Kepastian hukum merupakan
suatu perlindungan dari tindakan sewenang-wenang dan bertujuan untuk
menertibkan masyarakat. Kemanfaatan dalam penegakan hukum ditujukan pada
masyarakat, diharapkan hukum tidak menimbulkan keresahan dalam
masyarakat. Keadilan bagi semua orang bertujuan supaya pelaksanaan
penegakan hukum harus adil untuk semua orang (Arliman, 2020). Dari ke tiga
unsur tersebut haruslah seimbang supaya tidak ada ketimpangan dalam
masyarakat namun nyatanya dalam praktik kehidupan bermasyarakat sehari-hari
tidaklah mudah. Salah satu dari sekian banyak pelanggaran hukum di Indonesia
yakni pungutan liar.

Pungutan Liar atau sering dikenal dengan sebutan (pungli) kerap menjadi isu
umum dikalangan masyarakat Indonesia. Pungutan Liar merupakan salah satu
kejahatan yang dilakukan oleh Subjek Hukum yang dapat maupun tidak dapat
berdampak langsung menimbulkann kerugian pada keuangan negara ini. Untuk
Subjek Hukum ada dua yakni Manusia (Natuurlijk Persoon) dan Badan Hukum
(Rechtspersoon). Sebenarnya Pungutan Liar atau yang lebih akrab dikenal
dengan sebutan pungli itu sendiri sejatinya ialah sebutan untuk segala bentuk
pungutan yang tidak resmi, yang tidak mempunyai landasan hukum, oleh karena

1
itu tindakan pungutan tersebut dinamakan dengan pungutan liar atau pungli.
Dalam praktik kerjanya, pelaku pungli selalu saja dibarengi dengan tindakan
kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap pihak yang berada dalam posisi
lemah yang diakibatkan karena adanya kepentingan. Itu sebabnya, pungli lebih
cenderung mengarah kepada tindakan pemerasan yang di dalam hukum pidana
merupakan perbuatan yang dilarang atau tindak pidana. Pada Pasal 28G ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang
di bawah kekuasannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan
hak asasi.” Seperti yang terdapat dalam bunyi pasal 28G ayat (1) UUD 1945 itu
sejatinya sama juga dengan yang terdapat pada Pasal 30 UU Nomor 39 Tahun
1999 Tentang Hak Asasi Manusia dimana intinya tersebut sama yakni mengenai
pemberian jaminan kepada manusia (masyarakat Indonesia) terhadap
perlindungan dari segala bentuk kekerasan ataupun ancaman kekerasan, hak
dasar tersebut yang dimana di jamin didalam konstitusi negara merupakan pihak
yang di tuntut untuk menyediakan segala bentuk sarana dan prasarana agar hal
tersebut terrealisasikan dengan baik dan benar. Untuk itu dibutuhkan peranan
guna mewujudkan hal tersebut yakni misalnya dengan meningkatkan peran
aparat keamanan yang berwenang seperti Kepolisian Negara Republik Indonesia
dan Direktorat Lalu Lintas Angkutan Jalan dalam bidang Lalu Lintas terkhususnya
utuk mencegah berbagai macam kejahatan yang terjadi dalam kehidupan
bermasyarakat.

Kejahatan secara umum menurut Moelino di rumuskan sebagai


“pelanggaran terhadap norma hukum yang di tafsirkan atau patut di tafsitkan
sebagai perbuatan yang merugikan, menjengkelkan, dan tidak boleh dibiarkan.”
Sedangkan menurut Edwin H. Sutherland menyatakan bahwa ciri pokok dari
kejahatan adalah pelaku yang dilarang oleh negara karena merupakan perbuatan
yang merugikan bagi negara dan terhadap perbuatan itu negara bereaksi dengan

2
hukum sebagai upaya pamungkas Tujuan Penelitian. Dalam fenomena sosial
bermasyarakat ini sering kita dapati atau temui pada praktik lapangannya sendiri,
Pungli khususnya yang dilakukan oleh Pelaku Juru Parkir Liar, seringkali kita
temui dalam kegiatan bersosial dan bermasyarakat kita tidak dapat dipungkiri
bahwasanya masih ada banyak oknum-oknum nakal yang menjadi Juru Parkir
Liar tersebut. Tidak sedikit para oknum Juru Parkir Liar ini dalam menarik biaya
kepada setiap pengendara yang memarkirkan kendaraan ditempat umum
tersebut sering sekali menggunakan kekerasan dalam segala daya upayanya
apabila pengendara bermotor menolak memberikan uang parkir tersebut.
Tentunya hal tersebut menjadi keresahan umum masyarakat Indonesia terkait
Pungutan Liar yang dilakukan oleh Juru Parkir Liar tersebut. Sejatinya di dalamm
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak di temukan pasal yang
menyebutkan ataupun menjelaskan secara eksplisit mengenai tindak pidana
pemungutan liar ataupun delik pungutan liar. Namun dasarnya pemungutan liar
dan juga korupsi merupakan perbuatan yang sama yaitu kedua perbuatan itu
menggunakan kekuasaan (power abuse) untuk tujuan memperkaya diri dengan
cara melawan hukum. Sehingga secara tersirat dapat kita temukan di dalam
rumusan Pasal 1 Ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang
Pemberantasan TIndak Pidana Korupsi, dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi, yang kemudian dirumuskan ulang
pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Akan tetapi terkait juru parkir liar yang melakukan pungli dengan menggunakan
ancaman maka dapat dikenakan pidana sesua ketentuan di dalam KUHP (Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana) menerangkan terkait pemerasan dengan
ancaman yang terdapat dalam Pasal 368 ayat (1) KUHP dimana berbunyi “Barang
siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan untuk memberikan suatu barang, yang seluruh atau sebagiannya
adalah milik orang itu atau orang lain, atau supaya membuat utang maupun

3
menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara
paling lama sembilan bulan”.

Dalam hal ini kasus pungli yang terjadi di kota Surabaya sudah menjadi
masalah yang serius dikarenakan masih saja ada oknum-oknum juru parkir nakal
yang diluar penunjukkan oleh Kepala Dinas Perhubungan Kota Surabaya untuk
mengelola tempat parkir di tepi jalan umum. Hal itu terdapat pada Peraturan
Daerah Surabaya Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Penyelenggaraan Perparkiran Di
Kota Surabaya. Dilansir dari media kompas harian bahwasanya Surabaya realisasi
retribusi retribusi parkir tepi jalan umum atau yang disingkat dengan TJU ini di
kota Surabaya, baru mencapai 40 persennya. Pada hari Senin, 12 September
2022 dari target Rp. 35.000.000.000 Miliar hanya terkumpul sekitar Rp.
11.700.000.000 Miliar saja. Menanggapi hal tersebut, Baktiono, B.A., S.S. Ketua
Komisi C DPRD Kota Surabaya mengakui adanya kebocoran retribusi parkir TJU
tersebut. Selain di media Kompas, di media lain seperti suarasurabaya.net,
menjelaskan tentang keterbatasan jumlah pengawas juru parkir yang ditunjuk
oleh pihak DISHUB Kota Surabaya. Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Kota
Surabaya Tundjung Iswandaru mengatakan, pihaknya akan terus
menyosialisasikan soal karcis parkir ini kepada pengguna layanan maupun juru
parkir (jukir). Pasalnya, karcis parkir merupakan salah satu kontrol untuk bisa
memantau dalam meningkatkan PAD. Pengawasan akan tetap dilaksanakan di
seluruh jalan nantinya akan dibagi-bagi per wilayan guna supaya dapat tersentuh
dengan seluruhnya, ujar beliau. Menurut pak Tundjung menjelaskan bahwa saat
ini terdapat 1.200 titik parkir resmi yang tersebar di seluruh kota Surabaya.
Sebelum pandemi Covid-19 melanda sejatinya ada 1.700 titik parkir, hal ini
disebabkan oleh pandemi Covid-19 yang melanda tersebut. Beliau juga
mengatakan untuk selalu menghimbau masyarakat kota Surabaya untuk
meminta karcis parkir kepada juru parkir resmi untuk mencegah kebocoran PAD.
Selain itu, beliau menghimbau masyarakat untuk berani melapor apabila ada

4
yang menemukan kegiatan pungli parkir liar di harapkan agar segera melapor ke
Command Center (CC) 112 atau kanal media sosial Dishub Surabaya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dirumuskan permasalahan
sebagai berikut:
1. Bagaimana Implementasi kebijakan Tentang Penerapan Larangan Parkir oleh
Dinas Perhubungan kota Surabaya?
2. Bagaimana Pertanggungjawaban Pidana Pungutan Liar oleh Juru Parkir Liar?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui Implementasi kebijakan Tentang Penerapan Larangan
Parkir Oleh Dinas Perhubungan kota Surabaya terhadap kasus Pungutan
Liar oleh Parkir Liar
2. Untuk mengetahui bentuk Pertanggungjawaban Pidana Pungutan Liar
oleh Juru Parkir Liar di kota Surabaya

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis : Tulisan ini dapat menjadi referensi dalam perkembangan
ilmu hukum di Indonesia, khususnya dalam bidang Hukum Pidana terkait
dengan penegakan hukum terhadap pungutan liar yang dilakukan oleh juru
parkir liar.
2. Manfaat praktis : Diharapkan hasil penulisan penelitian ini dapat
bermanfaat bagi kalangan praktisi hukum yaitu hakim, jaksa, polisi, advokat
yang berkecimpung di ranah hukum serta menambah wawasan bagi
masyarakat pada umumnya.

5
E. Kerangka Berpikir

Pembukaan UUD NRI 1945


Tujuan Negara

Pasal 28G ayat (1) UUD NRI 1945


Setiap Orang Berhak Atas Perlindungan Diri
dan Perlindungan dari Ancaman Ketakutan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001


tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Implementasi Kebijakan Dishub Terkait Pungutan Liar


oleh Juru Parkir Liar

Peraturan Wali Kota Surabaya Nomor 30 Tahun 2018


Tentang Perubahan Tarif Retribusi Tempat Khusus
Parkir

Perda Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Penyelenggaraan


Perparkiran Di Kota Surabaya

6
Pasal 368 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana yang memuat sanksi tentang ancaman
pemerasan

Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Pungli oleh Juru


Parkir Liar dengan unsur ancaman dan pemerasan

F. Orisinalitas Penelitian

No. Nama Peneliti, Tahun Persamaan Perbedaan Orisinalitas Penelitian


dan Judul Penelitian

1. Abdurrakhman Membahas Perbedaan Penegakan Hukum


Alhakim, Oryza tentang pada Rumusan terhadap pungli parkir
Sativa MY (2021), Penegakan Masalah yanag liar yang dilakukan
ANALISIS Hukum ditulis oleh dengan ancaman dan
PENEGAKAN HUKUM Pungli oleh Abdurrakhman paksaan oleh jukir liar.
TERHADAP Parkir Liar. dengan Serta
PUNGUTAN LIAR penulis ini pengimplementasian
OLEH JURU PARKIR (saya). peraturan kebijakan
DI KOTA BATAM, larangan parkir oleh
INDONESIA1 Dishub Surabaya.

2. Dila Qoriah (2020), Membahas Subjek Penegakan Hukum


PENEGAKAN HUKUM tentang penelitannya terhadap pungli parkir
TERHADAP PELAKU Penegakan berbeda yakni liar yang dilakukan
PUNGUTAN LIAR Hukum oleh yang diteliti dengan ancaman dan
ANGKUTAN BATU pelaku penulis ialah paksaan oleh jukir liar.
BARA DI DESA Pungli. pungli oleh Serta
RANTAU PURI pelaku parkir pengimplementasian

7
KABUPATEN liar, sedangkan peraturan kebijakan
BATANGHARI miik Dila larangan parkir oleh
Qoriah ialah Dishub Surabaya.
pungli yang
dilakukan oleh
oknum
premanisme
angkutan batu
bara.

G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum empiris atau penelitian hukum
sosiologis yaitu penelitian hukum yang memperoleh datanya dari data
primer atau data yang diperoleh langsung dari masyarakat (Soemitro 1983).
Atau dapat disebut pula dengan penelitian lapangan, yaitu mengkaji
ketentuan hukum yang berlaku serta apa yang terjadi dalam kenyataannya di
masyarakat atau dengan kata lain yaitu suatu penelitian yang dilakukan
terhadap keadaan sebenarnya atau keadaan nyata yang terjadi di
masyarakat dengan maksud untuk mengetahui dan menemukan fakta-fakta
dan data yang dibutuhkan, setelah data yang dibutuhkan terkumpul
kemudian menuju kepada identifikasi masalah yang pada akhirnya menuju
pada penyelesaian masalah(Soekanto 1982).

2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur. Karena
berdasarkan isu hukum yang muncul pada awak media Kompas dan juga
Suara Surabaya.

3. Informan

8
Informan dalam penelitian ini adalah Petugas Dishub Kota Surabaya,
Juru Parkir Liar sekitar lokasi mini market dan warga yang menjadi korban
pungli parkir liar. Jumlah informannya adalah 7 orang, dengan pembagian
jumlah informan sebagai berikut:
a. Petugas Dishub kota Surabaya : 2 orang
b. Juru Parkir Liar di sekitaran lokasi mini market : 1 orang
c. Warga Surabaya yang menjadi korban pungli parkir liar : 4 orang

4. Jenis Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari data
primer dan sekunder.
1) Data primer adalah data yang diperoleh terutama dari hasil penelitian
yang dilakukan langsung di dalam masyarakat. Dapat dilihat sebagai data
yang merupakan perilaku hukum dari warga masyarakat.
Sumber data diperoleh dari lapangan dengan wawancara kepada :
a. Petugas Dishub Kota Surabaya
b. Juru Parkir Liar
c. Warga Surabaya yang menjadi korban pungli parkir liar
2) Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil penelaah
kepustakaan atau penelaahan terhadap berbagai literatur atau bahan
pustaka yang berkaitan dengan materi penelitian, dapat berupa buku,
jurnal, website, artikel, dan seterusnya(Mukti Fajar dan Yulianto Achmad
2010a). Adapun buku yang menjadi sumber data sekunder dalah buku-
buku tentang Hukum Pidana dan Undang-undang yang berkaitan dengan
Pungli.

5. Teknik Pengumpulan Data

Menurut Lofland dalam Lexi J Moleong, sumber data utama dalam


penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya data

9
tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Berkaitan dengan hal itu maka
untuk memperoleh data yang berhubungan dengan penelitian ini, peneliti
akan menggunakan teknik pengumpulan data :

1) Wawancara
Wawancara dilakukan terhadap informan yang dapat memberikan
informasi yang sesuai dengan fokus penelitian ini. Nazir mengemukakan
bahwa wawancara adalah proses memperoleh keterangan atau tujuan
penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara si penanya
atau pewawancara dengan si penjawab atau responden dengan
menggunakan alat yang dinamakan interview guide (pedoman wawancara)
(Nazir. Mohammad 2005). Untuk memperoleh data yang berhubungan
dengan penelitian ini maka wawancara dilakukan secara langsung kepada :
a. Petugas Dishub Kota Surabaya
b. Juru parkir liar sekitar lokasi minimarket
c. Warga Surabaya yang menjadi korban pungli parkir liar

2) Observasi
Observasi adalah motode pengumpulan data, dimana peneliti
mengadakan pengamatan terhadap gejala-gejala subyek yang diselidiki
dengan perantara alat ataupun langsung (tanpa alat) baik pengamatan itu
dilakukakan dalam situasi kesengajaan(Winarno Surakhmad 1990).
Selanjutnya observasi berfungsi sebagai eksplorasi dari hasil ini dapat
diperoleh gambaran yang jelas tentang masalahnya. Observasi ini dilakukan
oleh penulis di Daerah Kota Surabaya.

6. Teknik Pengolahan Data


Peneliti harus memeriksa kembali informasi yang diperoleh dari
responden atau informan dan narasumber guna menemukan kejelasan,
konsistensi jawaban atau informasi dan relevansinya bagi penelitian.
Pengelolaan data dilakukan dengan cara sebagai berikut :

10
a. Editing, dengan maksud agar kelengkapan dan validitas data dan
informan terjamin.
b. Sistematisasi data, yaitu data harus diklasifikasikan secara sistematis,
artinya semua data harus ditempatkan dalam kategori-kategori artinya
semua data harus ditempatkan dalam kategori-kategori.

7. Teknik Analisis Data


Pada tahap ini adalah bagaimana seorang peneliti mampu
mengidentifikasi data-data yang kemudian melakukan analisis atau
mendalami berdasarkan pernyataan-pernyataan yang sebenarnya atau
secara empiris. Menurut Lexi J Moleong menjelaskan bahwa analisis data
adalah proses mengatur urutan data, mengorganisir kedalam suatu pola,
kategori dan uraian dasar yang membedakan penafsiran, yaitu memberikan
arti yang signifikan terhadap analisis, menjelaskan uraian-uraian dan
mencari hubungan dimensi-dimensi yang ada .Untuk menganalisis data,
maka digunakan analisis data secara kualitatif. Langkah-langkah yang
digunakan yaitu:
1) Pengumpulan data, yaitu mengumpulkan data-data baik kepustakaan
maupun data dari lapangan yang sesuai dengan permasalahan.
2) Identifikasi data, yaitu mengelompokan data-data untuk disusun secara
sistematis.
3) Interpretasi data, yaitu pembahasan data hasil penelitian baik berupa
teori maupun kenyataan di lapangan. Dalam hal ini dapat juga dilakukan
check dan re-check data.
4) Kesimpulan, yaitu mendeskripsikan hasil pembahasan dan analisa
sehingga diketahui jawaban dari permasalahan yang ada, serta
diharapkan mampu memberikan solusi yang terbaik.

11
H. Sistematika Penulisan
Untuk mengetahui secara jelas isi dari proposal penelitian ini maka
sistematika penulisan disusun sebagai berikut :
1. BAB 1 : Pendahuluan
Pada BAB 1 dijelaskan mengenai :
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
E. Kerangka Berpikir
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
2. Lokasi Penelitian
3. Informan
4. Jenis Data
5. Teknik Pengumpulan Data
6. Teknik Pengolahan Data
7. Teknik Analisis Data
G. Sistematika Penulisan
2. BAB 2 : Kajian Pustaka
A. Tinjauan Umum tentang Pungli
B. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Hukum

12
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum tentang Pungli


1. Pengertian Pungli

Pungutan liar dan korupsi adalah tindakan yang sama karena


mempergunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri sendiri yang
bertentangan dan melawan hukum. Dengan kata lain pungutan liar disebut
pungutan yang dilakukan demi kepentingan diri sendiri karena petugas dan
oknum yang tidak memiliki moral dan melanggar aturan yang sudah ditetapkan.
Oknum yang melakukan pungli sendiri bisa dari suatu Instansi, Pegawai Negeri
dan Masyarakat biasa yang tentunya dapat menggangu ketertiban umum bahkan
pengguna jalan umum. Praktik pungli sendiri adalah perbuatan yang merusak,
busuk dan bejat serta kebohongan yang berkaitan dengan masalah uang dengan
berhasilnya dalam pemberantasan pungli dalam hal ini korupsi akan memberikan
dampak baik bagi masyarakat. Di dalam pelaksanaan pemerintahan daerah ada
banyak sekali hubungan hubungan yang saling terkait yaitu hubungan dalam
bidang keuangan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah,
hubungan dalam bidang keuangan antara pemerintahan daerah , hubungan
dalam bidang keuangan, hubungan dalam bidang pelayanan umum antara
pemerintah dan pemerintahan daerah, hubungandalam bidang pelayanan
umum, hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
daya alam lainnya. Penerapan sanksi administrasi dapat terjadi dengan kumulasi
internal (satu sanksi administrasi diterapkan dengan sanksi administrasi lainnya)
atau kumulasi eksternal (sanksi administrasi diterapkan bersama sanksi lainnya,
misalnya sanksi pidana. Jika dilihat dari hukum administrasi sendiri menjadi
langkah preventif dan langkah represif dalam tindak pidana pungli tersebut.
Langkah preventif karena hukum administrasi yang memiliki kaitan erat dengan
hukum pemerintahan terutama dalam bidang wewenang dari suatu
pemerintahan seperti tindak pemerintahan yang bersifat regulasi ataupun

13
bersifat konkrit dan memiliki perlindungan hukum dalam masyarakat. Sedangkan
langkah represif hukum administrasi memiliki dominan dalam tindak pidana
korupsi karena perbuatan tersebut muncul dari penyalahgunaan wewenang yang
dapat merugikan keuangan negara. Dalam perbuatan menyalahgunakan
kewenangan jabatan, dapat juga ditinjau dari dua sisi perbuatan secara
bersamaan ialah:

1) Dari sisi wujud perbuatan yang menjadi kewenangan dalam


menjalankan tugas jabatan. Setiap jabatan baik di bidang publik maupun
privat mempunyai/diberi kewenangan tertentu untuk menjalankan
tugas jabatannya itu. Di dalam menjalankan tugas jabatan/pekerjaan
berdasarkan kewenangan tersebut, pejabat membeban (dibebani
kewajiban hukum (rechtsplicht) yang harus diikuti/dipatuhi dan tidak
boleh dilanggar. Sebab, kalau tidakdibebani kewajiban hukum, jabatan
bisa dilakukan semena mena, tanpa batas dan tidak mungkin ada di
negara negara modern. Tujuan dan maksud dibentuk/diadakan jabatan
dan diberikan pada pemangkunya secara implisit atau eksplisit sudah
terkandung dalam kewajiban hukum jabatan tersebut. Apabila dalam
menjalankan kewenangan jabatan, kewajiban hukum dilanggar, keadaan
itu sama dengan artinya dengan menjalankan kewenangan yang
bertentangan atau menyimpang dari maksud dan tujuan diadakan dan
diberikannya kewenangan jabatan sebagaimana ditinjau dari Hukum
Administrasi Negara. Disitulah letak substansi atau apa yang dimaksud
perbuatan menyalahgunakan kewenangan jabatan. Pada dasarnya
penyalahgunaan jabatan adalah “melaksanakan kewenangan jabatan
yang dimilikinya dengan melanggar kewajiban hukum jabatan” tersebut.
2) Dari sisi sifat melawan hukumnya perbuatan. Pada dasarnya bahwa
setiap syarat yang ditentukan/dilekatkan pada suatu perbuatan atau
bisa disebut untuk sahnya perbuatan, jika melakukan perbuatan yang
pada kenyataannya melanggar syarat tadi, maka dalam wujud
perbuatan tersebut sudah terkandung sifat melawan hukum. Apabila

14
wujud perbuatan yang mengandung sifat melawan hukum tadi, yang
wujudnya merupakan salah satu bentuk perbuatan meyalahgunakan
kewenangan jabatan, memenuhi unsur dapat merugikan keuangan
negara atau perekenomian negara, maka perbuatan semacam itulah
yang dimaksud dengan perbuatan menyalahgunakan kewenangan
jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU No 31/1999 yang
diubah dengan UU No. 20/2001 (disingkat UU TPK).

Dalam KUHP tahun 1847 semula terdapat 48 jenis tindak pidana yang
oleh para perencananya telah di pandang sebagai kejahatan jabatan. Diantara 48
jenis tindak pidana yang disebutkan oleh perencananya ternyata :

1. Terdapat sejumlah tindak pidana yang bukan hanya dilakukan oleh


pegawai negeri saja melainkan juga dapat dilakukan oleh setiap orang
hingga pemberian kualifikasi sebagai kejahatan jabatan bagi tindak
pidana tersebut tidaklah perlu.

2. Terdapat sejumlah tindak pidana yang sebenarnya dapat diserahkan


penyelesaiannya kepada para hakim tata tertib sehingga dianggap
tidak perlu dicantumkan di dalam kitab undang undang hukum pidana
yang sedang dibentuk.

B. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana


1. Jenis sanksi yang tindak pidana Narkotika
Dalam hukum pidana, tindak pidana narkotika merupakan salah satu
perbuatan melawan hukum yang bersifat khusus. Pengaturan terhadap tindak
pidana narkotika ini dituangkan ke dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika (UU Narkotika). Sanksi pidana yang digunakan dalam UU
Narkotika yaitu:
a. Sanksi pidana pokok berupa pidana mati, penjara seumur hidup, penjara
dengan batasan waktu tertentu, pidana kurungan, denda serta pidana tambahan
lainnya;

15
b. Sanksi tindakan berupa rehabilitasi medis dan sosial. Pemberatan terhadap
tindak pidana berdasarkan pada jumlah ataupun narkotika, akibat yang
ditimbulkan, dilakukan secara terorganisasi, dilakukan oleh korporasi, dilakukan
dengan menggunakan anak yang belum cukup umur, dan apabila ada
pengulangan (recidive) dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun.
2. Perlindungan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidan
Narkotika
Anak merupakan subjek hukum yang bersifat khusus, yang dimana hak-
hak nya dilindungi dan diatur di dalam peraturan perundang-undangan yang
khusus pula. Terkait dengan kasus anak yang melakukan tindak pidana narkotika,
didalam Undang-Undang tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak diatur mengenai perlindungan hukum
terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Maka dalam hal ini sanksi orang
dewasa dan anak pun berbeda.
Berkaitan dengan ketentuan sanksi pidana terhadap anak sebagai pelaku tindak
pidana narkotika, di dalam Pasal 71 UU SPPA terdapat ketentuan sanksi pidana
yang dapat dijatuhkan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, yaitu:
1. Pidana Pokok, berupa :
a. Pidana peringatan
b. Pidana dengan syarat :
- Pembinaan di luar lembaga
- Pelayanan masyarakat
- Pengawasan
c. Pelatihan kerja
d. Pembinaan dalam lembaga
e. Penjara
2. Pidana Tambahan, berupa :
a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana
b. Pemenuhan kewajiban adat.

16
Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, terdapat asas-asas yang perlu diperhatikan dalam hal
perlindungan hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, antara lain:
a. Perlindungan

b. Keadilan

c. Nondiskriminasi

d. Kepentingan yang terbaik bagi anak


e. Penghargaan terhadap pendapat anak

f. Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang

g. Pembinaan dan pembimbingan Anak

h. Proporsional

i. Perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir

j. Penghindaran pembalasan
Di dalam UU SPPA dikenal istilah diversi, yang merupakan pengalihan dari
proses penyelesaian perkara di peradilan ke proses penyelesaian di luar
pengadilan. Meninjau pada pasal 9 ayat (2) UU SPPA, disebutkan bahwa
pelaksanaan diversi dalam peradilan pidana anak harus selalu diupayakan,
mengingat di pasal tersebut menyatakan bahwa diversi tetap dapat diterapkan
pada tindak pidana tanpa korban, dimana tindak pidana narkotika merupakan
kejahatan tanpa korban (crime without victim), maka anak sebagai pelaku disini,
juga sekaligus menjadi korban. Terkait hal ini, diversi hanya dapat dilakukan oleh
penyidik bersama pelaku dan/atau keluarganya, pembimbing kemasyarakatan,
serta dapat melibatkan tokoh masyarakat untuk bersama-sama mencari
penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan
semula dan bukan pembalasan atau yang lebih dikenal dengan istilah
pendekatan restorative justice (keadilan restoratif). Kesepakatan diversi yang
tercantum dalam pasal 11 UU SPPA dapat berbentuk penyerahan kembali

17
kepada orang tua/wali, rehabilitasi medis dan psikososial, serta mengikuti
pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS (Lembaga
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial) paling lama 3 (tiga) bulan. Penyelesaian
di luar proses peradilan tersebut diharapkan mampu memberikan rasa keadilan
terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan dengan mengutamakan
kepentingan yang terbaik bagi anak.
Penjatuhan sanksi terhadap anak patut diperhatikan, mengingat anak
adalah subyek hukum yang bersifat sangat khusus yang berbeda dengan subyek
hukum orang dewasa pada umumnya yang membutuhkan perlakuan yang
khusus pula. Artinya, apabila penerapan sanksi pada orang yang sudah dewasa
dianggap tidak efektif sebagai sarana penanggulangan kejahatan oleh karena
berbagai dampak negatif yang ditimbulkannya, maka penerapan sanksi terhadap
anak justru akan menimbulkan dampak negatif yang jauh lebih luas.
Menurut Made Sadhi Astuti, penerapan sanksi khususnya pidana perampasan
kemerdekaan terhadap anak akan menimbulkan berbagai dampak yang negatif
sebagai berikut :
a. Anak menjadi lebih ahli tentang kejahatan
b. Anak diberi cap jahat oleh masyarakat yang disebut stigma
c. Masyarakat menolak kehadiran mantan narapidana anak
d. Masa depan anak menjadi suram.
Adapun dalam penerapan pidana penjara terhadap anak mempunyai pengaruh
yang negatif terhadap pembinaan anak di masyarakat, antara lain:
1. Dehumanisasi
Dehumanisasi merupakan proses pengasingan yang dilakukan oleh
masyarakat terhadap mantan narapidana (anak). Hal ini dapat terjadi dalam
berbagai bentuk, misalnya sikap sinis terhadap mantan narapidana anak, sikap
penolakan terhadap kehadiran mantan narapidana anak baik secara langsung
maupun secara tidak langsung, pengejekan, dan semua perilaku yang dapat
menempatkan anak dalam keterasingan baik secara psikis maupun sosial.
2. Stigmatisasi

18
Stigmatiasasi pada dasarnya merupakan pemberian label atau cap jahat kepada
mereka yang pernah mengalami penerapan pidana khususnya pidana
perampasan kemerdekaan.Penjatuhan pidana berupa pidana penjara terhadap
anak, bukanlah satu-satunya cara atau solusi yang dapat dilakukan jika ditujukan
sebagai upaya preventif atau pencegahan untuk memperbaiki anak agar menjadi
manusia yang lebih baik kedepannya dan tidak mengulangi lagi kejahatannya.

Masih ada cara lain seperti Rehabilitasi Sosial yang dilakukan di LPKS
(Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial) untuk anak, Instansi atau
lembaga yang menangani perlindungan anak atau lembaga kesejahteraan sosial
anak, dan di lingkungan keluarga/keluarga pengganti. Rehabilitasi sosial
merupakan proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun
sosial, agar anak dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan di
masyarakat. Rehabilitasi sosial jauh lebih bermanfaat bagi masa depan anak.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Amiruddin. 2006. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Penerbit Raja


Grafindo.
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad. 2010a. Dualisme Penelitian Hukum Normatif
& Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
JURNAL

Adam, S. (2012). Dampak Narkotika pada Psikologi dan Kesehatan Masyarakat.


Komunikasi Penyiaran Islam IAIN Sultan Amai Gorontalo, 1(1), 1–8.
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004

Adam, S. (2012). Dampak Narkotika pada Psikologi dan Kesehatan Masyarakat.


Komunikasi Penyiaran Islam IAIN Sultan Amai Gorontalo, 1(1), 1–8.
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004

BNN. (2019). Infografis Survei Prevalensi Penyalahgunaan Narkoba. In Pusat


Penelitian, Data, dan Informasi (PUSLITDATIN) Badan Narkotika Nasional
Republik Indonesia.

19
Hermana, A. (2017). Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pengguna Narkotika
Dihunbungkan Dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Jo. Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Jurnal Ilmiah Galuh
Justisi, 4(2), 241. https://doi.org/10.25157/jigj.v4i2.318

Imran, Fadhilah Mappaseleng, N., & Busthami, D. (2020). Penegakan Hukum


Terhadap Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Yang Dilakukan Oleh
Anak. Indonesia Journal of Criminal Law, 2(2), 93–104.

Nyoman, O. :, Yudha, K., Agung, A., & Utari, S. (2020). Perlindungan Hukum
Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika *. Kertha Wicara :
Journal Ilmu Hukum, 9(2), 1–15.

Santi, dkk. (2019). PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DI KABUPATEN


BULELENG Universitas Pendidikan Ganesha e-Journal Komunitas Yustisia.
2(1), 216–226.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem


Peradilan Pidana Anak

WEBSITE

Badan Nakotika Nasional RI. 2021. “Data Statistik Penanganan Kasus Narkotika”
. BNN RI. Retrieved Kamis 14 Oktober 2021
(https://puslitdatin.bnn.go.id/portfolio/data-statistik-kasus-narkoba/)

20

Anda mungkin juga menyukai