Anda di halaman 1dari 6

Demokrasi sebagai basis cita-cita negara hukum Indonesia

Manusia pada prinsipnya yang asasi merupakan makhluk individu dengan


segala insting, watak, dan fitrahnya yang merdeka. Ketika manusia lahir dan
bersentuhan dengan lingkungan sekitar, disitu timbulah sifat dan
tanggungjawabnya secara kolektif sebagai makhluk sosial. Sesuai dengan definisi
sosial yang berasal dari bahasa latin yaitu socius yang memiliki arti masyarakat,
menunjukan bahwa manusia membentuk hubungan kebersamaan dengan manusia
lainnya guna mencapai tujuan survivelitas atau keinginan bertahan hidup,
mengingat manusia dalam mencukupi kebutuhan hidupnya mencakup dua sifat,
pertama, kebutuhan yang dapat terpenuhi secara individu, kedua, kebutuhan yang
terpenuhi secara bersama-sama.

Menurut Rapilington dalam penjelasanannya mengenai masyarakat pada


studi sosiologi pemerintahan mengatakan, setiap kelompok manusia yang telah
hidup cukup lama sehingga dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri
mereka sebagai kesatuan sosial dengan batas jelas. Populasi manusia yang
semakin bertambah seiring perkembangan zaman, menyebabkan faktor
pengaturan menjadi hal yang wajib dilakukan sehingga membagi tatanan
masyarakat kedalam dua klasifikasi. Pertama, masyarakat yang mengatur, kedua,
masyarakat yang diatur. Dari latar belakang inilah kemudian muncul persoalan
mengenai hak, kewajiban, serta wewenang untuk mengatur dan diatur, mengenai
hak mana saja yang mesti dipenuhi, kewajiban apakah yang perlu dijalankan, serta
atas dasar wewenang apa sekelompok masyarakat boleh memberikan perintah
maupun larangan, yang kemudian disebut sebagai bentuk kekuasaan.

Memandang kekuasaan dewasa ini secara empiris yang telah menjadi


perebutan masyarakat kelas elite, membuktikan bahwa kekuasaan atas pengaturan
bukan lagi semata-mata mewujudkan tujuan guna keteraturan dan
keberlangsungan hidup masyarakat yang “diatur”, menjadi lebih sejahtera dan
stabil. Namun telah tercemari oleh kepentingan-kepentingan elite penguasa atas
wewenang dalam mengatur dan menjalankan hukum untuk memenuhi keinginan
individualnya. Persoalan ini didukung dengan pendapat Max Weber yang
menyatakan bahwa “kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan
sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan
apapun dasar kemauan ini”. Dari sini terdapat benturan antara kepentingan
penguasa yang cenderung tidak menghiraukan kepentingan rakyat sesuai asas
ikatan hidup orang banyak.

Salah satu studi kasus yang kiranya perlu dikaji secara mendalam di
Negara Kesatuan Republik Indonesia ialah, persoalan Rancangan Undang-Undang
(yang selanjutnya disebut RUU) yang hendak diberlakukan kepada masyarakat
sebagai bentuk aturan normatif yang disusun oleh negara dan bersifat mengikat.
Menyikapi hal ini, perlu adanya memandang RUU secara general, yaitu secara
keseluruhan aturan yang akan diterapkan dalam bentuk partikular, sehingga pokok
permasalah inti yang menyebabkan kontradiksi antara kepentingan penguasa dan
kepentingan rakyat dapat terlihat jelas. Permasalahan seperti ini tidak dapat
ditemukan ketika mengkaji RUU secara point per point sebagaimana adannya,
sebab hal tersebut berubah sifat menjadi spesifik atau teknis belaka.

Menindak lanjuti atas permasalahan tersebut, sesuatu yang bersifat


fundamental dan mempengaruhi proses berjalannya sistem pemerintahan dan
hukum yang dijalankan oleh penguasa adalah konsep Negara. Konsep Negara
Indonesia sendiri menganut konsep Demokrasi, yang mana kekuasaan harus
dilegitimasi dari kehendak mereka yang dikuasai. Selain itu Demokrasi
meniscayakan terlaksanannya tiga prinsip dasar yaitu, persamaan, kebebasan, dan
pertisipasi. Sehingga peran dan aspirasi masyarakat tentunya menjadi hal yang
patut dipertimbangkan dalam menerapkan kebijakan yang menyangkut
keberlangsungan hidup mereka. Maka kursi kekuasaanlah yang seharusnya
menampung kepentingan rakyat guna mengarahkan negara dalam kerangka
keadilan, kebebasan dan solidaritas bangsa dengan tindakan yang bersifat
subsider, yaitu sebuah tindakan yang menunjang dan memaksimalkan
kemampuan serta kekuatan yang ada dalam masyarakat.

Akan tetapi, bukan berarti kepentingan rakyat terhadap penguasa menjadi


kehendak mutlak yang mesti terlaksana. Ada berbagai batasan bagi kedaulatan
rakyat untuk menciptakan kestabilan berlangsungnya demokrasi. Maka
keterbatasan itu berlaku dua arah. Pertama ialah segala macam bentuk keputusan
tidak sepenuhnya diambil dan ditentukan secara langsung oleh rakyat. Yang perlu
ditekankan adalah fungsi rakyat sebagai kontrol atas penguasa yang menjalankan
pemerintahan terhadap masyarakat yang diatur. Walaupun dalam kerangka
semacam ini partisipasi masyarakat dalam mengambil peran terhadap keputusan
tetap bersifat terbatas, namun partisipasi tersebut tetaplah nyata. Kedua,
mempertimbangkan kehendak rakyat yang bersifat mayoritas. Tidak menafikan
kemungkinan demokrasi dapat berubah menjadi totaliter ketika mayoritas
kehendak masyarakat memutlakan kepentingannya terhadap bentuk minoritas
lainnya. Maka untuk mencegah terjadinya hal semacam ini perlu memandang
secara etis bentuk keputusan. Seperti halnya yang disampaikan Franz magnis-
suseno bahwa “segenap kehendak satu pihak menemukan batasannya pada pihak
lainnya”. Tidak ada bentuk kebebasan serta hak yang bersifat tanpa batas. Sebagai
makhluk sosial, manusia wajib menghormati keutuhan yang terungkap dalam hak-
hak yang dimiliki setiap individu.

Untuk mewujudkan bentuk tatanan masyarakat yang ideal, tentunya


diperlukan sumber Hukum yang sesuai dengan kepentingan dan cita-cita
masyarakat. Sumber itu ialah pancasila, yang menurut Prof.Dr.Notonegoro telah
ditetapkan sebagai filsafat dan tujuan negara Indonesia. Namun dalam
pemberlakuannya di masyarakat, hukum tidak bisa begitu saja ditetapkan dalam
bentuk abstrak. Hanya jika hukum dikerucutkan menjadi bentuk peraturan yang
adil dan dijalankan dengan pasti, hukum baru dapat menjalankan fungsinya.
Sehingga identifikasi hukum yang bersifat abstrak perlu penafsiran ke suatu
bentuk peraturan dan perundang-undangan sesuai koridor ciri hukum yang adil
dan pasti. Dengan demikian adanya tata tertib pelaksanaan hukum sebenarnya
merupakan kepentingan objektif yang menyangkut kepentingan semua pihak
dalam masyarakat. Maka dimana ada masyarakat disitulah terdapat hukum yang
berlaku.

Setelah diketahui secara pasti prinsip Demokrasi dan batasan kedaulatan


rakyat, serta ciri hukum dan pengatualisasiannya yang mesti bersifat konkrit
dalam masyarakat. Terdapatlah kesimpulan antara bentuk kepentingan penguasa
dan kepentingan rakyat yang mempengaruhi kebijakan RUU di Indonesia. Jurang
kepentingan inilah yang kemudian meruncing sebab ketimpangan prinsip yang
menjadi syarat terlaksanannya Hukum dan Demokrasi tidak dijalankan dengan
semestinya. Ketimpangan yang terjadi tidak lain karena tergerusnya prinsip-
prinsip ideal oleh kepentingan sekelompok kecil masyarakat yang memegang
tampuk kursi kekuasaan. Jika ditarik dengan kebijakan RUU yang diterapkan
pemerintah Indonesia, sehingga memancing gerakan penolakan besar-besaran
oleh kalangan mahasiswa. Maka boleh disimpulkan bahwa terjadi ketidak
sesuaian RUU dengan asas Hukum yang merupakan kepentingan objektif.

Kepentingan yang seharusnya mendasarkan diri atas kepentingan semua


pihak dalam masyarakat, telah ditarik ulur menjadi kebijakan yang
menguntungkan tindakan segelintir kelompok masyarakat saja. Fakta lapangan
saat ini ialah menyoal RUU di Indonesia yang merupakan hasil dari proses
pengerucutan dari sumber hukum, tidak sesuai dengan asas legitimasi sosiologis
yang mempertanyakan dasar suatu hukum dapat diterima di masyarakat, sehingga
terjadi penolakan pengakuan masyarakat terhadap hukum. Pertanyaannya adalah,
apakah boleh sembarang tatanan normatif asal saja dibuat dan dipaksakan
pelakasanaanya oleh penguasa yang sah yaitu negara dalam masyarakat bisa
disebut hukum?, ataukah sistem peraturan itu boleh dikatakan sah apabila diakui
keabsahannya oleh masyarakat itu sendiri?.

Tentu dua pertanyaan yang berbeda itu memuat landasan kepentingan


yang begitu besar, apalagi melihat produk RUU yang dibuat dewan legislatif
2014/2019 diakhir jabatan mendapat macam-macam penilaian negatif dari
masyarakat serta rentan gugatan. Pada masalah pertama, mencerminkan bahwa
RUU hanya dibuat untuk memenuhi kepentingan elite penguasa yang sah, sebab
mengingat Program Legislatif Nasional (Prolegnas) yang dimulai sejak 2018
harus segera disahkan pada Oktober 2019. Pembahasan RUU dinilai sunyi
sehingga menuai hasil yang kontroversi dari kalangan pemerhati hukum. Seperti
dikutip dari Peneliti Indonesia Legal Resource Center (ILRC) menyoroti salah
satu RUU yaitu RUU-KUHP, Siti Aminah, menilai pembahasan RUU-KUHP
terkesan terburu-buru, sehingga menyarankan untuk mengesahkan RUU-KUHP
itu dari buku satu dulu, sebab buku dua terlalu berat. Ibarat semua aspek
kehidupan kita diatur dalam buku dua (2/7/2019). Terlihat jelas ada kepentingan
program kerja yang harus segera dipenuhi dan menyebabkan tidak dihiraukannya
akibat dari penerapannya nanti di masyarakat.

Permasalahan kedua, meniscayakan pengakuan dari masyarakat terhadap


produk RUU. Pengakuan bukan berarti sekedar mengakui adanya RUU yang
hendak diberlakukan, namun menjalani pokok-pokok isi didalamnya atas dasar
kesadaran dan sukarela. Sebab RUU yang diterima kalangan masyarakat akan
menjadi bentuk kepastian hukum yang ideal. RUU itu diterima dengan alasan vital
untuk melindungi hak-hak Individu, karena bukan tidak mungkin keinginan
individu tanpa hukum menjadi tinggi dan menindas individu lain. Maka hukum
yang dibuat boleh dikatakan bermanfaat untuk mengatur ikatan hidup bersama.
Dengan kata lain RUU lebih baik diadakan dari pada tidak ada sama sekali.
Sanksi atas pelanggaran hanya menjadi penunjang terlaksannya hukum sekaligus
memperkokoh tatanan hukum normatif dan memaksakan ketaatan segilintir
masyarakat yang belum begitu peduli soal kesadaran hukum.

Maka Negara Indonesia yang menerapkan konsep Demokrasi, haruslah


memperhatikan terlebih dahulu prinsip-prinsip sistem demokrasi itu guna
menjalankan pemerintahannya. Termasuk hukum itu sendiri yang masuk dalam
ruang lingkup aturan pemerintahan, harus sesuai dan tidak bertentangan sebagai
bagian dari sistem demokrasi. Menurut Satjipto Rahardjo, 4 karakteristik hukum
di Indonesia ialah, bersifat terbuka , memberikan Informasi terlebih dahulu,
tujuannya jelas, mengatasi goncangan. Empat karakteristik tersebut bila berkaca
pada demokrasi yang bermakna “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”
terdapat kesesuaian dengan memprioritaskan rakyat sebagai elemen utama yang
memutuskan aturan lewat aspirasinya sekaligus menjadi ketetapan bagi seluruh
elemen masyarakat.

Dengan kata lain, untuk mewujudkan negara hukum Indonesia supaya


tidak terus berkutat pada persoalan hukum partikular, sebagai misal ialah RUU
yang saat ini menjadi sebuah produk hukum kontroversial dan rentan gugatan.
Wajib kiranya untuk memahami lagi apa yang saya terangkan diatas yaitu dasar
hukum secara universal, yang merangkul segala aspek penerapannya di Indonesia.
Hal tersebut hanya dapat di dirumuskan sebagai dasar hukum universal dalam
koridor ciri dan kemanfaatan hukum. Sehingga bentuk konkrit penerapan RUU
yang secara langsung dapat dirasakan efeknya oleh masyarakat menjadi cermin
suksesnya konsep Demokrasi guna mewujudkan Negara Indonesia sebagai Negara
Hukum.

Nama : Jauharuddin Ahmad Akfiyan

Prodi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Muhammadiyah Ponorogo

Anda mungkin juga menyukai