Anda di halaman 1dari 9

MATA KULIAH : SOSIOLOGI HUKUM

DOSEN PENGAJAR : PROF. DR. SYAMSUDDIN PASAMAI, S.H, M.H.

MAKALAH
HUKUM REPRESIF

DISUSUN OLEH:
AHMAD JAMIL
ADHAYANI
NAHDIYANTI
MUHAMMAD RIZKA YUNUS
SARIFUDDIN

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
TAHUN 2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Indonesia merupakan negara hukum. Secara jelas tertulis dalam UUD Negara
Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi “Bahwa
Negara Indonesia adalah negara hukum”. Sebagai negara hukum, Indonesia
seharusnya bernegara dan menjalankan roda pemerintahan berdasarkan hukum
yang telah ada sebelumnya. Namun belakangan kita dapat melihat bagaimana
perkembangan zaman menuntut produk hukum yang ada juga bertransformasi dan
berkembang mengikuti masyarakat yang terus mengalami perkembangan.
Kenyataannya sekarang dapat kita lihat dimana hukum seakan tertatih mengikuti
perkembangan masyarakat. Keberlangsungan atau pelaksanaan hukum juga sangat
ditentukan oleh 1. Substansi (aturan tertulis seperti Undang-Undang maupun tidak
tertulis seperti Hukum Adat); 2. Struktur (Pejabat Pelaksanan Penegakan Hukum
seperti Polisi, Jaksa, Hakim); dan 3. Budaya atau culture (bagaimana budaya
ketaatan hukum yang ada dalam masyarakat). Ketiga hal ini memiliki peranan yang
sangat penting dalam pelaksanaan hukum itu sendiri.
Mempelajari dan membahas hukum tidak lepas dari pembahasan tentang
manusia sebagai subyek hukum baik itu manusia secara pribadi namun manusia
dalam hidup bermasyarakat. Sebagai subyek hukum dan sebagai makhluk sosial,
manusia atau “orang” tidak dapat terlepas dari interaksi sosial dengan orang yang
lain. Oleh karena itu, membahas hukum berarti juga membahas tentang sosiologi
(ilmu tentang masyarakat). Maka dalam perkembangannya, terciptalah Sosiologi
Hukum sebagai suatu ilmu pegetahuan yang mandiri dan untuk pertama kalinya
(1882) dipergunakan oleh seorang filosof berasal dari Italia bernama Anzilotti.1
Dalam perkembangannya Hukum sebagai suatu instrumen yang mengatur orang
dan interaksi sosial yang terjadi memiliki beberapa tipe yang ada di dalam
masyarakat. Tipe-tipe hukum dalam masyarakat antara lain adalah: Hukum Otonom,
Hukum Responsif, Hukum Represif, Hukum Repleksif, Hukum Progresif, dan Hukum
Integratif. Dalam makalah ini, kami akan membahas tentang salah satu dari beberapa
tipe hukum yang disebutkan di atas yaitu Hukum Represif.

1
Syamsuddin Pasamai, Sosiologi dan Sosiologi Hukum Suatu Pengetahuan Praktis dan Terapan, Arus
Timur, Makassar, 2016, hal. 148.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka kami merumuskan sebuah
permasalahan yang akan dibahas yaitu apakah itu Hukum Represif?
BAB II

PEMBAHASAN

 Hukum Represif
Represif berasal dari bahasa Inggris “reperessive” yang berarti penindasan /
menindas. Gagasan hukum represif menganggap bahwa tatanan hukum tertentu
dapat berupa ketidakadilan yang tegas. Keberadaan hukum tidak menjamin keadilan
apalagi keadilan substantif. Sebaliknya, setiap tatanan hukum memiliki potensi
represif sebab hingga tingkat tertentu ia akan selalu terikat pada status quo dan
dengan memberikan baju otoritas pada penguasa, hukum membuat semaikn efektif.
Rezim represif adalah rezim yang menempatkan seluruh kepentingan dalam
bahaya, terutama kepentingan yang tidak dilindungi oleh sistem yang berlaku dalam
keistimewaan kekuasaan. Bentuk represi yang paling jelas adalah penggunaan
kekuasaan yang tidak terkontrol untuk menegakkan perintah, menekan pihak yang
tidak patuh atau menghentikan demokrasi. Meskipun tatanan hukum dapat
menggunakan paksaan (concercion) atau bergantung pada kekuasaan pamungkas
untuk melakukan paksaan, namun tatanan hukum tidak semata membuat sistem
menjadi represif. Kekuatan memaksa tidak represif manakala kehormatan orang-
orang dijaga, bahkan pada saat kekuatan diterapkan pada mereka.
Paksaan cenderung mendorong menjadi represi karena karena :
1. Tersedianya alat-alat pemaksa memberikan alternatif yang nyaman dan
mengurangi kebutuhan untuk melakukan akomodasi
2. Penggunaan kekuatan merupakan suatu dehumanisasi : seorang target paksaan
akan dijauhkan dari situsai dialog, persuasi, penghormatan, dan legitimasi atas
kalim-klaimnya.
Seperti halnya paksaan tidak harus represif, demikian juga represi tidak harus yang
bersifat memaksa. Ketika pemerintah mendapatkan legitimasi karena ia memelihara
kebiasaan umum untuk taat, paksaan tidak diperlukan. Hasil semacam ini
membutuhkan tidak lebih dari persetujuan warga negara secara umum dan diam-
diam. Persetujuan diam-diam (uniformed consent) yang terdapat dalam ketakutan
dan terpelihara dengan sikap apatis membuka jalan lebar bagi otoritas yang sah
namun tidak terkontrol. Selain itu, beberapa persetujuan terdistorsi oleh
keputusasaan. Contohnya, ketika kelemahan dan tidak terorganisasinya golongan
yang ditekan membuat mereka menerima tujuan dan perspektif pihak yang menekan.
Represi akan sempurna jika tidak sampai pada suatu paksaan.
Dengan demikian kunci menuju represi tidak terletak pada paksaan atau
persetujuan itu sendiri, namun terletak pada seberapa jauh kekuasaan
memperhitungkan dan dikontrol oleh kepentingan-kepentingan bawahan
sebagaimana yang ditunjukkan oleh kualitas persetujuan dan penggunaan paksaan.
Secara sistematis, hukum represif menunjukkan karakter-karakter berikut ini :
1. Institusi hukum secara langsung dapat diakses oleh kekuatan politik, hukum
diidentifikasikan sama dengan negara dan disubordinasikan pada tujuan negara
2. Langgengnya sebuah otoritas merupaka urusan yang paling penting dalam
administrasi hukum. Dalam perspektif resimyang dibangun, manfaat dari
keraguan (the benefit of doubt) masuk ke dalam sistem dan kenyamanan
administratif menjadi titik berat perhatian.
3. Lembaga-lembaga kontrol yang terspesialisasi, seperti polisi, menjaid pusat
kekuasaan yang independen, mereka terisolasi dari dari konteks sosial yang
berfungsi memperlunak, serta mampu menolak otoritas politik.
4. Sebuah rezim berganda (dual law) melembagakan keadilan berdasarkan kelas
dengan cara mengkonsolidasikan dan melegitimasi pola-pola subordinal sosial
5. Hukum pidana merefleksikan nilai-nilai yang dominan, moraisme hukum yang
akan menang.
Secara sederhana, Hukum Represif dapat diartikan sebagai hukum yang
mengabdi kepada kekuasaan represif dan kepada tata tertib sosial yang represif.
Kekuasaan yang memerintah adalah represif, bilamana ia tidak atau kurang
memperhatikan kepentingan-kepentingan rakyat yang diperintahkan. Dengan kata
lain, hukum represif adalah alat kekuasaan represif atau menindak. Hukum ini
cenderung tidak mempedulikan kepentingan-kepentingan rakyat dan atau menolak
legitimasinya. Hukum represif ini seringkali diwujudkan dalam bentuk penindasan
dan pemaksaan yang terang-terangan dan sebagai ciri utama atau ciri khas hukum
represif ini adalah diacuhkannya atau diterlantarkannya kepentingan rakyat.
Singkatnya, hukum represif adalah hukum yang didalam pelaksanaannya tidak
banyak memasukkan “campur tangan” yang memadai dari masyarakat sehingga
hukum hanya berkembang tanpa dibarengi dengan perkembangan masyarakat.
Perhatian paling utama dari hukum represif ini adalah dengan dipeliharanya atau
diterapkannya tata tertib, ketenangan umum, pertahanan otoritas dan penyelesaian
pertikaian dengan cenderung tidak memperhatikan kepentingan rakyat. Meskipun
hukum represif ini memiliki tujuan yang baik seperti menciptakan keadilan,
menciptakan ketertiban umum, menciptakan perdamaian, dan lain sebagainya.
Hukum represif ini tidak akan pernah mencapai hakekat dari hukum itu sendiri karena
ia (hukum represif) mengabaikan kepentingan atau kebutuhan dari masyarakatnya
sendiri. Selain itu, hukum represif selalu dihubungkan dengan kekuasaan, hukum
represif ini tidak boleh dilihat sebagai suatu kekuatan kekuasaan yang terlalu kuat
karena akan menimbulkan kesewenang-wenangan dan menimbulkan ketidakadilan.
Selain itu, Hukum represif ini tidak menjamin keadilan substantif sehingga penguasa
memiliki potensi atau membuat otoritas penguasa semakin efektif demi
mempertahankan status quo.
Nonet dan Selznick menyebutkan beberapa bentuk dimana hukum represif dapat
memanifestasikan dirinya yaitu:
 Ketidak mampuan pemerintah untuk memenuhi tuntutan-tuntutan umum
 Pemerintah yang melampaui batas
 Kebijakan umum yang berat sebelah.

Kebijakan umum yang berat sebelah atau kebijakan yang berpihak ini sering terjadi
dalam masyarakat misalnya saja pembaruan kota-kota dan kebijakan pengembangan
ekonomi di mana program pemerintah cenderung hanya memperhatikan kepentingan
dirinya sendiri atau cenderung memihak pada pihak investor asing dan mengabaikan
atau tidak memperhatikan kepentingan individual dan kelompok yang lainnya.

Ciri-ciri umum Hukum Represif yaitu:

1. Perspektif resmi mendomonasi segalanya.


Penguasa cenderung untuk mengidentifikasikan kepentingannya dibandingkan
dengan kepentingan masyarakat.
2. Ketiadaan kesempatan bagi rakyat untuk mendapatkan keadilan.
Masyarakat hanya dapat memperoleh perlindungan dan jawaban atas keluhan-
keluhannya tetapi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak
mencerminkan keadilan. Apabila ada yang disebut dengan “keadilan” maka hal
itupun sangatlah terbatas.
3. Suatu rezim hukum rangkap melembagakan keadilan keras dengan
mengkonsolidasikan dan mengesahkan pola subordinasi sosial.
4. Hukum dan otoritas resmi dipergunakan untuk menegakkan konformitas
kebudayaan.
5. Institusi-institusi hukum langsung berakses kepada kekuasaan politik, hukum
diidentifikasikan dengan Negara dan tunduk kepada kepentingan dengan sendiri
(“rasion d etat”).
6. Kelestarian kekuasaan adalah tugas dari pengakuan hukum.
7. Badan-badan pengawasan khusus seperti polisi, menjadi pusar kekuasaan yang
bebas, yang terisolasi dari konteks sosialyang moderat dan mampu melawan
otoritas politik.
8. Suatu rezim “hukun rangkap” melembagakan keadilan kelas, dengan
mengkosolidasikan dan mengesahkan pola-pola subordinasi sosial.
9. Perundang-undang pidana mencerminkan dominasi atas adat istiadat atau
kebudayaan dan sangat menonjolkan moral yang legal (legal moralism).

Kekuasaan represif dimaknai sebagai kekuasaan yang tidak memberikan


perhatian kepada masyarakat. Segala bentuk penyelenggaran kekuasaan tidak
dijalankan atas nama rakyat, bahkan mendelegitmasi eksistensi rakyat itu sendiri.
Untuk memahami lebih dalam mengenai hukum represif, Nonet menjelaskannya
dalam lima karakter sebagai berikut: Pertama, institusi hukum langsung dapat
diakses oleh kekuatan politik, hukum diidentifikasikan sama dengan negara dan
ditempatkan di bawah tujuan negara. Kedua, eksistensi sebuah otoritas merupakan
hal yang sangat penting dalam administrasi hukum. Ketiga, bahwa lembaga-lembaga
kontrol yang khusus seperti polisi, menjadi pusat-pusat kekuasaan yang independen,
mereka terisolasi dari konteks sosial yang berfungsi memperlunak serta mampu
menolak otoritas politik. Keempat, rezim dengan model demikian melembagakan
keadilan berdasarkan kelas dengan cara konsolidasi melegitimasi pola-pola
subsordinasi sosial. Kelima, bahwa hukum pidana merefleksikan nilai-nilai yang
dominan, moralisme hukum yang akan menang. Dalam konteks ekonomi kekuasaan,
hukum represif menghendaki adanya tertib hukum dengan ciri-ciri sebagai berikut:

1. Pengadilan dan aparat hukum adalah instrumen penguasa yang mudah diatur.
Institusi hukum melayani negara.
2. Tujuan utama hukum adalah ketertiban umum
3. Institusi-institusi hukum mempunyai sedikit sumber daya lain selain kekuatan
pemaksa negara.
4. Aturan hukum memberikan corak otoritas pada kekuasaan, tapi penggunaan
aturan tersebut disesuaikan dengan kriteria kelayakan politik.

Represi lahir karena miskinnya sumber daya politik. Secara umum potensi
represi dibangkitkan ketika tugas yang urgen harus dihadapi di dalam kondisi
kekuasaan yang memadai namun minim sumber daya. Di samping itu represi muncul
karena jangkauan pemerintah yang berlebihan dan ketidakberdayaan negara untuk
memenuhi tuntutan-tuntutan masyarakat. Implikasi dari adanya represifitas tersebut
dapat pula dilihat dalam hubungan antara negara dengan badan-badan penegak
hukum. Dalam praktik, badan-badan khusus dibentuk untuk menjaga ketertiban dan
menegakkan kedaulatan. Ada tiga yang menjadi faktor yang menyebabkan produk
hukum menjadi represif, yaitu:

1. Hukum melembagakan hilangnya hak-hak istimewa yang tidak harus bergantung


pada pada hak suara dari kelas bawah.
2. Hukum melembagakan ketergantungan. Dalam konteks ini kaum miskin
dianggap sebagai beban negara yang bergantung pada lembaga-lembaga
khusus.
3. Hukum mengorganisasikan pertahanan sosial untuk melawan kondisi sosial
kemasyaratan yang dianggap mengganggu ketertiban, misalnya kemiskinan
yang berakibat pada munculnya ‘gelandangan’ dimana hal tersebut merupakan
kejahatan dalam hukum.

Dengan demikian, wujud hukum represif dapat dilihat dalam dua gambaran utama,
pertama integrasi yang dekat antara hukum dan politik. Kedua, diskresi pejabat yang
tidak terkontrol, hal ini merupakan upaya untuk mempermudah mempermainkan
hukum.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hukum Represif dapat diartikan sebagai hukum yang mengabdi kepada
kekuasaan represif dan kepada tata tertib sosial yang represif. Kekuasaan yang
memerintah adalah represif, bilamana ia tidak atau kurang memperhatikan
kepentingan-kepentingan rakyat yang diperintahkan. Dengan kata lain, hukum
represif adalah alat kekuasaan represif atau menindak. Hukum ini cenderung tidak
mempedulikan kepentingan-kepentingan rakyat dan atau menolak legitimasinya.
Sehingga dapat kami simpulkan bahwa Hukum Represif berbanding lurus dengan
terciptanya Pemerintahan yang otoriter.

Dalam konteks ekonomi kekuasaan, hukum represif menghendaki adanya tertib


hukum dengan ciri-ciri sebagai berikut:

1. Pengadilan dan aparat hukum adalah instrumen penguasa yang mudah diatur.
Institusi hukum melayani negara.
2. Tujuan utama hukum adalah ketertiban umum
3. Institusi-institusi hukum mempunyai sedikit sumber daya lain selain kekuatan
pemaksa negara.
4. Aturan hukum memberikan corak otoritas pada kekuasaan, tapi penggunaan
aturan tersebut disesuaikan dengan kriteria kelayakan politik.

Ada tiga yang menjadi faktor yang menyebabkan produk hukum menjadi represif,
yaitu:

1. Hukum melembagakan hilangnya hak-hak istimewa yang tidak harus bergantung


pada pada hak suara dari kelas bawah.
2. Hukum melembagakan ketergantungan. Dalam konteks ini kaum miskin
dianggap sebagai beban negara yang bergantung pada lembaga-lembaga
khusus.
3. Hukum mengorganisasikan pertahanan sosial untuk melawan kondisi sosial
kemasyaratan yang dianggap mengganggu ketertiban

Dengan demikian, wujud hukum represif dapat dilihat dalam dua gambaran utama,
pertama integrasi yang dekat antara hukum dan politik. Kedua, diskresi pejabat yang
tidak terkontrol, hal ini merupakan upaya untuk mempermudah mempermainkan
hukum.

Anda mungkin juga menyukai