Anda di halaman 1dari 50

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUAN SEBAGAI

KORBAN TINDAK PIDANA KESUSILAAN


(Studi Kasus di Polres Blora)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh
Gelar SarjanaStrata Satu (S-1) Ilmu Hukum
Program Kekhususan Hukum Pidana

Diajukan oleh :

Bella Ariyani Kartika


30302000410

PROGRAM STUDI (S.1) ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG (UNISSULA)
SEMARANG
2023

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUAN SEBAGAI


KORBAN TINDAK PIDANA KESUSILAAN
(Studi Kasus di Polres Blora)

i
Diajukan oleh :

Bella Ariyani Kartika


30302000410

Pada Tanggal, ……………………..


Telah Disetujui oleh:
Dosen Pembimbing:

Dr. Ira Alia Maerani, SH, MH


NIDN: 06-0205-7803

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................i

HALAMAN PERSETUJUAN................................................................................ii

DAFTAR ISI..........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah.................................................................................1

B. Rumusan Masalah...........................................................................................6

C. Tujuan Penulisan............................................................................................6

ii
D. Kegunaan Penelitian.......................................................................................6

E. Terminologi....................................................................................................7

F. Metode Penelitian...........................................................................................9

G. Jadwal Penelitian..........................................................................................14

H. Sistematika Penulisan...................................................................................14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................16

A. Tinjauan Tentang Tindak Pidana..................................................................16

1. Pengertian Tindak Pidana........................................................................16

2. Unsur-unsur Tindak Pidana.....................................................................18

3. Jenis-Jenis Tindak Pidana........................................................................20

B. Tinjauan Tentang Perlindungan Hukum.......................................................24

1. Pengertian Perlindungan Hukum.............................................................24

2. Unsur-unsur Perlindungan hukum...........................................................27

C. Tinjauan Tentang Kepolisian........................................................................28

1. Pengertian Kepolisian..............................................................................28

2. Fungsi Kepolisian....................................................................................31

3. Tugas dan Wewenang Kepolisian............................................................33

D. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Kesusilaan...............................................35

1. Pengertian Asusila...................................................................................35

2. Tindak Pidana Kesusilaan........................................................................36

E. Tindak Pidana Kesusilaan Dalam Perspektif Islam......................................39

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................44

iii
iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah Negara hukum, hal ini secara tegas dituangkan dalam

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945. Sebaga

i Negara hukum tentunya segala perbuatan dalam kehidupan berbangsa dan berne

gara harus diatur dengan hukum. Hukum sebagai pranata sosial memiliki peranan

penting dalam masyarakat untuk menciptakan ketentraman, keadilan dan keamana

n juga mengatur segala perbuatan manusia yang dilarang maupun yang diperintah

kan.

Setiap masyarakat memiliki kepentingan yang berbeda. Dengan banyaknya

kepentingan yang berbeda diantara masyarakat, sehinggah diperlukan hukum untu

k mengatur perbedaan kepentingan tersebut. Hukum berisi tentang yang mana har

us dilakukan dan yang mana tidak boleh dilakukan yang bersifat memaksa, mengi

kat dan berisi saknsi yang tegas.1

Negara Indonesia adalah Negara hukum yang memiliki berbagai macam lem

baga penegak hukum salah satunya ialah Polri. Polri adalah lembaga negara yang

berperan dalam memelihara ketertiban, keamanan dan kenyamanan masyarakat, m

enegakkan hukum serta memberikan pengayoman, perlindungan dan pelayanan ke

pada semua masyarakat dalam rangka membrerikan rasa aman dalam hidup di neg

ara. Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional satu kesat

uan dalam melaksanakan peran sebagai pemelihara keamanan pemelihara ketertib

an masyarakat, pelaksanaan penegakan hukun serta memberikan perlindungandan

1
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 2009, hlm.1

1
pengayonan dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keam

an dalam negara.2

Kejahatan merupakan salah satu kenyataan sosial yang memerlukan penang

anan secara khusus, karena kejahatan selalu menimbulkan keresahan dan ketidak

nyamanan bagi anggota masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu akan selalu d

iusahakan berbagai macam cara untuk menanggulanginya. Kenyataannya sangat s

ulit untuk memberantas kejahatan sampai tuntas, karena kejahatan selalu berkemb

ang mengikuti perkembangan zaman. Kejahatan adalah suatu tindakan yang meny

impang yang dilakukan oleh seseorang ataun kelompok yang menimbulkan korba

n dan kerugian. Kerugian yang timbul itu bisa diderita oleh korban sendiri, maupu

n oleh pihak lain secara tidak langsung dan juga bisa berdampak kepada keluarga

korban tindak pidana tersebut.3

Kesetaraan gender merupakan salah satu hak kita sebagai manusia. Hak hid

up secara terhormat, bebas dari rasa ketakutan dan bebas menentukan pilihan hidu

p tidak hanya diperuntukkan bagi para laki-laki, pada hakikatnya perempuan pun

mempunyai hak yang sama. Sayangnya sampai saat ini, perempuan sering kali dia

nggap lemah dan hanya menjadi sosok pelengkap.4

Perempuan masih menanggung beban sebagai kelompok yang terpinggirkan,

seperti diskriminasi, pelecehan, eksploitasi, dan lain sebagainya. Lebih lanjut, kek

erasan terhadap perempuan melibatkan kekerasan berbasis gender yang akan bera

khir pada bahaya atau penderitaan fisik, seksual, atau psikologis bagi perempuan,

2
http://polreskarawangbagops.wordprees.com, diakses pada tanggal 5 April 2023 Pukul
13.00 WIB
3
J.E. Sahetepy, Viktimologi Sebuah Bunga Rampai, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1987,
hlm. 36
4
Suharsil, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dan Perempuan, Rajagrafindo Persada, D
epok, hlm. 101-102

2
termasuk ancaman, pemaksaan, dan perampasan kemerdekaan secara sewenang-w

enang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.5

Perlindungan yang abstrak pada dasarnya merupakan bentuk perlindungan y

ang hanya bisa dinikmati atau dirasakan secara emosional (psikis), seperti rasa pu

as (kepuasan). Sementara itu, perlindungan yang kongkret pada dasarnya merupak

an bentuk perlindungan yang dapat dinikmati secara nyata, seperti pemberian yan

g berupa atau bersifat materii maupun non materi. Pemberian yang bersifat materi

dapat berupa pemberian kompensasi atau restitusi, pembebeasan beaya hidup atau

pendidikan. Pemberian perlindungan yang bersifat nonmateri dapat berupa

pembebasan dari ancaman, dari pemberitaan yang merendahkan martabat

kemanusiaan.6

Perlindungan hukum terhadap kepentingan perempuan yang berperan demi

kepentingannya dimasyarakat, perlu dilakukan penyiapan berbagai peraturan

perundangundangan dan konsekuensi penegakannya, serta kegiatan sosialisasi

untuk penyadaran akan hak dan kewajibannya.7

Korban adalah mereka yang menderita jasmani dan rohani sebagai akibat da

ri tindakannya sendiri maupun tindakan dari pihak lain, yang ingin mencari

pemenuhan kepentingan diri sendiri atau pihak lain yang bertentangan dengan hak

asasi yang dirugikan.8 Dalam aturan hukum seringkali memfokuskan kepada

pelaku kejahatan untuk diberikan hukuman padahal dalam tindak kejahatan

tersebut masih ada korban yang acap kali terabaikan. seharusnya korban juga
5
Guamarawati, Suatu Kajian Kriminologis Mengenai Kekerasan terhadap Perempuan dala
m Relasi Pacaran Heteroseksual. Jurnal Kriminologi Indonesia, Volume 5 No.1, 2009, hlm. 43-55
6
Sri Endah Wahyuningsih, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak
Pidana Kesusilaan Dalam Hukum Pidana Positif Saat Ini, Jurnal Pembaharuan Hukum Unissula,
Vol. III No. 02, 2016, hlm. 108
7
Suharsil, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dan Perempuan, Rajagrafindo Persada, D
epok, 2016, hlm 113-114
8
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademi Prassindo, Jakarta, 1993, hlm, 36

3
patut untuk diperhatikan karena pada dasarnya korban merupakan pihak yang

dirugikan dalam suatu tindak pidana.

Faktor korban berperan penting untuk dapat mengatasi atau menyelesaikan

kasus perkosaanini, hal ini memerlukan keberanian darikorban untuk melaporkan

kejadian yang menimpanyakepada polisi, karena pada umumnyakorban

mengalami ancaman akan dilakukanperkosaan lagi dari pelaku dan hal

inimembuat korban takut dan trauma.9

Perlindungan saksi atau korban dalam tindak pidana kesusilaan adalah

perlindungan korban tindak pidana dapat diartikan sebagai perlindungan untuk

memperoleh jaminan hukum atas penderitaan atau kerugian pihak yang telah

menjadi korban tindak pidana.10 Segala macam sesuatu yang dapat meringankan

beban penderitaan yang dialami seseorang akibat menjadi korban tindak pidana

itulah yang dimaksut sebagai perlindungan korban.Upaya yang harus dilakukan

untuk meringankan beban penderitaan korban dapat dilakukan dengan cara

menggurangi penderitaan fisik dan mental yang dialami oleh korban. Tetapi

kenyataannya yang terjadi di masyarakat berbanding terbalik dengan tujuan

negara Indonesia.

Ada berbagai macam tindak kejahatan yang dilakukan oleh seseorang

maupun suatu kelompok. Salah satu tindak kejahatan yang sering kali meresahkan

dan merusak generasi muda bangsa ialah tindak kejahatan kesusilaan. Sehubungan

dengan hal tersebut sebagai manusia normal, Nafsu untuk melakukan hubungan

seksual dengan lawan jenis itumerupakan sifat amali yang dimiliki oleh manusia

9
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Band
ung 2002, hlm. 1-2.
10
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Keja
hatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 56

4
dan harus dilakukan secara benar dan sesuai dengan norma-norma yang berlaku.

Tetapi pada kenyataannya ada beberapa orang yang menyalurkan sifat alami

tersebut secara menyimpang yang bisa menimbulkan penderitaan fisik dan psikis

bagi korban. Dan yang sangat disayangkankorban dari tindak kejahatan tersebut

ialah seorang anak-anak yang tak berdosa dan tidak tahu apa-apa. Anak-anak yang

seharusnya di jaga, di lindungi, di bina dan di sayangi malah dijadikan objek

perbuatan-perbuatan tidak terpuji oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Latar belakang terjadinya tindak kejahatan kesusilaan terhadap perempuan

ialah kurangnya pendidikan seks dan kurangnya moralitas dari para oknum

sehingga melakukan hal yang melanggar norma kesusilaan dan norma kesopanan,

kurangnya pendidikan dari para oknum inilah yang merupakan penyebab adanya

prilaku melecehkan secara seksual serta kurangnya pengawasan orang tua dan

dapat pula terjadi karena adanya kelaiana seks (homo) yang diderita oleh pelaku

tindak kejahatan tersebut, tak kadang terjadi pada saat ini pelaku tindak kejahatan

kesusilaan itu ialah orang tua si korban itu sendiri. Padahal orang tua khususnya

ayah seharusnya menjaga dan melindungi anak perempuan dari tindak kejahatan

sosial maupun tindak kejahatan kesusilaan.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk men

gadakan penelitian dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Seb

agai Korban Tindak Pidana Kesusilaan (Studi Kasus di Polres Blora)”

B. Rumusan Masalah

5
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam

skripsi adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah peran Kepolisian dalam memberikan perlindungan hukum

terhadap perempuan korban tindak pidana kesusilaan?

2. Bagaimana kendala dan solusi Kepolisian dalam memberikan perlindungan

hukum terhadap perempuan korban tindak pidana kesusilaan?

C. Tujuan Penulisan

Dari rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian adalah :

1. Untuk mengetahui peran peran Kepolisian dalam memberikan perlindungan

hukum terhadap perempuan korban tindak pidana kesusilaan.

2. Untuk mengetahui kendala dan solusi Kepolisian dalam memberikan

perlindungan hukum terhadap perempuan korban tindak pidana kesusilaan.

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian yang diharapkan adalah sebagai :

1. Kegunaan Teoritis

a. Memberikan tambahan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum, khus

usnya di bidang hukum pidana terkait dengan perlindungan hukum

terhadap perempuan korban tindak pidana kesusilaan.

b. Untuk memenuhi tugas penulisan hukum sebagai syarat menyelesaikan st

udi di Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung.

2. Kegunaan Praktis

a. Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi

masyarakat agar mengetahui perlindungan hukum terhadap perempuan

6
korban tindak pidana kesusilaan.

b. Bagi Pemerintah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi

pemerintah agar terdapat regulasi yang baik, dan dapat melindungi serta

mengingatkan masyarakat akan perlindungan hukum terhadap

perempuan korban tindak pidana kesusilaan.

E. Terminologi

Terminologi yang digunakan dalam penulisan skripsi ini akan diuraikan

sebagai berikut :

1. Perlindungan Hukum

Harjono mengemukakan bahwa perlindungan hukum dalam Bahasa Ing

gris disebut legal protection, sedangkan dalam Bahasa Belanda disebut rechts

becherming. Harjono memberikan pengertian bahwa perlindungan hukum seb

agai perlindungan dengan menggunakan sarana hukum atau perlindungan yan

g diberikan oleh hukum untuk kemudian ditujukan kepada perlindungan terha

dap kepentingan-kepentingan tertentu, yaitu dengan menjadikan kepentingan-

kepentingan yang perlu untuk dilindungi tersebut dalam sebuah hak hukum.11

2. Perempuan

Kamus Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa perempuan berarti jenis

kelamin yakni orang atau manusia yang memiliki rahim, mengalami

menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui.12

3. Korban

11
Harjono, Konstitusi sebagai Rumah Bangsa, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2008, hlm. 357
12
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa, Balai Pustaka, Jakarta, 2010,
hlm.856

7
korban (victims) adalah orang-orang yang baik secara individual

maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau

mental, emosional, ekonomi, atau gangguan substansial terhadap hak-haknya

yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum

pidana di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.13

4. Tindak Pidana

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tindak pidana dik

enal dengan istilah Strafbaarfeit. Tindak pidana ini merupakan istilah yang m

engandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dib

entuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa huku

m pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-p

eristiwa yang konkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana

haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk

dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan

masyarakat.14

5. Tindak Pidana Kesusilaan

Tindak pidana kesusilaan adalah tindak pidana yang berhubungan

dengan masalah kesusilaan. Definisi singkat dan sederhana ini apabila dikaji

lebih lanjut untuk mengetahui seberapa ruang lingkupnya ternyata tidak

mudah karena pengertian dan batas-batasnya kesusilaan itu cukup luas dan

dapat berbeda beda menurut pandangan dan nilai-nilai yang berlaku

dimasyarakat tertentu

13
Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Unive
rsitas Diponegoro, Semarang, 1997, hlm. 108
14
Amir Ilyas, Asas-asas Hukum Pidana Memahami Tindak Pidana dan Pertanggungjawab
an Pidana sebagai Syarat Pemidanaan, Rangkang Education Yogyakarta & PuKAP Indonesia, Yo
gyakarta, 2012, hlm.18.

8
Kesusilaan disini pada umumnya diartikan sebagai rasa kesusilaan yang

berkaitan dengan nafsu seksual, karena yurisprudensi memberikan pengertian

melanggar kesusilaan sebagai perbuatan yang melanggar rasa malu seksual.

Hal ini tidak pernah dibantah oleh para sarjana. Simon misalnya mengatakan

bahwa kriterium eer boarheid (kesusilaan) menuntut bahwa isi dan

pertunjukan mengenai kehidupan seksual dan oleh sifatnya yang tidak

senonoh dapat menyinggung rasa malu atau kesusilaan orang lain.15

F. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah langkah yang dimiliki dan dilakukan oleh peneliti d

alam rangka untuk mengumpulkan informasi atau data serta melakukan investigas

i pada data yang telah didapatkan tersebut. Metode penelitian memberikan gambar

an rancangan penelitian yang meliputi antara lain: prosedur dan langkah-langkah

yang harus ditempuh, waktu penelitian, sumber data, dan dengan langkah apa dat

a-data tersebut dipergunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang penulis gunakan pada penelitian ini adalah pendekatan

Yuridis Sosiologi. Pendekatan Yuridis Sosiologis adalah menekankan peneliti

an yang bertujuan memperoleh pengetahuan hukum secara empiris dengan jal

an terjun langsung ke objeknya.16 Penelitian Yuridis Sosiologis adalah penelit

ian hukum menggunakan data sekunder sebagai data awalnya, yang kemudian

dilanjutkan dengan data primer di lapangan atau terhadap masyarakat. Penggu

naan metode pendekatan yuridis sosiologis dalam penelitian hukum ini diseba

15
Leden Marpaung, Kejahatan terhadap kesusilaan dan masalah prevensinya, Sinar Grafik
a, Jakarta, 2004, hlm. 2
16
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 2
005, hlm. 51

9
bkan karena permasalahan yang diteliti erat kaitannya dengan faktor yuridis d

an sosiologis. Objek masalah yang diteliti disini tidak hanya menyangkut per

masalahan yang berdasarkan pasal yang ada, melainkan masalah yang diteliti

juga berkaitan dengan faktor sosiologis.

2. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini menggunakan deskriptif analisis, yang berarti untuk mengga

mbarkan gejala atau peristiwa yang terjadi dalam masyarakat dengan tepat da

n tentunya jelas. Dalam buku yang ditulis oleh Soerjono Soekanto yaitu menj

elaskan,17 bahwa penelitian deskriptif adalah untuk memberikan data yang set

eliti mungkin dengan manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Kemudian

mampu memberikan data yang lengkap mengenai permasalahan yang terjadi,

yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku serta teori

yang relevan dengan perundang-undangan dan permasalahan yang terjadi sec

ara nyata kemudian dikumpulkan melalui data-data yang diperoleh, diolah, se

rta disusun secara teori yang ada untuk mendapatkan pemecahan masalah ses

uai ketentuan yang telah berlaku.

3. Sumber Data

Sumber data dari penelitian ini terbagi menjadi dua hal,yaitu meliputi data

yang bersifat primer dan sekunder yang dijelaskan sebagai berikut :

a. Data Primer

Data primer adalah data yang dikumpulkan atau diperoleh langsung di

lapangan oleh orang yang melakukan penelitian atau yang bersangkutan. D


17
Ibid

10
ata primer ini disebut juga data asli atau baru. Untuk penelitian ini data pri

mer berupa data hasil dari wawancara dengan informan. Jadi dalam wawan

cara ini terdapat beberapa pertanyaan-pertanyaan yang telah dipersiapkan t

erlebih dahulu sebagai pedoman untuk memudahkan diperolehnya data sec

ara mendalam.

b. Data Sekunder

Data Sekunder adalah data yang diperlukan untuk melengkapi data pri

mer yang diperlukan melalui studi pustaka. Data sekunder meliputi teori-te

ori, buku-buku, literatur, peraturan perundang-undangan yang berlaku.

1) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang utama artinya

mempunyai otoritas yang diutamakan. Bahan-bahan hukum primer terdi

ri dari :

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

b) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan tentang

Hukum Pidana

c) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidan

d) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia.

e) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Un

dang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi d

an Korban

2) Bahan hukum sekunder

11
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang mendukung dan

memperkuat bahan hukum primer memberikan penjelasan mengenai ba

han hukum primer yang ada sehingga dapat dilakukan dan pemahaman

yang lebih mendalam, serta adanya penguatan atas dasar hukum mengh

asilkan analisa hukum yang baik. Biasanya bahan hukum sekunder ini b

erbentuk literatur buku-buku, jurnal-jurnal, artikel, makalah, tulisan-tuli

san dan karya ilmiah.

3) Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang merupakan pelengka

p yang sifatnya memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hu

kum primer dan sekunder. Bahan hukum tersier ini biasanya berbentuk

kamus hukum, kamus bahasa Indonesia, kamus bahasa inggris dan ensi

klopedia.

4. Alat Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini yang berhu

bungan dengan permasalahan yang dibahas, maka penelitian menggunakan al

at pengumpulan data sebagai berikut:

a. Studi Kepustakaan

Sumber data yang diperoleh kepustakaan dengan membaca dan m

engkaji kepustakaan untuk memperoleh informasi baik dalam bentuk-

bentuk ketentuan meliputi dokumen, dan bukti yang telah diarsipkan s

ehubungan dengan masalah yang akan diteliti.

b. Studi Lapangan

12
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan wawancara beb

as terpimpin yaitu dengan mempersiapkan terlebih dahulu pertanyaan-

pertanyaan sebagai pedoman tetapi masih dimungkinkan adanya varia

si-variasi pertanyaan yang disesuaikan dengan situasi ketika wawanca

ra, yaitu dengan mengajukan pertanyaan kepada responden pihak Kep

olisian Resor Blora.

5. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Kepolisian Resor Blora yang beralamat

di Jl. Nasional Blora - Cepu, Nglobener, Jepon, Kec. Blora, Kabupaten Blora,

Jawa Tengah, 58261

6. Analisis Data

Dalam melakukan analisis data digunakan metode analisis kualitatif, yait

u suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis. Data d

eskriptif analisis adalah data yang terkumpul tidak menggunakan angka-angk

a dan pengukuran, sehingga apa yang dinyatakan responden secara tertulis ata

u lisan dan yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.18

Dari hasil penelitian terhadap data yang diperoleh, maka dilakukan pengo

lahan data dengan teknik editing, yaitu meneliti, mencocokan data yang didap

at, serta merapikan data tersebut. Selain itu digunakan juga teknik coding, yai

tu meringkas data hasil wawancara dengan responden atau pihak-pihak yang t

erkait penelitian ini dengan cara mengelompokan dalam kategori tertentu yan

g sudah ditetapkan.19

G. Jadwal Penelitian
18
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 200
3, hlm. 70.
19
Ibid, hlm.70

13
no bentuk April Mei Juni Juli
kegiatan 2023 2023 2023 2023
1 Persiapan
2 Penyusunan
proposal
3 Riset

4 Penyusunan
skripsi

5 Ujian skripsi

6 Revisi dan
Penggandaan

H. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini agar mempermudah dan memperjelas pembahasan, penu

lis akan menyusun secara sistematis sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang Latar Belakang Masalah, Rumusan M

asalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Terminologi, Meto

de Penelitian, Sistematika Penulisan, Jadwal Penelitian dan Daftar

Pustaka.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka ini berisi landasan teoritis hasil studi kepu

stakaan yang mengacu pada pokok-pokok permasalahan yang telah

diuraikan pada bab I, dalam bab II ini berisikan teori-teori yang ber

kaitan dengan masalah yang akan diteliti, yaitu tinjauan tentang

tindak pidana, tinjauan tentang perlindungan hukum, tinjauan

14
tentang kepolisian, tinjauan tentang tindak pidana kesusilaan serta

tindak pidana kesusilaan dalam perspektif Islam.

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini akan diuraikan mengenai hasil-hasil penelitian

mengenai peran Kepolisian dalam memberikan perlindungan huku

m terhadap perempuan korban tindak pidana kesusilaan dan kendal

a dan solusi Kepolisian dalam memberikan perlindungan hukum ter

hadap perempuan korban tindak pidana kesusilaan.

BAB IV PENUTUP

Bab ini berisi mengenai kesimpulan dari hasil penelitian da

n pembahasan serta saran masukan bagi para pihak dalam proses pe

mbahasan

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tindak pidana dikenal

dengan istilah Strafbaarfeit. Tindak pidana ini merupakan istilah yang

mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang

dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa

hukum pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari

15
peristiwa-peristiwa yang konkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga

tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan

dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari

dalam kehidupan masyarakat.

Delik dalam bahasa Belanda disebut Strafbaarfeit, yang terdiri atas 3

(tiga) kata yaitu straf, baar, dan feit. Dimana ketiganya memiliki arti yaitu:

1) Straf diartikan sebagai pidana dan hukum;

2) Baar diartikan sebagai dapat dan boleh;

3) Feit diartikan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.

Jadi istilah Strafbaarfeit yaitu peristiwa yang dapat dipidana atau

perbuatan yang dapat dipidana sedangkan delik dalam bahasa asing disebut

dengan delict yang artinya suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan

hukuman.20

Menurut Moeljatno berpendapat bahwa pengertian tindak pidana yang

menurut beliau yang diistilahkan sebagai perbuatan pidana adalah:

“Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana


disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang
siapa melanggar larangan tersebut.”21

Berdasarkan pendapat diatas penulis dapat menyimpulkan bahwasannya

tindak pidana itu adalah perbuatan pidana atau tindak pidana yang merupakan

suatu perbuatan yang tidak sesuai atau bisa dikatakan dengan perbuatan yang

melawan hukum yang disertai dengan sanksi pidana dimana aturan tersebut

ditunjukkan kepada perbuatannya sedangkan dengan ancamannya atau sanksi

20
Amir Ilyas, Asas-asas Hukum Pidana Memahami Tindak Pidana dan Pertanggungjawab
an Pidana sebagai Syarat Pemidanaan, Rangkang Education Yogyakarta & PuKAP Indonesia, Yo
gyakarta, 2012, hlm. 18.
21
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Raja Gravindo Persada, Jakarta, 20
10, hlm. 71.

16
pidananya ditunjukan kepada orang yang melakukan atau orang yang

menimbulkan terjadinya kejadian tersebut, maka bagi setiap orang yang

melanggar aturan-aturan hukum yang berlaku, dapat dikatakan bahwasannya

orang tersebut sebagai pelaku perbuatan pidana atau pelaku tindak pidana.

Demikian juga antara larangan dan ancaman sangat erat hubungannya dimana

adanya kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian merupakan dua hal

yang konkret.

R. Tresna menarik definisi mengenai peristiwa pidana yang menyatakan

bahwa:

“Peristiwa pidana itu merupakan suatu perbuatan atau rangkaian


perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undang atau
peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana
diadakan tindak penghukuman.”22

Dapat dilihat bahwasannya rumusan itu tidak memasukkan unsur/ anasir

yang berkaitan dengan pelakunya. Selanjutnya, beliau hanya menyatakan

bahwa dalam peristiwa pidana tersebut hanya mempunyai syarat-syarat yaitu:

a) Harus ada suatu perbuatan manusia;

b) Perbuatan itu sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam ketentuan

hukum;

c) Harus terbukti adanya “dosa” pada orang berbuat, yaitu orangnya

harus dapat dipertanggungjawabkan;

d) Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum;

e) Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukumannya dalam

undang-undang.23

22
Ibid, hlm. 72
23
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Raja Gravindo Persada, Jakarta, 20
10, hlm. 71.

17
Dengan melihat pada syarat-syarat peristiwa pidana itu yang dikatakan

beliau, terdapat syarat yang telah mengenai diri si pelaku, seperti halnya pada

syarat ketiga. Sudah jelas bahwasannya syarat tersebut dapat dihubungkan

dengan adanya orang yang berbuat pelanggaran/ peristiwa pidana berupa

syarat untuk dipidananya bagi orang yang melakukan perbuatan yang

melanggar hukum. Demikian juga dapat saya simpulkan bahwasannya tindak

pidana ini merupakan perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum dimana jika

di langgar akan dikenakan sanksi yang berupa pidana sesuai dengan aturan

perundang-undangan yang berlaku.

2. Unsur-unsur Tindak Pidana

Seseorang dapat dijatuhi pidana jika orang itu telah memenuhi unsur-

unsur tindak pidana sesuai dengan yang dirumuskan dalam KUHP, karena

pada umumnya pasal-pasal yang ada di dalam KUHP terdiri dari unsur-unsur

tindak pidana.

Lamintang, menjelaskan tentang unsur-unsur tindak pidana yaitu:24

a. Unsur-unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si

pelaku atau yang berhubungan langsung dengan diri si pelaku, dan

termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam

hatinya.

b. Unsur-unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan

keadaan-keadaan, maksudnya yaitu keadaan-keadaan dimana tindakan

tersebut dilakukan oleh si pelaku.

24
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Band
ung, 1997, hlm. 193.

18
Sedangkan unsur-unsur tindak pidana menurut golongan yang

mempunyai pandangan dualistis yaitu:25

a. Vos Menurut Vos “strafbaarfeit” unsur-unsur tindak pidana yaitu:

1) Kelakuan manusia;

2) Diancam pidana sesuai dengan aturan undang-undang.

b. Pompe Tindak pidana ada beberapa unsur yaitu:

1) Perbuatan manusia yang bersifat melawan hukum;

2) Dilakukan dengan kesalahan.

c. Moeljatno Untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsurnya

yaitu:

1) Perbuatan yang dilakukan manusia;

2) Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil);

3) Bersifat melawan hukum (syarat materiil).

Menurut Soedarto, dengan adanya suatu pemidanaan terhadap seseorang

terlebih dahulu harus memenuhi syarat-syarat pemidanaan yaitu sebagai

berikut:26

a) Adanya perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang;

b) Perbuatan yang bersifat melawan hukum (tidak ada alasan

pembenar);

c) Pelaku atau orang yang harus ada unsur kesalahannya;

d) Orang yang tidak bertanggungjawab;

e) Dolus atau culpa (tidak ada alasan pemaaf).

25
Soedarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto (Fakultas Hukum Universitas Diponegoro),
Semarang, 1990. hlm. 42-43.
26
Ibid, hlm. 50

19
Dengan demikian juga dapat saya simpulkan apabila seseorang dapat

dipidana harus memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan KUHP

atau Undang-undang yang berlaku di Indonesia, jika unsur-unsur tindak

pidana tersebut tidak terpenuhi maka seseorang tersebut tidak akan dijatuhkan

pidana atau dinyatakan bebas dari hukuman, karena dianggap tidak

melakukan kejahatan/ merugikan orang lain.

3. Jenis-Jenis Tindak Pidana

Dalam membahas hukum pidana, nantinya akan ditemukan beragam

tindak pidana yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam KUHP

telah mengklasifikasikan tindak pidana atau delik ke dalam dua kelompok

besar yaitu, dalam Buku Kedua dan Ketiga yang masing-masing menjadi

kelompok kejahatan dan pelanggaran. Tindak pidana dapat dibedakan atas

dasar-dasar tertentu, yaitu sebagai berikut:27

a. Kejahatan (Misdrijft) dan Pelanggaran (Overtreding)

Alasan pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran adalah jenis

pelanggaran lebih ringan dari pada kejahatan. Hal ini dapat diketahui dari

ancaman pidana pada pelanggaran tidak ada yang diancam dengan pidana

penjara, tetapi berupa pidana kurungan dan denda, sedangkan kejahatan

lebih didominasi dengan ancaman pidana penjara.

Dalam Wetboek van Srafrecht (W.v.S) Belanda, terdapat pembagian

tindak pidana antara kejahatan dan pelanggaran. Untuk yang pertama

biasa disebut dengan rechtdelicten dan untuk yang kedua disebut dengan

wetsdelicten. Disebut dengan rechtdelicten atau tindak pidana hukum

27
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana dan Pengertian Das
ar dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983 hlm 75

20
yang artinya yaitu sifat tercelanya itu tidak semata-mata pada dimuatnya

dalam undang-undang melainkan dasarnya telah melekat sifat terlarang

sebelum memuatnya dalam rumusan tindak pidana dalam undang-

undang. Walaupun sebelum dimuat dalam undang-undang ada kejahatan

mengandung sifat tercela (melawan hukum), yakni pada masyarakat, jadi

melawan hukum materiil, sebaliknya wetsdelicten sifat tercelanya itu

suatu perbuatan itu terletak pada setelah dimuatnya sebagai demikian

dalam undang-undang. Sumber tercelanya wetsdelicten adalah undang-

undang.

b. Delik formil dan Delik materiil.

Pada umumnya rumusan delik didalam KUHP merupakan rumusan

yang selesai, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh pelakunya. Delik

formil adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga

memberikan arti bahwa inti larangan yang dirumuskan adalah melakukan

suatu perbuatan tertentu. Perumusan tindak pidana formil tidak

membutuhkan dan memperhatikan timbulnya suatu akibat tertentu dari

perbuatan yang sebagai syarat penyelesaian tindak pidana, melainkan

semata-mata pada perbuatannya. Misalnya pada pencurian (Pasal 362

KUHP) untuk selesainya pencurian bergantung pada selesainya

perbuatan.

Sebaliknya, tindak pidana materiil inti larangan adalah pada

timbulnya akibat yang dilarang. Oleh karena itu, siapa yang

menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang di pertanggung jawabkan

dan dipidana.

21
c. Delik Kesengajaan (Dolus) dan delik Kelalaian (Culpa).

Tindak pidana Kesengajaan adalah tindak pidana yang dalam

rumusannya dilakukan dengan kesengajaan atau mengandung unsur

kesengajaan. Di samping tindak pidana yang tegas unsur kesengajaan itu

dicantumkan dalam Pasal, misalnya Pasal 362 KUHP (maksud), Pasal

338 KUHP (sengaja), Pasal 480 KUHP (yang diketahui). Sedangkan

tindak pidana kelalaian adalah tindak pidana yang dalam rumusannya

mengandung unsur culpa (lalai), kurang hati-hati dan bukan karena

kesengajaan. Tindak pidana yang mengandung unsur culpa ini, misalnya;

Pasal 114, Pasal 359, Pasal 360 KUHP.

d. Tindak Pidana Aktif (delik commisionis) dan Tindak Pidana Pasif.

Tindak pidana aktif adalah tindak pidana yang perbuatannya berupa

perbuatan aktif (positif). Perbuatan aktif adalah perbuatan yang untuk

mewujudkannya disyaratkan adanya gerakan dari anggota tubuh orang

yang berbuat.

e. Tindak Pidana Terjadi Seketika (Aflopende Delicten) dan Tindak Pidana

Berlangsung Terus (Voortdurende Delicten)

Tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk

terwujudnya atau terjadinya dalam waktu seketika atau waktu singkat

saja disebut juga aflopende delicten. Misalnya jika perbuatan itu selesai

tindak pidana itu menjadi selesai secara sempurna. Sebaliknya tindak

pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga terjadinya tindak

pidana itu berlangsung lama, yakni setelah perbuatan itu dilakukan,

22
tindak pidana itu berlangsung terus yang disebut juga dengan

voordurende delicten.

f. Tindak Pidana Khusus dan Tindak Pidana Umum.

Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat

dalam KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana materiil (Buku II dan III

KUHP). Sementara tindak pidana khusus adalah semua tindak pidana

yang terdapat di luar kodifikasi tersebut.

g. Delik sederhana dan delik yang ada pemberatannya/peringannya

(Envoudige dan Gequalificeerde/Geprevisilierde Delicten).

Delik yang ada pemberatannya, misalnya: penganiayaan yang

menyebabkan luka berat atau matinya orang (Pasal 351 ayat 2, 3 KUHP),

pencurian pada waktu malam hari tersebut (Pasal 363KUHP). Ada delik

yang ancaman pidananya diperingan karena dilakukan dalam keadaan

tertentu, misalnya : pembunuhan terhadap anak (Pasal 341 KUHP). Delik

ini disebut “geprivelegeerd delict”. Delik sederhana; misal :

penganiayaan (Pasal 351 KUHP), pencurian (Pasal 362 KUHP).

h. Tindak Pidana Biasa dan Tindak Pidana Aduan.

Tindak pidana biasa yang dimaksudkan ini adalah tindak pidana

yang untuk dilakukannya penuntutan pidana terhadap pembuatnya tidak

disyaratkan adanya pengaduan bagi yang berhak. Sebagian besar tindak

pidana adalah tindak pidana biasa yang dimaksudkan ini.

Tindak pidana aduan adalah tindak pidana yang untuk dapatnya

dilakukan penuntutan pidana disyaratkan untuk terlebih dulu adanya

pengaduan oleh yang berhak mengajukan pengaduan, yakni korban atau

23
wakilnya dalam perkara perdata (Pasal72) atau keluarga tertentu dalam

hal tertentu (Pasal 73) atau orang yang diberi kuasa khusus untuk

pengaduan oleh yang berhak.

B. Tinjauan Tentang Perlindungan Hukum

1. Pengertian Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak

asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut kepada

masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan

oleh hukum atau dengan kata lain perlindungan hukum untuk memberikan

rasa aman,baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai

ancaman dari pihak manapun.28

Perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat,

serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subjek

hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kewenangan atau sebagai

kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal dari

hal yang lainnya. Berkaitan dengan konsumen, berarti hukum memberikan

perlindungan terhadap hak-hak pelanggan dari sesuatu yang mengakibatkan

tidak terpenuhinya hak-hak tersebut.29

Berlakunya seorang manusia sebagai pembawa hak (subjek hukum)

dimulai saat berada dalam kandungan ibunya dan berakhir pada saat is

menunggal dunia, hal ini berlangsung selama dia hidup. Setiap anak

Indonesia adalah aset bangsa yang sangat berharga, generasi penerus dan

sumber daya manusia Indonesia yang bakal menjadi penentu masa depan
28
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 74
29
Philipus M. Hadjon, Perlindungan hukum bagi rakyat di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya,
. 1987, hlm. 25

24
bangsa dan Negara. Negara berkewajiban menciptakan rasa aman dan

memberikan perlindungan hukum kepada setiap anak Indonesia agar mereka

tumbuh serta berkembang secara wajar dan berperan serta dalam

pembangunan.

Tujuan perlindungan hukum itu sendiri untuk menjamin terpenuhinya

hak-hak anak agar dapat hidup, berkembang dan partisipasi secara optimal

sesuai dengan harkat martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan

dan kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang

berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.

Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia, agar

kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan secara

professional. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung normal, damai dan

tertib. Hukum yang telah dilanggar harus ditegakkan melalui penegakkan

hukum. Penegakan hukum menghendaki kepastian hukum, kepastian hukum

merupakan perlindungan yustisiable terhadap tindakan sewenang-wenang.

Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum karena dengan adanya

kepastian hukum masyarakat akan tertib, aman dan damai. Masyarakat

mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan penegakan hukum. Hukum

untuk manusia, maka pelaksanaan hukum harus memberi manfaat,

kegunaan bagi masyarakat. Masyarakat yang dapat melakukan dengan baik

dan benar makan akan mewujudkan keadaan yang tentram.

Peran pemerintah dan pengadilan dalam menjaga kepastian hukum

sangatlah penting. Pemerintah tidak boleh menerbitkan aturan pelaksanaan

yang tidak diatur oleh undang-undang atau bertentangan dengan undang-

25
undang. Apabilah hal itu terjadi, pengadilan harus menyatakan bahwa

peraturan demikian batal demi hukum, artinya dianggap tidak pernah ada

sehingga akibat yang terjadi karena adanya peraturan itu harus dipulihkan

seperti sediakala. Akan tetapi, apabila pemerintah tetap tidak mau mencabut

aturan yang telah dinyatakan, hal itu akan berubah menjadi masalah politik

antara pemerintah dan pembentuk undang-undang. Yang lebih parah,

apabila lembaga perwakilan rakyat sebagai pembentuk undang-undang tidak

mempersoalkan keengganan pemerintah mencabut aturan yang dinyatakan

batal oleh pengadilan tersebut.30

Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa perlindungan

hukum adalah segala bentuk upaya pengayoman terhadap harkat dan

martabat manusia serta pengakuan terhadap hak asasi manusia di bidang

hukum. Prinsip perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia bersumber pada

Pancasila dan konsep Negara Hukun, kedua sumber tersebut mengutamakan

pengakuan serta penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia.

Sarana perlindungan hukum ada dua bentuk, yaitu sarana perlindungan

hukum preventif dan represif.

2. Unsur-unsur Perlindungan hukum

a. Adanya Perlindungan

Pemerintah pada Warganya Pemerintah berkewajiban untuk member

ikan perlindungan hukum kepada warga negaranya. Contohnya adalah de

ngan menerapkan sistem peradilan yang jujur dan adil.

b. Adanya Jaminan

30
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 159-160

26
Adanya jaminan bagi pihak yang terlibat dalam perkara hukum sang

atlah penting. Jaminan yang dimaksud berkaitan dengan kasus hukum ya

ng sedang dijalani oleh tiap warga negaranya, misalnya seperti penyediaa

n pengacara, sehingga tiap orang yang terlibat dalam perkara hukum mer

asa aman dan terlindungi.

c. Adanya Kepastian Hukum

Maksudnya adalah suatu kasus hukum tidak dibuat berlarut-larut dan

tidak jelas status dari pihak yang terlibat. Kepastian hukum ini penting se

hingga setiap orang tidak terjebak dalam status hukum yang tidak pasti.

d. Adanya Sanksi Bagi Pelanggar Hukum

Pemberian sanksi bagi para pelanggar hukum juga termasuk salah sat

u upaya untuk memberikan perlindungan hukum. Setiap orang tidak bisa

seenaknya membuat pelanggaran hukum, baik hukum pidana atau perdat

a. Orang jadi akan berpikir untuk membuat tindakan pelanggaran hukum

sehingga mendapat memberi perlindungan bagi masyarakat luas.

e. Adanya Hak-Hak Warga Negara

Selama proses hukum, warga negara berhak mendapat hak-haknya m

ulai dari proses penyelidikan, peradilan, sampai akhir putusan hakim. Hal

ini meliputi hak mendapat pengacara, hak diperlakukan sama di mata huk

um, hak mendapat proses pengadilan yang jujur dan adil, hak mengajuka

n banding, dan sebagainya.31

C. Tinjauan Tentang Kepolisian

31
https://www.seluncur.id/unsur-unsur-perlindungan-hukum/) diakses pada tanggal 1 Dese
mber 2022 18.20 WIB

27
1. Pengertian Kepolisian

Kepolisian memiliki berbagai macam peranan dan kewajiban yang pentin

g dalam menciptakan ketentraman dan keamanan bagi kehidupan bermasyark

at. Dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 “Kepolisian

adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesu

ai dengan peraturan perundang-undangan.” Dalam hal ini polisi merupakan le

mbaga yang mengayomi masyarkat dari berbagai persoalan kondisi sosial yan

g ada dalam lingkup negara. Peranan Kepolisian juga dapat disebut sebagai su

atu aspek kedudukan yang menjadi sebagai pelindung serta mengayomi masy

arakat. Menurut pasal 5 ayat (1) UndangUndang Nomor 2 tahun 2002 tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menjelaskan bahwa “Kepolisian

Negara Republik Indonesia (Polri) dikata sebagai alat negara yang berperan d

alam memelihara keamanan, menegakkan hukum, ketertiban masyarakat, sert

a memberikan perlindungan, pengayomanan, dan pelayanan pada masyarakat

dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.”

Pada penjelasan pasal diatas Kepolisian memiliki peranan penting dalam

hal menegakkan ketertiban beserta keamanan pada masyarakat dengan melak

ukan tindakan pengayoman, pelayanan serta perlindungan masyarakat dengan

baik karena menurut Dwi Indah Widodo menjelaskan bahwa “Kepolisian seca

ra umum mempunyai tugas serta berperan melindungi keamanan serta kedisip

linan cocok dengan kedisiplinan masyarkat dengan syarat hukum yang ada gu

na menciptakan kepastian hukum serta keadilan. Peranan Kepolisian Negeri

Republik Indonesia sudah ditetapkan pada sebagian syarat peratur perUndan

28
g-undangan.”32 Karena dengan begitu identitas polisi sebagai penegak hukum

yang memang seharunya menjadi contoh yang baik di hadapan masyarakat. S

ebab dengan begitu polisi yang memberikan pengabdian, perlindungan, pener

ang masyarakat akan mewujudkan warga yang adil serta makmur dan jiwa ya

ng besar dalam mengayomi masyarakat, karena apabila polisi yang memiliki

hati nurai yang baik, tenang serta tidak tergoyah dalam suasana dan keadaan d

alam menerima ketentuan.33

Selanjutnya sebagai aparat Pemerintahan, “polisi merupakan organisasi y

ang terletak dalam ruang lingkup pemerintahan artinya organisasi polisi meru

pakan suatu badan dari pemerintah. Secara universal unit Kepolisian merupak

an sesuatu alat maupun tubuh yang melakukan tugastugas selaku kepolisian s

upaya perlengkapan tersebut bisa terkoodinir, dan bisa menggapai sasaran ya

ng di idamkan hingga dengan membagikan pembagian pekerjaan serta tampu

ngan dalam sesuatu tempat yang biasa dituturkan organisasi. Dengan begitu k

eberadaannya berevolusi menjadi bentuk beserta struktur yang ditentukan ole

h visi pemerintah mengenai kinerja fungsi kepolisiannya. Karena organisasi k

epolisian di dunia ini berbeda-beda, ada yang di bawah Kementerian Dalam

Negeri serta ada di bawah Kementerian Kehakiman, ada yang berada di bawa

h oleh Presiden sendiri, serta Wakil presiden dan bahkan ada yang departeme

n sendiri.”34

Berdasarkan KBBI Daring, Polisi merupakan instansi pemerintah yang b

ertugas membidangi pengamanan serta pemeliharaan keamanan (penangkapa


32
Dwi Indah Widodo, Penegakan Hukum Terhadap Anggota Kepolisian Yang Menyalahgu
nakan Narkotika dan Psikotopika, Jurnal Hukum : Magnum Opus, Volume 1, Nomor 1, diterbitka
n oleh Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, 2018, hlm. 2
33
Waristo Hadi Utomo, Hukum Kepolisian di Indonesia, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2005, hl
m. 12.
34
Kunarto, Perilaku Organisasi Polri, Cipta Manunggal, Jakarta, 2001, hlm.100

29
n seseorang yang melakukan pelanggaran hukum dan lainnya) dan merupakan

suatu anggota pegawai negeri (PNS yang membidangi pemeliharaan keamana

n dan sebagainya).35

Dalam kaitannya dengan kehiduapan bernegara polisi merupakan instansi

pemerintah yang memiliki peran penting guna memelihara keamanan, ketertib

an pada masyarakat serta kepatuhan terhadap aturan serta dapat memberikan

pelayanan, pengayoman, dan perlindungan pada masyarakat sebagai bagian d

ari pemeliharaan keamanan dalam negeri. Seiring dengan itu untuk menjalank

an fungsi serta perannya di seluruh wilayah Indonesia, terutama diberbagai da

erah, setiap wilayah-wilayah dibagi sesuai dengan dibentuk di wilayah provin

si Indonesia akan dilakukan pembatasan negara. Karena dengan uraian terseb

ut polisi mempunyai peran eksekutif untuk mengayomi negara karena merupa

kan alat negara dapat menjaga kelancaran pemerintah dan rakyat, sehingga da

pat terlihat bahwa dalam pelaksanaan tugas kepolisian pengawasan khususny

a menjaga masyarakat, ketertiban, serta keamanan. Berguna untuk menjunjun

g hukum, serta memberikan pelayanan dan perlindungan kepada masyarakat.

Berbagai upaya dilakukan agar negara aman dan bebas dari macam kejahatan.

2. Fungsi Kepolisian

Polisi merupakan salah satu elemen dari sistem peradilan pidana yang me

njadi ujung tombak pencegahan tindak pidana. Peran polisi tampak terlihat sa

ngat penting dari pada lembaga lainnya. Pada lembaga ini akan menemukan k

eefektifan peradilan pidana secara umum.36

35
https://kbbi.web.id/polisi diakses pada tanggal 27 Mei 2023 Pukul 23.48 WIB
36
Amanda Julva, “Peranan Penyidikan Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Pencabulan
Terhadap Anak”. Jurnal Poemal.Vol.5 No. 2, 2017. hlm. 2

30
Menurut Sajipto raharjo berpendapat fungsi polisi di Indonesia umumnya

untuk melibatkan pelaksanaan control social yang bersifat pencegahan serta r

epresif dalam bahasa prancis yang dapat dikenal sebagai manajemen polisi.37

Fungsi preventif dapat dilakukan sebagai peringatan sebelum kejahatan terjad

i memberikan pengayoman, perlindungan serta pengabdian public serta berfu

ngsi respresif untuk terjadinya tindak pidana kejahatan.

Selanjutnya pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Menyata

kan bahwa “Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara

di bidang pemeliharaan ketertiban dan keamanan, pelayanan masyarakat, pen

gayoman, penegakan hukum, serta perlindungan pada masyarakat.”

Selanjutnya menurut Sadjijono berpendapat bahwa dalam melakukan ma

nfaat sebagai penegak hukum yang adil di negara Indoensia, “Polisi wajib me

mahami serta mengetahui beberapa asa-asas hukum yang dapat dipakai sebag

ai bahan melaksanakan tugasnya sebagai berikut:

a. Asas partisipasi, merupakan asas kepastian polisi dalam lingkunga

n hidup pada masyarakat dengan mengkoordinir pengamanan prak

arsa perwujudan kekuatan hukum di masyarakat

b. Asas Subsidiaritas, merupakan lembaga lain agar tidak dapat mein

umbulkan suatu persoalan yang serius sebelum ditindak lanjuti ole

h lembaga yang membidanginya

c. Asas legalitas, merupakan asas yang mensyaratkan kepatuhan terha

dap hukum yang berlaku dengan menjalankan tugas sebagai peneg

ak hukum.

37
Sajipto rahardjo, Polisi Sipil Dalam Perubahan Sosial Di Indonesia, Kompas, Jakarta, hl
m 28

31
d. Asas Kewajiban, adalah asas bahwa polisi bertanggung jawab dala

m menangani masalah-masalah sosial yang bersifat diskresi karena

tidak diatur oleh undang-undang,

e. Asas Pencegahan, merupakan asas yang selalu mengeutamakan tin

dakan pencegahan daripada melakukan tindakan terhadap masyara

kat.”38

Selanjutnya maka fungsi Kepolisian telah mengalami sejumlah perubaha

n visual, yang membuat polisi fleksibel dalam arti haruslah tegas dalam mem

benahi berbagai suatu kejadian yang terjadi di masyarakat, namun dalam situa

si tertentu yang mengharuskan mereka untuk dekat pada masyarakat agar dap

at mengedepankan prinsip-prinsip pencegahan. Oleh karena itu seseorang ma

mpu serta mehamahmi perkembangan yang terjadi di masyarkat dan mampu

memenuhi kebutuhannya untuk mendapatkan perlindungan serta keamanan.

3. Tugas dan Wewenang Kepolisian

Pada dasarnya Kepolisian Republik Indonesia memiliki beberapa prinsip-

prinsip dalam menjalankan tugas dan kewenangannya karena secara universal

prinsip yaitu sepenuhnya melaksanakan pengamanan serta perlindungan dala

m rangka melayani masyarakat, menjujung tinggi hukum serta memelihara ke

tertiban dalam masyarakat.

a. Tugas Kepolisian

38
Sadjijono, Memahami Hukum Kepolisian, cetakan ke 1, P.T Laksbang Presindo, Yogyaka
rta, 2010, hlm. 17

32
Tugas adalah sesuatu yang perlu dilakukan atau diputuskan dan diart

ikan sebagai amanah, perintah atau kewajiban untuk melaksankan sesuat

u.39

Menurut pendapat Johan Stephan Putter, di kutip dari Waristo Hadi

Utomo menyatakan bahwa “seharusnya tugas-tugas polisi tidak lagi menj

adi urusan pemeliharan kesejahteraan akan teapi harus diberi batasan pad

a usaha-usaha penolakan bahaya yang mengencam masyarakat individ

u.”40

Dalam menjalankan tugas pokok kepolisian diatur dalam “Pasal 13

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 adalah sebagai memelihara keterti

ban dan keamanan masyarakat, memberikan perlindungan dan menegakk

an hukum, pelayanan dan pengayoman pada masyarkat.”24 Serta didala

m pasal 14 telah dijelaskan tugas-tugas pokok apa saja yang dilaksanakan

oleh kepolisian seperti melaksanakan, patrol terhadap kegiatan masyarak

at dan pemerintah sesuai kebutuhan, keamanan dan kelancaran lalu lintas.

penjagaan, pengawalan dan melaksanakan segala kegiatan untuk menjam

in ketertiban umum.

Selanjutnya menurut pendapat ahli bahwa tugas pokok polisi berdasa

rkan subtansi tugas beserta sumber yang melandasi tugas pokok tersebut

yakni sebagai berikut:

“ Tugas pokok dengan memberikan pemeliharaan ketertiban serta kea


manan masyarakat bersumber pada tugas umum kepolisian untuk m
enjamin keamanan masyarakat di sisi lain tugas pokok penegakan h
ukum pada dasarnya di ketentuan beberapa peraturan perundang-un
dangan lainnya. Misi utama kepolisian negara untuk mengayomi, s
39
Warsito Hadi Utomo, Hukum Kepolisian di Indonesia, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2005, hl
m 91
40
Ibid. hlm. 94

33
erta mengabadikan kepada masyarakat juga terkandung dalam susu
nan dan berfungsi sebagai bagian dari misi negara. Oleh karenanya
dasanya adalah bagian dari pelayanan public dan merupakan tugas
umum polisi. ”41

b. Wewenang Kepolisian

Dalam rangka melaksanakan kewenangannya sebagaimana dimakud

pada Pasal 15 Undang-Undang No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Rep

ublik Indonesia secara umum polisi berwenang seperti melakukan tindak

an mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat, mene

rima laporan dan/atau pengaduan, mencari keterangan dan barang bukti, ,

penanggulangan dan mencegah tumbuhnya penyakit masyarakat; memba

ntu menyelesaikan permasalahan warga masyarakat yang dapat menggan

ggu ketertiban umum dan masih banyak lagi.

Kewenangan polisi dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan t

elah diatur dalam Pasal 5 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP), sedangkan untuk melakukan penyidikan sebagai anggota kep

olisian yang diatur dalam pasal 7 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana.

Dalam pasal 15 ayat (1) huruf c Undang-Undang Kepolisian Negara

Republik Indonesia tersebut dalam salah satu wewenang Kepolisian yang

telah diserahkan untuk polisi ialah melaksanakan pencegahan dan menan

ggulangi tumbuhya penyakit masyarakat. Yang dimaksud dengan tumbuh

nya penyakit masyarakat ialah pengemisan dan gelandangan, pungutan li

ar, penyalahgunaan obat-obat terlarang atau narkotika, perdagangan man

usia dan lain sebagainya.


41
Sajipto Rahardjo, Mengkaji Kembali Peran Dan Fungsi Polri Dalam Era Reformasi, Ma
kalah Seminar Nasional, Jakarta, 2003, hlm.27

34
Dengan adanya kewenangan Kepolisian tersebut polisi sebagai penegak h

ukum di hadapan masyarakat dapat melaksanakan kewenangannya dengan m

encegah dan menanggulangi tindak pidana pemungutan liar oleh juru parkir d

engan baik. Karena apabila kepolisian dapat melayani masyarakat dengan bai

k sesuai dengan aturan berlaku maka dapat menjadikan aparat penegak huku

m yang memberikan, pengayoman, perlinduungan dan serta melayani penuh p

ada masyarakat secara professional yang menjadikan juga sumber kedudukan

dari Kepolisian.

D. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Kesusilaan

1. Pengertian Asusila

Suatu tindakan yang melanggar kesusilaan yang jenis dan bentuk-bentuk

pelanggaran juga sanksinya telah diatur dalam KUHP. Ketentuan- ketentuan

pidana yang diatur dalam KUHP tersebut dengan sengaja telah dibentuk oleh

pembentuk undang-undang dengan maksud untuk memberikan perlindungan

terhadap tindakan-tindakan asusila dan terhadap perilaku-perilaku baik dalam

bentuk kata-kata maupun dalam bentuk perbuatan-perbuatan yang

menyinggung rasa susila karena bertentangan dengan pandangan orang

tentang keputusan-keputusan dibidang kehidupan seksual, baik ditinjau dari

segi pandangan masyarakat setempat dimana kata-kata itu telah di ucapkan

atau dimana perbuatan itu telah dilakukan, maupun ditinjau dari segi

kebiasaan masyarakat setempat dalam menjalankan kehidupan seksual

mereka. Masyarakat secara umum menilai kesusilaan sebagai bentuk

penyimpangan/ kejahatan, karena bertentangan dengan hukum dan norma-

norma yang hidup di masyarakat. Perkataan, tulisan, gambar, dan perilaku

35
serta produk atau media-media yang bermuatan asusila dipandang

bertentangan dengan nilai moral dan rasa kesusilaan masyarakat. Sifat asusila

yang hanya menampilkan sensualitas, seks dan eksploitasi tubuh manusia ini

dinilai masih sangat tabu oleh masyarakat yang menjunjung tinggi nilai

moral.42

2. Tindak Pidana Kesusilaan

Tindak pidana kesusilaan adalah tindak pidana yang berhubungan dengan

masalah kesusilaan. Definisi singkat dan sederhana ini apabila dikaji lebih

lanjut untuk mengetahui seberapa ruang lingkupnya ternyata tidak mudah

karena pengertian dan batas-batasnya kesusilaan itu cukup luas dan dapat

berbeda beda menurut pandangan dan nilai-nilai yang berlaku dimasyarakat

tertentu.

Walaupun demikian ada pula bagian tindak pidana kesusilaan yang

bersifat universal. Universal susila menjadi ketentuan dalam arti seragam

bukan saja dalam batas-batas Negara, tetapi ke seluruh Negara-negara yang

beradap. Menurut oemar sana adji, delik susila menjadi ketentuan universal

apabila:

1. Apabila delik tersebut dilakukan dengan kekerasan

2. Yang menjadi korban adalah orang yang di bawah umur

3. Apabila delik tersebut dilakukan dimuka umum

4. Apabila korban dalam keadaan tidak berdaya dan sebagainya

5. Terdapat hubungan tertentu antara pelaku dan obyek delik, misalnya

guru terhadap muridnya.

42
https://s-hukum.blogspot.com/2015/09/pengertian-tindak-pidana-asusila.html?m=1
diakses pada tanggal 28 Mei 2023 Pukul 21.00 WIB

36
Jadi kesusilaan disini pada umumnya diartikan sebagai rasa kesusilaan

yang berkaitan dengan nafsu seksual, karena yurisprodensi memberikan

pengertian melanggar kesusilaan sebagai perbuatan yang melanggar rasa

malu seksual. Hal ini tidak pernah dibantah oleh para sarjana. Simon

misalnya mengatakan bahwa kriterium eer boarheid (kesusilaan) menuntut

bahwa isi dan pertunjukan mengenai kehidupan seksual dan oleh sifatnya

yang tidak senonoh dapat menyinggung rasa malu atau kesusilaan orang lain.

Kesusilaan adalah mengenai adat kebiasaan yang baik dalam hubungan

antar berbagai anggota masyarakat, tetapi khusus yang sedikit banyak

mengenai kelamin (seks) seorang manusia, sedangkan kesopanan (zeden)

pada umumnya mengenai adat kebiasaan yang baik. Bentuk kejahatan diatur

dalam pasal 281-289 KUHP

a. Pengertian Kesusilaan dalam kamus besar bahasa Indonesia memiliki arti

sebagai berikut:

1) Baik budi bahasanya,beradap,sopan,tertib

2) Adat istiadat baik,sopan santun,kesopanan,keadaban c.

Penegetahuan tentang adat

Kata “Susila” dalam bahasa Inggris adalah moral (kesopanan),

ethic (kesusilaan), dan decent (kepatutan). Kata moral dalam The

lexicon webter dictionary dirumuskan antara lain : “ Of or

concerned with the principles of right wrong in conduct and

character ......... behaviour as to right or wrong,esp in ralation to

sexual matter.” Yang artinya adalah : “ Dari atau berkenaan dengan

prinsip-prinsip benar dan salah dalam berperilaku dan

37
sikap/tabiat .......... kelakuan yang benar atau salah, khususnya dalam

hubungan pada hal/kejadian sexual”.

Kata “ ethics” dirumuskan antara lain sebagai berikut .....

Pertaining to right and wrong in conduct.” Yang artinya adalah : “

berkenaan siakp/tabiat/tingkah laku yang baik,,persepsi nilai,, dari

masyarakat.”moral” merupakan pertimbangan atas dasar baik/tidak

baik sehari-hari,persepsi masyarakat tentang arti “kesusilaan” lebih

condong pada :”Behaviour as to right or wrong esp in relation to

sexual matter” yang artinya tingkah laku untuk berbuat benar atau

salah khusunya dalam masalah sexual namun seyogyanya tindak

pidana kesusilaan dimasukkan hal-hal yang tidak bertentangan

dengan “ Behaviour in relation to sexual matter” yang artinya

tingkah laku berhubungan dengan masalah sexual agar dengan

demikian perhatian lebih dipusatkan pada pokok masalah.43

E. Tindak Pidana Kesusilaan Dalam Perspektif Islam

Hukum Islam dapat dijadikan alternatif untuk menjawab atau memberikan

solusi terhadap masalah penyimpangan moral dan tindak kejahatan yang terjadi di

tengah masyarakat. Ada pendekatan yang bersifat moral dan ada pula pendekatan

represif yuridis yang ditawarkan untuk menghadapi persoalan tersebut.

Menyangkut masalah pelecehan seksual dalam hukum Islam tidak terdapat

aturan dan ketentuan yang jelas mengenai hukum, sanksi secara terperinci, karena

dalam al-Quran dan Hadis istilah pelecehan seksual tidak ditemukan.

43
Leden Marpaung, Kejahatan terhadap kesusilaan dan masalah prevensinya, Sinar Grafik
a, Jakarta, 2004, hlm. 2

38
Pelaku pelecehan seksual hukuman yang dijatuhkan merupakan balasan yang

setimpal atau diharapkan pelaku dapat menebus dosa-dosa yang dilakukan

terhadap korban. Pelaku dikenakan hukuman yang cukup berat yang dapat

membuatnya menjadi jera atau agar di kemudian hari tidak mengulangi lagi

perbuatan jahatnya. Ada tuntunan untuk mengantarkan manusia pada pintu taubat,

yakni dimensi spiritualitas yang dilalui manusia dalam membersihkan dirinya dari

perbuatan-perbuatan dosa, tercela, menodai agama dan merugikan orang lain.

Pelaku diberikan sanksi yang tidak sebatas meringankan bebanya di dunia, namun

juga diorentasikan untuk meringankan beban yang harus dipertanggungjawaban di

akhirat kelak.

Hukuman yang cukup berat dijatuhkan kepada pelaku itu diharapkan menjadi

suatu proses pendidikan kesadaran perilaku dari kecenderngan berbuat jahat.

Hukuman itu menjadi prevensi (pencegahan) agar anggota masyarakat yang

hendak berbuat jahat tidak tidak meneruskan aksi kejahatanya. Jika pelaku

kejahatan kekerasan seksual mendapat sanksi hukum sebagaimana yang

digariskan dalam syari’at Islam, maka sangat mungkin anggota masyarakat yang

bermaksud melakukan perbuatan sejenis dapat dicegahnya sejak dini.

Namun demikian walaupun tidak ditemukan istilah pelecehan seksual, bukan

berarti manusia berbuat seenaknya sendiri tanpa adanya rasa malu dan batas-batas

etika serta moral dalam kehidupan bermasyarakat.

Dalam ajaran agama Islam telah jelas memberi aturan dalam pergaulan hidup

bermasyarakat seperti bersopan santun, ketika berpakaian dan memandang

seseorang dalam berinteraksi atau bergaul. Dengan demikian, pelecehan seksual,

merupakan bentuk perbuatan yang dianggap sebagai perbuatan yang bermoral

39
rendah. Karena syari’at Islam lebih menekankan pada segi akhlaq/moral yang

menjadi tolok ukur seseorang dalam menilai perilaku dan perbuatanya, sehingga

tidak menyalahi aturan dan kebiasaan yang ada di dalam masyarakat, apa yang

patut dan apa yang tidak patut dilakukan.44

Larangan memperlihatkan kehidupan erotis dan aurat dalam Islam

dimaksudkan untuk mencegah adanya rangsangan nafsu seksual terhadap orang

yang melihatnya, yang mungkin akan menimbulkan fitnah dan perbuatan-

perbuatan mesum.

Hubungan seksual (zina) itu, baik dilakukan atas dasar suka sama suka

maupun dengan paksaan adalah perbuatan haram hukumnya. Keharaman tersebut

menurut Muhammad Ali alShabuni, yang didasarkan pada Q.S. An-Nur ayat 3

berbunyi sebagai berikut:

Artinya: Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina


perempuan, atau dengan perempuan musyrik; dan pezina
perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki
atau dengan laki-laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan
bagi orang-orang mukmin

Sedangkan kejahatan seksual yang sudah sampai taraf zina dan bukti-buktinya

cukup, Islam telah memberi aturan-aturan yang jelas mengenai had zina. Bagi

pezina muhsan (laki-laki dan perempuan yang telah menikah) berzina, maka

hukumanya adalah di cambuk seratus kali dan di rajam sampai mati. Sedangkan

pezina ghoiru muhsan (laki-laki dan perempuan yang belum pernah atau tidak
44
Gunawan Setiardjo, Dialektika hukum dan moral dalam pembangunan masyarakat
Indonesia, Kanisius dan BPK Gunung Mulia , Yogyakarta, 1990, hlm.90

40
berstatus sebagai suami atau isteri yang belum menikah) maka hukumanya

dicambuk seratus kali dan diasingkan selam satu tahun.

Pelecehan seksual merupakan tindakan yang merugikan dan tidak

menyenangkan bagi korban. Dalam hukum Islam perbuatan yang mengakibatkan

kerugian bagi orang lain atau masyarakat, baik anggota badan maupun jiwa, harta,

benda, keamanan, nama baik perasaan ataupun hal-hal yang harus dipelihara dan

yang dijunjung tinggi keberadaanya dapat dikatakan sebagai perbuatan perbuatan

jarimah.

Menyangkut tindak pelecehan seksual dalam hukum Islam tidak terdapat

aturan dan ketentuan yang jelas mengenai sanksi hukumnya secara terperinci,

karena baik dalam Al-Qur’an maupun Hadis istilah pelecehan seksual belum

dtemukan. Dalam syariat Islam perbuatan yang belum terdapat ketentuan hukum

yang jelas terperinci, maka ketentuan hukum tersebut menjadi masalah ijtihad

para ulama atau ulil amri yang akan menghasilkan ketentuan hukum terhadap

permasalahan yang dihadapi, dengan mengacu pada ketentuan Al-Qur’an dan al-

Hadis, produk hukum tersebut berbentuk jarimah ta’zir, yaitu jenis hukuman yang

tidak ditentukan oleh alQur’an dan al-Hadis, diberlakukan kepada orang yang

berbuat maksiat atau melakukan jenis pidana tertentu yang tidak ada sanksi had

atau kafaratnya, baik yang berkaitan dengan hak Allah seperti makan disiang hari

dibulan ramadan tanpa uzur, meninggalkan salat, membuat kerusakan di bumi,

tidak taat pada pemerintah, melempar najis di tengah jalan umum, dan

perampokan, pencurian, maupun yang berkaitan dengan hak manusia seperti

menyetubuhi istri melalui dubur, menyogok hakim, menghina, atau melecehkan

oranglain

41
Adapun contoh kasus lain dalam jarimah ta’zir yang berkaitan dengan

kejahatan terhadap kehormatan dan kerusakan akhlak adalah percobaan perzinaan

atau perkosaan dan perbuatan yang mendekati zina, seperti mencium, meraba-raba

buah dada atau alat kemaluan, menonton VCD atau gambar porno, goyangan

penyanyi dangdut yang menggunakan pakaian rok mini dan sejenisnya. Meskipun

dilakukan dengan tidak ada paksaan karena hukum Islam tidak memandangnya

sebagai pelanggaran terhadap hak masyarakat. Jelasnya bukan delik aduan,

melainkan delik biasa.45

Dengan demikian hukuman bagi pelaku pelecehan seksual akan diserahkan

kepada seorang hakim atau ulil amri yang berhak untuk memutus perkara

tersebut.

Apabila tindakan pelecehan seksual telah berlangsung menjadi sebuah

hubungan seksual (zina) yang tentunya di luar pernikahan yang sah, maka akan

dikenakan hukuman had karena perbuatan tersebut dikategorikan sebagai

perbuatan zina.

Dalam syariat Islam hukuman zina dan perkosaan itu dibedakan menjadi tiga

macam, yakni hukuman dera (dicambuk), pengasingan dan rajam (dilempar

dengan batu sampai mati). Baik pezina muhsan (laki-laki atau perempuan yang

telah menikah) berzina, maka hukumanya adalah dirajam sampai mati. Sedangkan

bagi pezina yang ghoiru muhsan (laki-laki atau perempuan yang belum menikah)

maka hukumanya adala dicambuk 100 (seratus) kali dan diasingkan selama 1

(satu) tahun.

Allah SWT berfirman Q.S. An-Nur ayat 2:

45
H. Ahmad Djazuli, Fiqih Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam, PT. R
aja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hlm. 181

42
Artinya : Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari
keduanya seratus kali, dan janganlah rasa belas kasihan kepada
keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum)
Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian; dan
hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sebagian
orang-orang yang beriman.

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Raja Gravindo Persada,


Jakarta, 2010.

Amir Ilyas, Asas-asas Hukum Pidana Memahami Tindak Pidana dan Pertanggun
gjawaban Pidana sebagai Syarat Pemidanaan, Rangkang Education Yogya
karta & PuKAP Indonesia, Yogyakarta, 2012.

Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademi Prassindo, Jakarta, 1993.

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakar
ta, 2003.

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakt
i, Bandung 2002.

43
________________, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulanga
n Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.

Gunawan Setiardjo, Dialektika hukum dan moral dalam pembangunan


masyarakat Indonesia, Kanisius dan BPK Gunung Mulia , Yogyakarta, 199
0.

Harjono, Konstitusi sebagai Rumah Bangsa, Sekretariat Jenderal dan


Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2008.

J.E. Sahetepy, Viktimologi Sebuah Bunga Rampai, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,
1987.

Kunarto, Perilaku Organisasi Polri, Cipta Manunggal, Jakarta, 2001.

Leden Marpaung, Kejahatan terhadap kesusilaan dan masalah prevensinya, Sinar


Grafika, Jakarta, 2004.
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 2009.

Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang, 1997.

P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakt
i, Bandung, 1997.

Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2008.

Philipus M. Hadjon, Perlindungan hukum bagi rakyat di Indonesia, Bina Ilmu, Su


rabaya, . 1987.

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana dan Pengerti


an Dasar dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983.

Sadjijono, Memahami Hukum Kepolisian, cetakan ke 1, P.T Laksbang Presindo,


Yogyakarta, 2010.

Sajipto Rahardjo, Mengkaji Kembali Peran Dan Fungsi Polri Dalam Era Reform
asi, Makalah Seminar Nasional, Jakarta, 2003.

_____________, Polisi Sipil Dalam Perubahan Sosial Di Indonesia, Kompas, Jak


arta.

_____________, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.

Soedarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto (Fakultas Hukum Universitas Dipon


egoro), Semarang, 1990.

44
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Ja
karta, 2005.

Suharsil, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dan Perempuan, Rajagrafindo Per


sada, Depok.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa, Balai Pustaka, Jakarta,
2010.

Waristo Hadi Utomo, Hukum Kepolisian di Indonesia, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2


005.

B. Jurnal

Amanda Julva, “Peranan Penyidikan Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Penc


abulan Terhadap Anak”. Jurnal Poemal.Vol.5 No. 2, 2017.

Dwi Indah Widodo, Penegakan Hukum Terhadap Anggota Kepolisian Yang Meny
alahgunakan Narkotika dan Psikotopika, Jurnal Hukum : Magnum Opus, V
olume 1, Nomor 1, diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus
1945 Surabaya, 2018.

Guamarawati, Suatu Kajian Kriminologis Mengenai Kekerasan terhadap Peremp


uan dalam Relasi Pacaran Heteroseksual. Jurnal Kriminologi Indonesia,
Volume 5 No.1, 2009.

Sri Endah Wahyuningsih, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban


Tindak Pidana Kesusilaan Dalam Hukum Pidana Positif Saat Ini, Jurnal Pe
mbaharuan Hukum Unissula, Vol. III No. 02, 2016

C. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan tentang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indon
esia.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
D. INTERNET

http://polreskarawangbagops.wordprees.com, diakses pada tanggal 5 April 2023


Pukul 13.00 WIB

45
https://www.seluncur.id/unsur-unsur-perlindungan-hukum/) diakses pada tanggal
1 Desember 2022 18.20 WIB

https://kbbi.web.id/polisi diakses pada tanggal 27 Mei 2023 Pukul 23.48 WIB

https://s-hukum.blogspot.com/2015/09/pengertian-tindak-pidana-asusila.html?m=
1 diakses pada tanggal 28 Mei 2023 Pukul 21.00 WIB

46

Anda mungkin juga menyukai