Anda di halaman 1dari 21

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI........................................................................................................................................... 1
BAB I ...................................................................................................................................................... 2
PENDAHULUAN .................................................................................................................................. 2
A. Latar Belakang ........................................................................................................................ 2
B. Rumusan Masalah ................................................................................................................... 4
C. Tujuan ..................................................................................................................................... 5
BAB II..................................................................................................................................................... 6
PEMBAHASAN ..................................................................................................................................... 6
A. Hubungan Manusia, Hukum, dan Keadilan ............................................................................ 6
B. Konstruksi Gender dalam Sistem Hukum ............................................................................... 7
C. Kendala Perempuan Mengakses Keadilan ............................................................................ 10
D. Kebijakan Mahkamah Agung dalam Pemenuhan Keadilan Bagi Perempuan ...................... 11
1. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara
Perempuan Berhadapan dengan Hukum ....................................................................................... 11
2. Mewujudkan Mekanisme Eksekusi yang Sederhana dan Efektif ......................................... 12
3. Yurisprudensi ........................................................................................................................ 13
4. Surat Edaran Mahkamah Agung ........................................................................................... 14
5. Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama Nomor 1959 Tanggal 25 Juni
2021 tentang "Pemberlakuan Ringkasan Kebijakan (Policy Brief) Jaminan Perlindungan Hak-
Hak Perempuan dan Anak Pasca perceraian" ............................................................................... 15
E. Kerangka Kerja dalam Mewujudkan Putusan Hakim Pengadilan Agama Berperspektif
Gender ........................................................................................................................................... 16
BAB III ................................................................................................................................................. 19
PENUTUP ............................................................................................................................................ 19
A. Kesimpulan ........................................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 21

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum dibuat sebagai pedoman dalam menjalankan segala aktivitas manusia


dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Di mana ada masyarakat, di
situ akan ada hukum (ubi societas ibi ius).1 Hakikat hukum adalah melayani kebutuhan
akan keadilan dalam masyarakat, tanpa keadilan maka hukum hanya merupakan
kekerasan yang diformalkan.
Seorang ahli hukum dan filsuf hukum yang pernah menjabat sebagai menteri
kehakiman Jerman pada zaman Republik Weimar, Gustav Radbruch, dalam bukunya
Rechtphilosophie, menjelaskan bahwa hukum memiliki 3 (tiga) tujuan ideal, yaitu:
keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.2 Hakikat hukum adalah untuk
mengakomodasi kepentingan masyarakat, bukan untuk kepentingan hukum semata,
sehingga ketika hukum itu tidak dapat membahagiakan manusia, maka hukum harus
dikaji kembali.
Orang menuntut ke pengadilan untuk meminta keadilan, jadi pengadilan
berfungsi memberikan keadilan kepada para pihak yang datang ke pengadilan.
Pengadilan tidak hanya sekedar memutus perkara yang diajukan sesuai undang-undang
semata, tetapi hampa dari rasa keadilan yang hidup di masyarakat. Hakim bukanlah
corong undang-undang3 (la bouche de la loi), oleh sebab itu hakim dituntut untuk
mampu mewujudkan rasa keadilan pada setiap perkara yang diadilinya. Hal ini diperkuat
dengan salah satu asas dalam hukum acara perdata adalah asas religiositas putusan yang
memuat irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,
menggantikan irah-irah yang sebelumnya “Atas Nama Keadilan” dan “In Naam Des
Konings” (atas nama raja).4
Salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana Pasal 24 ayat (2) UUD
1945 adalah peradilan agama. Peradilan adalah tugas yang dibebankan kepada
pengadilan, sedangkan pengadilan adalah organ atau badan yang menjalankan tugas
fungsi peradilan. Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman di

1
https://business-law.binus.ac.id/2014/10/24/desiderata-hukum/
2
Sofyan Sitompul and Dahlan Sinaga, Penemuan Hukum : Dalam Perspektif Teori Hukum Bermartabat : The
Dignified Justice Jurisprudence, ed. D.Y. Witanto (Depok: PT. Imaji Cipta Karya, 2021) h.30
3
https://www.komisiyudisial.go.id/frontend/news_detail/182/cha-ibrahim-hakim-dapat-lakukan-penemuan-
hukum
4
H. Sunarto, Peran Aktif Hakim Dalam Perkara Perdata (Jakarta: Kencana, 2019) h.27

2
3

Indonesia, yang berwenang mengadili perkara perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah,


wakaf, zakat, infaq, sedekah, dan ekonomi syariah, antara orang-orang yang beragama
Islam. 5
Salah satu stakeholeder atau pengguna layanan Pengadilan Agama adalah wanita,
yakni manusia dewasa berjenis kelamin perempuan dan orang yang oleh hukum diakui
sebagai perempuan. Perempuan secara bahasa juga dimaknai sebagai istri,6 hal ini juga
sesuai, karena sebagian besar wanita yang berperkara di Pengadilan Agama berstatus
sebagai istri.
Isu relasi antara perempuan dan keadilan merupakan isu hukum yang banyak
menjadi perbincangan di banyak negara. Hal ini terjadi setidaknya karena 2 (dua) hal,
pertama perempuan masih menemukan kendala signifikan dalam mengakses keadilan
disebabkan stereotip terhadap perempuan dan ketimpangan pemahaman dalam prospektif
gender yang masih sering dijumpai dalam fenomena sosial sehingga berimbas terhadap
fenomena hukum, termasuk dalam menjadikan perempuan terkendala untuk
memperjuangkan hak-hak dan penegakkan hukumnya. Kedua, perempuan masih masuk
dalam katagori kelompok masyarakat rentan terhadap perilaku diskriminatif karena
faktor kodrati, kemampuan ekonomi, dan lain-lain, seperti atribut sosial-budaya yang
menjadi pemicu dari masih adanya perilaku diskriminatif terhadap perempuan yang
membutuhkan pemikiran dan kebijakan untuk mengatasi kerentanan yang secara umum
masih mendera kaum perempuan.
Feminisme hukum, sebagai salah satu turunan dari Critical Legal Studies,
mencoba menggugat tatanan hukum yang terlampau maskulin. Mereka berpendapat
bahwa stelsel hukum yang ada belum memberikan kesan mendalam terhadap sifat
egaliter dari hukum. Laki-laki masih terlampau mendominasi sementara perempuan
masih harus berjuang lebih keras untuk sekedar mempertahankan hak-haknya.7
Sulistyowati Irianto mengemukakan bahwa salah satu dari dasar pikir utama bagi
eksponen feminisme hukum adalah bahwa tatanan hukum yang ada saat ini cenderung
berkarakter phallocentric. Implikasi sosialnya adalah terbangunnya tatanan sosio-yuridis
yang patriarki.

5
H. Sarmin Syukur, Hukum Acara Peradilan Agama Di Indonesia (Surabaya: Jaudar Press, 2017) h.11
6
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/perempuan diakses 1 Ramadan 1444 Hijriah
7
H.M. Syarifuddin, Aksesibilitas Keadilan Bagi Perempuan Dan Anak : Peran Mahkamah Agung Dalam
Mewujudkan Keadilan Bagi Perempuan Dan Anak Berhadapan Dengan Hukum, ed. Achmad Cholil and Ade
Firman Fathony (Depok: PT. Imaji Cipta Karya, 2020) h.71
4

Fakta bahwa perkara perceraian yang diterima dan diputus oleh Pengadilan
Agama di seluruh Indonesia tidak kurang dari 400.000 perkara. dari jumlah tersebut,
lebih dari 70% diajukan oleh pihak istri dan sisanya diajukan oleh pihak suami.
Penyebab utama perceraian adalah perselisihan dan pertengkaran terus-menerus yang
dilatari oleh beberapa faktor, seperti ekonomi, tidak bertanggung jawab, perselingkuhan,
dan kekerasan dalam rumah tangga. Pihak perempuan adalah pihak yang paling
merasakan akibat dari perceraian tersebut, karena ia termasuk dalam kelompok rentan
yang memerlukan perlindungan khusus oleh hukum.
Hal tersebut terafirmasi berdasarkan hasil penelitian Australia Indonesia
Partnership for Justice 2 (AIPJ2) menunjukkan bahwa perkara yang diajukan ke
Pengadilan Agama, pengajuan permohonan untuk nafkah anak ditemukan hanya 3%
dalam perkara perceraian. Namun, Para hakim belum sepenuhnya menerapkan Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 2017, padahal kehadiran Perma tersebut dimaksudkan
untuk membuka ruang ijtihad bagi hakim dalam mengidentifikasi isu-isu hukum yang
penting bagi perlindungan perempuan, tidak terkecuali penanganan perkara perceraian.
Dengan semakin kompleksnya kasus-kasus yang harus diputuskan, hakim
dituntut untuk mengembangkan profesionalismenya. Pengembangan ini dapat dilakukan
melalui 2 (dua) jalur utama, yaitu pendidikan dan pelatihan. Pendidikan lebih
menekankan pada pengembangan kemampuan konseptual filosofis, sedangkan pelatihan
lebih bertujuan untuk meningkatkan keterampilan teknis.8
Pada makalah ini kita akan melakukan meneropong hubungan manusia, hukum,
dan keadilan, konstruksi gender dalam sistem hukum, kendala perempuan mengakses
keadilan, kebijakan Mahkamah Agung dalam pemenuhan keadilan bagi perempuan,
sehingga tampak bagaimana keadilan bagi perempuan dalam putusan hakim di
pengadilan agama dan solusi yang ditawarkan oleh penulis untuk mewujudkan putusan
hakim pengadilan agama berperspektif gender.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis dapat merumuskan beberapa
permasalahan yang akan dibahas pada makalah ini, yaitu:
1. Bagaimana hubungan Manusia, Hukum, dan Keadilan ?
2. Bagaimana konstruksi Gender dalam Sistem Hukum positif?

8
Edward Simarmata, The Judiciary Kepemimpinan Pengadilan : Benchbook On Management And Leadership,
ed. Ramelan and Hari Wahyudi (Jakarta Pusat: Sekolah Tinggi Manajemen PPM, 2021) h.112
5

3. Apakah kendala Perempuan dalam Mengakses Keadilan ?


4. Bagaimana Mahkamah Agung menjamin perlindungan hak perempuan?
5. Bagaimana solusi mewujudkan hakim Pengadilan Agama berperspektif gender ?
C. Tujuan
Dari rumusan masalah tersebut penulis bertujuan untuk mendapatkan informasi dan
pemahaman tentang:
1. Hubungan Manusia, Hukum, dan Keadilan
2. Konstruksi Gender dalam Sistem Hukum positif
3. Kendala Perempuan dalam Mengakses Keadilan
4. Kebijakan Mahkamah Agung menjamin perlindungan hak perempuan
5. Solusi mewujudkan hakim Pengadilan Agama berperspektif gender
6

BAB II
PEMBAHASAN

A. Hubungan Manusia, Hukum, dan Keadilan

Kebutuhan manusia akan hukum amatlah kodrati dan mendasar. Ketika


seorang manusia masih berwujud janin diperut ibunya, kebutuhannya akan hukum
sudah dimulai, sehingga tidak berlebihan jika hukum dikatakan sebagai hal pertama
yang dibutuhkan manusia di dunia ini, bukan makanan, minuman, dan lain
sebagainya.9
Keadilan dengan hukum berhubungan secara vertikal, yakni kedudukan
keadilan berada di atas hukum, artinya keadilan dicapai dengan dasar hukum, sebab
jika tanpa didasari pada hukum, maka keadilan tersebut menjadi sangat subjektif dan
apabila penegakkan hukum tanpa memberi rasa keadilan, maka tujuan dari
penegakkan hukum itu tidak tercapai. Oleh karena itu, hakim yang hanya
mempertimbangkan bunyi undang-undang semata, maka keberadaan hakim tersebut
tidak lebih sebagai corongnya undang-undang saja.
Keadilan dengan hukum tidak berhubungan secara horizontal dalam arti
keduanya tidak dapat berdiri sendiri secara terpisah. Karena hukum yang ditegakkan
tanpa tercapai keadilan, atau keadilan yang diperoleh tanpa dasar hukum tidak akan
mencapai kebahagiaan manusia. Najmuddin at-Thufi dengan berdasar pada teori
maslahat, di mana beliau menyatakan, lebih mendahulukan kemaslahatan dari pada
teks hukum jika terjadi kontradiksi antara keduanya, sebab sejatinya hukum dibuat
untuk kebahagiaan manusia, bukan manusia untuk mengabdi pada hukum.10
Penulis berpendapat bahwa keadilan hukum merupakan kondisi yang tidak
dapat berdiri sendiri, sebab keadilan berinteraksi dengan reaksi yang memberi
stimulus pada suatu kondisi di seputar fakta-fakta yang berhubungan erat dengan
lingkungan di mana peristiwa itu terjadi. Adil sebagai sebuah value menjadi relatif
dan tergantung pada kondisinya.
Hukum dalam suatu kehidupan manusia dirasakan sebagai darah yang
mengalir dalam urat nadi kehidupan itu sendiri, inhern pada diri manusia itu sendiri,
sebabnya Allah memerintahkan untuk berlaku adil, bukan untuk mencari keadilan.

9
H.M. Syarifuddin, Prinsip Keadilan Dalam Mengadili Perkara Tindak Pidana Korupsi : Implementasi Perma
Nomor 1 Tahun 2020 (Jakarta: Kencana, 2020) h.2
10
H. Amran Suadi, Filsafat Keadilan : Biological Justice Dan Praktiknya Dalam Putusan Hakim (Jakarta:
Kencana, 2020) h.103
7

Berarti keadilan itu sudah melekat pada diri manusia, sehingga tugas manusia adalah
menegakkan keadilan dalam kehidupannya.
Keadilan merupakan pergulatan kemanusiaan yang berevolusi mengikuti ritme
zaman, waktu, dan ruang yang berlangsung terus menerus dari dulu hingga sekarang.
Keadilan bersifat relatif, tergantung stimulus yang melingkupi fakta yang sedang
diadili, karena keadilan merupakan sesuatu yang berhubungan erat dengan nafas
kehidupan manusia.
Keadilan menjadi sangat strategis dalam kehidupan manusia, karena keadilan
itu harusnya mengalir bersama dengan darah kehidupan itu sendiri. Hukum yang
ditegakkan itu dalam rangka mewujudkan keadilan, tetapi bukan hukum untuk hukum
semata dan di sinilah kunci kearifan seseorang dalam memahami hukum ketika akan
diterapkan pada suatu kasus perkara. Itulah sebabnya diperlukan kearifan dan
ketajaman penghayatan seorang hakim terhadap hukum dan keadilan. Hukum menjadi
manifestasi eksternal dari keadilan sedangkan keadilan adalah internal autentik dan
esensi roh wujud hukum, sehingga seharusnya supremasi hukum merupakan wujud
dari supremasi keadilan sebab hukum bukan berada pada kemutlakan undang-undang
tetapi berada pada dimensi kemutlakan keadilan.
Teori Keadilan Bermartabat (the Dignified Justice Theory) yang dibangun dan
dikembangkan oleh Teguh Prasetyo memandang bahwa apabila hakim hendak
mencari hukumnya maka harus mencari dalam jiwa bangsa (volkgeist) Indonesia,
yang menginduk pada Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum dan
hukum tertinggi Negara Indonesia, menyatakan bahwa tujuan hukum adalah keadilan
yang nguwongke uwong (memanusiakan manusia) di mana di dalamnya mengandung
keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.11
B. Konstruksi Gender dalam Sistem Hukum

Konstitusi menjamin hak asasi setiap warga negara dan karenanya hak-hak
asasi tersebut dilindungi oleh hukum. Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, pada Perubahan Keduanya, menambahkan Bab XA tentang
Hak Asasi Manusia dengan pasal 28A-28J, menegaskan pengakuan dan jaminan
negara terhadap hak-hak asasi setiap warga negara. Dalam kaitannya dengan
pengakuan dan perlindungan hukum setiap warga negara, Pasal 28D ayat (1)

11
Sofyan Sitompul and Dahlan Sinaga, Penemuan Hukum : Dalam Perspektif Teori Hukum Bermartabat : The
Dignified Justice Jurisprudence (Depok: PT Imaji Cipta Karya, 2021) h.310
8

menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Lebih lanjut, dalam Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia pada pasal 1 angka (1) menyatakan bahwa Hak Asasi Manusia adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang
demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia dan pada pasal 1
angka (6) menyebut bahwa Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan
seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak
disengaja atau kelalaian, membatasi, dan/atau mencabut hak asasi manusia seseorang
atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan,
atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar,
berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku serta pasal 1 angka (3) menerangkan
bahwa diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang
langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar
agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis
kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau
penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan
kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang
politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. Dengan
demikian, perempuan dan laki-laki kedudukannya sama di hadapan hukum.
Perbedaan jenis kelamin bukan alasan bagi praktik diskriminatif terhadap laki-laki
maupun perempuan.
Stereotip yang muncul akibat dari bias pandangan terhadap peran serta
perempuan dalam kehidupan bermasyarakat bertentangan dengan semangat
egalitarian dalam konstitusi, karena perbedaan antara laki-laki dan perempuan semata-
mata hanya perbedaan kodrati dan dalam konteks peran dan tanggung jawab individu
maupun masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan sejatinya sama, keduanya
saling melengkapi. Sayangnya, sering kali jenis kelamin dipersamakan eksistensinya
dengan gender yang merupakan konstruksi sosial-budaya. Padahal, tidak ada peran
yang lebih besar, sementara mengecilkan peran pihak lain, sehingga perundang-
9

undangan sebagai sumber hukum utama harus secara inklusif merefleksikan hal
tersebut.12
Dalam aspek keperdataan, khususnya hukum keluarga, masih terdapat
kesenjangan (gap) antara idealistis dalam mewujudkan kesetaraan laki-laki dan
perempuan dengan dogma dan penerapannya. Ketentuan mengenai hak-hak
perempuan dalam konstruksi hubungan perkawinan, masih menyimpan celah yang
perlu ditangani secara sistematis dan serius. Termasuk dalam penerapan hukumnya
oleh hakim yang memerlukan dedikasi secara maksimal untuk melindungi hak-hak
kaum perempuan.
Untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan bagi perempuan selama beberapa
dekade terakhir, masyarakat internasional telah mengembangkan kerangka kerja
normatif (normative framework) yang berupaya melindungi hak-hak kaum perempuan
dan memastikan keadilan gender sebagai instrumen sekaligus tujuan pembangunan
yang berkeadilan dan berkelanjutan, diantaranya:
1. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women
(CEDAW) yang ditetapkan oleh sidang umum PBB tanggal 18 Desember 1979
dan berlaku pada 3 September 1981 dan diratifikasi oleh Indonesia dengan
Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi
Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita
(Convention on The Elimination of All Forms of Discrimanation Against Women)
pada 24 Juli 1984;
2. Declaration on the Elimination of Violence against Women (DEVAW) (Deklarasi
Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan) yang ditetapkan oleh sidang
umum PBB tanggal 20 Desember 1993;
3. The Beijing Platform for Action (BPA) adalah kesepakatan internasional yang
ditetapkan dalam konferensi Internasional tentang perempuan keempat (Fourth
World Conference on Women: Action for Equality, Development and Peace)
4. United Nations Security Council Resolution 1325 (S/RES/1325), on women,
peace, and security yang ditetapkan pada Oktober 2000
5. The United Nations Development Programme’s (UNDP) Gender Equality
Strategy

Syarifuddin, Aksesibilitas Keadilan Bagi Perempuan Dan Anak : Peran Mahkamah Agung Dalam
12

Mewujudkan Keadilan Bagi Perempuan Dan Anak Berhadapan Dengan Hukum.


10

C. Kendala Perempuan Mengakses Keadilan

Sistem hukum Indonesia yang memiliki cita ideal untuk melindungi


perempuan, belum sepenuhnya mampu untuk mengatasi kendala yang dihadapi
perempuan ketika berhadapan dengan hukum. Istilah yang sering digunakan adalah
Perempuan Berhadapan Dengan Hukum, yakni perempuan yang sedang menempuh
upaya hukum tertentu, atau sedang menghadapi suatu gugatan atau dakwaan, atau
sedang menghadapi kendala hukum terkait dengan kepentingannya.
Jika dianalisis setidaknya terdapat sejumlah variabel kendala yang
menyebabkan perempuan belum dapat benar-benar mengakses keadilan sebagaimana
layaknya laki-laki, karena:
1. Tingkat Pemahaman terhadap hukum.
Pemahaman masyarakat Indonesia terhadap hukum masih bervariasi, seperti
kasus perceraian yang setiap tahunnya tidak kurang dari 350.000 lebih kasus dan 70%
di antaranya diajukan oleh perempuan. Ini menunjukkan bahwa perempuan menjadi
pihak yang paling rentan merasakan dampak dari perkawinan yang tidak harmonis.
Riset menunjukkan tidak sampai 2% putusan pengadilan dalam perkara perceraian
yang mencantumkan diktum tentang akibat perceraian, baik mengenai pengasuhan
dan nafkah anak, serta nafkah untuk istri yang diceraikan atau istri yang mengajukan
gugatan cerai. Hal ini karena rendahnya pemahaman masyarakat terutama perempuan
mengenai hak-hak perempuan dalam hal terjadinya perceraian.
2. Ketercukupan Substansi Hukum
Hukum sebagai sistem memiliki 3 (tiga) komponen sebagaimana dikemukakan
Lawrence Meir Friedman, yaitu struktur (legal structur), substansi (legal substancy),
dan Budaya (legal cultur). Dengan tidak mengerdilkan 2 komponen lainnya, faktor
substansi hukum memainkan andil signifikan terhadap kendala yang dihadapi
perempuan dalam mengakses keadilan. Pada aspek hukum keluarga, ada beberapa
stelsel yang belum mampu mengakomodasi secara lengkap kepentingan perempuan.
Seperti ketentuan mengenai perceraian yang diajukan oleh pihak istri, tidak ada
peraturan perundang-undangan yang memberi penegasan bahwa Hakim dalam
memutus perkara perceraian yang diajukan oleh istri, berwenang penuh untuk
sekaligus memutus akibat-akibat perceraian, terutama berkaitan dengan hak istri
(yang diceraikan) atas nafkah pasca perceraian.
11

Benar bahwa Pasal 41 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang


Perkawinan membuka ruang bagi Hakim untuk menetapkan biaya yang wajib
dibayarkan mantan suami kepada mantan istri dan sedikit sekali putusan Pengadilan
Agama yang memutus akibat perceraian tersebut melalui diskresi karena jabatan (ex-
officio). Namun demikian, Dalam KHI nafkah idah dan mutah hanya diberikan dalam
perkara cerai talak (gugatan cerai yang diajukan oleh suami) sebagaimana diatur
dalam pasal 149 KHI. Sementara akibat hukum dari cerai gugat belum termaktub.
3. Kultur Hukum
Kultur hukum berkenaan dengan keyakinan masyarakat terhadap suatu prinsip
moral yang menentukan penilaian terhadap sikap, perkataan, dan perilaku. Kultur
hukum juga berkaitan dengan harapan tentang idealis norma dan penerapannya di
masyarakat. Karena itu, kultur hukum sangat signifikan menentukan bentuk, isi, dan
efektivitas hukum di masyarakat. Pada konteks ini, pola pikir penegak hukum dan
masyarakat. Meski pengakuan terhadap norma adat memiliki landasan filosofis untuk
menjadi sumber hukum bagi hakim dalam memutus perkara, namun demikian Hakim
perlu mempertimbangkan secara cermat dan komprehensif apakah nilai-nilai adat
tersebut selaras dengan upaya bersama dalam melindungi hak-hak perempuan.
4. Prosedur yang belum responsif
Kendala prosedural dalam menegakkan hukum sangat krusial. Penegakkan
hukum memuat prosedur yang terangkum dalam hukum acara. Kritikan yang diajukan
ke lembaga peradilan saat ini banyak diarahkan pada aspek prosedural yang terlampau
rumit dan tidak akomodatif, terutama kepada kelompok masyarakat yang
terpinggirkan. Perempuan sebagai kelompok masyarakat yang rentan sering kali
kesulitan mengakses keadilan karena prosedur yang terlampau rumit. Kalkulasi
sederhana atas perbandingan nilai objek dengan biaya yang dikeluarkan cenderung
tidak signifikan.
D. Kebijakan Mahkamah Agung dalam Pemenuhan Keadilan Bagi
Perempuan
1. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman
Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum

Meskipun Indonesia telah mengundangkan peraturan untuk menghindari


tindakan diskriminatif terhadap perempuan, namun pada praktiknya hal-hal tersebut
masih marak terjadi, khususnya ketika proses pemeriksaan di pengadilan. Penelitian
12

yang dilakukan oleh MaPPI FH UI (Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia


Fakultas Hukum Universitas Indonesia) yang berkolaborasi dengan LBH Apik Jakarta
mengenai penanganan perkara pidana perempuan, wawancara, hingga focus group
discussion (FGD) ditemukan adanya ketidakadilan dalam penanganan perkara
terhadap perempuan yang berhadapan dengan hukum. Ketidakadilan tersebut mulai
dari stereotip gender hingga perlakuan diskriminatif, seperti diperiksa oleh hakim dan
penegak hukum mengenai riwayat seksual dan sebagainya.
Berdasarkan hal tersebut Mahkamah Agung mengesahkan Perma Nomor 3
tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum
pada 11 Juli 2017. Peraturan ini dibuat agar para hakim memiliki perspektif gender dan
menerapkan kesetaraan gender dan prinsip non-diskriminasi dalam mengadili suatu perkara.
Sebelum lahirnya Perma Nomor 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara
Perempuan Berhadapan dengan Hukum, telah ada ketentuan hukum yang menjamin keadilan
dan persamaan di depan hukum, khususnya bagi perempuan, yaitu Kode Etik Pedoman
Perilaku Hakim (KEPPH) dan UU Kekuasaan Kehakiman, maka netralitas hakim tidak boleh
dilemahkan dengan Perma Nomor 3 tahun 2017 khususnya dalam pasal 4 yang
membuat hakim tidak netral karena diminta memberikan perlakuan istimewa (special
treatment) kepada perempuan berhadapan dengan hukum, sehingga Asas persamaan
di depan hukum tidak seharusnya diwujudkan dengan perlakukan istimewa dalam
proses pengadilan, karena akan menimbulkan kontradiksi dari sikap hakim yaitu harus
memastikan kesetaraan gender dan memberikan perlakuan istimewa.
2. Mewujudkan Mekanisme Eksekusi yang Sederhana dan Efektif

Eksekusi perkara perdata di Indonesia masih mengacu pada pengaturan dalam


hukum acara perdata yang terdapat pada RV, HIR, dan RBg. Eksekusi dapat
didefinisikan sebagai upaya merealisasikan kewajiban pihak yang dikalahkan dalam
putusan Pengadilan untuk memenuhi prestasi yang termuat dalam diktum putusan
tersebut.
Eksekusi perkara perdata merupakan proses panjang yang melelahkan pihak
berperkara. Selain menyita energi dan biaya, juga pikiran. Tahun 2018, Tim Peneliti
dari LeIP (Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan) yang bekerja sama
dengan International IDLO (Development Law Organization) merilis temuan terkait
kendala eksekusi perdata, termasuk dalam hukum keluarga yang ditangani oleh
Peradilan agama, seperti: tidak adanya mekanisme yang mampu memastikan
pembayaran nafkah anak dan/atau nafkah istri oleh suami dan tidak ada pula
13

mekanisme yang mengikat pihak ketiga (instansi tempat Tergugat bekerja) untuk
memastikan eksekusi pembayaran nafkah oleh Tergugat yang lalai. Berkaitan dengan
ini, Senior Advisor Indonesia Australia Partnership for Justice (AIPJ), Cate Sumner
dan Leisha Lister, merekomendasikan untuk memperbaiki pengaturan pelaksanaan
putusan/eksekusi agar perintah hakim terkait nafkah istri dan anak dijalankan.
Karena itu, perlu dikedepankan upaya pembaruan sistem eksekusi putusan
perkara keluarga. Sistem yang diharapkan dapat diterapkan adalah sistem eksekusi
terpadu (integrated enforcement system). Pengadilan tidak lagi ditempatkan sebagai
pusat atau satu-satunya lembaga yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan putusan.
Terhadap penghukuman pembayaran nafkah istri dan anak, perlu dibuat sistem
terpadu yang mengoneksikan pengadilan dengan lembaga ekstra yudisial seperti
lembaga pemerintahan (tempat suami bekerja), pihak bank, dan sebagainya.
Pembayaran nafkah tersebut dapat dieksekusi seketika dengan melalukan pemotongan
gaji atau auto debit rekening ke rekening yang berhak menerima (beneficiary).
3. Yurisprudensi

Tim pembaruan peradilan yang terdiri dari Mahkamah Agung, MaPPI FHUI
dan AIPJ pada tahun 2018 menunjukkan putusan Mahkamah Agung yang
berperspektif gender. Putusan ini diharapkan menjadi benchmark bagi para hakim
dalam memutus perkara yang memberi perlindungan yang layak bagi perempuan:
Pertama, Putusan Nomor 86K/AG/1994 Tanggal 27 Juli 1995 yang pada
pokoknya menyamakan kedudukan anak laki-laki dengan anak perempuan dalam
kemampuan menghijab kerabat lain sebagai ahli waris. Putusan 86K/AG/1994
mengenai kedudukan kewarisan anak perempuan sebagai hajib hirman terhadap
kewarisan ashabah bin-nafsih saudara kandung pewaris. Anak sebagai pewaris
tunggal tidak membedakan laki-laki dan perempuan, sejalan dengan Pasal 174 ayat
(2) KHI yang tidak membedakan anak laki-laki ataukah perempuan. Putusan MA ini
tidak mengemukakan alasan mengapa mengambil pendapat yang satu dan
mengesampingkan pendapat lain.
Kedua, Putusan Nomor 266K/AG/201013 yang pada pokoknya memberikan
bagian kepada istri sebesar ¾ bagian dari harta bersama, sementara mantan suami
mendapat ¼ bagian, karena harta bersama yang diperoleh berasal dari penghasilan
istri, sementara kontribusi suami sedikit, bahkan tidak memberikan nafkah kepada

13
https://jdih.mahkamahagung.go.id/legal-product/266kag2010-1/detail
14

istri selama 11 (sebelas) tahun. Keadaan ini menurut Mahkamah Agung


mengakibatkan adanya ketidakadilan apabila harta bersama yang ditetapkan dibagi
sama antara mantan suami dan mantan istri.
Ketiga, Putusan Nomor 137K/AG/200714 tertanggal 06 Februari 2008
berkaitan dengan hak mantan istri yang bercerai dalam perkara cerai gugat (gugatan
cerai yang diajukan istri). Dalam KHI, nafkah idah hanya diberikan dalam perkara
cerai talak (gugatan cerai yang diajukan oleh suami) sebagaimana diatur dalam pasal
149 KHI. Sedangkan dalam putusan ini memiliki kaidah hukum, Istri yang menggugat
cerai suaminya, tidak selalu dihukumkan nusyu. Meskipun gugatan perceraian
diajukan oleh istri, tetapi tidak terbukti istri telah berbuat nusyu, maka secara ex
officio suami dapat dihukum untuk memberikan nafkah idah kepada bekas istrinya,
karena bekas istri harus menjalani masa idah yang tujuannya antara lain untuk istibra
yang juga menyangkut kepentingan suami.
Keempat, Putusan Nomor 137K/AG/200715 tertanggal 30 April 2010 berkaitan
dengan Istri yang beragama selain Islam yang ditinggal mati oleh suami yang
beragama Islam, tidak termasuk ahli waris dan tidak mendapat harta warisan. Namun,
dalam perkara ini, Mahkamah Agung menyatakan, walaupun istri tidak termasuk ahli
waris, akan tetapi istri berhak mendapat wasiat wajibah dari harta warisan suaminya.
Persoalan kedudukan ahli waris non muslim sudah banyak dikaji oleh kalangan ulama
diantaranya Yusuf Al Qardhawi, yang menafsirkan bahwa orang-orang non Islam
yang hidup berdampingan dengan damai tidak dapat dikategorikan kafir harbi,
demikian halnya Pemohon Kasasi bersama pewaris semasa hidup bergaul secara
rukun damai meskipun berbeda keyakinan, karena itu patut dan layak Pemohon
Kasasi memperoleh bagian dari harta peninggalan pewaris berupa wasiat wajibah;
4. Surat Edaran Mahkamah Agung

Penerapan sistem kamar di Mahkamah Agung salah satunya bertujuan untuk


menjaga kesatuan penerapan hukum dan konsistensi putusan. Rapat pleno kamar
adalah salah satu instrumen untuk mewujudkan tujuan tersebut. Oleh karena itu,
setiap Kamar di Mahkamah Agung secara rutin menyelenggarakan Rapat Pleno
Kamar yaitu pada tahun 2012 sampai tahun 2022 yang di dalamnya memberlakukan

14
https://jdih.mahkamahagung.go.id/legal-product/137kag2007/detail
15
https://jdih.mahkamahagung.go.id/storage/uploads/produk_hukum/file/16%20K-AG-2010y.pdf
15

Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan
Tugas Bagi Pengadilan.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2016 tertanggal 9 Desember
2016 misalnya, menyatakan bahwa Pengadilan Agama secara ex officio dapat
menetapkan nafkah anak kepada ayahnya bila secara nyata anak tersebut berada
dalam asuhan ibunya, sebagaimana pasal 156 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2017 tertanggal 19 Desember
2017 menyebutkan bahwa dalam rangka pelaksanaan Perma Nomor 3 tahun 2017,
untuk memberi perlindungan hukum bagi hak-hak perempuan pasca perceraian, maka
pembayaran kewajiban akibat perceraian, khususnya nafkah idah, mutah, dan nafkah
madhiah, dapat dicantumkan amar putusan dengan kalimat dibayar sebelum
pengucapan ikrar talak. Ikrar talak dapat dilaksanakan bila istri tidak keberatan atas
suami tidak membayar kewajiban tersebut saat itu.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 2018 tertanggal 16 November
2018 tentang kewajiban suami akibat perceraian terhadap istri yang tidak nusyuz:
mengakomodir Perma 3 tahun 2017, istri dalam perkara cerai gugat dapat diberikan
mutah dan nafkah idah sepanjang tidak terbukti nusyuz.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2019 tertanggal 27 November
2019, bahwa amar pembayaran kewajiban suami terhadap istri pasca perceraian dalam
perkara cerai gugat dapat menambahkan kalimat "yang dibayar sebelum Tergugat
mengambil akta cerai" dengan ketentuan amar tersebut dinarasikan dalam posita dan
petitum gugatan. Serta Pembagian gaji bagi Pegawai Negari Sipil harus dinyatakan
dalam amar putusan secara declaratoir yang pelaksanaannya melalui instansi yang
bersangkutan.
5. Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama Nomor 1959
Tanggal 25 Juni 2021 tentang "Pemberlakuan Ringkasan Kebijakan (Policy
Brief) Jaminan Perlindungan Hak-Hak Perempuan dan Anak Pasca
perceraian"

Berdasar telaah terhadap sejumlah putusan Pengadilan Agama, hanya sebagian


kecil yang mencantumkan diktum mengenai akibat perceraian, sehingga hak-hak
perempuan dan anak pasca perceraian cenderung kurang terlindungi dan pelaksanaan
putusan mengenai akibat perceraian juga belum efektif dikarenakan prosedur yang
panjang dan memakan biaya tidak sedikit maka Ditjen Badan Peradilan Agama
16

mengambil langkah strategis dalam mengupayakan perlindungan hak perempuan dan


anak dalam bentuk implementasi ringkasan kebijakan (policy brief) dan
memerintahkan kepada seluruh aparatur peradilan di lingkungan Peradilan Agama
untuk dapat melaksanakan kebijakan sebagaimana tertuang dalam Ringkasan
Kebijakan (Policy Brief) Jaminan Pemenuhan Hak-hak Perempuan dan Anak Pasca
Perceraian dengan penuh tanggung jawab. Namun sayangnya, menurut penelitian
yang dilakukan Masayu Fatiyyah Nuraziimah, keputusan ini belum berjalan efektif.16

E. Kerangka Kerja dalam Mewujudkan Putusan Hakim Pengadilan Agama


Berperspektif Gender

Sebagai benchmark dalam upaya melindungi hak-hak perempuan pada


penanganan perkara yang menyangkut kepentingan hukum perempuan, beberapa
kerangka kerja acuan berikut dapat digunakan Hakim Pengadilan Agama dalam
beretika, berkata, bersikap, dan berperilaku dalam memeriksa perkara perdata,
khususnya hukum keluarga sehingga tidak memunculkan diskriminasi kepada
perempuan, sebagai berikut:
Dalam hal relasi suami dan istri, hakim memandang relasi keduanya bersifat
dimanis dan tidak membatasi ruang lingkup aktivitas istri secara statis hanya sebagai
pengelola rumah tangga dan istri adalah mitra suami dalam membina rumah tangga,
bukan bawahan suami. Peran istri dalam mengelola rumah tangga, sama pentingnya
dengan peran suami dalam mencari nafkah, dan kontribusi mengelola rumah tangga
dapat dinilai secara material sama dengan mencari nafkah. Keduanya bertanggung
jawab dalam mengasuh, merawat, dan membesarkan anak.
Dalam penanganan perkara perceraian, hakim memberi perhatian seimbang
untuk perkara cerai talak maupun cerai gugat dan tidak menghalang-halangi istri
untuk melakukan cerai gugat dengan memperlambat penyelesaian perkara. Nusyu bisa
dilakukan istri atau suami, dan tidak serta merta menganggap nusyu sebagai watak
umumnya perempuan yang suka membangkang sehingga hakim tidak serta merta
memosisikan istri sebagai penyulut perselisihan dan pertengkaran yang menyebabkan
terjadinya perceraian.

16
Masayu Fatiyyah Nuraziimah, “Efektivitas Keputusan Ditjen Badilag Nomor 1959 Tahun 2021 Tentang
Jaminan Perlindungan Hak-Hak Perempuan Dan Anak Pasca Perceraian Perspektif Maqasid Syari’ah,” Tesis
Program Magister Jurusan Studi Islam Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia, 2022.
17

Dalam hal hadanah, hakim memberikan penilaian objektif mengenai siapa


yang dianggap lebih berhak untuk bertindak sebagai pemegang hak asuh dengan tetap
memberikan keputusan yang dapat memaksa suami untuk berkewajiban memberi
uang pemeliharaan anak. Hakim tidak menggunakan alasan status pekerjaan ibu yang
menyita waktu di luar rumah untuk menolak hak asuh kepada istri.
Dalam perkara harta bersama, hakim meletakkan posisi istri sebagai ibu rumah
tangga sederajat dengan suami dalam memberikan kontribusi mewujudkan harta
bersama. Pendapatan istri yang digunakan untuk kelangsungan rumah tangga harus
dihitung sebagai hutang suami, manakala terjadi perceraian sehingga suami
berkewajiban membayarnya terlebih dahulu sebelum harta bersama dibagi dua.
Dalam perkara kewarisan, hakim memandang semua anak, apa pun jenis
kelaminnya, setara dalam menerima keadilan tanpa prasangka bahwa anak perempuan
derajatnya lebih rendah dari anak laki-laki.
Dalam perkara poligami cq. poligini, hakim memandang bahwa prisip
perkawinan dalam Islam adalah monogami dan menempatkan persetujuan istri dalam
permohonan poligami sebagai persyaratan mutlak meskipun suami yang ingin
menikah lagi tersebut telah terlanjur berhubungan biologis yang mengakibatkan
kehamilan serta menempatkan istri atau istri-istri sebagai pihak berperkara.
Dengan demikian, Negara diharapkan dapat menginisiasi dan memperkuat
komitmen untuk memberikan perlindungan dan jaminan hak-hak perempuan dan
hakim sebagai penegak hukum harus memahami dan dapat menerapkan jaminan
perlindungan perempuan serta diharapkan terwujudnya interkoneksi sistem
pelaksanaan putusan pengadilan agama bagi perlindungan hak-hak perempuan yang
merupakan sebuah keniscayaan untuk mewujudkan kepastian hukum, yakni dengan
upaya Membangun pusat data (database) terpadu antara lembaga peradilan dengan
kementerian terkait serta membangun koordinasi antara Mahkamah Agung dengan
kementerian/lembaga terkait, yang dapat dideskripsikan sebagai berikut:17
1. Kementerian Dalam Negeri dapat memblokir Nomor Induk Kependudukan
(NIK) ketika pihak suami belum memenuhi kewajibannya dalam waktu yang
ditentukan, sehingga pemblokiran tersebut mengakibatkan terbatasnya akses
publik bagi yang bersangkutan. Pemblokiran dapat dicabut oleh Kemendagri

17
https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/artikel-hukum/1968-interkoneksi-sistem-sebuah-gagasan-prof-
amran-suadi-tentang-jaminan-hak-perempuan-dan-anak-pascaperceraian
18

setelah mendapat notifikasi dari pengadilan bahwa mantan suami telah


memenuhi kewajibannya.
2. Kementerian Hukum dan HAM juga diberikan kewenangan melalui Direktorat
Jenderal Imigrasi untuk memblokir data paspor sehingga yang bersangkutan
tidak dapat melakukan perjalanan ke luar negeri
3. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan regulasi yang memberikan
kewenangan kepada lembaga keuangan untuk melakukan pemblokiran
rekening sehingga mantan suami tidak dapat melakukan akses terhadap
layanan keuangan
4. Pihak kepolisian dapat melakukan pemblokiran pengurusan SKCK
5. BPJS dan layanan administrasi tingkat desa juga dapat melakukan
pemblokiran akses
6. Bagi mantan suami yang berprofesi sebagai ASN, Pegawai BUMN, BUMD
maupun pegawai swasta, pelaksanaan putusan dapat dilakukan dengan cara
pemotongan gaji
7. Bagi mantan suami yang tidak memiliki penghasilan karena alasan tertentu
menurut hukum, perlu ada mekanisme penjaminan sosial dari Kementerian
Sosial ataupun Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Keadilan dengan hukum berhubungan secara vertikal, yakni kedudukan


keadilan berada di atas hukum, artinya keadilan dicapai dengan dasar hukum, dan
kebutuhan manusia akan hukum amatlah kodrati dan mendasar dan tujuan hukum
adalah keadilan yang nguwongke uwong (memanusiakan manusia).
Stereotip yang muncul akibat dari bias pandangan terhadap peran serta
perempuan dalam kehidupan bermasyarakat bertentangan dengan semangat
egalitarian dalam konstitusi, karena perbedaan antara laki-laki dan perempuan semata-
mata hanya perbedaan kodrati dan dalam konteks peran dan tanggung jawab individu
maupun masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan sejatinya sama, keduanya
saling melengkapi.
Beberapa kendala yang menyebabkan perempuan belum dapat benar-benar
mengakses keadilan sebagaimana layaknya laki-laki, karena rendahnya Tingkat
Pemahaman perempuan terhadap hukum, ketidakcukupan Substansi Hukum yang
memadai, kultur hukum yang tidak mendukung serta prosedur hukum yang belum
responsif.
Mahkamah Agung dalam Pemenuhan Keadilan Bagi Perempuan menerbitkan
sejumlah kebijakan untuk menjamin perlindungan hak perempuan, diantaranya melalui
penerbitan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili
Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, Surat Edaran Mahkamah Agung,
Yurisprudensi, Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama Nomor 1959
Tanggal 25 Juni 2021 tentang "Pemberlakuan Ringkasan Kebijakan (Policy Brief) Jaminan
Perlindungan Hak-Hak Perempuan dan Anak Pasca perceraian serta Mewujudkan Mekanisme
Eksekusi yang Sederhana dan Efektif.
Kerangka kerja acuan berikut dapat digunakan Hakim Pengadilan Agama
dalam beretika, berkata, bersikap, dan berperilaku dalam memeriksa perkara perdata,
khususnya hukum keluarga dalam upaya melindungi hak-hak perempuan pada
penanganan perkara yang menyangkut kepentingan hukum perempuan, sehingga tidak
memunculkan diskriminasi kepada perempuan, dengan memandang relasi keduanya
bersifat dimanis dan tidak membatasi ruang lingkup aktivitas istri secara statis hanya
sebagai pengelola rumah tangga dan istri adalah mitra suami dalam membina rumah

19
20

tangga, bukan bawahan suami. serta berusaha mewujudkan interkoneksi sistem dalam
pelaksanaan putusan pengadilan agama untuk memberikan perlindungan dan jaminan
hak-hak perempuan.
DAFTAR PUSTAKA

Nuraziimah, Masayu Fatiyyah. “Efektivitas Keputusan Ditjen Badilag Nomor 1959 Tahun
2021 Tentang Jaminan Perlindungan Hak-Hak Perempuan Dan Anak Pasca Perceraian
Perspektif Maqasid Syari’ah.” Tesis Program Magister Jurusan Studi Islam Fakultas
Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia, 2022.
Simarmata, Edward. The Judiciary Kepemimpinan Pengadilan : Benchbook On Management
And Leadership. Edited by Ramelan and Hari Wahyudi. Jakarta Pusat: Sekolah Tinggi
Manajemen PPM, 2021.
Sitompul, Sofyan, and Dahlan Sinaga. Penemuan Hukum : Dalam Perspektif Teori Hukum
Bermartabat : The Dignified Justice Jurisprudence. Edited by D.Y. Witanto. Depok: PT.
Imaji Cipta Karya, 2021.
Suadi, H. Amran. Filsafat Keadilan : Biological Justice Dan Praktiknya Dalam Putusan
Hakim. Jakarta: Kencana, 2020.
Sunarto, H. Peran Aktif Hakim Dalam Perkara Perdata. Jakarta: Kencana, 2019.
Syarifuddin, H.M. Aksesibilitas Keadilan Bagi Perempuan Dan Anak : Peran Mahkamah
Agung Dalam Mewujudkan Keadilan Bagi Perempuan Dan Anak Berhadapan Dengan
Hukum. Edited by Achmad Cholil and Ade Firman Fathony. Depok: PT. Imaji Cipta
Karya, 2020.
———. Prinsip Keadilan Dalam Mengadili Perkara Tindak Pidana Korupsi : Implementasi
Perma Nomor 1 Tahun 2020. Jakarta: Kencana, 2020.
Syukur, H. Sarmin. Hukum Acara Peradilan Agama Di Indonesia. Surabaya: Jaudar Press,
2017.

https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/artikel-hukum/1968-interkoneksi-sistem-sebuah-
gagasan-prof-amran-suadi-tentang-jaminan-hak-perempuan-dan-anak-pascaperceraian
https://business-law.binus.ac.id/2014/10/24/desiderata-hukum/

https://www.komisiyudisial.go.id/frontend/news_detail/182/cha-ibrahim-hakim-dapat-
lakukan-penemuan-hukum

21

Anda mungkin juga menyukai