Anda di halaman 1dari 2

Rokok Dan Defisit BPJS

Penulis : Gue Pribadi, jadi ini sudut pandang gue ya gaes

Pemantik : Kanda Arga Abidin, Amd.Kep

Pada saat ini BPJS mengalami defisit yang cukup besar, dan untuk menutupi besar
defisit, pemerintah mengalokasikan dana Cukai Rokok yang dinilai mampu untuk mendanai DJS
Kesehatan. Selain itu, dana hasil Cukai tembakau atau Rokok, menunjukan statistik kenaikan
pertahun berdasarkan data dari program Pungutan Tambahan atas Rokok untuk Kesehatan
(PRUK), sangat dimungkinkan untuk dijadikan sumber dana. Hal ini karena tujuan dari Cukai
Rokok adalah untuk mengendalikan konsumsi demi peningkatan kualitas kesehatan. Sehingga
penggunaan cukai rokok juga dapat difokuskan sebagai penanganan dampak gangguan kesehatan
dari perilaku merokok.
Sejumlah pertanyaan pun dilontarkan oleh peserta diskusi, salah satunya pertanyaan dari
kanda Habib, “Bagaimana sih masalah rokok ini menurut pandangan kesehatan, sedangkan
rokok sendiri dalam masyarakat sangat membudaya bahkan menjadi pererat tali persaudaraan?’.
Dalam pandangan ilmu kesehatan, kerukunan antar orang yang sedang merokok disebabkan oleh
rokok sendiri mengandung zat nikotin, sehingga menjadikan tubuh menjadi lebih rileks dan
tenang. Ini adalah sisi positif daripada rokok. Sedangkan segi negatifnya rokok merupakan zat
sisa pembakaran atau dapat dibilang sebagai limbah yang mengandung racun. Biar
bagaimanapun efek buruk rokok akan lebih banyak daripada manfaatnya, ulas kanda Abidin.
Namun disisi lain, Menurut pernyataan dari kanda Habib, terjadinya perang dagang antara
industri nikotin dan farmasi, menyebabkan saling menjatuhkan antar industri farmasi yang
dinaungi oleh negara dengan pihak industri rokok swasta, dan menjadikan masyarakat pada
umumnya sebagai target kapitalisasi industri.
Dsikusi kali ini menuntut nalar kritis peserta untuk mempertanyakan lebih jauh lagi mana
yang menjadi sebab pemerintah memutuskan untuk menanggulangi defisit DJS Kesehatan
melalui Cukai Rokok. Mengingat sistem pendanaan BPJS di bebankan kepada iuran peserta, hal
itu tentu saja tidak mencukupi untuk pembiayaan pelayanan kesehatan peserta. Apalagi hampir
semua penyakit ditanggung oleh BPJS. Menurut seorang peserta diskusi, apabila menggunakan
logika konsumen sebagai landasan, maka akan timbul sikap seperti “apa yang dianggap
menguntungkan ya itu yang diambil”, sehingga tidak memperdulikan hal-hal lain seperti prinsip
misalnya, sebagai landasan. Sedangkan idealisnya, pihak kesehatanlah yang mengkampanyekan
dampak rokok adalah buruk. Maka tentu saja dilarang menggunakan cukai rokok untuk
mendanai defisit yang kian membengkak.
Timbul paradoks makna adanya BPJS kesehatan dalam pandangan Mahasiswa peserta
diskusi. Secara Empirik BPJS kesehatan melalui sistem yang dijalankannya dinilai menyulitkan
masyarakat dan berlaku tak adil. Dalam kasus penanganan pasien dikenakan kartu BPJS
kesehatan dari tingkat atas hingga paling rendah, sehingga apabila ada pasien yang tiba-tiba
penyakitnya masuk dalam kategori atas harus menggunakan kartu BPJS kesehatan tingkat atas,
dan mengurusnya pun dinilai cukup ribet. BPJS kesehatan pun tidak mau mensurve langsung
masyarakat mana yang benar-benar membutuhkan bantuan, hal ini kemudian disalah gunakan
oleh masyarakat yang sebenarnya mampu untuk membayar biaya pengobatan, tapi justru turut
serat memanfaatkan keringan dari BPJS kesehatan. Selain itu kurang tegasnya BPJS kesehatan
dalam menegur peserta yang telat bahkan tidak membayar iuran secara berkala dan hanya
memanfaatkan ketika membutuhkan. Sedangkan secara Transendental BPJS kesehatan ini masih
diharapkan kebaikan nilai gunannya dalam masyarakat. Sehingga salah satu solusi adalah
memperbaiki antara konsep yang ditwarkan BPJS kesehatan dengan praktik nyata terhadap
masyarakat.
Selain faktor-faktor yang disebutkan diatas, faktor lain berupa oknum yang menjalankan
juga menjadi permasalahan. Pasalnya ada sebagian oknum yang berlaku tidak jujur atau korup.
Oleh sebab itu kanda Abidin memberikan solusi berupa perbaikan mindset SDM baik dikalangan
masyarakat maupun oknum pengelola BPJS kesehatan. Dikalangan masyarakat semisal
mengubah mindset ketidak perdulian terhadap permasalahan yang tidak menyangkut pribadi.
Sehingga tidak peduli dengan hal apa saja yang terjadi disekitarnya, termasuk masalah kesehatan
masyarakat yang bersentuhan langsung dengan adanya program BPJS kesehatan. Yang kedua
terkait Cukai rokok sebagai sumber DJS kesehatan. Pendanaan melalui cukai rokok dianggap
sebagai sumber BPJS kesehatan tidak bisa mandiri dan berperilaku manja sampai akhir zaman,
oknum yang mengelola kurang berfikir tentang cara menambal defisit yang kian membengkak
dan lebih nyaman menunggu pendanaan dari cukai rokok.
Akan tetapi penulis akan memberika sebuah kesimpulan dan rekomendasi berdasarkan
data, bukan Cuma bacot doang heuheuheu.
- PRUK merupakan salah satu alternatif yang sangat direkomendasikan untuk
pembiayaan karena a. Tidak membebani APBN, b. Tidak mengurangi alokasi
anggaran kesehatan, c. Tidak membebani pemerintah daerah, d. Mekanisme
pengelolaan lebih gampang.
- Potensi dana dari PRUK diperkirakan Rp. 13.80T hingga Rp.21.30T
- PRUK hanya ditetapkan untuk rokok buatan mesin dengan pertimbangan, a. Pangsa
pasar cukup besar, b. Bersifat padat modal, c. Jumlah pabrik lebih sedikit, d.
Penyumbang cukai terbanyak.

SELAMAT MEMBACA DAN BERBACOT RIA YA


KAWAN HEUHEUHEU

Anda mungkin juga menyukai