Anda di halaman 1dari 9

Di Indonesia sering terjadi Kasus–kasus yang sepele namun dibesar-besarkan oleh

media akibat adanya ketidakadilan hukum di Indonesia atau dalam tanda kutip “Tajam ke
bawah dan Tumpul ke atas” maksud dari istilah tersebut adalah salah satu sindiran nyata
bahwa keadilan di negeri ini lebih tajam menghukum masyarakat kelas menengah. Inilah
dinamika hukum di Indonesia, seolah sudah berganti paradigma yang menang adalah yang
mempunyai kekuasaan, yang mempunyai uang banyak, dan yang mempunyai kekuatan.
Mereka pasti aman dari gangguan hukum walaupun aturan negara dilanggar, atau dalam istilah
hukum “timpang sebelah”.

Seperti halnya kasus nenek Minah (55) yang mencuri singkong dan nenek Sumiati (72)
yang mencuri pepaya, dimana mereka hanya mencuri yang harganya mungkin tidak seberapa
namun dituntut 2 (dua) tahun penjara. Penulis setuju apapun yang namanya tindakan mencuri
adalah kesalahan. Namun, jangan lupa hukum juga mempunyai prinsip kemanusiaan. Prinsip
kemanusian ini didalam hukum humaniter adalah Asas Equality Before The Law yang
merupakan manifestasi dari Negara Hukum (Rechstaat) sehingga harus adanya perlakuan
sama bagi setiap orang di depan hukum (Gelijkheid van ieder voor de wet).

Menurunnya penerapan Asas Equality Before The Law dalam lapisan dimensi


masyarakat disebabkan oleh adanya politik pluralisme hukum yang memberi ruang berbeda
bagi hukum islam dan hukum adat. Disamping itu pula, adanya oknum-oknum yang berwenang
yang dapat mengenyampingkan hukum. Dimana oknum-oknum tersebut seharusnya
menegakkan hukum, namun kewenangan yang ada padanya disalah pergunakan. Sebuah
Fakta Lembaga peradilan kini sudah impoten, tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik.
Pasal-pasal KUHP bagi rakyat kecil ibarat peluru yang menghujam jantung, namun bagi para
petinggi hanyalah sebuah coretan yang termaktub dalam kitab. Hukum hanya berlaku untuk
mereka yang tidak mampu membayar pengacara. Bahkan kini KUHP adalah singkatan dari
“Kasih Uang Habis Perkara”.

Dunia benar-benar sudah terbalik. Kasus-kasus besar seperti korupsi dan kawan-
kawannya dianggap kecil, namun sebaliknya kasus-kasus sederhana yang mungkin bisa
diselesaikan secara kekeluargaan bahkan dibesar-besarkan. Ada berbagai faktor yang
menghambatnya bukan hanya karena ada faktor kekuatan politis yang membentenginya,
melainkan juga menciptakan penundaan proses hukum dengan segala celah pembalikan opini
di ruang publik. Bukan rahasia umum kondisi hukum ketika berhadapan dengan orang yang
memiliki kekuasaan, baik itu kekuasaan politik maupun uang, maka hukum menjadi tumpul.
Tetapi, ketika berhadapan dengan orang lemah, yang tidak mempunyai kekuasaan dan
sebagainya, Hukum bisa sangat tajam. Hal ini terjadi karena proses hukum itu tidak berjalan
secara otomatis, tidak terukur bagaimana proses penegakan hukumnya. Seharusnya, ketika
ada kasus hukum kita bisa melihat dengan cara yang matematis. Perbuatannya apa,
bagaimana prosesnya, bagaimana proses pembuktiannya, bagaimana keputusannya. Kalau ini
diterapkan, proses penyelesaian hukumnya pasti berjalan dengan baik.
Tetapi, banyak anomali-anomali yang terjadi. Misalnya kasus pencurian, tuduhannya
pencurian, tetapi anomali yang terjadi bisa saja berbeda atas kedudukan status sosialnya. Jika
nanti kasusnya terjadi kepada yang status sosial kalangan bawah, maka proses penegakan
hukumnya cepat dan mudah dalam penahanan. Namun sebaliknya jika terjadi pada orang yang
status sosialnya tinggi yaitu berkuasa dalam masalah keuangan dan politik. Inilah yang menjadi
problema dalam kasus seperti ini jangan sampai terulang kembali kejadian dalam kasus ini
sangat kontroversi, dan menyengsarakan masyarakat yang tentunya dipertanyakan bahwa di
mana keadilan bagi “masyarakat kalangan bawah”. Masyarakat sering tidak percaya dengan
proses hukum, nantinya masyarakat akan melihat bahwa dalam melihat proses penegakan
hukum ini bisa melihatnya dengan keadilan.

Adanya Fenomena ketidakadilan hukum ini terus terjadi dalam praktik hukum di negeri
ini. Munculnya berbagai aksi protes terhadap aparat penegak hukum di berbagai daerah,
menunjukan sistem dan praktik hukum kita sedang bermasalah. Keterpurukan hukum di
Indonesia malah semakin menjadi-jadi. Kepercayaan masyarakat terhadap law
enforcement semakin memburuk.

Banyak fakta adanya diskriminasi perlakuan hukum antara mereka yang memiliki uang
dan yang tak memiliki uang, antara mereka ada yang berkuasa dan yang tak punya kekuasaan.
Keadilan bagi semua hanyalah kamuflase saja. Namun, realita hukum terasa justru dibuat untuk
menghancurkan masyarakat miskin dan menyanjung kaum elit. Penegak hukum lebih banyak
mengabaikan realitas yang terjadi di masyarakat ketika menegakkan undang-undang atau
peraturan. Akibatnya, penegak “hukum” hanya menjadi corong dari aturan. Hal ini tidak lain
adalah dampak dari sistem pendidikan hukum yang lebih mengedepankan positifisme. Penegak
hukum seperti memakai kacamata kuda yang sama sekali mengesampingkan fakta sosial.
Inilah cara ber”hukum” para penegak hukum tanpa nurani dan akal sehat.

Dalam Pasal 27 ayat (1) UUD RI 1945 secara tegas telah memberikan jaminan
bahwa “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan
dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pasal ini
memberikan makna bahwa setiap warga negara tanpa harus melihat apakah dia penduduk asli
atau bukan, berasal dari golongan terdidik atau rakyat jelata yang buta huruf, golongan
menengah ke atas atau kaum yang bergumul dengan kemiskinan harus dilayani sama di depan
hukum.

Kedudukan berarti menempatkan warga negara mendapatkan perlakuan yang sama


dihadapan hukum. Sehingga dengan kedudukan yang setara, maka warga negara dalam
berhadapan dengan hukum tidak ada yang berada diatas hukum. ‘No man above the law’,
artinya  tidak keistimewaan yang diberikan oleh hukum pada subyek hukum, kalau ada subyek
hukum yang memperoleh keistimewaan menempatkan subyek hukum tersebut berada diatas
hukum.
Di dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD RI 1945 juga secara tegas menyebutkan bahwa
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Maka dari itu, perlu banyak evaluasi-evaluasi yang harus dilakukan, harus ada penindaklanjutan
yang jelas mengenai penyelewengan hukum yang kian hari kian menjadi. Perlu ada ketegasan
tersendiri dan kesadaran yang hierarki dari individu atau kelompok yang terlibat di dalamnya.
Perlu ditanamkan mental yang kuat, sikap malu dan pendirian iman dan takwa yang sejak kecil
harus diberikan kepada kader-kader pemimpin dan pelaksana aparatur negara atau pihak-pihak
berkepentingan lainnya. Karena baik untuk hukum Indonesia, baik pula untuk bangsanya dan
buruk untuk hukum di negeri ini, buruk pula konsekuensi yang akan diterima oleh masayarakat
dan Negara.

Berbicara tentang hukum sama halnya kita berbicara tentang cinta. Karena keduanya berbicara
tentang rasa. Seberapa jauh rasa itu ada sehingga sanggup menjaga komitmen, tergantung
dari tiap pribadi. Ketika kita jatuh cinta semua terasa indah dan sempurna. Bagaikankan mimpi
tanpa terbangun, dan bagaikan burung yang terbang menembus langit dan cakrawala sehingga
bisa melihat semua keindahan bumi. Namun apakah cinta yang kelihatan itu benar-benar cinta
ataukah cinta karena harta dan materi. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, ketika
wilayah-wilayah dalam Nusantara menyatakan bergabung dalam Indonesia itulah pertama
kalinya masyarakatnya  jatuh cinta pada negara yang namanya Indonesia. Yang karena
kecintaan,  rela berperang melawan penjajah apapun taruhannya. Sama halnya ketika seorang
wanita jatuh cinta kepada seorang laki-laki, wanita tersebut rela mengorbankan apa saja demi
orang yang dicintai. Namun jika orang yang di cintai tidak lagi bisa memberikan rasa aman dan
tidak lagi bisa melindungi serta membahayakan hidup,  Apakah cinta masih harus di
pertahankan? Pertanyaan yang sama jika di tujukan  kepada negara jawaban apa yang harus
kita terima? Dari kacamata saya sebagai masyarakat biasa, negara itu ibarat laki-laki
matrealistis yang hedonis. Dan masyarakat ibarat wanita kaya raya yang sangat cinta kepada
pria tersebut, sehingga sanggup berkorban apa saja. Pria kaya tersebut tidak punya apa-apa
kecuali gaya yang kelihatan kaya, namun si wanita, kaya dengan sumberdaya alamnya. Untuk
menunjang gaya dan kehidupan hedon, sang lelaki tidak ingin melepaskan wanita kaya tersebut
dan akan melakukan apa saja sehingga wanita tersebut tetap berada di sampingnya. Dari cerita
ini, penulis hanya ingin mengungkapkan bahwa, jika rasa cinta itu muncul karena sesuatu dan
bukan dalam arti ketulusan, maka semua hal yang di lakukan akan sia-sia. Dan jika hukum itu di
buat karena keberpihakan pada penguasa dan demi kepentingan penguasa maka rasa keadilan
itu akan jauh dan kebahagiaan akan semakin semu di capai. Terjadinya pelanggaran dan
ketidak adilan di sebabkan karena nilai moral dan nilai kebenaran akibat kebutuhan ekonomi
yang terlalu berlebihan dibandingkan dengan kebutuhan psikhis yang seharusnya berbanding
sama. Usaha penyelesaiannya adalah tidak lain harus kembali kepada hakikat manusia dan
untuk apa manusia itu hidup. Hakikat manusia adalah makhluk budaya yang menyadari bahwa
yang benar , yang indah dan yang baik adalah keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan
kebutuhan psikhis dan inilah yang menjadi tujuan hidup manusia. Kebahagiaan jasmani dan
kebahagiaan rohani tercapai dalam keadaan seimbang artinya perolehan dan pemanfaatan
harta kekayaan terjadi dalam suasana tertib, damai dan serasi (nilai etis, moral). Dalam hal ini
negara sebagai penjamin hak dan sebagai fasilitator hendaknya dapat memberikan rasa aman
sesungguhnya bagi rakyatnya. Moral dan mental para pejabat harus di bina dan di kembalikan
kepada hakikat sesunggunhya sebagai pelayan masyarakat.

D. Etika dan Moral Dalam kehidupan berbangsa


Etika dan moral merupakan panduan universal yang merawat cita-cita kehidupan bernegara
untuk mencapai tujuan asasinya, yaitu kehidupan yang berjalan di atas nilai-nilai budaya
bangsa. Setiap sikap dan perilaku di ruang publik, harus mencerminkan nilai-nilai itu, agar cita-
cita dan keutuhan masyarakat tetap terjaga. Konsepsi dasar etika dan moral sebuah negara,
perlu terus mengacu pada konsensus nilai-nilai yang ada, yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat, terutama nilai-nilai mayoritas yang menjadi sebuah keniscayaan dalam mewarnai
tata perilaku warga bangsa. Hal ini akan terjadi, jika politik kekuasaan berjalan di atas landasan
demokrasi dan menempatkan rakyat sebagai yang berdaulat.

Etika akan memberikan semacam batasan maupun standar yang akan mengatur pergaulan
manusia didalam kelompok sosialnya. Dalam pengertian secara khusus dikaitkan dengan
interaksi sosial kita, etika dirupakan dalam bentuk aturan tertulis yang secara sistematik
sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada; dan pada saat yang dibutuhkan
akan bisa difungsikan sebagai alat untuk mengontrol segala macam tindakan yang secara
logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang. Dengan demikian, etika adalah
refleksi dari apa yang disebut dengan “self control“, karena segala sesuatunya dibuat dan
diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok sosial itu sendiri.
Moral lebih mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia, menuntun manusia
bagaimana seharusnya ia hidup atau apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan.
Dalam kehidupan sosial, semua masyarakat mempunyai aturan moral yang membolehkan atau
melarang perbuatan tertentu. Tata laku itu harus diikuti oleh anggota masyarakat dan akan
menimbulkan “hukuman” bagi pelanggarnya. Ukuran moral harusnya didasarkan pada nilai
budaya yang timbul dan berkembang di masyarakat dan/atau agama yang dianut.

Etika dan moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia dapat digali dari
Pancasila yang merupakan dasar negara. Pancasila memancarkan nilai-nilai etika dan moral
yang harus ditumbuhkembangkan dan diimplementasikan oleh setiap individu warga negara
Indonesia. Etika dan moral berbangsa dan bernegara perlu dianggap sebagai etika terapan
karena aturan normatif yang bersifat umum, diterapkan secara khusus sesuai dengan
kekhususan dan kekhasan bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai etika khusus,
etika dan moral berbangsa merupakan kontekstualisasi aturan moral umum dalam situasi
konkret.

Etika dan moral lahir dari nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, yang tujuannya adalah
menjalin kebersamaan, merawat kesatuan, dan mencapai kehidupan yang tenteram, harmonis,
dan sejahtera. Nilai merupakan landasan perilaku dalam seluruh sendi kehidupan, bukan
sebagai legitimasi atau hiasan belaka. Moral dan etika dalam perilaku masyarakat, termasuk
dalam politik bernegara adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan, karena menafikkan salah
satunya berarti menarik kegiatan politik dari dimensi sosial dan hanya menjadi urusan pribadi.

Pada saat ini banyak sekali orang melakukan pelanggaran hak-hak negara dan hak masyarakat
tetapi merasa tidak bersalah karena merasa tidak melanggar hukum formal. Mereka dengan
seenaknya merampok hak-hak masyarakat tetapi karena tidak bersalah menurut hukum formal
maka mereka merasa tidak melakukan kesalahan apapun. Hukum formal kemudian dijadikan
alasan untuk berlindung dari kejahatan etik dan moral padahal hukum formal itu merupakan
legalisasi dari etika dan moral. Artinya sebenarnya hukum formal itu adalah etika dan moral
yang diformalkan. Oleh sebab itu seharusnya etika dan moral itu lebih diutanakan dari sekedar
formalitas-formalitas hukum.

Penegakan hukum harus dilakukan dengan tegas tanpa pandang bulu terhadap pelaku
pelanggaran hukum. Untuk itu dalam pelaksanaannya dilakukan dengan penuh dedikasi dan
rasa tanggung jawab serta integritas moral yang tangguh. Sebab dari fenomena yang ada,
karena kurangnya ketegasan atau karena kegamangan dalam menghadapi pelanggaran
hukum, maka banyak pelanggar-pelanggar hukum yang lolos dari jerat hukum atau dengan kata
lain lepas dari pengusutan. Sehingga ada pameo yang mengatakan, bahwa “hukum yang
diterapkan saat ini ibarat jaring laba-laba”, artinya mereka yang melakukan tindak pidana dalam
kategori kelas kakap lolos dari jeratan hukum, sedangkan yang terjerat hanya kelas teri.

 Diakui atau tidak, proses penegakan hukum masih mengalami hambatan. Untuk itu diperlukan
aparat penegak hukum yang bertanggung jawab dan konsisten terhadap nilai-nilai moral.
Karena aparat penegak hukum yang bertanggung jawab dan bermoral tidak akan berani
melakukan manipulasi hukum, dan  tidak akan berani mempertaruhkan harga dirinya dengan
membohongi hati nuraninya.

 Standar etika dan moral para penegak hukum bahkan cenderung menurun. Mereka menjadi
kurang responsif terhadap berbagai permasalahan bangsa dan penyakit sosial yang kian hari
semakin menjadi. Korupsi yang seharusnya diproses secara hukum demi mewujudkan keadilan
tidak jarang malah melahirkan kejahatan baru berupa pemerasan, penyuapan, dan jual beli
kasus. Kesadaran dan ketataan penegak hukum tampaknya memudar.

 Etika dalam konteks penegak hukum adalah seperangkat prinsip moral yang membedakan apa
yang benar dari apa yang salah, apa yang pantas dan tidak untuk dilakukan oleh seorang
penegak hukum. Etika ini harus menjadi pegangan, baik dikala ia menjalankan tugas dan
fungsinya sebagai penegak hukum

bekerjanya hukum dan penegaknya tidak bisa steril dari masalah non-hukum. Kekuatan-
kekuatan lain, mulai dari turunnya integritas moral, hilangnya independensi, politik, ekonomi dan
social masyarakat serta ketidakpatuhan terhadap kode etik profesi hukum yang mengikatnya,
akan mementukan penegakan hukum di Indonesia. Namun, bila dilihat dari sudut pandang lain,
kelemahan substansi kode etik bukan berasal dari tidak adanya sanksi lebih pada
ketidakmampuan norma-norma dalam kode etik tersebut untuk menimbulkan kepatuhan pada
penegak hukum dan subtansinya.

 Elite politik dan elite penegak hukum mempunyai interes (kepentingan) dalam banyak kasus
hukum terutama yang menyangkut uang dalam jumlah besar dan kepentingan politik. Proses
rekruitmen penegak hukum tidak mempertimbangkan factor moral. Factor ini juga tidak
diprioritaskan dalam menyeleksi orang yang akan menduduki jabatan yang potensial.
 Dalam konteks ini, fakta rusaknya penegak hukum di Indonesia bisa ditafsirkan, sebagai
ambruknya nilai “sadar diri”, sehingga jatuhlah nilai dan hakekat hukum. Penegak hukum bukan
lagi “tuan” atas perbuatannya, tetapi “tuan” bagi kekuasaan, uang dan jabatan. Haruslah
disadari benar bahwa upaya menegakkan hukum tidaklah semudah membalik telapak tangan.

 Untuk menegakkan hukum dan membumikan keadilan dalam kehidupan masyarakat, seorang
penegak hukum harus terlebih dahulu taat hukum dan berpegang pada nilai-nilai moral etika
dalam berperilaku. Ia harus mampu menegakkan keduanya, menegakkan etika dalam dirinya
dan menegakkan hukum dalam kehidupan masyarakat. Kalau kedua hal ini terpenuhi,
diharapkan keadilan akan tegak dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.

E. Solusi terhadap keterpurukan bangsa


Sejak bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya, dalam pembukaaan UUD 1945, bangsa
Indonesia telah sepakat untuk  menentukan Pancasila menjadi dasar negara. Dalam perjalanan
selanjutnya, Pancasila juga disepakati sebagai ideologi nasional dan pandangan hidup bangsa.
Bangsa Indonesia selalu berupaya untuk mengimplementasikan Pancasila dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Namun, dalam realisasinya masih terdapat kerancuan mengenai
bagaimana implementasi sosialisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari dan untuk
menghadapi berbagai permasalahan. Pancasila adalah dasar negara. Hal ini terbukti meskipun
UUD telah mengalami beberapa kali perubahan, bahwa dalam Pembukaan atau Mukadimah
UUD negara selalu dicantumkan Pancasila sebagai dasar negara. Perumusan Pancasila
mengalami perubahan pada berbagai UUD, tetapi esensinya tetap tidak berubah Pasca
bergulirnya gerakan reformasi, Pancasila dilalaikan oleh banyak pihak. Pancasila tidak lagi
menjadi acuan dalam kehidupan politik dan tidak lagi digunakan sebagai kerangka
penyelesaian

masalah nasional. Bahkan banyak pihak bersikap sinis dan takut ditertawakan jika berbicara
tentang Pancasila. Untuk mengatasi pemikiran tersebut kiranya dan sudah saatnya Pancasila
diangkat kembali di tengah hiruk pikuknya permasalahan bangsa, untuk selanjutnya
diimplementasikan dan diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Pancasila akan tetap
efektif sebagai pedoman bangsa apabila Bhinneka Tunggal Ika tetap terjaga. Pluralitas bangsa
Indonesia sudah menjadi kenyataan sehingga perlu kekuatan pemersatu melalui payung
semangat Bhinneka Tunggal Ika. Kekuatan pemersatu bukan diposisikan sebagai penyatuan
keragaman budaya bangsa, melainkan menjadi semangat dan simbol bagi bekerjanya secara
demokratis setiap tradisi dan budaya yang ada. Pancasila sebagai pedoman bangsa justru
menemukan efektivitasnya bagi penguatan jati diri dan peningkatan produktivitas bangsa. Untuk

menghadapi fenomena mulai dilupakannya Pancasila, diperlukan upaya untuk menggalang


persatuan dan kesatuan bangsa yang didasari oleh pemahaman dan penghayatan yang sama
atas nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara dan
falsafah hidup bangsa sekaligus sumber semangat dan kekuatan bangsa sudah seharusnya
dijadikan acuan untuk menyelesaikan permasalahan bangsa dan negara. Oleh karena itu,
Pancasila perlu disosialisasikan secara berkesinambungan dalam penyelenggaraan hidup
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara saat ini dan ke depan yang melibatkan seluruh
komponen bangsa.

Maksud dan tujuan mensosialisasikan Pancasila adalah untuk mengajak seluruh anak bangsa
agar Pancasila dapat secara tepat dan mendapatkan ruang terhormat dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara yang selalu menjadi sumber pencerahan dan inspirasi sekaligus
orentasi pemecahan masalah bangsa. Amendemen I, II, III dan IV UUD 1945 telah menjadikan
konstitusi Indonesia menjadi sebuah konstitusi yang lebih baik, demokratis, dan modern yang
berfungsi sebagai panduan dasar dalam penyelenggaraan negara dan kehidupan berbangsa
untuk mengantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang adil dan makmur dalam wadah
NKRI. Semua komponen bangsa wajib memahami, menghayati, dan melaksanakan seluruh
ketentuan UUD 1945 yang telah disempurnakan itu yang memiliki makna dan membawa
manfaat nyata bagi bangsa. Proses sejarah perjalanan bangsa secara jelas menggambarkan
bahwa pada dasarnya keberadaan bangsa dan negara ini dilandasi oleh kesadaran, semangat,
dan tekad. Sejarah menunjukkan bagaimana perjuangan kita sejak tahun 1908 Budi Utomo,
tahun 1928 Sumpah Pemuda, hingga kini yang merupakan bukti dari kesadaran dan spirit.
Dengan kesadaran yang demikian, ada komitmen yang dituangkan dalam tekad yang
puncaknya terjadi pada saat Proklamasi 17 Agustus 1945, dengan lahirnya NKRI dari satu
proses sejarah tentang keberadaan bangsa Indonesia. Derasnya arus globalisasi dengan isu-
isu global yang berkembang pada saat ini sebagai satu keniscayaan yang harus direspons mau
tidak mau, suka tidak suka pengaruh global akan masuk. Yang penting, bagaimana secara
konsisten kita mengorientasikan respons kita terhadap isu global yang memang tidak mungkin
tidak masuk karena keniscayaan. Agar orientasi respons isu global tetap berada pada nilai-nilai
yang disepakati bersama dan tidak keluar dari kesadaran, semangat tentang keberadaan kita
sebagai bangsa yang kemudian bernegara perlu dijaga agar tetap berada dalam bingkai NKRI.
Sasaran sosialisasi Pancasila adalah seluruh rakyat atau komponen bangsa karena Pancasila
adalah milik kita bersama sekaligus dasar negara NKRI yang harus dipahami, untuk selanjutnya
dilaksanakan secara konsisten dalam hidup berbangsa dan bernegara oleh setiap warga
negara tanpa kecuali. Di samping itu, diperlukan metode yang tepat untuk
mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila yang lebih cocok dengan situasi saat ini melalui
konsep-konsep untuk dikaji secara konseptual guna memecahkan permasalahan terhadap
fenomena yang muncul yang disesuaikan dengan dinamika masyarakat. Pendekatan humanis
perlu lebih dikedepankan, kebebasan menyatakan pendapat perlu ditambahkan dan tidak lagi
menggunakan pendekatan indoktrinatif. Pancasila bukan milik seseorang atau golongan atau
sekedar penemuan satu orang, melainkan benar-benar mempunyai akar di dalam sejarah dan
batin seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, Pemerintah RI dengan tegas menyatakan
bahwa Pancasila berfungsi sebagai jati diri dan wujud kepribadian seluruh bangsa. Pancasila
janganlah hanya dimiliki, tetapi harus dipahami dan dihayati agar dapat diamalkan secara nyata
dalam kehidupan sehari-hari.

Anda mungkin juga menyukai