1. Pendahuluan
2. Pembahasan
Memahami kebenaran hukum dari sisi filsafat hukum, harus diawali dengan
memahami pengertian dan tujuan hukum itu sendiri. Hukum secara sederhana dapat
diartikan sebagai sekumpulan aturan, kaedah yang berasal dari nilai-nilai yang
kemudian menjelma menjadi norma. Kehadiran hukum sangat dibutuhkan dalam
menciptakan ketertiban di dalam kehidupan sosial manusia tersebut, itulah yang
menjadi salah satu tujuan hukum. Dikenal tiga teori dalam menentukan kriteria
kebenaran. Teori korespondensi, teori koherensi atau konsistensi, dan teori
pragmatis. Kebenaran hukum dalam perspektif filsafat hukum, kembali kepada
paradigma/ teori apa yang digunakan. Keyakinan atau kepercayaan hukum apa
yang dianut oleh seseorang akan membawanya kepada jawaban akan kebenaran
hukum yang ia percayai. Maka untuk menuntun seseorang kepada kebenaran
hukum yang sesungguhnya, dibutuhkan ilmu. Sehingga kebenaran hukum yang
dicapai adalah kebenaran yang mutlak/ absolut.
Argumen dalam essay ini berangkat, pertama dari pandangan bahwa
perkembangan hoax (kebohongan) di tengah masyarakat dalam sistem bernegara
hukumnya Indonesia, tak terlepas dari peran pendidikan hukum yang
merepresentasikan struktur kelas sosial feudal yang menindas. Titik tolak kedua
adalah pandangan, post-truth dalam berhukum harus dilihat sebagai resultante yang
bergradasi dari ragam kepentingan, dari yang sifatnya personal-psikologis hingga
struktural-elit politik kuasa. Itu sebabnya, kebenaran yang dikonstruksi, tidak
sekadar single factor, melainkan multiple-factor, berlapis-lapis, beririsan, dan
bertumbukan kepentingan. Dalam perbincangan negara hukum, faktor-faktor itulah
yang membentuk equilibrium pengaruhkepentingan dan pada akhirnya merupakan
bagian dari proses penciptaan kebenaran
3
hukum, yaitu pada manusia sehingga hukum yang baik haruslah memberikan
kebaikan bagi manusia.
Masyarakat tidak lagi peduli dengan validitas informasi yang mereka
peroleh, namun penerimaan dan penolakan berpusat pada apa yang mereka pilih
untuk disukai. Kriteria ilmiah seperti verifikasi, uji fakta, obyektivitas dan
rasionalitas bukanlah pilihan masyarakat dalam menyerap informasi, mainkan
dorongan emosi, sentimen sectarian dan chauvinisme. Arus informasi yang
didominasi media virtual sekarang dapat menempatkan setiap individu siapa pun
seolah-olah menjadi jurnalis yang dapat mewartakan apapun, baik yang benar
maupun keliru. Hal tersebut dapat disadari maupun tidak disadari karena saat ini
batas antara yang benar dan salah, telah menjadi kabur. Dideskripsikan sebagai
pergeseran pemegang kendali atas informasi, dan kebenaran serta kebohongan yang
terkandung didalamnya, dari media mainstream ke media sosial yang dikelola oleh
masyarakat. Beberapa berpendapat dua putar di mana fakta, yang dalam ilmu
pengetahuan modern menjadi tolak ukur kebenaran argumentasi, tidak lagi
mempengaruhi opini publik dibandingkan dengan emosi serta keyakinan personal.
Terdapat tiga unsur dalam kajian epistimologi diantara sains, etika dan nilai.
Di sini manusia dalam menakar penalaran dan kebenaran hukum akan menemukan
tiga hal yaitu kebenaran, kebaikan dan keindahan. Dengan demikian relijiusitas
sains dalam menakar Penalaran dan kebenaran hukum adalah tata hidup yang
memungkinkan setiap manusia mencapai kemajuan setinggi mungkin dalam
lapangan spriritual, moral maupun intelektual. Tugas relijiusitas sains bukan saja
menciptakan hubungan yang harmonis antara manusia dengan penciptanya, tetapi
juga antara manusia dan manusia.
Hukum bagaimanapun adalah bentuk pembenaran (justification) tindakan.
Hukum tidak pernah benar pada dirinya sendiri, melainkan ditentukan oleh opini
mereka yang membuatnya atau masyarakat di mana hukum tersebut hidup.
membayangi proses hukum mulai dari pembentukan, pelaksanaan hingga
evaluasinya. Ilmu hukum yang saat ini ada, termasuk ilmu sosial yang berkait
mengkaji hukum sebagai obyeknya, tergerus dominasi ketika masyarakat lebih
mudah digiling opininya oleh dangkalnya informasi yang mudah tersebar,
5
ketimbang hasil penelitian, yang sayangnya tidak lebih mudah tersebar ketimbang
hoax.