Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH HUKUM DAN MASYARAKAT

TANGGAPAN HUKUM DALAM MASYARAKAT MENURUT PHILIPPE


NONET DAN PHILIP SELZNICK

DI SUSUN OLEH :
ASRI ELIES ALAMANDA
8111413222

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2016

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG

Masyarakat dalam pertumbuhannya selalu berkembang, dimulai dari keluarga


sebagai masyarakat yang paling kecil atau masyarakat sederhana kemudian berkembang
menjadi semakin kompleks atau masyarakat modern. Perkembangan masyarakat tadi
pasti dibarengi dengan timbulnya hukum untuk mengatur dan mempertahankan sistem
pergaulan hidup anggota anggotanya. Keberadaan hukum didalamnya adalah sebagai
peraturan yang bersifat umum dimana seseorang atau kelompok secara keseluruhan
ditentukan batas batas hak dan kewajibannya. Mengacu kepada hak dan kewajiban,
maka aturan yang paling tepat adalah apa yang dinamakan hukum. Demikian dapat
diketahui bahwa hukum dapat mengatur segala kepentingan manusia mulai dari jabang
bayi yang masih dalam kandungan ibunya sampai seorang ibu itu meninggal
dunia. Salah satu fungsi hukum adalah sebagai alat penyelesaian sengketa atau konflik,
disamping fungsi yang lain sebagai alat pengendalian sosial dan alat rekayasa sosial.
Pembicaraan tentang hukum barulah dimulai jika terjadi suatu konflik antara dua pihak
yang kemudian diselesaikan dengan bantuan pihak ketiga.
Dalam hal ini munculnya hukum berkaitan dengan suatu bentukpenyelesaian
konflik yang bersifat netral dan tidak memihak. Pelaksanaan hukum di Indonesia sering
dilihat dalam kacamata yang berbeda oleh masyarakat. Hukum sebagai dewa penolong
bagi mereka yang diuntungkan, dan hukum sebagai hantu bagi mereka yang dirugikan.
Hukum yang seharusnya bersifat netral bagi setiap pencarikeadilan atau bagi setiap
pihak yang sedang mengalami konflik seringkali bersifat diskriminatif, memihak kepada
yang kuat dan berkuasa. Adanya ketimpangan pelaksanaan hukum tersebut
makatimbullah pemasalahan hukum di Indonesia. Permasalahan hukum di Indonesia
terjadi karena beberapa hal, baik dari system peradilannya, perangkat hukumnya,
inkonsisten penegakan hukum, intervensi kekuasaan, maupun perlindungan hukum.

Perkembangan masyarakat dan hukum terus melaju seakan terus mengikuti


perkembangan zaman. Meskipun kadang perkembangan hukum masih harus tertatihtatih mengikuti perkembangan zaman, namun ia berusaha untuk terus memberikan
sumbangsih pada kegiatan dan upaya pengkajian hukum ini. Oleh karena pada
hakekatnya hukum selalu berjalan dibelakang atau hukum selalu tertinggal dari
perkembangan masyarakat, hukum cenderung tidak mampu menyelesaikan segala
permasalahan yang ada dalam masyarakat. Di Indonesia contohnya, kondisi Indonesia
saat ini masih sangat berantakan, masih sangat banyak masalah-masalah sosial, protes
massal, kemiskinan, kejahatan, pencemaran lingkungan, kerusuhan kaum urban,
penyalahgunaan kekuasaan, dan lain sebagainya.
Hal ini membuktikan bahwa hukum yang ada pada saat ini ternyata tidak cukup
mampu untuk mengatasi segala permasalahan tersebut. Padahal, pada hakekatnya
hukum dituntut untuk bisa memecahkan solusi atas persoalan-persoalan tersebut.
Banyak para ahli yang membagi teori hukum yang seperti apa yang tepat dipergunakan
di Indonesia sehingga segala permasalahan tersebut dapat diatasi. Dalam hal ini penulis
akan membahas teori hukum dari Philippe Nonet dan Philip Selznick.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.2.1
1.2.2

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalahnya yaitu:


Bagaimana hubungan hukum dengan masyarakat ?
Apa saja teori hukum yang di kemukakan oleh Phillipe Nonet dan Phillip
Selzinck ?

1.3 TUJUAN
1.3.1
1.3.2

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan makalah ini yaitu :
Untuk mengetahui hubungan hukum dengan masyarakat.
Untuk mengetahui apa saja teori hukum menurut Phillipe Nonet dan Phillip
Selzinck.
BAB II
PEMBAHASAN

Sebelum melangkah ke pemikiran hukum responsif, Nonet dan Selznick


membedakan tiga klasifikasi dasar dari hukum dalam masyarakat, yaitu:
(1) hukum sebagai pelayanan kekuasaan refresif, (hukum represif),
(2) hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan refresi dan
melindungi integritas dirinya (hukum otonom), dan
(3) hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi
sosial (hukum responsif).
Nonet dan Selznick beranggapan, bahwa hukum represif, otonom, dan responsif
bukan saja merupakan tipe-tipe hukum yang berbeda tetapi dalam beberapa hal juga
merupakan tahapan-tahapan evolusi dalam hubungan hukum dengan tertib sosial dan
tertib politik. Keduanya selanjutnya menyebut tahapan-tahapan evolusi tersebut sebagai
model perkembangan (developmental model). Di antara ketiga tipe hukum tersebut,
Nonet dan Selznick berargumen bahwa hanya hukum responsif yang menjanjikan tertib
kelembagaan yang langgeng dan stabil. Model perkembangan dapat disusun ulang
dengan fokus pada hukum otonom, dengan menunjuk pada konflik-konflik pada
tahapan tersebut yang menimbulkan tidak hanya risiko kembalinya pola-pola represif
namun juga kemungkinan terjadinya responsivitas yang lebih besar.

A. Hubungan Hukum Dengan Masyarakat


Hukum merupakan peraturan-peraturan, baik yang tertulis maupun yang tidak
tertulis, yang pada dasarnya berlaku dan diakui orang sebagai peraturan yang harus
ditaati dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat ialah sekelompok orang tertentu
yang mendiami suatu daerah atau wilayah tertentu dan tunduk pada peratran hukum
tertentu pula.
Hubungan antara hukum dan masyarakat sangat erat dan tak mungkin dapat
diceraipisahkan antara satu sama lain, menginga bahwa dasar hubungan tersebut terletak
dalam kenyataan-kenyataan berikut ini.

a. Hukum adalah pengatur kehidupan masyarakat. Kehidupan masyarakat tidak


mungkin bisa teratur kalau tidak ada hukum.
b. Masyarakat merupakan wadah atau tempat bagi berlakunya suatu hukum. Tidak
mungkin ada atau berlakunya suatu hukum kalau masyarakatnya tidak ada. Jadi,
dari kedua pernyataan di atas ini sudah dapat dibuktikan, dimana ada hukum di
situ pasti ada masyarakat dan demikian pula sebaliknya, dimana dad masyarakat
disitu tentu ada hukumnya.
c. Disamping itu, tak dapat disangkal adanya kenyataan bahwa hukum juga
merupakan salah satu sarana utama bagi manusia melalui masyarakat di mana ia
menjadi warga atau anggotanya, untuk memenuhi segala keperluan pokok
hidupnya dalam keadaan yang sebaik dan sewajar mungkin, mengingat hukum
itu pada hakikatnya:
- Memberikan perlindungan (proteksi) atas hak-hak setiap orang
secara wajar, disamping juga menetapkan kewajiban-kewajiban yang
harus dipenuhinya sehubungan dengan haknya tersebut.
- Memberikan juga pembatasan (restriksi) atas hak-hak seseorang
pada batas yang maksimal agar tidak mengganggu atau merugikan
hak orang lain, disamping juga menetapkan batas-batas minimal
kewajiban yang harus dipenuhinya demi wajarnya hak orang lain.

B. Teori Hukum Menurut Phillipe Nonet Dan Phillip Selzinck.

1. Hukum Refrensif
Hukum Represif adalah hukum yang mengabdi kepada kekuasaan represif dan
kepada tata tertib sosial yang represif. Kekuasaan yang memerintah adalah represif,
bilamana ia kurang memperhatikan kepentingan-kepentingan rakyat yang diperintahkan
artinya bilamana ia cenderung untuk tidak mempedulikan kepentingan-kepentingan
tersebut atau menolak legitimasinya. Meskipun represi sering kali berbentuk penindasan
dan pemaksaan yang terang-terangan, pemaksaan sendiri bukanlah merupakan ciri yang
menentukan bagi sifat represif, melainkan diacuhkannya atau diterlantarkannya
kepentingan rakyat. Mengenai perbedaan antara represi dengan pemaksaan: pertama,
tidak semua pemaksaan adalah represif. Kedua, represi tidak perlu memaksa. Perhatian
paling utama hukum represif adalah dengan dipeliharanya atau diterapkannya tata tertib,
ketenangan umum, pertahanan otoritas dan penyelesaian pertikaian. Meskipun hukum
represif dihubungkan dengan kekuasaan, namun ia tidak boleh dilihat sebagai suatu
tanda dari kekuatan kekuasaan (dari kekuasaan yang kuat). Nonet dan Selznick
menyebutkan beberapa bentuk dalam mana represi dapat memanifestasikan dirinya.
Yang satu adalah ketidak mampuan pemerintah untuk memenuhi tuntutan-tuntutan
umum. Yang lain adalah pemerintah yang melampaui batas. Suatu bentuk lain lagi
adalah kebijakan umum yang berat sebelah, yang sering kali dipercontohkan pembaruan
kota-kota dan kebijakan pengembangan ekonomi dalam mana program pemerintah
tidak mempunyai sarana untuk memenuhi, ataupun memperhatikan, lingkup
kepentingan individual dan kelompok yang dipengaruhinya. Ciri-ciri umum dari hukum
represif:
Institusi-institusi hukum langsung terbuka bagi kekuasaan politik; hukum
diidentifikasikan dengan negara dan tunduk kepada raison d etat.
Perspektif resmi mendomonasi segalanya. Penguasa cenderung

untuk

mengidentifikasikan kepentingannya dengan kepentingan masyarakat.


Kesempatan bagi rakyat untuk mendapatkan keadilan dimana mereka dapat
memperoleh perlindungan dan jawaban atas keluhan-keluhannya apabila
keadilan semacam itu memang ada adalah terbatas.
Badan-badan pengawas khusus seperti polisi misalnya menjadi pusat kekuasaan
yang bebas.

Suatu

rezim

hukum

rangkap

melembagakan

keadilan

keras

dengan

mengkonsolidasikan dan mengesahkan pola subordinasi sosial. Hukum dan


otoritas resmi dipergunakan untuk menegakkan konformitas kebudayaan.
2. Hukum Otonom
Hukum otonom berorientasi kepada mengawasi kekuasaan represif. Dalam arti
ini hukum otonom merupakan antitese dari hukum represif dalam cara yang sama
seperti kekuasaan oleh hukum yaitu hukum hanya sebagai suatu sarana untuk
memerintah berhubungan dengan kekuasaan berdasar hukum. Hukum otonom
memfokuskan perhatiannya pada kondisi sosial empiris dari kekuasaan berdasar hukum
realitas-relitas institusional dalam mana cita-cita ini diejawantahkan, yaitu potensipotensi khusus institusi-institusi ini untuk memberikan sumbangan kepada kepantasan
dalam kehidupan sosial, tetapi juga limitasi-limitasinya.
Sifat-sifat paling penting dari hukum otonom adalah: penekanan kepada aturanaturan hukum sebagai upaya utama untuk mengawasi kekuasaan resmi dan swasta
terdapat pengadilan yang dapat didatangi secara bebas yang tidak dapat dimanipulasi
oleh kekuasan politik dan ekonomi serta bebas daripadanya dan yang memiliki otoritas
ekskluif untuk mengadili pelanggar hukum baik oleh para pejabat umum maupun oleh
individu-individu swasta. Sebuah prinsip penting dari hukum otonom adalah
terpisahnya dari politik. Ahli-ahli hukum dan pengadilan adalah spesialis-spesialis
dalam menafsirkan dan menetapkan hukum, namun isi substantif hukum tidak
ditentukan oleh mereka, melainkan oleh hasil dari tradisi atau keputusan politik.
Hukum otonom menunjukkan tiga kelemahan khas yang sama sekali membatasi
potensial hukum untuk memberi sumbangan kepada keadilan sosial: Perhatian yang
terlalu besar terhadap aturan-aturan dan kepantasan prosedural mendorong suatu konsep
yang sempit tentang peranan hukum. Mematuhi aturan-aturan dengan ketat dilihat
sebagai suatu tujuan tersendiri dan hukum menjadi terlepas dari tujuan. Hasilnya adalah
legalisme dan formalisme birokrasi. Keadilan prosedural dapat menjadi pengganti
keadilan substantif. Penekanan atas kepatuhan terhadap hukum akan melahirkan
pandangan tentang hukum sebagai suatu sarana kontrol sosial, ia mengembangkan suatu

mentalitas hukum dan tata tertib diantara rakyat dan ia mendorong ahli-ahli hukum
untuk mengadopsi suatu sikap yang konservatif. Kelemahan-kelemahan ini akan
menghambat realisasi kekuasaan secara benar berdasarkan hukum yang dicita-citakan.
Namun demikian, hukum otonom mengandung suatu potensi untuk perkembangan lebih
lanjut dengan mana kelemahan-kelemahan ini akan dapat diatasi.
3. Hukum Responsif
Sifat responsif dapat diartikan sebagai melayani kebutuhan dan kepentingan
sosial yang dialami dan ditemukan, tidak oleh pejabat melainkan oleh rakyat. Sifat
responsif mengandung arti suatu komitmen kepada hukum di dalam perspektif
konsumen. Nonet dan Selznick menunjuk kepada dilema yang pelik di dalam institusiinstitusi antara integritas dan keterbukaan. Integritas berarti bahwa suatu institusi dalam
melayani kebutuhan-kebutuhan sosial tetap terikat kepada prosedur-prosedur dan caracara bekerja yang membedakannya dari institusi-institusi lain. Keterbukaan yang
sempurna akan berarti bahwa bahasa institusional menjadi sama dengan bahasa yang
dipakai dalam masyarakat pada umumnya, akan tetapi akan tidak lagi mengandung arti
khusus, dan aksi-aksi institusional akan disesuaikan sepenuhnya dengan kekuatankekuatan di dalam lingkungan sosial, namun akan tidak lagi merupakan satu sumbangan
yang khusus kepada masalah-masalah sosial. Konsep hukum responsif melihat suatu
pemecahan untuk dilema ini yang mencoba untuk mengkombinasikan keterbukaan
dengan integritas.
Jawaban dari hukum responsif adalah adaptasi selektif ke dalam tuntutantuntutan dan tekanan-tekanan baru. Apakah yang menjadi kriteria seleksinya? Tidak lain
daripada kekuasaan berdasar hukum yang dicita-citakan, tetapi sekarang tidak lagi
diartikan sebagai kepantasan prosedural formal, melainkan sebagai reduksi secara
progresif dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan dalam kehidupan
politik, sosial dan ekonomi. Jadi hukum responsif tidak membuang ide tentang keadilan,
melainkan ia memeperluasnya untuk mencakup keadilan substantif. Beberapa ciri yang
menonjol dari konsep hukum responsif adalah:
(a) pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan tujuan;

(b) pentingnya kerakyatan baik sebagai tujuan hukum maupun cara untuk
mencapainya.
(c) Mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan.
(d) Dalam model hukum responsif ini, masyarakat dapat menyatakan
ketidaksetujuan terhadap doktrin yang dianggap mereka sebagai interpretasi
yang baku dan tidak fleksibel.
(e) Dalam pembuatannya produk hukum yang responsif menyerap aspirasi
masyarakat seluas-luasnya (partispatif), sedangkan produk hukum yang
konservatif lebih di dominasi lembaga-lembaga Negara terutama pihak
eksekutif (sentralistik).
(f) Cerminan isi produk hukum yang responsif adalah aspiratif, dalam arti
mencerminkan mencerminkan kehendak-kehendak dan anspirasi umum
masyarakat, sedangkan produk hukum yang konservatif adalah positifitikinstrumentalistik, dalam arti mencerminkan kehendak atau memberikan
justifikasi bagi kehendak-kehendak dan program pemerintah.
(g) Cakupan isi hukum yang responsif itu biasanya rinsi, mengatur hal-hal
secara jelas dan cukup detail, sehingga tidak dapat ditafsir secara sepihak
oleh lembaga eksekutif, sedangkan pada hukum konservatif biasanya di
muat hal-hal yang pokok-pokok dan ambigu (makna ganda), sehingga
memberi peluang bagi pemerintah untuk membuat penafsiran secara sepihak
(h)
(i)
(j)
(k)
(l)

melalui berbagi peraturan pelaksanaan (interpretative).


Tujuan hukum berdasar kompetensi.
Keadilan substansi yang di cari.
Aturan hukum tunduk kepada prinsip/asas/doktrin dan kebijaksanaan.
Moralitas kerja sama (moralitas rakyat).
Aspirasi hukum dan politik berintegrasi.

Hukum responsif membedakan dirinya dari hukum otonom di dalam penekanan


pada peranan tujuan di dalam hukum. Nonet dan Selznick bicara tentang kedaulatan
tujuan. Pembuatan hukum dan penerapan hukum tidak lagi merupakan tujuan sendiri
melainkan arti pentingnya merupakan akibat dari tujuan-tujuan sosial yang lebih besar
yang dilayaninya. Hukum yang purposif adalah berorientasi kepada hasil dan dengan
demikian membelok dengan tajam dari gambaran tentang keadilan yang terikat kepada
konsekwensi.

Menurut Nonet dan Selznick, penerimaan maksud memerlukan penyatuan


otoritas hukum dan kemauan politik. Jika maksud menunjuk kepada fungsi dari
pemerintah, maka kerakyatan menunjuk kepada peranan yang sangat menentukan dari
partisispasi rakyat dalam hukum dan pemerintahan serta nilai terakhir yang
dipertaruhkan, yaitu tercapainya suatu komunitas politik yang berbudaya yang tidak
menolak masalah-masalah kemanusiaan dan dalam mana ada tempat bagi semua.
Norma kerakyatan dapat diartikan sebagai pernyataan hukum dari suatu etika yang
menghormati manusia sebagai nilai yang paling tinggi bagi kehidupan politik dalam
dunia modern. Norma kerakyatan, pertama: membedakan hukum responsif dari hukum
represif dengan memaksakan adanya penampungan bagi kepentingan-kepentingan
manusiawi dari mereka yang diperintah. Kedua, ia membedakan hukum responsif dari
hukum otonom dengan memperlunak tuntutan tentang kepatuhan kepada aturan-aturan
dan mengikuti saluran-saluran prosedural yang telah ditetapkan dan dengan sikapnya
yang lebih menyukai pendekatan integrasi kepada problem-problem penyelewengan,
ketidak patuhan dan konflik. Ketiga, norma kerakyatan menuntut cara-cara partisipasi
dalam pembuatan keputusan.

BAB III
PENUTUP
3.1 SIMPULAN
Untuk dapat terwujudnya sistem hukum yang ideal bagi kehidupan masyarakat
diperlukan produk hukum yang baik sehingga dapat digunakan sebagai alat untuk
membangun masyarakat ke arah yang dicita-citakan. Untuk dapat membuat suatu
produk hukum yang baik maka badan pembentuk hukum harus dapat memisahkan
produk hukum dari unsur-unsur kepentingan lain yang dapat menghambat hukum

menjadi alat pembangunan bagi masyarakat. Hukum tidak boleh ditunggangi dengan
kepentingan-kepentingan lain terutama yang sifatnya hanya untuk melindungi atau
melancarkan kehendak-kehendak para pihak tertentu saja. Bahwa tujuan hukum adalah
untuk terciptanya keadilan maka produk hukum dan aparatur penegak hukum harus
dapat berorientasi pada kepentingan-kepentingan rakyat secara keseluruhan terutama
perlindungan bagi yang lemah.

Anda mungkin juga menyukai