Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai bagian dari ilmu sosial Ilmu hukum adalah ilmu yang sangat
dinamis. Kelahiran hukum modern sekaligus menempatkannya dalam
posisi yang cukup sulit, yaitu berada dipersimpangan jalan (Bifurcation).
Sejakribuan tahun sebelum munculnya hukum modern, maka hukum
hanyaberurusan dengan perburuan keadilan (Searching For Juctice). Pada
waktu itubelum ada hukum negara atau hukum positif, melainkan hukum
alam. Tetapidengan kelahiran negara modern dan hukum modern, muncul
tuntutan agarhukum itu menjadi positif dan publik, yang di sebut hukum
harus di buat olehsuatu badan khusus, dirumuskan tertulis dan diumumkan
dihadapan publik.Akibatnya bahwa, yang tidak memenuhi persyaratan itu
tidak bisa di sebutsebagai hukum. Berakhirlah tatanan customary law,
interaction law, dan nonformal law. Sejak saat itu, maka hukum tidak lagi
tempat untuk berburukeadilan, melainkan menerapkan undang-undang.
Keadaan yang demikian itumenimbulkan persoalan yang amat besar,
bahkan gawat, karena proseshukum bukan hanya mencari keadilan,
melainkan juga menerapkan undangundang dan prosedur (law
enforcement). Orang sudah menjalankan hukumapabila sudah
menerapkan peraturan dan prosedur positif. Dengan bertindak. seperti itu
orang sudah bisa mengatakan bahwa “justice is done” atau “justice is
delivered.

Menurut Satjipto Rahadjo, yang dilakukan selama ini adalah lebih


banyak menampilkan wajah hukum yang serba teratur, yang serba pasti,
yang serba benar, yang serba adil, dan masih banyak lagi ungkapan
senada. Tetapi lupa, bahwa hukumpun bisa menampilkan wajah yang lain
yang mungkin lebih menyeramkan dan menakutkan Pencarian keadilan,
sejak di Kepolisian, Kejaksaan, hingga ke Pengadilan sangat jauh dari azas
cepat dan biaya ringan. Peradilan bagaikan mafia yang menyebabkan
pengadilan menjadi drama yang getir, the real drama, si jahat dan si baik,
si jujur dan si pendusta, ada penghianat ada pemegang amanat, drama terus
berlangsung sepanjang masa, selama manusia ada Cara-cara tidak fair
menjadi kenyataan yang tidak terpungkiri, masyarakatpun menjadi bagian
dari ketidakbenaran sistem hukum yan ada dengan mematuhinya. Penegak
hukum belakangan ini tidak memahami substansi, pencarian keadilan
menjadi barang mahal dengan biaya di luar akal sehat, pelapor dan terlapor
sama-sama tetap menyogok untuk saling dipermudah dan dipercepat,
aparat menjadi pisau bermata dua. Aparat hokum dimandulkan dengan
uang ataupun dengan pendekatan kekuasaan.

Sementara itu jika anggaran untuk kepentingan operasional aparat


kepolisian tidak mencukupi, para pelapor yang memerlukan jasa
kepolisian sering kali pula akan terpaksa ikut menanggung biaya segala
upaya penegakan hukum tersebut "Penegakan hukum" dan "penggunaan
hukum" menurut Satjipto Rahardjo adalah dua hal yang berbeda. Orang
dapat menegakkan hukum untuk memberikan keadilan, tetapi orang juga
dapat menegakkan hukum untuk digunakan bagi pencapaian tujuan atau
kepentingan lain. Maka menegakkan hukum tidak persis sama dengan
menggunakan hukum. Sosiologi hukum yang melihat kepada perilaku
nyata dari orang-orang yang mengoperasikan hukum (advokat, jaksa,
polisi dan lain-lain), tidak melihat bahwa semua orang dengan jujur
menjalankan hukum untuk mencapai keadilan, tetapi juga untuk tujuan dan
kepentingan pribadi yang sempit, termasuk menutupi kesalahan. Sikap
diskriminatif terhadap pengguna hukum oleh pelaksana hukum nampak
nyata, yang kaya di proses istimewa, yang tidak berpunya di proses lambat
dan berbelit-belit dengan dalih proses normatif. Padahal, ada banyak hal
yang tidak seharusnya di proses dengan rigit dan formal, mengingat
ketidakmampuan masyarakat baik di ukur pada tingkat pendidikan maupun
kultur masyarakat yang kadang-kadang masih konservatif. Norma-norma
moral sengaja diabaikan, tidak ada norma yang dapat dijadikan rujukan
selain dari apa yang telah tertulis dalam undang-undang. sebagaimana
menurut Kelsen. Masalah hukum yang terjadi dalam masyarakat Bima
berawal dari halhal sepele dan terkadang tidak rasional. Seperti saling
olok, atau tersinggung terhadap ucapan dan sikap orang lain, hingga
permasalahan perdata berujung pada kekerasan fisik sebagai cara
pelampiasan emosi, yang tidak jarang menimbulkan korban fisik hingga
meninggal dunia. Terhadap watak masyarakat Bima yang keras, sikap
penegak hukum terkesan memperkeruh kondisi sosial masyarakat yang
memegang motto hidup “maja labo dahu” atau malu dan takut dengan
sangat taat dan patuh, termasuk pula ketaatan terhadap hukum. Sehingga,
main hakim sendiri menjadi preferensi sebagian besar masyarakat sebagai
bentuk pelampiasan akibat ketidakpuasan terhadap hukum dan organ-
organ yang menjalankannya. Tidak ada penghargaan terhadap kepatuhan
masyarakat terhadap hukum, malah memanfaatkannya dengan alasan
prosedural yang sulit dimengerti masyarakat awam.

Dalam benak penegak hukum Indonesia masih belum menyingkirkan


Penafsiran hukum legalistik-positivistik, masih menganut paham
positivisme, yang menggangap hukum adalah seperangkat aturan terhadap
tingkah laku yang dipahami sebagai sistem.

Para profesional tersebut berdalihmemerlukan semacam legitimasi ilmiah,


termasuk teori, doktrin, dan azas sehingga merasa lebih mantap dalam
menjalankan pekerjaannya.

Masyarakat yang berpikiran praktis-rasional belum memahaminya, hingga


kesan hukum menyusahkan menjadi stereotip di mata masyarakat Bima.
Saluran-saluran legal dalam mencari keadilan terhalang oleh banyaknya
tanggul-tanggul formalistis, memutar, memberi kanal buntu. Penegak
hukum di Bima masih memandang masyarakat sebagai obyek, bukannya
sebagai subyek. Hal ini menyebabkan kekerasan personal yang bisa saja
berujung konflik komunal menjadi pilihan masyarakat dalam memenuhi
hak dan kewajiban, baik hak-hak dalam permasalah hukum pidana maupun
hokum perdata, karena tidak adanya penghargaan ketaatan hukum dan rasa
malu sebagai motto. Nampaknya, hukum di tangan penegak hukum
menjadi kotor dan penuh noda, rakyat mencium itu hingga enggan
mendekati apalagi menggunakannya. Sehingga, hukum tidak lagi sesuai
dengan harapan Satjipto Rahardjo yakni, Ilmu hukum melahirkan teori-
teori yang berpusat pada kenyataan baru, yaitu lahirnya sebuah tatanan
atau ketertiban yang di dukung secara pasif oleh hukum perundang-
undangan.

Berangkat dari realitas di atas juga kultur masyarakat Bima yang terbuka
dan realistis dengan watak ketimuran yang keras, konflikpun menjadi
jawaban bila masyarakat berurusan dengan masalah hukum. Timbulnya
konflik ada yang dapat di prediksi ada pula yang tidak. Ciri kehidupan
masyarakat pedesaan di Indonesia meliputi, konflik dan persaingan,
kegiatanbekerja, sistem tolong menolong, gotong royong dan jiwa gotong
royong, musyawarah dan jiwa musyawarah.

Konfliknya terutama dalam ranah hukum pidana dan perdata, seperti


seperti jual-beli, pertanahan hingga warisan. Para tokoh masyarakat dan
Pemerintah Desa belakangan secara preventif mulai menyadari bahwa
masalah perdata seperti sengketa jual-beli dan pertanahan atau warisan,
masalah pidana seperti keramaian malam yang diadakan sebagai perayaan
pernikahan, dan sikap menyimpang kalangan remaja seperti, konsumsi
minuman keras, maling, menggoda wanita lainnya kerap menjadi pemicu
konflik. Sumber dari banyak pertengkaran dalam masyarakat pedesaaan
Indonesia rupa-rupanya berkisar hal tanah, sekitar hal perbedaan antara
kaum tua kaum muda dan sekitar perbedaaan antara pria dan wanita.

Ketersinggungan ini akan menyebabkan konflik yang sangat


membahayakan masyarakat lainya, mengingat budaya masyarakat
membawa senjata tajam seperi pisau hingga parang saat bepergian atau
keluar rumah dengan alasan untuk menjaga diri. Sehingga jika terjadi
ketersinggungan kecil saja, penggunaan senjata tajam untuk menyerang
orang lain dan atau mempertahankan diri menjadi hal biasa, akan lebih
parah bila masalahnya memang sudah terpendam lama atau sudah saling
dendam. Keberadaan hukum positif untuk menjamin keteraturan dalam
masyarakat tidaklah dominan dalam mengatur ketertiban dan masalah
hukummasyarakat Bima. Terhadap masalah yang mereka anggap masih
tidak perlu campur tangan penegak hukum, masyarakat memilih
menyelesaikannya sendiri tanpa bantuan hukum positif atau penegak
hukum, karena ketidakmampuan penegak hukum menafsirkan azas
keadilan, kepastian, dan kemamfaatan hukum yang diidamkan oleh Gustav
Redbruch baik sebagai pencegahan, pengaturan maupun penindakan.
Dalam pandangan masyarakat Bima, proses hukum yang tidak mampu
menyelesaikan masalah, namun menimbulkan masalah baru yang tidak
pasti, menyebabkan masyarakat akan memilih cara lain yang lebih arif,
lebih pasti, lebih adil, lebih bermamfaat di luar daripada peraturan hukum
formal. Dalam berbagai peristiwa di tengah-tengah kehidupan tradisional
menurut Soetandyo Wignjosoebroto, dua model penyelesaian sengketa
yakni penyelesaian secara hukum adat dan hukum positif tidak selamanya
bersifat komplementer, namun justru sering bersifat kompetitif yang
memungkinkan para pelaku hukum membuat pilihan, model penyelesaian
sengketa mana yang kira-kira akan lebih mengungungkan posisinya dan
melindungi kepentingannya.

Kenyataan berhukumnya masyarakat Bima juga cenderung dualistis, ada


kalangan masyarakat di Kabupaten Bima memiliki cara yang berbeda
dalam memahami dan menerapkan hukum, memilih untuk menyelesaikan
masalah hukumnya di luar ranah yudikatif, ada pula yang tidak. Seperti
halnya ADR (alternative despute resolution) atau alternatif penyelesaian
sengketa yang dipopulerkan AmerikaMemilih apakah berhukum dengan
cara mereka sendiri atau tunduk pada hukum positif, mengingat kehidupan
sosial masyarakat Bima dalam berinteraksi tidaklah terputus oleh adanya
konflik yang telah terjadi, karena besok atau lusa akan bertemu lagi baik di
sawah, atau acara hajatan keluarga yang tidak mungkin konflik itu terjaga
secara terus menerus. Menyebabkan keterbatasan dalam mencari
kebutuhan hidup untuk menafkahi diri dan keluarga, atau terbatas ketika
hendak berinteraksi dengan sanak famili lainnya karena membayangkan
permusuhan yang terus menerus. Menyelesaikan permasalahan hukum
cenderung terlebih dahulu di luar ranah yudikatif sebagai langkah awal,
meski itu merupakan tindak pidana murni apalagi kasus perdata. Karena
masyarakat berpegang pada motto hidup maja labo dahu. Masyarakat
Bima bila berurusan dengan pihak yang berwajib akan merasa sangat
malu, baik secara pribadi maupun atas nama keluarga atau keturunan, di
samping pola pikir yang tidak mau repot apalagi direpotkan. Penyelesaian
melalui jalur hukum positif tetap menjadi pilihan terakhir sebagai
alternatif. Praksis tidak akan melanjutkan pada proses hukum formal
seandainya masalah hukum tersebut selesai dengan cara yang mereka
tempuh, disinilah fungsi Palu Hakim dapat di ketok di rumah Ketua RT,
Kantor Desa, pelataran masjid atau Kantor Camat.

Pilihan untuk tetap melanjutkan pada ranah yudikatif adalah alternatif


terakhir (ultimum remidium). Dalam mengoperasikan hukum ini
(menyelesaikan masalah hukum) peranan masyarakat sipil sangat
menentukan meski terdapat kriteria tertentu yang harus menjadi syarat
kekuatan legitimasinya. Seperti penghormatan dan penghargaan
masyarakat terhadap tokoh masyarakat tersebut dengan memperhatikan
strata sosial, ekonomi, pendidikan atau alim ulama. Penegak hukum seperti
Polisi yang ada atau menetap di tengah-tengah masyarakat, juga memiliki
peran besar sebagai legitimasi dari Institusi Kepolisian, meski pada saat
penyelesaian masalah tersebut ia tidak sedang tidak dalam tugas kedinasan
resmi. Karena masyarakat tidak menginginkan itu, peran polisi di sini
hanya sebagai simbol semata dan hanya dapat bermakna verbal.
Pemerintah desa setempat, oleh Ketua Rukun Warga (RW) dan Ketua
Rukun Tetangga (RT) hingga jajaran pemerintahan kecamatan,
mengupayakan cara-cara kekeluargaan atau cara damai terhadap kedua
subyek hukum yang bermasalah. Peran Pemerintah Desa dalam mendesain
masalah tersebut untuk menemukan solusi terlihat disini. Seni
kepemimpinan yang diplomatis menjadi salah satu keahlian tersendiri
dalam menyelesaikan

masalah, mereka bisa saja mengikutsertakan tokoh masyarakat yang


dihormati, baik ia sebagai pejabat pemerintah yang tinggal di desa
tersebut, hingga mengukur dengan wibawa keluarga terpandang atau
kemampuan ekonomi di atas rata-rata, orang cerdik pandai dan alim
ulama. Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Penyelesaian Sengketa, secara tegas menyatakan bahwa semua
penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin
timbul dari hubungan hukumtersebut dengan cara arbiterase atau melalui
penyelesaian sengketa alternatif. Hanya sayangnya undang-undang ini
tidak mengatur secara rinci dan tegas tentang bentuk-bentuk alternatif
penyelesaian sengketa kecuali mengenai arbiterase. Sehingga masyarakat
dalam penelitian ini memiliki cara tersendiri dalam menyelesaikan
masalah hukumnya. Selama dalam suatu masyarakat ada sesuatu yang
dihargai, dan setiap masyarakat pasti mempunyai sesuatu yang
dihargainya, maka hal tersebut akan menjadi bibit yang dapat
menumbuhkan adanya sistem berlapis-lapisan dalam masyarakat itu.
Barang sesuatu yang dihargai dalam masyarakat mungkin berupa uang
atau benda yang bernilai ekonomis, mungkin juga berupa tanah,
kekuasaan, ilmu pengetahuan, kesalehan dalam agama atau mungkin juga
keturunan dari keluarga yang terhormat.

Menurut Satjipto Rahadjo, inilah yang di sebut sebagai budaya hukum.


Oleh karena itu, upaya memahami hukum suatu bangsa secara lengkap
tidak hanya dilakukan melalui pengamatan terhadap sistem formalnya,
melainkan sampai pada budaya hukumnya. Budaya hukum merupakan
semacam kekuatan yang menggerakkan bekerjanya hukum. Kendati
bangsa-bangsa menggunakan hukum yang sama, tetapi perbedaan budaya
hukum bangsabangsa itu akan menentukan bagaimana dalam
kenyataannya hukum itu bekerja.

Satjipto Rahardjo mengutip Donald Black, seorang ahli sosiologi hukum


Amerika terkemuka, menyarankan bahwa, sudah saatnya orangmelihat
pada perubahan-perubahan yang terjadi dalam hukum, bagaimana hukum
itu di lihat dan diartikan serta bagaimana hukum dijalankan dalam
masyarakat. Black melihat adanya perubahan penting yang makin
meninggalkan cara mengkaji dan melihat hukum hanya dari kecamata
perundang-undangan semata.

Seandainya permasalahan hukum yang terjadi di masyarakat tidak di


antisipasi atau diselesaikan dengan budaya hukum yang ada, maka hal-hal
yang tidak diinginkan yang lebih besar lagi akan terus membayangi,
karena akan melahirkan solidaritas sosial yang menimbulkan chaos,
menyebabkan konflik yang lebih besar yakni antar keluarga atau antar
kelompok masyarakat bahkan antar desa. Memaksakan ke meja hijau
kasus-kasus, tanpa melewati cara-cara yang disebutkan di atas, tidaklah
menjamin masalah terselesaikan, karena hanyalah memendam bara dalam
sekam, yang sewaktuwaktu akan terbakar lagi. Konflik ini akan menjadi
laten, karena menyelesaiakan masalah tidak pada substansi, akan tetapi
hanya mengalihkan sementara ke pengadilan. Jika permasalahan hukum
tersebut terjadi lintas desa, sangat terbuka kemungkinan perang antar
kampung, penyebab dan polanya tidak jauh berbeda. Serupa dengan
konflik perorangan yang menyebabkan konflik kelompok, konflik antar
kampung ini juga merupakan konflik laten di seluruh desa di Kabupaten
Bima. Peperangan antar kampung di Kabupaten Bima adalah masalah
klasik, peralatan perang tidak lagi tradisional menggunakan panah, tombak
atau parang semata, namun sudah menggunakan senjata api rakitan hingga
organik. Dampaknya tidak saja terganggu secara ekonomi, masyarakat
tidak bisa melewati batas desa masing-masing karena akses jalan pasti
terputus, namun juga korban luka-luka hingga nyawa. Di sisi lain, konflik
komunal semacam ini, akan mudah tersusupi oleh kepentingan politik,
baik kepentingan elit politik lokal maupun nasional. Ketidakpatuhan
masyarakat dalam penerapan hukum positif akan sangat bergantung dari
aparat penegak hukum yang benar-benar amanah dengan mampu melihat
rasa keadilan masyarakat, sendainya pelaksanaan hukum sesuai dengan
rasa keadilan masyarakat, maka masyarakat tidak akan memilih cara
berhukum sendiri. Hal tersebut terbukti dari ada masyarakat yang memilih
dalam menyelesaikan masalah hukumnya dalam dua pilihan seperti yang
di bahas sejak awal.
B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut :


1. Kasus hukum apa sajakah yang diselesaikan masyarakat Bima di luar
jalur hukum positif?
2. Apakah alasan masyarakat Bima memilih penyelesaian kasus hukum
di
luar hukum positif?
3. Bagaimanakah model penyelesaian kasus hukum masyarakat Bima di
luar hukum positif?

C. Tujuan Penulis

Adapun tujuan penulis pada makalaah ini adalah sebagai berikut:


1. Mengetahui jenis kasus hukum yang diselesaikan masyarakat Bima di
luar jalur hukum positif.
2. Mengetahui alasan masyarakat Bima memilih penyelesaian kasus
hukum
di luar hukum positif.
3. Mengetahui model penyelesaian kasus hukum masyarakat Bima di luar
hukum positif.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Sosiologi
Sosiologi berasal dari kata socius yang artinya teman, dan logos yang
artinya ilmu. Secara harfiah, sosiologi berarti ilmu yang mempelajari
tentang hidup bermasyarakat atau ilmu bersama. Definisi tersebut tidak
membuat orang-orang puas dikarenakan sosiologi tidak hanya membuat
studi tentang masyarakat yang sifatnya marko saja tetapi juga tentang
perilaku-perilaku sosial yang sifatnya mikro.
Sosiolog De Saint Simon, bapak perintis sosiologi (1760 – 1825)
menjelaskan bahwasanya sosiologi itu mempelajari masyarakat dalam
aksi-aksinya dan dalam usaha koleksinya, baik spritual maupun material.

Berikut beberapa pengertian sosiologi menurut para ahli/pakar :


- Auguste Comte (1789 – 1857)
Ia dikenal sebagai pendukung dari aliran positivisme. Berasal dari
perancis, ia merupakan orang pertama yang menggunakan kata
sosiologi untuk ilmu ini. Comte mengartikan sosiologi sebagai ilmu
positif tentang masyarakat. Bagi dia, Sosiologi adalah studi empiris
tentang masyarakat. Auguste Comte sangat berambisi untuk
menjadikan sosiologi sebagai suatu studi ilmiah yang mempelajari
tentang masyarakat. Ia ingin menempatkan sosiologi agar sejajar
dengan ilmu-ilmu alam. Oleh karena itulah ia menyebut ilmu itu
dengan nama lain yakni fisika sosial.

- Emily Durkheim (1858 – 1917)


Adalah orang perancis yang berkebangsaan yahudi. Lahir di Epinal
Prancis tanggal 15 april 1858. Durkheim adalah orang pertama yang
meletakkan dasar yang kuat pada sosiologi sebagai satu studi ilmiah
dengan mengembangkan penelitian di dalam bidang sosiologi.
Menurutnya, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang fakta
sosial. Apa itu fakta sosial? Fakta sosial adalah sesuatu yang berada
diluar individu. Dukheim kiranya perlu untuk mengatakan ini secara
eksplisit karena di dalam sosiologi terdapat paham lain yang
menyatakan bahwasanya kenyataan sosial yang merupakan hasil
definisi seorang individu atas sebuah tindakan sosial. Beberapa contoh
dari tindakan sosial tersebut ialah kebiasaan-kebiasaan, norma-norma,
peraturan-peraturan, hukum-hukum, dan lain sebagainya. Tetapi fakta
sosial yang paling besar menurut Durkheim itu sendiri ialah
masyarakat. Oleh karena itu, objek kajian/objek studi dari sosiologi
adalah hal-hal yang termasuk dalam fakta sosial.

- Max Weber (1864 – 1920)


Adalah seorang sosiolog berkebangsaan jerman. Dalam sosiologi, Max
dikenal sebagai orang yang mendukung paradigma definisi sosial.
Menurutnya, sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang berusaha untuk
memahami tindakan sosial secara intrepretatif. Atau dengan kata lain,
sosiologi adalah ilmu yang berhubungan dengan pemahaman
interpretatif mengenai tindakan sosial supaya diperoleh kejelasan
mengenai arah, maksud, dan akibat dari tindakan tersebut.

- Peter L. Berger
Peter L. Berger menjelaskan bahwa sosiologi adalah ilmu atau studi
ilmiah mengenai hubungan antara individu dan masyarakat. Dalam
definisi itu terkandung pemahaman bahwa individu dianggap adalah
subyek sedangkan masyarakat adalah obyek. Hubungan antara
keduanya sebagai subyek dan obyek saling melengkapi dan
menentukan eksistensi satu sama lain. Individu tidak mungkin ada
tanpa adanya masyarakat dan sebaliknya masyarakat tidak mungkin
eksis tanpa adanya individu-individu. Peter L. Berger menyebutkan
sosiologi sebagai studi ilmiah dikarenakan sosiologi memiliki
beberapa unsur yang dimiliki oleh ilmu pengetahuan, yakni :
- Sosiologi bersifat empiris
- Sosiologi bersifat teoritis
- Sosiologi bersifat kumulatif
- Sosiologi bersifat bebas nilai / apa adanya.

- Mayor Polak
Polak mengatakan bahwa sosiologi adalah :
1. Suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat.
2. Sosiologi ialah ilmu pengetahuan yang mempelajari
masyarakat sebagai keseluruhan, yakni antara hubungan
manusia dengan manusia, manusia dengan kelompok, dan
kelompok dengan kelompok.
3. Sosiologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari
masyarakat sebagai keseluruhan, yakni hubungan antara
manusia dengan manusia, manusia dengan kelompok, dan
kelompok dengan kelompok yang sifatnya formal maupun
material.
4. Sosiologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari
masyarakat sebagai keseluruhan, yakni hubungan antara
manusia dengan manusia, manusia dengan kelompok, dan
kelompok dengan kelompok baik formal maupun material, baik
statis maupun dinamis.

- Soerjono Soekanto
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang struktur sosial dan
proses-proses sosial yang didalamnya termasuk perubahan-perubahan
sosial.
2. Sejarah perkembangan sosiologi
Pada awal perkembangannya, sosiologi lahir karena adanya gejolak sosial
dari efek revolusi industri. Akibat revolusi tersebut banyak terjadi
eksploitasi tenaga kerja dan urbanisasi yang sangat besar. Dari situlah
peran ilmu pengetahuan dibutuhkan untuk memberikan pengamatan serta
pengalaman kepada masyarakat yang kemudian dikemas dalam rancangan
ilmu sosiologi. Lalu pada abad ke-19 muncul banyak sekali konflik di
dunia yang mengakibatkan perubahan sosial terjadi secara besar-besaran.
Terlebih lagi pada tahun 1798 terjadi revolusi di perancis yang
menimbulkan banyak kekhawatiran di tengah-tengah masyarakat. Oleh
karena itu, Auguste Comte merancang sebuah penelitian yang ia gunakan
untuk mempelajari pola-pola perilaku masyarakat. Penelitian sosial yang
dilakukan oleh Auguste Comte itu kemudian dikenal sebagai Sosiologi.

3. Unsur ilmu pengetahuan sosiologi


Berikut ini beberapa unsur ilmu pengetahuan dari sosiologi beserta
penjelasannya :
- Sosiologi bersifat logis, artinya sosiologi disusun secara masuk akal
dan tidak bertentangan dengan logika sebagai pola pemikiran untuk
mengambil sebuah kesimpulan.
- Sosiologi bersifat objektif, artinya sosiologi selalu berdasar pada fakta
dan data yang ada tanpa adanya manipulasi dari data tersebut.
- Sosiologi bersifat sistematis, artinya sosiologi disusun dengan rapi dan
sesuai dengan kaidah-kaidah keilmuan.
- Sosiologi bersifat akumulatif, artinya sosiologi adalah ilmu yang akan
selalu berkembang dan bertambah seiring dengan perkembangan
manusia dalam memenuhi keinginan dan juga hasratnya dalam
memenuhi kehidupan.
- Sosiologi bersifat empiris, artinya sosiologi didasarkan pada observasi
terhadap kenyataan dan juga akal sehat serta hasilnya itu tidak
spekulatif.
- Sosiologi bersifat teoritis, artinya sosiologi berasal dari abstraksi hasil
pengamatan di lapangan, sehingga menjadi suatu teori yang logis.
- Sosiologi bersifat nonetis, artinya sosiologi tidak mempersoalkan baik
atau buruknya masalah tersebut, tapi bersifat netral dalam menangani
atau menjelaskan masalah tersebut.

4. Sifat hakikat sosiologi


Menurut Selo Soemardjan dan Soemardi, sifat hakikat sosiologi yakni :
- Sosiologi termasuk ilmu sosial karnayan dipelajari ialah gejala
kemasyarakatan dan bukan merupakan ilmu pengetahuan alam maupun
ilmu pengetahuan kerohanian.
- Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang kategoris, artinya
sosiologi membatasi diri pada apa yang terjadi dan bukan pada apa
yang harus terjadi.
- Sosiologi itu bukan merupakan disiplin yang normatif, bukan
merupakan disiplin ilmu kategoris yang membatasi diri pada kejadian
yang terjadi saat ini.
- Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang rasional.
- Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang murni dan bukan
merupakan ilmu pengetahuan terapan yang terpakai.

5. Objek kajian sosiologi


Objek kajian dari sosiologi adalah manusia. Ada banyak ilmu-ilmu lain
yang menjadikan manusia sebagai objek kajiannya, tapi yang membedakan
sosiologi dengan ilmu-ilmu tersebut ialah sosiologi mempelajari tentang
aspek sosial dari manusia/masyarakat. Juga, sosiologi ini lebih
memfokuskan diri pada hal-hal yang berkaitan dengan hubungan antara
individu dan kelompok yang memiliki hubungan timbal balik.

6. Fungsi sosiologi
- Fungsi sosiologi dalam perencanaan sosial.
Perencanaan sosial adalah kegiatan untuk mempersiapkan masa depan
individu di masyarakat. Tujuan dari perencanaan itu ialah untuk
mengetahui kemungkinan munculnya masalah-masalah disaat
terjadinya sebuah perubahan. Berikut ini beberapa fungsi sosiologi
dalam hal perencanaan sosial :
1. Perencanaa sosial merupakan alat untuk mengetahui perubahan
yang terjadi di masyarakat.
2. Perencanaan disusun atas dasar kenyataan yang faktural
3. Perencanaa digunakan untuk mengantisipasi berbagai masalah
yang timbul di lingkungan masyarakat.
4. Perencanaan sosial sebagai alat untuk mengetahui perkembangan
yang terjadi di lingkungan masyarakat.
- Fungsi sosiologi dalam hal penelitian
Penelitian adalah suatu usaha untuk meningkatkan ilmu. Penelitian
berguna untuk memberikan sebuah gambaran mengenai kehidupan
masyarakat. Dalam sosiologi, kegiatan penelitian biasanya mengkaji
berbagai masalah atau gejala-gejala yang timbul di masyarakat, setelah
itu akan diperoleh suatu rencana penyelesaian sosial yang baik. Setelah
diperolehnya rencana penyelesaian tersebut, diambilah keputusan
untuk merencanakan penyelesaian suatu masalah sosial. Berikut ini
beberapa fungsi sosiologi dalam hal penelitian :
1. Untuk mempertimbangkan gejala-gejala sosial yang timbul dalam
masyarakat.
2. Untuk memahami pola tingkah laku di dalam masyarakat.
3. Untuk selalu berhati-hati dan bersikap rasional.
4. Agar dapat mengetahui perubahan tingkah laku anggota
masyarakat.
5. Untuk mengetahui simbol,kode, dan berbagai macam istilah yang
menjadi objek penelitian.

- Fungsi sosiologi dalam pembangunan


Pembangunan adalah perubahan yang dilakukan dengan terencana dan
terarah. Proses ini bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup
masyarakat, baik secara spiritual maupun material. Fungsi sosiologi
dalam pembangunan adalah untuk memberikan data sosial yang
digunakan perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian pembangunan.

- Fungsi sosiologi dalam pemecahan masalah sosial


Masalah muncul biasanya dikarenakan adanya kesenjangan antara
harapan dan kenyataan. Masalah sosial yang muncul di lingkungan
kemasyarakatan berkaitan dengan nilai-nila dan juga lembaga-lembaga
kemasyarakatan. Disebut masalah sosial dikarenakan dapat
mengganggu keharmonisan antar masyarakat. Oleh karena itu haruslah
ada penyelesaian atas masalah tersebut.

- Peran sosiologi
1. Sebagai ahli riset, tujuannya adalah untuk mencari data kehidupan
sosial dalam masyarakat.
2. Sebagai konsultan kebijakan. Prediksi sosiologi dapat berpengaruh
terhadap kebijakan sosial yang mungkin saja terjadi.
3. Sebagai praktisi.
4. Sosiologi sebagai guru atau pendidik.

7. Metode-Metode dalam sosiologi


Berikut ini beberapa metode dalam sosiologi :
- Metode Kualitatif
Metode ini mengutamakan bahan yang sukar dapat diukur dengan
angka-angka atau dengan ukuran-ukuran yang bersifat eksak,
walaupun bahan-bahan tersebut terdapat dengan nyata dalam
masyarakat. Dalam metode ini termasuk metode historis dan metode
komparatif yang keduanya dikombinasikan menjadi historis-
komparatif.
- Metode Komparatif
Adalah metode perbandingan antara bermacam-macam masyarakat
beserta bidang-bidangnya untuk memperoleh perbedaan dan
persamaan serta sebab-sebabnya.
- Metode Studycase (Studi Kasus)
Metode ini bertujuan untuk mempelajari sedalam-dalamnya salah satu
gejala nyata dalam kehidupan masyarakat. Alat yang biasa digunakan
dalam metode ini adalah wawancara, memberi pertanyaan, dan lain-
lain.

Lalu ada juga yang namanya penjenisan dalam metode sosiologi yang
terdiri dari :
- Metode Induktif, yakni suatu gejala yang khusus untuk mendapatkan
kaidah-kaidah yang berlaku dalam lapangan yang lebih luas.
- Metode Deduktif, adalah kaidah-kaidah yang dianggap berlaku umum
untuk dipelajari dalam keadaan khusus.

8. Bidang Kajian Sosiologi


- Sosiologi Industri
Sehubungan dengan nilai-nilai masyarakat, industrialisme telah
menyumbangkan banyak pengaruhnya yakni antara lain pergeseran
status serta peran perempuan, laki-laki dan keluarga. Contohnya yaitu
semakin banyak perempuan yang masuk ke dalam dunia industri
menyebabkan struktur keluarga menjadi berubah dari keluarga dengan
laki- laki sebagai pencari nafkah menjadi keluarga dengan laki-laki dan
perempuan sebagai pencari nafkah. Dari berubahnya struktur keluarga
ini akan menyebabkan munculnya berbagai perubahan dan pergeseran
sosial lainnya. Tidak hanya itu, industrialisme juga membentuk sifat
stratifikasi sosial masyarakat. Pengaruh industrialisasi terhadap
stratifikasi sosial sangat besar. Industrialisasi semakin memperjelas
bentuk-bentuk stratifikasi yang ada pada masyarakat. Industrialisasi
membedakan secara tajam antara pemilik proses produksi (majikan)
dengan mereka yang tidak memiliki proses produksi (buruh) atau
antara mereka yang berpendidikan dengan mereka yang tidak
berpendidikan.

Industrialisme juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap


lembaga-lembaga politik. Seperti yang kita ketahui bahwasanya dalam
banyak kasus yang terjadi di masyarakat, para pemilik modal bisa ikut
mengendalikan negara melalui dukungan dana bagi para
penyelenggara negara, sebab mereka bisa memaksakan
kepentingannya dalam berbagai kebijakan yang dibuat. Akan tetapi di
lain pihak, industrialisme ternyata juga menyumbang bagi munculnya
sejumlah masalah sosial yang kompleks. Otomatisasi yang merupakan
salah satu unsur industri telah mempertajam kenaikan tingkat
kemiskinan dan pengangguran. Contohnya, akibat pemakaian mesin-
mesin industri maka banyak tenaga kerja wanita yang tidak terpakai
lagi. Di samping itu pemakaian mesin mensyaratkan tenaga kerja yang
mempunyai skill tertentu, sehingga tenaga kerja yang tidak
mempunyai skill akan tergeser dari dunia industri. Industrialisme juga
mendorong munculnya penyimpangan-penyimpangan. Industri yang
mensyaratkan modal besar mendorong munculnya berbagai tindak
kejahatan ekonomi, seperti korupsi, penggelapan pajak, penimbunan
barang, dan lain-lain. Dengan memperhatikan uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa industrialisme telah menyumbang bagi munculnya
masalah-masalah etis dan filosofis mengenai hubungan manusia
dengan pekerjaan, organisasi, dan dengan seluruh rakyat. Fenomena
industri yang sebagaimana di uraikan di atas menjadi perhatian para
sosiolog yang pada akhirnya melahirkan bidang kajian sosiologi
industri.
Sosiologi industri sendiri dalam mengkaji fenomena industri lebih
menitikberatkan kajiannya pada faktor manusia, dan mengkaitkannya
dengan faktor mesin serta mekanisme kerja pabrik yang berorientasi
pada efisiensi dan efektivitas. Hal ini karena sosiologi memandang
industri sebagai kumpulan manusia yang berhubungan dan bekerja
sama untuk menjalankan mesin di pabrik, dan manusia tersebut
memiliki struktur sosial dan tindakan yang khas dibandingkan dengan
kumpulan manusia yang bekerja di tempat lain.
Kajian sosiologi industri dibedakan atas kajian yang bersifat mikro dan
kajian yang bersifat makro.
● Kajian yang bersifat mikro melihat industri sebagai masalah
perburuhan.
● Sedangkan kajian yang bersifat makro sifatnya lebih luas yaitu lebih
bertumpu pada kondisi masyarakat, baik dilihat dari politik, struktur
sosial, ataupun budayanya.
Dalam tatanan pabrik, sosiologi industri digunakan untuk memahami
fenomena pemogokan, sedangkan dalam tatanan masyarakat sosiologi
industri digunakan untuk menjelaskan sejarah perkembangan
masyarakat, klasifikasi masyarakat, memproyeksikan lahirnya
masyarakat baru, memahami peran penting buruh sebagai pembawa
aspirasi ekonomi dan politik rakyat kecil, dan merangsang bagi
pemberdayaan masyarakat. Tujuan dari mempelajari sosiologi industri
adalah untuk mengetahui pengaruh industri dari lingkungan sosial,
yang mana di dalamnya termasuk ekonomi, sistem sosial, dan
hubungan sesama manusia. Tak lupa, objek kajian dari sosiologi
industri tidak lain dan tidak bukan adalah masyarakat yang selalu
dihubungkan dengan aktivitas industri yang di dalamnya termasuk
hubungan antar manusia dalam rangka melakukan pekerjaan.
Pekerjaan yang dimaksud pun bermacam-macam, baik dalam
perpindahan kerja atau jabatan maupun tingkat kepuasan, kesempatan,
maupun monotonitas atas resiko dan upah yang didapatkan.

- Sosiologi Hukum
Sosiologi hukum lahir di fenomena abad ke-20. Memasuki abad 20,
terjadi perubahan penting yang akan memberikan dampak terhadap
cara-cara orang mempelajari hukum, sebab pada abad ke-19 cara
mempelajari hukum lebih banyak memekarkan substansi hukum,
sedangkan pada abad 20, mengalami perubahan dalam cara
mempelajari hukum yang lebih banyak menyangkut metodenya.
Bidang kajian sosiologi hukum termasuk bidang kajian yang usianya
relatif masih muda. Dengan demikian maka apa yang telah dicapai
oleh sosiologi hukum sejauh ini pada umumnya masih merupakan
pencerminan dari apa yang sudah dicapai oleh ahli-ahli yang
memusatkan perhatiannya pada sosiologi hukum.
Sosiologi hukum merupakan suatu cabang dari sosiologi umum
sebagaimana halnya dengan sosiologi keluarga, sosiologi industri,
sosiologi politik, ataupun sosiologi ekonomi. Sosiologi hukum
merupakan suatu disiplin ilmu yang sangat muda dan merupakan
cabang sosiologi yang terpenting, sampai sekarang masih dicari
perumusannya. Sosiologi hukum masih belum mempunyai batas-batas
yang jelas, para ahli sosiologi hukum juga masih belum mempunyai
kesepakatan mengenai pokok persoalan tentang apa itu sosiologi
hukum. Alvin S. Johnson mengemukakan bahwa sosiologi hukum
adalah bagian dari sosiologi jiwa manusia, yang menelaah sepenuhnya
atas realitas sosial hukum, dimulai dari hal-hal nyata, seperti observasi
perwujudan lahiriah dalam kebiasaan-kebiasaan kolektif yang efektif
dan juga dalam materi dasarnya (struktur ruang dan kepadatan
lembaga-lembaga hukumnya secara demografis).
Sosiologi hukum memulai dari pola-pola perlambangan hukum,
mengorganisasi prosedur-prosedur hukum dan sanksinya sampai pada
simbol-simbol hukum yang sesuai, misalnya kefleksibelan peraturan-
peraturan dan kespontanan hukum. Satjipto Rahardjo mengatakan
bahwa obyek yang menjadi sasaran studi sosiologi hukum adalah
mengkaji pengorganisasian sosial hukum. Obyek sasarannya adalah
badan-badan yang terlibat dalam penyelenggaraan hukum, yaitu
pembuat undang-undang, polisi, jaksa, notaris, advokat dan
pengadilan.
Pemikiran sosiologi hukum juga lebih berfokus pada keberlakuan
empiris atau faktual dari hukum. Hal ini memperlihatkan bahwa
sosiologi hukum tidak secara langsung diarahkan pada hukum sebagai
sistem konseptual, melainkan pada kenyataan sistem kemasyarakatan
yang di dalamnya terdapat hukum yang hadir sebagai hal yang
diutamakan. Obyek utama sosiologi hukum adalah masyarakat, setelah
itu barulah norma-norma hukum. Sosiologi hukum memandang hukum
dari luar hukum. Dalam hal ini sosiologi hukum mencoba untuk
memperlakukan sistem hukum dari sudut pandang ilmu sosial. Lalu,
ada beberapa masalah-masalah yang banyak disoroti ketika sedang
membahas objek kajian dari sosiologi hukum itu sendiri. Masalah-
masalah tersebut yakni :
● Hukum dan sistem sosial
Suatu sistem hukum merupakan pencerminan dari suatu sistem sosial
di mana sistem hukum tadi merupakan bagiannya. Dengan demikian
maka dalam hal ini perlu dikaji mengenai masalah dalam keadaan-
keadaan apa dan dengan cara-cara yang bagaimana sistem sosial
mempengaruhi suatu sistem hukum sebagai subsistemnya, dan sampai
sejauh mana proses pengaruh mempengaruhi tersebut bersifat timbal
balik, Misalnya sistem perkawinan (kawin siri, kawin kontrak, kawin
secara agama, dan lain-lain) yang dianut oleh sebagian anggota
masyarakat apakah akan mempengaruhi hukum perkawinan yang
berlaku di masyarakat tersebut? Dan apakah hukum perkawinan yang
diterapkan dalam masyarakat akan mendorong hilangnya salah satu
sistem perkawinan yang ada di masyarakat tersebut? Apakah dengan
diperkenalkannya suatu sistem perkawinan yang baru maka sistem
perkawinan yang lama akan hilang? Itulah sejumlah permasalahan
yang bisa disoroti oleh sosiologi hukum.
● Persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan yang terdapat pada
berbagai sistem hukum.
Penelitian pada aspek ini merupakan penelitian yang sifatnya itu
membandingkan. Di samping itu, penelitian tentang aspek ini penting
untuk mengetahui apakah ada konsep-konsep hukum yang sifatnya
universal, sementara apabila ada perbedaan-perbedaan apakah hal itu
berarti penyimpangan dari konsep-konsep yang universal tersebut.
● Hukum dan kekuasaan
Hukum adalah sarana yang digunakan oleh masyarakat untuk
memegang dan mempertahankan kekuasaannya. Sehubungan dengan
hal ini maka masalah yang perlu disoroti adalah sejauh mana terdapat
penyesuaian persepsi antara yang berkuasa dengan yang dikuasai
tentang keadilan, kepastian hukum, kesadaran hukum, dan lain-lain.
Dalam hal ini maka penelitian yang dapat dilakukan adalah penelitian
tentang pelanggaran HAM di Nanggro Aceh Darussalam, perlindungan
hak dari para TKW dan TKI, dan lain-lain.
- Hukum dan nilai-nilai sosial budaya
Hukum merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku di
masyarakat. Sebagai contoh adalah hukum waris pada masyarakat
Tapanuli di mana seorang istri tidak berhak memperoleh warisan dari
suaminya karena istri dianggap sebagai orang luar. Istri ini akan
mendapat warisan dari kerabatnya sendiri. Hukum ini merupakan
cerminan dari garis patrilineal yang dianut masyarakat Tapanuli
tersebut.
● Sistem hukum yang dualistis
Hukum mempunyai sisi yang sifatnya dualistik, yaitu di satu sisi
berfungsi untuk menjamin hak, tetapi di sisi lainnya juga bisa
berfungsi untuk melaksanakan pemerintahan yang tirani. Contohnya
adalah aturan sertifikat hak milik yang bisa berfungsi untuk
melindungi hak seseorang atas kepemilikan tanah tetapi di sisi lain bisa
berfungsi sebagai legitimasi pemerintah daerah dalam mengambil alih
kepemilikan beberapa tanah adat yang secara turun-temurun dikelola
oleh suatu kelompok masyarakat dan kemudian dipindahkan
kepemilikannya sebagai sewa kepada pemilik modal dengan alasan
tanah adat tersebut adalah milik negara.

- Sosiologi Pendidikan
Sosiologi muncul akibat para sosiolog yang ingin menyumbangkan
pemikirannya bagi pemecahan masalah pendidikan. Masalah
pendidikan berakar dari cepatnya perubahan sosial yang terjadi di
masyarakat yang menyebabkan terjadinya disintegrasi di segala aspek
kehidupan, termasuk keluarga dan sekolah. Sehubungan dengan hal
ini, institusi pendidikan ternyata tidak mampu mengejar perubahan
sosial yang cepat tersebut. Pemikiran-pemikiran dari para sosiolog
tersebut diharapkan akan dapat menyumbangkan bagi pemecahan
masalah pendidikan akibat dari cepatnya arus perubahan sosial. Selama
40 tahun, perkembangan sosiologi pendidikan memang berjalan
lamban. Perkembangan nyata dari sosiologi pendidikan ditandai
dengan diangkatnya Sir Fred Clarke sebagai Direktur Pendidikan
Tinggi Kependidikan di London pada tahun 1937. Di belakang Clarke
terdapat tokoh sosiologi yang bernama Karl Mannheim. Bagi
Mannheim pendidikan merupakan satu elemen dinamis dalam
sosiologi, di mana pendidikan dapat digunakan sebagai teknik sosial
dan alat pengendalian sosial.
Dalam pemilihan istilah-istilah pun menuai perdebatan yang sangat
tajam. Istilah-istilah yang akan digunakan antara lain adalah
Sociologycal Approach to Education, Educational Sociology,
Sociology of Educational, atau The Foundation of Education. Pada
akhirnya, dipilihlah istilah Sociology of Education dengan pengertian
analisis terhadap proses-proses sosiologis yang berlangsung dalam
lembaga pendidikan dengan penekanan pada lembaga pendidikan. Jadi
perhatian utama sosiologi pendidikan adalah pada upaya untuk
menemukan aspek-aspek sosiologis dari fenomena pendidikan.

- Sosiologi perilaku menyimpang


Sosiologi perilaku menyimpang mengkaji tentang penyimpangan
perilaku dalam rangka mencari dasar-dasar terciptanya keteraturan dan
ketidakteraturan masyarakat. Anggota masyarakat individu yang
berhubungan dengan anggota masyarakat individu lainnya diatur
dalam kerangka norma dan nilai tertentu yang telah disepakati. Norma
tersebut telah ada sejak individu tersebut lahir kedunia hingga ia
meninggal, oleh karena itulah jika saja ada anggota masyarakat
individu yang dianggap tidak mampu dalam menjalankan norma yang
telah disepakati tersebut, maka individu tersebut disebut sebagai
pelaku penyimpangan. Apa itu penyimpangan? Berdasarkan
pandangan statistik, penyimpangan adalah perilaku yang rata rata tidak
dilakukan oleh orang. Jadi, jika saja di lingkungan anda orang-orang
tidak bermain dan ada sendiri lah yang bermain, maka anda akan
disebut sebagai pelaku penyimpangan.
Akan tetapi ada juga yang disebut sebagai pandangan absolutisme.
Pandangan absolutisme melihat pada dasarnya masyarakat memiliki
aturan dasar yang jelas dan juga anggotanya telah sepakat mengenai
hal-hal apa saja yang sekiranya dianggap menyimpang. Contohnya
masyarakat Baduy Dalam yang telah setuju untuk tidak menggunakan
teknologi moderen dalam melakukan aktivitas mereka, sehingga jika
salah satu anggotanya kedapatan memakai atau menggunakan
teknologi moderen dalam aktivitas sehari-hari seperti penggunaan
sepeda motor maka akan dianggap sebagai pelaku penyimpangan.
Lalu, mengapa terjadi penyimpangan? apakah ada penjelasan
mengenai mengapa terjadinya penyimpangan? jawabannya ada.
Beberapa penjelasan yang menyebutkan tentang mengapa terjadinya
penyimpangan adalah sebagai berikut :
1. Penjelasan Biologis
Penjelasan biologis merujuk pada warisan genetik yang
menyebabkan munculnya penyimpangan. Dengan demikian
apabila seseorang dilahirkan dari orang tua penjahat, maka dia
akan jadi penjahat juga karena sifat ‘jahat’ adalah warisan
genetika.
2. Penjelasan Medis
Dalam medis, penyimpangan dilihat sebagai individu yang sakit
secara psikis. Sakit yang dimaksud disini terjadi dikarenakan
pengaruh tidak terpenuhinya kebutuhan psikis seseorang.
Contohnya jika seseorang yang sejak dilahirkan tidak pernah
mendapatkan kasih sayang maupun perhatian dari orang sekitar,
maka nantinya dia akan menjadi pelaku penyimpangan misalnya
suka menyakiti orang lain.
3. Pandangan Psikoanalisis Dimotori
Pandangan ini berasal dari Sigmund Freud lewat teorinya tentang
id, ego, dan superego. Menurut pandangan ini, penyimpangan
terjadi karena adanya konflik yang tidak dapat terselesaikan antara
id beserta dorongan instingnya dengan harapan masyarakat.
Sebagai contoh yakni kelompok homoseksual muncul sebagai
bentuk penyimpangan ketika sekelompok orang yang memiliki
kecendrungan menyukai sesama jenis tidak memperoleh dukungan
dari masyarakat.

4. Pandangan Psikologi
Pandangan ini melihat penyimpangan sebagai ketidaknormalan
dari struktur psikologi individu. Pandangan ini memadukan antara
pokok pikiran bahwa penyimpangan adalah warisan genetika
dengan pengaruh lingkungan. Menurut pandangan ini, seseorang
bisa menyimpang dikarenakan bawaan pribadinya dan juga
didukung oleh lingkungannya. Contohnya seseorang yang lahir
dengan kondisi ekonomi dibawah rata-rata kemudian dilahirkan
sebagai jahat akan menimbulkan yang namanya sifat menyimpang,
pada akhirnya individu tersebut akan menjadi pelaku
penyimpangan.

Selain dari penjelasan/pandangan diatas, ada juga beberapa teori


yang menjelaskan atau membahas tentang mengapa terjadinya
sebuah penyimpangan. Teori-teori tersebut dikelompokkan
menjadi teori umum dan teori sosiologis.
● Teori umum
Teori umum tentang penyimpangan antara lain adalah teori
patologi sosial dan teori disorganisasi sosial. Teori patologi sosial
mengambil pandangan biologis dalam menjelaskan tentang
masalah penyimpangan. Berdasarkan pandangan biologis,
penyimpangan adalah kondisi sakit yang ada pada suatu individu
dan yang ada pula di masyarakat. Kondisi sakit yang ada pada
individu ialah keterbelakangan mental, mabuk, dan lain-lain.
Sedangkan yang ada pada masyarakat ialah kemiskinan, sarana
infrastruktur yang tidak baik, pemasungan hak bersuara, dan lain-
lain.

Sementara itu teori disorganisasi sosial adalah teori yang


membahas penyimpangan dengan berdasar pada keadaan
masyarakat yang menghasilkan penyimpangan. Teori ini
dikembangkan oleh Thomas, Znaniecki, dan Codey. Menurut teori
ini, perubahan sosial yang menghasilkan konflik akan
menyebabkan kondisi masyarakat ada dalam keadaan tidak
seimbangan (disorganisasi). Keadaan masyarakat yang
disorganisasi inilah yang dapat menimbulkan berbagai perilaku
menyimpang. Kita ambil contoh pada saat indonesia mengalami
krisis ekonomi yang terjadi di tahun 1997-an. Yang terjadi pada
saat itupun bukan hanya krisis ekonomi, pada saat itu juga terjadi
krisis politik yang ditandai dengan tumbangnya penguasa rezim
Orde Baru. Ketidakseimbangan ekonomi dan politik yang melanda
Indonesia pada saat itu memunculkan banyak perilaku
menyimpang seperti pencurian (penjarahan toko-toko di pusat-
pusat kota yang dibakar), pembunuhan (isu dukun santet yang
berakhir dengan pembunuhan), pemerkosaan (pemerkosaan kepada
perempuan etnis Tionghoa), dan lain-lain.

Di lain pihak, Terdapat juga beberapa teori sosiologi tentang


penyimpangan yang tidak dimasukkan diatas. Teori-teori tersebut
yakni :
● Teori Anomi
● Teori Sosialisasi
● Teori Labeling
● Teori Kontrol
● Teori Konflik
● Teori Anomi
Teori anomi berpendapat bahwa penyimpangan adalah hasil dari
ketegangan-ketegangan tertentu yang ada pada masyarakat yang
mendorong individu menjadi penyimpang. Contohnya sama
sebagaimana dengan yang ada pada teori disorganisasi sosial.

● Teori Kontrol
Teori kontrol juga mendasarkan diri pada pokok pikiran
disorganisasi sosial. Teori kontrol berpendapat bahwa
penyimpangan terjadi karena hilangnya kontrol sosial. Contohnya,
melemahnya kontrol sosial terhadap pelaksanaan norma-norma
tradisional, akhirnya memunculkan perilaku homoseksual,
pemakaian obat-obat terlarang, dan lain-lain.

● Teori Sosialisasi
Teori sosialisasi berasumsi bahwa penyimpangan adalah sesuatu
yang dipelajari. Jadi seseorang menjadi pencuri (dan dianggap
menyimpang) karena orang itu belajar untuk menjadi pencuri.

● Teori Labeling
Teori ini berpendapat bahwa orang atau perilaku dianggap
menyimpang atau tidak menyimpang adalah hasil dari pemberian
label oleh sekelompok orang.

● Teori Konflik
Teori ini bersandarkan pada pokok pikiran Marx yang berpendapat
bahwa perbedaan distribusi kekuasaan yang ada pada masyarakat
merupakan pangkal dari munculnya penyimpangan. Artinya
kelompok masyarakat yang memegang kekuasaan akan
mendefinisikan perilaku apa saja yang dianggap menyimpang dan
apa saja yang tidak dianggap menyimpang.
9. Hubungan Sosiologi dengan ilmu-ilmu sosial lainnya
Sosiologi biasanya bekerja sama dengan ilmu-ilmu lainnya yang
masuk dalam rumpun ilmu-ilmu sosial, yaitu ilmu yang mengkaji
kehidupan sosial manusia. Termasuk dalam ilmu-ilmu sosial ini adalah
sosiologi, antropologi, komunikasi, ekonomi, psikologi sosial, geografi
kependudukan, politik, dan sejarah. Berikut ini beberapa yang kami
uraikan mengenai hubungan sosiologi dengan ilmu-ilmu lainnya :

- Hubungan sosiologi dengan antropologi


Antropologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kebudayaan
manusia. Walaupun sama-sama mempelajari tentang masyarakat,
menurut Koentjaraningrat, terdapat beberapa perbedaan antara
antropologi dengan sosiologi yaitu yang menyangkut 1) sejarah
kemunculannya, 2) wilayah kajiannya, dan 3) metode yang digunakan
untuk mengkajinya. Apabila kemunculan sosiologi lebih dikarenakan
keinginan untuk menjelaskan tatanan sosial yang sedang berubah pada
masyarakat Eropa, maka kemunculan antropologi didorong oleh
adanya penemuan-penemuan dari para penjelajah bangsa Eropa
tentang masyarakat di luar bangsanya. Selanjutnya berkaitan dengan
penyebab kemunculannya maka sosiologi cenderung melakukan kajian
pada masyarakat kompleks, sedangkan antropologi cenderung
melakukan kajian pada masyarakat sederhana. Sosiologi berusaha
mencari penjelasan umum atas fenomena yang dikajinya sehingga
metode penelitian yang digunakannya adalah metode kuantitatif
dengan alat analisanya adalah statistik, sedangkan antropologi yang
ingin mengungkapkan kasus secara detail cenderung menggunakan
metode penelitian kualitatif dengan metode analisanya yang bersifat
verstehen (mencari makna yang ada di balik gejala). Dua perbedaan
terakhir tersebut saat ini nampaknya tidak relevan lagi, dikarenakan
tidak sedikit saat ini kajian sosiologi yang mulai menggunakan metode
penelitian kualitatif. Di samping itu selain bidang kajian sosiologi
perkotaa, juga terdapat bidang kajian sosiologi pedesaan yaitu bidang
kajian pada masyarakat sederhana. Antropologi dapat membantu
kajian sosiologi dalam hal memberi kerangka umum tentang makna
dari perilaku. Di samping itu kajian yang sifatnya kualitatif yang sudah
lama merupakan trade mark antropologi dapat lebih mempertajam
pencapaian kajian sosiologi.

- Hubungan sosiologi dengan psikologi


Hubungan antara sosiologi dengan psikologi antara lain adalah dalam
bidang kajian sosiologi pendidikan, sosiologi kesehatan, sosiologi
perilaku menyimpang, dan lain-lain. Psikologi sebagai ilmu yang
mempelajari tentang proses berpikir, motorik, inderawi, dan perasaan
dalam perilaku manusia secara individual sangat membantu sosiologi
untuk mengetahui kecenderungan-kecenderungan individual. Akan
tetapi bagi bidang kajian sosiologi kecenderungan-kecenderungan
individual itu tidak bersifat terisolir melainkan mempunyai kaitan
dengan kecenderungan yang ada pada masyarakat.
Kajian sosiologi tentang masalah perubahan sosial bersifat diakronik
artinya peneliti harus mencari keterkaitan antara data-data sekarang
dengan data-data masa lalu. Dalam hal inilah peranan ilmu sejarah
yang mengkaji tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam
kehidupan manusia menurut ruang dan waktu, menjadi penting bagi
kajian sosiologi.

- Hubungan sosiologi dengan ilmu ekonomi


Hubungan antara sosiologi dengan ilmu ekonomi dapat dilihat pada
bidang kajian Sosiologi Ekonomi, Sosiologi Produksi, Sosiologi
Konsumsi, Sosiologi Distribusi, atau Pemasaran Sosial. Bidang kajian
sosiologi atas fenomena ekonomi ini biasanya membutuhkan bantuan
konsep-konsep sosiologi untuk memahami fenomena ekonomi
tersebut.

- Hubungan sosiologi dengan ilmu komunikasi


Sosiologi yang mempunyai perhatian pada tingkah laku manusia atau
lebih spesifik lagi adalah interaksi, tentu sangat membutuhkan bantuan
ilmu komunikasi dalam menjabarkan prinsip-prinsip tentang konteks
dan komunikasi, yaitu dasar bagi terjadinya interaksi. Bidang studi
perpaduan antara sosiologi dengan ilmu komunikasi adalah Sosiologi
Komunikasi.
Sosiologi juga membutuhkan konsep-konsep demografi, terutama
dalam memahami fenomena kota dan desa. Kita sering melihat
dipakainya konsep dan teori demografi seperti fertilitas, mortalitas,
teori Maltus dan lain-lain dalam bahasan sosiologi, yaitu antara lain
Sosiologi Pedesaan, Sosiologi Perkotaan, dan Sosiologi
Kependudukan.

Anda mungkin juga menyukai