Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kekuasaan mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan
bermasyarakat, karena kekuasaan tidak hanya sekedar instrumen pembentukan
hukum tetapi juga instrumen penegakan hukum. Pembentukan hukum dicapai
melalui mekanisme kekuasaan politik dalam lembaga legislatif, dimana konflik
kepentingan kelompok masyarakat dikompromikan untuk menghasilkan satu
rumusan aturan hukum. Penegakan hukum bertujuan untuk mendorong kepatuhan
masyarakat terhadap aturan hukum yang berlaku dan memberikan sanksi hukum
terhadap kasus pelanggaran hukum.
Hukum juga berperan dalam melegalkan kekuasaan formal lembaga
negara, unit pemerintahan, pejabat, dan pemerintahan. Legalisasi ini dicapai
melalui penetapan landasan hukum kekuasaan melalui aturan-aturan hukum.
Hukum juga mengontrol kekuasaan untuk memastikan pelaksanaannya dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum dan etika.
Indonesia adalah negara hukum, dengan pembagian kekuasaan dalam
penyelenggaraan negara berdasarkan asas negara hukum. Tujuannya adalah untuk
menghindari pemusatan kekuasaan pada satu tangan, karena kekuasaan absolut
cenderung korup. Lembaga-lembaga negara di Indonesia terbagi menjadi lembaga
negara konstitusional dan lembaga negara pembantu, yang sebagian mempunyai
kewenangan konstitusional.
Di Indonesia, pertumbuhan lembaga-lembaga pembantu negara
berlangsung pesat setelah reformasi. Lembaga ini didirikan oleh Presiden atau
Dewan Perwakilan Rakyat. Pembentukan lembaga pembantu negara ini
merupakan respons terhadap pengakuan bahwa kondisi birokrasi di dalam
pemerintahan sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan masyarakat akan
pelayanan publik yang berkualitas. Pesatnya pertumbuhan lembaga-lembaga
pembantu negara mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap status mereka
sendiri. Hal ini disebabkan belum adanya kerangka peraturan perundang-
undangan tunggal yang mengatur status lembaga pembantu negara di Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa esensi kekuasaan?
2. Apa esensi hukum?
3. Bagaimana kekuasaan dalam pembentukan lembaga negara?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan artikel ini adalah untuk mengetahui hakikat kekuasaan dalam
lingkungan hukum, serta hubungan dialektis antara hukum dan kekuasaan dalam
konstruksi lembaga negara.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Esensi Kekuasaan


Kekuasaan merupakan konsep hubungan sosial yang terdapat dalam
kehidupan masyarakat, negara, dan umat manusia. Konsep hubungan sosial itu
meliputi hubungan personal di antara dua insan yang berinteraksi, hubungan
institusional yang bersifat hierarkis, dan hubungan subjek dengan objek yang
dikuasainya. Karena kekuasaan memiliki banyak dimensi, maka tidak ada
kesepahaman di antara para ahli politik, sosiologi, hukum dan kenegaraan
mengenai pengertian kekuasaan.
Dalam bukunya Wirtschaft dan Gesellschaft (1992), Max Weber 1
mengemukakan bahwa kekuasaan adalah kapasitas untuk menyatakan keinginan
sendiri dalam dinamika sosial, bahkan ketika menghadapi oposisi, terlepas dari
sumber yang mendasari kapasitas ini. Konseptualisasi Weber tentang kekuasaan
menjadi landasan bagi pengembangan konsep kekuasaan oleh banyak intelektual
lainnya. Sebagai contoh, Strausz-Hupe2 memberikan definisi kekuasaan sebagai
“kapasitas untuk memaksakan keinginan seseorang kepada orang lain”. Demikian
pula, C. Wright Mills3 mendefinisikan kekuasaan sebagai “dominasi,” mengacu
pada kapasitas untuk memaksakan keinginan seseorang atas perlawanan dari
orang lain, yang menunjukkan bahwa kekuasaan memiliki atribut yang memaksa.
Menurut Talcott Parsons4, kekuasaan mengacu pada kapasitas keseluruhan
untuk memastikan bahwa unit organisasi kolektif suatu sistem memenuhi tugas
mengikat mereka. Kewajiban ini diakui sehubungan dengan pencapaian tujuan
kolektifnya, dan setiap penolakan untuk mematuhinya dianggap sebagai
penolakan. Kewajiban mungkin berpotensi menimbulkan tindakan hukuman
tertentu, terlepas dari entitas yang bertanggung jawab untuk menegakkannya.

1
Miriam Budiardjo, “Aneka Pemikiran Tentang Kuasa Dan Wibawa,” Jakarta: Sinar
Harapan, 1991.hlm. l. 16. Lihat juga Max Weber, 1982, Wirtschaft und Geselschaft, Tubingen
Mohr, 1982.
2
Ibid
3
Soelaeman Soemardi, “Pendekatan Terhadap Kejahatan Sebagai Suatu Fenomena
Sosial.” Lihat juga Miriam Budihardjo,Ibid. Lihat juga Robert Strausz-Hupe, Power and
Community, 1956, hlm 12 dan 14.
4
Talcott Parsons, Oktober, “The Distribution of Power in AmericanSociety.” World
Politics. 1957, hlm.139.
Konsep ini berpusat pada kewenangan masyarakat untuk menegakkan peraturan
wajib dalam suatu masyarakat, dengan tujuan untuk menjaga masyarakat.
Kekuasaan sering kali diartikan sebagai kemampuan untuk mengerahkan
kehendak atau kendali atas pihak lain. Lebih lanjut para ahli juga menggambarkan
kekuasaan sebagai kemampuan untuk membatasi atau mengatur tindakan pihak
lain. Menurut Harold D. Laswell5 dan Abraham Kaplan, kekuasaan mengacu pada
dinamika di mana seorang individu atau suatu kolektif dapat memberikan
pengaruh pada aktivitas individu atau kelompok lain agar selaras dengan tujuan
pihak yang mempengaruhi.
Van Doorn6 setuju dengan perspektif Laswell dan Kaplan, yang
menyatakan bahwa kekuasaan adalah kemampuan untuk membatasi pilihan yang
tersedia bagi individu atau kelompok sesuai dengan tujuan pihak yang
mengendalikan. RJ Mokken mendefinisikan kekuasaan sebagai kapasitas individu,
organisasi, atau institusi untuk mengontrol secara keseluruhan atau sebagian
pilihan tindakan atau pilihan yang dapat diakses oleh aktor lain.
Konsep kekuasaan dalam konteks urusan kenegaraan dapat dibedakan
menjadi dua kelompok, yaitu kekuasaan negara dan kekuasaan masyarakat.
Kekuasaan negara berkaitan dengan kemampuan negara untuk mengatur dan
mengendalikan kehidupan individu secara terstruktur dan harmonis. Kekuasaan
komunitas mengacu pada kapasitas suatu masyarakat untuk secara efektif
mengkoordinasikan dan mengatur kepentingan masing-masing anggota dan
kelompok masyarakat, sehingga memfasilitasi interaksi sosial yang harmonis.
Asimetri antara keduanya akan menumbuhkan dinamika kekuasaan hegemonik,
yang ditandai dengan negara yang sangat dominan dan masyarakat yang relatif
lemah, sehingga mengakibatkan berulangnya siklus interaksi yang menindas dan
eksploitatif. Sebagai konsekuensinya, negara tidak hanya melakukan campur
tangan dalam urusan kenegaraan dan sosial, namun juga melakukan campur
tangan dalam semua perilaku masyarakat yang berada di luar yurisdiksi sahnya.
Selain menunjukkan kemampuan untuk memberikan pengaruh dan
mengambil keputusan, kekuasaan juga mengacu pada mekanisme untuk

5
Miriam Budihardjo, Op. Cit., hlm. 20.
6
Ibid., hlm. 17.
melaksanakan tugas dalam masyarakat dan atas nama masyarakat. 7 Fungsi dalam
masyarakat meliputi bidang politik, ekonomi, dan sosial. Bidang yang termasuk di
dalamnya meliputi aspek sosial budaya, pelaksanaan tugas hukum dan
pemerintahan, serta pelaksanaan kegiatan lainnya. Tujuan dilaksanakannya fungsi
ini adalah untuk mempererat kontak sosial dan mengefektifkan penyelenggaraan
kehidupan bermasyarakat.
Dalam tulisan ini, kekuasaan diartikan sebagai konsep hubungan sosial
dominan yang melibatkan kemampuan seseorang atau lembaga untuk
mengerahkan kehendaknya terhadap orang lain, termasuk lembaga lain. Hal ini
dicapai melalui penetapan tatanan dan aturan perilaku, yang mengakibatkan orang
lain menjadi tunduk dan patuh terhadap perintah dan aturan tersebut.

2.2 Esensi Hukun


Mengenai hakikat hukum, para profesional hukum mempunyai cara
pandang yang berbeda-beda. Kesenjangan perspektif terlihat jelas dalam
penafsiran hukum yang berbeda-beda. Meskipun mempunyai perspektif yang
berbeda-beda, penafsiran ini dapat dikategorikan ke dalam empat jenis berbeda.
Hukum pada dasarnya digambarkan sebagai seperangkat prinsip atau
standar yang mencerminkan nilai dan norma masyarakat. Victor Hugo, misalnya,
memandang hukum sebagai perwujudan kebenaran dan keadilan. Menurut
Grotius8, hukum adalah norma moral tentang perilaku yang perlu dan benar secara
moral. Ketika kita berbicara tentang hukum dalam kaitannya dengan nilai, pada
dasarnya kita mengkaji hukum dari sudut pandang filosofis, karena nilai adalah
konsep paling abstrak yang berasal dari prinsip-prinsip hukum.
Kedua, hukum dapat digambarkan sebagai konsep dasar yang mengatur
kehidupan masyarakat. Menurut Salmond9, hukum dapat diartikan sebagai
seperangkat prinsip yang diakui dan ditegakkan oleh negara melalui pengadilan.
Lebih lanjut, hukum dapat digambarkan sebagai seperangkat peraturan atau
prinsip yang mengatur perilaku manusia. Vinogradoff 10 menggambarkan hukum
sebagai kumpulan peraturan yang dibentuk dan ditegakkan oleh suatu masyarakat,
7
Talcott Parsons, Sociological Theory and Modern Society, New York: The Free press,
1967, hlm. 308.
8
Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Jakarta: Chandra Pratama, 1996, hlm. 39.
9
L.B. Curzon, Jurisprudence, M&E Handbook, 1979, hlm. 24.
10
Ahmad Ali, Op. Cit., hlm. 34
yang mengatur perilaku individu dan kepemilikan aset. Kantorowich juga
mengemukakan sudut pandang serupa, berpendapat bahwa hukum mencakup
serangkaian peraturan masyarakat yang mengatur perilaku eksternal dan
didasarkan pada pertimbangan yang matang.
Lebih jauh lagi, hukum dapat digambarkan sebagai keadaan sebenarnya
(das sein) yang ada dalam kehidupan individu. Manifestasi sosial dari hukum
terbentuk baik sebagai hukum yang hidup di dalam masyarakat atau sebagai
perilaku sah yang ditunjukkan di seluruh masyarakat. Perilaku hukum meliputi
perbuatan yang bertentangan dengan hukum (pelanggaran hukum) dan perbuatan
yang menaati peraturan hukum.
Para profesional hukum mempunyai perspektif yang berbeda tidak hanya
mengenai penafsiran hukum, namun juga mengenai karakteristik inherennya.
Keberagaman cara pandang terhadap hakikat hukum terlihat jelas dalam
perkembangan berbagai aliran pemikiran teori hukum. Penelusuran pertama
mengenai hakikat hukum adalah pada konsep hukum sejati. Apa sebenarnya
hukum yang sebenarnya. Tanggapan terhadap pertanyaan-pertanyaan utama ini
beragam dan saling bertentangan.
Dalam konsepsi hukum agama yang teistik, hakikat dasar hukum berasal
dari amanat Tuhan. Hukum yang sejati adalah hukum yang diucapkan dan
diamanatkan oleh Tuhan. Ajaran Islam berpandangan bahwa hukum yang shahih
adalah hukum Allah yang tertuang dalam Al-Quran, dan hukum yang diutarakan
Nabi dalam hadis. Penganut paham sekuler memandang hakekat hukum tidak
berhubungan dengan pertimbangan agama dan ketuhanan, melainkan berfokus
pada keadilan, masyarakat, dan negara.
Dari empat sudut pandang yang berbeda, yaitu perspektif kewenangan,
perspektif substantif, perspektif sosiologis, dan perspektif realisme, hakikat
fundamental hukum dapat dipahami dalam konteks ini. Perspektif otoritas adalah
sudut pandang positivis yang mengaitkan legitimasi hukum dengan kekuasaan dan
pengaruh penciptaan dan penegakan hukum.
John Austin11, seorang filsuf positivis terkemuka, mengemukakan bahwa
hukum terdiri dari perintah, baik eksplisit maupun implisit, yang dikeluarkan oleh

11
Ahmad Ali, Op. Cit., hlm. 40.
partai yang berkuasa kepada anggota komunitas politik yang otonom, di mana
partai yang berkuasa memiliki otoritas tertinggi. Blackstone, seorang sarjana
hukum abad ke-18, juga mengusulkan definisi hukum sebagai arahan yang
ditetapkan oleh mereka yang berwenang untuk memerintah dan diikuti oleh
mereka yang berada di bawah kendalinya.
Berbeda dengan pandangan otoritas, perspektif substantif tidak menilai
keabsahan suatu undang-undang berdasarkan kewenangan yang menetapkannya,
namun lebih menitik beratkan pada substansi dan isi norma hukum tersebut.
Perspektif ini juga sejalan dengan sudut pandang John Locke, dimana ia
berpendapat bahwa hukum adalah sebuah konstruksi yang dibangun oleh
sekelompok orang untuk membedakan antara perilaku jujur dan curang.
Pendekatan historis menilai legitimasi peraturan perundang-undangan
dengan mempertimbangkan budaya masyarakat, khususnya kepercayaan yang
dipegang teguh oleh individu-individunya. Von Savigny menegaskan bahwa
keseluruhan hukum dibentuk oleh konvensi dan sentimen yang berlaku, yaitu
melalui penggunaan otoritas secara terselubung. Asal usul hukum dapat ditelusuri
kembali ke sejarah perkembangan masyarakat manusia, yang dipengaruhi oleh
kesadaran, keyakinan, dan adat istiadat penduduknya.
Pendekatan sosiologi menilai keabsahan hukum dengan
mempertimbangkan kapasitas atau kewenangannya dalam mengatur kehidupan
individu. Penyelidikan utamanya adalah pada efektivitas penerapan hukum dalam
mengatur keberadaan individu. Dari sudut pandang sosiologi, inti peraturan
perundang-undangan terletak pada keselarasan dengan realitas sosial. Lundstedt
mengemukakan bahwa hakikat hukum berasal dari realitas sosial, berbeda dari
ilusi sederhana. Kaum realis dapat dikategorikan menganut pandangan dunia
sosiologis karena kesamaan landasan mereka dalam realitas sosial. Menurut
pandangan realis, inti hukum adalah penerapan hukum yang sebenarnya oleh
pengadilan dalam menyelesaikan konflik dan permasalahan hukum yang timbul
dalam masyarakat. Holmes12, seorang hakim Mahkamah Agung AS yang
terkemuka dan pendiri aliran realisme, menyatakan bahwa "hukum ditentukan
oleh keputusan aktual pengadilan, bukan oleh prasangka apa pun." Perspektif

12
L.B. Curzon, Op. Cit., hlm. 27.
Holmes sejalan dengan pernyataan Llewellyn bahwa keputusan hakim mengenai
suatu konflik merupakan hakikat hukum.
2.3 Hubungan Hukum dan Kekuasaan
Ada dua kategori berbeda dalam pola hubungan hukum dan kekuasaan.
Hukum pada dasarnya identik dengan kekuasaan. Dalam ceramahnya yang
terkenal “Uber Verfassungswessen,” Lassalle berpendapat bahwa konstitusi suatu
negara bukan hanya sebuah dokumen hukum tertulis, namun lebih merupakan
cerminan dari dinamika kekuasaan aktual di dalam negara tersebut 13. Perspektif
Lassalle mengkaji konstitusi melalui kacamata otoritas.
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menguraikan struktur kekuasaan dan
interaksi antar lembaga pemerintah di suatu negara. Konstitusi Indonesia
menguraikan kerangka kewenangan konstitusionalnya dan dinamika kekuasaan
antar entitas negara. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) memegang
kedudukan tertinggi dalam hierarki kekuasaan yang terdiri dari presiden, Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Mahkamah
Agung (MA), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Konstitusi juga
menjelaskan konfigurasi kewenangan pusat dan daerah, korelasi kewenangan
pimpinan lembaga negara, dan dinamika kekuasaan antara pusat dan daerah.
Menurut Karl Olivecrona, sifat dasar hukum dalam kaitannya dengan
kekuasaan dapat digambarkan sebagai “kekuasaan yang terorganisir”. Dalam
pandangan ini, hukum terdiri dari kumpulan aturan yang mengatur penggunaan
kekerasan, baik kekerasan fisik maupun paksaan, yang dilakukan oleh pihak yang
berwenang. Olivecrona berpendapat bahwa penggunaan kekerasan oleh pihak
berwenang pada dasarnya tidak dapat dibedakan dengan kekerasan yang
dilakukan oleh penjahat seperti pencuri dan pembunuh14.
Meskipun kekuasaan adalah sejenis otoritas, kekuasaan tidak sama dengan
hukum. Van Apeldorn mengatakan bahwa hukum memiliki kualitas kekuasaan,
namun hal ini tidak berarti bahwa hukum hanya identik dengan kekuasaan.
Konsep hukum melambangkan suatu bentuk kekuasaan, namun kekuasaan belum
tentu sesuai dengan asas-asas hukum. “Might is not right,” seorang pencuri

13
L.J. van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, PT Pradnya Paramita, 1986, hlm.
70.
14
Karl Olivecrona, Law as Fact, Copenhagen-London, 1939, hlm. 123, 169.
memiliki kendali atas barang-barang yang diperolehnya secara tidak sah, namun
hal ini tidak berarti bahwa ia memiliki hak atas barang-barang tersebut15.
Lassalle berpendapat bahwa sifat dasar kekuasaan, yang sejalan dengan
hukum, terutama berakar pada kekuatan fisik, khususnya wewenang yang dimiliki
oleh militer dan penegak hukum. Van Apeldorn berpendapat bahwa kekuatan fisik
bukanlah komponen fundamental hukum, apalagi komponen yang diperlukan.
Kekuasaan fisik sering dipandang sebagai faktor pelengkap, yang berfungsi
sebagai pelengkap dan bukan sebagai komponen integral dari hukum. Sebaliknya,
kekuatan moral merupakan komponen penting dari hukum, yaitu kekuatan yang
diperoleh peraturan hukum dari nilai kemasyarakatan yang melekat padanya, yang
sering kali mengarah pada kepatuhan sukarela oleh individu dalam masyarakat.16
Selain hukum identik dengan kekuasaan, ciri lain dari korelasi hukum dan
kekuasaan adalah bahwa hukum berbeda dengan kekuasaan. Hukum dan
kekuasaan adalah entitas yang berbeda, meskipun keduanya mempunyai
hubungan yang kuat. Hubungan ini dapat bermanifestasi sebagai hubungan
dominan atau hubungan timbal balik. Dalam konteks ini, ada tiga manifestasi
berbeda dari relasi hukum dan kekuasaan.
Hukum berada di bawah kekuasaan. Hal ini mengandung makna bahwa
hukum tidak hanya tunduk kepada penguasa, tetapi juga seringkali berfungsi
sebagai mekanisme pelaksanaan wewenang, dengan kata lain penguasa
mempunyai kendali tertinggi terhadap hukum. Konsekuensinya, menurut para
ahli, konsep hukum menegaskan bahwa hukum tunduk pada pengaruh kekuasaan.
Thrasimachus, seorang sarjana hukum, mengungkapkan keyakinannya
bahwa kekuasaan lebih penting daripada hukum, dan menyatakan bahwa hukum
hanya melayani kepentingan individu yang lebih dominan. Gumplowicz juga
menyampaikan gagasan yang sama bahwa hukum didasarkan pada dominasi
kelompok rentan oleh pihak yang lebih berkuasa. Hukum adalah suatu sistem
peraturan yang ditetapkan oleh suatu entitas yang dominan untuk menegakkan
kewenangannya.17

15
Ibid., hlm. 69.
16
Ibid., hlm. 73.
17
Ibid., hlm. 70.
Dari sudut pandang Marxis, undang-undang tidak dibuat untuk menjaga
kesejahteraan seluruh masyarakat, melainkan untuk melindungi kepentingan
kelompok yang memiliki hak istimewa. Undang-undang berfungsi sebagai
mekanisme bagi kapitalis untuk melindungi kepentingan mereka saat melakukan
upaya ekonomi, serta sebagai sarana bagi penguasa untuk mempertahankan
otoritas mereka. Sistem hukum mempunyai bias terhadap mereka yang memiliki
pengaruh signifikan dan mereka yang terlibat dalam usaha komersial.
Selain itu, kewenangan berada di bawah peraturan hukum. Oleh karena
itu, kekuasaan berada di bawah hukum, karena hukum menentukan keberadaan
kekuasaan. Asas penyerahan kekuasaan kepada hukum merupakan hal yang
mendasar dalam penyelenggaraan suatu negara. Pengertian ini diungkapkan
dengan menggunakan kosakata supremasi hukum.
Konsep supremasi hukum berarti bahwa hukum berfungsi sebagai prinsip
utama yang mengatur urusan-urusan kemasyarakatan, nasional, dan pemerintahan.
Pengertian norma dasar negara, disebut juga norma dasar, mencakup gagasan
hukum sebagai aturan tertinggi, seperti yang dikemukakan oleh Hans Kelsen.
Selain itu, konsep supremasi hukum juga mengandung arti bahwa pelaksanaan
kewenangan dalam menegakkan ketertiban konstitusi dan proses pemerintahan
harus didasarkan pada ketaatan pada prinsip-prinsip sistem hukum. Kekuasaan
tidak memiliki legitimasi tanpa landasan hukum.
Hubungan antara hukum dan kekuasaan bersifat saling menguntungkan,
tidak bercirikan dominasi atau superioritas. Sebaliknya, ini adalah hubungan
pengaruh dengan tujuan tertentu. Kekuasaan mempunyai tujuan dalam
hubungannya dengan hukum, sedangkan hukum mempunyai tujuan dalam
hubungannya dengan kekuasaan. Hubungan ini ada dalam kaitannya dengan
fungsi tertentu dan dapat terjadi antara dua entitas.
3.4 Kekuasaan Dalam Konteks Hukum
Kekuasaan dalam konteks hukum berkaitan dengan kekuasaan negara,
yaitu kekuasaan untuk mengatur dan menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat
dan bernegara yang meliputi bidang legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Pengaturan dan penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat dan bernegara
meliputi pengaturan dan pelaksanaan di tingkat pusat dan di daerah. Dengan
demikian, kekuasaan merupakan sarana untuk melaksanakan fungsi dasar negara
dalam rangka mencapai tujuan bernegara.
Kekuasaan dalam konteks hukum mencakup kedaulatan, kekuasaan atau
wewenang, dan hak. Ketiga bentuk kekuasaan tersebut mempunyai hakikat dan
ciri yang berbeda satu sama lain, serta bersifat hierarkis.
Kekuasaan tertinggi adalah Kedaulatan, yaitu kekuasaan definitif negara
untuk menjamin aturan perilaku di dalam wilayahnya, dan tidak ada pihak baik di
dalam maupun di luar negara yang boleh dimintai izin untuk menentukan atau
berbuat sesuatu. Kedaulatan merupakan hak yang mutlak, tertinggi, tidak terbatas,
mandiri dan tanpa kecuali18.
Kedaulatan atau kedaulatan adalah ciri atau atribut hukum suatu negara;
dan sebagai atribut negara sudah ada sejak lama, bahkan ada yang berpendapat
bahwa kedaulatan mungkin lebih tua dari konsep negara itu sendiri. 19 Dalam teori
negara, terdapat empat bentuk kedaulatan sebagai cerminan kekuasaan tertinggi
dalam suatu negara. Keempat bentuk kedaulatan tersebut adalah kedaulatan Tuhan
(Godsouvereiniteit), kedaulatan negara (staatssouvereiniteit), kedaulatan hukum
(rechtssouvereiniteit), dan kedaulatan rakyat (volkssouvereiniteit).20
Dalam kedaulatan Tuhan, kekuasaan terletak pada sumber kekuasaan yang berasal
dari Tuhan. Menurut pengertian kedaulatan negara, kedaulatan terletak pada
negara, dan dalam kedaulatan hukum yang berdaulat bukanlah Tuhan dan bukan
negara, melainkan hukum itu sendiri. Dalam kedaulatan rakyat, yang berdaulat
adalah rakyat, dimana rakyat menyerahkan kekuasaannya kepada pemerintah
melalui sistem pemilihan umum.

18
Magnis Suseno, Etika Politik, Jakarta, PT Gramedia, 1988, hlm. 53
19
Fred Iswara, Pengantar Ilmu Politik , Dhwiwantara, 1964, hlm. 92.
20
Sri Soemantri, Masalah Kedaulatan Rakyat Berdasarkan UUD 1945, Lihat juga Padmo
Wahyono (ed), Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, 1984, hlm. 67.
Bentuk kekuasaan yang kedua dalam konteks hukum adalah wewenang.
Wewenang berasal dari bahasa Jawa yang mempunyai dua arti, yaitu pertama,
kekuasaan (bevoegdheid) atas sesuatu. Kedua, serangkaian hak yang melekat pada
suatu jabatan atau pejabat untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas
pekerjaan dapat dilaksanakan dengan baik, kompetensi, yurisdiksi, wewenang.21
Ciri negara adalah kekuasaannya mempunyai wewenang. Jadi kekuasaan
negara bisa disebut otoritas atau wewenang. Otoritas atau wewenang merupakan
“institusionalisasi kekuasaan”, yaitu kekuasaan yang secara de facto
mengendalikan, namun juga mempunyai hak untuk mengendalikan. Wewenang
adalah kekuasaan yang mempunyai hak untuk menuntut ketaatan, sehingga
mempunyai hak untuk memberi perintah.22
Bentuk kekuasaan yang ketiga dalam hukum adalah hak. Salmond
mendefinisikan hak sebagai kepentingan yang diakui dan dilindungi oleh hukum.
Rumusan yang hampir sama juga dikemukakan oleh Allend yang menyatakan
bahwa hak adalah suatu kekuasaan yang berdasarkan hukum yang dengannya
seseorang dapat melaksanakan kepentingannya (The legally guaranteed power to
realise an interest). Sedangkan menurut Holland, hak adalah kemampuan
seseorang untuk mempengaruhi tindakan atau tindakan seseorang tanpa
menggunakan wewenang yang dimilikinya, namun didasarkan pada paksaan
masyarakat yang terorganisasi.23
Pengakuan hukum terhadap hak seseorang membawa konsekuensi adanya
kewajiban terhadap pihak atau orang lain. Hal ini dapat terjadi karena hubungan
antara hak dan kewajiban bersifat timbal balik atau timbal balik. Hubungan antara
hak dan kewajiban terjadi dalam konsep hubungan hukum, khususnya dalam
pelaksanaan hubungan hukum (hukum subjektif). Kewajiban adalah suatu
perintah hukum yang mengharuskan seseorang untuk memenuhi sesuatu yang
menjadi hak orang lain atau melakukan perbuatan tertentu.

21
Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, 1986, hlm. 633.
22
Suseno, Op.Cit., hlm. 53.
23
Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Rajawali, 1988, hlm. 45.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan deskripsi pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
1. Kekuasaan adalah suatu konsepsi hubungan sosial antara dua pihak atau
dua institusi yang bersifat saling pengaruh mempengaruhi, dominatif atau
eksploitatif.
2. Hakekat hukum dapat ditinjau dari sudut otoritas yang membentuknya,
substansinya dan daya kerjanya dalam mengatur masyarakat.
3. Kekuasaan dalam pembentukan lembaga-lembaga ini dapat berakar dari
tiga prinsip pembagian kekuasaan (separation of powers) yang diajukan
oleh Montesquieu: eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus berada pada
badan-badan yang terpisah, agar tidak ada yang memiliki kekuasaan yang
terlalu besar dan meminimalisir kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan.

Bagaimana lembaga-lembaga ini berinteraksi dan saling mengawasi juga


memengaruhi pembentukan kebijakan dan penegakan hukum dalam suatu negara.
Idealnya, lembaga-lembaga ini harus seimbang dan saling mengawasi untuk
mencegah konsentrasi kekuasaan yang berlebihan di satu tangan dan memastikan
bahwa kepentingan masyarakat dilindungi.
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Ahmad. 1996. Menguak Tabir Hukum. Jakarta: Chandra Pratama.

Hamzah, Andi. 1986. Kamus Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesi.

Cipto, Bambang. 1995. Dewan Perwakilan Rakyat. Jakarta: Rajawali.

Suseno, Frans Magnis. 1988. Etika Politik. Jakarta: PT Gramedia.

Iswara, Fred. 1964. Pengantar Ilmu Politik. Dhwiwantara.

Olivecrona, Karl. 1939. Law as Fact. London: Copenhagen.

L.B. Curzon. 1979. Jurisprudence. M&E Handbook.

Rasjidi, Lili. 1988. Dasar-Dasar Filsafat Hukum. Jakarta: Rajawali.

L.J. van Apeldorn. 1986. Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: PT Pradnya Paramita.

Weber, Max. 1982. Wirtschaft und Geselschaft. Tubingen Mohr.

Budiardjo, Miriam. 1991. Aneka Pemikiran Tentang Kuasa Dan Wibawa. Jakarta:
Sinar Harapan.

Wahyono, Padmo (ed). 1984. Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini,


Jakarta: Ghalia Indonesia.

Strausz-Hupe, Robert. 1956. Power and Community.

Luthan, Salman. 1994. Penegakan Hukum, Yogyakarta: FH UII

Rahardjo, Satjipto. 1984. Masalah Penegakan Hukum, Jakarta: Sinar Baru.

Soemantri, Sri. 1984. Masalah Kedaulatan Rakyat Berdasarkan UUD 1945.

Soemardi, Soelaeman. 1984. Pendekatan Terhadap Kejahatan Sebagai Suatu


Fenomena Sosial.

Parsons, Talcott. 1957. The Distribution of Power in AmericanSociety. World


Politics.

Anda mungkin juga menyukai