Anda di halaman 1dari 6

ESSAY FILSAFAT HUKUM

Judul buku : BUKU SERI FILSAFAT HUKUM: Menemukan


Kebenaran Hukum dalam Era Post-Truth
Nama Penulis : Widodo Dwi Putro, dkk
Nama Penerbit & Kota : Sanabil/ Kota Mataram
Tempat diterbitkan
Tahun terbit & Nomor : 2020/ 978-623-7881-15-5
ISBN
Nama Mahasiswa/ NIM : Kadek Evinka Yuristin/ 7773210021

1. Pendahuluan

Buku ini merupakan kumpulan makalah yang dipresentasikan pada


Konferensi Nasional AFHI ketujuh yang diselenggarakan di Fakultas Hukum
Universitas Mataram pada tahun 2019 lalu. Konferensi kali ini mengangkat tema
utama Menemukan Kebenaran Hukum di Era Post-Truth. Tema ini merespon era
banalitas kebohongan yang sejak beberapa dekade belakangan disebut sebagai era
‘Post Truth’. Beberapa topik yang akan difokuskan dalam essay ini antara lain
tentang Hukum dan Demokrasi di Tengah Prahara Politik Pasca Kebenaran, Negara
Hukum Indonesia di Era Post Truth dan Realitas Hoax Pada Sosial Media Sebagai
Permasalahan Filsafat Hukum Era Post-Truth.
Ada dua konsep yang ditelaah relasinya, yaitu ‘Negara Hukum Indonesia’
dan ‘Post Truth’. Dalam diskursus filsafat hukum, Post Truth belum dibincangkan
lengkap dan juga tidak terkait dengan Negara Hukum Indonesia. Itu sebabnya,
perlu untuk dilihat, dimana dan dalam situasi apa Post Truth bekerja,
merepresentasi, dan mengadaptasikan dalam kehidupan hukum sehari-hari.
Bernegara hukum di Indonesia, tentu bukan sekadar berhukum negara, yang
menyandarkan superioritas reproduksi hukum otoritatif melalui kuasa formal
struktural negara. Bernegara hukum harus pula memahami realitas sosial hukum
yang ada, termasuk tidak hanya menelisik hukum dalam masyarakatnya, melainkan
juga relasi hukum rakyat dengan hukum negara.
Era Post Truth dapat digambarkan sebagai pergeseran sosial yang
melibatkan media arus utama dan para pembuat opini. Terlebih akibat
2

perkembangan pengaruh dunia digital yaitu internet sehingga membuat produksi


informasi tidak lagi menjadi monopoli media arus utama, melainkan juga media
sosial yang dikelola oleh masyarakat. Fakta-fakta bersaing dengan hoax dan
kebohongan untuk dipercaya publik. Maka penulis ingin memaparkan bagaimana
dan sejauh mana idea Negara Hukum Indonesia di dalam konstitusi mengadaptasi
dan atau bisa jadi terpapar pada klaim kebenaran di atas pondasi kebohongan.

2. Pembahasan

Memahami kebenaran hukum dari sisi filsafat hukum, harus diawali dengan
memahami pengertian dan tujuan hukum itu sendiri. Hukum secara sederhana dapat
diartikan sebagai sekumpulan aturan, kaedah yang berasal dari nilai-nilai yang
kemudian menjelma menjadi norma. Kehadiran hukum sangat dibutuhkan dalam
menciptakan ketertiban di dalam kehidupan sosial manusia tersebut, itulah yang
menjadi salah satu tujuan hukum. Dikenal tiga teori dalam menentukan kriteria
kebenaran. Teori korespondensi, teori koherensi atau konsistensi, dan teori
pragmatis. Kebenaran hukum dalam perspektif filsafat hukum, kembali kepada
paradigma/ teori apa yang digunakan. Keyakinan atau kepercayaan hukum apa
yang dianut oleh seseorang akan membawanya kepada jawaban akan kebenaran
hukum yang ia percayai. Maka untuk menuntun seseorang kepada kebenaran
hukum yang sesungguhnya, dibutuhkan ilmu. Sehingga kebenaran hukum yang
dicapai adalah kebenaran yang mutlak/ absolut.
Argumen dalam essay ini berangkat, pertama dari pandangan bahwa
perkembangan hoax (kebohongan) di tengah masyarakat dalam sistem bernegara
hukumnya Indonesia, tak terlepas dari peran pendidikan hukum yang
merepresentasikan struktur kelas sosial feudal yang menindas. Titik tolak kedua
adalah pandangan, post-truth dalam berhukum harus dilihat sebagai resultante yang
bergradasi dari ragam kepentingan, dari yang sifatnya personal-psikologis hingga
struktural-elit politik kuasa. Itu sebabnya, kebenaran yang dikonstruksi, tidak
sekadar single factor, melainkan multiple-factor, berlapis-lapis, beririsan, dan
bertumbukan kepentingan. Dalam perbincangan negara hukum, faktor-faktor itulah
yang membentuk equilibrium pengaruhkepentingan dan pada akhirnya merupakan
bagian dari proses penciptaan kebenaran
3

Perbincangan Negara Hukum Indonesia, dalam perspektif ketatanegaraan,


kerap ‘dikembalikan’ atau disandarkan pada teks konstitusi, khususnya Pasal 1 ayat
(2) dan (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
1945). Bekerjanya negara dan hukum adalah lebih sebagai ‘mekanisme alat’ dan
sebagai alat difungsikan untuk mencapai kepentingan-kepentingan yang jauh dari
masyarakat. Dalam konteks itu (law in society), terlahir begitu banyak ragam
pemikiran kritis dalam membaca situasi bekerjanya hukum, termasuk dari sudut
pandang ketatanegaraan. Dari sudut pandang ini, Negara Hukum akan banyak
ditinjau dari dampak atau pengaruhnya terkait dengan hak-hak dasar individu atau
kelompok. Dalam kajian ketatanegaraan, ini diistilahkan sebagai human rights
based constitutionalism.
Salah satu ciri era Post Truth adalah tidak ada yang sepenuhnya
mengendalikan informasi. Informasi muncul dan berhembus begitu saja,
masyarakatlah sumber informasi itu dan pada saat yang sama tujuan informasi
tersebut. Dalam era Post Truth, kebenaran lebih dekat kepada opini di mana fakta.
Pada akhirnya post truth memberikan jalan terhadap relativisme kultural, yaitu
situasi di mana yang benar dan yang salah tidak lagi mutlak, namun hanya sebatas
opini. Membuka peluang untuk merusak tatanan keyakinan masyarakat atas moral,
Namun secercah harapan tersirat apabila masyarakat dapat menggali nilai-nilai
moral baru.
Arus informasi yang semakin deras memungkinkan masyarakat mengambil
dan menyerap segala macam pemberitaan baik melalui media cetak, media sosial,
televisi, radio, dan segala bentuk perangkat lainnya. Namun perlu disadari, kuasa
menyiratkan tanggung jawab, dan segala bentuk penyampaian informasi seharusnya
dilakukan dengan penuh tanggung jawab. Hukum dan aturan bukanlah sesuatu yang
bersifat final dan absolut. Segala peraturan buatan manusia selalu berada dalam
lingkaran proses pembentukan, diberlakukan, dicabut atau diganti oleh yang baru
dan terus berulang untuk disempurnakan. Satjipto Raharjo menulis bahwa hukum
adalah pergulatan kemanusiaan dan hukum ada untuk manusia. Manusia menjadi
sentral dalam pemikiran Satjipto Raharjo dalam konsep hubungan hukum dan
manusia. Adalah tujuan hukum tidak berada pada dirinya sendiri. Melainkan di luar
4

hukum, yaitu pada manusia sehingga hukum yang baik haruslah memberikan
kebaikan bagi manusia.
Masyarakat tidak lagi peduli dengan validitas informasi yang mereka
peroleh, namun penerimaan dan penolakan berpusat pada apa yang mereka pilih
untuk disukai. Kriteria ilmiah seperti verifikasi, uji fakta, obyektivitas dan
rasionalitas bukanlah pilihan masyarakat dalam menyerap informasi, mainkan
dorongan emosi, sentimen sectarian dan chauvinisme. Arus informasi yang
didominasi media virtual sekarang dapat menempatkan setiap individu siapa pun
seolah-olah menjadi jurnalis yang dapat mewartakan apapun, baik yang benar
maupun keliru. Hal tersebut dapat disadari maupun tidak disadari karena saat ini
batas antara yang benar dan salah, telah menjadi kabur. Dideskripsikan sebagai
pergeseran pemegang kendali atas informasi, dan kebenaran serta kebohongan yang
terkandung didalamnya, dari media mainstream ke media sosial yang dikelola oleh
masyarakat. Beberapa berpendapat dua putar di mana fakta, yang dalam ilmu
pengetahuan modern menjadi tolak ukur kebenaran argumentasi, tidak lagi
mempengaruhi opini publik dibandingkan dengan emosi serta keyakinan personal.
Terdapat tiga unsur dalam kajian epistimologi diantara sains, etika dan nilai.
Di sini manusia dalam menakar penalaran dan kebenaran hukum akan menemukan
tiga hal yaitu kebenaran, kebaikan dan keindahan. Dengan demikian relijiusitas
sains dalam menakar Penalaran dan kebenaran hukum adalah tata hidup yang
memungkinkan setiap manusia mencapai kemajuan setinggi mungkin dalam
lapangan spriritual, moral maupun intelektual. Tugas relijiusitas sains bukan saja
menciptakan hubungan yang harmonis antara manusia dengan penciptanya, tetapi
juga antara manusia dan manusia.
Hukum bagaimanapun adalah bentuk pembenaran (justification) tindakan.
Hukum tidak pernah benar pada dirinya sendiri, melainkan ditentukan oleh opini
mereka yang membuatnya atau masyarakat di mana hukum tersebut hidup.
membayangi proses hukum mulai dari pembentukan, pelaksanaan hingga
evaluasinya. Ilmu hukum yang saat ini ada, termasuk ilmu sosial yang berkait
mengkaji hukum sebagai obyeknya, tergerus dominasi ketika masyarakat lebih
mudah digiling opininya oleh dangkalnya informasi yang mudah tersebar,
5

ketimbang hasil penelitian, yang sayangnya tidak lebih mudah tersebar ketimbang
hoax.

Pengaruh Hoax Terhadap Filsafat Hukum Pada Peran Pemerintah

Di dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas


Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik termuat aturan dan larangan tentang penggunaan media sosial, termasuk
cara berinteraksi di media sosial, apa yang boleh diposting maupun dilarang untuk
ditampilkan di media sosial dan lain sebagainya. Satu dan lain agar tidak merugikan
pihak manapun. Selain itu pemerintah telah membentuk Satgas Anti Hoax yang
diarahkan terus melakukan verifikasi atau akreditasi terhadap media maupun para
penyedia berita melalui televisi, koran, media online termasuk melakukan
akreditasi para wartawan yang menyajikan informasi, menutup situs situs yang
menyebarkan berita hoax dan terus melakukan sosialisasi berkaitan dengan hoax.
Filsafat hukum adalah cabang dari filsafat, yaitu filsafat etika atau tingkah
laku yang mempelajari hakikat hukum. Filsafat hukum memiliki obyek yaitu
hukum. Obyek ini dibahas dan dikaji secara mendalam sampai pada inti atau
hakikatnya. Pertanyaan yang mungkin tidak dapat dijawab oleh cabang ilmu hukum
lainnya merupakan tugas dari filsafat hukum untuk menemukannya. Seperti
pertanyaan apakah hukum itu juga merupakan tugas dari filsafat hukum. Karena
sapa saat ini belum ditemukan definisi dari hukum itu secara universal. Filsafat
hukum mempersoalkan pertanyaan pertanyaan yang bersifat dasar dari hukum
pertanyaan pertanyaan tentang hakikat hukum tentang dasar dasar dari kekuatan
mengikat dari hukum, merupakan contoh pertanyaan yang bersifat mendasar itu.
Atas dasar itu, filsafat hukum bisa dihadapkan kepada ilmu hukum positif.
Sekalipun sama-sama menggarap bahan hukum, Tetapi masing masing mengambil
sudut Pemahaman yang berbeda sama sekali. Dalam hukum positif hanya berurusan
dengan suatu tata hukum tertentu dengan pertanyaan konsistensi logis atas asas
Asas, peraturan peraturan, bidang bidang, serta sistem hukumnya sendiri.
Sebaliknya filsafat hukum mengambil hukum sebagai fenomena universal untuk
kemudian dikupas dengan menggunakan standar analisa seperti tersebut di atas.
6

Permasalahan hoax apabila dikaji dengan menggunakan teori kebenaran


adalah sebagai berikut satu teori koherensi yaitu suatu hal dikatakan benar apabila
pernyataan dan kesimpulan yang ditariknya adalah konsisten dengan pernyataan
dan kesimpulan terdahulu yang telah dianggap benar. Teori korespondensi yaitu
suatu pernyataan benar jika materi pengetahuan yang di kandung pernyataan itu
berkorespondensi atau berhubungan dengan obyek yang dituju oleh pernyataan
tersebut. Teori pragmatik yaitu kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria
apakah pernyataan tersebut bersifat Fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya
suatu pernyataan adalah benar jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan
itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia.

3. Kesimpulan dan Saran

Pengaruh terhadap filsafat hukum pada peran masyarakat hoax telah


menimbulkan keresahan dan membuat sebagian masyarakat merasa terancam dan
bahkan memunculkan ancaman perpecahan bangsa. Solusi agar tidak mudah
terpengaruh oleh berita hoax tersebut adalah membangun daya pikir masyarakat
agar tidak mudah terprovokasi oleh hoax yang tidak dapat dipastikan kebenarannya,
berpikiran kritis dalam menerima sebuah berita informasi, tidak menelan mentah-
mentah sebuah berita atau informasi dan melakukan pengecekan ulang sumber
berita atau informasi yang didapat serta tidak berlebihan dalam menanggapi sebuah
berita. Dengan cara masyarakat ini diharapkan bisa mengambil peran dalam rangka
menyikapi berita hoax melalui media sosial.
Solusinya lainnya adalah penegakkan hukum yang tegas dan adil. Hukum
sebagai panglima harus tegas dan menjamin kebebasan individu bagi kebebasan
publik, tanpa harus mengorbankan sesama. Maka, harus tetap dalam bingkai
konstitusi dan pemeliharaan HAM, pemerintah perlu mengambil tindakan lebih
tegas dalam menerapkan aturan-aturan yang berlaku. Yang tak kalah penting adalah
pengembangan pendidikan agama yang menekankan pada keberagaman dan
keterbukaan, serta pengembangan daya kritis dan kemampuan literasi media sosial.

Anda mungkin juga menyukai