Anda di halaman 1dari 5

Memerdekakan Hukum dari Mafia Peradilan

Tambal sulam, ketar ketir, keterpurukan dan segudang potret negatif lainnya, yang
sering diarahkan kepada peradilan di tanah air kita, semakin menempatkan Indonesia sebagai
negara yang tidak mampu memberikan rasa adil dan aman kepada masyarakat. Peradilan kita
selalu digugat. Bayangkan, tersangka atau terdakwa yang diduga melakukan tindak
kejahatan, yang sekalipun telah memenuhi semua unsur delik atau tindak pidana, dinyatakan
bebas. Orang dengan entengnya memberikan siaran pers. Orangnya tidak terbukti secara sah
dan meyakinkan berbuat salah. Dan itu dalil yang sering kita jumpai. Karena kita lebih
senang melepaskan diri dari tanggung jawab. Wah, sungguh sayang peradilan kita.
Lebih lucu lagi, ada tersangka atau terdakwa yang diperintahkan agar dihentikan
proses peradilan atasnya. Kecurigaan kita makin menebal. Mungkin kasus itu melibatkan
orang-orang berkuasa di negeri ini. Menurut mereka, penghentian itu mesti dibuat agar
mereka tidak terusik. Maka kejahatannya pasti tetap tidak diketahui publik. Sebuah
permainan manjur menyuburkan kejahatan.
Saat masyarakat mengarahkan perhatiannya pada badan peradilan, maka ada
kesangsian terhadapnya. Muncul pertanyaan, apakah badan peradilan masih bisa dipercaya?
Apa yang menjadi orientasinya? Apakah kita mesti mematuhinya lagi? Semua ini wajib
dijawab sebab ini kecemasan kita. Mafia peradilan itu nyata. Peradilan kita lebih gandrung
pada praktek yang tercela dan kotor.
Popularitas Presiden dan Wakil Presiden Indonesia periode 2024-2029 mendatang
lagi-lagi teruji melalui upayanya memberantas mafia peradilan di tanah air. Ini salah satu
program 100 hari Presiden dan Wakil Presiden nanti. Agenda tersebut menjadi proposal
untuk mendapatkan respon positif dari pasar. Namun, belum terjadi pergantian Presiden dan
Wakil Presiden saat ini, di Sulawesi, pekan lalu gambar kepala negara kita dibakar oleh
mahasiswa yang berdemo. Mereka menuntut penyelesaian sejumlah kasus termasuk pemilu
yang dianggap curang. Ini gong bagi ketidakmampuan peradilan kita.
Benar, selama ini badan-badan peradilan penuh dengan permainan kotor. Mencuatnya
kasus Firly Dahuri, pimpinan non aktif KPK, yang diduga melibatkan petinggi Kejaksaan
Agung dan Polri menambah deretan evidensi terhadapnya. Penghentian atau apa pun bentuk
penarikan kembali kasus tersebut, dilidik sebagai hal yang wajar-wajar saja. Perkara itu tidak
cukup bukti yang sah untuk mendakwa mereka. Kuat dugaan, keterangan dalam kasus
tersebut hanyalah bersifat pendapat dan rekaan. Lagi pula ini diperoleh dari orang lain. Itu
testimonium de auditu belaka.
Kita tahu, warga negara yang baik perlu menyatakan hak dan kewajibannya. Salah
satu kewajiban yang dibebankan hukum yakni siap mengakui kesalahan dan ikut membela
kepentingan umum seperti peradilan yang fair dan manusiawi. Sejalan dengan ini, Yahya
Harahap berpendapat, pembelaan kepentingan umum itu sebuah keharusan. Maka ini
menjadi wajib hukumnya bagi setiap warga negara. Partisipasi itu mesti nyata, termasuk pula
dalam proses penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh peradilan kita (M. Yahya
Harahap, 2002:168). Keikutsertaan masyarakat mengawal proses peradilan sangat membantu
pejabat agar hati-hati dan cermat menilai dan menjatuhkan putusannya secara obyektif.
Sebab, peradilan menjadi patron untuk membuktikan kesalahan tersangka atau terdakwa.
Sesungguhnya, ada afirmasi dari mafia peradilan. Aparat alergi untuk menegakkan
hukum di negeri kita. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari pemakaian pendekatan konsolidasi
kekuasaan para elite. Ketika mereka sibuk mengamankan diri satu sama lain, mafia peradilan
menjadi pilihan yang primadona.
Bila kita telusuri, mafia peradilan menjadi sangat akrab dengan penyalahgunaan
kekuasaan, abuse of power. Peradilan kita menjadi tidak bernilai untuk menindak para
tersangka atau terdakwa. Menguatnya penyalahgunaan kekuasaan makin mengarah pada
mekarnya mafia peradilan. Peradilan kita kian bangkrut. Rasa ketidakadilan dan
ketidakamanan dalam masyarakat turut tersohok. Ini keterlaluan karena pelanggaran tersebut
terjadi terus-menerus di depan mata. Pelanggaran ini memberi indikasi, negara lagi-lagi gagal
melaksanakan kewajibannya untuk melindungi (to protect), menghormati (to respect) dan
memenuhi (to fullfill) hak-hak warga negara akan rasa adil dan aman.
Negara lebih sebagai pendukung peradilan yang demikian. Lalu ke mana lagi warga
negara mesti mencari keadilan, jikalau bukan di sini? Sebab di tempat ini, orang yakin
peradilan mampu memenuhinya. Prinsipnya, orang menjalani proses peradilan untuk
menemukan keadilan. Di sana, orang menyerahkan dirinya untuk menerima keadilan. Di situ
juga orang percaya buta terhadap badan-badan peradilan, karena mampu membuat adil. Yang
salah dihukum dan yang benar dibebaskan, bukan sebaliknya.
Lebih lanjut, peradilan kita jangan sampai sebatas politik pencitraan. Karena ini tidak
pernah berhasil. Masyarakat kita sudah semakin cerdas. Mereka mudah mengetahui mana
gerakan politik pencitraan dan mana pula gerakan politik yang memang benar-benar bekerja
untuk membebaskan masyarakat dari keterpurukan. Mereka tahu apa saja aksi untuk
membebaskan mafia peradilan. Satu ciri dari gerakan pro peradilan yang memang
berorientasi pada kemajuan bangsa dan negara, biasanya selalu bekerja keras secara
berkesinambungan. Bukan fragmentaris dan insidentil.
Banyak kalangan menilai, praktek peradilan yang fair masih pilih-memilih.
Kepentingan politik terlihat lebih mendominasi. Peradilan yang jujur belum menjadi pilihan
utama, sehingga proses pemberantasan mafia peradilan di kalangan para pejabat negara dan
kalangan profesional lainnya sangat ambigu. Dengan demikian, pesimisme pemberantasan
mafia peradilan tak terhindarkan. Di samping lebih dominannya kepentingan politik, hal ini
terutama karena tiadanya kerangka teoritis sebagai formula untuk memetakan proses
pemberantasan mafia peradilan secara efektif, baik, dan memadai sesuai konteks kehidupan
sosiokultural masyarakat di Indonesia saat ini.
Janganlah membersihkan lantai dengan sapu yang kotor karena barang yang kotor
tidak pernah mampu membersihkan yang kotor. Substansinya kotor, ya hasilnya juga kotor.
Analogi ini lebih sebagai reaksi terhadap proses pembebasan mafia peradilan yang dilakukan
oleh aparat penegak hukum yang tidak bersih. Semua subsistem peradilan baik itu penasihat
hukum, kepolisian, kejaksaan dan pengadilan maupun lembaga lainnya perlu membersihkan
diri lebih dahulu. Lepas dari pelbagai intervensi. Bebas dari segala muatan kepentingan. Bila
perlu rela melepaskan jabatan karena campur tangan itu represif dan mengancam penegakan
hukum. Itu terjadi, maka peradilan kita menjadi bersih dan terpercaya. Peradilan harus bebas
dari cara konvensional seperti yang ada selama ini.
Terus terang, masalah peradilan merupakan urusan semua orang yang berpikir. Itu
pokok tinjauan semua pihak dan pejabat penegak hukum. Ini terjadi sejak dimulainya
tindakan penyelidikan, penyidikan, prapenuntutan, pemeriksaan tambahan, penuntutan,
pemeriksaan di sidang pengadilan, putusan hakim bahkan sampai upaya hukum.
Dalam proses peradilan, perlu diperhatikan kepentingan korban, terdakwa dan
masyarakat. Kepentingan korban berarti orang yang mendapat derita karena perbuatan jahat
orang lain. Ia punya hak akan keadilan dan kepedulian dari negara. Kepentingan masyarakat
berarti aspek ketenteraman masyarakat yang diperhatikan. Di sini, setiap pelaku tindak
pidana harus mendapat hukuman yang setimpal kesalahannya. Sedangkan kepentingan
terdakwa berarti ia harus diperlakukan secara adil sedemikian rupa agar siapa saja yang
terbukti bersalah mesti dihukum. Di situ wibawa peradilan kita.
Pengalaman di Indonesia menyatakan, pelaku tindak pidana seringkali lepas dari
tuntutan hukum. Sebabnya kita lebih suka menerapkan pasal karet, blanket norm. Ini lahan
empuk melanggengkan mafia peradilan. Walau ada untungnya agar tidak ada kejahatan yang
tidak dapat ditindak.
Program 100 hari memberantas mafia peradilan akan gagal kalau penegak hukum
apatis saja. Padahal, mereka punya legitimasi dan kemampuan. Aturan hukum sudah sangat
baik. Namun, tidak cukup memiliki hukum yang baik, sementara aparatnya buruk. Ini perlu
agar kita menolak law in the book different with law in the action (hukum yang tertulis tidak
sama dengan penerapannya).
Sistem peradilan kita memang lemah dan tidak berbobot. Ia rawan untuk dibelokkan.
Oleh karena itu, kita perlu meningkatkan kualitas sistem peradilan. Peradilan yang
berkualitas tentu saja mempengaruhi penegakan hukum. Dalam kata-kata Barda Nawawi
Arief, peningkatan kualitas peradilan meliputi kualitas individual (sumber daya manusia),
kelembagaan, mekanisme manajemen, sarana-prasarana, substansi hukum atau perundang-
undangan dan kualitas lingkungan. Kualitas lingkungan ini mencakup kondisi sosial,
ekonomi, politik dan budaya termasuk budaya hukum masyarakat (Barda Nawawi Arief,
2007: 39-40).
Soal kualitas sumber daya manusia di bidang peradilan mendapat stressing utama.
Kita butuh polisi, jaksa, hakim dan penasihat hukum yang sekurang-kurangnya memiliki hal-
hal berikut ini, pertama, ethos. Mereka perlu menjadikan dirinya sumber kepercayaan (source
of credibility) bagi masyarakat. Kepercayaan itu akan timbul berdasarkan komitmennya
terhadap penegakan hukum.
Kedua, pathos. Ini berkaitan dengan kemampuannya mengimbau masyarakat secara
emosional (emotional appeals) agar percaya kepada proses peradilan. Artinya, peradilan tidak
akan mengecewakan masyarakat yang mencari keadilan.
Ketiga, logos. Di sini, mereka mampu menyampaikan seruan logis (logical appeals)
berdasarkan pengetahuan yang diperoleh melalui hasil pemikiran yang konstruktif dan ketat
mengenai formula hukum. Dengan cara ini, alur berpikir tersebut dapat dicerna, dilakukan
dan diikuti masyarakat. Pada tahap tersebut ada kesadaran, kesabaran, keberanian dan
perjuangan melaksanakan pengetahuan hukum, baik dalam alam pikir maupun alam nyata
secara benar. Almahrum WS Rendra, menulis kesadaran adalah matahari/kesabaran adalah
bumi/keberanian menjadi cakrawala/dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata (Kompas,
8/8/2009:1).
Namun tak bisa dipungkiri. Kita sedang berhadapan dengan sebuah krisis peradilan.
Kita butuh kejujuran dan keberanian untuk mengembalikan peradilan yang bersih. Kita mau
menunjukkan kekuatan dan wibawa badan-badan peradilan kita. Kepercayaan dan
penghormatan terhadap hukum melalui mekanisme badan peradilan menjadi harapan semua
pihak. Hukum mesti menjadi barometer penyelesaian semua kasus pidana pada semua tingkat
peradilan. Upaya-upaya rasional dan obyektif adalah jalan lebar menuju upaya
memerdekakan hukum dari mafia peradilan.*

Anda mungkin juga menyukai