DAFTAR ISI........................................................................................................................................... 1
BAB I ...................................................................................................................................................... 2
PENDAHULUAN .................................................................................................................................. 2
A. Latar Belakang ........................................................................................................................ 2
B. Rumusan Masalah ................................................................................................................... 4
C. Tujuan ..................................................................................................................................... 5
BAB II..................................................................................................................................................... 6
PEMBAHASAN ..................................................................................................................................... 6
A. Hubungan Manusia, Hukum, dan Keadilan ............................................................................ 6
B. Konstruksi Gender dalam Sistem Hukum ............................................................................... 7
C. Kendala Perempuan Mengakses Keadilan ............................................................................ 10
D. Kebijakan Mahkamah Agung dalam Pemenuhan Keadilan Bagi Perempuan ...................... 11
1. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara
Perempuan Berhadapan dengan Hukum ....................................................................................... 11
2. Mewujudkan Mekanisme Eksekusi yang Sederhana dan Efektif ......................................... 12
3. Yurisprudensi ........................................................................................................................ 13
4. Surat Edaran Mahkamah Agung ........................................................................................... 14
5. Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama Nomor 1959 Tanggal 25 Juni
2021 tentang "Pemberlakuan Ringkasan Kebijakan (Policy Brief) Jaminan Perlindungan Hak-
Hak Perempuan dan Anak Pasca perceraian" ............................................................................... 15
E. Kerangka Kerja dalam Mewujudkan Putusan Hakim Pengadilan Agama Berperspektif
Gender ........................................................................................................................................... 16
BAB III ................................................................................................................................................. 19
PENUTUP ............................................................................................................................................ 19
A. Kesimpulan ........................................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 21
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
https://business-law.binus.ac.id/2014/10/24/desiderata-hukum/
2
Sofyan Sitompul and Dahlan Sinaga, Penemuan Hukum : Dalam Perspektif Teori Hukum Bermartabat : The
Dignified Justice Jurisprudence, ed. D.Y. Witanto (Depok: PT. Imaji Cipta Karya, 2021) h.30
3
https://www.komisiyudisial.go.id/frontend/news_detail/182/cha-ibrahim-hakim-dapat-lakukan-penemuan-
hukum
4
H. Sunarto, Peran Aktif Hakim Dalam Perkara Perdata (Jakarta: Kencana, 2019) h.27
2
3
5
H. Sarmin Syukur, Hukum Acara Peradilan Agama Di Indonesia (Surabaya: Jaudar Press, 2017) h.11
6
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/perempuan diakses 1 Ramadan 1444 Hijriah
7
H.M. Syarifuddin, Aksesibilitas Keadilan Bagi Perempuan Dan Anak : Peran Mahkamah Agung Dalam
Mewujudkan Keadilan Bagi Perempuan Dan Anak Berhadapan Dengan Hukum, ed. Achmad Cholil and Ade
Firman Fathony (Depok: PT. Imaji Cipta Karya, 2020) h.71
4
Fakta bahwa perkara perceraian yang diterima dan diputus oleh Pengadilan
Agama di seluruh Indonesia tidak kurang dari 400.000 perkara. dari jumlah tersebut,
lebih dari 70% diajukan oleh pihak istri dan sisanya diajukan oleh pihak suami.
Penyebab utama perceraian adalah perselisihan dan pertengkaran terus-menerus yang
dilatari oleh beberapa faktor, seperti ekonomi, tidak bertanggung jawab, perselingkuhan,
dan kekerasan dalam rumah tangga. Pihak perempuan adalah pihak yang paling
merasakan akibat dari perceraian tersebut, karena ia termasuk dalam kelompok rentan
yang memerlukan perlindungan khusus oleh hukum.
Hal tersebut terafirmasi berdasarkan hasil penelitian Australia Indonesia
Partnership for Justice 2 (AIPJ2) menunjukkan bahwa perkara yang diajukan ke
Pengadilan Agama, pengajuan permohonan untuk nafkah anak ditemukan hanya 3%
dalam perkara perceraian. Namun, Para hakim belum sepenuhnya menerapkan Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 2017, padahal kehadiran Perma tersebut dimaksudkan
untuk membuka ruang ijtihad bagi hakim dalam mengidentifikasi isu-isu hukum yang
penting bagi perlindungan perempuan, tidak terkecuali penanganan perkara perceraian.
Dengan semakin kompleksnya kasus-kasus yang harus diputuskan, hakim
dituntut untuk mengembangkan profesionalismenya. Pengembangan ini dapat dilakukan
melalui 2 (dua) jalur utama, yaitu pendidikan dan pelatihan. Pendidikan lebih
menekankan pada pengembangan kemampuan konseptual filosofis, sedangkan pelatihan
lebih bertujuan untuk meningkatkan keterampilan teknis.8
Pada makalah ini kita akan melakukan meneropong hubungan manusia, hukum,
dan keadilan, konstruksi gender dalam sistem hukum, kendala perempuan mengakses
keadilan, kebijakan Mahkamah Agung dalam pemenuhan keadilan bagi perempuan,
sehingga tampak bagaimana keadilan bagi perempuan dalam putusan hakim di
pengadilan agama dan solusi yang ditawarkan oleh penulis untuk mewujudkan putusan
hakim pengadilan agama berperspektif gender.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis dapat merumuskan beberapa
permasalahan yang akan dibahas pada makalah ini, yaitu:
1. Bagaimana hubungan Manusia, Hukum, dan Keadilan ?
2. Bagaimana konstruksi Gender dalam Sistem Hukum positif?
8
Edward Simarmata, The Judiciary Kepemimpinan Pengadilan : Benchbook On Management And Leadership,
ed. Ramelan and Hari Wahyudi (Jakarta Pusat: Sekolah Tinggi Manajemen PPM, 2021) h.112
5
BAB II
PEMBAHASAN
9
H.M. Syarifuddin, Prinsip Keadilan Dalam Mengadili Perkara Tindak Pidana Korupsi : Implementasi Perma
Nomor 1 Tahun 2020 (Jakarta: Kencana, 2020) h.2
10
H. Amran Suadi, Filsafat Keadilan : Biological Justice Dan Praktiknya Dalam Putusan Hakim (Jakarta:
Kencana, 2020) h.103
7
Berarti keadilan itu sudah melekat pada diri manusia, sehingga tugas manusia adalah
menegakkan keadilan dalam kehidupannya.
Keadilan merupakan pergulatan kemanusiaan yang berevolusi mengikuti ritme
zaman, waktu, dan ruang yang berlangsung terus menerus dari dulu hingga sekarang.
Keadilan bersifat relatif, tergantung stimulus yang melingkupi fakta yang sedang
diadili, karena keadilan merupakan sesuatu yang berhubungan erat dengan nafas
kehidupan manusia.
Keadilan menjadi sangat strategis dalam kehidupan manusia, karena keadilan
itu harusnya mengalir bersama dengan darah kehidupan itu sendiri. Hukum yang
ditegakkan itu dalam rangka mewujudkan keadilan, tetapi bukan hukum untuk hukum
semata dan di sinilah kunci kearifan seseorang dalam memahami hukum ketika akan
diterapkan pada suatu kasus perkara. Itulah sebabnya diperlukan kearifan dan
ketajaman penghayatan seorang hakim terhadap hukum dan keadilan. Hukum menjadi
manifestasi eksternal dari keadilan sedangkan keadilan adalah internal autentik dan
esensi roh wujud hukum, sehingga seharusnya supremasi hukum merupakan wujud
dari supremasi keadilan sebab hukum bukan berada pada kemutlakan undang-undang
tetapi berada pada dimensi kemutlakan keadilan.
Teori Keadilan Bermartabat (the Dignified Justice Theory) yang dibangun dan
dikembangkan oleh Teguh Prasetyo memandang bahwa apabila hakim hendak
mencari hukumnya maka harus mencari dalam jiwa bangsa (volkgeist) Indonesia,
yang menginduk pada Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum dan
hukum tertinggi Negara Indonesia, menyatakan bahwa tujuan hukum adalah keadilan
yang nguwongke uwong (memanusiakan manusia) di mana di dalamnya mengandung
keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.11
B. Konstruksi Gender dalam Sistem Hukum
Konstitusi menjamin hak asasi setiap warga negara dan karenanya hak-hak
asasi tersebut dilindungi oleh hukum. Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, pada Perubahan Keduanya, menambahkan Bab XA tentang
Hak Asasi Manusia dengan pasal 28A-28J, menegaskan pengakuan dan jaminan
negara terhadap hak-hak asasi setiap warga negara. Dalam kaitannya dengan
pengakuan dan perlindungan hukum setiap warga negara, Pasal 28D ayat (1)
11
Sofyan Sitompul and Dahlan Sinaga, Penemuan Hukum : Dalam Perspektif Teori Hukum Bermartabat : The
Dignified Justice Jurisprudence (Depok: PT Imaji Cipta Karya, 2021) h.310
8
menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Lebih lanjut, dalam Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia pada pasal 1 angka (1) menyatakan bahwa Hak Asasi Manusia adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang
demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia dan pada pasal 1
angka (6) menyebut bahwa Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan
seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak
disengaja atau kelalaian, membatasi, dan/atau mencabut hak asasi manusia seseorang
atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan,
atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar,
berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku serta pasal 1 angka (3) menerangkan
bahwa diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang
langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar
agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis
kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau
penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan
kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang
politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. Dengan
demikian, perempuan dan laki-laki kedudukannya sama di hadapan hukum.
Perbedaan jenis kelamin bukan alasan bagi praktik diskriminatif terhadap laki-laki
maupun perempuan.
Stereotip yang muncul akibat dari bias pandangan terhadap peran serta
perempuan dalam kehidupan bermasyarakat bertentangan dengan semangat
egalitarian dalam konstitusi, karena perbedaan antara laki-laki dan perempuan semata-
mata hanya perbedaan kodrati dan dalam konteks peran dan tanggung jawab individu
maupun masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan sejatinya sama, keduanya
saling melengkapi. Sayangnya, sering kali jenis kelamin dipersamakan eksistensinya
dengan gender yang merupakan konstruksi sosial-budaya. Padahal, tidak ada peran
yang lebih besar, sementara mengecilkan peran pihak lain, sehingga perundang-
9
undangan sebagai sumber hukum utama harus secara inklusif merefleksikan hal
tersebut.12
Dalam aspek keperdataan, khususnya hukum keluarga, masih terdapat
kesenjangan (gap) antara idealistis dalam mewujudkan kesetaraan laki-laki dan
perempuan dengan dogma dan penerapannya. Ketentuan mengenai hak-hak
perempuan dalam konstruksi hubungan perkawinan, masih menyimpan celah yang
perlu ditangani secara sistematis dan serius. Termasuk dalam penerapan hukumnya
oleh hakim yang memerlukan dedikasi secara maksimal untuk melindungi hak-hak
kaum perempuan.
Untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan bagi perempuan selama beberapa
dekade terakhir, masyarakat internasional telah mengembangkan kerangka kerja
normatif (normative framework) yang berupaya melindungi hak-hak kaum perempuan
dan memastikan keadilan gender sebagai instrumen sekaligus tujuan pembangunan
yang berkeadilan dan berkelanjutan, diantaranya:
1. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women
(CEDAW) yang ditetapkan oleh sidang umum PBB tanggal 18 Desember 1979
dan berlaku pada 3 September 1981 dan diratifikasi oleh Indonesia dengan
Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi
Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita
(Convention on The Elimination of All Forms of Discrimanation Against Women)
pada 24 Juli 1984;
2. Declaration on the Elimination of Violence against Women (DEVAW) (Deklarasi
Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan) yang ditetapkan oleh sidang
umum PBB tanggal 20 Desember 1993;
3. The Beijing Platform for Action (BPA) adalah kesepakatan internasional yang
ditetapkan dalam konferensi Internasional tentang perempuan keempat (Fourth
World Conference on Women: Action for Equality, Development and Peace)
4. United Nations Security Council Resolution 1325 (S/RES/1325), on women,
peace, and security yang ditetapkan pada Oktober 2000
5. The United Nations Development Programme’s (UNDP) Gender Equality
Strategy
Syarifuddin, Aksesibilitas Keadilan Bagi Perempuan Dan Anak : Peran Mahkamah Agung Dalam
12
mekanisme yang mengikat pihak ketiga (instansi tempat Tergugat bekerja) untuk
memastikan eksekusi pembayaran nafkah oleh Tergugat yang lalai. Berkaitan dengan
ini, Senior Advisor Indonesia Australia Partnership for Justice (AIPJ), Cate Sumner
dan Leisha Lister, merekomendasikan untuk memperbaiki pengaturan pelaksanaan
putusan/eksekusi agar perintah hakim terkait nafkah istri dan anak dijalankan.
Karena itu, perlu dikedepankan upaya pembaruan sistem eksekusi putusan
perkara keluarga. Sistem yang diharapkan dapat diterapkan adalah sistem eksekusi
terpadu (integrated enforcement system). Pengadilan tidak lagi ditempatkan sebagai
pusat atau satu-satunya lembaga yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan putusan.
Terhadap penghukuman pembayaran nafkah istri dan anak, perlu dibuat sistem
terpadu yang mengoneksikan pengadilan dengan lembaga ekstra yudisial seperti
lembaga pemerintahan (tempat suami bekerja), pihak bank, dan sebagainya.
Pembayaran nafkah tersebut dapat dieksekusi seketika dengan melalukan pemotongan
gaji atau auto debit rekening ke rekening yang berhak menerima (beneficiary).
3. Yurisprudensi
Tim pembaruan peradilan yang terdiri dari Mahkamah Agung, MaPPI FHUI
dan AIPJ pada tahun 2018 menunjukkan putusan Mahkamah Agung yang
berperspektif gender. Putusan ini diharapkan menjadi benchmark bagi para hakim
dalam memutus perkara yang memberi perlindungan yang layak bagi perempuan:
Pertama, Putusan Nomor 86K/AG/1994 Tanggal 27 Juli 1995 yang pada
pokoknya menyamakan kedudukan anak laki-laki dengan anak perempuan dalam
kemampuan menghijab kerabat lain sebagai ahli waris. Putusan 86K/AG/1994
mengenai kedudukan kewarisan anak perempuan sebagai hajib hirman terhadap
kewarisan ashabah bin-nafsih saudara kandung pewaris. Anak sebagai pewaris
tunggal tidak membedakan laki-laki dan perempuan, sejalan dengan Pasal 174 ayat
(2) KHI yang tidak membedakan anak laki-laki ataukah perempuan. Putusan MA ini
tidak mengemukakan alasan mengapa mengambil pendapat yang satu dan
mengesampingkan pendapat lain.
Kedua, Putusan Nomor 266K/AG/201013 yang pada pokoknya memberikan
bagian kepada istri sebesar ¾ bagian dari harta bersama, sementara mantan suami
mendapat ¼ bagian, karena harta bersama yang diperoleh berasal dari penghasilan
istri, sementara kontribusi suami sedikit, bahkan tidak memberikan nafkah kepada
13
https://jdih.mahkamahagung.go.id/legal-product/266kag2010-1/detail
14
14
https://jdih.mahkamahagung.go.id/legal-product/137kag2007/detail
15
https://jdih.mahkamahagung.go.id/storage/uploads/produk_hukum/file/16%20K-AG-2010y.pdf
15
Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan
Tugas Bagi Pengadilan.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2016 tertanggal 9 Desember
2016 misalnya, menyatakan bahwa Pengadilan Agama secara ex officio dapat
menetapkan nafkah anak kepada ayahnya bila secara nyata anak tersebut berada
dalam asuhan ibunya, sebagaimana pasal 156 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2017 tertanggal 19 Desember
2017 menyebutkan bahwa dalam rangka pelaksanaan Perma Nomor 3 tahun 2017,
untuk memberi perlindungan hukum bagi hak-hak perempuan pasca perceraian, maka
pembayaran kewajiban akibat perceraian, khususnya nafkah idah, mutah, dan nafkah
madhiah, dapat dicantumkan amar putusan dengan kalimat dibayar sebelum
pengucapan ikrar talak. Ikrar talak dapat dilaksanakan bila istri tidak keberatan atas
suami tidak membayar kewajiban tersebut saat itu.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 2018 tertanggal 16 November
2018 tentang kewajiban suami akibat perceraian terhadap istri yang tidak nusyuz:
mengakomodir Perma 3 tahun 2017, istri dalam perkara cerai gugat dapat diberikan
mutah dan nafkah idah sepanjang tidak terbukti nusyuz.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2019 tertanggal 27 November
2019, bahwa amar pembayaran kewajiban suami terhadap istri pasca perceraian dalam
perkara cerai gugat dapat menambahkan kalimat "yang dibayar sebelum Tergugat
mengambil akta cerai" dengan ketentuan amar tersebut dinarasikan dalam posita dan
petitum gugatan. Serta Pembagian gaji bagi Pegawai Negari Sipil harus dinyatakan
dalam amar putusan secara declaratoir yang pelaksanaannya melalui instansi yang
bersangkutan.
5. Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama Nomor 1959
Tanggal 25 Juni 2021 tentang "Pemberlakuan Ringkasan Kebijakan (Policy
Brief) Jaminan Perlindungan Hak-Hak Perempuan dan Anak Pasca
perceraian"
16
Masayu Fatiyyah Nuraziimah, “Efektivitas Keputusan Ditjen Badilag Nomor 1959 Tahun 2021 Tentang
Jaminan Perlindungan Hak-Hak Perempuan Dan Anak Pasca Perceraian Perspektif Maqasid Syari’ah,” Tesis
Program Magister Jurusan Studi Islam Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia, 2022.
17
17
https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/artikel-hukum/1968-interkoneksi-sistem-sebuah-gagasan-prof-
amran-suadi-tentang-jaminan-hak-perempuan-dan-anak-pascaperceraian
18
A. Kesimpulan
19
20
tangga, bukan bawahan suami. serta berusaha mewujudkan interkoneksi sistem dalam
pelaksanaan putusan pengadilan agama untuk memberikan perlindungan dan jaminan
hak-hak perempuan.
DAFTAR PUSTAKA
Nuraziimah, Masayu Fatiyyah. “Efektivitas Keputusan Ditjen Badilag Nomor 1959 Tahun
2021 Tentang Jaminan Perlindungan Hak-Hak Perempuan Dan Anak Pasca Perceraian
Perspektif Maqasid Syari’ah.” Tesis Program Magister Jurusan Studi Islam Fakultas
Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia, 2022.
Simarmata, Edward. The Judiciary Kepemimpinan Pengadilan : Benchbook On Management
And Leadership. Edited by Ramelan and Hari Wahyudi. Jakarta Pusat: Sekolah Tinggi
Manajemen PPM, 2021.
Sitompul, Sofyan, and Dahlan Sinaga. Penemuan Hukum : Dalam Perspektif Teori Hukum
Bermartabat : The Dignified Justice Jurisprudence. Edited by D.Y. Witanto. Depok: PT.
Imaji Cipta Karya, 2021.
Suadi, H. Amran. Filsafat Keadilan : Biological Justice Dan Praktiknya Dalam Putusan
Hakim. Jakarta: Kencana, 2020.
Sunarto, H. Peran Aktif Hakim Dalam Perkara Perdata. Jakarta: Kencana, 2019.
Syarifuddin, H.M. Aksesibilitas Keadilan Bagi Perempuan Dan Anak : Peran Mahkamah
Agung Dalam Mewujudkan Keadilan Bagi Perempuan Dan Anak Berhadapan Dengan
Hukum. Edited by Achmad Cholil and Ade Firman Fathony. Depok: PT. Imaji Cipta
Karya, 2020.
———. Prinsip Keadilan Dalam Mengadili Perkara Tindak Pidana Korupsi : Implementasi
Perma Nomor 1 Tahun 2020. Jakarta: Kencana, 2020.
Syukur, H. Sarmin. Hukum Acara Peradilan Agama Di Indonesia. Surabaya: Jaudar Press,
2017.
https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/artikel-hukum/1968-interkoneksi-sistem-sebuah-
gagasan-prof-amran-suadi-tentang-jaminan-hak-perempuan-dan-anak-pascaperceraian
https://business-law.binus.ac.id/2014/10/24/desiderata-hukum/
https://www.komisiyudisial.go.id/frontend/news_detail/182/cha-ibrahim-hakim-dapat-
lakukan-penemuan-hukum
21