Anda di halaman 1dari 6

Pemberantasan Hukum Rimba Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Bagi

Kaum Sandal Jepit

Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 1 ayat 3 disebutkan bahwa “Negara
Indonesia adalah negara hukum”. Yang dimaksud dengan negara hukum adalah negara
yang di dalamnya terdapat berbagai aspek peraturan-peraturan yang bersifat memaksa dan
mempunyai sanksi apabila dilanggar. Berdasarkan landasan konstitusional tersebut, seluruh
rakyat Indonesia sepakat bahwa hukumlah yang akan menjadi panglima. Hukum yang akan
mengelola, melindungi, serta mengawasi kehidupan masyarakat dalam berbangsa dan
bernegara.

“Bukan kebijaksanaan tapi kekuasaanlah yang menciptakan hukum” –Thomas


Hobbe. Keberadaan hukum tak akan pernah lepas dari kekuasaan, seperti yang dikatakan
Hobbes di atas. Sebab hukum yang berisi perintah-perintah dibuat dan disahkan oleh
kekuasaan tinggi negara. Pernyataan ini juga didukung oleh Filsuf dan Ahli Matematika
Inggris, Betrand Wiliam Russell yang mengatakan bahwa pemerintah bisa saja ada tanpa
hukum, akan tetapi tidak mungkin ada hukum tanpa pemerintah.

"Runcing Kebawah Tumpul Ke Atas" istilah tersebut menggambarkan kondisi hukum


di Indonesia sekarang. Hukum lebih condong ke kelompok atas atau para penguasa hukum
tersebut. Sedangkan, bagi kaum sandal jepit atau masyarakat yang dibilang kurang mampu
ibarat pisau yang sangat tajam. Ironis sekali, hidup di negara hukum, namun begitu mahal
harga sebuah keadilan.

Seperti yang terjadi pada kasus Gayus dan Bank Century merupakan salah satu kasus
yang menunjukkan betapa masih lemahnya supremasi hukum di Indonesia. Diskriminasi
dalam penegakan hukum pun begitu nampak begitu jelas dalam beberapa penanganan kasus.
Dan semua itu tentu tidak terlepas dari buruknya mentalitas beberapa oknum aparat penegak
hukum itu sendiri.

Beberapa oknum aparat penegak hukum tersebut nampaknya masih belum


sepenuhnya menyadari akan kewajibannya sebagai pengayom dan pelindung masyarakat.
Sehingga yang terjadi bukanlah tegaknya rasa keadilan dan terwujudnya supremasi hukum di
negeri ini. Melainkan hukum yang selalu berpihak kepada golongan atas dan seolah buta
terhadap golongan bawah atau kaum sandal jepit.
Sungguh sangat memprihatinkan kondisi hukum Indonesia saat ini. Tidak ada
terdengar kata-kata pujian yang dilontarkan masyarakat kepada para aparat melainkan hanya
kata-kata cacian dan kritikan yang menghiasi kolom komentar di berbagai media masa. Hal
tersebut terjadi tidak lain karena hilangnya rasa kepercayaan dan munculnya rasa kekecewaan
masyarakat yang mendalam kepada para aparat yang seringkali menjual belikan hukum
kepada orang-orang yang punya jabatan, kekuasaan, dan kekayaan yang berlimpah.
Sedangkan hukum di mata kaum sandal jepit seakan menjadi malapetaka yang membawa
kehancuran dan kesengsaraan dalam kehidupan.

Hukum yang semestinya menjamin tegaknya keadilan dan mengayomi masyarakat,


justru terkesan menjadi hukum “rimba”, yaitu hukum yang dirujuk untuk mengistilahkan
aturan yang kacau serta tidak berkeadilan dan berprikemanusiaan. Sebab asas rimba selalu
memakai logika siapa yang kuat itulah yang menjajah dan siapa yang lemah itulah yang
dijajah. Bukankah rimba selalu seperti itu? kumpulan berbagai binatang yang kuat hingga
yang lemah, yang kuat selalu menjadi superior atas yang lemah. Tentu manusia berbeda
dengan rimba. Tapi, manusia yang bertingkah serta berperilaku seperti itu bisa disebut
sebagai bagian dari masyarakat rimba.

Keberadaan praktik hukum rimba di Indonesia disebabkan karena dua faktor yaitu
faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang berasa dari dalam
diri seseorang yang terdiri dari aspek moral, seperti lemahnya keimanan serta kurangnya
kejujuran. Jika dari aspek sikap dan perilaku, serti munculnya pola hidup konsumtif yang
kemudian mendorong para aparat menyalah gunakan kekuasaannya sehingga melakukan
praktik hukum rimba untuk mendapatkan imbalan.

Sedangkan Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar. Faktor ini bisa
ditinjau dari aspek ekonomi seperti pendapatan atau gaji yang tidak mencukupi kebutuhan,
aspek politis misalnya instabilitas politik, kepentingan politis, meraih dan mempertahankan
kekuasaan, aspek managemen dan organisasi yaitu ketiadaan akuntabilitas dan transparansi,
aspek hukum terihat dari lemahnya produk serta penegakan hukum, serta aspek sosial yaitu
lingkungan yang kurang mendukung praktik anti hukum rimba.

Jika dilihat dari perspektif Islam praktik hukum rimba merupakan salah satu
perbuatan yang dilarang (haram). Berikut ini beberapa ayat yang menjelaskan larangan
praktik hukum rimba:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran” [Qs.
An-Nahl : 90]

Selain itu Allah juga mengingatkan dalam firmanNya

“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” [Qs. Al-Maidah : 8]

Dari penjelasan kedua ayat di atas dapat dipahami bahwa praktik hukum rimba
merupakan salah satu perbuatan yang diharamkan karena dalam praktiknya hukum tersebut
sangatlah keji serta tidak berlandaskan keadilan dan rasa perikemanusiaan. Seharusnya
sebagai sesama umat manusia hendaknya saling menghargai satu sama lain dan merangkul
serta meindungi antar sesama khususnya kaum yang lemah. Selain itu, dari ayat tersebut
dapat dipahami bahwa berbagai permasalahan yang timbul hendaknya diselesaikan dengan
cara kekeluargaan serta seadil-adilnya sehingga dapat mengarahkan pada kehidupan yang
damai, meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan atau integrasi, saling menghormati serta
menghargai antar sesama, dan tidak menimbulkan perpecahan atau disintegrasi.

Oleh karena itu, praktik hukum rimba harus segera diberantas demi terwujudnya sila
ke-5 Pancasila yaitu “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dalam aspek hukum di
Indonesia. Berbagai upaya yang dapat dilakukan adalah Pertama, negara harus mengambil
peran sistematis mulai dari pucuk tertinggi sampai ke bawah untuk mengatasi runtuhnya
wibawa lembaga-lembaga negara termasuk penegak hukum. Wujud langkah luar biasa ini
dapat diwadahi dengan payung hukum berupa Instruksi Presiden.

Bersamaan dengan upaya pengembalian wibawa lembaga-lembaga negara, penegakan


hukum harus dilaksanakan dengan tegas dan tak pandang bulu. Para preman harus digulung
habis dari Sabang sampai Merauke. Kapolda seluruh Indonesia dapat dikumpulkan atau
diperintah langsung oleh Kapolri. Setiap pelanggaran hukum oleh aparat negara harus diusut
dengan cepat, transparan, dan dihukum lebih berat dibandingkan warga non-aparat.
Upaya pengembalian wibawa lembaga-lembaga negara termasuk penegak hukum
dapat dilakukan dengan cara yaitu memperbaiki mentalitas para aparat penegak hukum di
negeri ini. Untuk mendukung hal tersebut pemerintah hendaknya melakukan berbagai upaya
seperti memperketat seleksi rekrutmen para aparat penegak hukum agar dapat menjunjung
asas keadialan sehingga mampu mendapatkan sumber daya aparat penegak hukum yang
berkualitas, setia, dan bertanggung jawab. Dan Senantiasa melakukan pendampingan atau
pengarahan dan pengawasan yang ketat kepada para aparat penegak hukum dalam
menjalankan setiap tugasnya. Sebab aparat penegak hukum yang bermental penjilat adalah
musuh dalam selimut yang justru bisa meruntuhkan supremasi hukum yang telah terbangun
selama ini.

Kedua, pemerintah hendaknya melakukan sosialisasi kepada seluruh rakyat Indonesia


mengenai bahayanya praktik hukum rimba bagi keutuhan negara serta larangan hukum rimba
dari sudut pandang agama. Keberadaan praktik hukum rimba mengancam keutuhan negara
karena dapat menimbulkan api konflik yang berkepanjangan akibat ketidaksesuaian informasi
ataupun manipulasi data yang ada. Sosialisasi yang dilakukan dapat berupa sosialisasi secara
langsung maupun tidak langsung. Sosialisasi langsung dapat dilakukan dengan cara
mendatangi masyarakat atau berbagai instansi terkait serta sekolah-sekolah. Kemudian
menjalin interasi atau diskusi terkait apa itu praktik hukum rimba serta bahaya atau dampak
yang akan ditimulkan, dan melakukan sesi tanya jawab terkait berbagai informasi mengenai
praktik hukum rimba. Sosialisasi secara langsung ini dapat membawa dampak positif serta
manfaat yaitu berita yang diterima secara penuh serta mengurangi resiko timbulnya berita
hoax yang beredar.

Sedangkan sosialisasi tidak langsung dapat dilakukan dengan cara menggunakan


prantara atau alat komunikasi. Sosialisasi tidak langsung pada zaman yang seba canggih ini
sering menggunakan media komuniasi dan informasi seperti Short Message Service (SMS),
email, Instagram, Telegram, Tik Tok, whatsapp, dan lainnya. Sosialisasi secara tidak
langsung dapat memberikan dampak positif salah satunya yaitu jarak dan waktu sudah tidak
menjadi penghambat dan penghalang dalam melakukan sosialisasi serta dapat menghemat
biaya pengeluaran. Selain itu, sosialisasi tidak langsung juga dapat berdampak negatif yaitu
dapat menjadi jalan dalam menyebarluaskan berita hoax atau yang belum terbukti
kebenarannya hingga informasi yang disampaikan tidak menyeuruh.
Ketiga, Pemerintah ataupun masyarakat dapat membuat berbagai program-program
menarik yang dapat menjadi wadah bagi seluruh lapisan dalam meningkatkan rasa solidaritas,
persatuan, kekeluargaan, serta rasa saling menghormati dan menghargai. Salah satu bentuk
program nya yaitu dengan mengadakan “Gerakan Inonesia Bersatu” (GIB). Gerakan
Indonesia Bersatu adalah gerakan para penyelenggara negara dan masyarakat untuk
mewujudkan perilaku saling menghargai dan gotong royong untuk memperkuat jati diri dan
karakter bangsa berdasarkan Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI. Fokus
program Gerakan Indonesia Bersatu terdiri dari : (1) Peningkatan penegakan hukum terhadap
pelaku pelanggaran yang mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa, (2) Peningkatan
perilaku yang mendukung kesadaran nasionalisme, patriotisme, dan kesetiakawanan sosial,
(3) Peningkatan perilaku yang memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap kaum
minoritas, marjinal, dan berkebutuhan khusus, (4) Peningkatan peran lembaga agama,
keluarga, dan media publik dalam persamaan niai-nilai budi pekerti, toleransi, dan hidup
rukun. Melalui program tersebut diharapkan tidak ada sekat antar sesama baik dari segi
kekuasaan, kekayaan, dan lainnya.

Berbagai upaya tersebut dapat terlaksana dengan baik dan lancar apabila seluruh
pihak turut serta memberikan konstribusi dan kerjasamanya dalam mendukung berbagai
upaya tersebut, sehingga hukum rimba dapat diberantas dengan tuntas hingga akar-akarnya
dan tidak akan lagi diadopsi oleh generasi di masa yang akan datang. Serta harapan
kedepannya adalah agar implementasi Indonesia sebagai negara hukum dapat terlaksana
dengan tepat sesuai dengan asas-asas hukum yang berlaku sehingga bukan hanya wacana
serta tulisan semata akan tetapi dapat bermanfaat dalam meminimalisir risiko pelanggaran
atau penyimpangan hukum di Indonesia.
Daftar Pustaka

Muhammad Reza Hidayat, 2020. Kondisi Hukum di Indonesia Sekarang.


https://www.kompasiana.com/muhammad25616/5fa94f2217e4ac5f9e066572/kondisi-
hukum-di-indonesia-sekarang. (diakses tanggal 4 Maret 2021)

Khairunnisa, 2021. Kondisi Hukum Indonesia. <https://kawanhukum.id/kondisi-hukum-


indonesia/> (diakses 4 pada Maret 2021)

Undang-Undang Dasar Negara Republik 1945, batang tubuh.

Cipto Wardoyo, 2011. Hukum “Rimba” Indonesia.


https://news.okezone.com/read/2011/03/08/367/432489/h ukum-rimba-indonesia>
(diakses pada 4 Maret 2021)

Hadi Mulyono, 2020. Ayat-ayat Allah Tentang Perintah Berlaku Adil. https://akurat.co/id-
1142852-read-ayatayat-allah-tentang-perintah-berlaku-adil. (diakses pada 5 Maret
2021)

Sutoma Paguci, 2015. Upaya Luar Biasa Melawan Hukum Rimba .


https://www.kompasiana.com/sutomo-paguci/552fc08e6ea834ba2f8b45ed/upaya-
luar-biasa- melawan-hukum-rimba> (diakses pada 5 Maret 2021)

Muhammad Husni, S.H., M.H 2016. Penegakan Hukum Versus Opini Pubik.<https://komisi-
kejaksaan.go.id/penegakan-hukum- versus-opini-publik/ (diakses pada 5 Maret
2021)

Anda mungkin juga menyukai